Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

CINTA BERBALUT DENDAM

CINTA BERBALUT DENDAM

SAME KADE by SAME KADE
April 5, 2025
in Dendam Cinta
Reading Time: 18 mins read
CINTA BERBALUT DENDAM

Daftar Isi

  • Bab 1 Luka Lama yang Terpendam
  • Bab 2 Kembalinya Sang Bayangan Masa Lalu
  • Bab 3 Permainan Dimulai
  • Bab 4 Jebakan Manis
  • Bab 5 Luka di Balik Senyuman
  • Bab 6 Rahasia yang Terungkap
  • Bab 7 Dendam atau Cinta

Bab 1 Luka Lama yang Terpendam

Langit sore itu tampak kelabu, seolah menandakan sesuatu yang buruk akan datang. Di pinggir jalan yang sepi, di bawah pohon rindang yang sudah lama tak terurus, seorang wanita berdiri mematung. Matanya kosong, seperti melihat jauh ke dalam kenangan yang telah lama terkubur. Sesekali angin berhembus, membelai wajahnya yang masih muda, namun penuh dengan luka. Luka yang tidak tampak di permukaan, namun terasa menggerogoti hatinya.

Namanya Arika. Wanita itu berdiri di tempat yang dulu menjadi saksi bisu dari kisah cintanya yang paling pahit. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak saat itu, namun perasaan yang muncul setiap kali mengingatnya tidak pernah bisa hilang. Tempat ini, taman kecil yang dahulu sering dia datangi bersama Damar, adalah tempat mereka berbagi tawa dan impian. Semua kenangan itu kini seperti serpihan-serpihan kaca yang hancur, menggores jiwanya setiap kali dia mencoba mengingatkannya.

Damar. Nama itu selalu terngiang di telinga Arika, bahkan ketika dia berusaha keras untuk melupakan segala yang ada hubungannya dengan pria itu. Mereka pernah berbagi segalanya, dari senyuman pertama hingga janji sehidup semati. Namun, apa yang tersisa sekarang hanyalah kesedihan dan pengkhianatan yang tak termaafkan.

Dulu, dia begitu percaya pada Damar. Mereka berdua tumbuh bersama, saling melengkapi dan memberi arti satu sama lain. Cinta mereka adalah sesuatu yang tak terdefinisikan, seperti alunan melodi yang saling bersambung. Arika ingat betul bagaimana Damar selalu membuatnya merasa istimewa. Kata-kata manis yang diucapkannya, janji-janji yang seakan abadi. Mereka bahkan sudah merencanakan masa depan bersama. Tapi, semua itu hancur dalam sekejap.

Segalanya berubah ketika Arika menemukan sebuah pesan di ponsel Damar yang tidak sengaja terjatuh saat mereka sedang duduk bersama di kafe. Pesan itu tidak perlu dibaca dua kali untuk memahami apa yang terjadi. Ada nama lain, wanita lain, yang jelas bukan dirinya. Dalam pesan itu, Damar mengungkapkan perasaannya pada seorang perempuan bernama Nabila. Dia bahkan merencanakan sebuah perjalanan jauh bersama perempuan itu, seakan-akan Arika tidak pernah ada dalam hidupnya. Saat itu juga, dunia Arika runtuh. Cinta yang dia bangun dengan susah payah hancur dalam sekejap.

Perasaan yang bercampur aduk membuat Arika tidak tahu harus berbuat apa. Saat itu, ia langsung pergi ke rumah Damar, berusaha mencari jawaban dari pengkhianatan yang tidak terbayangkan. Namun, alih-alih mendapatkan penjelasan, yang ia dapatkan justru kata-kata yang menusuk hati. Damar mengakui bahwa dia memang sedang menjalin hubungan dengan Nabila, dan hubungan mereka sudah berjalan beberapa bulan tanpa sepengetahuan Arika. “Aku tidak bisa lagi terus bersama kamu,” kata Damar dengan suara yang tenang, seolah mengucapkan kalimat itu dengan ringan. “Maaf, Arika. Aku sudah tidak bisa mencintaimu lagi.”

Arika tidak bisa menahan tangisnya. Semua kenangan indah yang mereka bangun bersama seolah dibuang begitu saja, tak lebih dari selembar kertas yang sudah lusuh. Kepercayaan yang dibangun selama bertahun-tahun hancur dalam sekejap, dan hatinya merasa terkoyak. Setiap kata yang diucapkan Damar seperti pisau tajam yang menancap dalam-dalam, membuatnya merasa kehilangan bukan hanya seorang kekasih, tapi juga teman hidup yang sudah dia percayai.

Setelah kejadian itu, Arika mencoba untuk melanjutkan hidupnya. Dia berpindah tempat tinggal, menghindari tempat-tempat yang mengingatkannya pada Damar. Namun, walau bagaimana pun dia berusaha, bayangan Damar selalu ada, menghantui setiap langkahnya. Kadang, Arika bertanya pada dirinya sendiri, mengapa dia harus melalui semua ini. Apa yang salah dalam dirinya sehingga cinta itu berakhir begitu tragis?

Penyembuhan dari luka ini tidak datang dengan cepat. Waktu memang mengobati, namun tidak pernah menghapus semua jejak yang ada. Arika mencoba membuka hatinya untuk hal-hal baru, tetapi selalu ada rasa was-was. Dendam dan kekecewaan itu mengendap dalam hatinya, menunggu saat yang tepat untuk meledak.

