Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

CINTA DALAM BAYANG BAYANG

SAME KADE by SAME KADE
January 28, 2025
in Cinta Terlarang
Reading Time: 19 mins read
CINTA DALAM BAYANG BAYANG

Daftar Isi

  • Bab 1: Perkenalan yang Tak Terlupakan
  • Bab 2: Jarak yang Memisahkan
  • Bab 3: Kehidupan yang Berbeda
  • Bab 4: Bayang-Bayang yang Menyertai
  • Bab 5: Pertemuan yang Terlambat
  • Bab 6: Cinta dalam Kenyataan

Bab 1: Perkenalan yang Tak Terlupakan

Malam itu langit begitu cerah, dihiasi oleh bintang-bintang yang seakan bersinar lebih terang dari biasanya. Di sebuah kafe kecil di pinggiran kota, dua dunia yang terpisah bertemu untuk pertama kalinya. Alisa, seorang wanita muda berusia 26 tahun, duduk di meja dekat jendela, menyeruput kopi hangat sambil menatap layar laptopnya. Sebagai seorang penulis lepas, ia merasa hidupnya hampir selalu terhubung dengan dunia maya. Semua pekerjaan dilakukan melalui email, pesan singkat, dan panggilan video. Dunia nyata sering kali terasa begitu jauh, apalagi perasaan yang ingin ia jaga.

 

Seperti biasa, malam itu Alisa datang ke kafe untuk mencari inspirasi. Tempat ini memiliki suasana yang tenang, dengan pencahayaan lembut yang membuatnya nyaman untuk menulis. Meski ia lebih suka menyendiri, malam itu ada sesuatu yang berbeda di udara, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Alisa merasa ada yang mengawasi, tapi ia memilih untuk mengabaikannya dan fokus pada tulisan yang sedang dikerjakannya.

 

Tak jauh dari meja Alisa, di meja lain, seorang pria bernama Ryan sedang menikmati secangkir teh hangat. Ia adalah seorang mahasiswa doktoral di bidang teknik yang baru saja kembali ke kota setelah bertahun-tahun menempuh studi di luar negeri. Ryan sering datang ke kafe ini untuk melepas penat setelah seharian menghabiskan waktu di perpustakaan. Seperti Alisa, ia juga lebih suka menghabiskan waktu sendiri. Namun, malam itu, pandangannya tertarik pada seorang wanita yang duduk di meja dekat jendela. Ryan merasa ada sesuatu yang unik tentangnya, meski hanya sekilas. Wajah Alisa tampak tenang, namun matanya menyiratkan kerumitan yang tak mudah dijelaskan.

 

Setelah beberapa detik mengamati, Ryan menarik napas dan mengalihkan pandangannya ke layar ponselnya. Tentu saja, ia tidak tahu apa yang membuatnya tertarik, namun rasa penasaran itu terus menggigit. Sebuah kebetulan kecil, atau mungkin takdir, mengubah malam itu. Kafe yang biasanya sepi, tiba-tiba dipenuhi oleh suara-suara percakapan. Seorang pria tergesa-gesa berjalan ke arah meja tempat Alisa duduk. Tanpa sengaja, pria itu menabrak meja Ryan, menyebabkan kopi yang ada di cangkirnya tumpah.

 

“Maaf, saya benar-benar tidak sengaja,” ucap pria itu dengan terburu-buru.

 

Ryan hanya tersenyum sambil mengusap celananya yang sedikit ternoda kopi. “Tidak masalah,” jawabnya singkat.

 

Alisa yang merasa terkejut oleh kejadian itu menoleh dan melirik ke arah Ryan. Matanya beradu pandang dengan Ryan, dan entah mengapa, saat itu juga ada perasaan aneh yang menyelinap ke dalam hatinya. Hanya sekejap, namun cukup untuk membuat keduanya saling terdiam. Alisa menundukkan kepala dan melanjutkan pekerjaannya, mencoba mengabaikan rasa canggung yang mendadak muncul.

 

Namun, Ryan merasa ada yang tidak biasa. Meskipun mereka hanya bertatap sejenak, ada sesuatu dalam diri Alisa yang terasa mengundang rasa ingin tahu. Keheningan di antara mereka bagaikan kebekuan waktu, membuat Ryan merasa seperti ada sesuatu yang belum terselesaikan di udara.

 

Setelah beberapa saat, Ryan memutuskan untuk pergi, tapi sebelum melangkah keluar, ia menyadari bahwa ia telah melupakan sesuatu—sebuah buku yang tertinggal di meja. Ia kembali ke meja dan tanpa sengaja menjatuhkan sebuah kertas dari tasnya. Alisa, yang sebelumnya tenggelam dalam pikirannya, akhirnya merasa ada yang mengganggu. Ketika ia melihat ke bawah, ia melihat Ryan yang sedang jongkok, mencoba mengambil kertasnya.

 

“Hey, sepertinya kamu menjatuhkan sesuatu,” ucap Alisa sambil tersenyum, berusaha mencairkan suasana.

 

Ryan terkejut, dan wajahnya sedikit memerah. “Oh, iya. Terima kasih,” jawabnya sambil berdiri dan mengambil kertas itu. Mereka kembali beradu pandang, dan kali ini, keduanya merasa ada sedikit kenyamanan yang mulai terbentuk.

 

“Tidak apa-apa. Sepertinya kamu juga sedang menulis?” Alisa bertanya, mencoba memecahkan keheningan.

 

Ryan mengangguk. “Iya, sedikit. Saya baru saja kembali dari luar negeri. Ini pertama kalinya saya datang ke kafe ini, sebenarnya, tapi saya suka suasananya.”

 

Alisa tersenyum. “Aku juga. Ini salah satu tempat favoritku kalau butuh ketenangan.”

 

Obrolan kecil itu membuat mereka merasa lebih santai, meskipun hanya beberapa menit. Ryan merasa lebih nyaman berbicara dengan Alisa dibandingkan dengan orang lain yang baru dikenalnya. Begitu juga dengan Alisa. Meskipun ia cenderung lebih tertutup, ada sesuatu dalam diri Ryan yang membuatnya merasa diterima, tanpa perlu banyak kata.

