Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga
Cerita dimulai dengan penggambaran tentang dua karakter utama, Alya dan Reza, yang berasal dari dunia yang sangat berbeda. Alya adalah seorang wanita muda yang tinggal di kota besar untuk melanjutkan pendidikan atau mengembangkan kariernya, sementara Reza adalah seorang pria yang bekerja di luar negeri atau kota yang jauh dari tempat tinggal Alya. Masing-masing punya tujuan hidup yang berbeda, tetapi takdir membawa mereka bertemu dalam sebuah peristiwa yang sangat tak terduga.
Alya Perkenalkan Alya dengan detail: mungkin dia seorang mahasiswa yang cerdas atau seorang profesional muda yang penuh semangat dan ambisius. Anda bisa menggambarkan kehidupannya yang sibuk, persahabatan yang dekat dengan beberapa teman, dan rutinitas yang sudah berjalan. Di sisi lain, Reza adalah seorang pria yang cerdas, matang, namun sedikit lebih tertutup atau lebih pendiam dibanding Alya.
Setting cerita bisa diambil dari tempat yang mengundang pertemuan tak terduga, misalnya acara kampus, seminar, atau bahkan sebuah tempat liburan yang dihadiri oleh banyak orang.
Alya dan Reza pertama kali bertemu di sebuah acara yang awalnya tidak mereka rencanakan, seperti acara reuni teman lama, seminar, atau perjalanan bisnis yang keduanya hadiri tanpa banyak harapan. Anda bisa menambahkan deskripsi tentang perasaan mereka masing-masing sebelum bertemu. Alya mungkin merasa agak terasing atau canggung, sementara Reza lebih terlihat tenang dan berpikir bahwa pertemuan ini hanyalah sebuah rutinitas.
Alya berjalan dengan langkah cepat menuju ruang seminar yang penuh dengan orang asing. Ia merasa sedikit canggung, meskipun ia tahu betul bahwa acara ini penting untuk perkembangan kariernya. Di pintu masuk, ia menyentuh dadanya sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah masuk.
Di sisi lain, Reza berdiri di samping meja registrasi. Matanya terfokus pada layar ponsel, tampak seperti seseorang yang sudah lelah dengan perjalanan panjang. Baru saja selesai melakukan presentasi singkat di acara yang sama, Reza berusaha mencari tempat duduk untuk menikmati sisa waktunya dengan tenang. Namun, pada saat itu, pandangannya bertemu dengan sosok seorang wanita yang berjalan sendirian di ruang yang ramai.
Alya tanpa sengaja menabrak bahu Reza saat sedang mencari tempat duduk. Kedua mata mereka bertemu sejenak, dan dalam kilasan detik itu, ada rasa yang menggelitik hati mereka berdua sebuah rasa penasaran dan keingintahuan yang sulit dijelaskan.Setelah pertemuan pertama yang tak sengaja ini, mereka mulai berbicara. Percakapan awal ini bisa sangat canggung, tetapi bisa juga penuh dengan kecocokan yang mengejutkan. Mungkin keduanya memiliki banyak kesamaan atau minat yang sama, meskipun mereka tidak terlalu menyadari itu pada awalnya.
Alya mencoba tersenyum sambil mengucapkan permintaan maaf. “Maaf, saya tidak sengaja menabrak Anda.”
Reza tersenyum ringan, tampak santai meskipun suasana cukup ramai di sekitar mereka. “Tidak masalah. Rasanya seperti acara yang penuh sesak, ya?”
Alya tertawa pelan. “Iya, saya juga merasa begitu. Mungkin saya butuh lebih banyak istirahat.”
Reza menoleh dan melihat ekspresi kelelahan di wajah Alya. “Banyak yang harus dilakukan di sini?”
Alya mengangguk. “Ya, lebih ke mencari peluang dan kenalan. Terkadang sulit menemukan koneksi yang tepat.”
Percakapan ini bisa berlanjut dengan mereka berbicara tentang pekerjaan, latar belakang masing-masing, atau alasan mereka berada di acara tersebut. Anda bisa memperkenalkan lebih banyak tentang karakter mereka melalui percakapan ini, sekaligus membangun ketertarikan atau chemistry yang perlahan muncul.
Meskipun percakapan mereka terasa sederhana, ada sesuatu yang membuat keduanya tertarik satu sama lain. Mungkin Alya terkesan dengan cara Reza berbicara atau sikapnya yang tenang dan penuh perhatian. Di sisi lain, Reza bisa saja merasa tertarik pada kepribadian Alya yang ceria dan penuh semangat.
Di sini, Anda bisa menggambarkan dengan lebih mendalam bagaimana perasaan mereka berkembang tanpa mereka sadari. Keduanya mungkin merasa sedikit canggung tetapi juga merasa ada koneksi yang sulit dijelaskan.
Alya merasa aneh. Biasanya, dalam situasi seperti ini, ia akan merasa canggung dan langsung mencari cara untuk mengakhiri percakapan. Tetapi kali ini, tidak. Suasana dengan Reza terasa nyaman, bahkan dalam keheningan. Alya menyadari bahwa dia menikmati percakapan itu lebih dari yang dia kira.
Reza, di sisi lain, merasa dirinya lebih terbuka kepada Alya dibandingkan dengan orang lain yang baru dia kenal. Dia merasa ada sesuatu yang membuatnya nyaman, meskipun mereka baru saja bertemu.
Setelah percakapan mereka yang menyenangkan, mereka akhirnya memutuskan untuk bertukar nomor telepon atau akun media sosial. Di sini, perasaan mereka mulai berkembang, meskipun keduanya tidak langsung mengungkapkan ketertarikan itu.
Reza mengeluarkan ponselnya, sambil tersenyum ringan. “Boleh saya minta nomor telepon Anda? Sepertinya kita bisa berbincang lebih lanjut tentang beberapa hal.”
Alya agak terkejut, tetapi dalam hati merasa senang. “Tentu. Saya juga ingin ngobrol lebih banyak.”
Setelah bertukar kontak, mereka melanjutkan acara tersebut masing-masing. Meskipun tidak banyak waktu tersisa untuk berbicara, mereka merasa ada koneksi yang membuat mereka ingin lebih mengenal satu sama lain.
Setelah acara itu berakhir, mereka mulai saling mengirim pesan atau berkomunikasi lebih sering. Anda bisa menggambarkan bagaimana percakapan mereka berkembang secara alami. Pada awalnya, mereka berbicara tentang hal-hal ringan, tetapi seiring berjalannya waktu, mereka mulai berbicara tentang topik yang lebih pribadi tentang keluarga, impian, dan masa depan.
Reza mengirim pesan pertama. “Saya sangat menikmati percakapan kita tadi. Terima kasih sudah berbagi cerita.”
Alya membalas dengan cepat. “Saya juga. Terkadang, saya merasa lebih mudah berbicara dengan orang yang baru saya kenal.”
