Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

CINTA DARI BENUA LAIN

CINTA DARI BENUA LAIN

SAME KADE by SAME KADE
January 31, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 24 mins read
CINTA DARI BENUA LAIN

Daftar Isi

  • Bab 1  Pertemuan Virtual
  • Bab 2  Terjerat dalam Rindu
  • Bab 3  Ujian Cinta
  • Bab 4  Jarak yang Menguji Kesabaran
  • Bab 5  Keputusan untuk Bertemu
  • Bab 6  Pertemuan yang Menyentuh
  • Bab 7  Melihat Masa Depan Bersama

Bab 1  Pertemuan Virtual

Angin sepoi-sepoi yang menyentuh wajah Alya mengingatkannya pada kenangan yang tak terlupakan. Pada pagi itu, ia duduk di balkon rumahnya yang menghadap ke pantai, sebuah tempat favorit untuk menghabiskan waktu santai sembari menikmati segarnya udara laut. Tangan kanannya memegang ponsel, dan jari-jarinya menekan layar dengan hati-hati, membuka aplikasi video call yang sudah ia kenal sejak beberapa bulan lalu. Di sana, layar ponselnya menampilkan wajah seorang pria yang baru dikenalnya beberapa minggu sebelumnya Raka.

Meski hanya melalui layar, Alya merasa seolah sedang berbicara langsung dengannya. Suaranya yang tenang dan senyumannya yang hangat berhasil membuatnya merasa nyaman, seolah tidak ada jarak yang memisahkan mereka. Padahal, jarak itu ada, dan begitu jauh Alya di Indonesia, sementara Raka berada di Eropa, tepatnya di Belanda. Mereka berdua terpisah ribuan kilometer, namun percakapan ini terasa seperti satu-satunya hal yang penting saat ini.

“Halo, Alya,” ucap Raka dengan senyum kecil yang terpancar di wajahnya, memecah kesunyian pagi. “Bagaimana cuaca di sana?”

Alya tersenyum sambil menatap layar ponselnya, menjawab pertanyaan itu dengan nada ringan. “Cuacanya cukup cerah. Seperti biasa, angin laut di pagi hari sangat menyegarkan. Bagaimana di sana? Udara dingin lagi?”

Raka tertawa kecil, dan Alya merasakan kehangatan dalam tawa itu. Meski mereka hanya berbicara melalui teknologi, ada rasa kedekatan yang mulai tumbuh di antara mereka. “Iya, cukup dingin. Tapi lebih baik daripada hujan yang terus menerus. Aku lebih suka cuaca seperti ini, meskipun kadang harus mengenakan jaket tebal,” jawabnya dengan sedikit nada bercanda.

Alya terdiam sejenak, merenung. Bagaimana bisa percakapan sederhana ini terasa begitu menyenangkan? Mereka baru bertemu beberapa minggu yang lalu, melalui sebuah forum diskusi online yang awalnya hanya sekadar tempat berbagi opini tentang topik-topik ringan. Namun, percakapan mereka mulai berkembang. Dari yang awalnya hanya saling bertukar pendapat, kini menjadi lebih pribadi. Mereka mulai menceritakan lebih banyak tentang kehidupan masing-masing, mimpi, dan harapan mereka.

“Aku senang kita bisa ngobrol seperti ini,” kata Alya akhirnya, mengalihkan pandangannya dari ponsel ke laut yang tampak tenang di depannya. “Aku merasa, meski kita jauh, aku bisa merasa dekat denganmu.”

Raka tersenyum mendengarnya, matanya berbinar. “Aku juga, Alya. Entah kenapa, aku merasa kita sudah saling mengenal lama, meskipun baru pertama kali berbicara beberapa minggu lalu. Kamu berbeda dari orang lain yang aku kenal.”

Kata-kata Raka itu membuat hati Alya berdegup kencang. Ia tahu ini mungkin terdengar klise, namun kenyataannya, meski belum pernah bertemu langsung, mereka merasa seperti ada ikatan yang kuat, seolah sudah saling mengenal sejak lama. Alya bahkan merasa bisa berbicara tentang banyak hal tanpa rasa canggung.

“Hmm… aku juga merasa begitu,” jawab Alya dengan senyum tipis. “Seperti ada yang memudahkan kita untuk berbicara satu sama lain. Padahal, kamu tahu, aku biasanya tipe orang yang canggung saat berinteraksi dengan orang yang baru aku kenal.”

Raka mengangguk. “Aku paham. Aku juga begitu. Tapi, entah kenapa, aku merasa nyaman berbicara denganmu. Seperti ada koneksi yang tak terlihat.”

Percakapan mereka berlanjut, dari satu topik ke topik lainnya. Mereka membahas minat yang sama musik, film, bahkan makanan favorit mereka. Seiring berjalannya waktu, mereka mulai berbagi lebih banyak hal pribadi. Raka menceritakan kehidupannya di Belanda, tentang bagaimana ia datang ke sana untuk bekerja dan memulai hidup baru. Alya, di sisi lain, menceritakan kehidupan di pesisir Indonesia yang sering kali terasa tenang namun penuh dengan kerinduan akan sesuatu yang lebih besar.

Terkadang, mereka tertawa bersama, dan terkadang mereka terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan masing-masing. Meski terpisah oleh ribuan kilometer, kehadiran mereka dalam kehidupan satu sama lain terasa seperti sebuah oasis di tengah padang pasir yang luas.

“Tadi kamu bilang tentang rindu,” kata Raka setelah beberapa menit hening. “Aku juga merasakannya. Rindu yang entah datang dari mana, tapi sulit untuk diungkapkan.”

Alya mengangguk pelan, matanya menatap ombak yang bergulung pelan di kejauhan. “Rindu itu seperti teman yang datang begitu saja, tanpa permisi. Mungkin karena kita berada di tempat yang berbeda, dan kadang aku merasa… ingin sekali berada di dekat orang yang bisa memahami aku tanpa kata-kata.”

Raka menatapnya lewat layar, lalu tersenyum hangat. “Aku mengerti. Aku juga merasa seperti itu. Meskipun kita berada di benua yang berbeda, aku merasa aku bisa mengerti perasaanmu, Alya. Mungkin karena kita memiliki cara berpikir yang sama tentang banyak hal.”

Alya tidak bisa menahan senyum kecil yang muncul di bibirnya. Raka benar, meskipun mereka terpisah jauh, ada banyak hal yang menyatukan mereka—cara berpikir, cara merasa, bahkan cara mereka menghargai waktu dan perasaan.

Sore itu, pertemuan virtual mereka berlanjut dengan kehangatan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Meski hanya melalui layar ponsel, rasanya seperti mereka benar-benar berada di samping satu sama lain. Setiap pesan, setiap kata, membawa mereka lebih dekat meskipun jarak tetap memisahkan.

“Alya, aku ingin suatu hari nanti, kita bisa bertemu langsung,” kata Raka dengan nada serius, seolah-olah ingin memastikan Alya mendengar setiap kata yang ia ucapkan. “Aku ingin tahu lebih banyak tentang hidupmu, tentang segala hal yang kamu sukai dan tidak sukai. Aku ingin berbicara langsung, bukan hanya lewat layar ini.”