 

Obrolan mereka berlanjut, dari satu topik ke topik lainnya, meskipun terasa seperti percakapan biasa. Namun, ada sesuatu yang tak biasa—saat mereka berbicara, dunia di sekitar seolah menghilang. Mereka tidak hanya berbicara tentang pekerjaan atau studi. Mereka berbicara tentang hidup, tentang impian, tentang hal-hal kecil yang selama ini terabaikan. Ryan merasa nyaman dengan Alisa, sementara Alisa merasa terhubung dengan seseorang yang memiliki kehangatan meski ada jarak yang masih memisahkan mereka.

 

Malam itu berakhir dengan percakapan yang tak terlupakan, dan meskipun mereka tahu bahwa pertemuan itu hanyalah kebetulan, ada benih-benih rasa ingin tahu yang tertanam. Alisa dan Ryan saling berpamitan dengan senyum, masing-masing membawa perasaan yang tak bisa mereka ungkapkan secara langsung. Tapi dalam hati, mereka tahu bahwa malam itu, sesuatu telah dimulai.

 

Pada saat mereka berpisah, mereka tidak menyadari bahwa pertemuan singkat itu akan menjadi awal dari kisah cinta yang akan mengubah hidup mereka—sebuah kisah cinta yang akan diuji oleh jarak dan waktu, namun tetap hidup dalam bayang-bayang hati mereka.*

Bab 2: Jarak yang Memisahkan

Kehidupan sering kali menghadirkan kenyataan yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Bagi Alisa, pertemuan dengan Ryan adalah sebuah kebetulan yang mengubah banyak hal dalam hidupnya. Sebelumnya, ia selalu merasa cukup dengan dunianya yang kecil, tertutup dalam rutinitas menulis dan melibatkan diri dalam kesibukan yang tak berujung. Tapi Ryan, pria yang ditemuinya di kafe itu, seolah membuka pintu baru dalam kehidupannya, sebuah dunia yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

 

Setelah pertemuan itu, mereka mulai sering bertukar pesan, berkomunikasi melalui media sosial, dan berusaha menemukan waktu untuk berbicara meski hanya sebentar. Setiap percakapan menjadi momen yang dinanti, meskipun terkadang hanya berakhir dengan pesan singkat atau tanya jawab tentang hal-hal biasa. Tetapi, bagi Alisa, ada sesuatu yang berbeda. Perasaan yang ia rasakan lebih dari sekadar keakraban. Ada rasa yang lebih dalam, yang tumbuh dengan perlahan namun pasti.

 

Namun, seperti halnya kehidupan, tidak ada yang selalu berjalan mulus. Setelah beberapa minggu saling mengenal lebih jauh, Ryan mengungkapkan kabar yang tidak ia harapkan: Ia harus melanjutkan studinya di luar negeri, di sebuah universitas terkemuka di Eropa, untuk program doktoralnya. Kabar ini datang seperti petir di siang bolong bagi Alisa. Ia merasa seolah-olah sebuah tembok tinggi tiba-tiba berdiri di antara mereka.

 

“Saya harus pergi, Alisa,” kata Ryan saat mereka berbicara di telepon. Suaranya terdengar lebih berat dari biasanya, seolah ia tahu bahwa kata-kata ini akan mengubah segalanya. “Mereka menawarkan kesempatan ini, dan saya merasa ini adalah kesempatan yang tak bisa saya lewatkan.”

 

Alisa terdiam sejenak, seakan kata-kata Ryan baru bisa masuk ke dalam pikirannya. Jarak, yang selama ini hanya sebuah kata abstrak, kini terasa begitu nyata. Perasaan yang baru saja tumbuh, yang mulai memberi warna dalam hidupnya, kini harus dihadapkan pada kenyataan yang sulit: perpisahan.

 

“Aku tahu ini sulit, Alisa,” lanjut Ryan dengan suara lembut, “Tapi aku ingin kita tetap mencoba, meski jarak memisahkan kita. Aku ingin kita tetap berhubungan, tetap menjaga komunikasi.”

 

Tapi Alisa, yang tidak bisa menahan rasa cemasnya, merasa hatinya semakin berat. Jarak adalah musuh yang tak terlihat namun sangat nyata. Meskipun ia ingin percaya bahwa hubungan ini bisa bertahan, ada bagian dari dirinya yang merasa pesimis. Apakah jarak bisa mengikis semuanya? Akankah mereka tetap sama setelah berbulan-bulan terpisah?

 

“Aku… aku tidak tahu,” suara Alisa terdengar terputus-putus. “Aku takut. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dengan waktu, Ryan. Aku takut kita berubah, aku takut kita tidak akan seperti dulu.”

 

Ryan diam sejenak, mencoba memahami perasaan Alisa. “Aku mengerti. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar serius. Aku tidak ingin hubungan ini berakhir hanya karena jarak.”

 

Setelah percakapan itu, Alisa merasa bingung dan terombang-ambing. Di satu sisi, ia merasa ada ikatan kuat yang menghubungkan mereka, namun di sisi lain, ia khawatir bahwa perpisahan ini akan merenggangkan hubungan mereka. Mereka tidak akan lagi bisa bertemu sesering dulu, tidak bisa lagi duduk bersama dan berbicara tentang hal-hal sederhana. Semua itu kini harus digantikan dengan pesan-pesan singkat, panggilan video yang terbatas, dan janji-janji untuk tetap bertahan.

 

Ryan berangkat ke luar negeri, meninggalkan Alisa dengan perasaan campur aduk. Di hari keberangkatannya, mereka berpelukan di bandara, berjanji untuk saling menjaga komunikasi, meskipun waktu dan jarak akan menjadi penghalang terbesar. Alisa merasakan berat di dadanya saat melepas Ryan, seolah sebagian dari dirinya ikut pergi bersamanya. Setiap langkah Ryan menjauh semakin membuatnya merasa sepi, dan setelah Ryan menghilang di balik kerumunan, Alisa hanya bisa menatap kepergiannya dengan perasaan yang sulit diungkapkan.