Beberapa tahun berlalu sejak perpisahan itu, namun luka lama itu kembali terbangun dengan sendirinya. Arika tidak pernah benar-benar bisa melupakan Damar, meskipun dia mencoba untuk mencintai orang lain. Perasaan benci, rindu, dan sakit hati selalu datang bersamaan. Ada kalanya dia ingin melupakan semuanya, tetapi kenyataan itu selalu menghantuinya. Setiap kali dia melihat orang yang mirip dengan Damar, atau mendengar nama Damar disebutkan, perasaan itu kembali hadir, seolah luka itu baru saja terjadi.

Kini, di tempat yang sama, Arika kembali berdiri. Kali ini, dia tidak hanya datang untuk mengenang masa lalu, tapi juga untuk menghadapi kenyataan baru yang akan menghampirinya. Dalam hati, Arika tahu bahwa pertemuan dengan Damar yang akan datang akan membuka babak baru dalam hidupnya. Namun, apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah dia akan membiarkan dendam dan rasa sakit itu menguasai dirinya, ataukah akan menemukan cara untuk memaafkan dan melanjutkan hidup?

Luka lama yang terpendam ini, mungkin belum sepenuhnya sembuh. Tapi Arika sadar, hidupnya tidak bisa terus terhenti di tempat yang sama. Dendam itu harus diselesaikan, dan mungkin, hanya dengan menghadapinya, dia akan menemukan kedamaian yang selama ini dicari.*

Bab 2 Kembalinya Sang Bayangan Masa Lalu

Pagi itu, cuaca cerah, tetapi bagi Arya, langit tampak seperti datang dari dunia yang berbeda. Sebuah ketegangan yang tak terlihat menyelimuti dirinya, seperti ada bayangan gelap yang membayangi setiap langkahnya. Ia baru saja selesai rapat penting di kantornya dan memutuskan untuk berjalan kaki di sekitar taman kota untuk menghilangkan penat. Namun, di balik langkah kaki yang ringan, hatinya terasa begitu berat. Ada sesuatu yang mengganggu. Sesuatu yang datang begitu mendalam, bahkan lebih tajam daripada kebencian yang pernah ia rasakan.

Lalu, ia melihatnya. Bayangan itu—bayangan yang dulu pernah memberi rasa cinta dan sekaligus menghancurkan hatinya. Sinta. Dia berdiri tak jauh di depan Arya, memandang ke arah bunga-bunga yang tumbuh di sepanjang jalan taman dengan ekspresi yang tenang. Wajahnya yang dulu selalu dikenalnya kini terasa begitu asing, begitu berbeda, namun dalam caranya berdiri, Arya bisa merasakan semua kenangan yang dulu pernah mereka bagikan.

Sinta, wanita yang pernah menjadi segalanya bagi Arya, kini hadir kembali dalam hidupnya. Ia merasa seperti waktu mengulang, membawa mereka kembali ke titik itu—titik yang penuh dengan kepedihan dan pengkhianatan. Sudah hampir lima tahun sejak mereka berpisah. Lima tahun yang penuh dengan luka, yang mencoba disembunyikan dalam setiap detik perjalanan hidupnya. Dan saat ini, Sinta berdiri di depannya, seperti bayangan yang muncul dari masa lalu yang sulit dilupakan.

Arya berhenti beberapa langkah sebelum akhirnya dia benar-benar berada di hadapan Sinta. Ia menatap wanita itu dengan hati yang bergejolak. Sinta menoleh, dan mata mereka bertemu. Arya bisa merasakan semua emosi yang bergejolak dalam dirinya, namun ia berusaha tetap tenang. Sinta tampak terkejut, meski ia mencoba menyembunyikannya dengan senyum yang datar.

“Sudah lama sekali,” kata Sinta dengan suara lembut, mencoba membuka percakapan. Suaranya masih sama seperti dulu, menenangkan, namun ada sesuatu yang terlewatkan, sebuah ketulusan yang hilang.

Arya hanya mengangguk, berusaha menahan diri agar tidak tersulut emosi. “Ya, sudah lama.” Suaranya sedikit serak, menyembunyikan rasa sakit yang muncul begitu saja. Kenangan tentang bagaimana mereka pernah jatuh cinta, tentang janji yang tak pernah terwujud, dan bagaimana semua itu berakhir dengan pengkhianatan, datang kembali begitu saja.

“Bagaimana kabarmu?” Sinta bertanya lagi, meskipun Arya tahu bahwa pertanyaannya tidak lebih dari basa-basi. Sinta tidak benar-benar peduli bagaimana hidupnya setelah semuanya berakhir. Tidak setelah apa yang terjadi lima tahun lalu. Arya bisa merasakan itu.

“Saya baik-baik saja,” jawab Arya, berusaha terdengar biasa. Ia mencoba untuk tidak menunjukkan bahwa hatinya sedang terluka. Tetapi dalam pikirannya, ia tahu bahwa pertemuan ini adalah kesempatan yang ia tunggu-tunggu selama ini. Kesempatan untuk membalas semua rasa sakit yang ditinggalkan oleh Sinta.

Sinta tersenyum, tetapi senyumnya tidak menyentuh matanya. “Aku… aku ingin minta maaf atas semuanya, Arya. Atas apa yang terjadi di masa lalu.” Kata-kata itu keluar begitu saja, tanpa beban, seolah-olah permintaan maaf itu bisa memperbaiki semuanya. Tetapi Arya tahu, permintaan maaf itu sudah terlalu terlambat.

“Permintaan maafmu tidak akan mengubah apa yang terjadi, Sinta,” jawab Arya dengan suara yang lebih rendah, mengandung kepahitan. “Tidak akan mengubah kenyataan bahwa kau meninggalkanku begitu saja, tanpa penjelasan, tanpa alasan yang jelas. Kau hanya pergi, dan aku harus menerima kenyataan itu.”