Alya terdiam, hatinya berdebar. Meskipun mereka baru saling mengenal dalam waktu yang singkat, perasaan yang tumbuh di dalam dirinya terasa begitu kuat. Ia merasa tidak ingin melewatkan kesempatan itu, untuk benar-benar mengetahui lebih banyak tentang Raka, untuk merasakan kehadirannya dalam dunia nyata, bukan hanya dalam dunia maya.

“Aku juga ingin bertemu, Raka,” jawab Alya akhirnya, suara di balik kata-katanya penuh harapan. “Mungkin suatu hari nanti, saat waktunya tepat, kita bisa mewujudkan itu. Kita bisa melihat dunia bersama, bukan hanya melalui kata-kata.”

Pertemuan virtual itu pun berakhir dengan janji tak terucap. Mereka tahu, meskipun jarak memisahkan, mereka sudah memulai sebuah perjalanan bersama. Sebuah perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian, namun juga penuh dengan harapan. Dalam hati Alya, ada keyakinan bahwa pertemuan ini meskipun hanya melalui layar ponsel adalah awal dari sebuah cerita yang indah, yang kelak akan menemukan jalannya.

Mereka berpisah untuk sementara, namun hatinya tetap terhubung. Meskipun dunia mereka berbeda, ada satu hal yang membuat mereka tetap dekat: cinta yang tumbuh dari sebuah pertemuan virtual, yang mungkin suatu hari nanti akan menemukan tempatnya di dunia nyata.*

Bab 2  Terjerat dalam Rindu

Sudah hampir dua minggu sejak pertemuan virtual pertama mereka. Dua minggu yang terasa begitu lama, namun pada saat yang bersamaan, seolah-olah waktu berjalan begitu cepat. Rindu mulai merayap masuk, mengisi ruang kosong yang sebelumnya hanya dipenuhi dengan rutinitas sehari-hari. Setiap pagi, Alya duduk di teras rumahnya, menatap laut yang tak pernah lelah berkejaran dengan angin, namun pikirannya terus terbang jauh, menuju Belanda, tempat di mana Raka berada.

Hari-hari Alya kini dipenuhi dengan kenangan-kenangan dari pertemuan virtual itu. Setiap pesan, setiap video call, terasa seperti seberkas cahaya dalam kegelapan jarak yang membentang begitu jauh. Raka, dengan segala ceritanya tentang hidupnya di Belanda, tentang rutinitasnya, tentang langit yang selalu kelabu di musim dingin, seolah menjadi bagian dari hidup Alya. Meski belum pernah bertemu secara langsung, Alya merasa begitu dekat dengan Raka—lebih dekat daripada siapa pun yang ada di sekitarnya. Tapi di balik kedekatan itu, ada perasaan yang lebih mendalam yang sulit ia jelaskan.

Alya menggigit bibir bawahnya, memandang layar ponselnya yang menunjukkan pesan singkat dari Raka yang baru saja ia terima. Seperti biasa, pesan itu sederhana, namun penuh makna.

Raka:
“Alya, aku baru saja melihat matahari terbenam. Tapi aku merasa aneh karena aku tidak bisa berbagi momen itu denganmu. Aku harap suatu saat nanti kita bisa menontonnya bersama.”

Membaca pesan itu membuat hati Alya berdebar. Rindu kembali menyerangnya. Rindu yang tak terucapkan namun begitu kuat, seperti gelombang laut yang datang dan pergi tanpa henti. Mereka baru bertemu sekali secara virtual, namun setiap percakapan, setiap tawa, setiap kata yang mereka tukar, membangun sebuah ikatan yang begitu kuat, seolah-olah mereka telah saling mengenal sepanjang hidup mereka.

Alya menanggapi pesan itu dengan cepat, berharap bisa memberi sedikit ketenangan pada kerinduannya yang semakin dalam.

Alya:
“Aku juga merindukan momen seperti itu, Raka. Rasanya seperti kita terhubung oleh langit yang sama, meski jarak memisahkan kita. Suatu saat nanti, aku yakin kita bisa menikmati matahari terbenam bersama.”

Setelah mengirimkan pesan itu, Alya menatap kembali layar ponselnya, menunggu balasan. Pikirannya berkelana, memikirkan segala kemungkinan yang ada. Apakah mereka benar-benar bisa bertemu? Bisakah hubungan mereka berkembang meskipun terhalang oleh jarak yang begitu jauh? Banyak pertanyaan yang memenuhi pikirannya, namun satu hal yang pasti perasaan yang ia rasakan saat ini sangat nyata.

Hari-hari berlalu, dan semakin hari, rindu itu semakin dalam. Alya menyadari bahwa perasaannya terhadap Raka bukan hanya sekadar perasaan suka atau tertarik. Ini lebih dari itu. Rasa yang tumbuh dalam hatinya adalah perasaan yang sulit dijelaskan, perasaan yang tak bisa disangkal meskipun ada begitu banyak alasan untuk meragukannya. Jarak, waktu, perbedaan budaya semuanya seolah menjadi halangan yang tak bisa dihindari. Namun, justru di sanalah letak keindahannya. Meskipun terpisah, mereka berdua tetap berusaha untuk menjaga hubungan ini tetap hidup.

Di malam hari, sebelum tidur, Alya sering sekali membuka kembali pesan-pesan dari Raka. Pesan-pesan yang mengingatkannya pada tawa dan obrolan ringan mereka, yang walaupun tidak selalu tentang hal-hal besar, selalu memberi rasa nyaman. Terkadang, Raka mengirimkan foto atau video singkat tentang kehidupannya di Belanda sebuah pemandangan salju yang lebat, langit yang tampak kelabu, atau sekedar video dirinya sedang menikmati secangkir kopi hangat di kafe kecil. Setiap kali melihat foto atau video itu, Alya merasa seperti berada di sana bersamanya, menikmati setiap detik yang lewat.

Namun, rasa rindu itu datang dengan intensitas yang tak bisa dihindari. Rindu yang membuatnya ingin melangkah lebih jauh, menembus batas-batas jarak dan waktu. Terkadang, saat dia menatap langit malam, pikirannya melayang kepada Raka. Apakah ia juga menatap bintang yang sama? Apakah mereka melihat dunia yang sama meski berada di tempat yang begitu jauh? Rindu itu datang tanpa ampun, menghampirinya ketika dia sedang berjalan di tepi pantai, ketika angin laut meniup rambutnya, atau ketika ia menikmati secangkir teh di malam hari. Rindu itu seperti angin yang tak bisa ditangkap, namun selalu ada di sana, membisikkan kata-kata manis yang ingin ia ucapkan pada Raka.

Tapi pada saat yang bersamaan, ada kebingungan dalam dirinya. Apakah Raka merasakan hal yang sama? Rindu yang sama? Atau hanya dirinya yang terjerat dalam perasaan ini? Perasaan itu begitu kuat, namun ada keraguan yang menyertainya. Bagaimana jika Raka tidak merasakan hal yang sama? Bagaimana jika perasaan ini hanya ada dalam benaknya saja, dan Raka hanya menganggapnya sebagai teman bicara di tengah kesepiannya?