 

Hari-hari setelah kepergian Ryan terasa lambat. Alisa berusaha untuk tetap sibuk dengan pekerjaannya, mencoba melupakan rasa rindu yang mulai menggerogoti. Namun setiap malam, ketika ia duduk di meja kerjanya, perasaan kosong itu datang kembali. Ia merindukan suara Ryan, merindukan tawa dan percakapan mereka yang dulu terasa begitu ringan. Waktu yang dulunya terasa begitu cepat, kini menjadi terasa begitu lama.

 

Mereka masih terus berkomunikasi lewat pesan singkat dan panggilan video, namun semakin hari, semakin terasa ada jarak yang tak hanya fisik, tetapi juga emosional. Ryan yang sibuk dengan studinya, kadang terlambat membalas pesan, atau tidak bisa melakukan panggilan video karena perbedaan waktu yang besar. Alisa pun mulai merasa cemas. Setiap kali Ryan tidak membalas pesannya dalam waktu lama, hatinya dipenuhi dengan keraguan. Apakah Ryan masih merasa sama? Apakah ia benar-benar ingin mempertahankan hubungan ini?

 

Suatu malam, setelah berhari-hari tidak ada kabar, Alisa memutuskan untuk menghubungi Ryan. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia menekan tombol panggilan video, dan beberapa detik kemudian, wajah Ryan muncul di layar. Namun, alih-alih senyum yang biasa menghiasi wajah Ryan, kali ini wajahnya tampak lelah dan sedikit cemas.

 

“Ada apa?” tanya Alisa, mencoba membaca ekspresi wajah Ryan yang tampak serius.

 

Ryan menghela napas. “Alisa, aku… aku ingin kita bicara.”

 

Alisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ada sesuatu yang tidak beres, ia bisa merasakannya. “Apa yang terjadi, Ryan?”

 

Ryan menunduk, lalu menatap layar dengan pandangan kosong. “Aku mulai merasa bingung. Aku terlalu sibuk dengan semuanya di sini, dan aku takut kita mulai kehilangan koneksi. Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.”

 

Alisa terdiam. Kata-kata itu bagaikan pukulan keras yang menghantam hatinya. Ia tahu bahwa ini adalah awal dari ujian besar bagi hubungan mereka. Cinta yang mereka bangun, kini mulai diuji oleh jarak yang semakin memisahkan.*

Bab 3: Kehidupan yang Berbeda

Alisa duduk di depan layar laptopnya, matanya tak fokus pada kata-kata yang tertera di layar. Sebuah artikel yang seharusnya sudah selesai beberapa jam lalu kini terbiar terbengkalai. Rasa rindu yang semakin dalam membuatnya sulit berkonsentrasi. Meskipun sudah berbulan-bulan sejak perpisahan mereka, rasa kehilangan itu masih tetap ada, menyelubungi setiap hari-harinya. Ryan, yang dulu selalu ada untuknya, kini hanya bisa ia lihat lewat layar ponsel dan panggilan video yang semakin jarang.

 

Pekerjaannya sebagai penulis lepas masih berjalan lancar, meskipun terkadang ia merasa seperti terjebak dalam rutinitas yang monoton. Setiap pagi, ia duduk di meja kerjanya, menulis, mengedit, dan mengirimkan artikel ke klien. Waktu berjalan begitu cepat, tetapi hatinya tetap merasa kosong. Ia tahu, meskipun kehidupannya di luar tampak stabil, ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang dulu hadir dalam bentuk tawa, canda, dan percakapan panjang yang tak pernah habis.

 

Di sisi lain, kehidupan Ryan berjalan dengan kecepatan yang hampir sama cepatnya, meskipun dengan cara yang berbeda. Sebagai mahasiswa doktoral di Eropa, ia harus membagi waktunya antara studi yang berat dan penelitian yang menuntut perhatian penuh. Setiap hari, ia terjebak dalam rutinitas yang hampir tak ada habisnya—membaca jurnal, menulis makalah, dan menghadiri seminar yang kadang membuatnya merasa terasing di dunia yang begitu asing.

 

Namun, ada satu hal yang terus menghantui pikirannya: Alisa. Ia tak bisa berhenti memikirkan bagaimana kabar Alisa, bagaimana perasaannya, dan apakah mereka masih memiliki tempat di hati masing-masing. Terlepas dari segala kesibukannya, Ryan merasa seolah-olah ada jarak yang semakin besar di antara mereka. Tidak hanya jarak fisik, tetapi juga emosional. Ketika mereka pertama kali berpisah, mereka berjanji untuk tetap berkomunikasi, untuk menjaga ikatan itu meskipun dunia mereka terpisah oleh ribuan kilometer. Tapi kenyataannya, itu tidak semudah yang mereka bayangkan.

 

Setiap kali Ryan mencoba menghubungi Alisa, ia merasa ada sesuatu yang berubah. Terkadang Alisa menjawab pesan dengan cepat, namun sering kali jawabannya datang terlambat, bahkan terkadang tidak sama sekali. Panggilan video yang dulu sering mereka lakukan kini semakin jarang, dan ketika mereka berbicara, percakapan itu terasa canggung, penuh dengan jeda panjang yang membuat Ryan merasa semakin jauh darinya. Apa yang dulu terasa begitu alami, kini terasa seperti pekerjaan yang harus dilakukan. Mungkin itu karena kesibukan mereka yang semakin meningkat, atau mungkin karena perasaan yang mulai memudar seiring berjalannya waktu.

 

Namun, meskipun ada keraguan yang terus berkembang dalam dirinya, Ryan masih merasa ada harapan. Ia masih ingin percaya bahwa hubungan ini bisa bertahan, bahwa cinta mereka tidak akan hilang hanya karena jarak. Tapi terkadang, ia juga merasa terjebak dalam kehidupan yang penuh tuntutan ini, dan ia mulai bertanya-tanya apakah ia masih bisa memberi waktu dan perhatian yang sama untuk Alisa.

