Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

CINTA BUTA LOGIKA HILANG

SAME KADE by SAME KADE
January 28, 2025
in Bucin
Reading Time: 18 mins read
CINTA BUTA LOGIKA HILANG

Daftar Isi

  • Bab 1: Awal Sebuah Pesona
  • Bab 2: Cinta yang Buta
  • Bab 3: Ketergantungan yang Menghancurkan
  • Bab 4: Logika yang Hilang
  • Bab 5: Kehancuran yang Tak Terhindarkan
  • Bab 6: Bangkit dari Luka

Bab 1: Awal Sebuah Pesona

Hari itu akan menjadi salah satu kenangan yang tidak akan pernah terlupakan oleh Sarah. Sebuah acara kantor yang awalnya tampak seperti rutinitas biasa, dengan pembicaraan tentang anggaran dan laporan bulanan, berubah menjadi titik balik yang mengguncang hidupnya. Sebagai seorang analis keuangan di sebuah perusahaan besar, Sarah dikenal sebagai sosok yang cerdas, tegas, dan selalu mengandalkan logika dalam setiap pengambilan keputusan. Bagi Sarah, segala hal dalam hidup ini selalu dapat dihitung, dianalisis, dan diprediksi. Namun, hari itu, sesuatu yang tak terduga terjadi yang mengubah segalanya.

Di tengah acara penghargaan tahunan yang digelar oleh perusahaannya, ketika semua orang sibuk berbincang tentang pencapaian dan masa depan perusahaan, seorang pria menarik perhatian Sarah. Pria itu bernama Arman. Tinggi sekitar 180 cm, dengan rahang tegas dan senyum yang mampu menghangatkan ruangan. Meskipun Arman bukan karyawan di perusahaan tempat Sarah bekerja, ia adalah salah satu klien penting yang diundang untuk menghadiri acara tersebut. Sarah melihatnya berdiri di sudut ruangan, dikelilingi oleh beberapa orang yang tampaknya sangat tertarik pada apa yang sedang ia katakan. Ketika pandangan mereka bertemu, Sarah merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Ada getaran yang tiba-tiba muncul di hatinya, sesuatu yang tidak bisa ia pahami, tapi cukup untuk mengguncang ketenangannya.

“Dia pasti pria yang menarik,” pikir Sarah dalam hati, meskipun ia berusaha untuk mengabaikan perasaan yang tiba-tiba muncul itu.

Namun, tak lama setelah itu, Arman mendekatinya. Dengan senyuman yang ramah dan penuh percaya diri, ia memperkenalkan diri.

“Halo, saya Arman. Sepertinya kita belum pernah bertemu sebelumnya,” kata Arman sambil mengulurkan tangannya.

Sarah tersenyum kecil dan dengan sopan menyambut uluran tangan Arman. “Sarah. Saya bekerja di bagian analisis keuangan di sini,” jawabnya, berusaha menjaga profesionalisme.

Percakapan mereka pun dimulai dengan topik-topik ringan tentang pekerjaan, lalu berlanjut ke pembicaraan yang lebih pribadi. Sarah merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri Arman. Cara bicaranya yang santai namun penuh percaya diri, pandangan matanya yang tajam namun lembut, dan nada suaranya yang tenang namun menenangkan, membuat Sarah merasa nyaman. Arman seolah memiliki kemampuan untuk membuat orang lain merasa istimewa hanya dengan berbicara dengannya.

“Jadi, Sarah, apa yang membuatmu begitu serius dengan pekerjaanmu? Kau terlihat sangat berdedikasi,” tanya Arman, sambil tersenyum nakal.

Sarah tertawa kecil. “Mungkin karena saya percaya bahwa kerja keras akan selalu berbuah hasil yang baik. Saya bukan tipe orang yang percaya pada keberuntungan atau kebetulan,” jawabnya dengan senyum tipis, meskipun hatinya sedikit tergetar oleh cara Arman melihatnya.

Arman mengangguk dengan ekspresi serius, tetapi kemudian kembali tersenyum. “Itu prinsip yang hebat. Tapi jangan lupa untuk memberi ruang bagi kejutan dalam hidup. Kadang-kadang, hal-hal terbaik datang tanpa kita rencanakan.”

Kata-kata itu membuat Sarah tertegun. Ada sesuatu dalam nada bicaranya yang terasa seperti sebuah pesan tersembunyi. Sarah, yang selalu mengandalkan rasionalitas, merasa seolah-olah ia baru saja mendengar sebuah prinsip hidup yang berseberangan dengan cara berpikirnya selama ini. Malam itu, Arman terus menemani Sarah, mereka berbincang tentang berbagai hal—dari musik, film, hingga mimpi-mimpi yang mereka miliki. Sarah mulai merasa bahwa ia telah menemukan seseorang yang benar-benar mengerti dirinya, seseorang yang mampu membuatnya merasa hidup, meskipun itu hanya melalui percakapan sederhana.

Ketika acara itu akhirnya berakhir, Arman dengan sopan menawarkan diri untuk mengantar Sarah pulang. Sarah awalnya merasa ragu, karena ia bukanlah tipe orang yang mudah mempercayai orang yang baru dikenalnya. Namun, ada sesuatu dalam diri Arman yang membuatnya sulit untuk menolak tawaran itu. Perasaan yang sulit dijelaskan, namun sangat nyata, membuatnya merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ia bisa mempercayainya.

Di dalam mobil, perjalanan pulang menjadi kesempatan bagi mereka untuk melanjutkan percakapan. Arman bercerita tentang kehidupannya, tentang perjalanan bisnisnya yang penuh tantangan, dan tentang bagaimana ia selalu berusaha melihat sisi positif dalam setiap situasi yang ada. Sarah, yang biasanya sangat kritis dan selalu mengutamakan analisis logis, merasa terpesona oleh cerita-cerita Arman. Ada sesuatu yang sangat menarik dan menggugah dalam setiap kata yang diucapkannya. Sarah merasa bahwa ia sedang berbicara dengan seseorang yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki pandangan hidup yang sangat dalam.