Sinta tampak terkejut dengan kata-kata Arya, tetapi ia tidak mengalihkan pandangannya. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Aku tahu aku salah. Aku tidak pernah bermaksud menyakiti hatimu, tetapi kadang hidup… hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita harapkan.”

Arya tidak bisa menahan diri. “Tapi kau memilihnya, bukan? Kau memilih untuk meninggalkanku, memilih untuk melupakan segala hal yang kita bangun bersama. Dan sekarang, kau muncul kembali, meminta maaf seperti tidak ada yang terjadi.” Suara Arya semakin penuh amarah, meskipun ia berusaha keras untuk menahannya.

Sinta terdiam. Ada keheningan di antara mereka. Waktu seolah berhenti. Arya bisa merasakan perasaan yang dulu ia pendam, rasa sakit yang berakar dalam, kembali mengguncang hatinya. Dan meskipun dia ingin mengabaikan kehadiran Sinta, perasaan itu sulit untuk dihilangkan begitu saja.

“Kau ingin tahu kenapa aku kembali?” tanya Sinta, seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang penting. Arya menatapnya dengan tatapan tajam, ingin tahu apa yang akan dikatakan Sinta kali ini.

“Aku datang untuk memberi tahu bahwa aku menyesal. Aku menyesal atas segala keputusan yang aku buat dulu. Tapi aku juga tahu, aku tak bisa mengubah masa lalu. Aku hanya bisa berharap kamu bisa mengerti, Arya. Bahwa semuanya tidak sesederhana yang kita pikirkan.” Sinta berbicara dengan hati yang tampaknya penuh penyesalan. Namun, bagi Arya, kata-kata itu terasa kosong.

“Apakah kamu pikir penyesalan itu cukup?” Arya bertanya, matanya membara dengan amarah. “Apakah itu cukup untuk menghapus semua luka yang kau tinggalkan?”

Sinta menghela napas panjang. “Aku tahu aku tidak bisa membalaskan semuanya, tetapi aku ingin kita bisa berbicara. Tanpa kebencian. Tanpa rasa sakit.”

Arya terdiam, menatap Sinta dengan penuh perasaan campur aduk. Ia merasa seperti terjebak di antara keinginan untuk melupakan dan dorongan untuk membalas dendam. Namun, satu hal yang pasti—pertemuan ini baru saja dimulai, dan ini akan menjadi titik balik dari semuanya.*

Bab 3 Permainan Dimulai

Alya berdiri di balkon kamar hotel yang menghadap ke laut, memandangi gelombang yang menghantam pantai dengan kekuatan yang hampir menyerupai kebenciannya. Angin malam membawa aroma asin dari samudra, namun bagi Alya, udara itu seolah penuh dengan ketegangan yang tak terlihat. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar hebat.

Hari ini, dia bertemu lagi dengan Vino, mantan kekasih yang dulu begitu ia percayai, yang telah menghancurkan segalanya dalam hidupnya. Empat tahun lalu, Vino meninggalkan dirinya tanpa kata, tanpa alasan yang jelas. Mereka pernah berbicara tentang masa depan, tentang impian yang ingin dibangun bersama, tapi semuanya hancur dalam sekejap. Dia yang dulu memberikan segalanya, kini hanya menyisakan luka yang dalam.

Namun, pertemuan hari ini bukan tentang perasaan yang luntur, melainkan tentang sesuatu yang lebih gelap. Dendam yang tertanam dalam dirinya selama bertahun-tahun akhirnya menemukan saluran untuk tumbuh. Alya tahu, perasaan itu bisa mengendalikan dirinya jika dibiarkan, tetapi dia tidak akan membiarkannya. Dia telah menyusun rencana, sebuah permainan yang akan menguji batas kesabaran dan kebanggaan mereka berdua.

Vino datang ke kota untuk urusan bisnis, dan tak sengaja bertemu dengannya di sebuah acara pertemuan. Itu adalah momen yang tak terduga, dan Alya tahu ini adalah kesempatan yang harus dimanfaatkan. Pertama kali melihat Vino, perasaan campur aduk menyerbu dirinya. Sebuah kekosongan mengalir melalui tubuhnya, bercampur dengan rasa sakit dan benci yang mendalam. Tetapi, dia bisa mengendalikan perasaan itu. Ini bukan tentang cinta lagi, ini tentang balas dendam.

Ponselnya bergetar, mengalihkan perhatiannya dari laut. Sebuah pesan masuk dari Vino: *”Alya, kita perlu berbicara. Aku tahu ini mungkin tidak nyaman, tapi ada banyak yang harus kutjelaskan.”*

Pesan itu membuatnya tersenyum sinis. Dia sudah menunggu saat ini. Tidak ada yang perlu dijelaskan. Tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki apa yang telah terjadi. Tapi, itu bukan untuk dirinya, bukan untuk hatinya. Itu untuk permainan ini, permainan yang akan dia menangkan.

Dengan cepat, Alya membalas, *”Kita akan bertemu malam ini, di restoran dekat pantai. Aku ada waktu.”*

Dia tahu Vino tak akan bisa menahan diri. Dia akan datang. Mereka tidak pernah bisa benar-benar saling melepaskan, bahkan setelah bertahun-tahun berpisah. Alya memutar tubuhnya, melangkah menuju pintu dan menurunkan pandangannya pada gaun hitam elegan yang ia pilih untuk malam ini. Gaun itu bukan hanya untuk membuat dirinya terlihat cantik, tetapi untuk memberi pesan: bahwa dia tidak akan kembali ke masa lalu. Alya bukanlah wanita yang mudah terluka lagi.

