Bab 1: Awal Cinta
Bertemu pertama kali di sebuah acara kampus atau pertemuan tak terduga yang mempertemukan Fahri dan Nina. Mereka langsung terhubung dan memiliki banyak kesamaan.
Momen-momen manis yang terjadi sebelum mereka mulai menjalani hubungan, seperti obrolan panjang, kencan pertama, dan janji untuk saling mendukung dalam segala hal.
Konflik awal: Ketika Fahri harus menerima pekerjaan yang mengharuskan dia pindah ke luar negeri, mereka terpaksa menjalani hubungan jarak jauh. Keduanya berusaha untuk tetap menjaga cinta mereka, meskipun ada ketidakpastian tentang masa depan.
Cerita dimulai dengan memperkenalkan Fahri dan Nina, dua orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda, namun memiliki banyak kesamaan yang membuat mereka saling tertarik satu sama lain. Fahri adalah seorang pria muda yang baru saja lulus kuliah dan mulai membangun kariernya. Dia dikenal sebagai sosok yang serius, penuh ambisi, namun sedikit tertutup tentang perasaannya. Sedangkan Nina adalah wanita yang ceria, terbuka, dan penuh semangat. Ia memiliki kehidupan yang cukup sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan sosialnya, tetapi ada kekosongan di hatinya yang belum terisi.
Latar tempat bisa dimulai di kampus, tempat pertama kali mereka bertemu. Fahri adalah seorang mahasiswa teknik, sedangkan Nina adalah mahasiswi sastra. Mereka bertemu di sebuah acara kampus—mungkin acara seminar atau workshop yang mereka hadiri karena alasan berbeda, tetapi pertemuan mereka itu ternyata membawa dampak besar dalam hidup mereka.
Malam itu, acara seminar diadakan di ruang besar kampus. Semua peserta duduk dengan serius, mendengarkan pemateri yang memberikan ceramah mengenai topik karier dan pengembangan diri. Fahri duduk di barisan paling depan, mencatat dengan teliti, sementara Nina duduk di barisan belakang, tampak sedikit bosan, lebih tertarik pada ponselnya daripada pada topik yang dibahas.
Fahri (memandang layar laptopnya):
“Penting untuk selalu fokus, apapun yang terjadi. Aku harus siap dengan segala peluang yang ada.”
Ketika seminar selesai, semua orang mulai beranjak keluar dari ruangan. Fahri berusaha untuk segera pergi, karena dia memiliki jadwal lain yang harus dihadiri. Namun, di pintu keluar, ia tanpa sengaja bertabrakan dengan Nina yang sedang mencari tasnya di bawah meja.
Nina (terkejut, suaranya terkejut):
“Aduh! Maaf, aku nggak sengaja…”
Fahri (melihat Nina dan tersenyum malu):
“Tidak masalah. Kamu oke?”
Nina (tersenyum dan mengangguk, kemudian tertawa kecil):
“Aku hanya sedikit kikuk. Nggak sengaja menyenggol tas saya.”
Keduanya tertawa, dan mulai terlibat dalam percakapan ringan. Fahri yang jarang berbicara dengan orang baru, merasa nyaman berbicara dengan Nina. Nina yang biasanya selalu dikelilingi teman-teman, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri Fahri yang membuatnya ingin mengenalnya lebih jauh.
Nina:
“Kamu ini tipe orang yang serius, ya? Kayaknya kalau lihat di seminar tadi, kamu lebih fokus dari yang lain.”
Fahri:
“Mungkin. Aku memang orangnya serius kalau soal kerjaan. Tapi bukan berarti nggak bisa santai juga kok.”
Nina (menarik napas):
“Serius? Berarti kamu jarang punya waktu untuk hal-hal lain, ya?”
Fahri (tersenyum tipis):
“Aku punya waktu untuk hal-hal yang penting, meski terkadang aku lebih memilih menghabiskan waktu dengan hal yang bisa membuatku berkembang.”
Nina:
“Berarti kamu nggak tertarik buat bersenang-senang, ya? Kalau begitu, kamu nggak akan tahu serunya hidup kalau hanya fokus kerja aja.”
Percakapan mereka berlangsung dengan santai, meskipun mereka baru saja bertemu. Di sinilah benih awal ketertarikan mereka mulai tumbuh. Fahri merasa ada keterhubungan dengan Nina, sementara Nina merasakan sisi kehangatan yang jarang ia temui pada pria lain.
Setelah pertemuan pertama mereka, Fahri dan Nina mulai saling bertukar pesan singkat melalui aplikasi pesan, membahas hal-hal ringan seperti kuliah, kegiatan kampus, dan bahkan mengomentari hal-hal lucu yang terjadi selama seminar. Percakapan mereka yang dulunya ringan dan sekadar saling mengenal, mulai berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam. Mereka mulai saling berbagi pikiran, perasaan, dan impian masa depan mereka.
Nina (dalam pesan):
“Kamu itu tipe orang yang serius ya. Pasti banyak yang nggak ngerti kamu, deh. Kalau aku sih, lebih suka menikmati hidup, walaupun kadang kadang nyari tantangan.”
Fahri (balas pesan, sedikit tersenyum):
“Aku tahu, Nina. Tapi, kalau hidup terlalu santai, takutnya kita nggak berkembang, kan?”
Nina (balas cepat, sedikit bercanda):
“Serius banget sih kamu. Tapi, jangan khawatir, aku akan tunjukkan kalau hidup bisa juga dinikmati tanpa harus terlalu keras.”
