Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

BERJUTA KILOMETER, SERIBU KENANGAN

Berjuta Kilometer, Seribu Kenangan

SAME KADE by SAME KADE
March 14, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 52 mins read
BERJUTA KILOMETER, SERIBU KENANGAN

Daftar Isi

  • Bab 1: Awal yang Indah 
  • Bab 4: Kehilangan dan Penantian
  • Bab 5: Pertemuan yang Tak Terlupakan
  • Bab 6: Jarak yang Membentuk Cinta

Bab 1: Awal yang Indah 

Ceritakan momen-momen kebersamaan mereka yang singkat namun berkesan, seperti video call pertama yang canggung namun penuh tawa, percakapan tentang mimpi dan harapan mereka, hingga pertemuan singkat yang akhirnya menjadi kenangan indah.

Dalam momen-momen ini, mereka berdua saling berbagi janji bahwa hubungan mereka bisa bertahan meskipun jarak memisahkan. Mereka berjanji untuk tetap saling mendukung meski tidak bisa selalu ada secara fisik.

Mulai muncul perasaan cinta yang dalam meskipun pertemuan mereka sangat terbatas. Kenalkan tantangan awal hubungan jarak jauh: perbedaan zona waktu, kesibukan masing-masing, dan rasa rindu yang sering muncul.

Pagi itu, udara terasa segar di sepanjang trotoar kota Bandung yang ramai. Nadia berjalan menyusuri jalan dengan langkah pelan, menikmati pagi yang cerah setelah hujan semalam. Ia baru saja menyelesaikan kuliah dan memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitaran Dago, tempat favoritnya untuk melupakan segala hal yang membebani pikirannya. Kota ini, dengan segala kesibukannya, selalu memberikan ketenangan yang ia butuhkan.

Namun, hari itu berbeda. Saat Nadia melintasi sebuah toko buku kecil yang terletak di sudut jalan, matanya tertumbuk pada sebuah pemandangan yang tidak biasa. Di depan toko buku, ada seorang pria yang tampaknya sedang berdiri menunggu seseorang. Wajahnya tampak familiar, namun Nadia tidak bisa langsung mengingatnya. Saat pria itu menoleh, pandangan mereka bertemu, dan dalam sesaat, dunia seperti berhenti berputar.

Pria itu tersenyum tipis, seakan mengenali Nadia meskipun mereka tidak pernah bertemu sebelumnya. Nadia merasa agak canggung, namun perasaan itu langsung hilang ketika pria tersebut mendekatinya dan memperkenalkan diri.

“Maaf, apakah kamu Nadia?” tanya pria itu, suaranya tenang namun terdengar penuh rasa ingin tahu.

Nadia mengernyitkan dahi. “Ya, saya Nadia. Tapi, kamu…”

“Saya Arga. Kita pernah bertemu di sebuah seminar dua tahun lalu,” jawabnya dengan senyuman yang lebih lebar.

Nadia mengingatnya sekarang. Dua tahun lalu, mereka memang bertemu dalam sebuah seminar tentang teknologi, tapi saat itu mereka tidak sempat berbincang lebih lama. Nadia hanya ingat bahwa Arga adalah seorang pembicara muda yang penuh semangat, dengan wawasan luas dan pesona yang membuat banyak orang terkesan. Namun, itu hanya pertemuan singkat yang tidak meninggalkan kesan mendalam. Dan kini, di tengah kota yang ramai ini, mereka bertemu lagi.

“Ah, benar juga. Maaf, saya tidak langsung ingat,” Nadia tertawa canggung, merasa sedikit kikuk.

Arga tersenyum lebih lebar, dan tanpa diduga, ia mengajak Nadia untuk masuk ke toko buku. “Ayo, ikut saya. Ada buku menarik yang baru datang. Saya tahu kamu suka membaca.”

Mereka pun melangkah bersama ke dalam toko buku kecil itu. Meskipun pertemuan mereka tidak direncanakan, ada rasa nyaman yang muncul begitu saja di antara mereka. Sebagai seorang yang gemar membaca, Nadia merasa sangat terbantu dengan rekomendasi buku-buku yang diberikan Arga. Dari satu topik ke topik lainnya, mereka terlibat dalam percakapan yang mengalir begitu alami.

Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang buku favorit, perjalanan hidup, hingga pandangan mereka tentang dunia. Arga dengan mudah menceritakan pengalamannya bekerja di luar negeri, sedangkan Nadia dengan semangat menceritakan kehidupannya sebagai mahasiswa di Bandung yang penuh dengan tantangan. Ada kecocokan yang terasa meskipun baru bertemu.

“Saya senang bisa bertemu dengan orang yang punya minat yang sama,” kata Arga, mengakhiri percakapan mereka dengan senyuman hangat. “Mungkin kita bisa bertemu lagi untuk diskusi lebih lanjut tentang buku-buku ini.”

Nadia mengangguk, merasa sedikit terkejut dengan bagaimana pertemuan singkat ini bisa berjalan begitu menyenangkan. “Tentu. Saya senang bisa bertemu lagi.”

Saat mereka berpisah, Arga memberikan kartu namanya kepada Nadia, dan mereka sepakat untuk saling menghubungi setelah ini. Nadia merasa aneh, namun ada perasaan hangat yang mengalir di dalam dirinya. Entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang spesial dalam pertemuan ini.

Beberapa hari setelah pertemuan mereka di toko buku, Nadia menerima pesan dari Arga. Ternyata, ia tidak hanya ingin berbicara soal buku, tetapi juga ingin mengajak Nadia untuk berbincang lebih jauh. Arga mengirimkan pesan pertama yang singkat namun cukup menarik perhatian.

“Hai, Nadia. Apa kabar? Apa kamu ada waktu untuk kopi? Saya ingin melanjutkan percakapan kita waktu itu.”

Nadia, yang biasanya berhati-hati dalam berhubungan dengan orang baru, merasa tidak ada salahnya untuk menerima ajakan tersebut. Setelah beberapa kali berpikir, ia membalas pesan itu.