“Terima kasih sudah membuat malam ini menyenangkan,” kata Sarah ketika mereka tiba di depan apartemennya.

“Terima kasih kembali. Malam ini lebih berkesan karena ada kamu,” balas Arman dengan senyum yang tulus, membuat hati Sarah terasa hangat.

Setelah pertemuan itu, Arman mulai sering menghubungi Sarah. Awalnya hanya pesan singkat, tetapi lama kelamaan, percakapan mereka menjadi semakin intens. Arman tahu bagaimana cara membuat Sarah merasa spesial. Ia sering mengirimkan bunga ke kantor Sarah, atau menelepon hanya untuk menanyakan apakah Sarah sudah makan. Setiap perhatian kecil itu, meskipun terkesan sederhana, berhasil membuat Sarah merasa dihargai dan diperhatikan. Teman-teman Sarah pun mulai memperhatikan perubahan dalam dirinya.

“Kau terlihat lebih bahagia belakangan ini,” kata Nisa, sahabat dekat Sarah, suatu hari, dengan nada yang sedikit penasaran.

Sarah hanya tersenyum tipis, mencoba menghindari pertanyaan lebih lanjut. Meskipun ia merasa bahagia, Sarah tahu bahwa hubungan ini belum cukup serius untuk diceritakan pada orang lain. Namun, dalam hatinya, ia merasa bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar dari yang ia bayangkan.

Hari demi hari berlalu, dan hubungan mereka semakin erat. Arman sering mengundang Sarah untuk makan malam romantis di restoran-restoran mewah, membawanya ke tempat-tempat yang belum pernah Sarah kunjungi sebelumnya. Ia memperlakukan Sarah dengan cara yang sangat berbeda dari pria lainnya—seperti seorang ratu, penuh perhatian dan kasih sayang. Arman berhasil membuat Sarah merasa istimewa di setiap kesempatan. Ia mulai jatuh cinta dengan cara Arman melihat hidup, dengan cara ia memperlakukan dirinya dan orang-orang di sekitarnya.

Namun, di balik semua itu, ada keraguan yang mulai muncul dalam benak Sarah. Beberapa teman dekatnya mulai memperingatkan tentang reputasi Arman. “Aku pernah dengar dia sering bergonta-ganti pasangan,” kata Nisa dengan nada hati-hati saat mereka sedang duduk di sebuah kafe.

Sarah hanya tertawa kecil, mencoba menanggapi komentar itu dengan ringan. “Itu hanya rumor. Aku yakin dia berbeda ketika bersamaku,” jawabnya, meskipun di dalam hatinya ada sedikit kekhawatiran.

Saat itu, Sarah tidak menyadari bahwa pertemuan pertama mereka di acara kantor adalah titik awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan cinta, pengorbanan, dan luka. Apa yang awalnya tampak seperti hubungan yang sempurna, penuh dengan kebahagiaan dan romantisme, mulai menunjukkan sisi-sisi yang lebih gelap. Dalam waktu yang singkat, hidup Sarah telah berubah drastis, dan ia akan segera menyadari bahwa pesona Arman bukan hanya memberikan kebahagiaan, tetapi juga menghadirkan tantangan besar yang harus ia hadapi.

Dengan setiap langkah yang mereka ambil bersama, Sarah semakin tenggelam dalam dunia yang penuh dengan kegembiraan dan ketegangan. Namun, pada akhirnya, ia akan belajar bahwa dalam hidup, tidak ada yang bisa sepenuhnya diprediksi, dan terkadang, kita harus belajar melepaskan diri dari apa yang kita kira sudah pasti. Sebuah kisah yang dimulai dengan pesona, mungkin berakhir dengan pelajaran hidup yang tak terduga.*

Bab 2: Cinta yang Buta

Hubungan Sarah dan Arman berkembang dengan cepat, jauh lebih cepat dari yang ia bayangkan. Arman, dengan pesonanya yang memikat, mampu membuat Sarah merasa istimewa setiap saat. Pagi-pagi buta, Arman mengirimkan pesan-pesan manis yang membuat Sarah tersenyum sepanjang hari. Di sela-sela kesibukannya, ia selalu meluangkan waktu untuk menanyakan kabar atau sekadar berbicara tentang hal-hal kecil. Bagi Sarah, semuanya terasa seperti mimpi yang menjadi nyata.

 

Namun, mimpi indah itu perlahan berubah menjadi sesuatu yang berbeda.

 

Awalnya, Sarah tidak menyadari bahwa perhatian Arman yang berlebihan mulai menyerupai kontrol. Ia menganggap sikap itu sebagai bentuk cinta yang tulus. Ketika Arman memintanya untuk tidak terlalu sering keluar dengan teman-temannya, Sarah menurut. “Aku hanya ingin kita punya lebih banyak waktu bersama,” ujar Arman dengan nada lembut. Sarah menganggap itu wajar. Lagipula, ia juga ingin lebih dekat dengan pria yang ia cintai.

 

Lambat laun, Sarah mulai merasa terisolasi. Grup chat yang dulu ramai dengan candaan dan undangan hangout perlahan sepi. Teman-temannya berhenti mengajak Sarah keluar karena tahu ia akan selalu menolak. Nisa, sahabat terdekatnya, mencoba mengingatkan Sarah.

“Kamu masih sering keluar sama Arman?” tanya Nisa suatu sore.

 

Sarah mengangguk sambil tersenyum. “Iya, kami sering jalan-jalan. Dia selalu sibuk, jadi aku senang kalau bisa menghabiskan waktu dengannya.”

 

“Tapi, Sarah, kamu jarang banget nongkrong sama kita belakangan ini. Arman nggak keberatan, kan, kalau kamu punya waktu buat diri sendiri?”

