Daftar Isi
Bab 1: Awal yang Indah
Ceritakan momen-momen kebersamaan mereka yang singkat namun berkesan, seperti video call pertama yang canggung namun penuh tawa, percakapan tentang mimpi dan harapan mereka, hingga pertemuan singkat yang akhirnya menjadi kenangan indah.
Dalam momen-momen ini, mereka berdua saling berbagi janji bahwa hubungan mereka bisa bertahan meskipun jarak memisahkan. Mereka berjanji untuk tetap saling mendukung meski tidak bisa selalu ada secara fisik.
Mulai muncul perasaan cinta yang dalam meskipun pertemuan mereka sangat terbatas. Kenalkan tantangan awal hubungan jarak jauh: perbedaan zona waktu, kesibukan masing-masing, dan rasa rindu yang sering muncul.
Pagi itu, udara terasa segar di sepanjang trotoar kota Bandung yang ramai. Nadia berjalan menyusuri jalan dengan langkah pelan, menikmati pagi yang cerah setelah hujan semalam. Ia baru saja menyelesaikan kuliah dan memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitaran Dago, tempat favoritnya untuk melupakan segala hal yang membebani pikirannya. Kota ini, dengan segala kesibukannya, selalu memberikan ketenangan yang ia butuhkan.
Namun, hari itu berbeda. Saat Nadia melintasi sebuah toko buku kecil yang terletak di sudut jalan, matanya tertumbuk pada sebuah pemandangan yang tidak biasa. Di depan toko buku, ada seorang pria yang tampaknya sedang berdiri menunggu seseorang. Wajahnya tampak familiar, namun Nadia tidak bisa langsung mengingatnya. Saat pria itu menoleh, pandangan mereka bertemu, dan dalam sesaat, dunia seperti berhenti berputar.
Pria itu tersenyum tipis, seakan mengenali Nadia meskipun mereka tidak pernah bertemu sebelumnya. Nadia merasa agak canggung, namun perasaan itu langsung hilang ketika pria tersebut mendekatinya dan memperkenalkan diri.
“Maaf, apakah kamu Nadia?” tanya pria itu, suaranya tenang namun terdengar penuh rasa ingin tahu.
Nadia mengernyitkan dahi. “Ya, saya Nadia. Tapi, kamu…”
“Saya Arga. Kita pernah bertemu di sebuah seminar dua tahun lalu,” jawabnya dengan senyuman yang lebih lebar.
Nadia mengingatnya sekarang. Dua tahun lalu, mereka memang bertemu dalam sebuah seminar tentang teknologi, tapi saat itu mereka tidak sempat berbincang lebih lama. Nadia hanya ingat bahwa Arga adalah seorang pembicara muda yang penuh semangat, dengan wawasan luas dan pesona yang membuat banyak orang terkesan. Namun, itu hanya pertemuan singkat yang tidak meninggalkan kesan mendalam. Dan kini, di tengah kota yang ramai ini, mereka bertemu lagi.
“Ah, benar juga. Maaf, saya tidak langsung ingat,” Nadia tertawa canggung, merasa sedikit kikuk.
Arga tersenyum lebih lebar, dan tanpa diduga, ia mengajak Nadia untuk masuk ke toko buku. “Ayo, ikut saya. Ada buku menarik yang baru datang. Saya tahu kamu suka membaca.”
Mereka pun melangkah bersama ke dalam toko buku kecil itu. Meskipun pertemuan mereka tidak direncanakan, ada rasa nyaman yang muncul begitu saja di antara mereka. Sebagai seorang yang gemar membaca, Nadia merasa sangat terbantu dengan rekomendasi buku-buku yang diberikan Arga. Dari satu topik ke topik lainnya, mereka terlibat dalam percakapan yang mengalir begitu alami.
Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang buku favorit, perjalanan hidup, hingga pandangan mereka tentang dunia. Arga dengan mudah menceritakan pengalamannya bekerja di luar negeri, sedangkan Nadia dengan semangat menceritakan kehidupannya sebagai mahasiswa di Bandung yang penuh dengan tantangan. Ada kecocokan yang terasa meskipun baru bertemu.
“Saya senang bisa bertemu dengan orang yang punya minat yang sama,” kata Arga, mengakhiri percakapan mereka dengan senyuman hangat. “Mungkin kita bisa bertemu lagi untuk diskusi lebih lanjut tentang buku-buku ini.”
Nadia mengangguk, merasa sedikit terkejut dengan bagaimana pertemuan singkat ini bisa berjalan begitu menyenangkan. “Tentu. Saya senang bisa bertemu lagi.”
Saat mereka berpisah, Arga memberikan kartu namanya kepada Nadia, dan mereka sepakat untuk saling menghubungi setelah ini. Nadia merasa aneh, namun ada perasaan hangat yang mengalir di dalam dirinya. Entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang spesial dalam pertemuan ini.
Beberapa hari setelah pertemuan mereka di toko buku, Nadia menerima pesan dari Arga. Ternyata, ia tidak hanya ingin berbicara soal buku, tetapi juga ingin mengajak Nadia untuk berbincang lebih jauh. Arga mengirimkan pesan pertama yang singkat namun cukup menarik perhatian.