 

Di Eropa, kehidupan Ryan terasa terisolasi, bahkan lebih dari sebelumnya. Ia tinggal di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, jauh dari keluarga dan teman-temannya. Setiap hari setelah kuliah atau penelitian, ia berjalan kaki menuju kafe kecil di dekat apartemennya, mencoba menemukan ketenangan di tengah kesibukan yang tidak ada habisnya. Saat itulah ia sering memikirkan Alisa. Ia masih ingat malam-malam yang mereka habiskan di kafe, percakapan mereka yang mengalir tanpa henti, dan bagaimana Alisa selalu mampu membuatnya merasa tenang meskipun dunia di sekitar mereka penuh dengan kekacauan.

 

Namun, meskipun kenangan indah itu terpatri dalam benaknya, Ryan merasa semakin sulit untuk menghubungi Alisa dengan cara yang sama. Mereka tidak lagi berbicara tentang impian-impian kecil mereka atau berbagi cerita tentang hal-hal sehari-hari. Percakapan mereka mulai terasa lebih formal, seakan-akan mereka sedang berbicara dengan orang yang baru mereka kenal. Ryan mencoba untuk memahaminya, mencoba untuk mencari tahu apa yang terjadi, tetapi rasa cemas itu semakin menguasai dirinya.

 

Di sisi lain, Alisa pun merasakan hal yang sama. Setiap malam, ia duduk di kamar tidurnya, memeriksa ponselnya berkali-kali, berharap ada pesan dari Ryan. Namun, sering kali ponselnya tetap hening, dan setiap kali ia melihat pesan singkat dari Ryan, ada perasaan campur aduk di dalam hatinya. Ia merasa takut bahwa hubungan mereka akan berakhir, bahwa jarak yang memisahkan mereka tidak akan pernah bisa dijembatani. Ia juga merasa cemas, apakah Ryan masih merasa sama seperti dulu, atau apakah ia sudah mulai melupakan dirinya. Semua perasaan itu semakin menghantuinya, membuatnya merasa terperangkap dalam kehidupan yang penuh keraguan.

 

Meskipun demikian, Alisa berusaha keras untuk menjaga kehidupannya. Ia fokus pada pekerjaannya, bertemu dengan teman-teman, dan mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa. Namun, setiap kali ia berusaha melupakan perasaan rindu itu, ada sesuatu yang mengingatkannya pada Ryan—sebuah lagu yang mereka dengarkan bersama, sebuah tempat yang mereka kunjungi, atau bahkan sebuah percakapan singkat yang terlontar di antara mereka. Semua kenangan itu terasa seperti bayang-bayang yang tak pernah benar-benar hilang.

 

Alisa mulai menyadari bahwa meskipun ia mencoba menjalani kehidupannya seperti biasa, perasaan terhadap Ryan tidak pernah benar-benar pergi. Ada bagian dalam dirinya yang tetap terikat pada pria itu, meskipun mereka terpisah oleh jarak yang semakin besar. Setiap kali ia berbicara dengan Ryan, meskipun terasa canggung, hatinya tetap berdebar-debar, dan ia merindukan sentuhan itu, tawa itu, kehadirannya yang dulu begitu dekat.

 

Namun, kehidupan mereka kini berbeda. Mereka tinggal di dua dunia yang terpisah, masing-masing dengan tujuan dan tanggung jawab mereka sendiri. Alisa tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus berharap pada sebuah hubungan yang terhalang oleh jarak, tetapi di sisi lain, ia tidak bisa menutup hatinya dari Ryan. Cinta itu masih ada, meskipun dalam bentuk yang berbeda.

 

Ryan pun merasakan hal yang sama. Di tengah kesibukannya, ia merasa cemas akan masa depan hubungan mereka. Terkadang, ia berpikir apakah Alisa masih menginginkan hubungan ini, atau apakah ia harus menyerah dan fokus pada kehidupannya yang baru. Namun, setiap kali ia mencoba melupakan Alisa, kenangan tentang mereka kembali menghantuinya, membuktikan bahwa cinta mereka masih hidup, meskipun dalam bentuk yang jauh lebih rumit.

 

Kehidupan mereka memang berbeda, terpisah oleh jarak yang tak terlihat. Tetapi meskipun mereka berjalan di jalur yang berbeda, satu hal tetap jelas—perasaan mereka satu sama lain tidak pernah benar-benar hilang. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka harus memutuskan apakah cinta yang mereka miliki cukup kuat untuk mengatasi perbedaan dan jarak yang memisahkan mereka.*

Bab 4: Bayang-Bayang yang Menyertai

Waktu berlalu dengan cepat, dan Alisa mulai merasa bahwa hidupnya berjalan dalam dua dunia yang sangat berbeda. Dunia yang satu adalah dunia yang dilihatnya setiap hari—dunia nyata, di mana ia menjalani rutinitas harian sebagai seorang penulis lepas. Dunia lainnya adalah dunia maya, tempat ia berinteraksi dengan Ryan, meskipun jarak dan perbedaan waktu sering kali membuat komunikasi mereka terbatas. Meskipun Alisa berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya dan kehidupannya sehari-hari, ada bayang-bayang Ryan yang selalu mengikuti langkahnya, mengisi setiap ruang kosong dalam pikirannya.

 

Setiap pagi, Alisa membuka matanya dan melihat layar ponselnya, berharap ada pesan dari Ryan. Terkadang ada, terkadang tidak. Namun, setiap kali ia melihat nama Ryan muncul di layar, hatinya berdebar-debar. Meskipun percakapan mereka tidak lagi semenyenangkan dulu, meskipun ada jarak yang tak hanya fisik tetapi juga emosional, perasaan itu tidak pernah benar-benar hilang. Ryan masih menjadi bagian dari hidupnya, meskipun kadang-kadang terasa seperti bayang-bayang yang sulit dijangkau.