Malam itu, restoran yang dipilih Alya tampak indah dengan cahaya lilin yang lembut, menciptakan suasana romantis yang kontras dengan ketegangan yang menggantung di antara mereka. Alya duduk di meja yang menghadap laut, menunggu dengan sabar. Tidak lama setelah itu, Vino masuk dengan mengenakan jas gelap, penampilannya tetap sama, tetapi ekspresinya lebih matang. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, tetapi Alya tahu dia masih sama.

Vino melihatnya, dan mata mereka bertemu. Sesaat, Alya merasa ada getaran aneh di antara mereka. Namun, dia dengan cepat mengusir perasaan itu. Ini bukan tentang mereka lagi. Ini adalah tentang permainan yang akan dimulai malam ini.

“Senang melihatmu lagi, Alya,” kata Vino, suaranya sedikit ragu.

“Begitu juga,” jawab Alya, suaranya tenang namun penuh arti. “Kamu terlihat baik.”

Vino duduk di depan Alya, mengatur duduknya dengan rapi. Dia menatap wanita yang dulu sangat dia cintai, tapi sekarang rasanya seperti orang asing. Alya tahu bahwa Vino tidak tahu apa yang sedang dia rencanakan, dan itu memberinya keunggulan.

“Saya… saya tahu ini mungkin sulit untukmu,” kata Vino, mencoba memulai percakapan. “Aku ingin menjelaskan apa yang terjadi. Mengapa aku pergi begitu saja…”

Alya mengangkat tangan, menghentikan ucapannya. “Vino, tidak perlu. Aku tidak perlu penjelasan. Apa yang terjadi di masa lalu biarlah tetap menjadi masa lalu.”

Vino terdiam sejenak, wajahnya menunjukkan ketegangan. “Alya, aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Aku…”

“Aku tahu,” kata Alya dengan nada datar, menyela lagi. “Dan aku juga tidak ingin membicarakan itu. Aku hanya ingin mengatakan satu hal.”

Vino menatapnya bingung, dan Alya memberikan senyum yang hampir tidak bisa dikenali. “Aku ingin kita mulai dari awal, Vino. Aku ingin kita mulai menjalin hubungan yang baru. Tapi, aku hanya ingin kamu tahu satu hal—aku tidak akan pernah bisa melupakan apa yang telah kamu lakukan. Tidak ada yang bisa mengubahnya.”

Ada keheningan panjang yang mengisi ruangan itu. Vino memandang Alya, dan dalam sekejap, dia merasakan ada sesuatu yang berbeda dari wanita itu. Alya bukanlah wanita yang dulu ia kenal. Ada keteguhan dalam sikapnya, sesuatu yang tak bisa dia pecahkan begitu saja.

Alya tersenyum dalam hati. Permainannya baru saja dimulai, dan kali ini, dia yang akan mengendalikan segalanya.*

Bab 4 Jebakan Manis

Malam itu, angin sejuk berhembus di sekitar taman kota yang sepi. Hanya ada gemerisik daun yang jatuh dari pohon-pohon besar yang berdiri angkuh di sepanjang jalan. Di bangku kayu yang terletak di bawah cahaya temaram, Amelia duduk menunggu. Tangannya memegang secangkir kopi hangat, matanya tertuju pada jalanan yang kosong. Semua perasaan yang semula penuh dengan kebencian kini berubah menjadi kebingungan. Bagaimana bisa seseorang yang pernah menghancurkan hatinya sedemikian rupa kembali hadir dalam hidupnya?

Amelia menghela napas dalam-dalam, mencoba mengusir bayangan masa lalu yang terus menghantuinya. Ada satu hal yang harus dia akui: pertemuannya dengan Arka, mantan kekasihnya, setelah bertahun-tahun tidak bertemu, memicu sesuatu yang lama terkubur di dalam hatinya. Rindu. Rindu yang tak bisa dia hindari, meskipun dia tahu bahwa pria itu adalah orang yang pernah mengkhianatinya.

Dia sudah mempersiapkan segalanya dengan hati-hati. Setiap langkah, setiap kata, bahkan setiap senyum yang dia tunjukkan pada Arka, semuanya bagian dari rencana besar untuk membalas dendam. Amelia tahu betul bahwa Arka, pria yang dulu mencintainya, masih merasa bersalah atas apa yang telah terjadi. Namun, di balik rasa penyesalan itu, ada juga perasaan yang tak pernah sepenuhnya hilang. Itulah yang akan dia manfaatkan.

Beberapa hari yang lalu, dia menerima pesan dari Arka yang memintanya untuk bertemu. Amelia merasa, ini adalah kesempatan emas. Kesempatan untuk mendekatinya, untuk merasakan kembali betapa besar pengaruh Arka dalam hidupnya, dan pada saat yang sama, untuk mengingatkan Arka betapa dalam luka yang telah ia buat. Pertemuan ini adalah bagian dari jebakan yang sudah dia rencanakan dengan matang. Semua sudah dia pikirkan dengan cermat, dan dia tahu Arka tidak akan bisa menolaknya.

Saat Arka tiba, Amelia melihatnya dari kejauhan. Wajah pria itu masih sama seperti yang dia ingat, meskipun sedikit lebih dewasa dan lelah. Di matanya, ada sorot penyesalan yang tak pernah benar-benar bisa disembunyikan. Pria itu berjalan mendekat, dan Amelia bisa merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, meskipun dia berusaha untuk tetap tenang.

“Amelia,” sapa Arka, suaranya terdengar serak dan penuh perasaan. “Terima kasih sudah datang. Aku… aku tahu aku tidak berhak meminta ini, tapi aku benar-benar ingin kita bisa berbicara.”