“Hai, Nadia. Apa kabar? Apa kamu ada waktu untuk kopi? Saya ingin melanjutkan percakapan kita waktu itu.”
Nadia, yang biasanya berhati-hati dalam berhubungan dengan orang baru, merasa tidak ada salahnya untuk menerima ajakan tersebut. Setelah beberapa kali berpikir, ia membalas pesan itu.
“Tentu, saya juga ingin berbincang lebih lanjut. Kapan waktu yang tepat?”
Mereka pun membuat janji untuk bertemu lagi di sebuah kafe kecil yang terletak di pusat kota. Hari itu, langit cerah, dan Nadia merasa sedikit cemas, namun juga tidak sabar. Dia tidak tahu mengapa, tetapi ada sesuatu yang membuat hatinya berdebar-debar.
Saat bertemu, suasana menjadi begitu nyaman. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari hobi, buku, hingga rencana hidup mereka ke depan. Nadia merasa bahwa Arga adalah seseorang yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mendengarkan dengan sepenuh hati. Arga pun menunjukkan ketertarikannya terhadap dunia Nadia, memberi banyak perhatian terhadap hal-hal kecil yang kadang terabaikan oleh orang lain.
“Saya senang bisa berbicara denganmu,” kata Arga, menatap Nadia dengan penuh arti. “Ada sesuatu yang berbeda dari orang-orang yang saya kenal sebelumnya.”
Nadia tersenyum, merasakan kedekatan yang tak terduga. “Saya juga merasa begitu. Mungkin karena kita punya banyak kesamaan.”
Malam itu, setelah berjam-jam berbicara, mereka berdua merasa ada koneksi yang kuat di antara mereka. Meskipun hubungan mereka baru dimulai, ada rasa saling pengertian yang tercipta begitu alami. Seiring berjalannya waktu, mereka semakin sering bertemu, dan perasaan cinta mulai tumbuh tanpa terasa.
Namun, seiring berjalannya waktu, pertemuan mereka mulai menjadi lebih terbatas. Arga yang bekerja di luar kota sering kali harus kembali ke Jakarta untuk urusan pekerjaan, sementara Nadia yang sibuk dengan kuliahnya juga merasa semakin sulit untuk mengatur waktu. Meski demikian, mereka tetap menjaga komunikasi dengan baik. Telepon dan pesan singkat menjadi jembatan bagi keduanya.
Hari-hari mereka diisi dengan percakapan panjang melalui telepon, tertawa bersama meski hanya lewat suara. Tidak jarang, mereka mengirimkan pesan singkat atau foto mengenai hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup mereka. Bahkan, meskipun jarak memisahkan, mereka selalu merasa dekat satu sama lain.
Suatu hari, saat Arga sedang dalam perjalanan ke Jakarta, Nadia menerima pesan darinya yang singkat namun penuh makna.
“Nadia, aku ingin kamu tahu bahwa meskipun kita jauh, aku merasa kamu selalu ada di dekatku. Aku sangat menghargai setiap momen yang kita punya.”
Pesan itu menghangatkan hati Nadia. Meskipun hanya kata-kata sederhana, ia merasakan kehangatan dan ketulusan dalam setiap kalimat yang Arga kirimkan. Momen-momen kecil seperti itu yang membuat hubungan mereka semakin kuat.
Namun, meskipun hubungan mereka berjalan dengan indah, Nadia tidak bisa menutupi rasa takut dan keraguan yang perlahan mulai muncul. Bagaimana jika suatu saat nanti mereka tidak lagi bisa melanjutkan hubungan ini karena jarak yang terlalu jauh? Bagaimana jika perasaan mereka mulai memudar seiring berjalannya waktu?
Di sisi lain, Arga juga merasakan hal yang sama. Ia merasa betapa pentingnya Nadia dalam hidupnya, namun terkadang keraguan itu datang, mengingat mereka terpisah oleh ribuan kilometer. Tapi, mereka berdua sama-sama yakin bahwa meskipun ada banyak hal yang tidak pasti, ada satu hal yang pasti: mereka saling mencintai.
“Saat kita tidak bersama, aku merasa ada yang hilang. Tapi aku percaya kalau kita akan selalu menemukan cara untuk tetap dekat, meskipun jarak memisahkan kita,” kata Arga dalam sebuah percakapan panjang mereka.
Nadia menatap layar ponselnya, tersenyum. “Aku juga merasa begitu, Arga. Meski kita jauh, aku tahu kita bisa melalui ini bersama.”
Ceritakan bagaimana perasaan rindu mereka yang semakin intens seiring berjalannya waktu. Mereka sering merasakan rindu dalam diam, hanya bisa mengungkapkan perasaan lewat pesan dan panggilan suara yang terbatas.
Meskipun tidak selalu bisa berbicara setiap saat, mereka saling merasa dekat dengan cara mereka masing-masing. Nadia mungkin mengirimkan gambar atau pesan singkat tentang hari-harinya, sementara Arga mengirimkan lagu-lagu atau puisi sebagai bentuk ekspresi cintanya.