Hari-hari berikutnya, mereka semakin sering bertemu di acara kampus, meskipun dalam konteks yang berbeda—mungkin saat mengambil tugas bersama atau ketika ikut acara kemahasiswaan. Mereka mulai merasa nyaman satu sama lain. Setiap pertemuan membawa mereka lebih dekat, dan percakapan yang dulunya tentang hal-hal ringan, mulai menyentuh topik lebih dalam.
Suatu sore, mereka duduk bersama di taman kampus setelah kelas selesai. Saat itu, Nina membuka topik yang agak serius, meskipun suasana hati mereka ceria.
Nina:
“Kamu tahu, Fahri, aku selalu merasa seperti ada dua dunia yang bertabrakan dalam hidupku. Ada dunia akademik yang serius, dan dunia sosial yang bebas. Kadang aku bingung, harus pilih yang mana.”
Fahri (mendengarkan dengan serius, memberikan perhatian penuh):
“Aku juga merasa begitu. Dunia akademik memang membuat kita merasa terikat, tapi kadang aku ingin berlari ke dunia lain yang lebih bebas.”
Nina (tersenyum, merasa nyaman berbicara dengan Fahri):
“Aku suka kalau kamu bisa ngerti. Kadang aku bingung, apakah aku terlalu menahan diri atau justru terlalu bebas.”
Fahri (memandang Nina dengan tatapan lembut):
“Aku pikir, kita hanya perlu menemukan keseimbangan. Tidak ada yang salah dengan memilih satu hal, asalkan kita tahu apa yang benar-benar kita inginkan.”
Nina terdiam sejenak, merasakan kedalaman percakapan ini. Tanpa sadar, keduanya mulai merasa bahwa mereka sudah mengenal satu sama lain lebih jauh daripada yang mereka kira. Tidak hanya sekadar teman biasa, ada sesuatu yang lebih.
Fahri mulai menyadari bahwa rasa rindu yang tumbuh setiap kali mereka tidak bertemu, bukan sekadar perasaan biasa, melainkan perasaan yang lebih dalam. Nina juga merasakan hal yang sama, meskipun ia sedikit ragu dengan perasaannya.
Pada suatu sore yang cerah, saat mereka duduk di bangku taman, Fahri akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya.
Fahri (melihat Nina dengan serius, kemudian tersenyum malu):
“Nina, aku nggak tahu mulai dari mana, tapi… Aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman antara kita.”
Nina (terkejut, tapi juga merasakan hal yang sama):
“Kamu juga merasa begitu? Aku juga merasakannya, Fahri. Aku merasa kita lebih dari teman.”
Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk lebih serius menjalani hubungan ini, meskipun mereka tahu bahwa dunia mereka sangat berbeda. Tetapi, mereka merasa bahwa perasaan mereka lebih dari cukup untuk membuat segala perbedaan menjadi tidak berarti.
berkembang dengan cara yang tak terduga. Setiap pertemuan mereka selalu terasa istimewa. Dalam perjalanan waktu, kedekatan mereka tumbuh secara perlahan, tetapi pasti.
Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Di setiap kesempatan, entah itu saat makan siang bersama teman-teman kampus atau saat menunggu kelas dimulai, mereka berbincang dengan santai tentang berbagai hal. Setiap percakapan menjadi momen penting bagi mereka, baik yang ringan maupun yang lebih mendalam.
Suatu hari, setelah menyelesaikan ujian tengah semester, Fahri dan Nina memutuskan untuk pergi ke kafe favorit mereka di dekat kampus. Fahri mengajak Nina untuk berbicara lebih santai dan menghilangkan ketegangan pasca ujian.
Fahri (tersenyum melihat Nina yang tampak kelelahan):
“Ayo, kita ke kafe. Aku tahu kamu pasti butuh relaksasi setelah ujian tadi.”
Nina (tersenyum lelah, namun senang dengan perhatian Fahri):
“Kamu tahu banget, ya. Rasanya otak aku udah kayak mau meledak. Aku bisa ketawa bebas sekarang!”
Mereka duduk di sebuah meja kecil di pojok kafe, dikelilingi oleh suasana hangat dan lampu temaram yang memberi kenyamanan. Tanpa disadari, percakapan mereka mulai mengalir begitu alami. Fahri mulai menceritakan kisah-kisah lucu tentang masa kecilnya, tentang bagaimana ia dulu sangat pendiam dan tidak terlalu tertarik dengan hal-hal sosial. Nina, dengan karakter cerianya, mulai bercerita tentang kehidupannya di rumah dan bagaimana dia selalu ingin mengubah dunia dengan menulis.
Nina (mengangkat cangkir kopinya, sambil tertawa kecil):
“Dulu aku mikir, kalau aku jadi penulis, aku bakal jadi terkenal. Tapi sekarang, aku lebih realistis, sih. Semua itu nggak semudah yang aku bayangkan.”
Fahri (memandang Nina dengan penuh perhatian):
“Aku bisa lihat itu di mata kamu. Kamu punya visi yang besar, Nina.”
Nina (tersenyum, sedikit malu):
“Mungkin, tapi terkadang aku merasa nggak cukup bagus untuk itu. Banyak orang yang lebih berbakat. Kamu pasti punya impian juga, kan?”
Fahri (tersenyum tipis, matanya sedikit berbinar):
“Aku ingin jadi orang yang sukses dalam karierku. Mungkin terdengar klise, tapi itu memang tujuan hidupku.”
Nina (mengangguk paham):
“Tapi, bukankah kamu juga ingin punya kehidupan yang lebih… seimbang? Karier itu penting, tapi hidup nggak cuma soal kerja, kan?”