Amelia tersenyum kecil, matanya tajam mengamati ekspresi Arka. “Tentu, Arka. Aku kira kita sudah cukup berbicara dulu, bukan?” jawabnya dengan nada yang datar.

Arka terdiam, seolah kata-katanya terhenti di tenggorokan. Amelia bisa melihat betapa beratnya perasaan pria itu. Namun, dia tidak akan memberinya kesempatan untuk melepaskan diri. Amelia tahu betul bahwa Arka masih merasa bersalah atas apa yang terjadi, dan itulah yang akan dia manfaatkan.

“Maafkan aku,” ujar Arka, suaranya penuh penyesalan. “Aku tahu aku salah, aku tidak pernah berniat untuk menyakitimu. Jika bisa, aku ingin mengulang waktu.”

Amelia menatapnya dengan intens, matanya seolah mencari kejujuran di balik kata-kata Arka. Dia tahu bahwa pria ini masih mencintainya, tetapi dia juga tahu bahwa cinta tidak selalu cukup untuk menghapuskan luka yang dalam.

“Apakah kamu benar-benar merasa menyesal, Arka?” tanya Amelia, suaranya berubah tajam. “Apakah kamu benar-benar ingin memperbaiki semua yang telah kamu hancurkan? Atau hanya karena kamu merasa bersalah?”

Arka terdiam sejenak, seolah terhimpit oleh pertanyaan itu. Amelia melihat keraguan di matanya. Dia tahu bahwa ini adalah titik penting dalam rencananya. Jika Arka merasa cukup bersalah, dia akan lebih mudah jatuh ke dalam jebakan yang telah Amelia siapkan.

“Aku… aku memang merasa bersalah, Amelia,” kata Arka akhirnya, suara berat. “Aku tahu aku telah menghancurkan kepercayaanmu. Tapi, aku ingin berusaha menebus semuanya. Aku ingin menunjukkan padamu bahwa aku bisa berubah.”

Senyuman tipis muncul di wajah Amelia. Dia merasa sedikit puas melihat bagaimana Arka merasakan beban dari kesalahannya. Namun, di dalam hatinya, rasa benci dan rindu masih saling berperang. Dia tahu bahwa balas dendam ini bukan hanya tentang menghancurkan Arka, tetapi juga tentang menyembuhkan dirinya sendiri.

“Baiklah,” jawab Amelia, suara lembut namun penuh arti. “Mari kita mulai dari awal, Arka. Tapi ingat, ini bukan tentang aku yang ingin kembali padamu. Ini tentang membuktikan bahwa kamu benar-benar bisa memperbaiki semuanya. Aku ingin melihat apakah kamu bisa menepati janji-janji kosongmu itu.”

Arka menatapnya dengan harapan, seolah Amelia memberi peluang kedua yang tidak pernah dia bayangkan. Namun, Amelia tahu bahwa ini adalah bagian dari permainannya. Dia tahu bahwa dia masih mencintai Arka, meskipun tidak ingin mengakuinya. Tapi, untuk saat ini, dia akan tetap berada di jalur dendam. Arka harus membayar harga yang pantas untuk semua yang telah dia lakukan.

Jebakan manis ini baru saja dimulai. Dan Amelia sudah siap untuk memainkan peranannya dengan sempurna.’*

Bab 5 Luka di Balik Senyuman

Hari itu, seperti hari-hari lainnya, Arista mencoba menahan luka yang menggerogoti hati. Senyum yang ia pasang di wajahnya sudah menjadi kebiasaan, seolah-olah ia tidak memiliki masalah sama sekali. Semua orang melihatnya sebagai sosok yang kuat, tegar, dan tidak mudah patah. Namun, hanya Arista yang tahu bahwa senyum itu hanyalah topeng untuk menutupi luka lama yang tak kunjung sembuh.

Setelah pertemuannya dengan Alvaro—mantan kekasih yang dulu mengkhianatinya—segala perasaan itu kembali menghantui. Semuanya terasa begitu hidup lagi: kenangan manis yang mereka bagi, kata-kata manis yang pernah diucapkan, dan akhirnya, pengkhianatan yang mengiris hatinya begitu dalam. Arista tidak pernah membayangkan bahwa ia akan menghadapi pria itu lagi, apalagi dengan cara seperti ini. Keinginannya untuk balas dendam kini terasa semakin nyata, namun di balik setiap rencana yang ia susun, ada perasaan yang lebih sulit untuk dijelaskan.

Setelah hari pertemuan itu, Arista kembali ke rumahnya dengan langkah gontai. Sepanjang perjalanan, pikirannya melayang. Rasa benci dan rindu saling bersaing di dalam hati. Ia merasa seperti terjebak dalam jaring tak terlihat—dendam yang ia pendam bertahun-tahun begitu mengikatnya, namun hatinya tetap merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang dulu ia miliki bersama Alvaro.

Ketika tiba di rumah, Arista langsung menuju ke ruang kerjanya. Di sana, ia duduk di kursinya dan membuka lembaran-lembaran catatan yang telah ia buat. Setiap kata dalam catatan itu adalah langkah demi langkah menuju balas dendam. Namun, meski ia begitu bertekad, ada satu hal yang tak bisa ia hindari—perasaan yang mulai kembali muncul setiap kali ia mengingat wajah Alvaro.