 

Sarah tertawa kecil, mencoba meredakan kekhawatiran Nisa. “Arman cuma nggak mau aku terlalu capek. Dia perhatian, kok. Aku senang dia peduli.”

 

Namun, perhatian Arman mulai terasa berlebihan. Ketika Sarah terlambat membalas pesannya karena rapat panjang di kantor, Arman menelepon berulang kali hingga Sarah merasa terganggu.

“Kamu kenapa nggak angkat teleponku? Aku khawatir,” kata Arman dengan nada setengah marah.

 

“Aku lagi di rapat, Arman. Aku nggak bisa main ponsel sembarangan,” jawab Sarah dengan lembut.

 

“Tapi, kamu bisa kasih tahu aku sebelumnya, kan? Aku cuma mau tahu kamu baik-baik saja.”

 

Sarah terdiam. Ia tahu tidak ada niat buruk dalam ucapan Arman, tetapi ada sesuatu yang mengganggu perasaannya. Namun, ia segera mengabaikan pikiran itu. Cinta membuatnya memaklumi semua tindakan Arman.

 

Ketika Arman mulai meminta Sarah untuk mengurangi lembur di kantor, ia pun menuruti permintaannya. “Kamu sudah terlalu kerja keras. Aku nggak mau kamu sakit,” kata Arman suatu malam. Sarah, yang biasanya sangat berkomitmen pada pekerjaannya, mulai melepaskan ambisinya. Baginya, membahagiakan Arman lebih penting daripada apapun.

 

Perubahan ini tidak luput dari perhatian atasan dan rekan kerja Sarah. Hasil pekerjaannya mulai menurun, dan semangat yang dulu ia tunjukkan perlahan memudar. Tapi Sarah tidak peduli. Ia sudah meyakinkan dirinya bahwa cinta adalah prioritas utama.

 

Pada suatu malam, setelah makan malam romantis di restoran favorit mereka, Arman membawa Sarah ke apartemennya. Di sana, ia memberikan hadiah—sebuah kalung berlian yang indah.

“Kamu layak mendapatkan ini, Sarah. Kamu adalah wanita terbaik yang pernah aku temui,” katanya sambil memakaikan kalung itu di leher Sarah.

 

Sarah terharu hingga meneteskan air mata. Ia merasa seperti wanita paling beruntung di dunia. Namun, di balik hadiah-hadiah mahal dan perhatian yang Arman berikan, ada permintaan-permintaan kecil yang semakin lama terasa menekan.

 

“Sarah, aku nggak suka kalau kamu pakai baju seperti itu. Terlalu mencolok,” ujar Arman ketika Sarah memakai gaun baru yang ia beli sendiri.

 

“Aku pikir ini cantik. Lagipula, aku nggak sering pakai baju seperti ini,” jawab Sarah pelan.

 

“Tapi aku nggak nyaman, sayang. Aku cuma mau kamu terlihat anggun, bukan menarik perhatian orang lain.”

 

Sarah, yang ingin selalu menyenangkan hati Arman, mengganti gaunnya tanpa banyak bicara. Ia merasa bahwa menjaga perasaan Arman adalah bagian dari cintanya.

 

Namun, tekanan itu tidak berhenti di situ. Suatu hari, Arman meminta Sarah untuk meminjamkan sejumlah uang. “Aku lagi ada masalah kecil di bisnis. Ini sementara saja, aku pasti akan kembalikan,” katanya.

 

Awalnya, Sarah ragu. Ia tahu bahwa ini bukan hal yang biasa dilakukan dalam sebuah hubungan, apalagi mereka belum terlalu lama bersama. Tapi cinta membuatnya mengabaikan keraguan itu. Tanpa pikir panjang, ia mentransfer sejumlah uang ke rekening Arman.

 

Ketika Nisa mengetahui hal ini, ia langsung menegur Sarah. “Kamu yakin dengan apa yang kamu lakukan? Arman kelihatan terlalu mendominasi hidupmu.”

 

Sarah membela diri. “Nisa, kamu nggak mengerti. Aku tahu apa yang aku lakukan. Dia butuh aku, dan aku nggak bisa meninggalkannya begitu saja.”

 

Namun, di dalam hati kecilnya, Sarah mulai merasa ada yang salah. Ia, yang dulu selalu menggunakan logika dalam setiap keputusan, kini hanya mengikuti perasaan tanpa memikirkan konsekuensinya. Tetapi setiap kali keraguan itu muncul, Arman selalu berhasil meyakinkannya bahwa semua yang ia lakukan adalah demi kebaikan mereka berdua.

 

Sarah tak menyadari bahwa ia telah kehilangan dirinya sendiri dalam hubungan ini. Cinta yang ia rasakan telah membuatnya buta, hingga ia tak mampu lagi melihat kenyataan di depan matanya.*

Bab 3: Ketergantungan yang Menghancurkan

 

Hari-hari Sarah mulai terasa berbeda. Semua keputusan yang ia ambil kini seolah bergantung pada satu hal: bagaimana pendapat Arman. Perubahan ini tidak terjadi seketika, tetapi lambat laun, Sarah mendapati dirinya kehilangan kendali atas banyak hal yang dulu menjadi prioritas dalam hidupnya.

 

Arman semakin sering meminta Sarah untuk mengorbankan waktu dan tenaganya demi dirinya. Ia menganggap bahwa perhatian Sarah sepenuhnya adalah haknya. “Aku hanya ingin kamu lebih fokus pada kita,” ucap Arman suatu malam, setelah Sarah menolak permintaannya untuk menemaninya ke sebuah acara.

 

“Arman, aku punya deadline pekerjaan yang harus diselesaikan,” jawab Sarah dengan nada penuh penjelasan.

 

Namun, wajah Arman berubah muram. “Jadi pekerjaan lebih penting daripada aku?”