Tunjukkan perjuangan emosional yang mereka hadapi, seperti rasa tidak aman, keraguan, dan perasaan kesepian. Meski cinta mereka besar, mereka harus berjuang dengan rasa tidak tahu pasti apakah hubungan ini akan bertahan.
Ketika hubungan mereka semakin berjalan, keduanya mulai merasa cemas tentang masa depan hubungan mereka. Nadia merasa kesepian karena jarak, sementara Arga mulai tergoda oleh godaan dari dunia sekitar yang lebih mudah dijangkau. Ketegangan mulai muncul, baik dari rasa tidak yakin tentang komitmen jangka panjang maupun godaan dari kehidupan sosial masing-masing. Tampilkan momen krisis dalam hubungan mereka di mana mereka saling berbicara tentang keraguan mereka, apakah mereka masih bisa terus bertahan ataukah harus menyerah. Dalam percakapan ini, keduanya menyadari betapa besar pengaruh satu sama lain dalam hidup mereka, meskipun jarak memisahkan.
Bab 4: Kehilangan dan Penantian
Setelah perdebatan dan ketegangan, hubungan mereka memasuki fase jeda. Meskipun mereka masih saling mencintai, jarak yang semakin membebani hubungan mereka membuat mereka merasa semakin terasing. Ada kesalahan komunikasi yang membuat keduanya merasa terabaikan, sehingga mereka mulai merasa bingung dan tidak tahu bagaimana melanjutkan.
Ceritakan bagaimana Nadia mencoba untuk bergerak maju, meskipun hatinya masih tertinggal dengan Arga. Ia mencoba untuk fokus pada kehidupan dan pekerjaannya, namun perasaan rindu terus mengganggunya. Sementara Arga, meskipun selalu berusaha untuk berhubungan, merasa semakin jauh karena perbedaan prioritas dan keinginan yang berbeda.
Di pertemuan ini, mereka menyadari betapa dalamnya rasa rindu mereka, dan bagaimana pertemuan tersebut menghidupkan kembali cinta yang seakan meredup. Namun, mereka juga harus menghadapi kenyataan bahwa meskipun mereka saling mencintai, realitas kehidupan mereka yang berbeda tetap ada.
Mereka berbicara tentang masa depan, apa yang harus mereka lakukan agar hubungan ini bisa bertahan. Mereka tahu bahwa meskipun mereka memiliki kenangan yang indah, mereka juga harus siap menghadapi tantangan yang lebih besar.
Sejak awal mereka bertemu melalui aplikasi pesan, hubungan antara Rani dan Dimas telah tumbuh menjadi sesuatu yang tidak terduga. Meskipun terpisah ribuan kilometer, mereka merasa terhubung satu sama lain dengan cara yang sulit dijelaskan. Mereka berbicara tentang segalanya—impian, ketakutan, kenangan masa lalu, hingga hal-hal kecil yang sering kali terlewatkan dalam percakapan sehari-hari. Namun, ada satu hal yang belum mereka alami: pertemuan nyata.
Selama berbulan-bulan, Rani dan Dimas hanya berinteraksi melalui layar ponsel mereka. Terkadang lewat video call, saling bercanda, atau berbicara serius tentang masa depan mereka. Tetapi jarak tetap saja menjadi penghalang, meskipun keinginan untuk bertemu semakin besar. Rani, yang tinggal di Jakarta, dan Dimas yang menetap di Yogyakarta, memutuskan bahwa mereka harus bertemu untuk merasakan apa yang sebenarnya ada di antara mereka. Rani merasa gundah—takut pertemuan itu akan mengecewakan, atau bahkan membuat segalanya menjadi lebih rumit.
Namun, Dimas meyakinkannya. “Kita hanya perlu melihatnya dengan mata kepala kita sendiri, Rani. Aku yakin ini akan jadi momen yang tak akan kita lupakan.”
Dan akhirnya, setelah berbulan-bulan menunggu dan merencanakan, pertemuan itu tiba. Rani memutuskan untuk terbang ke Yogyakarta, sebuah kota yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Ia merasa cemas, tetapi juga bersemangat. Apa yang akan terjadi? Bagaimana kalau semuanya berbeda dari yang mereka bayangkan?
Pagi itu, Rani berdiri di depan bandara Adisutjipto, matanya berkeliling mencari sosok yang sudah ia kenal melalui layar ponselnya. Di antara keramaian orang yang lalu-lalang, ia melihat Dimas—dengan pakaian santai dan senyum lebar yang membuat jantungnya berdebar lebih kencang.
Dimas berjalan mendekatinya dengan langkah pasti, seolah-olah tak ada jarak yang memisahkan mereka. Ketika mata mereka bertemu, seolah waktu berhenti sejenak. Rani merasa seperti ada magnet yang menarik mereka berdua, dan tanpa ragu, ia melangkah maju.
“Dimas…” Rani menyebutkan namanya dengan suara lembut, suaranya sedikit gemetar. Dimas hanya tersenyum dan membuka tangan, memberikan pelukan yang hangat.