 

Satu hal yang paling mengganggu Alisa adalah kenyataan bahwa mereka tidak lagi berbicara tentang hal-hal pribadi seperti dulu. Percakapan mereka lebih banyak berkisar pada pekerjaan atau kegiatan sehari-hari, namun itu tidak pernah terasa cukup. Alisa merasa seolah-olah mereka sedang berada di dunia yang berbeda, dunia di mana perasaan mereka yang dulu begitu kuat, kini perlahan memudar.

 

Di sisi lain, Ryan juga merasakan hal yang sama. Meskipun ia sibuk dengan studi dan penelitian di Eropa, setiap kali ia duduk untuk merenung, pikirannya selalu kembali pada Alisa. Ada saat-saat ketika ia merasa kehilangan, ketika ia merindukan suara Alisa, tawa mereka yang dulu tak pernah berhenti. Namun, ia juga merasa terjebak dalam kehidupan yang penuh tuntutan ini. Setiap hari, ia berjuang untuk memenuhi ekspektasi akademis yang tinggi, sementara di sisi lain, ia harus mempertahankan hubungan yang semakin sulit dijaga.

 

Di tengah kesibukannya, Ryan mulai merasakan bahwa hubungan mereka semakin berjarak. Alisa yang dulu selalu dapat diandalkan untuk berbagi cerita atau sekadar bertukar pesan kini terasa lebih jauh. Ketika mereka berbicara, terkadang Ryan merasa bahwa percakapan itu lebih terasa seperti kewajiban daripada momen yang menyenangkan. Perasaan cemas itu semakin menggerogoti dirinya—apakah Alisa masih ingin melanjutkan hubungan ini? Apakah ia masih merasa sama seperti dulu, ataukah perasaan itu sudah mulai menghilang?

 

Malam-malam di Eropa terasa lebih sepi daripada sebelumnya. Ryan sering terbangun di tengah malam, terjaga dari tidurnya oleh kecemasan yang tak bisa dijelaskan. Di satu sisi, ia merasa yakin bahwa Alisa adalah orang yang tepat, tetapi di sisi lain, ia juga merasa takut jika semuanya akan berakhir begitu saja, terpisah oleh jarak yang semakin besar. Ia tahu bahwa mereka berdua sangat berbeda—Alisa yang lebih bebas dan hidup di dunia yang penuh kemungkinan, sementara ia sendiri terjebak dalam dunia akademis yang menuntut fokus dan dedikasi total. Bagaimana mereka bisa tetap terhubung ketika dunia mereka begitu berbeda?

 

Suatu malam, Ryan mengirimkan pesan panjang kepada Alisa, mencoba mengungkapkan perasaannya yang selama ini terpendam. Ia menulis dengan hati-hati, memilih kata-kata yang tepat agar tidak membuat Alisa merasa terbebani.

 

“Alisa, aku tahu kita sudah lama tidak berbicara seperti dulu. Aku merindukanmu. Aku merindukan kita. Aku tahu aku terlalu sibuk dengan semua ini, dan aku tidak ingin kau merasa aku mengabaikanmu. Tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, aku merasa ada jarak yang semakin besar antara kita. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Aku hanya ingin kita tetap sama seperti dulu, saling mendukung, saling berbagi. Aku ingin kita bertahan, tapi aku juga tidak ingin memaksakan sesuatu yang mungkin sudah tidak ada lagi.”

 

Alisa membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa Ryan sangat serius, dan ia juga merasakan hal yang sama. Namun, jawaban yang datang tidak secepat yang ia harapkan. Ia menatap layar ponselnya, merenung, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk merespon. Namun, di dalam hatinya, ada rasa takut yang begitu mendalam—apakah hubungan mereka masih bisa bertahan? Apakah mereka bisa kembali ke masa-masa yang penuh kebahagiaan dan keceriaan, ataukah mereka hanya terjebak dalam bayang-bayang kenangan yang tak bisa digapai?

 

Beberapa hari kemudian, Alisa memutuskan untuk membalas pesan Ryan. Ia mencoba menjelaskan perasaannya dengan cara yang lebih tenang, meskipun hatinya terasa tergerus.

 

“Ryan, aku merasakan hal yang sama. Setiap hari, aku merasa ada sesuatu yang hilang, tapi aku juga tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Kita berdua sedang menjalani kehidupan yang berbeda, dan aku tidak tahu apakah kita bisa kembali seperti dulu. Aku merindukanmu, tapi aku juga takut kalau ini akan semakin sulit. Jarak ini tidak hanya memisahkan kita secara fisik, tapi juga emosional. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk tetap bertahan.”

 

Setelah mengirimkan pesan itu, Alisa merasa sedikit lebih lega. Meskipun jawabannya belum datang, ia merasa bahwa ia telah mengungkapkan perasaannya dengan jujur. Namun, ia juga sadar bahwa jarak ini bukan hanya masalah fisik—ini adalah masalah yang lebih dalam. Sebuah masalah yang melibatkan perubahan, harapan yang tidak selalu bisa tercapai, dan perasaan yang semakin kabur.

 

Beberapa hari berlalu tanpa kabar dari Ryan. Alisa merasa cemas, tetapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa mereka berdua sedang berjuang dengan perasaan yang sama. Bayang-bayang Ryan masih mengikuti langkahnya, seperti sebuah hantu yang tidak bisa ia lupakan. Namun, ada bagian dari dirinya yang bertanya, apakah mereka berdua akan mampu untuk menghadapinya bersama, atau apakah mereka akan terus terjebak dalam bayang-bayang masa lalu yang tak pernah bisa mereka capai lagi.

 

Malam itu, setelah berhari-hari menunggu, ponsel Alisa akhirnya berdering. Sebuah pesan masuk dari Ryan. Dengan tangan gemetar, Alisa membuka pesan itu.