Percakapan ini bisa berlanjut dengan mereka saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Mungkin Alya mulai bercerita tentang pekerjaan dan tantangannya, sementara Reza berbicara tentang karier dan pengalaman hidupnya.
Alya menatap ponselnya dengan senyum kecil. “Apakah ini awal dari sesuatu yang baru?” pikirnya dalam hati. Namun, dia tidak tahu pasti, dan mungkin, itu akan menjadi salah satu misteri yang harus dijawab seiring berjalannya waktu.
Reza yang berada di sisi lain, merasakan hal yang sama. “Ada sesuatu yang berbeda dengan dia,” pikirnya, sambil menatap layar ponselnya sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya.*
Bab 2: Cinta yang Bersemi
Alya duduk di meja kerjanya, memandangi layar laptop yang penuh dengan dokumen. Namun pikirannya tidak berada di situ. Ponselnya tergeletak di samping, menunggu pesan dari Reza. Dalam beberapa hari terakhir, komunikasi mereka semakin sering, dan meskipun itu hanya percakapan ringan, Alya merasakan sesuatu yang berbeda. Ada ketenangan yang ia rasakan setiap kali berbicara dengan Reza, dan itu membuatnya merasa lebih hidup.
Di sisi lain, Reza juga merasa hal yang sama. Setelah pertemuan mereka, ia merasa lebih sering mengingat Alya. Pesan-pesan yang mereka tukar terasa lebih dari sekadar percakapan biasa. Reza mulai tertarik dengan pemikiran-pemikiran Alya, cara dia melihat dunia, dan tentu saja, cara dia berbicara tentang hal-hal kecil yang selama ini Reza abaikan.
Setelah beberapa minggu berkomunikasi, Alya dan Reza mulai membuka lebih banyak tentang perasaan mereka. Meskipun keduanya merasa bahwa mereka memiliki ketertarikan yang kuat, mereka masih ragu apakah hubungan ini akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan. Namun, keduanya merasa bahwa tidak ada salahnya untuk saling berbagi lebih dalam tentang kehidupan pribadi mereka.
Pada suatu malam, mereka berbicara lewat telepon selama beberapa jam. Percakapan mereka tidak hanya berisi obrolan ringan, tetapi mulai memasuki topik yang lebih dalam, seperti masa lalu, keluarga, dan apa yang mereka cari dalam hidup.
Reza: “Alya, aku sering berpikir tentang apa yang kita bicarakan kemarin. Aku merasa ada sesuatu yang sangat alami dalam percakapan kita, seperti kita sudah mengenal satu sama lain selama bertahun-tahun.”
Alya: “Aku juga merasa seperti itu, Reza. Mungkin ini terdengar gila, tapi aku merasa sangat nyaman saat kita berbicara. Seperti ada ikatan yang tak terlihat.”
Reza: “Aku rasa, aku mulai menyukai cara kamu melihat dunia. Cara kamu menceritakan tentang masa depanmu, itu membuatku berpikir tentang apa yang aku inginkan dalam hidup ini.”
Alya: “Aku juga merasa hal yang sama, Reza. Mungkin kita mulai saling mengenal lebih dalam, ya? Dan… aku pikir, kita berdua sudah cukup lama berteman, jadi rasanya aku mulai tertarik lebih jauh.”
Pada titik ini, keduanya mulai menyadari bahwa mereka memiliki perasaan lebih dari sekadar teman. Namun, meskipun sudah ada perasaan yang mendalam, masih ada ketakutan dan keraguan yang muncul, terutama tentang apakah hubungan ini bisa berjalan dengan baik mengingat perbedaan latar belakang dan jarak yang memisahkan mereka.
Alya mungkin merasa khawatir tentang apakah dia siap untuk melangkah lebih jauh dengan Reza, mengingat dia masih sibuk dengan pekerjaan atau studinya. Reza juga merasakan hal yang sama, terutama karena dia berada di luar negeri atau jauh dari tempat tinggal Alya. Mereka berdua merasa bingung apakah hubungan jarak jauh ini akan berhasil, tetapi pada akhirnya, mereka sepakat untuk mencoba dan melihat ke mana hubungan ini akan membawa mereka.
Suatu malam, setelah banyak diskusi panjang melalui pesan dan telepon, Reza akhirnya memutuskan untuk mengatakan apa yang sebenarnya ia rasakan.
Reza:”Alya, aku tahu kita belum lama mengenal satu sama lain, tapi aku rasa aku ingin mencoba sesuatu yang lebih. Aku mulai merasa sangat tertarik padamu, bukan hanya sebagai teman.”
Alya terdiam sejenak, lalu membalas dengan lembut.
Alya: “Aku juga merasa hal yang sama, Reza. Tapi… kita tahu bahwa hubungan ini tidak mudah. Ada banyak tantangan yang harus kita hadapi, terutama karena jarak.”
Reza: “Aku paham, tapi aku rasa kita bisa menghadapinya. Aku siap untuk berjuang demi hubungan ini.”
Alya tersenyum, merasa perasaan yang selama ini terpendam akhirnya diungkapkan. “Aku juga siap, Reza.”
Dan dengan itu, mereka sepakat untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Meskipun ada keraguan dan tantangan yang harus mereka hadapi, keduanya merasa bahwa mereka siap untuk mencoba.
Setelah memutuskan untuk menjalin hubungan resmi, keduanya mulai merasa kegembiraan yang tidak terkatakan. Meskipun mereka baru saja memulai hubungan ini, ada perasaan yang sangat kuat di antara mereka. Namun, pada saat yang sama, ada ketegangan yang muncul, terutama karena kenyataan bahwa mereka tidak bisa selalu bersama. Komunikasi menjadi semakin penting, dan mereka harus berusaha keras agar hubungan ini tetap terjaga.
Pada awalnya, mereka akan merasa sangat bersemangat untuk saling berbagi setiap detail kehidupan mereka. Setiap percakapan terasa sangat berarti, dan mereka ingin saling memberi dukungan di tengah kesibukan masing-masing. Namun, ada momen-momen di mana perasaan rindu mulai mengganggu mereka, terutama saat mereka merasa terpisah terlalu lama tanpa bisa bertemu.
Alya mengirimkan pesan singkat ke Reza: “Aku kangen banget, Reza. Rasanya seperti ada yang hilang setiap kali aku tidak bisa mendengarmu.”
Reza membalas dengan cepat: “Aku juga kangen kamu. Setiap hari rasanya semakin sulit tanpa kamu di sini.”
Mereka mulai saling berbagi lebih banyak tentang bagaimana masing-masing merasakan hubungan ini. Di satu sisi, mereka merasa sangat bahagia karena bisa bersama, meskipun jarak memisahkan mereka. Namun, di sisi lain, mereka tahu bahwa ada banyak hal yang harus mereka perjuangkan.