Tiba-tiba, ia teringat saat pertama kali bertemu dengan Alvaro. Saat itu, ia masih muda dan penuh dengan harapan. Mereka berdua adalah pasangan yang sempurna, setidaknya di mata orang lain. Cinta mereka bagaikan cerita dalam buku dongeng—indah, penuh tawa, dan penuh janji. Namun, semuanya berubah setelah pengkhianatan itu terjadi. Arista tidak pernah benar-benar tahu apa yang membuat Alvaro tega meninggalkannya, namun yang ia tahu adalah bahwa rasa sakit yang ditinggalkan jauh lebih dalam daripada apapun yang bisa ia bayangkan.

Arista menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tahu bahwa di balik setiap senyum yang ditampilkan kepada orang lain, ada beban yang lebih besar yang harus ia tanggung. Ia tak ingin menjadi lemah, apalagi menunjukkan sisi rapuhnya kepada siapa pun. Tetapi semakin lama, semakin ia merasa kesulitan untuk menghadapinya.

Ia pun memutuskan untuk melangkah keluar rumah. Mungkin sedikit udara segar bisa membuat pikirannya lebih jernih. Arista berjalan menyusuri trotoar, menyaksikan dunia berjalan dengan normal, sementara hatinya terasa jauh lebih berat dari sebelumnya.

Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang teman lama yang ia kenal sejak masa kuliah. Temannya, Tania, menyapa dengan senyum cerah, tanpa mengetahui beban yang sedang Arista tanggung.

“Arista, sudah lama tak jumpa! Kamu kelihatan baik-baik saja ya?” tanya Tania dengan penuh semangat.

Arista memaksakan senyum di wajahnya, seperti biasa. “Ya, Tania. Semuanya baik-baik saja.” Jawabnya dengan nada ringan.

Tania memandangnya dengan perhatian. “Apakah kamu benar-benar baik-baik saja? Kalau ada masalah, jangan ragu untuk bicara, ya.”

Arista terdiam sejenak. Tania mungkin tidak tahu bahwa masalah yang ia hadapi jauh lebih besar dari yang bisa dijelaskan dengan kata-kata. Namun, Arista tidak ingin membebani teman-temannya. Ia tidak ingin terlihat lemah. Lagi-lagi, senyuman itu muncul tanpa bisa ia tahan.

“Terima kasih, Tania. Aku akan baik-baik saja,” jawabnya.

Namun, dalam hati, ia tahu bahwa tidak ada yang akan pernah sama. Di balik senyuman itu, luka yang ia rasakan begitu dalam. Ia teringat kembali saat-saat ia bertemu dengan Alvaro beberapa hari yang lalu. Wajahnya, sorot matanya, semuanya begitu familiar, dan perasaan yang ia pendam selama bertahun-tahun kembali mengalir deras. Tetapi, meskipun hatinya bergejolak, Arista tahu bahwa ia tidak bisa menyerah pada perasaan itu. Ia tidak bisa kembali kepada pria yang telah menghancurkan dirinya.

Tania memandang Arista dengan tatapan penuh kebingungan, namun tidak bertanya lebih lanjut. Ia hanya memberi pelukan singkat sebelum melanjutkan perjalanannya. Arista pun melanjutkan langkahnya, namun kali ini dengan perasaan yang sedikit lebih berat. Senyum yang ia pasang bukan lagi senyum kebahagiaan, tetapi senyum yang penuh dengan kepahitan. Ia mulai menyadari, semakin ia berusaha menunjukkan kekuatan di luar, semakin dalam luka itu menghunjam dalam dirinya.

Sesampainya di rumah, Arista duduk kembali di kursinya. Ia melihat catatan-catatan tentang balas dendam yang telah ia buat sebelumnya. Tapi kali ini, ia merasa ada yang tidak beres. Setiap kata yang ia tulis terasa semakin kosong. Ada perasaan kosong yang tidak bisa ia isi dengan dendam semata. Ia merasa bahwa meskipun balas dendam bisa memberinya kepuasan sesaat, luka di hatinya tetap akan tinggal, dan mungkin ia tak akan pernah benar-benar bisa melupakan Alvaro.

Tapi, apakah mungkin ia bisa membiarkan perasaan itu menguasainya? Apakah ia bisa menerima kenyataan bahwa cintanya yang dulu masih ada, meski diselimuti oleh rasa sakit yang mendalam? Arista menatap langit malam yang gelap, merasakan ketegangan dalam dirinya yang semakin kuat.

Luka di balik senyumannya mungkin tidak akan pernah hilang. Tapi apakah ia akan tetap membiarkan dirinya terperangkap dalam kenangan itu, ataukah ia akan memilih untuk menghadapinya dengan cara yang lebih baik?

Hanya waktu yang bisa menjawabnya.*

Bab 6 Rahasia yang Terungkap

Malam itu, hujan turun dengan deras, membasahi jalanan yang sudah lama tak dilalui kendaraan. Sinar lampu jalan yang temaram menciptakan bayangan yang semakin memperburuk suasana hati Aira. Ia duduk di ruang tamu apartemennya, memegang secangkir teh yang tak lagi hangat. Keheningan malam seakan memperdalam kesendiriannya, membiarkan pikirannya berputar-putar dalam kekosongan.

Aira tidak bisa melupakan kejadian beberapa hari yang lalu, saat ia bertemu dengan Raka. Mantan kekasihnya yang dulu meninggalkannya tanpa kata, kini muncul kembali dalam hidupnya dengan wajah yang penuh penyesalan. Tapi bukan penyesalan itu yang mengusik hati Aira, melainkan sesuatu yang lebih gelap yang ia baru temukan.

Pada awalnya, Aira ingin menjalankan rencananya untuk membalas dendam. Tapi semakin dekat ia dengan Raka, semakin ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Raka bukanlah orang yang dulu ia kenal. Ia lebih diam, lebih gelisah, seolah ada beban berat yang membayangi dirinya.