 

“Alisa, aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kita. Tapi satu hal yang aku tahu pasti adalah aku tidak ingin kehilanganmu. Aku merindukanmu lebih dari yang bisa aku katakan. Aku tahu ini tidak mudah, dan aku tahu kita berdua sedang menghadapi hal yang sulit. Tapi aku ingin kita terus berjuang, terus mencoba. Mungkin kita tidak bisa kembali seperti dulu, tapi aku ingin kita tetap berusaha.”

 

Air mata perlahan mengalir di pipi Alisa. Perasaan rindu yang terpendam begitu dalam, begitu kuat, namun begitu sulit untuk dipahami. Bayang-bayang Ryan, yang selama ini mengikutinya tanpa henti, kini mulai terasa lebih jelas. Mungkin hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi, mungkin ada jarak yang tak akan bisa mereka jembatani. Tetapi satu hal yang pasti—perasaan mereka terhadap satu sama lain tetap ada, meskipun dalam bentuk yang berbeda.*

Bab 5: Pertemuan yang Terlambat

Alisa berdiri di dekat jendela apartemennya, memandangi langit yang mulai gelap. Malam itu, angin bertiup lembut, membawa aroma hujan yang akan segera turun. Di tangan kanannya, ponsel yang sudah lama tidak digunakan untuk panggilan atau pesan tiba-tiba berdering. Hatinya berdegup kencang, dan tanpa menunggu lebih lama, ia langsung mengambilnya. Nama Ryan muncul di layar.

 

Selama berbulan-bulan, percakapan mereka semakin berkurang. Setiap kali mereka berusaha untuk tetap terhubung, selalu ada alasan—pekerjaan, jadwal kuliah, atau hanya keheningan yang tidak bisa dihindari. Namun, malam ini terasa berbeda. Ini bukan sekadar pesan singkat atau percakapan via chat, tetapi panggilan suara yang sudah lama tidak terjadi. Alisa menarik napas dalam-dalam sebelum menerima panggilan itu.

 

“Halo?” suaranya terdengar lebih kecil dari yang ia harapkan, tetapi ia tahu bahwa Ryan bisa mendengarnya.

 

“Alisa,” suara Ryan terdengar serak dan berat, seperti ada banyak perasaan yang tak terucapkan dalam satu kata itu. “Aku… aku rindu.”

 

Kata-kata itu mengalir dengan mudah dari bibir Ryan, meskipun ada sedikit kecanggungan dalam suaranya. Alisa menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan diri. Tidak ada yang bisa menandingi perasaan yang muncul saat mendengar suara Ryan setelah sekian lama.

 

“Aku juga merindukanmu,” jawab Alisa dengan suara pelan, berusaha menyembunyikan kerinduan yang mendalam yang sudah menumpuk selama berbulan-bulan.

 

Ada keheningan sejenak, seperti keduanya sedang menimbang-nimbang kata-kata yang akan dilontarkan. Ryan akhirnya membuka percakapan.

 

“Alisa, aku tahu aku sudah lama tidak menghubungimu, dan aku tahu kita sudah membiarkan jarak ini mengubah banyak hal. Tapi aku ingin bertemu. Aku ingin melihatmu lagi. Apa kamu… mau?”

 

Kata-kata itu seperti hantaman keras yang mengguncang Alisa. Betapa lama ia menunggu momen ini, betapa lama ia merindukan pertemuan yang seharusnya terjadi lebih cepat, namun entah mengapa selalu tertunda. Alisa merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Semua perasaan yang terpendam, semua keraguan, semua kekhawatiran, semuanya terluapkan dalam satu permintaan sederhana—Ryan ingin bertemu.

 

“Aku… aku ingin sekali, Ryan,” jawabnya dengan suara bergetar. “Tapi… apakah kita bisa? Aku takut ini sudah terlambat. Kita sudah terlalu jauh terpisah.”

 

Ryan terdiam sejenak, dan Alisa bisa merasakan keheningan yang sama seperti yang dirasakannya—keduanya sedang berjuang dengan perasaan yang sangat kompleks. Namun, suara Ryan kembali terdengar, kali ini lebih tenang dan penuh keyakinan.

 

“Tidak ada kata terlambat, Alisa,” katanya. “Jika kita masih bisa merasakannya, jika kita masih bisa berjuang untuk itu, aku yakin kita bisa bertemu. Kita mungkin sudah berbeda, mungkin banyak yang berubah, tapi perasaan ini masih ada, kan?”

 

Alisa menutup mata, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar-debar. Ia tahu Ryan benar—perasaan mereka tidak pernah benar-benar hilang. Meskipun pertemuan itu terasa terlambat, meskipun perjalanan mereka dipenuhi dengan bayang-bayang waktu yang hilang, mereka masih memiliki kesempatan untuk menemukan jalan kembali.

 

“Ryan, aku ingin bertemu. Tapi aku tidak tahu bagaimana. Aku takut pertemuan ini tidak akan seperti yang kita bayangkan.”

 

Ryan tertawa pelan, meski terdengar sedikit canggung. “Kita tidak perlu membayangkannya terlalu banyak, Alisa. Kita hanya perlu melangkah, dan kita akan lihat apa yang terjadi. Aku ingin melihatmu, ingin berbicara denganmu secara langsung. Tanpa jarak, tanpa layar. Aku ingin kita mencoba.”

 

Alisa menarik napas dalam-dalam dan mengangguk meskipun Ryan tidak bisa melihatnya. Hatinya penuh dengan perasaan campur aduk—rindu, cemas, dan sekaligus harapan. Ini adalah momen yang telah ia tunggu, namun ada bagian dari dirinya yang merasa takut. Takut jika kenyataan tidak akan sesuai dengan harapannya, takut jika pertemuan itu justru akan memperburuk keadaan.

 

“Aku akan mencarikan tiket untukmu,” lanjut Ryan. “Aku akan datang ke sana, ke tempatmu. Kita akan bertemu dalam beberapa hari.”

 

Alisa bisa mendengar ketegasan dalam suara Ryan, dan itu memberi sedikit ketenangan di hatinya. Meskipun masih ada keraguan, ada pula keyakinan bahwa ini adalah langkah yang harus mereka ambil.