Setelah beberapa waktu menjalani hubungan, mereka mulai berbicara tentang masa depan. Meskipun masih terpisah oleh jarak, mereka merasa semakin yakin bahwa mereka ingin melanjutkan hubungan ini dan membangun masa depan bersama. Mereka mulai merencanakan hal-hal kecil, seperti liburan bersama atau perjalanan untuk bertemu satu sama lain, serta berbicara tentang tujuan jangka panjang mereka—baik dalam hal karier maupun hubungan pribadi.
Mereka mulai menyadari bahwa cinta yang mereka rasakan jauh lebih kuat daripada perbedaan jarak dan waktu. Ada komitmen yang lebih dalam untuk menjaga hubungan ini tetap hidup, meskipun ada tantangan yang harus dihadapi.
Reza: “Alya, aku ingin kamu tahu bahwa aku serius tentang hubungan ini. Aku ingin kita bisa bertemu lebih sering, dan suatu hari nanti, kita bisa membangun hidup bersama.”
Alya:Aku juga merasakannya, Reza. Mungkin kita masih punya banyak hal yang harus dipikirkan, tetapi aku yakin kita bisa menghadapinya.”*
Bab 3: Cinta yang Diuji
Alya yang sibuk dengan pekerjaan atau studinya mulai merasa bahwa dia terlalu fokus pada kariernya dan sering kali mengabaikan komunikasi dengan Reza. Di sisi lain, Reza yang berada jauh dari Alya merasa mulai kesulitan menjaga ikatan emosional dengan perempuan yang kini menjadi kekasihnya. Jarak dan waktu yang memisahkan mereka tampaknya mulai menguji sejauh mana mereka benar-benar saling mencintai.
Alya baru saja pulang larut malam setelah mengikuti seminar. Selama seminggu terakhir, dia merasa sedikit terputus dari Reza. Komunikasi mereka mulai berkurang, tidak seintens beberapa bulan lalu. Setiap kali ia membuka pesan dari Reza, ada rasa rindu yang tak terucap. Namun, dia juga merasa cemas—apakah ia mampu menjaga hubungan ini jika terus terjebak dalam kesibukan yang tiada habisnya?
Di sisi lain, Reza yang sedang dalam perjalanan bisnis di luar negeri merasa terasing. Meskipun dia mencoba untuk mengirimkan pesan dan menjaga komunikasi, rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dalam hubungan mereka. Dia merindukan suara Alya, tawa kecilnya, bahkan cara Alya menceritakan hal-hal sepele yang sering kali membuat Reza tersenyum.
Hubungan yang terjalin dengan baik mulai teruji. Ketegangan antara keduanya mulai muncul ketika komunikasi semakin jarang dan pesan yang terkirim sering kali terabaikan. Alya merasa tertekan dengan pekerjaannya dan mulai merasa bahwa Reza tidak lagi memberikan perhatian yang cukup. Reza di sisi lain merasa frustrasi karena meskipun dia berusaha keras untuk menjaga komunikasi, seolah ada jarak emosional yang semakin terasa.
Suatu malam, setelah beberapa hari tidak mendengar kabar dari Alya, Reza memutuskan untuk menghubungi Alya melalui telepon. Saat pertama kali mengangkat telepon, Alya tampak kelelahan, seperti tidak punya energi untuk berbicara.
Reza: “Alya, aku kangen banget. Kenapa akhir-akhir ini kita jarang sekali ngobrol?”
Alya: “Aku minta maaf, Reza. Aku hanya… sangat sibuk. Ada banyak hal yang harus aku urus, dan kadang aku merasa kesulitan mengatur waktu untuk kita.”
Reza merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi dia berusaha bersabar.
Reza: “Aku mengerti, tapi rasanya aku mulai merasa seperti kita makin jauh. Aku tidak ingin kita saling menjauh.”
Alya terdiam. Hatinya terasa berat. Dia ingin mengungkapkan bahwa dia juga merasa hal yang sama, tetapi takut jika itu terdengar seperti pengakuan kelemahan.
Alya: “Aku… Aku juga merasa seperti itu, Reza. Tetapi aku tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.”
Percakapan mereka berakhir dengan kesedihan yang tidak terucap. Di satu sisi, mereka merasa cemas tentang masa depan hubungan ini, sementara di sisi lain, mereka berdua tidak tahu bagaimana mengatasi rasa rindu dan keraguan yang tumbuh.
Ketika komunikasi semakin jarang dan Alya merasa lebih terisolasi, perasaan cemburu mulai muncul. Alya merasa khawatir jika Reza mulai melupakan dirinya, atau jika ada perempuan lain yang mengisi kekosongan hati Reza. Sebaliknya, Reza merasa cemburu dengan kesibukan Alya yang tampaknya lebih memilih pekerjaannya daripada meluangkan waktu untuknya.
Ketegangan ini membesar ketika Reza mengetahui bahwa Alya pergi ke acara bersama seorang pria teman lamanya. Meskipun itu tidak lebih dari sekadar acara biasa, Reza merasa kecewa dan marah karena tidak diberi tahu sebelumnya. Perasaan cemburu dan ketidakpercayaan menguji hubungan mereka lebih lanjut.
Suatu sore, Reza mengirimkan pesan kepada Alya.
Reza: “Kamu ada acara dengan siapa tadi malam? Aku lihat fotomu bersama pria itu di Instagram.”
Alya merasa terkejut dan sedikit marah. “Itu hanya teman lama, Reza. Kamu tahu kan aku tak akan pernah melakukan hal yang tidak pantas?”
Reza: “Aku hanya merasa… entah, semakin banyak hal yang tidak aku ketahui tentang kehidupanmu. Aku merasa kita mulai tumbuh jauh dari satu sama lain.”
Alya: “Reza, aku butuh waktu untuk diriku sendiri juga. Aku tidak bisa selalu ada untukmu, kamu tahu itu.”
Percakapan mereka menjadi tegang, dan setelah itu, mereka memilih untuk berhenti berbicara untuk sementara waktu. Cinta mereka diuji oleh perasaan cemburu, rasa tidak aman, dan ketidakmampuan untuk menemukan waktu yang tepat untuk satu sama lain.
Setelah beberapa hari tidak ada komunikasi, rasa rindu mereka semakin memuncak. Reza yang merasa terlalu banyak menahan perasaan mulai mengirim pesan lagi kepada Alya, mencoba untuk menjernihkan suasana.
Reza: “Alya, aku minta maaf kalau aku terlalu cemburu. Aku cuma… aku hanya takut kehilanganmu.”
Alya: “Aku juga merasa kehilangan, Reza. Tapi hubungan ini bukan hanya tentang kita berdua, bukan? Ada banyak hal yang harus kita hadapi.”
Reza: “Aku paham. Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkanmu.”
Alya merasa emosinya mulai menguasai dirinya. Ia tahu bahwa hubungan ini penting, tetapi kadang ia merasa terlalu lelah untuk terus berjuang. Di satu sisi, ia tahu Reza adalah orang yang tepat, tetapi di sisi lain, ia merasa seperti ada banyak hal yang belum ia capai dalam hidupnya. Keraguan itu mulai menggelayuti pikirannya.