Di sisi lain, Raka juga merasakan hal yang serupa. Setiap malam sebelum tidur, ia duduk di depan jendela kamarnya, menatap bintang-bintang yang berkelip di langit. Ia sering membayangkan Alya di sana, di ujung dunia yang berbeda. Ia merasa seolah-olah mereka berada dalam satu dunia yang sama, berbagi cerita, meskipun terhalang oleh lautan dan benua. Ada saat-saat ketika ia merasa sangat dekat dengan Alya, bahkan lebih dekat daripada teman-teman yang ada di sekitarnya.

Rindu ini, kata Raka dalam hatinya, mungkin adalah ujian pertama bagi mereka. Ujian yang harus mereka hadapi untuk melihat seberapa kuat hubungan ini. Karena mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, dan meskipun jarak memisahkan, mereka harus belajar untuk tetap percaya bahwa rindu ini adalah bagian dari proses. Proses untuk membangun sesuatu yang lebih besar, yang lebih berarti.

Pada suatu malam, saat rasa rindu itu hampir tidak tertahankan, Raka akhirnya mengirimkan sebuah pesan lagi.

Raka:
“Alya, aku rasa kita harus melawan rasa rindu ini. Kita harus percaya bahwa suatu saat nanti, kita akan bertemu dan rasa ini akan menjadi nyata. Aku ingin kita terus berbicara, terus berbagi, sampai saat itu datang.”

Alya tersenyum membaca pesan itu. Pesan yang begitu sederhana, namun begitu dalam maknanya. Di balik pesan itu, ia bisa merasakan komitmen dan keinginan Raka untuk terus menjaga hubungan ini. Rindu yang mereka rasakan bukanlah halangan, tapi justru menjadi kekuatan yang semakin mengikat mereka.

Alya:
“Aku juga percaya itu, Raka. Aku percaya kita bisa melewati ini, dan suatu saat nanti, kita akan bersama. Sampai saat itu datang, aku akan menunggu, dengan rindu yang terus tumbuh.”

Dengan pesan itu, Alya menutup hari-harinya dengan perasaan yang lebih tenang. Meskipun rindu itu masih ada, ia tahu bahwa mereka berdua sedang berjalan menuju sebuah tujuan yang sama. Tujuan yang jauh, namun penuh dengan harapan.

Karena di antara jarak yang memisahkan mereka, ada satu hal yang tak akan pernah terpisah cinta yang tumbuh dari rindu.*

Bab 3  Ujian Cinta

Hari demi hari berlalu, dan meskipun rasa rindu semakin dalam, tantangan yang lebih besar kini mulai muncul. Bukan hanya jarak yang semakin terasa, tetapi juga waktu yang terus menguji sejauh mana mereka bisa bertahan dalam hubungan yang terjalin melalui layar kaca. Meski tak ada yang bisa mempersiapkan mereka untuk ini, mereka tahu bahwa cinta yang sejati akan diuji dengan berbagai cara dan kali ini, ujian itu datang dalam bentuk keraguan dan perbedaan yang tak terhindarkan.

Alya duduk di depan layar ponselnya, menatap pesan dari Raka yang baru saja diterimanya. Terkadang, pesan-pesan singkat itu begitu menghangatkan hatinya, namun beberapa kata dalam pesan kali ini terasa sedikit berbeda. Ada jarak yang tak biasa dalam kata-kata Raka, seperti ada keraguan yang melayang di udara.

Raka:
“Alya, aku mulai merasa… kesulitan. Kita semakin sering berbicara, dan semakin banyak yang aku ketahui tentangmu, tapi aku merasa ada hal yang belum kita bahas. Jarak ini semakin terasa, dan aku mulai bertanya-tanya apakah aku benar-benar bisa menjaga hubungan ini.”

Alya terdiam sejenak, membaca ulang pesan itu dengan hati-hati. Ada kekhawatiran yang jelas dalam kata-kata Raka. Kekhawatiran yang sama dengan yang ia rasakan, meskipun ia mencoba menyembunyikannya. Apakah Raka benar-benar merasa seperti itu? Atau hanya perasaan sementara yang muncul karena tekanan waktu dan jarak? Rasa cemas yang tiba-tiba datang membuat hati Alya berdebar lebih kencang.

Ia segera membalas pesan itu, mencoba untuk tetap tenang meski hatinya dipenuhi kebingungan.

Alya:
“Aku mengerti, Raka. Aku juga merasakannya. Jarak ini memang tidak mudah, dan kadang aku merasa sangat terpisah darimu meskipun kita sering berbicara. Tapi apakah kita harus menyerah begitu saja? Aku tidak ingin itu terjadi.”

Alya memandangi layar ponselnya dengan penuh harap, menunggu balasan dari Raka. Beberapa menit berlalu, dan akhirnya ponselnya bergetar. Raka membalas, tetapi kali ini dengan kata-kata yang lebih terbuka, meskipun masih terasa ragu.

Raka:
“Aku tidak ingin menyerah, Alya. Aku benar-benar menyukaimu, dan aku merasa sangat dekat denganmu. Tapi kadang aku berpikir, apa benar ini semua bisa berjalan? Bagaimana jika suatu hari kita merasa bahwa kita sudah terjebak dalam bayang-bayang harapan, dan bukan kenyataan? Aku takut kita akan terluka, dan aku tidak tahu apakah aku siap untuk itu.”

Pesan itu menghujam perasaan Alya. Ia tahu Raka merasa cemas, dan ia juga merasakannya. Ada ketakutan yang mulai tumbuh, ketakutan akan kenyataan yang harus dihadapi suatu saat nanti—kenyataan bahwa meskipun cinta ada, jarak dan waktu bisa mengubah segalanya. Namun, di sisi lain, ada perasaan kuat yang tak bisa mereka abaikan. Cinta mereka terasa begitu nyata meskipun hanya melalui pesan dan suara di ujung telepon.

Alya menghembuskan napas panjang sebelum mengetik balasan. Ia tahu bahwa mereka sedang berada di persimpangan, di mana keputusan-keputusan besar harus diambil. Ia tidak ingin Raka merasa ragu, namun ia juga tidak bisa menyembunyikan keraguannya sendiri.

Alya:
“Raka, aku paham kalau ini bukan hal yang mudah. Kita berdua harus menghadapinya bersama, dengan segala keraguan yang ada. Tapi aku ingin kita terus mencoba. Aku tidak ingin kita berhenti di sini hanya karena ketakutan kita terhadap apa yang mungkin terjadi. Aku percaya kita bisa melaluinya, asalkan kita terus saling berkomunikasi dan saling mendukung.”

Beberapa detik setelah itu, ponselnya kembali bergetar. Alya menatap layar dengan penuh harap. Balasan Raka kali ini agak lebih tegas.