 

Beberapa hari kemudian, Ryan tiba di kota tempat Alisa tinggal. Ia sudah lama menunggu momen ini, namun kini saat itu tiba, ia merasa ada banyak perasaan yang sulit diungkapkan. Pertemuan yang mereka nantikan selama ini akhirnya akan terjadi, dan meskipun hati mereka berdua penuh dengan harapan, ada juga ketegangan yang sulit dijelaskan.

 

Alisa memandangi diri di cermin, berusaha merapikan rambut dan mengenakan pakaian yang sederhana namun rapi. Ia merasa gugup, seperti perasaan pertama kali bertemu seseorang yang belum lama dikenal. Padahal, Ryan bukanlah orang asing. Mereka sudah lama saling mengenal, namun kini semuanya terasa berbeda. Jarak, waktu, dan ketidakpastian telah merubah banyak hal.

 

Setelah beberapa saat, Alisa menerima pesan dari Ryan.

 

“Aku sudah sampai. Aku menunggumu di dekat kafe yang dulu kita suka. Sampai jumpa, Alisa.”

 

Dengan hati yang berdebar-debar, Alisa keluar dari apartemennya dan berjalan menuju kafe. Setiap langkah yang diambil terasa berat, tetapi juga penuh dengan rasa ingin tahu. Apa yang akan terjadi setelah pertemuan ini? Bisakah mereka mengembalikan segalanya seperti dulu? Ataukah pertemuan ini justru akan membuka luka yang lebih dalam?

 

Sesampainya di kafe, Alisa melihat Ryan duduk di sudut dekat jendela, mengenakan jaket hitam yang sering ia pakai. Meskipun Ryan terlihat sama seperti yang ia ingat, ada sesuatu yang berbeda dalam cara mereka saling memandang. Wajah Ryan yang sedikit lebih dewasa, sedikit lebih lelah, namun tetap menampilkan senyum yang dulu selalu mampu membuat Alisa merasa tenang.

 

Alisa mendekat dengan langkah perlahan, dan saat mata mereka bertemu, ada keheningan yang panjang. Tak ada kata-kata, hanya tatapan yang penuh arti. Ryan berdiri dan menyambutnya dengan pelukan yang hangat, meskipun terasa canggung pada awalnya. Namun, pelukan itu memberi kenyamanan yang lama hilang.

 

“Alisa, kita akhirnya bertemu,” kata Ryan pelan, hampir berbisik.

 

“Iya,” jawab Alisa, suaranya tertahan. “Kita akhirnya bertemu.”

 

Itulah pertemuan yang telah mereka tunggu-tunggu, yang datang terlambat namun penuh makna. Mungkin mereka sudah berubah, mungkin banyak yang tidak bisa kembali seperti dulu, tetapi di sinilah mereka berdiri—di antara kenangan, keraguan, dan harapan yang terus tumbuh. Pertemuan ini mungkin tidak sempurna, tetapi itu adalah langkah pertama menuju kemungkinan baru yang masih penuh dengan misteri.*

Bab 6: Cinta dalam Kenyataan

Hari pertama pertemuan itu membawa suasana yang berbeda. Alisa dan Ryan tidak lagi terpisah oleh layar ponsel atau jarak yang tak kasat mata, tetapi mereka berada dalam ruang yang sama, meskipun perasaan mereka masih diliputi keraguan. Cinta yang semula tumbuh dalam angan, di tengah bayang-bayang jarak dan waktu, kini harus diuji oleh kenyataan yang lebih keras dan lebih nyata.

 

Kafe tempat mereka bertemu itu masih sama seperti yang dulu—tempat di mana mereka pertama kali berbicara lebih lama dan saling mengenal dengan lebih mendalam. Meja kecil di dekat jendela itu juga tak berubah, seolah menyimpan banyak cerita yang tak terucapkan. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam cara mereka saling memandang. Mereka bukan lagi dua orang yang baru saja berkenalan, melainkan dua jiwa yang terpisah oleh waktu dan ruang, kini kembali bertemu dengan harapan yang lebih realistis.

 

Setelah beberapa menit berbincang tentang hal-hal kecil, seperti cuaca dan kegiatan sehari-hari, suasana menjadi canggung. Tidak ada lagi tawa lepas atau percakapan yang mengalir tanpa beban. Semua terasa lebih serius, lebih terikat pada kenyataan yang harus mereka hadapi. Meskipun begitu, Alisa tahu bahwa mereka harus membicarakan apa yang telah mengganggu pikiran mereka selama berbulan-bulan—apakah mereka masih bisa melanjutkan hubungan ini?

 

“Ryan, aku merasa ada banyak hal yang berubah,” kata Alisa pelan, menatap cangkir kopi yang terletak di depannya. “Dulu kita bisa berbicara tentang segala hal, berbagi apa saja. Tapi sekarang, aku merasa seperti ada jarak yang lebih besar, meskipun kita sudah bertemu.”

 

Ryan menghela napas panjang. Ia tahu bahwa perasaan itu tidak hanya dirasakan oleh Alisa, tetapi juga olehnya. Mereka berdua sudah melalui banyak hal, dan kini mereka harus menghadapi kenyataan yang tak terhindarkan.

 

“Aku juga merasa begitu,” jawab Ryan, suaranya penuh penyesalan. “Aku merasa kita sudah berubah. Aku terlalu sibuk dengan semuanya, dengan studiku, dengan segala tuntutan yang datang, dan aku merasa seperti kehilangan arah. Aku ingin semuanya kembali seperti dulu, tapi aku tahu itu tidak mungkin.”

 

Alisa menatap Ryan, mencoba untuk membaca ekspresi wajahnya. Ryan yang duduk di hadapannya bukanlah pria yang dulu ia kenal sepenuhnya, meskipun masih ada sebagian dari dirinya yang sama—tatapan mata yang penuh harapan, senyum yang selalu bisa menghangatkan hati. Namun, ada kesedihan yang mengisi ruang di antara mereka. Mereka berdua tahu bahwa dunia mereka sudah berbeda, dan kenyataan itu sulit untuk diterima.