“Rani, akhirnya kita bertemu,” kata Dimas, dan itu terasa seperti sebuah janji yang terpenuhi.
Pelukan itu seolah menghilangkan semua rasa ragu yang ada di hati Rani. Dalam sekejap, ia merasakan kenyamanan yang tidak pernah ia bayangkan bisa didapatkan dari seseorang yang selama ini hanya ia lihat melalui layar.
Mereka berjalan keluar dari bandara bersama-sama, berbicara ringan tentang perjalanan dan hal-hal sepele. Tetapi di balik setiap percakapan itu, ada perasaan yang lebih dalam—sebuah kesadaran bahwa pertemuan ini lebih dari sekadar kesempatan biasa. Ini adalah titik balik dari perjalanan panjang yang mereka jalani bersama, meski hanya dalam dunia maya.
Setelah beberapa menit berjalan, Dimas mengajak Rani untuk makan siang di sebuah kafe yang terkenal dengan suasana yang tenang dan pemandangan indah. Kafe itu terletak di daerah yang sedikit jauh dari keramaian kota, dengan udara segar dan pepohonan hijau yang mengelilinginya. Mereka duduk di sebuah meja di pojok, menikmati makanan yang sederhana tetapi penuh makna.
“Bagaimana rasanya?” tanya Dimas sambil memperhatikan ekspresi wajah Rani yang tampak begitu menikmati hidangan.
“Enak banget! Tapi… lebih enak karena bisa makan bareng kamu,” jawab Rani dengan senyum kecil yang manis. Dimas tertawa, merasa hangat mendengar kata-kata Rani.
Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang hal-hal yang selama ini hanya bisa mereka ungkapkan lewat chat dan panggilan telepon. Rani mengungkapkan betapa ia sering membayangkan pertemuan ini, tentang apa yang akan terjadi, apakah perasaan yang mereka rasakan di dunia maya akan tetap sama di dunia nyata. Dimas pun merasa hal yang sama. Kadang, ia merasa takut bahwa kenyataan bisa saja berbeda dari harapan, tetapi ketika ia melihat Rani secara langsung, ia tahu bahwa perasaan mereka adalah sesuatu yang nyata dan tak terelakkan.
Setelah makan siang, mereka melanjutkan jalan-jalan keliling kota. Rani kagum dengan keindahan Yogyakarta yang begitu berbeda dengan Jakarta—dengan suasana yang lebih santai dan orang-orang yang ramah. Mereka mengunjungi tempat-tempat yang sering dibicarakan Dimas selama percakapan mereka. Dari Taman Sari hingga Malioboro, mereka berjalan bersama, menikmati setiap detik yang ada. Rasanya seperti mereka tidak lagi terpisah oleh jarak—hanya ada mereka berdua, menikmati kebersamaan yang telah lama ditunggu-tunggu.
Namun, di suatu titik, mereka berhenti di sebuah jembatan yang menghadap ke sungai. Matahari mulai terbenam, menciptakan langit dengan gradasi warna yang memukau. Di tengah keheningan itu, Dimas menggenggam tangan Rani dan menatapnya dengan penuh arti.
“Rani,” katanya perlahan. “Kita sudah menunggu begitu lama untuk momen ini. Apa menurutmu, kita bisa terus berjalan bersama?”
Rani merasa jantungnya berdebar lebih cepat, dan ia tidak bisa menyembunyikan senyum bahagia di wajahnya. “Aku ingin terus berjalan bersama kamu, Dimas. Selama kita bisa menjaga hati ini tetap utuh, aku yakin kita bisa menghadapinya.”
Dimas tersenyum, melepaskan sedikit tawa yang penuh harapan. “Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk itu, Rani.”
Saat matahari sepenuhnya tenggelam, keduanya hanya berdiri di sana, berdampingan, meresapi setiap momen yang sudah lama mereka impikan. Perasaan rindu yang selama ini hanya bisa disalurkan melalui pesan teks, kini dapat mereka rasakan secara langsung—dalam bentuk kehangatan, sentuhan, dan kata-kata yang diucapkan langsung. Mereka tahu, pertemuan ini bukanlah akhir, tetapi justru awal dari perjalanan mereka yang lebih panjang.
Namun, meskipun kebahagiaan itu terasa sempurna, ada sebuah kenyataan yang harus mereka hadapi. Waktu yang mereka miliki bersama terbatas. Rani harus kembali ke Jakarta keesokan harinya, dan Dimas harus kembali ke rutinitasnya di Yogyakarta. Mereka berdua sadar bahwa pertemuan ini adalah langkah pertama yang sangat berarti dalam hubungan mereka, tetapi ujian sebenarnya baru saja dimulai.
Saat malam semakin larut, Rani dan Dimas duduk di beranda sebuah rumah tradisional yang mereka sewa, berbicara tentang apa yang akan terjadi setelah pertemuan ini. Ada keheningan yang nyaman di antara mereka, namun juga ada banyak pertanyaan yang masih menggantung di udara. Akankah jarak menjadi penghalang lagi? Akankah mereka bisa tetap bertahan, meski kembali terpisah?