Raka:
“Aku ingin percaya itu, Alya. Aku tidak ingin menyerah, tapi aku juga takut. Aku takut kita hanya akan saling melukai diri sendiri. Bagaimana jika kita sudah terlalu terikat dengan rasa rindu dan harapan yang besar, tapi kenyataannya kita tidak bisa bersatu?”

Alya menundukkan kepala, memikirkan kata-kata itu. Ia tahu bahwa Raka sedang berjuang melawan perasaan yang sama dengan dirinya. Ada ketakutan akan kehilangan, ketakutan akan mencintai seseorang yang tidak bisa dijangkau. Dan ia tahu, ujian cinta ini memang bukan hanya tentang merasakan perasaan yang dalam, tetapi juga tentang keberanian untuk menghadapi ketakutan itu.

Alya:
“Aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi di masa depan, Raka. Tapi yang aku tahu, kita sudah mencoba untuk membuat ini berhasil. Jika kita terus berusaha dan saling memberi dukungan, aku percaya kita bisa melewati ini. Tidak ada yang mudah, dan aku juga takut, tetapi aku tidak ingin membiarkan rasa takut itu menghalangi kita. Mari kita berjalan bersama, meskipun langkah-langkah kita kecil.”

Setelah mengirimkan pesan itu, Alya merasakan sebuah beban yang sedikit terangkat. Ia tahu bahwa mereka masih harus menghadapi banyak hal, tetapi setidaknya mereka tidak menghadapinya sendirian. Raka telah membuka perasaannya, dan ia merasa terhubung lebih dalam dengan pria itu, meskipun mereka terpisah oleh jarak dan waktu.

Alya menunggu balasan Raka. Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar lagi. Kali ini, balasan Raka terasa lebih hangat, meskipun masih ada ketidakpastian di dalamnya.

Raka:
“Aku ingin mencoba, Alya. Aku ingin kita berjuang bersama. Mungkin kita tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku merasa bahwa cinta kita memiliki kekuatan untuk mengatasi segala rintangan. Aku tidak ingin kita menyerah hanya karena ketakutan. Jadi, ayo kita jalani ini, bersama-sama.”

Alya tersenyum kecil, merasa lega. Meskipun masih banyak keraguan yang mengapung di udara, ada komitmen dalam kata-kata Raka yang membuatnya merasa lebih yakin. Mereka akan berjuang bersama. Mereka akan menghadapi ujian ini dengan segala ketakutan dan keraguan yang ada.

Di luar jendela, langit senja mulai berubah menjadi oranye keemasan. Alya menatapnya, merasa sedikit lebih tenang. Cinta mereka mungkin sedang diuji, tetapi ia yakin, jika mereka tetap saling percaya dan berusaha, tidak ada yang tak mungkin.

Ujian cinta ini baru dimulai, dan meskipun tidak ada jaminan bahwa semuanya akan berjalan mulus, satu hal yang pasti mereka berdua tidak akan menyerah. Mereka akan terus berjuang, bersama, meskipun jarak masih memisahkan mereka. Karena dalam hati mereka, cinta ini lebih besar dari segala keraguan dan ketakutan yang ada.*

Bab 4  Jarak yang Menguji Kesabaran

Hari-hari yang berlalu semakin terasa berat. Setiap detik, setiap menit, jarak yang memisahkan Alya dan Raka semakin membebani hati mereka. Meskipun komunikasi tetap berjalan lancar, entah melalui pesan teks, panggilan suara, atau video call, rasa rindu itu tak pernah bisa terobati. Rasanya seperti ada ruang hampa yang tidak bisa diisi, ruang yang hanya bisa dirasakan saat melihat mata orang yang kita cintai, mendengar tawa mereka yang begitu akrab, atau merasakan pelukan yang menenangkan hati. Namun, itu semua hanyalah kenangan yang tersisa dari beberapa percakapan virtual mereka.

Alya duduk di beranda rumahnya, memandang matahari yang perlahan tenggelam di balik horizon. Laut yang luas di depan matanya seperti menggambarkan jarak yang begitu jauh antara dirinya dan Raka. Ia mengangkat ponsel, membuka galeri foto, dan melihat kembali beberapa gambar yang pernah mereka kirimkan satu sama lain foto-foto dari kehidupan masing-masing yang jauh, namun terasa begitu dekat. Ada foto dirinya yang sedang duduk di taman, atau sekadar mengunjungi kafe kesukaannya. Ada juga foto Raka yang sedang berdiri di depan kafe kecil di Belanda, dengan latar belakang salju yang turun pelan.

Namun, meskipun foto-foto itu mengingatkannya pada tawa, pada kenyamanan yang mereka bagi, Alya tak bisa menahan diri dari perasaan kesepian yang menggelayuti hatinya. Rindu itu semakin menyesakkan dada, dan semakin lama, semakin sulit untuk bertahan. Setiap kali mereka berbicara, perasaan itu datang, meskipun mereka berusaha menyembunyikannya. Mereka sudah sering berbicara tentang harapan mereka tentang masa depan yang mungkin akan mereka jalani bersama tapi tak ada yang bisa menjamin bahwa impian itu akan menjadi kenyataan.

Raka juga merasakannya. Meskipun ia tinggal ribuan kilometer jauh dari Alya, ia tahu bahwa mereka sedang berada di persimpangan besar. Jarak ini bukan hanya menguji perasaan mereka, tetapi juga menguji kemampuan mereka untuk bertahan, untuk sabar menunggu saat mereka akhirnya bisa bertemu.

Satu minggu tanpa kabar yang cukup lama membuatnya merasa cemas. Raka sedang sibuk dengan pekerjaannya, dan ia tidak ingin mengganggu, tapi perasaan tidak terucapkan itu mulai membebani pikirannya. Mungkinkah Alya merasa bahwa hubungan ini mulai terasa memberatkan? Atau mungkin perasaan mereka sudah mulai memudar, meskipun mereka belum bertemu secara langsung?

Ia membuka aplikasi pesan dan mengetikkan kata-kata yang hampir tidak terucapkan. Keraguan dan kebingungannya mengalir begitu saja, dan ia merasa tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Akhirnya, Raka mengirimkan pesan kepada Alya.

Raka:
“Alya, aku tahu mungkin aku terlalu sering mengganggumu dengan keraguanku. Tapi aku hanya merasa… semakin lama, semakin sulit untuk menghadapinya. Aku mulai merasa terjebak dalam jarak ini, dan aku takut aku mulai kehilangan arah. Aku tahu ini salah, tapi aku merasa semakin terpisah darimu, bahkan ketika kita berbicara.”

Pesan itu membuat hati Alya berdebar. Ada ketakutan dalam kata-kata itu, ketakutan yang sama dengan yang ia rasakan. Jarak ini tidak hanya memisahkan mereka secara fisik, tetapi juga secara emosional. Mereka bisa saling mengirim pesan, berbicara lewat telepon, tapi tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran fisik. Tidak ada yang bisa menggantikan tatapan mata yang dalam, atau sentuhan tangan yang menenangkan.

Namun, Alya tidak ingin membuat Raka merasa lebih tertekan. Ia menahan diri untuk tidak memberikan jawaban yang terburu-buru, dan akhirnya ia mengetik pesan balasan.