 

Sarah merasa bersalah mendengar ucapan itu. Ia akhirnya menyerah, menunda pekerjaannya, dan menemani Arman. Ini bukan pertama kalinya ia mengorbankan kepentingannya demi pria yang dicintainya, tetapi Sarah selalu meyakinkan dirinya bahwa cinta membutuhkan pengorbanan.

 

Ketergantungan Sarah pada Arman mulai memengaruhi kehidupannya secara keseluruhan. Arman, yang awalnya begitu peduli dan manis, perlahan menunjukkan sisi lain yang jauh dari sempurna. Ia mulai sering meminjam uang dari Sarah dengan berbagai alasan.

 

“Ini hanya sementara, sayang. Aku lagi butuh tambahan modal untuk proyek baru,” kata Arman suatu malam saat mereka sedang makan malam di restoran mewah.

 

Sarah, yang saat itu merasa tidak enak untuk menolak, langsung mengiyakan. Ia mentransfer uang dalam jumlah besar tanpa bertanya lebih jauh. Baginya, membantu Arman adalah cara untuk menunjukkan cintanya.

 

Namun, masalahnya tidak berhenti di situ. Beberapa minggu kemudian, Arman kembali meminta uang. Kali ini alasannya lebih mendesak. “Aku sedang terjepit masalah bisnis. Kalau aku nggak bayar tagihan ini, semuanya akan hancur,” katanya dengan nada penuh tekanan.

 

Sarah mulai merasa tidak nyaman, tetapi ia tidak ingin mengecewakan Arman. Ia mengambil tabungannya yang selama ini ia kumpulkan untuk membeli rumah impian dan memberikannya pada Arman.

 

Nisa, sahabatnya, mulai mencium ada yang tidak beres. “Sarah, kamu nggak merasa aneh? Dia selalu minta uang darimu. Apa dia pernah mengembalikannya?”

 

Sarah terdiam. Ia tidak ingin mengakui bahwa uang yang ia berikan pada Arman belum pernah kembali. “Aku percaya dia, Nisa. Dia lagi butuh bantuan, dan aku nggak mau dia merasa sendiri.”

 

Namun, di dalam hatinya, Sarah mulai merasakan beban yang semakin besar. Ia tidak hanya kehilangan uang, tetapi juga kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri.

 

Di tempat kerja, Sarah mulai kehilangan fokus. Hasil pekerjaannya menurun, dan ia sering mendapat teguran dari atasannya. “Kamu kelihatan tidak seperti biasanya, Sarah. Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya manajernya suatu hari.

 

Sarah hanya tersenyum kecil. “Saya hanya sedang banyak pikiran, Pak. Tapi saya akan segera memperbaikinya.”

 

Namun, janji itu sulit ia tepati. Setiap malam, pikirannya dipenuhi oleh Arman. Kekhawatiran tentang bagaimana membuatnya bahagia, bagaimana memenuhi kebutuhannya, dan bagaimana mempertahankan hubungan mereka menjadi beban yang terus-menerus menghantui.

 

Puncak dari ketergantungan Sarah terjadi ketika Arman mulai mengontrol setiap aspek hidupnya. Ia tidak hanya meminta perhatian penuh dari Sarah, tetapi juga mulai memengaruhi cara Sarah berpikir.

“Kamu nggak perlu terlalu sibuk di kantor. Aku bisa mengurusmu,” ujar Arman suatu malam.

 

“Aku suka pekerjaanku, Arman. Aku nggak mungkin meninggalkannya begitu saja,” jawab Sarah, meski dalam hatinya ada keraguan.

 

“Tapi pekerjaanmu bikin kita nggak punya banyak waktu bersama. Kamu harus pikirkan apa yang benar-benar penting dalam hidupmu,” lanjut Arman.

 

Ucapan itu membuat Sarah terdiam. Ia mulai mempertimbangkan untuk mengurangi jam kerjanya, bahkan sempat terpikir untuk berhenti. Baginya, kebahagiaan Arman adalah yang terpenting.

 

Sementara itu, hubungan mereka semakin jauh dari sehat. Arman menjadi lebih sering marah ketika Sarah tidak menuruti keinginannya. Suatu malam, ketika Sarah terlambat datang ke apartemen Arman karena ada rapat mendadak, pria itu langsung menuduhnya tidak peduli.

 

“Kamu selalu punya alasan untuk nggak ada buat aku,” kata Arman dengan nada dingin.

 

“Aku cuma terlambat satu jam, Arman. Aku nggak bisa meninggalkan rapat begitu saja,” jawab Sarah dengan nada lelah.

 

“Tapi aku butuh kamu di sini. Kalau kamu benar-benar mencintaiku, kamu nggak akan buat aku menunggu.”

 

Ucapan itu membuat Sarah menangis. Ia merasa bersalah, meskipun dalam hati kecilnya ia tahu bahwa ia tidak salah.

 

Ketergantungan yang dirasakan Sarah membuatnya kehilangan banyak hal—pekerjaan, teman-teman, bahkan dirinya sendiri. Ia tidak lagi menjadi Sarah yang tegas dan mandiri. Semua hal yang dulu menjadi ciri khasnya seolah menghilang, digantikan oleh rasa takut kehilangan cinta dari Arman.

 

Namun, meski merasa terbebani, Sarah tetap bertahan. Ia terus meyakinkan dirinya bahwa semua pengorbanan ini akan sepadan, bahwa suatu hari Arman akan menyadari betapa besar cintanya dan berubah menjadi pria yang lebih baik.

 

Ia tidak menyadari bahwa semakin dalam ia terjebak dalam ketergantungan ini, semakin besar luka yang akan ia rasakan di kemudian hari.*

Bab 4: Logika yang Hilang

 

Hari-hari Sarah semakin penuh dengan konflik batin. Ia tidak lagi merasa seperti dirinya sendiri. Semua keputusan yang ia ambil sekarang hanya berputar di sekitar Arman—pria yang ia anggap sebagai cinta sejatinya, tetapi perlahan-lahan menjadi beban terbesar dalam hidupnya.