“Yang terpenting, kita sudah berusaha, kan?” kata Dimas dengan suara rendah, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Rani mengangguk perlahan. “Iya. Kita sudah melakukan yang terbaik untuk sampai sejauh ini.”
Dengan pelukan terakhir sebelum mereka berpisah keesokan harinya, Rani dan Dimas tahu bahwa pertemuan itu akan selalu menjadi kenangan yang tak terlupakan—satu momen yang akan mereka simpan dalam hati mereka, sebagai dasar untuk terus melangkah maju bersama.
Rani menatap layar ponselnya, matanya sedikit basah, dan jari-jarinya menggenggam erat sebuah pesan singkat dari Dimas. Sudah berbulan-bulan mereka hanya bisa berkomunikasi melalui pesan, video call, dan suara yang terdengar lemah melalui panggilan telepon. Namun hari ini, setelah lebih dari 7 bulan menjalani hubungan jarak jauh, mereka akhirnya memutuskan untuk bertemu. Sebuah keputusan besar yang membuat jantung Rani berdebar kencang.
“Dimas… aku nggak tahu kenapa, tapi aku sangat gugup,” tulis Rani dalam pesan balasan, hanya untuk melihat emoji senyum yang muncul sebagai balasan dari Dimas.
“Tenang, Rani. Aku juga merasa sama. Kita akan baik-baik saja. Ini hanya awal dari banyak momen indah yang akan kita lewati bersama. Aku sudah menunggu kesempatan ini terlalu lama.”
Rani tersenyum sendiri membaca pesan itu. Rasanya, walaupun mereka berdua tahu pertemuan ini sangat penting dan penuh harapan, rasa ragu tetap ada. Bagaimana kalau perasaan yang mereka rasakan lewat layar tidak sesuai dengan kenyataan? Bagaimana kalau, dalam dunia nyata, mereka merasa asing satu sama lain? Pikiran-pikiran ini terus berlarian di kepala Rani, tetapi ia berusaha mengusirnya. Ia sudah memutuskan. Ia akan pergi ke Yogyakarta untuk bertemu Dimas.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Rani terbang dari Jakarta menuju Yogyakarta dengan campuran perasaan—antara kegembiraan yang meluap dan kecemasan yang tak terungkapkan. Penerbangan yang hanya memakan waktu sekitar satu jam terasa begitu lama baginya. Setiap detik ia merasa semakin dekat dengan Dimas, namun juga semakin dekat dengan rasa takut akan kemungkinan kekecewaan.
Sesampainya di Bandara Adisutjipto, ia mencari-cari Dimas di antara keramaian. Beberapa orang berjalan cepat, berbicara dengan gelisah melalui telepon, atau hanya sibuk dengan urusan masing-masing. Tetapi matanya langsung menangkap sosok Dimas di kejauhan—membawa senyum lebar dan tatapan penuh antusiasme yang tak terlewatkan.
Rani sedikit terhenti sejenak, mencoba menenangkan perasaan yang mendalam ini. Ini adalah pertama kalinya mereka bertemu di dunia nyata. Dimas berjalan mendekat, langkahnya penuh keyakinan dan cepat. Ketika mereka saling bertemu pandang, Rani merasakan perasaan hangat yang menyelimuti tubuhnya. Rasa rindu yang sudah menumpuk, semuanya terkumpul dalam satu tatapan.
“Rani…” suara Dimas terdengar dalam-dalam, penuh rasa syukur dan kebahagiaan.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Dimas membuka tangannya, dan Rani, tanpa ragu, langsung menyambutnya. Pelukan itu terasa begitu nyaman, seperti membawa mereka ke dunia yang berbeda—di mana tidak ada jarak, tidak ada waktu yang terbuang, hanya ada mereka berdua.
Beberapa detik berlalu, dan akhirnya Dimas melepaskan pelukan itu. Ia memandang Rani dengan senyum lebar, matanya bersinar. “Kamu lebih cantik daripada yang aku bayangkan.”
Rani tertawa malu, sedikit terkejut dengan kata-kata Dimas. “Kamu lebih tampan juga, Dimas.”
Mereka berdua tertawa, seakan pertemuan ini sudah lama ditunggu, tetapi juga terasa begitu baru dan asing pada saat yang sama. Rani merasa seolah segala kecemasan yang sebelumnya ada hilang begitu saja.
“Ayo, aku antar kamu ke tempatku. Kita bisa bicara lebih banyak di sana.”
Rani mengangguk, dan mereka berdua berjalan keluar bandara. Yogyakarta di sore itu terasa begitu berbeda dibandingkan dengan Jakarta—lebih tenang, dengan udara yang lebih segar dan langit yang cerah. Meskipun Rani sangat mencintai Jakarta, ia merasa ada sesuatu yang magis di sini. Sesuatu yang bisa membuat hatinya lebih tenang.