Alya: “Aku juga merasa begitu, Reza. Aku rindu kamu, tapi aku juga bingung harus bagaimana.”
Setelah melalui beberapa hari penuh kecemasan dan keraguan, akhirnya Alya dan Reza bertemu dalam pertemuan langsung, setelah beberapa bulan hanya berkomunikasi via telepon dan pesan. Pertemuan ini menjadi titik balik penting dalam hubungan mereka. Mereka akhirnya membuka hati satu sama lain dan mengungkapkan apa yang mereka inginkan dalam hubungan ini. Mereka menyadari bahwa mereka saling membutuhkan, tetapi harus belajar bagaimana menjaga keseimbangan antara hubungan dan kehidupan masing-masing.
Alya dan Reza duduk di sebuah kafe yang sederhana. Reza melihat Alya dengan tatapan serius, sementara Alya menatap meja, merasa sedikit canggung.
Reza: “Aku tidak ingin kita terus begini, Alya. Aku rasa kita perlu berbicara serius tentang apa yang kita inginkan.”
Alya mengangguk pelan.”Aku tahu. Aku merasa… seperti kita terlalu terjebak dalam rutinitas masing-masing. Aku ingin tahu kalau kita bisa menghadapi ini bersama.”
Reza meraih tangan Alya.”Aku juga ingin itu. Kita harus saling memberi ruang, tapi juga saling menjaga. Aku ingin kita bisa lebih terbuka tentang perasaan kita.”
Mereka berbicara panjang lebar tentang apa yang harus mereka lakukan untuk menjaga hubungan ini tetap berjalan. Mereka menyadari bahwa komunikasi yang lebih baik, pengertian, dan kompromi adalah kunci untuk menghadapi cinta jarak jauh ini.
Alya dan Reza berpelukan di akhir pertemuan mereka. “Aku akan berusaha, Reza. Aku akan berusaha untuk kita.”
“Aku juga, Alya,”balas Reza dengan penuh keyakinan.*
Bab 4: Ketakutan di Tengah Cinta
Di sisi lain, Reza mulai merasakan kegelisahan yang sama. Ketakutannya muncul saat ia berpikir tentang masa depan mereka, apakah mereka bisa terus bertahan dengan perasaan seperti ini, ataukah akhirnya salah satu dari mereka akan menyerah. Keinginan untuk bersama sering bertentangan dengan kenyataan bahwa jarak adalah halangan terbesar mereka.
Alya duduk di ruang kerjanya yang sunyi, menatap layar ponsel dengan tatapan kosong. Pesan dari Reza sudah beberapa jam tidak dibalas. Ada kerinduan yang sangat dalam, namun di dalam hatinya, ada perasaan yang lebih berat, perasaan yang tak ingin ia akui. Apa yang akan terjadi jika ini berakhir? Jika jarak ini semakin memperlemah cinta mereka?
Di sisi lain, Reza juga memandang ponselnya dengan perasaan yang sama. Ia tahu bahwa komunikasi dengan Alya semakin jarang, dan meskipun ia berusaha menjaga hubungan mereka, hatinya mulai dipenuhi oleh ketakutan yang tak bisa ia ungkapkan.
Ketakutan pertama yang muncul adalah ketakutan akan kehilangan satu sama lain. Meskipun mereka saling mencintai, ada kecemasan mendalam bahwa hubungan mereka mungkin tidak akan bertahan dalam jarak jauh yang begitu lama. Kedua karakter mulai bertanya-tanya apakah mereka bisa menjaga cinta ini tanpa pertemuan fisik yang rutin, atau apakah cinta itu akan memudar seiring waktu.
Alya merasakan ketakutan ini lebih dalam setelah mendengar cerita dari temannya yang mengalami kegagalan hubungan jarak jauh. Ini membuatnya mulai mempertanyakan apakah hubungan mereka bisa bertahan, ataukah mereka hanya menghibur diri dengan harapan kosong. Di sisi lain, Reza merasakan hal yang sama, tetapi ia berusaha untuk tetap optimis dan yakin bahwa mereka akan menemukan jalan. Namun, ketakutannya tetap ada, dan ia mulai mempertanyakan dirinya sendiri: apakah ia benar-benar mampu menjaga komitmennya terhadap Alya jika terus terpisah oleh jarak?
Alya: “Reza, aku merasa seperti kita mulai kehilangan arah. Aku mulai takut kita akan terpisah lebih jauh jika terus begini.”
Reza: “Apa maksudmu?” suara Reza terdengar cemas, namun ia berusaha menyembunyikan ketakutannya. “Aku tahu kita jarang bertemu, tapi aku percaya kita bisa melaluinya.”
Alya terdiam, matanya memandang keluar jendela, mencoba mencari jawaban atas kebimbangannya. “Aku takut, Reza. Aku takut kita akan saling menjauh. Aku takut kamu akan bertemu seseorang yang lebih baik dariku, atau aku yang akan kehilanganmu.”
Reza merasakan hatinya sedikit tercekat. Meskipun ia ingin menenangkan Alya, rasa ketakutan yang sama juga mulai merayapi dirinya. “Aku juga takut, Alya. Tapi kita harus bisa menjaga kepercayaan ini. Kita sudah berjanji untuk berjuang.”
Namun, dalam hati, keduanya merasa ketakutan yang sama bahwa perpisahan ini, seiring berjalannya waktu, akan membuat cinta mereka pudar.
Ketakutan lain yang mulai muncul adalah perasaan cemburu dan kecurigaan. Meskipun mereka saling berjanji untuk menjaga hubungan ini dengan penuh kepercayaan, ketidakpastian jarak jauh mulai menumbuhkan kecemburuan yang tidak diinginkan. Reza merasa cemburu saat mendengar Alya pergi ke sebuah acara bersama teman-temannya, sementara Alya merasa gelisah saat mengetahui Reza berinteraksi dengan perempuan lain dalam pekerjaannya.
Ketidakpastian tentang siapa yang mengisi waktu mereka di luar hubungan ini menambah ketegangan yang ada. Kecurigaan tentang kemungkinan adanya orang lain dalam hidup mereka memunculkan perasaan yang lebih dalam, yang mungkin tidak mereka rasakan jika jarak tidak memisahkan mereka. Cemburu menjadi salah satu ujian besar dalam hubungan ini.
Suatu hari, Reza mengirim pesan kepada Alya yang terasa lebih dingin dari biasanya.
Reza:“Alya, aku lihat kamu pergi makan malam dengan teman-temanmu tadi malam. Salah satunya, pria itu, siapa?”
Alya merasakan ketegangan di dalam pesan tersebut. Meskipun dia tahu itu hanya teman lama, ada perasaan marah dan frustrasi yang muncul. “Itu hanya teman, Reza. Mengapa kamu bertanya seperti itu?”