“Tentu, saya juga ingin berbincang lebih lanjut. Kapan waktu yang tepat?”

Mereka pun membuat janji untuk bertemu lagi di sebuah kafe kecil yang terletak di pusat kota. Hari itu, langit cerah, dan Nadia merasa sedikit cemas, namun juga tidak sabar. Dia tidak tahu mengapa, tetapi ada sesuatu yang membuat hatinya berdebar-debar.

Saat bertemu, suasana menjadi begitu nyaman. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari hobi, buku, hingga rencana hidup mereka ke depan. Nadia merasa bahwa Arga adalah seseorang yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mendengarkan dengan sepenuh hati. Arga pun menunjukkan ketertarikannya terhadap dunia Nadia, memberi banyak perhatian terhadap hal-hal kecil yang kadang terabaikan oleh orang lain.

“Saya senang bisa berbicara denganmu,” kata Arga, menatap Nadia dengan penuh arti. “Ada sesuatu yang berbeda dari orang-orang yang saya kenal sebelumnya.”

Nadia tersenyum, merasakan kedekatan yang tak terduga. “Saya juga merasa begitu. Mungkin karena kita punya banyak kesamaan.”

Malam itu, setelah berjam-jam berbicara, mereka berdua merasa ada koneksi yang kuat di antara mereka. Meskipun hubungan mereka baru dimulai, ada rasa saling pengertian yang tercipta begitu alami. Seiring berjalannya waktu, mereka semakin sering bertemu, dan perasaan cinta mulai tumbuh tanpa terasa.

Namun, seiring berjalannya waktu, pertemuan mereka mulai menjadi lebih terbatas. Arga yang bekerja di luar kota sering kali harus kembali ke Jakarta untuk urusan pekerjaan, sementara Nadia yang sibuk dengan kuliahnya juga merasa semakin sulit untuk mengatur waktu. Meski demikian, mereka tetap menjaga komunikasi dengan baik. Telepon dan pesan singkat menjadi jembatan bagi keduanya.

Hari-hari mereka diisi dengan percakapan panjang melalui telepon, tertawa bersama meski hanya lewat suara. Tidak jarang, mereka mengirimkan pesan singkat atau foto mengenai hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup mereka. Bahkan, meskipun jarak memisahkan, mereka selalu merasa dekat satu sama lain.

Suatu hari, saat Arga sedang dalam perjalanan ke Jakarta, Nadia menerima pesan darinya yang singkat namun penuh makna.

“Nadia, aku ingin kamu tahu bahwa meskipun kita jauh, aku merasa kamu selalu ada di dekatku. Aku sangat menghargai setiap momen yang kita punya.”

Pesan itu menghangatkan hati Nadia. Meskipun hanya kata-kata sederhana, ia merasakan kehangatan dan ketulusan dalam setiap kalimat yang Arga kirimkan. Momen-momen kecil seperti itu yang membuat hubungan mereka semakin kuat.

Namun, meskipun hubungan mereka berjalan dengan indah, Nadia tidak bisa menutupi rasa takut dan keraguan yang perlahan mulai muncul. Bagaimana jika suatu saat nanti mereka tidak lagi bisa melanjutkan hubungan ini karena jarak yang terlalu jauh? Bagaimana jika perasaan mereka mulai memudar seiring berjalannya waktu?

Di sisi lain, Arga juga merasakan hal yang sama. Ia merasa betapa pentingnya Nadia dalam hidupnya, namun terkadang keraguan itu datang, mengingat mereka terpisah oleh ribuan kilometer. Tapi, mereka berdua sama-sama yakin bahwa meskipun ada banyak hal yang tidak pasti, ada satu hal yang pasti: mereka saling mencintai.

“Saat kita tidak bersama, aku merasa ada yang hilang. Tapi aku percaya kalau kita akan selalu menemukan cara untuk tetap dekat, meskipun jarak memisahkan kita,” kata Arga dalam sebuah percakapan panjang mereka.

Nadia menatap layar ponselnya, tersenyum. “Aku juga merasa begitu, Arga. Meski kita jauh, aku tahu kita bisa melalui ini bersama.”

Pagi itu terasa berbeda bagi Nadia. Udara kota Bandung yang segar, setelah hujan semalam, menyapa wajahnya yang lelah. Ia memutuskan untuk berjalan kaki dari kampus ke sebuah kafe kecil di Dago yang sudah lama ingin ia kunjungi, hanya untuk mencari ketenangan sejenak dari padatnya jadwal kuliah. Ia berjalan pelan, menghirup udara segar, dan mencoba melupakan segala hal yang membebani pikirannya.

Saat melintasi sebuah toko buku kecil yang terletak di sudut jalan, matanya tertumbuk pada sesuatu yang tak biasa. Di depan toko itu, ada seorang pria yang tampak berdiri sendiri, memegang beberapa buku dan terlihat sedang menunggu seseorang. Nadia tidak tahu mengapa, tetapi ada sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak, memandangi pria tersebut. Pria itu tampak familiar, tetapi ia tidak bisa langsung mengingatnya.

Hingga, pria itu menoleh dan melihat ke arahnya. Kedua pandangan mereka bertemu dalam sekejap. Dalam diam, Nadia merasa ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Tiba-tiba, pria itu tersenyum, senyum yang cukup ramah dan tidak asing. Mungkin senyum itu mengingatkan Nadia pada sesuatu—sesuatu yang ia kenali, namun baru pertama kali terlihat dengan begitu jelas.

“Maaf, apakah kamu Nadia?” Pria itu menyapanya dengan suara lembut, namun penuh rasa ingin tahu.

Nadia terkejut, kebingungannya memuncak. “Ya, saya Nadia. Tapi, kamu…” Nadia tidak langsung ingat siapa pria ini.

“Saya Arga. Kita pernah bertemu di seminar tentang teknologi dua tahun lalu,” jawabnya sambil tersenyum.