 

Arman semakin sering menunjukkan sikap yang manipulatif. Ia tahu betul bagaimana menggunakan cinta Sarah untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Ketika Sarah mulai menunjukkan tanda-tanda keberatan atau kebingungan, Arman dengan cepat memainkan kata-kata manis yang membuat Sarah luluh.

“Sayang, semua yang aku lakukan ini demi kita,” kata Arman sambil memegang tangan Sarah suatu malam. “Aku tahu kamu merasa berat, tapi aku butuh kamu untuk percaya padaku.”

 

Sarah terdiam, mencoba mencari jawaban di dalam dirinya sendiri. Ia tahu ada sesuatu yang salah, tetapi cintanya pada Arman sudah menutupi semua logika.

 

Puncak dari hilangnya logika Sarah terjadi ketika Arman meminta hal yang jauh di luar batas kewajaran. Suatu malam, di tengah makan malam yang seharusnya romantis, Arman tiba-tiba mengungkapkan masalah besar yang sedang ia hadapi.

“Aku lagi di ujung tanduk, Sarah. Kalau aku nggak segera menyelesaikan ini, aku bisa kehilangan segalanya,” katanya dengan nada penuh tekanan.

 

“Apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?” tanya Sarah, tanpa ragu.

 

Arman menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku butuh kamu menjual mobilmu. Uangnya akan aku pakai untuk menyelesaikan masalah ini. Aku janji, semuanya akan aku kembalikan nanti.”

 

Sarah tertegun. Mobil itu adalah hasil jerih payahnya selama bertahun-tahun bekerja keras. Tapi saat ia melihat ekspresi putus asa di wajah Arman, hatinya luluh. Ia merasa bahwa menolak permintaan itu sama saja dengan mengkhianati cinta mereka.

 

“Kalau ini memang untuk kebaikanmu, aku akan lakukan,” jawab Sarah akhirnya.

 

Arman tersenyum puas. “Aku tahu aku bisa mengandalkanmu, sayang. Kamu adalah segalanya bagiku.”

 

Ketika Nisa mendengar keputusan itu, ia tidak bisa lagi menahan emosinya.

“Sarah, kamu nggak sadar apa yang sedang terjadi? Kamu menyerahkan semuanya ke Arman tanpa berpikir panjang!” seru Nisa saat mereka bertemu di sebuah kafe.

 

“Aku tahu apa yang aku lakukan, Nisa. Aku percaya dia. Arman hanya butuh sedikit waktu untuk membereskan semuanya,” jawab Sarah dengan nada defensif.

 

“Tapi, Sarah, kamu sudah kehilangan begitu banyak. Uang, waktu, bahkan dirimu sendiri. Kamu nggak seperti ini dulu.”

 

Ucapan Nisa membuat Sarah terdiam. Namun, alih-alih mendengarkan sahabatnya, ia merasa tersinggung. Baginya, Nisa tidak mengerti betapa pentingnya cinta ini bagi dirinya. “Nisa, aku tahu kamu peduli. Tapi ini hidupku, dan aku yang membuat keputusan,” ujarnya dengan tegas.

 

Semakin hari, semakin jelas bahwa Sarah tidak lagi menggunakan logikanya dalam menghadapi hubungan ini. Ia mulai memutuskan kontak dengan banyak teman dan keluarganya yang mencoba memperingatkannya. Bahkan, ia mulai merasa bahwa semua orang hanya ingin menghancurkan kebahagiaannya bersama Arman.

 

“Semuanya nggak mengerti kita, Arman,” katanya suatu malam saat mereka duduk di balkon apartemen Arman.

 

Arman mengangguk sambil merangkulnya. “Kita nggak butuh mereka, Sarah. Yang penting kita saling punya.”

 

Kata-kata itu terdengar meyakinkan, tetapi dalam hati kecilnya, Sarah merasa ada sesuatu yang salah. Meski begitu, ia terus menyangkal perasaan itu. Ia terlalu takut kehilangan Arman, hingga ia rela mengabaikan setiap sinyal bahaya yang muncul.

 

 

Suatu malam, Sarah mendapati dirinya menangis sendirian di kamar. Ia melihat pantulan dirinya di cermin dan hampir tidak mengenali wanita yang ia lihat.

“Kemana perginya aku yang dulu?” gumamnya pelan.

 

Namun, setiap kali keraguan muncul, bayangan Arman dan janji-janji manisnya selalu hadir untuk menghapus semua itu. Sarah meyakinkan dirinya bahwa cinta adalah tentang pengorbanan. Jika ia cukup sabar dan kuat, semuanya akan menjadi lebih baik.

 

Tetapi kenyataan terus menunjukkan hal yang sebaliknya. Arman tidak pernah benar-benar mengembalikan apa pun yang ia pinjam. Janji-janjinya hanya menjadi angin lalu. Sarah mulai kehilangan semua yang ia miliki—kepercayaan diri, mimpi, bahkan kariernya.

 

 

—

 

Ketika Sarah akhirnya mencoba berbicara dengan Arman tentang perasaannya, respons yang ia dapatkan malah membuatnya semakin ragu pada dirinya sendiri.

“Sarah, kamu ini kenapa sih? Kamu mulai berubah. Apa kamu nggak percaya aku lagi?” tanya Arman dengan nada penuh tuduhan.

 

“Bukan begitu, Arman. Aku cuma… aku merasa kehilangan diriku sendiri,” jawab Sarah dengan suara bergetar.

 

“Kalau kamu benar-benar mencintaiku, kamu nggak akan berpikir seperti itu. Kamu tahu aku selalu berjuang untuk kita.”