Alya:
“Aku mengerti perasaanmu, Raka. Aku juga merasa kesulitan dengan jarak ini. Setiap kali kita berbicara, rasanya ada bagian dari diriku yang hilang, seolah-olah aku tidak sepenuhnya ada di sini. Aku merasa kita sedang berjuang melawan sesuatu yang lebih besar dari kita—dan itu adalah waktu dan jarak. Tapi aku tidak ingin kita menyerah. Aku ingin kita tetap bertahan, meskipun sulit.”

Alya memandangi balasan itu, berharap bahwa kata-katanya bisa memberikan sedikit ketenangan. Namun, setelah mengirimkan pesan itu, ia merasa kebingungannya tidak juga hilang. Bagaimana jika Raka merasa bahwa ini bukan hubungan yang bisa bertahan lama? Bagaimana jika akhirnya mereka menyerah karena rindu yang tak teratasi dan ketidakpastian yang semakin menggerogoti kepercayaan mereka?

Beberapa menit kemudian, balasan dari Raka muncul.

Raka:
“Alya, aku juga tidak ingin menyerah. Aku ingin kita tetap berusaha. Aku tahu kita harus sabar, dan aku sadar bahwa kesabaran kita akan diuji lebih lama lagi. Tetapi aku hanya ingin memastikan, apakah kita benar-benar bisa menghadapinya? Jarak ini begitu berat, dan setiap kali kita berbicara, aku merasa semakin jauh darimu.”

Alya merasa hatinya hancur saat membaca pesan itu. Raka merasa semakin jauh, dan Alya bisa merasakan hal yang sama. Namun, ia tahu bahwa tidak ada jalan pintas untuk mengatasi ini. Mereka harus berusaha, harus sabar, dan harus terus percaya bahwa suatu hari nanti, semua ini akan berakhir dengan kebahagiaan.

Alya memejamkan matanya sejenak, meresapi kata-kata yang baru saja ia kirimkan. Ia tahu ini bukan hanya ujian untuk Raka, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Menghadapi perasaan rindu yang tak terperikan, menghadapi ketidakpastian yang menunggu di masa depan, dan menghadapi ketakutan akan kehilangan orang yang kita cintai adalah hal yang paling sulit. Tetapi ia juga tahu bahwa cinta sejati membutuhkan waktu, dan waktu itu hanya bisa ditempuh dengan kesabaran.

Alya:
“Raka, aku tahu kita sedang berada dalam ujian besar. Tapi aku percaya bahwa cinta kita bisa bertahan, asalkan kita tidak menyerah. Aku tidak tahu bagaimana kita akan melaluinya, tetapi aku yakin kita bisa menemukan jalan. Kita hanya perlu sabar dan saling memberi dukungan, bahkan ketika jarak ini terasa terlalu besar untuk diatasi.”

Pesan itu ditulis dengan hati-hati, seakan ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa mereka masih bisa berjuang. Raka membutuhkan keteguhan, dan Alya merasa harus menjadi sumber kekuatan bagi mereka berdua.

Beberapa detik kemudian, Raka membalas pesan itu.

Raka:
“Aku ingin percaya padamu, Alya. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tetapi aku akan berusaha. Mungkin kita harus lebih sabar lagi, meskipun kadang rasanya hampir tak tertahankan. Tapi aku ingin berjuang untuk ini. Aku ingin kita tetap bersama.”

Alya tersenyum tipis setelah membaca balasan itu. Meskipun masih ada keraguan dan ketakutan, mereka berdua akhirnya bisa bersepakat untuk terus berjuang. Mungkin jarak ini akan semakin menguji kesabaran mereka, namun mereka tahu bahwa tidak ada cinta yang mudah—semuanya membutuhkan perjuangan.

Langit senja semakin gelap, dan angin laut mulai berhembus lebih kencang. Alya menatap laut yang tak henti-hentinya bergulung, sama seperti perasaan yang mengalir dalam dirinya. Jarak ini memang sulit, namun selama mereka berdua saling berpegang pada keyakinan yang sama, tidak ada yang tak bisa dilalui. Cinta, seperti ombak yang datang dan pergi, selalu menemukan jalannya meskipun harus melewati banyak rintangan.

Alya:
“Kita akan melaluinya, Raka. Bersama.”

Dengan pesan itu, Alya merasa sedikit lebih tenang. Meskipun ujian ini masih panjang, ia tahu bahwa cinta mereka adalah alasan untuk terus bertahan.*

Bab 5  Keputusan untuk Bertemu

Beberapa bulan telah berlalu sejak percakapan panjang tentang rindu dan keraguan itu. Jarak yang memisahkan Alya dan Raka masih tetap ada, tetapi rasa cinta yang tumbuh di antara mereka semakin kuat seiring berjalannya waktu. Meskipun tidak ada jaminan, keduanya sudah berkomitmen untuk tetap bertahan, saling mendukung meskipun keterpisahan itu sering kali terasa terlalu berat.

Namun, ada sesuatu yang berubah dalam diri mereka. Sesuatu yang telah mereka hindari selama ini, sesuatu yang akhirnya mereka akui—mereka tidak bisa terus-menerus hidup dalam bayang-bayang rindu tanpa bertindak. Mereka perlu bertemu. Ini adalah langkah besar yang harus diambil, keputusan yang tidak bisa ditunda lagi.

Pagi itu, Alya sedang duduk di teras rumah, menikmati secangkir kopi sambil memandang laut. Pikirannya melayang, teringat kembali percakapan mereka beberapa malam yang lalu. Raka, yang kini sudah jarang mengirim pesan panjang, mengungkapkan kerinduannya yang semakin tak tertahankan. Ada nada yang berbeda dalam suaranya saat mereka berbicara melalui telepon, seperti ada keinginan yang kuat untuk segera bertemu. Dan Alya bisa merasakannya dengan sangat jelas.

Terkadang, rindu yang mendalam memang bisa menggerakkan hati untuk bertindak. Alya merasa, mungkin inilah saat yang tepat. Ia membuka ponselnya, menulis pesan untuk Raka.

Alya:
“Raka, aku rasa kita sudah cukup lama terjebak dalam rindu yang tak terpecahkan. Aku tahu kita berdua takut, tapi aku mulai merasa bahwa kita perlu bertemu. Tidak hanya melalui layar, tapi sungguh-sungguh bertemu, berada di tempat yang sama. Aku ingin tahu bagaimana rasanya berada di sampingmu, merasakan kehadiranmu yang nyata. Bagaimana menurutmu?”

Pesan itu keluar begitu saja, tanpa berpikir panjang. Ia tahu ini adalah keputusan besar, tapi perasaan yang menyesakkan di dadanya tak bisa lagi ditahan. Ia ingin melangkah lebih jauh, untuk tahu apakah hubungan ini bisa bertahan di dunia nyata, bukan hanya di dunia maya.

Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar. Raka membalas, dan saat membaca balasannya, hati Alya mulai berdebar lebih kencang.