Reza, yang merasa jengah, membalas dengan lebih tegas. **“Aku hanya merasa… kenapa aku selalu merasa seperti aku yang paling jauh dari hidupmu? Aku hanya ingin tahu apakah aku masih punya tempat di hatimu.”
Alya merasa kesal dan kecewa. “Aku tidak suka kalau kamu mulai mencurigai aku. Kenapa kamu tidak mempercayai aku?”
Di sini, ketegangan semakin meningkat. Kecurigaan mulai merusak rasa saling percaya yang telah mereka bangun. Mereka merasa tidak aman, dan ketakutan untuk kehilangan satu sama lain menjadi semakin nyata.
Alya dan Reza mulai merasa terasing dari satu sama lain. Meskipun mereka berusaha untuk tetap berhubungan, rasanya semakin sulit untuk saling memahami dan mendukung. Reza merasa semakin jauh dari dunia Alya, sementara Alya merasa kesepian meskipun ia tahu bahwa Reza selalu ada untuknya. Mereka berdua merasa kesulitan untuk berbicara tentang ketakutan dan kekhawatiran mereka, karena takut itu akan merusak hubungan mereka lebih jauh.
Alya berbaring di tempat tidurnya, memandang langit-langit kamar. Ia merasa lelah, emosinya terkuras, namun ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan tersebut kepada Reza. Setiap kali ia berbicara dengannya, ia merasa tidak ada solusi. Meskipun mereka saling cinta, ia merasa semakin terpisah.
Alya berpikir sejenak, apakah dia seharusnya berhenti berjuang. **“Apa yang harus aku lakukan, Reza? Aku mulai merasa seperti aku sedang kehilangan diriku sendiri, dan aku takut itu akan menghancurkan kita berdua.”
Di sisi lain, Reza merasa kesulitan mengungkapkan betapa dalam ketakutannya. Ia tahu ia tidak ingin kehilangan Alya, tetapi ia merasa terjebak dalam perasaan ketidakpastian yang tidak bisa ia ungkapkan.
Di titik tertinggi konflik, Alya dan Reza mulai meragukan masa depan mereka bersama. Mereka merasa terhalang oleh jarak dan ketakutan akan masa depan yang penuh ketidakpastian. Mereka berdua menghadapi titik di mana mereka harus mempertanyakan apakah hubungan ini layak untuk diperjuangkan.
Reza: “Alya, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Setiap kali kita berbicara, aku merasa semakin terputus dari dirimu. Aku tahu kita berdua mencoba, tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan takut ini.”
Alya, dengan suara penuh emosi, menjawab: “Aku juga merasa seperti itu, Reza. Aku takut jika kita terus seperti ini, kita akan kehilangan diri kita sendiri. Apa yang terjadi jika kita tidak bisa saling bertemu lagi?”
Pada titik ini, keduanya benar-benar merasa terhimpit oleh ketakutan yang mengancam untuk memisahkan mereka. Mereka menyadari bahwa mereka berada di ujung jurang, dan keputusan untuk terus berjuang atau menyerah akan menentukan nasib hubungan mereka.
Bab 5: Pertemuan yang Menunggu Waktu
Setelah beberapa bulan tidak bertemu, Alya merasa bahwa pertemuan mereka kali ini akan menjadi titik balik dalam hubungan mereka. Namun, ia juga merasa khawatir apakah segala yang mereka rasakan selama ini akan tetap ada begitu mereka bertemu. Apakah kedekatan emosional yang mereka jalin selama berbulan-bulan bisa tetap terasa saat mereka berada di satu tempat yang sama?
Di sisi lain, Reza merasakan hal yang serupa. Ia sudah sangat merindukan Alya, tetapi perasaan cemas dan keraguan juga mulai menggerogoti pikirannya. Apa yang akan terjadi ketika mereka bertemu lagi setelah begitu lama? Akankah perasaan mereka masih sama? Atau malah, pertemuan itu justru mengungkapkan kenyataan yang lebih pahit?
Alya mulai menghitung hari menuju pertemuan mereka. Setiap detik terasa lebih lama, dan setiap kali membuka pesan dari Reza, hatinya berdebar. Mereka telah merencanakan pertemuan ini untuk beberapa bulan, dan meskipun komunikasi mereka masih terjalin dengan baik, ada rasa ketegangan yang tak bisa mereka hindari.
Alya mempersiapkan diri untuk pertemuan itu, namun bukan hanya secara fisik, tetapi juga mental. Ia ingin agar pertemuan tersebut membawa kebahagiaan, tetapi ia juga tidak bisa menahan perasaan cemas tentang apa yang akan terjadi nantinya. Apakah semuanya akan berjalan seperti yang ia harapkan, atau malah akan semakin sulit?
Sementara itu, Reza juga sibuk dengan persiapannya. Ia berusaha menjaga ekspektasi agar tidak terlalu tinggi, karena ia tahu bahwa pertemuan ini bisa saja membawa banyak perubahan baik yang positif maupun negatif. Meskipun perasaan cinta masih ada, ada ketakutan bahwa mereka mungkin tidak bisa menghidupkan kembali ikatan yang telah lama terjalin karena jarak yang memisahkan mereka.
Alya duduk di meja kerjanya, menghadap laptop dan menatap layar kosong. Pikirannya melayang pada pesan terakhir dari Reza. Ia merasakan kerinduan yang begitu kuat, tetapi di sisi lain, ada kekhawatiran yang tak bisa ia hindari.
Alya (berpikir):”Apa yang akan terjadi saat aku benar-benar melihatnya lagi? Apakah kita akan kembali seperti dulu? Atau justru ada jarak yang lebih besar antara kita?”
Dengan tangan gemetar, ia mulai menulis beberapa kalimat di buku catatannya. Ia ingin menulis tentang perasaannya, tetapi kata-kata tampaknya tidak cukup untuk menggambarkan betapa besar ketidakpastian yang dirasakannya.
Di sisi lain, Reza sedang duduk di kafe favoritnya, memandang foto Alya di ponsel. Ia ingin segera bertemu, tetapi juga tahu bahwa segala sesuatu bisa berubah begitu mereka berada dalam satu ruangan. Ia mengirimkan pesan singkat, namun ia tahu bahwa kali ini, pertemuan mereka tidak akan bisa diselesaikan hanya dengan kata-kata.
Reza (berpikir):”Semoga ini menjadi momen yang tepat. Aku ingin dia tahu betapa aku merindukannya, tetapi aku juga tidak tahu apa yang akan terjadi saat kami bertemu.”
Dengan setiap pesan yang mereka tukar, ketegangan antara Alya dan Reza semakin terasa. Meskipun mereka berdua sepakat untuk bertemu, ada banyak pertanyaan yang belum terjawab dalam benak mereka. Kedua pihak merasa terjebak dalam kebimbangan tentang apakah pertemuan ini benar-benar akan membawa kebahagiaan atau justru mengungkapkan kenyataan yang lebih pahit.