Fahri (tersenyum lemah):
“Kamu benar. Terkadang aku terjebak dalam rutinitas. Tapi, entah kenapa, aku merasa nyaman berbicara denganmu. Sepertinya, kamu membuat aku melihat sisi lain dari hidup ini.”
Nina (memandang Fahri dengan tatapan lembut):
“Itu karena aku nggak terlalu serius dalam hidup. Aku lebih menikmati perjalanan daripada terlalu khawatir tentang hasil.”
Fahri dan Nina saling bertukar pandang, dan ada semacam kedekatan yang mereka rasakan. Meskipun mereka datang dari dunia yang sangat berbeda, mereka mulai melihat banyak kesamaan di antara mereka.
Satu minggu setelah pertemuan mereka di kafe, kehidupan mereka mulai menunjukkan perbedaan yang nyata. Fahri harus pergi untuk sebuah program magang di luar kota, yang mengharuskannya meninggalkan kampus untuk beberapa bulan. Nina merasa cemas, tetapi dia tidak ingin menghalangi kesempatan Fahri untuk mengembangkan kariernya.
Namun, sebelum pergi, Fahri dan Nina memutuskan untuk bertemu di taman kampus untuk berbicara lebih serius. Mereka duduk di bangku taman yang sama tempat mereka berbicara beberapa waktu lalu. Perasaan mereka sudah lebih dalam, dan keduanya merasa ada sesuatu yang kuat di antara mereka.
Fahri (dengan ragu, menatap Nina):
“Nina, aku harus pergi ke luar kota minggu depan untuk magang. Aku nggak tahu seberapa lama, tapi aku benar-benar ingin kamu tahu bahwa… aku akan merindukanmu.”
Nina (menatap Fahri, matanya terlihat sedikit berkaca-kaca):
“Aku juga akan merindukanmu, Fahri. Tapi aku nggak ingin menghalangi impianmu. Aku tahu ini kesempatan besar untuk kamu.”
Fahri (meraih tangan Nina dengan lembut):
“Aku tahu kamu kuat. Aku hanya khawatir, aku nggak ingin hubungan kita jadi lebih rumit karena jarak.”
Nina (tersenyum lemah, berusaha terlihat tegar):
“Jarak itu memang menguji, tapi aku percaya kita bisa bertahan. Kita harus tetap saling percaya.”
Mereka duduk diam sejenak, menikmati detik-detik kebersamaan mereka. Fahri merasakan perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya—rindu yang mulai tumbuh bahkan sebelum mereka berpisah. Nina juga merasakan hal yang sama, meskipun dia berusaha untuk tidak menunjukkan betapa beratnya perasaan yang ada di hatinya.
Fahri (menatap Nina dengan serius):
“Nina, aku ingin kamu tahu bahwa aku… aku ingin kita tetap bersama. Tidak peduli seberapa jauh kita terpisah.”
Nina (dengan lembut, menggenggam tangan Fahri):
“Aku juga, Fahri. Aku nggak tahu ke depannya seperti apa, tapi aku ingin tetap ada untuk kamu.”
Setelah pertemuan itu, Fahri meninggalkan kampus untuk melanjutkan magangnya di luar kota. Mereka berdua merasa rindu, tetapi mereka berusaha untuk tetap menjaga komunikasi. Setiap pagi, Fahri dan Nina saling mengirim pesan untuk mengucapkan selamat pagi, berbagi cerita tentang kegiatan mereka, dan berbicara tentang segala hal yang mereka alami.
Rindu yang mereka rasakan semakin dalam, dan meskipun mereka tidak selalu bisa berbicara setiap saat, mereka merasa bahwa hubungan mereka tetap berjalan meskipun jarak memisahkan. Mereka berdua merasa semakin terikat dan saling menguatkan, meskipun ujian besar masih menunggu mereka.
Bab 1 berakhir dengan keduanya sepakat untuk tetap menjaga hubungan mereka meskipun jarak dan waktu akan selalu menguji. Mereka tahu bahwa cinta mereka bukan sekadar perasaan sesaat, tetapi sebuah komitmen yang lebih dalam yang akan terus berkembang seiring berjalannya waktu.
Fahri (mengirim pesan terakhir sebelum keberangkatannya):
“Aku akan merindukanmu, Nina. Tetapi aku yakin kita bisa melewati ini. Aku janji kita akan bertemu lagi.”
Nina (membalas dengan penuh harapan):
“Aku juga akan merindukanmu, Fahri. Tapi kita akan terus berjuang, kan? Kita pasti bisa.”
Bab ini menandai awal dari perjalanan cinta mereka yang penuh tantangan. Mereka tahu bahwa rindu mereka akan menguji kesetiaan dan komitmen mereka, tetapi mereka juga tahu bahwa cinta yang tumbuh di antara mereka adalah sesuatu yang tidak bisa terpisahkan oleh jarak.*
Bab 2: Berjuta Rindu
Fahri dan Nina mulai merasakan betapa besar rindu yang mereka rasakan satu sama lain. Mereka mencoba saling menghubungi melalui telepon, video call, dan surat-surat manis.
Cerita mengisahkan betapa rindu itu membekas di hati mereka, tetapi mereka tahu bahwa hanya ada satu cinta yang akan tetap mereka jaga, meskipun dunia terasa menjauhkan mereka.
Di sini, fokus pada bagaimana mereka saling mengingatkan satu sama lain tentang komitmen mereka meskipun jarak memisahkan.