Raka:
“Aku juga merasakannya, Alya. Aku takut untuk mengatakannya, tetapi aku ingin sekali bertemu denganmu. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa aku ingin berada di sana, melihatmu, berbicara denganmu secara langsung. Aku rasa ini saat yang tepat. Tapi aku harus jujur, aku juga merasa cemas. Apa yang akan terjadi setelah kita bertemu? Bagaimana jika kita tidak cocok setelah berada di dunia nyata?”

Alya tersenyum membaca pesan itu. Keraguan Raka sama dengan keraguan yang ada dalam dirinya. Bertemu secara langsung berarti membuka babak baru dalam hubungan mereka menghadapi kenyataan setelah sekian lama hidup dalam impian dan harapan yang terjalin melalui percakapan dan panggilan video. Tapi Alya juga tahu, bahwa hanya dengan bertemu mereka akan tahu apakah cinta ini bisa bertahan lebih lama atau tidak.

Alya:
“Aku juga merasa cemas, Raka. Tapi kita tidak akan pernah tahu jika tidak mencobanya. Aku yakin kita bisa menemukan cara untuk menghadapinya, bersama-sama. Kita sudah berjuang begitu lama untuk sampai pada titik ini, jadi kenapa tidak mengambil langkah besar berikutnya?”

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Raka akhirnya membalas lagi.

Raka:
“Kamu benar. Mungkin ini adalah langkah yang harus kita ambil. Aku setuju, Alya. Aku ingin bertemu denganmu. Kita akan melaluinya, apapun yang terjadi. Aku tidak ingin lagi hanya berbicara lewat layar. Aku ingin berada di sana, denganmu.”

Alya menatap layar ponselnya, merasa ada angin segar yang datang begitu saja. Hatinya terasa lebih ringan, meskipun ketegangan belum sepenuhnya hilang. Mereka sudah membuat keputusan besar, keputusan yang bisa mengubah segala sesuatunya. Bertemu berarti mereka harus menghadapi kenyataan, dan kenyataan itu bisa jadi lebih sulit dari apa yang mereka bayangkan. Tetapi mereka tidak bisa terus hidup dalam keraguan. Mereka harus berani mengambil langkah itu.

Malam itu, saat mereka berbicara melalui telepon, semuanya terasa lebih nyata. Raka bercerita tentang rencananya untuk terbang ke Indonesia, tentang bagaimana ia akan mempersiapkan perjalanan panjangnya. Alya mendengarkan dengan hati yang penuh harapan. Ia bisa merasakan kegembiraan di dalam suara Raka, meskipun masih ada sedikit ketegangan.

Raka:
“Aku sudah mencari tiket pesawat, Alya. Aku ingin datang dalam dua minggu. Itu mungkin kedengarannya cepat, tetapi aku tidak ingin menunda lagi. Aku ingin segera bertemu denganmu.”

Alya terdiam sejenak, mencoba memproses apa yang baru saja dikatakan Raka. Dua minggu lagi. Artinya, ia hanya punya sedikit waktu untuk mempersiapkan diri. Tapi lebih dari itu, ia harus mempersiapkan hatinya. Bertemu dengan Raka berarti menghadapi kenyataan yang selama ini hanya ada dalam pikiran dan percakapan mereka.

Alya:
“Dua minggu… itu terasa seperti mimpi yang hampir jadi kenyataan. Aku senang, Raka. Aku juga ingin segera bertemu denganmu. Tapi… apakah kita sudah siap? Bagaimana jika ternyata kita merasa tidak sama setelah bertemu?”

Raka tertawa kecil di ujung telepon, suara yang membuat hati Alya sedikit lebih tenang.

Raka:
“Kita akan siap, Alya. Kita sudah berjuang begitu lama, dan kita pasti bisa melaluinya. Jangan khawatir, kita akan menemukan cara.”

Setelah percakapan itu, Alya merasa lebih yakin. Meskipun keraguan dan kecemasan masih ada, ia tahu ini adalah langkah yang benar. Jika cinta ini memang untuk mereka, maka pertemuan ini akan menjadi titik balik dalam perjalanan mereka. Jika tidak, maka mereka akan belajar darinya dan melanjutkan hidup mereka masing-masing.

Alya menatap langit malam yang penuh bintang, merasa ada kehangatan yang mulai muncul dalam hatinya. Dalam dua minggu, ia akan bertemu dengan pria yang selama ini hanya ada dalam cerita dan percakapan. Dan meskipun banyak ketakutan dan pertanyaan yang belum terjawab, ia tahu satu hal pasti: mereka telah membuat keputusan yang benar.

Tentu saja, tidak ada yang bisa memprediksi masa depan. Tetapi untuk pertama kalinya, Alya merasa bahwa ia siap untuk menjalani masa depan itu, apapun yang terjadi. Dan yang lebih penting, ia tahu bahwa Raka juga siap. Mereka akan menghadapi dunia nyata bersama akhirnya.*

Bab 6  Pertemuan yang Menyentuh

Alya sudah berada di bandara sejak pagi, merasa detak jantungnya semakin cepat seiring waktu yang semakin mendekati kedatangan Raka. Ia duduk di ruang tunggu dengan tangan yang gemetar, menatap layar ponselnya untuk mengecek pesan terakhir yang diterima beberapa jam yang lalu. “Aku sudah sampai di bandara, Alya. Aku tidak sabar untuk bertemu denganmu.” Pesan itu datang dengan cepat, dan sejak saat itu, waktu terasa berjalan begitu lambat, seperti setiap detik adalah menit yang tak berkesudahan.

Ia melihat jam di tangan, dan matanya menangkap angka yang menunjukkan hanya beberapa menit lagi. Sebuah perasaan hangat mengalir dalam dirinya, namun ada juga rasa takut yang mengikutinya. Apakah mereka benar-benar siap untuk pertemuan ini? Apakah mereka bisa beradaptasi dengan kehadiran satu sama lain setelah sekian lama hanya berhubungan lewat pesan dan panggilan suara?

Rasa rindu yang selama ini menghimpit dada kini berubah menjadi kecemasan yang tak terdefinisikan. Apa yang akan mereka lakukan setelah bertemu? Apa yang akan terjadi jika kenyataan tidak seindah impian? Raga yang sudah lama tidak bertemu bisa jadi berbeda dari yang dibayangkan. Namun, di sisi lain, perasaan itu juga dipenuhi dengan harapan harapan untuk melihat Raka dengan mata kepala sendiri, mendengarkan suaranya tanpa layar yang membatasi, dan merasakan kehadirannya yang nyata.

Alya berusaha menenangkan dirinya. Ia menarik napas panjang dan berdiri dari kursi, matanya menelusuri keramaian yang ada di sekitar. Tak lama kemudian, ia mendengar pengumuman bahwa penerbangan dari Amsterdam baru saja mendarat. Hatinya berdebar semakin kencang, dan ia berjalan menuju pintu kedatangan, mencoba menenangkan pikiran yang kacau.