Alya sering kali bertanya pada dirinya sendiri: “Apa yang harus aku lakukan jika pertemuan ini tidak seperti yang aku bayangkan? Apa yang terjadi jika kami tidak bisa berbicara dengan bebas seperti dulu?”* Begitu pula dengan Reza yang merasa khawatir: *”Apa yang akan terjadi jika dia sudah berubah? Apakah kita akan merasa asing satu sama lain?”
Mereka saling menunggu, berharap bahwa waktu yang telah mereka tunggu-tunggu akhirnya akan menjawab semua kebingungannya.
Reza: “Alya, aku tidak bisa berhenti berpikir tentang pertemuan kita. Apakah kamu yakin kita akan baik-baik saja?”
Alya:“Aku juga tidak tahu, Reza. Tapi aku percaya kita bisa menghadapi apa pun yang terjadi.”
Namun, di dalam hati mereka, keraguan masih tetap ada. Mereka ingin berusaha saling mempercayai, tetapi ketakutan itu tidak bisa dihindari. Mereka merasa terperangkap dalam rasa rindu yang mendalam, tetapi juga takut akan kehilangan satu sama lain.
Hari pertemuan akhirnya tiba. Alya bangun pagi dengan perasaan campur aduk antara kegembiraan dan ketegangan. Ia memilih pakaian yang simpel namun elegan, berusaha tampil sebaik mungkin, meskipun hatinya berdebar sangat keras. Setiap gerakan terasa lambat, dan seakan-akan waktu berjalan dengan sangat lambat menuju pertemuan tersebut.
Di sisi lain, Reza juga mempersiapkan diri dengan hati-hati. Ia ingin membuat pertemuan ini menjadi momen yang berkesan, namun ia juga tahu bahwa harapan besar yang ia bawa dapat membuat segala sesuatu terasa lebih sulit. Meskipun sudah tidak sabar, ia merasa cemas jika pertemuan ini tidak seindah yang diharapkannya.
Alya: “Aku takut, Reza. Aku tidak tahu apakah aku bisa menyampaikan semuanya dengan benar saat kita bertemu nanti.”
Reza:“Aku juga merasa sama, Alya. Tapi kita harus mencoba. Aku ingin melihatmu lagi, berbicara denganmu tanpa jarak. Aku ingin kita menemukan jalan.”
Ketegangan semakin memuncak saat keduanya bersiap menuju tempat pertemuan mereka. Mereka berdua merasakan kekosongan yang mendalam, mencoba mengisi ruang itu dengan harapan bahwa pertemuan ini akan menjadi momen yang mengubah segalanya.
Akhirnya, mereka bertemu. Alya berdiri di depan pintu gerbang bandara, menunggu Reza datang. Ada kekosongan yang besar di hatinya, namun juga ada harapan yang kuat bahwa pertemuan ini akan memberikan jawaban untuk semua pertanyaan yang menggantung di udara.
Ketika mereka akhirnya bertemu di lobi bandara, semuanya terasa lambat. Mereka saling menatap, seolah-olah sedang mencari sesuatu dalam satu sama lain. Ada perasaan cemas, namun juga rasa lega karena akhirnya bisa bertemu setelah begitu lama.
Alya melihat Reza berjalan mendekat. Saat mata mereka bertemu, Alya merasakan jantungnya berdegup sangat cepat. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan, tetapi Reza sudah tersenyum. Tanpa berpikir panjang, mereka saling berpelukan.
Alya: “Aku merindukanmu.”
Reza: “Aku juga, Alya. Kita akhirnya bertemu.”
Mereka tidak berkata banyak. Cukup dengan pelukan itu, keduanya merasakan kedekatan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Namun, di dalam hati mereka, masih ada banyak hal yang harus mereka bicarakan, dan banyak perasaan yang harus mereka hadapi.
Meskipun pertemuan ini berlangsung dengan haru, ada banyak hal yang belum selesai. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa hubungan mereka, meskipun penuh cinta, tetap membutuhkan usaha yang besar untuk mempertahankan ikatan itu. Pertemuan ini mungkin tidak langsung menyelesaikan semua ketakutan dan keraguan mereka, tetapi itu adalah langkah pertama menuju masa depan yang mereka ingin jalani bersama.
Setelah pertemuan tersebut, mereka menyadari bahwa cinta mereka memang kuat, tetapi perjalanan mereka tidak akan pernah mudah. Namun, mereka berdua sudah berkomitmen untuk mencoba berjuang bersama.*
Bab 6: Waktu yang Terus Berjalan
Alya kembali ke rutinitasnya sebagai seorang profesional muda, sementara Reza kembali menjalani kehidupannya yang sibuk dengan pekerjaan. Namun, meskipun fisik mereka terpisah, perasaan mereka masih terikat. Masing-masing merasa ada ruang kosong yang tidak bisa diisi dengan hanya sekedar pesan teks atau panggilan video.
Alya duduk di mejanya, menatap layar komputer dengan mata yang lelah. Pekerjaan yang menumpuk mengingatkannya bahwa dunia tidak berhenti meskipun hatinya masih terhenti pada momen-momen yang baru saja ia habiskan bersama Reza. Ia merasakan kehangatan itu masih ada, namun kenyataan bahwa mereka kini terpisah lagi membuatnya merasa cemas.
Alya menatap foto mereka berdua yang diambil selama pertemuan mereka di akhir pekan lalu. Foto itu terlihat sangat cerah, penuh tawa dan kebahagiaan. Namun, saat ini, kenyataan membawa beban yang lebih berat—bagaimana mereka bisa mempertahankan kebahagiaan itu jika jarak dan waktu kembali menjadi penghalang?
Di sisi lain, Reza juga merasa kesepian setelah kembali ke kehidupannya yang sibuk. Meskipun ia tahu pertemuan mereka sangat berarti, ada rasa hampa yang tak bisa ia pungkiri. Waktu yang terus berjalan menambah beban emosional, dan ia harus kembali berjuang untuk meraih keseimbangan antara cinta dan pekerjaan.
Dengan waktu yang terus berjalan, Alya dan Reza berusaha untuk tetap menjaga kedekatan emosional mereka, meskipun terpisah oleh jarak yang luas. Mereka melakukan percakapan intens melalui pesan teks, telepon, dan video call, namun ada saat-saat di mana rasa rindu itu tak bisa lagi diungkapkan hanya melalui kata-kata. Mereka merindukan kehadiran fisik satu sama lain, tetapi harus berhadapan dengan kenyataan bahwa pertemuan mereka tidak dapat terjadi setiap saat.
Alya merasa mulai lelah dengan rutinitas ini, meskipun ia tahu bahwa ini adalah bagian dari komitmen mereka. Ia merasa terjebak dalam dunia yang semakin sibuk dan semakin jauh dari Reza. Setiap kali ia memulai hari, pikirannya sering teralihkan oleh perasaan ingin bertemu Reza kembali. Tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa ia harus fokus pada karir dan tujuan hidupnya sendiri. Perasaan cinta dan kerinduan itu kadang membuatnya merasa bingung apakah ia sudah cukup memberi ruang untuk dirinya sendiri, atau justru terlalu terfokus pada hubungan ini?