Cerita dimulai dengan memperkenalkan Fahri dan Nina, dua orang yang berasal dari latar belakang yangberbeda, namun memiliki banyak kesamaan yang membuat mereka saling tertarik satu sama lain. Fahri adalah seorang pria muda yang baru saja lulus kuliah dan mulai membangun kariernya. Dia dikenal sebagai sosok yang serius, penuh ambisi, namun sedikit tertutup tentang perasaannya. Sedangkan Nina adalah wanita yang ceria, terbuka, dan penuh semangat. Ia memiliki kehidupan yang cukup sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan sosialnya, tetapi ada kekosongan di hatinya yang belum terisi.
Latar tempat bisa dimulai di kampus, tempat pertama kali mereka bertemu. Fahri adalah seorang mahasiswa teknik, sedangkan Nina adalah mahasiswi sastra. Mereka bertemu di sebuah acara kampus—mungkin acara seminar atau workshop yang mereka hadiri karena alasan berbeda, tetapi pertemuan mereka itu ternyata membawa dampak besar dalam hidup mereka.
Malam itu, acara seminar diadakan di ruang besar kampus. Semua peserta duduk dengan serius, mendengarkan pemateri yang memberikan ceramah mengenai topik karier dan pengembangan diri. Fahri duduk di barisan paling depan, mencatat dengan teliti, sementara Nina duduk di barisan belakang, tampak sedikit bosan, lebih tertarik pada ponselnya daripada pada topik yang dibahas.
Fahri (memandang layar laptopnya):
“Penting untuk selalu fokus, apapun yang terjadi. Aku harus siap dengan segala peluang yang ada.”
Ketika seminar selesai, semua orang mulai beranjak keluar dari ruangan. Fahri berusaha untuk segera pergi, karena dia memiliki jadwal lain yang harus dihadiri. Namun, di pintu keluar, ia tanpa sengaja bertabrakan dengan Nina yang sedang mencari tasnya di bawah meja.
Nina (terkejut, suaranya terkejut):
“Aduh! Maaf, aku nggak sengaja…”
Fahri (melihat Nina dan tersenyum malu):
“Tidak masalah. Kamu oke?”
Nina (tersenyum dan mengangguk, kemudian tertawa kecil):
“Aku hanya sedikit kikuk. Nggak sengaja menyenggol tas saya.”
Keduanya tertawa, dan mulai terlibat dalam percakapan ringan. Fahri yang jarang berbicara dengan orang baru, merasa nyaman berbicara dengan Nina. Nina yang biasanya selalu dikelilingi teman-teman, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri Fahri yang membuatnya ingin mengenalnya lebih jauh.
Nina:
“Kamu ini tipe orang yang serius, ya? Kayaknya kalau lihat di seminar tadi, kamu lebih fokus dari yang lain.”
Fahri:
“Mungkin. Aku memang orangnya serius kalau soal kerjaan. Tapi bukan berarti nggak bisa santai juga kok.”
Nina (menarik napas):
“Serius? Berarti kamu jarang punya waktu untuk hal-hal lain, ya?”
Fahri (tersenyum tipis):
“Aku punya waktu untuk hal-hal yang penting, meski terkadang aku lebih memilih menghabiskan waktu dengan hal yang bisa membuatku berkembang.”
Nina:
“Berarti kamu nggak tertarik buat bersenang-senang, ya? Kalau begitu, kamu nggak akan tahu serunya hidup kalau hanya fokus kerja aja.”
Percakapan mereka berlangsung dengan santai, meskipun mereka baru saja bertemu. Di sinilah benih awal ketertarikan mereka mulai tumbuh. Fahri merasa ada keterhubungan dengan Nina, sementara Nina merasakan sisi kehangatan yang jarang ia temui pada pria lain.
Setelah pertemuan pertama mereka, Fahri dan Nina mulai saling bertukar pesan singkat melalui aplikasi pesan, membahas hal-hal ringan seperti kuliah, kegiatan kampus, dan bahkan mengomentari hal-hal lucu yang terjadi selama seminar. Percakapan mereka yang dulunya ringan dan sekadar saling mengenal, mulai berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam. Mereka mulai saling berbagi pikiran, perasaan, dan impian masa depan mereka.
Nina (dalam pesan):
“Kamu itu tipe orang yang serius ya. Pasti banyak yang nggak ngerti kamu, deh. Kalau aku sih, lebih suka menikmati hidup, walaupun kadang kadang nyari tantangan.”
Fahri (balas pesan, sedikit tersenyum):
“Aku tahu, Nina. Tapi, kalau hidup terlalu santai, takutnya kita nggak berkembang, kan?”
Nina (balas cepat, sedikit bercanda):
“Serius banget sih kamu. Tapi, jangan khawatir, aku akan tunjukkan kalau hidup bisa juga dinikmati tanpa harus terlalu keras.”
Hari-hari berikutnya, mereka semakin sering bertemu di acara kampus, meskipun dalam konteks yang berbeda—mungkin saat mengambil tugas bersama atau ketika ikut acara kemahasiswaan. Mereka mulai merasa nyaman satu sama lain. Setiap pertemuan membawa mereka lebih dekat, dan percakapan yang dulunya tentang hal-hal ringan, mulai menyentuh topik lebih dalam.
Suatu sore, mereka duduk bersama di taman kampus setelah kelas selesai. Saat itu, Nina membuka topik yang agak serius, meskipun suasana hati mereka ceria.
Nina:
“Kamu tahu, Fahri, aku selalu merasa seperti ada dua dunia yang bertabrakan dalam hidupku. Ada dunia akademik yang serius, dan dunia sosial yang bebas. Kadang aku bingung, harus pilih yang mana.”