Suasana di sekitar mulai terasa lebih hidup. Banyak orang yang menunggu dengan penuh harapan, menanti kedatangan orang-orang yang mereka cintai. Namun, Alya merasa seolah-olah seluruh dunia hanya berputar di sekelilingnya. Ia hanya ingin melihat satu wajah wajah Raka.

Setiap orang yang keluar dari pintu kedatangan membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Namun, tidak ada tanda-tanda Raka. Ia mencari dengan cemas di antara kerumunan, menatap wajah-wajah asing yang berlalu-lalang. Apakah Raka sudah keluar? Atau mungkin pesawatnya terlambat?

Tiba-tiba, matanya tertuju pada seorang pria yang sedang berdiri di ujung pintu, sedikit ragu-ragu seolah-olah ia juga sedang mencari seseorang. Alya menatapnya, dan dalam sekejap, dunia seperti berhenti berputar. Wajah itu. Sosok itu. Raka.

Alya merasakan tenggorokannya tercekat, dan dalam satu langkah cepat, ia berjalan mendekat ke arah Raka. Pria itu, yang sudah jauh-jauh datang dari benua yang berbeda, masih terlihat sedikit bingung, tapi ketika matanya bertemu dengan mata Alya, senyum itu langsung terukir di wajahnya.

Tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulut Alya saat itu. Ia hanya bisa mempercepat langkahnya dan langsung melangkah ke dalam pelukan Raka, merasakan kehangatan tubuhnya yang menyelimuti dirinya. Raka membalas pelukan itu dengan lembut, seolah-olah ia tidak ingin melepaskan Alya.

Alya menutup matanya, menikmati momen itu. Semua rasa takut dan keraguan yang ada dalam dirinya menguap begitu saja, seolah-olah hilang tanpa bekas. Ini nyata. Raka ada di sini, di depannya, bukan hanya dalam layar ponsel atau melalui panggilan video. Ia bisa merasakan napas Raka, bisa mendengar detak jantungnya yang semakin cepat, dan merasakan sentuhan tangan yang sudah begitu lama ia rindukan.

“Alya,” Raka akhirnya berkata, suaranya penuh kelegaan. “Aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Ini seperti mimpi.” Ia melanjutkan, meskipun suaranya sedikit terbata, “Aku sudah menunggu momen ini begitu lama.”

Alya tersenyum dan melepaskan pelukan sedikit, memandang Raka dengan mata yang berbinar. “Aku juga, Raka. Rasanya… rasanya semuanya menjadi lebih nyata sekarang.”

Raka memandang Alya dengan penuh perhatian, dan matanya menyiratkan banyak perasaan. “Aku… aku takut aku tidak akan tahu bagaimana caranya setelah kita bertemu. Aku khawatir ini tidak akan seindah yang kita bayangkan. Aku takut kita… berubah.”

Alya tertawa pelan, meskipun ada sedikit rasa gugup di sana. “Kita tidak akan tahu, Raka. Tapi kita sudah berani mengambil langkah ini. Aku percaya pada kita.”

Raka mengangguk, seolah-olah meyakinkan dirinya sendiri. “Aku juga. Aku percaya kita bisa melaluinya.”

Mereka berdua berjalan bersama ke luar bandara, langkah mereka seirama. Alya merasa dunia ini menjadi tempat yang jauh lebih hangat ketika Raka ada di sisinya. Ada banyak hal yang ingin mereka bicarakan, tetapi untuk saat ini, mereka memilih untuk diam dan menikmati momen kebersamaan ini.

Saat mereka keluar dari bandara, Alya teringat sesuatu. “Raka, kita… harus memutuskan ke mana kita akan pergi. Aku tidak tahu harus bagaimana.”

Raka menoleh, matanya menyiratkan kebingungannya, tetapi kemudian ia tersenyum dengan tenang. “Aku akan mengikuti kamu, kemanapun kamu ingin pergi. Yang penting, aku ingin bersama kamu.”

Alya merasakan perasaan aneh mengalir dalam dirinya. Ini pertama kalinya ia merasa sepenuhnya hidup karena pada akhirnya, ia tahu bahwa perasaan yang mereka alami adalah cinta yang sebenarnya. Cinta yang tidak hanya tertanam di hati, tetapi yang sekarang bisa dirasakan dengan seluruh indera.

Mereka berjalan bersama ke arah takdir yang belum jelas, namun kini terasa lebih pasti. Tidak ada lagi yang menghalangi mereka. Tidak ada lagi jarak yang membatasi mereka. Setiap langkah yang mereka ambil kini adalah langkah menuju kebersamaan, menuju perjalanan yang baru.

Sesampainya di tempat tujuan, Alya dan Raka duduk di tepi pantai, menikmati suara ombak yang mengalun lembut. Mereka tidak berkata banyak. Tidak ada kata-kata yang diperlukan saat hati mereka sudah saling mengerti. Mereka hanya duduk bersama, berbagi ketenangan, meresapi perasaan yang begitu penuh dan nyata.

Sinar matahari yang perlahan menghilang di ufuk barat memberikan nuansa hangat pada momen itu. Mungkin pertemuan mereka bukanlah akhir dari perjalanan mereka, tetapi sebuah permulaan yang menandai babak baru dalam kisah cinta mereka yang tak lagi terhalang oleh jarak.

Dan di sana, di bawah langit yang sama, mereka menyadari satu hal: cinta mereka, yang telah melewati banyak ujian dan jarak, akhirnya menemukan jalannya.*

Bab 7  Melihat Masa Depan Bersama

Hari sudah senja ketika Alya dan Raka duduk di bangku panjang dekat pantai, menikmati semburat langit yang berubah menjadi merah jambu dan ungu. Debur ombak yang menerpa pantai seakan mengiringi perasaan mereka yang semakin kuat, menguatkan keyakinan bahwa pertemuan ini bukanlah akhir dari perjalanan mereka, tetapi langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar sesuatu yang lebih nyata.

Alya menatap horizon yang luas, matanya terfokus pada laut yang tampak tak berujung. Ia merasa damai, meskipun jauh di dalam hati, ada begitu banyak pertanyaan tentang masa depan mereka. Jarak yang dulunya menjadi penghalang kini telah hilang, tetapi pertanyaan tentang bagaimana mereka akan menghadapinya bersama tetap ada.

Raka yang duduk di sampingnya menoleh, tangannya meraih tangan Alya dengan lembut. “Alya,” suaranya lembut, namun penuh harap, “kamu tahu, aku merasa sangat beruntung bisa berada di sini denganmu. Setelah berbulan-bulan hanya berbicara lewat layar, akhirnya kita bisa berada di satu tempat, di satu waktu. Aku merasa seperti kita sudah melewati banyak hal bersama. Tapi aku juga merasa ini baru permulaan.”

Alya menggenggam tangan Raka, merasakan kehangatan yang sudah lama ia rindukan. “Aku juga merasa seperti itu,” jawabnya, suara seraknya menunjukkan betapa emosionalnya ia saat itu. “Raka, aku… aku selalu khawatir kalau kita bertemu, kita tidak akan sama seperti yang kita bayangkan. Tapi ternyata aku salah. Ini lebih dari apa yang aku harapkan. Aku merasa kita… kita memang ditakdirkan untuk bertemu.”