 

Ucapan Arman membuat Sarah merasa bersalah. Lagi-lagi, ia meyakinkan dirinya bahwa masalah ini ada pada dirinya, bukan pada Arman.

 

 

Semakin jauh Sarah terjebak dalam hubungan ini, semakin sulit baginya untuk melihat kenyataan. Cinta telah membuatnya buta, dan logika yang dulu menjadi kekuatannya kini menghilang tanpa jejak.

 

Namun, di sudut kecil hatinya, ada suara yang terus berbisik, mencoba menyadarkannya. Pertanyaannya adalah: apakah Sarah cukup kuat untuk mendengarkan suara itu sebelum semuanya benar-benar hancur?*

Bab 5: Kehancuran yang Tak Terhindarkan

 

Sarah duduk di tepi ranjangnya, menatap kosong ke arah jendela. Langit di luar tampak mendung, seolah mencerminkan suasana hatinya. Semua yang ia miliki kini telah menghilang, satu per satu, seperti butiran pasir yang terlepas dari genggaman.

 

Keputusan-keputusan yang ia ambil demi Arman telah menguras seluruh tabungan, mengorbankan pekerjaannya, dan menghancurkan hubungan dengan orang-orang yang peduli padanya. Sahabat-sahabatnya menjauh, keluarganya tak lagi mempercayai pilihan hidupnya, dan ia merasa benar-benar sendirian.

 

Namun, meski semua tanda bahaya telah nyata di depan matanya, Sarah masih tetap bertahan. Dalam pikirannya, cinta adalah satu-satunya alasan untuk terus berjalan.

 

 

Hari itu, Arman datang ke apartemennya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia membawa sebuah koper besar dan langsung duduk di sofa tanpa mengatakan sepatah kata pun.

“Ada apa, Arman?” tanya Sarah, mencoba membaca suasana hati pria itu.

 

Arman menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku ada masalah besar, Sarah. Kali ini aku nggak tahu harus gimana lagi.”

 

Sarah menatapnya dengan cemas. “Apa yang terjadi? Apa aku bisa membantu?”

 

Arman menatapnya dengan pandangan penuh harap. “Aku butuh kamu meminjamkan uang lagi. Aku janji ini terakhir kalinya. Setelah ini, aku akan membereskan semuanya.”

 

Ucapan itu membuat hati Sarah bergetar. Ia sudah mendengar janji yang sama berkali-kali, tetapi entah mengapa ia tetap ingin percaya. Namun, kali ini, ia tahu bahwa ia sudah tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan.

“Aku sudah nggak punya uang, Arman. Semua tabunganku sudah habis. Bahkan, aku sudah menjual mobilku.”

 

Ekspresi Arman berubah. Nada lembutnya digantikan dengan kemarahan yang tersirat. “Jadi kamu nggak mau bantu aku lagi? Setelah semua yang kita lalui bersama?”

 

“Ini bukan tentang aku nggak mau, Arman. Aku benar-benar nggak punya apa-apa lagi,” jawab Sarah dengan suara bergetar.

 

Arman berdiri, melemparkan pandangan tajam ke arahnya. “Kamu bilang kamu mencintaiku, tapi sekarang kamu malah menyerah? Apa cinta kamu cuma sampai di sini?”

 

Ucapan itu seperti pisau yang menusuk hati Sarah. Ia ingin menjelaskan bahwa ia telah memberikan segalanya, tetapi kata-katanya terhenti di tenggorokan. Ia hanya bisa menangis dalam diam.

 

 

Malam itu, Arman pergi tanpa memberi penjelasan. Sarah merasa kosong, seolah-olah seluruh dunia di sekitarnya runtuh. Ia mencoba menghubungi Arman, tetapi teleponnya tidak diangkat. Pesan-pesan yang ia kirimkan hanya mendapat tanda centang, tanpa balasan.

 

Hari-hari berikutnya, Sarah merasa terjebak dalam kabut ketidakpastian. Ia tidak tahu apakah Arman akan kembali atau tidak. Namun, jauh di dalam hatinya, ia mulai menyadari bahwa pria itu mungkin tidak pernah benar-benar peduli padanya.

 

 

Beberapa minggu berlalu tanpa kabar dari Arman. Sarah akhirnya memutuskan untuk pergi ke apartemennya. Namun, ketika ia tiba, apartemen itu kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Arman di sana. Tetangga-tetangganya mengatakan bahwa Arman telah pindah beberapa hari sebelumnya tanpa meninggalkan jejak.

 

Kenyataan itu menghantam Sarah seperti badai. Selama ini, ia berkorban begitu banyak untuk seseorang yang pada akhirnya meninggalkannya begitu saja. Semua janji manis, perhatian, dan kasih sayang yang ia terima dari Arman ternyata hanyalah ilusi.

 

 

Dalam keputusasaan, Sarah mencoba mencari penghiburan dari sahabatnya, Nisa. Ia mengirim pesan singkat, berharap sahabatnya itu masih mau berbicara dengannya.

“Aku butuh bantuanmu, Nisa. Aku sudah kehilangan semuanya,” tulis Sarah.

 

Butuh waktu beberapa jam sebelum Nisa akhirnya membalas. “Aku akan datang ke rumahmu malam ini. Kita perlu bicara.”

 

Malam itu, Nisa datang dengan wajah penuh keprihatinan. Ia memeluk Sarah erat, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, Sarah merasa ada seseorang yang peduli padanya.

“Kenapa kamu nggak bilang apa-apa lebih awal?” tanya Nisa.

 

“Aku takut kamu nggak akan mengerti. Aku takut kamu akan menghakimiku,” jawab Sarah dengan suara lemah.

 

“Kita semua membuat kesalahan, Sarah. Tapi kamu nggak bisa terus-terusan hidup seperti ini. Kamu harus bangkit.”

 

Percakapan itu menjadi titik awal bagi Sarah untuk mulai menyusun kembali hidupnya. Ia tahu bahwa jalannya tidak akan mudah. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia kehilangan hampir segalanya karena cintanya pada Arman. Tetapi, untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin ia masih memiliki harapan.