Reza juga merasakan hal yang serupa. Ia sadar bahwa pekerjaan dan kehidupan sehari-hari semakin menguras energinya, namun ia berusaha untuk tetap menjaga komitmennya pada Alya. Setiap kali ia merasa cemas atau lelah, ia teringat pada wajah Alya dan bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama. Namun, keraguan tetap ada apakah mereka akan mampu menjaga hubungan ini ketika waktu terus berjalan, dan masa depan semakin terlihat kabur?
Alya: “Aku merasa semakin jauh dari dunia yang kita bangun, Reza. Semuanya terasa semakin sulit untuk dipertahankan.”
Reza: “Aku tahu, Alya. Aku merasakannya juga. Tetapi kita sudah melalui banyak hal bersama, kan? Kita bisa melewati ini.”
Namun, meskipun mereka saling meyakinkan satu sama lain, di dalam hati mereka, ada ketakutan besar bahwa hubungan ini bisa terhenti seiring berjalannya waktu. Mereka mulai menyadari bahwa mereka harus terus berusaha untuk menjaga cinta ini hidup, meskipun tantangan yang mereka hadapi semakin kompleks.
Setiap hari, kerinduan semakin menghimpit mereka. Meskipun mereka terus saling memberi dukungan dan perhatian, ada perasaan yang semakin sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Kerinduan ini bukan hanya tentang bertemu, tetapi juga tentang membangun kembali kedekatan yang pernah ada.
Alya sering terbangun di malam hari, dengan perasaan rindu yang begitu mendalam. Ia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, tetapi perasaan itu selalu datang kerinduan akan sosok yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Terkadang, ia merasa bahwa meskipun pertemuan mereka sudah terjadi, itu masih belum cukup. Ia ingin lebih banyak waktu bersama Reza, untuk mengukir kenangan yang lebih banyak lagi.
Reza juga merasa terjebak dalam kerinduan yang tak bisa ia ungkapkan. Setiap kali ia merindukan Alya, ia berusaha untuk tetap sibuk, namun ia tahu bahwa itu hanya sementara. Kerinduan yang tak terucap semakin menghimpit dadanya. Ia ingin berbicara lebih banyak dengan Alya, tetapi ia juga merasa cemas jika mereka mulai terjebak dalam rutinitas komunikasi yang monoton.
Alya duduk di balkon apartemennya, menatap malam yang sunyi. Pikirannya melayang pada Reza, pada suara tawa mereka yang penuh kehangatan saat mereka bersama. Sekarang, ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang, dan itu adalah kehadiran fisik Reza di sisinya.
Alya (berpikir): “Kenapa waktu terasa begitu lama saat aku jauh darimu, Reza? Kenapa kerinduan ini semakin dalam?”
Reza:“Aku ingin berada di sana, Alya. Aku ingin merasakan kehadiranmu setiap hari.”
Namun, keduanya tahu bahwa mereka hanya bisa berharap dan terus berusaha, karena waktu tidak bisa dihentikan. Mereka harus menerima kenyataan bahwa hubungan ini akan selalu menghadapi tantangan dari waktu yang terus berjalan.
melaikan diri dengan kehidupan sehari-hari mereka, meskipun perasaan mereka selalu tertuju pada satu sama lain. Alya kembali berfokus pada karirnya, mencoba untuk membuat kemajuan dalam pekerjaannya yang semakin menuntut. Namun, di dalam hatinya, ia merasa terpecah antara ambisinya dan keinginan untuk berada bersama Reza.
Reza juga merasakan hal yang sama. Tuntutan pekerjaan yang semakin meningkat membuatnya merasa semakin jauh dari Alya. Ia merasa bersalah karena tidak bisa memberi perhatian lebih banyak padanya, tetapi ia juga tahu bahwa ia harus berusaha untuk memenuhi tanggung jawabnya.
Alya kadang merasa terjebak dalam hidup yang sangat sibuk. Meskipun ia tahu bahwa ia harus memberi ruang untuk dirinya sendiri, perasaan takut kehilangan Reza membuatnya ragu apakah ia sudah membuat pilihan yang tepat. Reza pun merasa bingung ia tidak ingin kehilangan Alya, tetapi ia tahu bahwa kesibukan mereka bisa membuat hubungan ini semakin terjarang.
Alya: “Aku merasa seperti aku sedang mengejar waktu, tapi aku takut kalau aku akan kehilanganmu, Reza.”
Reza: “Aku tahu, Alya. Kita berdua tahu kita harus berjuang. Tapi kita juga harus memberi ruang untuk diri kita sendiri, bukan?”
Namun, di tengah kebingungan dan ketegangan ini, mereka mencoba untuk terus berkomunikasi dengan penuh kasih dan pengertian. Meskipun tantangan hidup semakin berat, mereka tahu bahwa mereka tidak boleh menyerah pada perasaan mereka.
Alya dan Reza akhirnya menyadari bahwa meskipun waktu terus berjalan, mereka masih memiliki kendali atas apa yang bisa mereka lakukan untuk hubungan mereka. Mereka tidak bisa menghentikan waktu, tetapi mereka bisa memutuskan untuk terus berjuang, meskipun tantangan datang dari berbagai sisi.
Bab 7: Cinta yang Tidak Mengenal Waktu
Alya sekarang mulai mengerti bahwa meskipun waktu selalu berubah, ada hal-hal yang tidak bisa tergantikan salah satunya adalah perasaan yang mereka bagi bersama. Waktu yang berlalu, meskipun terkadang berat dan penuh ketidakpastian, juga memberi mereka kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sebagai individu.
Reza, yang semula merasa cemas tentang masa depan mereka, kini mulai melihat cinta mereka dalam perspektif yang lebih luas. Baginya, cinta itu bukan lagi tentang berapa banyak waktu yang mereka habiskan bersama, tetapi lebih kepada bagaimana mereka bisa membuat setiap momen yang ada menjadi berarti.
Alya berdiri di jendela apartemennya, menatap hujan yang turun perlahan. Ia merasakan kesendirian itu, tetapi bukan kesendirian yang penuh keputusasaan. Ini adalah kesendirian yang datang dengan kedamaian kesendirian yang mengajarkan tentang pentingnya menerima waktu yang berjalan, meskipun perasaan itu masih terus tumbuh dalam dirinya. Cinta yang mereka miliki dengan Reza tidak bisa diukur dengan jam atau hari, tetapi dengan cara mereka saling mendukung, meskipun jarak tak pernah berhenti menguji mereka.