Fahri (mendengarkan dengan serius, memberikan perhatian penuh):
“Aku juga merasa begitu. Dunia akademik memang membuat kita merasa terikat, tapi kadang aku ingin berlari ke dunia lain yang lebih bebas.”
Nina (tersenyum, merasa nyaman berbicara dengan Fahri):
“Aku suka kalau kamu bisa ngerti. Kadang aku bingung, apakah aku terlalu menahan diri atau justru terlalu bebas.”
Fahri (memandang Nina dengan tatapan lembut):
“Aku pikir, kita hanya perlu menemukan keseimbangan. Tidak ada yang salah dengan memilih satu hal, asalkan kita tahu apa yang benar-benar kita inginkan.”
Nina terdiam sejenak, merasakan kedalaman percakapan ini. Tanpa sadar, keduanya mulai merasa bahwa mereka sudah mengenal satu sama lain lebih jauh daripada yang mereka kira. Tidak hanya sekadar teman biasa, ada sesuatu yang lebih.
Dengan waktu yang berlalu, Fahri dan Nina mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Mereka mulai berbagi momen-momen kecil yang penuh makna, seperti makan siang bersama, berjalan-jalan di sekitar kampus, atau berbincang-bincang tentang kehidupan. Kehadiran satu sama lain mulai memberi rasa nyaman yang sulit dijelaskan, tetapi sangat terasa.
Fahri mulai menyadari bahwa rasa rindu yang tumbuh setiap kali mereka tidak bertemu, bukan sekadar perasaan biasa, melainkan perasaan yang lebih dalam. Nina juga merasakan hal yang sama, meskipun ia sedikit ragu dengan perasaannya.
Pada suatu sore yang cerah, saat mereka duduk di bangku taman, Fahri akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya.
Fahri (melihat Nina dengan serius, kemudian tersenyum malu):
“Nina, aku nggak tahu mulai dari mana, tapi… Aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman antara kita.”
Nina (terkejut, tapi juga merasakan hal yang sama):
“Kamu juga merasa begitu? Aku juga merasakannya, Fahri. Aku merasa kita lebih dari teman.”
Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk lebih serius menjalani hubungan ini, meskipun mereka tahu bahwa dunia mereka sangat berbeda. Tetapi, mereka merasa bahwa perasaan mereka lebih dari cukup untuk membuat segala perbedaan menjadi tidak berarti.
Bab ini berakhir dengan Fahri dan Nina resmi berpacaran, namun mereka tahu perjalanan mereka masih panjang dan penuh tantangan. Meskipun begitu, mereka yakin bahwa cinta yang mereka rasakan akan membawa mereka ke arah yang lebih baik. Mereka siap menjalani perjalanan ini bersama, dengan harapan dan impian yang sama, dan dengan keyakinan bahwa rindu mereka akan selalu menemukan jalan menuju satu sama lain.
Setelah pertemuan pertama yang tak terlupakan di seminar, hubungan antara Fahri dan Nina mulai berkembang dengan cara yang tak terduga. Setiap pertemuan mereka selalu terasa istimewa. Dalam perjalanan waktu, kedekatan mereka tumbuh secara perlahan, tetapi pasti.
Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Di setiap kesempatan, entah itu saat makan siang bersama teman-teman kampus atau saat menunggu kelas dimulai, mereka berbincang dengan santai tentang berbagai hal. Setiap percakapan menjadi momen penting bagi mereka, baik yang ringan maupun yang lebih mendalam.
Suatu hari, setelah menyelesaikan ujian tengah semester, Fahri dan Nina memutuskan untuk pergi ke kafe favorit mereka di dekat kampus. Fahri mengajak Nina untuk berbicara lebih santai dan menghilangkan ketegangan pasca ujian.
Fahri (tersenyum melihat Nina yang tampak kelelahan):
“Ayo, kita ke kafe. Aku tahu kamu pasti butuh relaksasi setelah ujian tadi.”
Nina (tersenyum lelah, namun senang dengan perhatian Fahri):
“Kamu tahu banget, ya. Rasanya otak aku udah kayak mau meledak. Aku bisa ketawa bebas sekarang!”
Mereka duduk di sebuah meja kecil di pojok kafe, dikelilingi oleh suasana hangat dan lampu temaram yang memberi kenyamanan. Tanpa disadari, percakapan mereka mulai mengalir begitu alami. Fahri mulai menceritakan kisah-kisah lucu tentang masa kecilnya, tentang bagaimana ia dulu sangat pendiam dan tidak terlalu tertarik dengan hal-hal sosial. Nina, dengan karakter cerianya, mulai bercerita tentang kehidupannya di rumah dan bagaimana dia selalu ingin mengubah dunia dengan menulis.
Nina (mengangkat cangkir kopinya, sambil tertawa kecil):
“Dulu aku mikir, kalau aku jadi penulis, aku bakal jadi terkenal. Tapi sekarang, aku lebih realistis, sih. Semua itu nggak semudah yang aku bayangkan.”
Fahri (memandang Nina dengan penuh perhatian):
“Aku bisa lihat itu di mata kamu. Kamu punya visi yang besar, Nina.”
Nina (tersenyum, sedikit malu):
“Mungkin, tapi terkadang aku merasa nggak cukup bagus untuk itu. Banyak orang yang lebih berbakat. Kamu pasti punya impian juga, kan?”
Fahri (tersenyum tipis, matanya sedikit berbinar):
“Aku ingin jadi orang yang sukses dalam karierku. Mungkin terdengar klise, tapi itu memang tujuan hidupku.”