Sekarang, ingatan Nadia kembali. Ia ingat pernah mengikuti seminar yang diadakan di kampusnya dua tahun lalu, dan Arga adalah salah satu pembicara muda yang berbicara dengan penuh semangat tentang teknologi terbaru. Mereka tidak sempat berbicara banyak, hanya sekedar menyapa di sela-sela acara, namun dia ingat bahwa Arga memiliki aura yang sangat kuat, seseorang yang selalu dapat membuat orang di sekitarnya merasa terinspirasi.

“Oh, benar juga. Maaf, saya tidak langsung ingat,” kata Nadia, sedikit malu karena tidak mengenali Arga lebih cepat.

Arga tertawa ringan, “Tidak masalah. Saya sering kali merasa orang-orang lupa dengan saya setelah acara selesai. Tapi saya senang kita bertemu lagi.”

Setelah beberapa detik canggung, Arga melanjutkan, “Ayo, kita masuk ke toko buku. Ada beberapa buku yang baru datang, mungkin kamu tertarik.”

Mereka berdua kemudian melangkah bersama masuk ke dalam toko buku kecil itu, dan tiba-tiba ada kenyamanan yang aneh antara mereka. Nadia merasa suasana itu sangat berbeda dari pertemuan-pertemuan lainnya yang sering ia alami. Arga mulai menunjukkan berbagai buku yang ia pikir menarik dan sesuai dengan minat Nadia. Dalam beberapa menit, mereka terlibat dalam percakapan ringan tentang penulis favorit, genre buku yang mereka sukai, dan bahkan topik-topik lain yang tidak ada hubungannya dengan buku. Nadia merasa aneh, namun juga terhanyut dalam percakapan itu. Ada rasa yang mengalir begitu saja, yang jarang ia rasakan dengan orang lain.

“Sepertinya kita punya banyak kesamaan,” kata Nadia, tertawa ringan.

“Benar,” jawab Arga sambil tersenyum. “Saya rasa kita bisa jadi teman yang baik.”

Sebelum mereka berpisah, Arga menuliskan nomor ponselnya di kartu nama dan memberikannya kepada Nadia. “Kalau kamu ingin ngobrol lebih lanjut tentang buku, atau sekadar bertemu, hubungi saja saya.”

Nadia menerimanya dengan senyuman. “Tentu. Terima kasih, Arga.”

Mereka berpisah, dan Nadia merasa aneh, tapi ada perasaan hangat yang mulai tumbuh di dalam hatinya. Perasaan itu tidak bisa dijelaskan, namun ia tahu sesuatu yang berbeda telah terjadi dalam pertemuan singkat ini.

Beberapa hari setelah pertemuan mereka di toko buku, Nadia menerima pesan dari Arga. Ia sebenarnya sedikit ragu apakah harus membalas atau tidak. Namun, pesan singkat dari Arga itu membuatnya merasa penasaran.

“Hai, Nadia. Apa kabar? Ada waktu untuk kopi? Saya ingin melanjutkan percakapan kita yang kemarin.”

Nadia mengerutkan kening, agak terkejut. Ia belum terbiasa dengan ajakan yang langsung seperti itu dari seseorang yang baru dikenal. Tapi ada sesuatu yang membuatnya ingin menerima ajakan itu. Mungkin itu rasa ingin tahu tentang Arga, atau mungkin juga karena ia merasa ada sesuatu yang menyenangkan dalam percakapan mereka yang lalu.

Setelah beberapa detik berpikir, Nadia akhirnya membalas pesan itu. “Tentu, saya juga ingin ngobrol lebih lanjut. Kapan kamu ada waktu?”

Mereka pun sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil di sekitar kampus Nadia. Saat itu, cuaca agak mendung, dan Nadia merasa sedikit cemas. Ia belum pernah bertemu seseorang seperti Arga dalam keadaan yang seperti ini—secara tidak sengaja, dalam suasana yang begitu santai, dan tiba-tiba berlanjut ke pertemuan yang lebih serius. Namun, perasaan cemas itu segera hilang ketika ia memasuki kafe dan melihat Arga duduk di sebuah meja dekat jendela.

Arga tersenyum lebar begitu melihat Nadia datang. “Hei, Nadia! Aku sudah pesan kopi untuk kita berdua. Ayo duduk.”

Nadia tersenyum dan duduk di depan Arga. Mereka memesan kopi dan mulai berbincang lagi. Kali ini, percakapan mereka terasa lebih dalam. Mereka berbicara tentang banyak hal—buku yang baru mereka baca, cita-cita mereka, impian mereka di masa depan, bahkan tentang keluarga dan kehidupan pribadi. Nadia merasa nyaman, seolah mereka sudah lama saling mengenal, meskipun sebenarnya ini adalah pertemuan kedua mereka.

“Nadia,” kata Arga sambil memandangnya dengan serius. “Saya merasa kita bisa berbicara dengan sangat nyaman, bahkan tentang hal-hal yang biasanya sulit saya ungkapkan. Ini aneh, kan?”

Nadia terdiam sejenak. “Saya juga merasa begitu, Arga. Kadang-kadang, kita bertemu orang-orang yang bisa membuat kita merasa seperti sudah lama saling mengenal.”

Obrolan mereka terus berlanjut dengan ringan namun penuh makna. Seiring berjalannya waktu, Nadia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekedar pertemuan biasa di antara mereka. Ia merasa ada ikatan yang tumbuh meskipun keduanya baru saja bertemu. Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan, dan Nadia merasa seperti sudah lama mengenal Arga.

Setelah beberapa jam berbincang, pertemuan itu pun berakhir dengan senyuman dan kesepakatan untuk bertemu lagi. Arga memberikan nomor ponselnya dan meminta Nadia untuk menghubunginya kapan saja. “Kalau kamu ingin ngobrol lebih banyak atau hanya sekadar bertemu, jangan ragu untuk menghubungi saya.”

Nadia mengangguk. “Tentu. Saya senang bisa bertemu dengan kamu.”

Saat mereka berpisah, Nadia merasa ada sedikit kekosongan di dalam hatinya. Meski baru beberapa jam bersama, perasaan itu sangat kuat. Ia tidak tahu apakah perasaan ini hanya sementara atau apakah ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Tapi satu hal yang pasti—ia ingin mengenal Arga lebih dalam lagi.