 

Hari-hari berikutnya, Sarah mulai mencari pekerjaan baru. Ia juga mencoba memperbaiki hubungan dengan keluarga dan teman-temannya, meskipun rasa malu terus menghantui. Proses ini tidak mudah, tetapi sedikit demi sedikit, ia mulai merasa lebih kuat.

 

 

Beberapa bulan kemudian, Sarah mendengar kabar tentang Arman. Pria itu ternyata telah pindah ke kota lain dan sedang menjalin hubungan dengan wanita lain. Kabar itu membuat hati Sarah terasa perih, tetapi ia tahu bahwa itu adalah bagian dari perjalanan untuk melepaskan masa lalunya.

 

Di penghujung bab ini, Sarah akhirnya menyadari bahwa cintanya pada Arman bukanlah cinta yang sehat. Ia kehilangan dirinya sendiri karena terlalu fokus pada orang lain. Tetapi, meskipun rasa sakit itu begitu mendalam, ia tahu bahwa ia memiliki kekuatan untuk bangkit dan menemukan kembali siapa dirinya sebenarnya.*

Bab 6: Bangkit dari Luka

Pagi itu, Sarah membuka matanya dengan perasaan yang sangat berbeda dari biasanya. Cahaya matahari yang lembut menyinari kamar tidurnya, menembus tirai jendela yang sedikit terbuka, terasa lebih hangat dari biasanya, seolah memberikan janji bahwa hari itu akan menjadi awal yang baru. Setelah berbulan-bulan terperangkap dalam bayang-bayang cinta yang menghancurkan, ia merasa bahwa saatnya telah tiba untuk melepaskan segala beban yang selama ini menahannya, dan memulai perjalanan untuk kembali menemukan dirinya yang hilang.

Sarah tahu bahwa jalan menuju pemulihan tidak akan mudah. Luka yang ditinggalkan oleh Arman masih terasa begitu mendalam, dan kehilangan yang ia alami begitu membekas di setiap sudut hidupnya. Setiap kali ia mengingat hari-hari indah yang pernah mereka lewati bersama, hati kecilnya masih merasakan perih. Namun, di sisi lain, ia juga merasa bahwa ia tidak bisa terus-menerus terperangkap dalam lingkaran penderitaan yang begitu lama. Ia bertekad untuk menemukan kembali dirinya—Sarah yang dulu, yang kuat, mandiri, dan penuh semangat hidup.

Langkah pertama yang Sarah ambil untuk bangkit adalah menghadapi kenyataan yang tak terhindarkan. Ia membuka rekening tabungannya, yang kini hampir kosong, dan mulai menyusun rencana keuangan baru. Selama berbulan-bulan, ia lebih fokus pada hubungan dengan Arman daripada pada hal-hal lain dalam hidupnya, termasuk keuangannya sendiri. Kini, saat segala sesuatunya terasa begitu hampa, ia harus mulai lagi dari awal. Ia membuat daftar prioritas, mencatat pengeluaran yang benar-benar penting, dan bertekad untuk mulai menabung kembali meskipun hanya sedikit demi sedikit.

“Aku harus mulai dari nol, tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali,” gumamnya pelan sambil menatap layar laptopnya, yang menampilkan spreadsheet dengan perhitungan yang harus ia lakukan.

Setelah memikirkan keuangannya, Sarah memutuskan untuk mencari pekerjaan baru. Meski rasa percaya dirinya sempat hancur setelah segala yang terjadi dengan Arman, ia tahu bahwa dirinya masih memiliki keterampilan dan pengalaman yang berharga. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu banyak fokus pada hubungan yang merusak dirinya, dan kurang memperhatikan potensi dirinya sendiri. Meskipun sempat ragu, ia memberanikan diri untuk mengirimkan beberapa lamaran pekerjaan ke perusahaan yang dulu pernah ia impikan. Harapan untuk mendapatkan kesempatan baru pun mulai muncul.

Di tengah proses pencarian pekerjaan yang cukup menantang, Sarah juga mulai membuka diri kembali kepada orang-orang yang peduli padanya. Ia menghubungi keluarganya, yang selama ini sempat ia abaikan karena terlalu sibuk dengan Arman dan masalah pribadinya.

“Mama, aku minta maaf. Aku tahu aku banyak mengecewakan kalian,” ujar Sarah dengan suara bergetar saat menelepon ibunya.

Ibunya terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan lembut, “Kamu selalu punya tempat di rumah ini, Sarah. Kami hanya ingin kamu bahagia dan kembali menjadi dirimu sendiri.”

Kata-kata ibunya membuat Sarah terisak. Ia merasa begitu lega karena keluarganya masih menerima dirinya meskipun ia telah membuat banyak kesalahan. Semua rasa malu dan penyesalan yang ia rasakan seakan meleleh begitu saja setelah mendengar suara penuh kasih dari ibunya.

Nisa, sahabatnya yang setia menemani dalam suka dan duka, juga menjadi pilar penting dalam proses pemulihan Sarah. Nisa sering mengundang Sarah untuk berkumpul atau sekadar berjalan-jalan santai di taman untuk menghilangkan stres.

“Kamu nggak perlu buru-buru pulih, Sarah. Yang penting kamu terus melangkah,” kata Nisa suatu sore, saat mereka duduk bersama di bangku taman, menikmati udara segar.

“Aku masih merasa bodoh, Nisa. Aku nggak percaya aku bisa terjebak sejauh itu,” jawab Sarah dengan nada penuh penyesalan.

“Itu sudah berlalu. Sekarang yang penting adalah kamu belajar dari pengalaman itu. Jangan biarkan kesalahanmu mendefinisikan siapa dirimu,” sahut Nisa, dengan penuh keyakinan.