Sepanjang perjalanan, Dimas berbicara dengan sangat lancar, menjelaskan banyak hal tentang Yogyakarta—tempat-tempat yang menarik, makanan khas yang harus dicoba, dan kenangan-kenangan kecil yang pernah ia alami di kota itu. Rani mendengarkan dengan antusias, meski sesekali matanya memandang Dimas dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Mereka berbicara tentang masa lalu, tentang kenangan-kenangan indah yang mereka miliki sebelum bertemu, dan bagaimana hubungan mereka berawal.
“Kamu tahu,” kata Dimas, tiba-tiba, sambil mengendarai mobilnya. “Aku nggak pernah menyangka kalau kita bisa sampai di titik ini. Dulu aku cuma bercanda waktu bilang, ‘Bayangin kalau kita ketemu suatu hari nanti.’ Ternyata, kita benar-benar di sini sekarang, di satu tempat yang sama.”
Rani tersenyum, matanya sedikit berkaca. “Aku juga nggak pernah bayangin. Semua ini terasa seperti mimpi, Dimas.”
Mereka sampai di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di tengah kota Yogyakarta. Kafe itu memiliki nuansa vintage yang kental, dengan lampu-lampu kecil menggantung di atas meja kayu yang sederhana. Dimas memilih tempat di dekat jendela, tempat di mana mereka bisa melihat jalanan yang tenang dan beberapa pejalan kaki yang lewat.
Setelah memesan makanan, mereka duduk diam sejenak, menikmati suasana dan kebersamaan yang selama ini hanya bisa mereka impikan. Lalu, Dimas memecah keheningan.
“Rani, aku tahu kita belum terlalu lama kenal, tapi perasaan aku sama kamu sudah jauh lebih dari sekadar pertemuan online. Aku nggak ingin kehilangan kamu.”
Rani merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Aku juga, Dimas. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tapi aku ingin kita coba terus berjalan bersama. Aku nggak ingin ini hanya berakhir begitu saja.”
Dimas menggenggam tangan Rani di atas meja, dan matanya menatap Rani dengan serius. “Aku akan berusaha, Rani. Aku akan berusaha untuk tidak membiarkan jarak menjadi penghalang. Kita bisa atur semuanya bersama.”
Rani mengangguk, merasakan ketulusan di dalam hati Dimas. Mereka mungkin belum tahu apa yang akan terjadi setelah pertemuan ini, tapi mereka tahu satu hal yang pasti—bahwa perasaan mereka sejauh ini adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang berharga.
Setelah makan siang, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan keliling kota. Mereka mengunjungi beberapa tempat wisata yang terkenal di Yogyakarta, seperti Taman Sari dan Keraton Yogyakarta, namun tanpa terburu-buru. Mereka lebih memilih untuk menikmati kebersamaan dan berbicara tentang hal-hal kecil, sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan melalui layar ponsel.
Saat senja mulai datang, mereka duduk di sebuah jembatan yang menghadap sungai, dengan langit berwarna oranye yang memukau. Dimas menatap Rani dengan penuh arti.
“Kamu tahu, Rani, pertemuan ini benar-benar luar biasa. Semua yang kita lakukan, semua yang kita bicarakan, terasa seperti kita sudah mengenal satu sama lain jauh lebih lama dari yang sebenarnya,” ujar Dimas dengan suara penuh perasaan.
Rani menatapnya dengan lembut. “Aku juga merasa begitu. Rasanya seperti kita sudah berada di sini bersama sejak lama. Aku nggak tahu kalau bisa merasakan kedekatan seperti ini meskipun jarak memisahkan kita.”
Dimas menggenggam tangan Rani lebih erat, dan mereka hanya duduk bersama, menikmati momen yang sederhana tetapi penuh makna. Hari itu, mereka berdua merasa lebih dekat dari sebelumnya—bukan hanya karena mereka akhirnya bertemu secara langsung, tetapi karena mereka tahu bahwa meskipun jarak masih ada, hati mereka sudah saling terikat dengan cara yang tak terpecahkan.
Saat malam tiba dan mereka harus berpisah, perasaan haru mulai menghampiri. Rani merasa berat untuk mengucapkan selamat tinggal, meskipun hanya untuk sementara. Dimas juga merasakannya, tetapi ia meyakinkan Rani bahwa mereka akan terus berusaha, meski pertemuan mereka kali ini hanya sebentar.
“Aku akan menunggu kamu, Rani. Semoga kita bisa segera bertemu lagi,” kata Dimas, dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.
Rani mengangguk, matanya sedikit berkaca. “Aku juga akan menunggu, Dimas.”
Ketika mereka berpisah di bandara, mereka tahu bahwa pertemuan ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru. Meskipun perasaan mereka tidak akan pernah menghilang, dan meskipun jarak masih menjadi penghalang, mereka memiliki satu hal yang lebih kuat daripada sebelumnya—keyakinan bahwa cinta mereka, meskipun terpisah oleh ruang dan waktu, akan selalu ada.*
Bab 6: Jarak yang Membentuk Cinta
Setelah bertemu, keduanya menyadari bahwa hubungan jarak jauh bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan sesuatu yang harus mereka terima dan hadapi. Mereka mulai membangun cara-cara baru untuk tetap terhubung, seperti menetapkan waktu yang khusus untuk berbicara atau merencanakan kunjungan berikutnya.