Pikiran Aira terus terfokus pada kata-kata Raka beberapa hari lalu. “Aku tidak bisa menjelaskan semuanya, Aira. Ada sesuatu yang terjadi di luar kendali kita berdua.” Kalimat itu menghantui setiap malamnya. Raka seperti mencoba mengungkapkan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang mungkin tidak ia ketahui.

Malam ini, Aira memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu, kenapa Raka begitu berubah, dan apa yang telah menyebabkan hubungan mereka hancur begitu saja.

Dengan tekad yang bulat, Aira membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil yang selama ini ia sembunyikan. Kotak itu berisi dokumen-dokumen yang ia kumpulkan selama berbulan-bulan, sejak pertama kali ia merasakan ada yang janggal dalam perpisahan mereka. Beberapa surat, pesan, dan catatan dari teman-teman lama yang akhirnya memberinya petunjuk tentang kebenaran yang tersembunyi.

Aira menarik sebuah surat dari dalam kotak tersebut. Surat yang dulu ia terima dari teman Raka, Dika, yang kini sudah lama tidak ia temui. Surat itu tertanggal beberapa minggu setelah perpisahannya dengan Raka. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Aira membaca isi surat itu.

“Maafkan aku, Aira. Aku tahu kamu tidak akan mudah menerima ini, tapi aku harus mengatakannya. Raka tidak meninggalkanmu karena dia tidak mencintaimu. Ada hal lain yang terjadi, sesuatu yang jauh lebih rumit. Seseorang yang sangat berpengaruh telah mengancam nyawa orang tuanya, dan Raka harus membuat pilihan yang sulit. Jika dia tetap bersamamu, semuanya akan berakhir dengan tragis. Dia tidak bisa memberitahumu, karena itu akan membahayakan kita semua. Aku harap suatu saat kamu bisa memaafkan dia, karena dia sangat mencintaimu.”

Aira menurunkan surat itu dengan perasaan campur aduk. Semua yang selama ini ia rasakan, tentang rasa ditinggalkan, rasa dikhianati, seakan runtuh begitu saja. Apakah ini alasan sebenarnya? Apakah Raka benar-benar terjebak dalam situasi yang tak terduga?

Aira berdiri dari kursinya, melangkah ke jendela yang menghadap ke jalanan yang basah. Pikirannya kacau, tidak tahu harus bagaimana. Ia merasa tertipu oleh kenyataan yang selama ini ia anggap sebagai kebenaran. Raka bukanlah orang yang tidak peduli. Dia hanya terpaksa mengorbankan cintanya demi keselamatan orang tuanya. Namun, kenapa Raka tidak pernah memberitahunya? Mengapa ia harus menanggung rasa sakit itu sendirian?

Aira menatap bayangannya di cermin. Sudah terlalu lama ia membiarkan rasa benci dan dendam menguasai dirinya. Apakah kini saatnya untuk melepaskan semuanya? Untuk melihat Raka dengan cara yang berbeda?

Tiba-tiba, ponsel Aira bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenalnya. Tanpa ragu, Aira membuka pesan itu.

“Ini Dika. Aku tahu kamu menemukan surat itu. Aku ingin bicara. Aira, ada lebih banyak yang harus kamu ketahui.”

Aira merasa darahnya berdesir. Pesan itu mengonfirmasi apa yang telah ia temui, tapi juga membuka kemungkinan baru yang belum ia pahami sepenuhnya. Apa lagi yang harus ia ketahui? Mengapa Dika kembali muncul setelah sekian lama?

Dengan hati yang berdebar, Aira memutuskan untuk menghubungi Dika dan bertemu dengannya. Ia tidak bisa lagi berlarut-larut dalam kebingungannya. Raka, Dika, dan rahasia yang selama ini disembunyikan, semuanya harus diungkap. Ini bukan hanya tentang balas dendam lagi. Ini tentang mencari kebenaran yang sudah terlalu lama terkubur dalam bayang-bayang masa lalu.*

Bab 7 Dendam atau Cinta

Hati Mia berdegup kencang saat dia berdiri di depan pintu yang familiar, namun kini terasa asing. Pintu itu adalah pintu yang pernah membawanya ke dalam kenangan indah bersama Adrian, pria yang dulu dia percayai sepenuh hati. Namun, semua itu hancur ketika pengkhianatan yang tak termaafkan terjadi. Kini, Mia berdiri di sini, untuk alasan yang sangat berbeda.

Adrian, mantan kekasih yang tak pernah dia lupakan, kembali hadir dalam hidupnya, tapi kali ini bukan sebagai pria yang dulu dicintainya, melainkan sebagai sasaran balas dendam. Mia telah merencanakan ini dengan sangat matang. Setelah bertahun-tahun berusaha untuk melupakan semuanya, dia tahu bahwa waktunya untuk membalas sakit hatinya telah tiba.

Pintu terbuka, dan Adrian muncul di sana. Tatapannya yang dulu penuh cinta kini tampak penuh keraguan. Matanya memandang Mia dengan ekspresi yang sulit dibaca. Mia hanya berdiri di sana, menatapnya dengan tajam. Perasaan yang selama ini dipendam dalam hati kini menggelegak seperti api yang siap membakar.

“Kenapa kamu di sini, Mia?” suara Adrian terdengar penuh kebingungan, namun ada sedikit ketegangan yang menyelip di sana. Mia tidak menjawab langsung. Dia hanya berdiri, mengamati pria yang pernah ia cintai, yang kini menjadi musuh dalam hidupnya. Ternyata, perasaan benci dan cinta itu benar-benar bertentangan dalam dirinya, seperti dua kutub magnet yang saling menarik sekaligus menolak.