Beberapa minggu setelah pertemuan itu, Nadia dan Arga semakin sering berkomunikasi. Awalnya, komunikasi mereka terbatas pada percakapan singkat, tapi semakin lama, mereka mulai berbicara lebih banyak tentang hidup mereka, berbagi cerita, dan saling memberikan dukungan. Meskipun tidak sering bertemu, mereka merasa dekat melalui pesan singkat dan percakapan telepon.

Setiap kali mereka berbicara, Nadia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang selalu ingin berbicara dengan Arga. Meskipun tidak sering bertemu, ia merasa bahwa mereka telah menghabiskan waktu yang panjang bersama. Ada perasaan yang berkembang—perasaan yang ia tidak tahu harus bagaimana mengungkapkannya. Tetapi Nadia tahu satu hal: ia merasa sangat nyaman dengan Arga, lebih dari yang ia bayangkan sebelumnya.

Saat mereka berbicara melalui telepon atau bertukar pesan, ada rasa saling pengertian yang tumbuh tanpa mereka sadari. Arga mulai mengirimkan Nadia beberapa buku yang ia rasa bisa Nadia nikmati. Di sisi lain, Nadia sering mengirimkan lagu-lagu yang ia dengar, lagu-lagu yang mengingatkannya pada Arga.

Beberapa bulan kemudian, mereka memutuskan untuk bertemu lagi. Kali ini, mereka memilih untuk menghabiskan waktu lebih lama bersama, jauh dari kesibukan kampus dan pekerjaan. Mereka merencanakan sebuah perjalanan ke tempat yang jauh dari keramaian—tempat yang hanya mereka berdua yang tahu. Sebuah tempat yang bisa memberikan mereka*

Bab 2: Cinta dalam Keheningan 

Ceritakan bagaimana perasaan rindu mereka yang semakin intens seiring berjalannya waktu. Mereka sering merasakan rindu dalam diam, hanya bisa mengungkapkan perasaan lewat pesan dan panggilan suara yang terbatas.

Meskipun tidak selalu bisa berbicara setiap saat, mereka saling merasa dekat dengan cara mereka masing-masing. Nadia mungkin mengirimkan gambar atau pesan singkat tentang hari-harinya, sementara Arga mengirimkan lagu-lagu atau puisi sebagai bentuk ekspresi cintanya.

Tunjukkan perjuangan emosional yang mereka hadapi, seperti rasa tidak aman, keraguan, dan perasaan kesepian. Meski cinta mereka besar, mereka harus berjuang dengan rasa tidak tahu pasti apakah hubungan ini akan bertahan.

Seminggu setelah pertemuan mereka di kafe, Nadia kembali sibuk dengan rutinitas kuliahnya yang semakin padat. Setiap hari, ia terjebak dalam tumpukan buku dan jadwal yang padat. Meskipun begitu, di tengah segala kesibukannya, ada satu hal yang selalu mengisi pikirannya—Arga. Kehadiran Arga dalam hidupnya membuatnya merasa ada yang berbeda. Bukan hanya perasaan yang biasa ia rasakan terhadap orang lain, tetapi sesuatu yang lebih dalam, yang bahkan ia sendiri belum bisa mengungkapkan dengan jelas.

Meski begitu, kedekatan mereka tidaklah mudah. Arga yang bekerja di Jakarta sering kali harus terpisah jauh dari Nadia, dan jarak yang semakin jauh membuat mereka sulit untuk bertemu sesering yang mereka inginkan. Namun, mereka berdua berusaha untuk tetap menjaga komunikasi dengan cara mereka sendiri.

Setiap pagi, Nadia selalu mendapat pesan singkat dari Arga, yang berisi kalimat-kalimat sederhana namun penuh makna.

“Selamat pagi, Nadia. Semoga hari ini berjalan dengan lancar. Ingat untuk tetap tersenyum!”

Pesan itu selalu membuat Nadia merasa lebih baik, meskipun terkadang ia merasa rindu dengan suara Arga yang biasa menenangkan hatinya. Seperti halnya pagi itu, saat ia baru saja membuka matanya dan melihat pesan tersebut, hatinya terasa lebih ringan.

Hari-harinya sekarang diwarnai dengan pesan-pesan singkat, telepon malam yang penuh tawa, dan sesi video call yang meskipun singkat, selalu terasa hangat. Meskipun mereka tidak bertemu langsung, setiap percakapan menghubungkan hati mereka, meskipun tidak selalu terlihat jelas. Namun, Nadia merasakan kehadiran Arga dalam setiap sudut kehidupannya—dalam pekerjaan kuliah, saat berjalan di kampus, bahkan dalam malam-malam yang sepi.

Terkadang, mereka berbicara tentang hal-hal besar—rencana masa depan, impian mereka, dan tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi bersama. Namun, di lain waktu, mereka hanya berbicara tentang hal-hal sederhana, seperti apa yang mereka makan untuk makan malam atau cerita lucu dari teman-teman mereka.

“Arga, kamu tahu nggak, tadi pagi ada kucing liar yang tiba-tiba masuk ke kelas dan bikin kekacauan. Semua orang ketawa!” Nadia mengirimkan pesan singkat itu ke Arga sambil tertawa terbahak-bahak mengenang kejadian tadi.

Arga membalas dengan cepat. “Hahaha, kucing itu pasti merasa kampus ini lebih seru dari tempat tinggalnya. Jadi, kamu ikut tertawa bareng mereka juga ya?”

Nadia tersenyum membacanya, meskipun mereka tidak berada di tempat yang sama, tetapi dalam momen itu, mereka berbagi kebahagiaan yang sama. Bahkan dalam jarak yang memisahkan mereka, hal-hal kecil seperti itu membuat mereka merasa dekat.

Namun, tidak setiap hari penuh dengan tawa. Terkadang, keheningan yang datang tanpa disadari menjadi ujian tersendiri. Seperti pada suatu malam, setelah beberapa minggu berturut-turut komunikasi mereka semakin intens, Nadia merasakan ketegangan dalam hubungan mereka yang belum sepenuhnya ia pahami. Suatu malam, saat mereka sedang video call, Arga terlihat lebih diam dari biasanya. Hanya sesekali ia tersenyum atau mengangguk, sementara Nadia merasa ada jarak yang mulai terbentuk di antara mereka.