Ucapan Nisa menjadi pengingat bagi Sarah untuk tidak terlalu keras pada dirinya sendiri. Ia mulai belajar untuk memaafkan dirinya atas semua keputusan yang salah yang pernah ia buat. Menyadari bahwa kesalahan adalah bagian dari proses belajar dan tumbuh, Sarah pun berusaha untuk tidak terus-terusan menyalahkan diri sendiri.

Salah satu hal yang membantu Sarah bangkit adalah menyalurkan emosinya melalui menulis. Ia mulai menulis jurnal harian, mencurahkan semua perasaan dan pikirannya yang selama ini terpendam. Dalam proses itu, ia menemukan bahwa menulis tidak hanya membantu mengurangi rasa sakit, tetapi juga menjadi cara untuk memahami dirinya lebih dalam.

“Aku adalah wanita yang pernah terluka, tapi aku juga wanita yang memiliki kekuatan untuk bangkit,” tulisnya suatu malam dalam jurnalnya.

Setiap kata yang ia tulis semakin membuat Sarah merasa lebih kuat. Ia sadar bahwa meskipun ia pernah terluka, itu tidak menentukan siapa dirinya ke depan. Ia mulai menemukan kembali semangat yang hilang, dan merasa bahwa ia memiliki kontrol atas hidupnya sendiri.

Sarah juga mulai menghadiri kelas-kelas pengembangan diri, seperti lokakarya tentang membangun kepercayaan diri dan mengelola emosi. Di sana, ia bertemu dengan banyak orang yang memiliki pengalaman serupa, yang memberinya perspektif baru tentang kehidupan. Ia merasa tidak sendirian lagi, dan itu memberikan semangat baru untuk terus melangkah.

Salah satu momen paling penting dalam proses pemulihan Sarah adalah ketika ia memutuskan untuk menghadapi masa lalunya secara langsung. Ia merasa sudah waktunya untuk melepaskan segala kenangan yang mengikatnya pada Arman. Tanpa rasa ragu, ia menghapus semua foto dan pesan dari Arman yang masih tersimpan di ponselnya.

“Aku tidak ingin terus terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Sudah waktunya untuk benar-benar melepaskan,” katanya pada dirinya sendiri, sambil menekan tombol hapus pada ponselnya.

Meskipun keputusan itu terasa berat dan penuh dengan emosi, Sarah tahu bahwa itu adalah langkah yang benar. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia benar-benar siap untuk melanjutkan hidup tanpa bayangan Arman yang terus menghantui.

Waktu berlalu, dan Sarah perlahan mulai melihat perubahan besar dalam hidupnya. Ia diterima di sebuah perusahaan baru dengan posisi yang lebih baik dari sebelumnya. Lingkungan kerja yang mendukung membuatnya merasa dihargai dan percaya diri lagi. Ia kembali menemukan passion dalam pekerjaannya, dan mulai merasa bahwa dirinya masih bisa mencapai impian-impian yang pernah ia pendam.

Di sisi lain, ia mulai membangun hubungan baru dengan orang-orang di sekitarnya. Meski masih berhati-hati, ia membuka diri untuk pertemanan dan pengalaman baru. Ia belajar bahwa hidup tidak hanya tentang cinta pada seseorang, tetapi juga tentang mencintai diri sendiri dan menikmati setiap momen yang ada. Ia mulai menikmati hidup tanpa tekanan, tanpa beban dari masa lalu yang selalu menghantui.

Pada suatu malam, setelah menjalani hari yang penuh dengan kegiatan, Sarah duduk sendirian di balkon apartemennya, menikmati secangkir teh hangat sambil menatap langit yang berbintang. Ia merenungkan perjalanan panjang yang telah ia lalui. Dari wanita yang kehilangan segalanya karena cinta, hingga menjadi seseorang yang kini menemukan kembali kekuatannya sendiri.

“Aku mungkin pernah jatuh, tapi aku tidak akan membiarkan diriku tetap terjatuh,” bisiknya, sambil tersenyum, menikmati rasa damai yang kini memenuhi hatinya.

Luka yang pernah ia alami kini bukan lagi menjadi beban, melainkan pelajaran berharga yang mengajarkannya tentang kehidupan. Sarah tahu bahwa hidupnya masih panjang, dan ia berhak untuk bahagia. Meskipun jalan ke depan mungkin tidak selalu mulus, ia percaya bahwa ia memiliki keberanian untuk menghadapi apa pun yang datang. Kini, ia siap untuk melangkah lebih jauh, menyongsong masa depan yang cerah dan penuh harapan.***

Source: Muhammad Reyhan Sandafa
Tags: cinta itu buat kita butacinta udah hilangtetap kuat dan bangkit dari luka
Previous Post

JARAK,RINDU DAN HARAPAN

Next Post

DIBAWAH BAYANG DENDAM

Related Posts

AKU TUNGGU KAMU KEMBALI

AKU TUNGGU KAMU KEMBALI

May 13, 2025
JODOHKU, SEMOGA BUKAN PHP

JODOHKU, SEMOGA BUKAN PHP

May 4, 2025
AKU CINTA, KAMU CUEK

AKU CINTA, KAMU CUEK

May 1, 2025
BUCIN TAK KENAL AKAL SEHAT

BUCIN TAK KENAL AKAL SEHAT

April 30, 2025
PERTEMUAN VIRTUAL YANG TAK TERDUGA

PERTEMUAN VIRTUAL YANG TAK TERDUGA

April 29, 2025
CINTA ATAU MIE INSTAN?

CINTA ATAU MIE INSTAN?

April 28, 2025
Next Post
DIBAWAH BAYANG DENDAM

DIBAWAH BAYANG DENDAM

ANTARA RINDU DAN KENANGAN

ANTARA RINDU DAN KENANGAN

KILAU CINTA LINTAS SAMUDRA

KILAU CINTA LINTAS SAMUDRA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id