Nina (mengangguk paham):
“Tapi, bukankah kamu juga ingin punya kehidupan yang lebih… seimbang? Karier itu penting, tapi hidup nggak cuma soal kerja, kan?”
Fahri (tersenyum lemah):
“Kamu benar. Terkadang aku terjebak dalam rutinitas. Tapi, entah kenapa, aku merasa nyaman berbicara denganmu. Sepertinya, kamu membuat aku melihat sisi lain dari hidup ini.”
Nina (memandang Fahri dengan tatapan lembut):
“Itu karena aku nggak terlalu serius dalam hidup. Aku lebih menikmati perjalanan daripada terlalu khawatir tentang hasil.”
Fahri dan Nina saling bertukar pandang, dan ada semacam kedekatan yang mereka rasakan. Meskipun mereka datang dari dunia yang sangat berbeda, mereka mulai melihat banyak kesamaan di antara mereka.
Satu minggu setelah pertemuan mereka di kafe, kehidupan mereka mulai menunjukkan perbedaan yang nyata. Fahri harus pergi untuk sebuah program magang di luar kota, yang mengharuskannya meninggalkan kampus untuk beberapa bulan. Nina merasa cemas, tetapi dia tidak ingin menghalangi kesempatan Fahri untuk mengembangkan kariernya.
Namun, sebelum pergi, Fahri dan Nina memutuskan untuk bertemu di taman kampus untuk berbicara lebih serius. Mereka duduk di bangku taman yang sama tempat mereka berbicara beberapa waktu lalu. Perasaan mereka sudah lebih dalam, dan keduanya merasa ada sesuatu yang kuat di antara mereka.
Fahri (dengan ragu, menatap Nina):
“Nina, aku harus pergi ke luar kota minggu depan untuk magang. Aku nggak tahu seberapa lama, tapi aku benar-benar ingin kamu tahu bahwa… aku akan merindukanmu.”
Nina (menatap Fahri, matanya terlihat sedikit berkaca-kaca):
“Aku juga akan merindukanmu, Fahri. Tapi aku nggak ingin menghalangi impianmu. Aku tahu ini kesempatan besar untuk kamu.”
Fahri (meraih tangan Nina dengan lembut):
“Aku tahu kamu kuat. Aku hanya khawatir, aku nggak ingin hubungan kita jadi lebih rumit karena jarak.”
Nina (tersenyum lemah, berusaha terlihat tegar):
“Jarak itu memang menguji, tapi aku percaya kita bisa bertahan. Kita harus tetap saling percaya.”
Mereka duduk diam sejenak, menikmati detik-detik kebersamaan mereka. Fahri merasakan perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya—rindu yang mulai tumbuh bahkan sebelum mereka berpisah. Nina juga merasakan hal yang sama, meskipun dia berusaha untuk tidak menunjukkan betapa beratnya perasaan yang ada di hatinya.
Fahri (menatap Nina dengan serius):
“Nina, aku ingin kamu tahu bahwa aku… aku ingin kita tetap bersama. Tidak peduli seberapa jauh kita terpisah.”
Nina (dengan lembut, menggenggam tangan Fahri):
“Aku juga, Fahri. Aku nggak tahu ke depannya seperti apa, tapi aku ingin tetap ada untuk kamu.”
Setelah pertemuan itu, Fahri meninggalkan kampus untuk melanjutkan magangnya di luar kota. Mereka berdua merasa rindu, tetapi mereka berusaha untuk tetap menjaga komunikasi. Setiap pagi, Fahri dan Nina saling mengirim pesan untuk mengucapkan selamat pagi, berbagi cerita tentang kegiatan mereka, dan berbicara tentang segala hal yang mereka alami.
Rindu yang mereka rasakan semakin dalam, dan meskipun mereka tidak selalu bisa berbicara setiap saat, mereka merasa bahwa hubungan mereka tetap berjalan meskipun jarak memisahkan. Mereka berdua merasa semakin terikat dan saling menguatkan, meskipun ujian besar masih menunggu mereka.
Fahri (mengirim pesan terakhir sebelum keberangkatannya):
“Aku akan merindukanmu, Nina. Tetapi aku yakin kita bisa melewati ini. Aku janji kita akan bertemu lagi.”
Nina (membalas dengan penuh harapan):
“Aku juga akan merindukanmu, Fahri. Tapi kita akan terus berjuang, kan? Kita pasti bisa.”
Bab ini menandai awal dari perjalanan cinta mereka yang penuh tantangan. Mereka tahu bahwa rindu mereka akan menguji kesetiaan dan komitmen mereka, tetapi mereka juga tahu bahwa cinta yang tumbuh di antara mereka adalah sesuatu yang tidak bisa terpisahkan oleh jarak.*
Bab 3: Cinta Diuji Waktu
Seiring berjalannya waktu, masalah mulai muncul. Kesibukan Fahri dengan pekerjaan dan perbedaan waktu yang membuat komunikasi mereka semakin terbatas.
Nina merasa kesepian dan rindu, tetapi dia terus berusaha untuk mengerti posisi Fahri yang sedang mengejar impian kariernya.
Mereka mengalami perbedaan pandangan, misalnya tentang berapa lama hubungan jarak jauh bisa bertahan, dan bagaimana mereka bisa saling mendukung meskipun fisik mereka terpisah.Setelah menjalani hubungan jarak jauh untuk beberapa waktu, Fahri dan Nina mulai merasakan perbedaan dalam dinamika hubungan mereka. Awalnya, setiap panggilan video dan pesan singkat terasa cukup untuk menjaga koneksi mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mulai merasakan bahwa kehadiran fisik yang mereka dambakan semakin sulit untuk diwujudkan.