 

“Tapi, Ryan,” Alisa melanjutkan, “bukan hanya itu yang membuat aku ragu. Aku juga merasa kita terjebak dalam bayang-bayang hubungan yang dulu. Kita selalu berusaha untuk kembali ke masa-masa itu, tapi kita lupa bahwa kita sudah berubah. Aku takut kalau kita terus berjuang untuk sesuatu yang sudah tidak ada lagi.”

 

Ryan terdiam. Kata-kata Alisa menusuk jantungnya. Memang, mereka berdua sudah terjebak dalam kenangan, dalam impian tentang bagaimana seharusnya hubungan mereka berkembang. Namun, waktu yang telah berlalu tidak bisa diabaikan. Mereka tidak bisa mengubah masa lalu, dan mereka harus menerima kenyataan bahwa hubungan mereka sekarang berada dalam titik yang berbeda.

 

“Aku tahu,” jawab Ryan akhirnya, dengan suara yang lebih lembut. “Aku tidak pernah berhenti mencintaimu, Alisa. Tapi aku juga tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hubungan ini jika kita terus melihat ke belakang. Kita harus menghadapi kenyataan sekarang, bukan terus terjebak dalam kenangan.”

 

Ada keheningan yang panjang antara mereka. Alisa merasakan perasaan yang bercampur aduk—rindu, takut, dan kebingungannya sendiri. Ia tahu Ryan benar, tetapi di sisi lain, hatinya juga tidak siap untuk melepaskan apa yang telah mereka miliki. Kenyataan itu terasa begitu pahit, tetapi mereka tidak bisa terus-menerus berlari dari kenyataan.

 

“Jadi apa yang harus kita lakukan, Ryan?” tanya Alisa, suaranya hampir tidak terdengar.

 

Ryan menatapnya dengan serius. “Aku ingin kita mencoba, Alisa. Aku tahu ini sulit, aku tahu kita sudah banyak berubah, tetapi aku ingin kita memberi kesempatan pada diri kita untuk berkembang bersama, bukan hanya berjuang untuk sesuatu yang sudah berlalu. Kita harus mulai dari awal lagi, meskipun itu berarti kita harus meninggalkan masa lalu.”

 

Alisa menundukkan kepala, berusaha mencerna kata-kata Ryan. Semua yang terjadi begitu cepat, dan perasaan yang muncul begitu rumit. Ia merasa seperti berada di persimpangan jalan, di mana setiap keputusan yang diambil akan mengubah arah hidupnya. Apakah ia siap untuk meninggalkan bayang-bayang masa lalu dan melangkah maju, meskipun itu berarti menghadapi ketidakpastian? Apakah ia siap untuk mencoba, meskipun ia tahu bahwa perjalanan itu tidak akan mudah?

 

“Ryan,” katanya akhirnya, dengan suara yang lebih tenang. “Aku juga tidak ingin kehilanganmu. Aku ingin mencoba, meskipun aku takut. Aku takut kalau kita sudah terlalu jauh berubah, atau kalau kita tidak bisa menemukan jalan yang sama lagi. Tapi, aku juga tahu bahwa kita tidak akan tahu jika kita tidak mencoba.”

 

Ryan tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kesedihan dalam senyum itu. “Aku tahu, Alisa. Kita akan mencoba, langkah demi langkah. Mungkin ini akan sulit, tapi aku yakin kita bisa melakukannya, asal kita berusaha bersama.”

 

Alisa merasakan beban yang sedikit terangkat dari pundaknya. Meskipun mereka tahu bahwa cinta dalam kenyataan tidak selalu sempurna, mereka juga tahu bahwa itu adalah sesuatu yang berharga untuk diperjuangkan. Cinta bukan lagi sesuatu yang indah dalam bayang-bayang kenangan, tetapi cinta yang harus diterima dalam bentuk yang lebih realistis dan penuh tantangan.

 

Hari itu, Alisa dan Ryan memutuskan untuk tidak lagi terjebak dalam harapan yang tidak realistis, tetapi untuk menerima kenyataan yang ada. Mereka tahu bahwa mereka harus menghadapi hidup dengan lebih dewasa, dengan lebih banyak pengertian dan usaha. Cinta dalam kenyataan tidak selalu mudah, tetapi itu adalah cinta yang nyata—sesuatu yang lebih kuat dan lebih berharga karena mereka berdua siap untuk berjuang bersama.

 

Mereka meninggalkan kafe itu dengan perasaan yang lebih ringan, tetapi juga dengan kesadaran bahwa perjalanan mereka masih panjang. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tetapi satu hal yang pasti—mereka akan mencoba. Karena cinta, dalam kenyataan, bukanlah tentang kesempurnaan, tetapi tentang bagaimana dua hati bisa saling mendukung dan bertahan di tengah tantangan hidup yang ada.***

———–THE END——-

 

Source: Muhammad Reyhan Sandafa
Tags: bayangan yang menyertaiCinta adalah kenyataanhidup berbeda
Previous Post

TIGA PILIHAN SATU CINTA

Next Post

TAK BISA HIDUP TANPAMU

Related Posts

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

May 2, 2025
Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

May 1, 2025
Milik Ayah dan Anaknya”

Milik Ayah dan Anaknya”

April 30, 2025
Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

April 29, 2025
Menjadi Milik Suami Sahabatku

Menjadi Milik Suami Sahabatku

April 28, 2025
Terjerat Nafsu Sang Guru

Terjerat Nafsu Sang Guru

April 27, 2025
Next Post
TAK BISA HIDUP TANPAMU

TAK BISA HIDUP TANPAMU

JEJAK PERTAMA DI HATI

MELEWATI RINDU DI SETIAP DETIK WAKTU

CERITA TENTANG KITA YANG PERTAMA

CERITA TENTANG KITA YANG PERTAMA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id