“Ada apa, Arga? Kamu kelihatan capek,” tanya Nadia, merasa cemas.

Arga menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Nggak ada apa-apa, cuma… aku agak bingung akhir-akhir ini. Sepertinya kita sudah sering berbicara, tapi aku merasa semakin jauh dari kamu.”

Nadia terdiam sejenak. Kalimat itu seperti menyentuh bagian dalam dirinya yang selama ini ia pendam. Jarak memang menjadi tantangan besar bagi mereka, tetapi ia tidak tahu apakah Arga benar-benar merasa begitu. Perasaan cemas itu datang begitu saja.

“Aku juga merasa begitu, Arga. Rasanya kita mulai kehilangan kehangatan dalam percakapan kita. Mungkin karena kita jarang bertemu,” jawab Nadia pelan, mencoba menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya.

Arga hanya diam sejenak, lalu akhirnya berkata, “Aku khawatir kita akan kehilangan arah, Nadia. Aku nggak tahu bagaimana perasaanmu tentang ini, tapi aku merasa hubungan kita mulai terasa aneh.”

Nadia menundukkan kepala, merasakan kekosongan di hatinya. “Aku nggak tahu harus bagaimana, Arga. Rasanya aku mulai takut, takut kalau kita nggak bisa bertahan dengan jarak yang ada.”

Mereka berdua terdiam dalam keheningan yang panjang. Saat itu, Nadia merasa cemas akan masa depan hubungan mereka. Apakah mereka bisa tetap bersama meskipun jarak yang semakin jauh?

Beberapa hari setelah percakapan itu, Nadia merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Ia mulai merasa ragu apakah hubungan ini bisa bertahan lama. Meskipun ada perasaan yang dalam untuk Arga, ada ketakutan yang menyelubungi hatinya. Ketakutan bahwa semuanya mungkin akan berakhir, bahwa mungkin perasaan mereka tidak akan cukup kuat untuk melewati jarak yang semakin jauh.

Setiap kali ia membuka ponselnya, melihat pesan atau panggilan telepon dari Arga, hatinya merasa campur aduk. Ada rasa rindu yang begitu kuat, namun di sisi lain, ada kekhawatiran yang terus mengganggu pikirannya. Apakah Arga merasakannya juga? Apakah dia merasa sama dengan apa yang Nadia rasakan?

Suatu malam, setelah beberapa hari mereka tidak berbicara banyak, Nadia akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan kepada Arga.

“Arga, aku cuma mau bilang, aku nggak mau kehilangan kamu. Aku takut kita nggak bisa bertahan.”

Pesan itu benar-benar datang dari hati Nadia, tetapi saat ia menekan tombol kirim, ia merasa gugup. Beberapa detik terasa seperti beberapa jam, hingga akhirnya ponselnya bergetar. Arga membalas.

“Nadia, aku juga merasa takut. Tapi aku percaya kalau kita bisa melewati ini, asalkan kita terus berjuang bersama. Aku nggak ingin kehilangan kamu juga.”

Nadia merasa ada kelegaan setelah membaca balasan itu. Arga juga merasakan ketakutan yang sama, namun dia masih berusaha untuk mempertahankan hubungan ini. Mungkin, di tengah keheningan dan ketakutan yang menyelimuti mereka, mereka berdua bisa menemukan cara untuk tetap bersama.

Hari-hari berikutnya terasa sedikit lebih ringan. Meskipun mereka masih merasa cemas, namun percakapan mereka mulai terasa lebih jujur dan terbuka. Mereka berbicara lebih dalam tentang ketakutan mereka, tentang apa yang mereka inginkan dari hubungan ini, dan bagaimana mereka bisa saling mendukung meskipun terpisah jarak.

Mereka berdua mulai mengerti satu sama lain lebih baik. Arga mulai mengirimkan Nadia lebih banyak pesan suara, agar ia bisa mendengar suaranya meskipun hanya dalam beberapa detik. Nadia pun mulai lebih sering mengirimkan foto-foto kecil tentang kehidupannya, berbagi hal-hal yang ia lakukan dalam kesehariannya.

“Malam ini, aku akan mencoba masak sesuatu yang baru. Aku ingin tahu, apakah kamu suka masakan pedas?” tulis Nadia dalam pesan yang ia kirimkan pada Arga.

Arga membalas dengan penuh antusias. “Aku suka pedas! Kirimkan foto masakannya kalau sudah jadi. Nanti aku akan masak juga di sini.”

Meskipun mereka tidak bisa benar-benar memasak bersama, mereka merasa seperti saling berbagi bagian dari kehidupan mereka—sesuatu yang membuat mereka tetap terhubung meskipun terpisah ribuan kilometer.

Beberapa bulan kemudian, komunikasi mereka mulai terasa lebih lancar. Mereka sudah belajar untuk mengatasi ketegangan yang ada dan menemukan cara-cara baru untuk tetap dekat, meskipun ada jarak yang memisahkan. Namun, satu hal yang Nadia sadari adalah bahwa hubungan ini sudah membawa perubahan besar dalam dirinya. Ia mulai belajar bagaimana menghargai waktu, bagaimana mengungkapkan perasaan meskipun dengan kata-kata sederhana, dan yang terpenting, ia mulai mengerti arti sebenarnya dari cinta yang tumbuh dalam keheningan.

Suatu hari, ketika mereka sedang berbicara lewat telepon, Arga mengungkapkan sesuatu yang sangat penting.

“Nadia, aku rasa kita sudah berada di titik yang cukup jauh. Aku nggak mau kehilangan kamu, dan aku ingin kita terus melangkah bersama. Aku tahu hubungan ini sulit, tapi aku percaya kita bisa lebih kuat karena saling mendukung.”