“Kenapa kamu tidak bisa meninggalkanku sendiri, Adrian?” Mia akhirnya berkata dengan suara yang terdengar lebih dingin daripada yang dia maksudkan. “Sudah cukup apa yang kamu lakukan pada aku dulu. Kamu menghancurkan hidupku.”

Adrian terdiam sejenak, tatapan matanya berubah, seolah berusaha mengenali siapa wanita yang ada di depannya ini. Wajah Mia terlihat lebih tegas, lebih matang, dan lebih kuat daripada yang dia ingat. Wajah yang dulu selalu cerah dan penuh harapan kini tampak penuh luka, meski Mia berusaha menyembunyikannya.

“Apa maksudmu?” tanya Adrian dengan suara yang lebih dalam, hampir terdengar seperti sebuah desahan. “Aku tahu aku telah membuat kesalahan besar, Mia. Tapi, aku ingin menjelaskan semuanya.”

Mia menggelengkan kepala, matanya berkaca-kaca, tetapi ia menahan diri untuk tidak menangis. Setiap kata yang diucapkan Adrian seolah menambah luka di hatinya. Dulu, ia juga mendambakan penjelasan, permintaan maaf, dan penebusan dari Adrian. Namun kini, setelah bertahun-tahun berlalu, setelah melewati banyak malam yang penuh tangisan dan kesepian, Mia menyadari bahwa penjelasan itu tidak akan pernah bisa mengembalikan apa yang hilang.

“Penjelasan?” Mia menatapnya tajam, “Sudah terlambat untuk itu, Adrian. Kamu tahu apa yang kamu lakukan, dan sekarang kamu datang hanya untuk mengganggu kehidupanku lagi?”

Adrian melangkah lebih dekat, mencoba menjangkau tangan Mia yang terlipat di dada. Mia mundur sedikit, menahan jarak yang berusaha dibangun kembali oleh Adrian.

“Mia, aku tahu aku tidak bisa mengubah masa lalu. Aku tahu apa yang aku lakukan salah, sangat salah,” kata Adrian dengan suara yang hampir pecah. “Tapi aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Aku ingin memperbaikinya. Aku ingin kamu tahu kalau aku menyesal.”

Mia menatapnya, dan untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, dia merasakan keraguan yang luar biasa. Kata-kata Adrian menggugah sisi hatinya yang masih mencintainya. Sebagian dari dirinya ingin percaya, ingin kembali berada dalam pelukan itu, merasakan sentuhan hangat yang dulu mereka bagi. Tetapi, ada sesuatu dalam dirinya yang mengatakan tidak. Dendam yang dia rasakan lebih kuat daripada cinta yang sempat ada di antara mereka.

“Tidak, Adrian,” jawab Mia pelan, tapi tegas. “Cinta itu sudah mati. Yang ada sekarang hanya rasa sakit yang kamu tinggalkan. Aku tidak bisa begitu saja melupakan semuanya hanya karena kamu datang dengan penyesalan.”

Adrian terlihat seperti baru saja dipukul mundur. Wajahnya memucat, namun ada kekuatan dalam tatapannya. Mia merasa seolah-olah dia bisa melihat kebingungan dan keputusasaannya. Dulu, Mia juga merasa seperti itu. Namun, sekarang semuanya sudah berbeda.

“Apa yang kamu mau, Mia?” Adrian bertanya, suaranya hampir tak terdengar. “Apakah kamu benar-benar ingin aku pergi begitu saja? Meninggalkanmu tanpa memberi kesempatan untuk memperbaiki semua yang telah rusak?”

Mia menarik napas panjang. Hatinya terasa sangat berat, tapi dia tahu dia tidak bisa kembali ke masa lalu. Dia sudah terlalu lama terjebak dalam bayang-bayangnya. Sekarang, dia harus memilih. Dendam atau cinta. Apakah dia akan membiarkan masa lalu mengendalikan hidupnya, atau dia akan membiarkan cinta, yang entah masih ada atau tidak, mengalahkan segalanya?

“Dendam ini adalah apa yang membuat aku bertahan sejauh ini, Adrian,” kata Mia, suara tegasnya kembali terdengar. “Cinta mungkin masih ada di dalam diriku, tapi aku tidak akan membiarkan itu menghancurkan hidupku lagi.”

Adrian tampak terpukul, namun tidak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutnya lagi. Mia berbalik dan melangkah pergi, menutup babak lama dalam hidupnya yang sempat dipenuhi cinta dan pengkhianatan.

Dan saat Mia melangkah menjauh, ia tahu bahwa perjalanannya belum selesai. Ini adalah awal dari perjalanan baru—sebuah perjalanan di mana dia akhirnya bisa memilih, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk masa depannya yang bebas dari bayang-bayang dendam dan cinta yang tak pernah bisa kembali.***

—————THE END————-

 

Source: DELA SAYFA
Tags: #Cinta Tak Terungkapkan #Kenangan Cinta #PePerjaang# Palanan Emosionalmisahan yhit Cinta yang Hilang#dendamcinta#masalalu
Previous Post

Asmara di Balik Tirai Rahasia

Next Post

HATI YANG TAK TERPINDAH

Related Posts

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

May 14, 2025
SAAT LUKA MENJADI CINTA

SAAT LUKA MENJADI CINTA

May 13, 2025
JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

May 12, 2025
Next Post
HATI YANG TAK TERPINDAH

HATI YANG TAK TERPINDAH

Dosa yang Kucinta

Dosa yang Kucinta

ASMARA YANG BERBALUT LUKA

ASMARA YANG BERBALUT LUKA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id