Bab 4: Tantangan dan Pengorbanan
Tantangan semakin besar, dan salah satu dari mereka (misalnya Fahri) mulai merasa tertekan. Pekerjaan semakin menuntut, dan ia mulai merasa jarang punya waktu untuk Nina.
Di sisi lain, Nina juga merasa bahwa dunia mereka semakin berbeda. Namun, ia tetap berusaha menjaga kepercayaan, meskipun rindu yang mendalam membuatnya merasa terisolasi.
Mereka akhirnya menghadapi ujian besar: keputusan apakah akan terus bertahan dalam hubungan ini atau menyerah pada kenyataan bahwa mungkin cinta mereka tidak cukup kuat untuk mengatasi jarak dan waktu.
Setelah melewati banyak ujian, baik secara emosional maupun fisik, Fahri dan Nina merasa hubungan mereka telah memasuki fase yang lebih matang. Namun, dalam kedewasaan itu, muncul pula tantangan yang lebih berat. Pengorbanan mulai menjadi tema utama dalam hidup mereka, baik di dalam hubungan, maupun dalam kehidupan pribadi masing-masing.
Fahri yang semakin terikat dengan pekerjaannya, merasa sangat sulit untuk menemukan waktu untuk bertemu dengan Nina. Ia juga mulai merasa terjebak dalam rutinitas yang menguras tenaga, sehingga ada kalanya ia merasa seperti terisolasi dalam hidupnya yang semakin sibuk. Sebagai seorang profesional muda yang berjuang untuk kariernya, ia merasa bahwa ia harus mengorbankan waktu dengan Nina demi mencapai tujuannya.
Sementara itu, Nina, yang telah lama mengandalkan hubungan mereka untuk menjadi pelarian dari kebosanan dan ketidakpastian, mulai merasa bahwa ia terlalu sering memberi dan mengorbankan banyak hal untuk hubungan ini. Ia merasa terabaikan meskipun Fahri berusaha keras untuk memberikan yang terbaik, dan ia mulai mempertanyakan apakah pengorbanannya itu dihargai.
Nina (dalam pesan yang agak dingin):
“Fahri, aku tahu kamu sibuk dengan pekerjaanmu, tapi kadang aku merasa aku hanya menjadi nomor dua. Aku sudah banyak berkorban untuk hubungan ini, tapi sepertinya tidak ada yang berubah.”
Fahri (merasa tersentak oleh pesan itu):
“Nina, jangan bilang begitu. Aku berusaha, aku benar-benar berusaha. Aku hanya takut kalau aku terlalu fokus pada hubungan ini, aku akan gagal dalam karierku.”
Nina (balasan yang terlambat datang):
“Aku tahu, Fahri, tapi terkadang aku merasa kita harus saling memberi lebih banyak. Aku juga ingin merasa dihargai, bukan hanya menunggu.”
Percakapan itu menjadi titik awal ketegangan yang lebih besar. Mereka berdua merasa kecewa, namun keduanya memiliki tujuan yang berbeda dan cara pandang yang berbeda terhadap hubungan mereka.
Fahri selalu menganggap bahwa kesuksesan karier adalah salah satu prioritas utamanya. Sebagai seseorang yang baru saja memulai kariernya di sebuah perusahaan besar, ia merasa bahwa ia harus berusaha keras untuk membuktikan kemampuannya dan mengembangkan dirinya dalam dunia profesional.
Namun, ia mulai merasa bahwa pengorbanan waktu yang ia berikan untuk pekerjaan berbanding terbalik dengan apa yang ia bisa berikan untuk Nina. Setiap kali ia menerima tawaran pekerjaan baru atau peluang untuk dipromosikan, ia harus mengambil keputusan sulit: apakah ia akan terus mengejar kariernya yang terus berkembang ataukah ia akan berhenti sejenak untuk menjaga hubungan dengan Nina?
Fahri (dalam percakapan dengan teman sekerja):
“Aku nggak tahu, aku merasa seperti terjebak. Di satu sisi, aku ingin sukses dalam karierku, tapi di sisi lain, aku juga ingin membahagiakan Nina. Aku merasa seperti harus memilih antara keduanya.”
Teman Fahri:
“Fahri, hidup ini memang penuh pilihan. Kamu bisa mengejar karier, tapi jangan sampai hubungan yang berharga itu hilang begitu saja hanya karena kamu terlalu fokus pada pekerjaan.”
Namun, Fahri merasa bahwa Nina tidak mengerti bahwa segala upaya yang ia lakukan bukanlah untuk menjauhkan diri, melainkan untuk menjamin masa depan mereka bersama. Ia pun merasa bahwa hubungan ini bisa terus berjalan jika ia bisa membuktikan bahwa pengorbanan kariernya akan memberi mereka kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Di sisi lain, Nina merasakan pengorbanannya yang tak kalah besar. Ia telah lama menunggu dan memahami bahwa Fahri sangat sibuk. Namun, ada kalanya, ia merasa harus memilih antara hubungan ini dan keinginan pribadinya untuk mengejar mimpinya sendiri. Ia mulai merasa terperangkap dalam rutinitas yang membatasi dirinya.