Raka tersenyum, senyum yang penuh dengan rasa lega dan kebahagiaan. “Aku juga merasa seperti itu. Tapi Alya, kita harus realistis juga, kan? Setelah semua ini, setelah bertemu, kita harus berpikir tentang masa depan kita. Bagaimana kita akan menjalani kehidupan kita bersama, dengan jarak yang mungkin masih akan ada? Bagaimana kita bisa membuat semuanya bekerja?”

Pertanyaan itu membuat Alya terdiam sejenak, matanya tertutup seolah mencoba merenung dalam-dalam. Tentu saja, setelah bertemu, kehidupan mereka tidak serta merta menjadi mudah. Masih ada banyak tantangan yang harus mereka hadapi—terutama mengenai jarak yang masih bisa menghalangi. Raka tinggal di luar negeri, dan Alya berada di Indonesia. Mereka tahu bahwa meskipun pertemuan ini sangat berarti, dunia nyata tidak selalu menawarkan kemudahan.

Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya yakin bahwa mereka bisa melakukannya. “Aku tahu,” jawabnya, membuka mata dan menatap Raka dengan serius. “Aku tahu ada banyak hal yang harus kita pikirkan. Tapi, Raka, aku juga tahu satu hal: kita bisa melaluinya. Aku percaya kita bisa menghadapi apa pun yang datang, selama kita bersama.”

Raka mengangguk perlahan, masih menggenggam tangan Alya dengan erat. “Kita bisa melaluinya,” katanya, meyakinkan dirinya sendiri. “Tapi, Alya, apa yang kamu harapkan untuk masa depan kita? Apa yang kamu inginkan dari hubungan ini? Aku ingin tahu, agar kita bisa membangun rencana bersama.”

Alya menunduk sejenak, mencoba merangkai kata-kata dalam benaknya. Ia memang belum terlalu banyak berpikir tentang masa depan mereka—selama ini ia hanya hidup dalam kenyataan saat ini, merasakan kebersamaan mereka di setiap detik. Namun, saat Raka bertanya begitu serius, ia sadar bahwa mereka perlu merencanakan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bisa membuat mereka tetap bersama, meskipun jarak dan waktu terus menguji mereka.

“Aku ingin kita bisa tinggal di satu tempat,” jawab Alya dengan hati-hati. “Aku ingin kita bisa membangun hidup bersama, tanpa lagi terpisah oleh jarak atau waktu. Aku ingin kita bisa saling mendukung, melalui apapun yang terjadi. Aku ingin masa depan yang tidak hanya terdiri dari panggilan video atau pesan singkat. Aku ingin merasakan hidup bersama, sehari-hari.”

Raka menatapnya dengan penuh perhatian, seolah mencerna kata-kata Alya. “Aku juga ingin itu, Alya. Aku ingin kita bisa membuat rumah bersama, membuat kehidupan yang indah bersama. Tapi… kita tahu bahwa itu tidak mudah, kan? Ada banyak hal yang harus dipikirkan—pekerjaan, keluarga, tempat tinggal, dan banyak lagi. Aku ingin kita bisa memulai dengan baik.”

Alya merasa hatinya semakin hangat mendengar kata-kata Raka. Ia tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa cinta mereka sudah cukup kuat untuk melewati semuanya. “Kita akan menemukan jalan, Raka,” katanya dengan keyakinan. “Aku percaya kita bisa menemukan cara untuk membuat ini berhasil. Mungkin tidak hari ini, mungkin tidak besok, tetapi suatu hari nanti kita akan ada di tempat yang kita inginkan—bersama.”

Raka tersenyum lebar, senyum yang membuat mata Alya berbinar. “Aku ingin percaya itu, Alya. Aku ingin membuat semuanya berjalan dengan baik untuk kita berdua.”

Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati momen kebersamaan yang penuh harapan. Alya merasa bahwa mereka baru saja mulai melihat gambaran besar dari hubungan ini. Mereka tidak hanya berjuang untuk saat ini, tetapi juga untuk masa depan yang akan mereka bangun bersama. Meskipun banyak hal yang harus dipertimbangkan dan diputuskan, mereka sudah memiliki satu hal yang sangat penting: keyakinan bahwa mereka bisa menghadapinya, bersama.

Raka memecah keheningan dengan pertanyaan yang lebih ringan. “Jadi, Alya, apa yang kamu bayangkan untuk kehidupan kita nanti? Apa yang ingin kita lakukan bersama ketika kita tinggal di satu tempat?”

Alya tersenyum, sedikit tertawa kecil. “Aku ingin kita bisa bangun pagi bersama, minum kopi bersama, berjalan-jalan di taman, menikmati waktu tanpa terburu-buru. Aku ingin kita bisa merencanakan liburan bersama, mengunjungi tempat-tempat yang selalu kita impikan. Aku ingin kita bisa berbagi tawa dan air mata, melalui segala suka dan duka.”

Raka mengangguk dengan penuh perhatian. “Aku suka itu. Aku juga ingin kita bisa melakukan semua hal kecil yang membuat hidup lebih indah menonton film bersama, memasak makan malam bersama, merayakan ulang tahun dan hari-hari biasa dengan cara kita sendiri.”

Alya menatap Raka dengan penuh kasih, merasakan bagaimana hatinya tumbuh lebih besar dengan setiap kata yang mereka ucapkan. Mereka berbicara tentang masa depan yang tidak pasti, tetapi penuh dengan kemungkinan. Masa depan yang tidak akan sempurna, tetapi penuh dengan impian yang akan mereka kejar bersama.

“Raka,” kata Alya, suaranya penuh dengan rasa syukur, “terlepas dari semua tantangan yang akan datang, aku hanya ingin satu hal: aku ingin selalu berada di sampingmu. Aku ingin kita berjuang bersama, melewati setiap rintangan, dan akhirnya menemukan kebahagiaan kita. Itu saja. Aku yakin, selama kita berdua bersama, kita bisa melakukannya.”

Raka mengangguk, matanya bersinar dengan harapan yang sama. “Aku juga, Alya. Aku akan selalu ada untukmu. Bersama, kita bisa menghadapi masa depan.”

Malam itu, saat langit malam mulai dipenuhi bintang, mereka tahu bahwa langkah pertama telah mereka ambil langkah menuju masa depan bersama. Tidak ada yang tahu apa yang akan datang, tetapi mereka sudah siap untuk melangkah bersama, menatap kehidupan dengan penuh keyakinan dan cinta.***

————THE END————-

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #CintaInternasional#cintajarakjauh#MasaDepanBersama#perjalanancinta#rindu
Previous Post

CINTA YANG KEMBALI MENGHANTUI

Next Post

MENUNGGU YANG TAK PASTI

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
MENUNGGU YANG TAK PASTI

MENUNGGU YANG TAK PASTI

JALAN PAHIT PENGHIANATAN

JALAN PAHIT PENGHIANATAN

Kamu Prioritasku, Aku Hanya Pilihanmu

Kamu Prioritasku, Aku Hanya Pilihanmu

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id