Dalam setiap percakapan dan pertemuan, mereka merasa hubungan mereka semakin kuat, meskipun jarak tetap ada. Mereka belajar untuk lebih percaya satu sama lain, memberikan ruang untuk berkembang tanpa saling menguasai, dan merasa lebih kuat meskipun terpisah oleh ribuan kilometer.
Beberapa minggu setelah pertemuan yang tak terlupakan itu, kehidupan Rani dan Dimas kembali ke ritme yang biasa—dengan jarak yang memisahkan mereka kembali. Meskipun perasaan mereka terhadap satu sama lain semakin kuat, kenyataan bahwa mereka harus berpisah setelah beberapa hari kebersamaan yang intens tetap menjadi sebuah ujian. Mereka kembali menjalani hidup mereka dengan cara masing-masing, tapi kali ini dengan satu hal yang lebih—kepercayaan yang semakin mendalam dan ikatan yang lebih kuat dari sebelumnya.
Rani kembali ke Jakarta dengan perasaan campur aduk. Ada rasa rindu yang menggelayuti hatinya, namun di sisi lain, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan jarak jauh yang mereka jalani. Perasaan cinta yang mereka bagi saat bertemu itu tidak hanya bertahan, tetapi tumbuh lebih dalam. Meskipun terpisah oleh ribuan kilometer, setiap pesan, setiap video call, dan bahkan setiap panggilan telepon, terasa begitu nyata. Seperti tidak ada jarak sama sekali. Namun, di balik kenyataan itu, ada tantangan yang harus mereka hadapi—bagaimana mempertahankan kedekatan ini di tengah batasan-batasan yang ada.
Setiap hari Rani mencoba menyesuaikan diri dengan rutinitas yang sibuk di Jakarta. Pekerjaannya yang menuntut sering kali membuatnya sibuk sepanjang hari, tapi ada satu hal yang tetap hadir di pikirannya: Dimas. Ia merindukan senyumannya, cara Dimas mendengarkan setiap cerita dengan penuh perhatian, dan tentunya pelukan yang mereka bagi saat pertemuan mereka. Namun, Rani berusaha untuk tidak membiarkan rasa rindu itu menghancurkannya. Ia tahu bahwa hubungan ini membutuhkan lebih dari sekadar kerinduan. Ini membutuhkan kesabaran, pengertian, dan komitmen yang lebih besar daripada sebelumnya.
Di sisi lain, Dimas pun merasa hal yang sama. Yogyakarta tidak lagi terasa sama sejak pertemuan mereka. Kehidupan sehari-harinya kembali seperti sebelumnya—terasa sepi dan sunyi tanpa kehadiran Rani. Ia merindukan suara tawa Rani, cara Rani bercanda, dan bahkan kebiasaan-kebiasaan kecil yang sering kali mereka bicarakan. Meski demikian, Dimas tahu bahwa mereka telah melangkah ke level yang lebih dalam dalam hubungan ini. Cinta yang mereka rasakan bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi ia percaya bahwa mereka berdua bisa melewati tantangan ini bersama.
Mereka berdua tahu bahwa jarak akan selalu ada, tapi mereka juga tahu bahwa mereka bisa menghadapinya. Mereka telah memutuskan untuk tidak membiarkan jarak menjadi penghalang.
Meskipun jarak memisahkan mereka, Rani dan Dimas berusaha menjaga komunikasi mereka tetap erat. Setiap pagi, mereka saling mengirimkan pesan singkat untuk menyapa dan memberi semangat. Video call pun menjadi rutinitas yang tak bisa dilewatkan, meskipun kadang-kadang perbedaan waktu membuat mereka harus mengatur waktu dengan hati-hati.
“Gimana hari ini? Ada yang seru?” tanya Dimas melalui pesan suara, suaranya terdengar hangat seperti biasanya.
Rani tersenyum mendengar suaranya. “Pekerjaan lagi numpuk, tapi nggak ada yang seru sih. Tapi mendengar suaramu bikin hariku lebih baik.”
Itu adalah percakapan sehari-hari mereka—sesuatu yang sederhana, tapi penuh makna. Meskipun tidak bisa bertemu langsung, komunikasi menjadi jembatan yang menghubungkan mereka. Setiap percakapan, meskipun hanya lewat pesan atau panggilan telepon, membawa mereka lebih dekat. Setiap kali Dimas menceritakan hari-harinya di Yogyakarta, Rani merasa seakan-akan ia ada di sana, berjalan bersamanya, menikmati setiap detik. Begitu pun sebaliknya. Setiap cerita Rani tentang kegiatan di Jakarta membuat Dimas merasa terhubung, seolah-olah ia juga turut merasakannya.
Namun, ada kalanya percakapan itu tidak bisa menutupi rasa rindu yang mendalam. Rani sering kali merasa kesepian setelah panggilan itu berakhir, dan Dimas pun merasakannya. Mereka berdua tahu bahwa satu-satunya cara untuk melewati rasa itu adalah dengan tetap menjaga komunikasi, meskipun kadang perasaan itu terasa begitu berat.