Nadia terdiam sejenak, kemudian dengan suara lembut

Nadia merasa hatinya berdegup lebih cepat setelah mendengar kata-kata Arga. Kalimat yang penuh kepercayaan diri itu memberi kesan yang mendalam, meskipun mereka berjarak begitu jauh. Ada sesuatu yang dalam dan penuh ketulusan dalam suara Arga saat ia mengungkapkan rasa percaya diri untuk terus berjuang bersama, meskipun mereka terpisah oleh ribuan kilometer.

“Maksud kamu apa, Arga?” tanya Nadia, suara sedikit bergetar, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang.

“Sudah cukup lama kita terpisah, Nadia. Tapi aku merasa ini adalah waktu yang tepat. Aku nggak ingin hubungan kita stagnan. Aku ingin kita mengambil langkah berikutnya bersama,” jawab Arga, dengan suara yang terdengar lebih serius dari biasanya.

Nadia terdiam sejenak. Pikiran dan perasaannya mulai berputar-putar. Ia sudah terbiasa dengan rutinitas harian yang dikelilingi oleh perkuliahan dan kehidupan sosialnya yang sibuk. Namun, semakin ia mendengarkan Arga, semakin ia merasa bahwa hubungan mereka membutuhkan perhatian lebih—terlebih dengan rencana-rencana besar yang sudah mereka mulai diskusikan.

“Apa yang kamu maksud dengan langkah berikutnya?” tanya Nadia dengan hati yang berdebar, mencoba mencari kepastian.

“Pindah. Aku ingin kita hidup di tempat yang sama. Aku ingin kita menghabiskan lebih banyak waktu bersama, merencanakan masa depan yang lebih dekat, yang nggak terhalang oleh jarak,” jawab Arga dengan yakin.

Sontak, kata-kata itu membuat Nadia terkejut. Pindah? Mereka memang sering berbicara tentang masa depan mereka, tetapi untuk Arga mengusulkan hal sebesar itu—untuk mengorbankan pekerjaan dan rutinitas hidup mereka yang sudah mapan—Nadia merasa sedikit takut. Seberapa besar perasaan ini bisa bertahan jika mereka membuat perubahan sebesar itu?

“Nggak mudah, Arga. Kita udah punya kehidupan masing-masing. Apa kamu yakin dengan keputusan itu?” tanya Nadia, meskipun hatinya berdebar mendengarkan usul tersebut.

Arga terdiam sejenak. “Aku sudah memikirkannya lama, Nadia. Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Aku ingin kita membangun sesuatu bersama, nggak hanya terpisah oleh layar ponsel dan panggilan telepon.”

Kata-kata itu menyentuh hati Nadia. Ia merasa disentuh oleh ketulusan Arga yang ingin melangkah lebih jauh bersama. Namun, perasaan campur aduk pun muncul di hatinya. Apakah ia siap untuk mengubah seluruh hidupnya demi hubungan ini?

Namun, di sisi lain, perasaan yang sudah berkembang begitu dalam untuk Arga juga tidak bisa ia abaikan begitu saja. Jika benar mereka berdua saling mencintai, mungkin memang saatnya untuk melangkah maju, meskipun ada banyak ketakutan dan keraguan yang mengikutinya.

“Aku perlu waktu untuk berpikir,” kata Nadia pelan. “Ini semua begitu besar, Arga. Tapi aku juga tahu, kita nggak bisa terus hidup dalam keheningan ini. Kita harus memilih jalan yang bisa membawa kita lebih dekat.”

Arga hanya tersenyum mendengar jawaban Nadia. “Tentu. Aku nggak akan memaksakan kamu, Nadia. Aku hanya ingin kita terbuka satu sama lain, dan jika kamu siap, aku akan menunggu.”

Setelah percakapan panjang itu, Nadia merasa perasaan di dalam dirinya semakin sulit untuk dibendung. Ia menyadari bahwa hubungan mereka sudah melewati banyak hal, dan meskipun berada jauh di tempat yang berbeda, mereka telah berkembang bersama. Arga selalu memberikan dukungan, meskipun tidak secara langsung, dan itu membuat Nadia merasa nyaman. Namun, ia juga tahu bahwa kehidupan kampus dan pekerjaan Arga yang sibuk tidak bisa terus dihadapi dengan cara seperti ini.

Hari-hari setelah percakapan tersebut berlalu dengan lambat. Nadia merasakan ketidakpastian dalam hatinya, tapi ia juga merasa bahwa hidup yang ia jalani selama ini sudah mulai terasa datar. Ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang telah terikat pada Arga, namun ia takut bahwa perasaan itu akan menghalangi peluangnya untuk maju.

Suatu sore, ketika Nadia duduk di kamarnya, merenung tentang keputusan besar yang harus ia buat, ponselnya bergetar. Itu pesan dari Arga.

“Aku tahu ini bukan keputusan yang mudah, Nadia. Tapi aku ingin kamu tahu, apapun yang kamu pilih, aku akan mendukungmu. Hanya saja, aku berharap kita bisa menjalani hidup ini bersama. Aku sudah memikirkan kita berdua, dan aku rasa ini adalah langkah yang tepat.”

Nadia menatap pesan itu lama sekali. Ia tahu ini adalah pilihan yang harus ia buat dengan hati yang tulus, tanpa terburu-buru. Tapi, perasaan yang ia miliki untuk Arga semakin kuat. Dalam diam, Nadia merasa bahwa mungkin inilah saatnya untuk mengambil risiko. Jika cinta mereka memang nyata, mereka bisa melewati segala halangan bersama-sama.

Akhirnya, setelah beberapa jam penuh keraguan, Nadia memutuskan untuk menghubungi Arga.

“Aku ingin kita melangkah ke tahap berikutnya. Aku siap untuk mengambil langkah besar bersama kamu, Arga.”

Pesan itu mengalir begitu saja dari jari-jemarinya, dan saat ia menekan tombol kirim, rasanya seperti ada beban berat yang akhirnya terangkat dari pundaknya. Tak lama kemudian, ponselnya bergetar, tanda balasan dari Arga.