Nina memiliki cita-cita untuk melanjutkan studinya ke luar negeri, tetapi karena hubungan mereka, ia memilih untuk menunda rencananya. Setiap kali ia berbicara dengan Fahri tentang mimpinya, Fahri memberikan dukungan, tetapi Nina tahu bahwa itu akan menjadi ujian besar bagi hubungan mereka. Keputusan untuk berkorban demi hubungan ini kadang membuatnya merasa bingung apakah itu adalah keputusan yang benar atau tidak.
Nina (berbicara dengan sahabatnya):
“Aku ingin melanjutkan studi ke luar negeri, tapi aku merasa seperti aku harus memilih antara itu dan Fahri. Aku sudah banyak berkorban untuk hubungan ini, tapi apakah itu cukup?”
Sahabat Nina:
“Nina, kadang-kadang pengorbanan itu bisa membuat kita merasa hilang. Tapi kamu juga harus mengingat siapa dirimu. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam satu pilihan hanya karena takut akan kehilangan sesuatu.”
Meskipun mendengar nasihat sahabatnya, Nina merasa terhimpit antara memilih untuk mengejar impiannya atau tetap berada di samping Fahri. Dalam hatinya, ia merasa bahwa pengorbanan terbesar dalam hubungan ini adalah tetap menghargai diri sendiri.
Pada suatu titik, hubungan mereka berada di ujung tanduk. Fahri semakin tenggelam dalam pekerjaannya, sementara Nina merasa semakin terisolasi. Setiap kali mereka berkomunikasi, rasa rindu dan keinginan untuk saling hadir semakin menumpuk, tetapi kenyataan bahwa mereka terpisah jarak yang sangat jauh membuat semuanya menjadi semakin rumit.
Nina (dalam pesan yang penuh keraguan):
“Fahri, aku nggak tahu berapa lama aku bisa bertahan dengan keadaan seperti ini. Kamu begitu sibuk, dan aku merasa seperti aku hanya menunggu. Aku nggak bisa terus begini.”
Fahri (dengan rasa cemas yang mendalam):
“Nina, aku mengerti. Aku benar-benar mengerti. Aku ingin ada di sana untukmu, tetapi aku juga ingin memberikan yang terbaik untuk masa depan kita. Apa kamu tidak melihat itu?”
Namun, meskipun mereka saling mencintai, ketegangan mulai meningkat. Jarak yang semakin besar, baik secara fisik maupun emosional, mulai membuat mereka meragukan masa depan hubungan ini. Mereka merasa terperangkap dalam keputusan yang mereka buat dan takut bahwa akhirnya, mereka akan kehilangan satu sama lain.
Sebuah kejadian besar akhirnya datang yang mengubah jalannya hubungan mereka. Fahri, yang akhirnya mendapatkan kesempatan untuk bekerja di luar negeri, harus memutuskan apakah ia akan mengikuti kesempatan itu atau tetap di Indonesia bersama Nina. Di sisi lain, Nina akhirnya mendapatkan tawaran untuk melanjutkan studinya ke luar negeri. Ini adalah kesempatan besar yang ia tunggu-tunggu selama ini.
Namun, masalahnya adalah bahwa keduanya tidak bisa berada di tempat yang sama pada saat yang bersamaan. Mereka harus memilih apakah mereka akan berkorban demi satu sama lain ataukah mereka akan mengejar impian masing-masing dan melepaskan hubungan ini.
Fahri (menceritakan tawaran pekerjaan itu pada Nina):
“Aku mendapat kesempatan bekerja di luar negeri. Ini adalah kesempatan besar, dan aku tidak ingin melewatkannya. Tapi aku tidak tahu, apakah aku harus mengambilnya atau tetap di sini denganmu.”
Nina (dengan hati yang berat):
“Aku juga mendapat kesempatan untuk belajar di luar negeri, Fahri. Ini adalah kesempatan yang sudah lama aku tunggu-tunggu. Tapi aku takut kita akan semakin jauh jika kita masing-masing pergi.”
Dalam situasi yang penuh ketegangan ini, mereka harus membuat keputusan besar yang akan menguji seberapa dalam cinta dan komitmen mereka. Apakah mereka akan mengorbankan mimpi mereka untuk menjaga hubungan ini ataukah mereka akan tetap mengejar jalan mereka masing-masing dan mengakhiri hubungan yang telah mereka perjuangkan selama ini?
Setelah berbicara panjang lebar dan saling mengungkapkan perasaan mereka, Fahri dan Nina akhirnya memutuskan untuk mengambil kesempatan masing-masing, dengan komitmen untuk tetap menjaga hubungan ini meskipun mereka terpisah oleh jarak dan waktu. Mereka berdua tahu bahwa keputusan ini akan membawa tantangan yang lebih besar, tetapi mereka berdua percaya bahwa cinta yang mereka miliki cukup kuat untuk menghadapinya.*
Bab 5: Titik Balik
Ketika situasi mencapai titik terendah, Fahri dan Nina merasa bahwa mereka perlu melakukan sesuatu yang besar untuk mempertahankan hubungan ini.
Mereka berdua mulai merasakan kesulitan dalam mengkomunikasikan kebutuhan dan harapan masing-masing. Ketegangan ini mencapai puncaknya saat mereka hampir memutuskan untuk berpisah.
Namun, sesuatu yang besar terjadi—mungkin sebuah momen kesepian yang mengguncang hati mereka, atau sebuah kejadian tak terduga yang membuka mata mereka tentang pentingnya cinta yang mereka miliki.
Titik balik: Momen ini bisa berupa kedatangan salah satu dari mereka ke kota atau negara pasangan untuk menunjukkan komitmen mereka, atau sebuah pengorbanan besar yang membuat mereka saling melihat kembali betapa besar cinta mereka.