Dengan waktu yang terus berlalu, perasaan Rani semakin berkembang. Ia mulai merasakan kekhawatiran yang tidak terucapkan. Apakah Dimas merasakan hal yang sama? Apakah dia masih setia menunggu dan berusaha untuk menjaga hubungan ini tetap utuh? Kadang, dalam kesendirian malam-malam panjang di Jakarta, Rani terjebak dalam pikiran-pikiran negatif. Apa yang akan terjadi jika jarak ini membuat mereka semakin jauh? Apa yang akan terjadi jika mereka mulai merasa lelah?
Ketika ia mengungkapkan kecemasannya dalam sebuah pesan kepada Dimas, jawaban yang diberikan Dimas selalu menenangkan.
“Rani, aku tahu kamu khawatir. Aku juga khawatir kadang-kadang. Tapi aku percaya kita bisa melewatinya. Setiap hari kita akan semakin dekat, dan aku yakin kita akan lebih kuat setelah ini. Aku nggak pernah menyesal bertemu denganmu.”
Pesan Dimas itu menjadi pengingat bagi Rani. Dia tahu bahwa hubungan ini bukanlah hal yang mudah, tetapi ia juga tahu bahwa cinta mereka lebih kuat dari jarak yang memisahkan. Mereka berdua memiliki komitmen untuk saling percaya dan berusaha untuk menjaga apa yang telah mereka bangun.
Setiap kali perasaan ragu datang, Rani mengingat pertemuan mereka di Yogyakarta—waktu yang mereka habiskan bersama, bagaimana mereka saling membuka hati dan mengungkapkan perasaan mereka dengan tulus. Itu adalah kenangan yang menguatkan dirinya untuk tetap bertahan.
Beberapa bulan kemudian, Rani dan Dimas merasa semakin nyaman dengan rutinitas baru mereka. Rani memutuskan untuk lebih banyak menyisihkan waktu untuk berbicara dengan Dimas. Meskipun pekerjaan sering kali menuntutnya, ia berusaha untuk tetap memberi ruang bagi Dimas dalam hidupnya.
Di sisi lain, Dimas juga mulai lebih memahami bagaimana cara menjaga hubungan jarak jauh ini agar tetap kuat. Ia tahu bahwa komunikasi adalah kunci, dan ia mulai lebih sering berbagi perasaan dan keinginan dengan Rani, mengungkapkan harapan-harapan mereka untuk masa depan.
Pada suatu malam, saat video call mereka, Dimas menatap Rani dengan serius. “Rani, aku tahu ini mungkin terdengar terlalu cepat, tapi aku ingin bertanya sesuatu.”
Rani yang merasa sedikit terkejut, memandang Dimas dengan penuh perhatian. “Apa itu, Dim?”
“Aku ingin kita mulai merencanakan masa depan bersama. Aku tahu kita masih jauh, tapi aku percaya ini yang terbaik untuk kita. Bagaimana kalau kita mulai memikirkan bagaimana cara kita bisa lebih dekat, mungkin dalam beberapa bulan ke depan?”
Rani terdiam sejenak, merasa terharu dengan niat Dimas. Ia tahu ini adalah langkah besar, tetapi di sisi lain, ia merasa siap. Mereka telah melewati banyak hal bersama, dan meskipun jarak tetap ada, ia percaya mereka bisa membuatnya berhasil.
“Aku setuju, Dimas. Kita harus merencanakan itu. Aku ingin kita bisa lebih dekat, lebih sering bertemu. Aku juga ingin masa depan kita terwujud.”
Percakapan itu menjadi titik balik dalam hubungan mereka. Mereka mulai merencanakan masa depan mereka bersama—membicarakan kemungkinan untuk tinggal di kota yang sama, mencari cara agar bisa sering bertemu, dan merencanakan langkah-langkah yang akan membawa mereka lebih dekat.
Seiring berjalannya waktu, Rani dan Dimas semakin memahami satu hal penting: jarak bukanlah halangan, melainkan ujian bagi cinta mereka. Jarak mengajarkan mereka untuk lebih sabar, lebih mengerti, dan lebih menghargai satu sama lain. Mereka tahu bahwa meskipun ada waktu-waktu yang sulit, mereka bisa bertahan. Bahkan, jarak ini membuat mereka lebih menghargai setiap detik yang mereka habiskan bersama—setiap percakapan, setiap tawa, dan setiap pertemuan.
Hari-hari yang dulu terasa sepi kini menjadi lebih berarti. Mereka belajar bahwa cinta yang kuat tidak hanya dibangun dari kebersamaan fisik, tetapi juga dari komunikasi, pengertian, dan komitmen. Jarak, meskipun menguji mereka, pada akhirnya hanya memperkuat cinta yang mereka miliki.
Dan begitu mereka berdua melangkah maju, mereka tahu bahwa jarak yang pernah memisahkan mereka, kini justru menjadi kekuatan yang mengikat mereka. Mereka siap menjalani perjalanan ini, bersama-sama, meskipun masih ada jarak yang memisahkan.