“Nadia… aku sangat bahagia mendengar itu. Terima kasih sudah mempercayai aku. Kita akan menjalani semuanya bersama.”

Nadia menutup matanya dan menghela napas dalam-dalam. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa tenang. Meskipun perjalanan mereka tidak akan mudah, namun mereka sudah sepakat untuk berjuang bersama.

Keputusan mereka untuk melangkah maju bersama tidak datang tanpa tantangan. Banyak hal yang harus mereka pertimbangkan. Nadia harus memikirkan tentang kuliah yang belum selesai dan kehidupan di kampus yang penuh dengan tanggung jawab. Arga juga harus menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang mengharuskan dia untuk sering bepergian, serta keputusan untuk pindah ke kota yang lebih dekat dengan Nadia.

Namun, meskipun tantangan itu ada, keduanya merasa lebih kuat karena telah memutuskan untuk menghadapinya bersama. Mereka mulai merencanakan langkah-langkah selanjutnya—Nadia memikirkan untuk mengajukan cuti kuliah dan melanjutkan studi di kota tempat Arga tinggal, sementara Arga mulai mencari apartemen baru yang lebih dekat dengan kampus Nadia.

Mereka juga mulai sering bertukar pesan tentang hal-hal kecil—apa yang akan mereka masak untuk makan malam, tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi bersama, hingga impian-impian yang selama ini terpendam. Setiap percakapan semakin mempererat hubungan mereka, meskipun mereka masih belum benar-benar bertemu secara fisik dalam beberapa waktu.

Pada suatu hari, Nadia akhirnya memutuskan untuk mengunjungi Arga di Jakarta. Selama ini mereka hanya berkomunikasi melalui telepon dan pesan, tetapi kali ini ia ingin benar-benar melihat Arga, merasakan kehadirannya tanpa layar yang memisahkan mereka.

Ketika Nadia tiba di Jakarta, Arga menjemputnya di bandara dengan senyuman lebar yang tidak bisa ia sembunyikan. Mereka berpelukan lama, seolah sudah lama tidak bertemu, meskipun baru beberapa bulan sejak pertemuan terakhir mereka.

“Akhirnya kita bertemu lagi,” kata Nadia dengan suara lembut, sambil memandang Arga dengan penuh perasaan.

“Ini hanya permulaan, Nadia. Banyak hal yang akan kita lalui bersama,” jawab Arga, matanya penuh keyakinan dan harapan.

Dengan langkah yang pasti, mereka mulai menjalani kehidupan baru yang penuh dengan harapan dan tantangan. Meski perjalanan mereka belum berakhir, setiap langkah bersama terasa lebih berarti. Jarak yang sebelumnya menjadi penghalang, kini menjadi sesuatu yang bisa mereka taklukkan bersama—sebuah bukti bahwa cinta, meskipun tumbuh dalam keheningan, bisa menemukan jalannya, seiring dengan kedalaman perasaan yang semakin tumbuh di hati mereka.*

 Bab 3: Godaan dan Keraguan 

 Ketika hubungan mereka semakin berjalan, keduanya mulai merasa cemas tentang masa depan hubungan mereka. Nadia merasa kesepian karena jarak, sementara Arga mulai tergoda oleh godaan dari dunia sekitar yang lebih mudah dijangkau. Ketegangan mulai muncul, baik dari rasa tidak yakin tentang komitmen jangka panjang maupun godaan dari kehidupan sosial masing-masing. Tampilkan momen krisis dalam hubungan mereka di mana mereka saling berbicara tentang keraguan mereka, apakah mereka masih bisa terus bertahan ataukah harus menyerah. Dalam percakapan ini, keduanya menyadari betapa besar pengaruh satu sama lain dalam hidup mereka, meskipun jarak memisahkan.

Setelah keputusan besar yang mereka ambil untuk berjuang bersama, hubungan Nadia dan Arga mulai memasuki fase yang lebih serius. Mereka berdua bekerja keras untuk mewujudkan impian mereka—Nadia yang memutuskan untuk melanjutkan kuliah di kota tempat Arga bekerja, dan Arga yang mencoba mengatur ulang prioritas hidupnya agar bisa lebih banyak waktu dengan Nadia. Namun, meskipun langkah-langkah positif sudah mereka ambil, keduanya tak pernah menyangka bahwa ujian terbesar mereka akan datang dalam bentuk yang tak terduga.

Pada suatu sore yang cerah, ketika Nadia baru saja selesai kuliah dan Arga baru saja menyelesaikan pekerjaannya di kantor, mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe yang terletak tidak jauh dari apartemen Arga. Namun, sebelum Nadia tiba, Arga menerima pesan dari seorang teman lamanya, Rani, yang tiba-tiba menghubunginya. Rani adalah seorang teman masa kecil yang pernah dekat dengan Arga sebelum ia pindah ke luar kota. Meskipun mereka tidak pernah berhubungan lagi setelah lama tidak bertemu, Rani tiba-tiba mengirimkan pesan dan mengajak Arga untuk bertemu.

“Arga, lama nggak ketemu! Mau nggak kalau kita ngopi bareng? Aku lagi di Jakarta dan pengen catch up. Nggak perlu lama kok, cuma ngobrol sebentar.”

Arga merasa sedikit terkejut, namun juga merasa sopan untuk membalas pesan tersebut. Ia tahu bahwa Rani tidak akan muncul tanpa alasan, dan tentu saja, mereka punya kenangan lama yang masih terjaga. Walaupun di sisi lain, ia merasa ada rasa tidak nyaman, karena ia sudah memiliki Nadia dalam hidupnya. Namun, rasa penasaran dan keinginan untuk sekadar berbincang dengan teman lama membuatnya mengiyakan undangan tersebut.

“Kamu nggak apa-apa kan kalau aku pergi sebentar? Cuma bertemu sebentar dengan Rani, teman lama. Kita bisa makan malam nanti kalau kamu sudah selesai,” kata Arga dengan hati-hati saat membalas pesan tersebut.