Di sisi lain, Reza sedang duduk di ruang tamunya, menghadap laptop dan melanjutkan pekerjaannya, tetapi pikirannya melayang pada Alya. Ia tersenyum kecil saat teringat pada percakapan terakhir mereka. Ia tahu bahwa meskipun mereka tidak selalu bersama, kedekatan emosional mereka tetap terjaga. Cinta mereka bukan tentang waktu yang terus berjalan, melainkan tentang pengertian dan penghargaan yang tak lekang oleh waktu.
Setelah sekian lama menjalani hubungan yang sebagian besar dibangun dari jarak, Alya dan Reza mulai menyadari bahwa cinta mereka telah berkembang menjadi sesuatu yang lebih mendalam. Mereka mulai memahami bahwa hubungan mereka bukan hanya tentang berjuang untuk bertemu, tetapi tentang bagaimana mereka bisa berbagi momen-momen kecil dalam hidup mereka—meskipun mereka terpisah oleh waktu dan ruang.
Alya, yang awalnya merasa cemas tentang hubungan yang tidak bisa selalu dipenuhi dengan kebersamaan fisik, kini mulai menerima bahwa cinta juga bisa tumbuh dalam keheningan dan jarak. Kadang-kadang, ia merasa bahwa mereka lebih dekat satu sama lain daripada sebelumnya, bahkan jika mereka tidak selalu berada di tempat yang sama.
Reza, yang semula merasa khawatir bahwa hubungan mereka akan kehilangan maknanya karena jarak, kini menyadari bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa dihitung dengan waktu bersama. Cinta adalah pengertian yang mendalam tentang siapa mereka sebagai individu dan bagaimana mereka tetap saling mendukung meskipun terpisah.
Alya menatap ponselnya yang bergetar. Sebuah pesan dari Reza muncul di layar: “Aku tahu kita tidak selalu bisa bersama, tapi aku ingin kamu tahu, aku selalu ada di sini untukmu, kapan pun kamu butuh aku.” Alya tersenyum tipis. Ia merasa bahwa hubungan ini, meskipun tak sempurna, telah memberinya lebih dari sekadar harapan. Ini adalah hubungan yang mengajarkan kedalaman pengertian dan kasih sayang yang lebih besar daripada apa pun yang pernah ia bayangkan.
Reza di sisi lain, duduk di taman sepi, menatap langit senja. Ia merasakan betapa berartinya waktu-waktu yang mereka habiskan bersama, meskipun sedikit. Cinta mereka bukan tentang seberapa sering mereka berbicara atau bertemu, tetapi tentang pengertian yang mengikat mereka meskipun jarak selalu menghalangi. Cinta yang mereka miliki adalah sesuatu yang tidak terikat oleh waktu, tetapi terikat oleh rasa saling menghargai.
Waktu yang terus berjalan tidak bisa dihentikan, tetapi Alya dan Reza mulai mengerti bahwa mereka memiliki kendali atas bagaimana mereka menghadapinya. Mereka menyadari bahwa dalam setiap momen yang ada, ada peluang untuk semakin mendalam dalam hubungan mereka. Bahkan ketika mereka terpisah oleh waktu, mereka bisa menemukan cara untuk merayakan cinta mereka baik itu dalam percakapan panjang melalui telepon, pesan singkat, atau hanya dalam mengenang kenangan indah bersama.
Reza mulai merasa bahwa meskipun pertemuan mereka terbatas, komitmen mereka semakin kuat. Mereka telah melewati banyak rintangan, dan masing-masing tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik berkat hubungan ini. Waktu bukan lagi menjadi ancaman, tetapi lebih sebagai ujian bagi mereka untuk melihat apakah mereka bisa bertahan dalam cinta yang lebih matang dan dalam.
Alya, yang semula meragukan hubungan mereka, kini merasa lebih yakin. Ia tahu bahwa meskipun mereka tidak bisa selalu berada di sisi satu sama lain, mereka bisa saling memberi ruang untuk tumbuh dan tetap menjaga hubungan itu dengan sepenuh hati.
Alya: “Reza, aku ingin kita terus berjuang bersama, meskipun kadang terasa seperti kita kehilangan waktu.”
Reza: “Kita tidak pernah benar-benar kehilangan waktu, Alya. Kita hanya belajar bagaimana cara mencintai dengan cara yang lebih dalam. Setiap momen, setiap detik, semuanya berarti.”
Dengan percakapan sederhana ini, mereka mulai menyadari bahwa mereka tidak perlu terikat dengan batasan waktu. Cinta mereka lebih besar daripada itu, lebih dalam dari sekadar waktu yang terlewat.
Meskipun waktu terus berjalan, Alya dan Reza berusaha untuk membuat setiap pertemuan menjadi berharga. Mereka mulai merayakan momen-momen kecil bersama, meskipun sering kali itu hanya melalui percakapan virtual atau pertukaran pesan yang panjang. Mereka memahami bahwa cinta sejati tidak memerlukan banyak waktu untuk menjadi nyata, yang dibutuhkan hanyalah ketulusan dan pengertian.
Bahkan ketika mereka tidak bertemu dalam waktu yang lama, mereka tetap merasa terhubung. Mereka belajar untuk mencintai dalam cara yang lebih sederhana, dalam cara yang tidak selalu diukur dengan waktu bersama. Cinta mereka tidak lagi bergantung pada seberapa lama mereka bisa berada bersama, tetapi pada seberapa banyak mereka bisa saling memberi.
Alya merasa bahwa setiap percakapan dengan Reza adalah sesuatu yang sangat berharga. Ia tahu bahwa meskipun pertemuan mereka terbatas, cinta mereka bisa terus tumbuh. Reza, di sisi lain, merasa lebih yakin bahwa meskipun waktu adalah hal yang tidak bisa mereka kendalikan, cinta mereka tetap akan tumbuh kuat.
Reza mengirimkan pesan suara: “Alya, aku ingin kamu tahu, aku tidak pernah merasa sendirian meskipun kita terpisah. Ada sesuatu yang abadi tentang cinta kita yang tidak bisa dimengerti oleh waktu.”
Alya mendengarkannya dengan penuh perasaan. Ia tahu bahwa waktu tidak bisa menghentikan apa yang mereka miliki. Meskipun dunia terus berubah, meskipun waktu terus berlalu, ada hal-hal yang tetap tak tergoyahkan. Cinta mereka adalah salah satunya.
Bab ini berakhir dengan keduanya merenungkan perjalanan cinta mereka. Meskipun tantangan waktu dan jarak tetap ada, mereka tahu bahwa hubungan mereka tidak akan terhenti hanya karena perbedaan waktu. Cinta yang mereka miliki adalah cinta yang lebih besar daripada waktu itu sendiri. Cinta yang terus bertumbuh, tak peduli seberapa banyak waktu yang terlewati.
Mereka memahami bahwa meskipun mereka tidak selalu bisa bersama, mereka tetap akan selalu mendukung satu sama lain, dan cinta mereka akan selalu ada selalu bertumbuh dan tidak mengenal waktu.***
————–THE END———-