Nadia yang sedang menunggu di kafe tersebut sedikit merasa bingung, tetapi ia memutuskan untuk tidak terlalu mengkhawatirkan hal itu. Selama ini, ia tahu bahwa Arga adalah sosok yang terbuka dan jujur, jadi ia tidak merasa perlu meragukan pertemuan tersebut. Namun, meskipun begitu, ada sedikit ketidaknyamanan yang mulai tumbuh dalam dirinya.

Di sisi lain, Rani datang tepat waktu di kafe yang mereka pilih, mengenakan gaun merah yang terlihat anggun. Ketika mereka bertemu, keduanya saling berpelukan dan mulai mengobrol tentang banyak hal—mengenang masa lalu mereka di kampung halaman, berbicara tentang kehidupan masing-masing, dan berbagai kenangan indah yang pernah mereka alami bersama.

“Aku nggak percaya kita bisa ketemu lagi setelah sekian lama, Arga. Kamu terlihat hebat,” kata Rani dengan senyuman yang menggoda.

Arga yang merasa sedikit canggung membalas, “Kamu juga, Rani. Waktu memang berlalu cepat.”

Mereka mulai berbincang lebih jauh, dan meskipun Arga berusaha untuk menjaga batas-batas percakapan, ia merasa semakin nyaman. Rani selalu tahu bagaimana membuat Arga tertawa dengan cerita-cerita konyol mereka dulu. Tanpa sadar, waktu berlalu begitu cepat, dan percakapan mereka semakin terasa intim.

Sementara itu, Nadia yang sudah menunggu cukup lama merasa sedikit cemas. Meskipun ia tidak ingin mengganggu Arga, ia merasa aneh jika pertemuan tersebut berlangsung lebih lama dari yang diharapkan. Ia pun memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat ke Arga.

“Kamu sudah selesai?”

Pesan tersebut ternyata tidak segera dibalas, dan itu menambah rasa tidak nyaman dalam hati Nadia. Ia tahu bahwa Arga sangat sibuk, tetapi pesan itu yang tidak dibalas membuatnya merasa khawatir. Akhirnya, ia memilih untuk tidak terlalu banyak berpikir dan melanjutkan menikmati makan malam sendirian. Namun, hatinya tetap merasa gelisah.

Setelah hampir satu jam berlalu, Arga akhirnya menghubungi Nadia.

“Maaf, aku baru selesai. Aku akan segera ke kafe. Kita bisa makan malam sekarang,” kata Arga melalui pesan singkat.

Nadia merasa sedikit lega mendengar bahwa Arga akan segera tiba. Namun, ketika Arga akhirnya datang, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ia terlihat lebih santai, namun ada senyum yang tampak terlalu lebar, yang tidak biasa ia lihat pada Arga. Nadia merasakan ada sesuatu yang tidak beres, meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya.

Malam itu, mereka makan bersama, tetapi ada ketegangan yang terasa di udara. Nadia merasa ada jarak yang tiba-tiba muncul, meskipun mereka tidak mengatakan apapun yang tidak biasa. Mereka berbicara tentang topik ringan, tetapi dalam hati Nadia, ada pertanyaan yang mengganggu. Ia tidak bisa menghindari perasaan cemburu dan khawatir yang mulai muncul dalam dirinya.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Arga tetap berusaha untuk menjaga komunikasi dengan Nadia seperti biasa. Tetapi, dalam hati Nadia, rasa curiga mulai tumbuh. Ia merasa seolah ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Ia mulai merenung dan berpikir, apakah ini hanya perasaannya saja atau ada yang benar-benar terjadi? Pertemuan dengan Rani tampaknya menyisakan jejak dalam hati Arga yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya.

Malam itu, Nadia tidak bisa tidur, memikirkan segala hal yang terjadi. Ia membuka aplikasi pesan dan melihat percakapan antara Arga dan Rani yang masih ada di ponselnya. Meskipun tidak ada yang terlalu mencurigakan dalam percakapan mereka, tetapi beberapa pesan terakhir antara Arga dan Rani tampak lebih intim dari biasanya.

“Aku rindu waktu-waktu kita dulu, Arga. Aku harap kita bisa ketemu lebih sering,” tulis Rani dalam pesan terakhirnya.

Arga membalas dengan cepat. “Aku juga, Rani. Kita memang sudah lama nggak ketemu.”

Nadia menggigit bibirnya, perasaan tidak enak semakin mencekam hatinya. Apakah dia hanya cemburu karena Arga dan Rani dekat di masa lalu, ataukah ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan? Keraguan itu mengganggu pikirannya, membuatnya merasa bingung dan takut.

Beberapa minggu setelah kejadian itu, perasaan Nadia semakin kacau. Ia memutuskan untuk membuka percakapan dengan Arga tentang apa yang mengganggu pikirannya. Pada awalnya, ia ragu untuk mengungkapkan kecurigaannya, karena takut menyakiti perasaan Arga atau merusak hubungan mereka. Namun, akhirnya ia tahu bahwa ia harus berbicara, karena hubungan mereka tak akan bertahan jika ada ketidakjujuran, sekecil apapun itu.

“Nadia, ada yang ingin kamu bicarakan?” Arga bertanya saat mereka sedang mengobrol malam itu.

Dengan hati yang berat, Nadia berkata, “Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi, ada yang mengganggu aku, Arga.”

Arga langsung berhenti sejenak, mencoba menilai nada suara Nadia yang tampak serius. “Apa itu, Nadia?”

Nadia menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. “Aku merasa belakangan ini ada yang berubah. Aku tahu kamu bertemu dengan Rani, dan aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa nggak nyaman. Ada sesuatu yang terasa berbeda setelah pertemuan itu.”

Arga terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab. “Aku ngerti kenapa kamu merasa seperti itu. Tapi, aku hanya bertemu Rani karena sudah lama nggak ketemu. Kita cuma ngobrol, Nadia. Aku nggak ingin kamu merasa cemas atau takut, karena aku hanya punya perasaan untuk kamu.”

Namun, meskipun kata-kata Arga terdengar meyakinkan, Nadia masih merasa bimbang. Keraguan dalam dirinya tak bisa hilang begitu saja. Ia ingin percaya pada Arga, tetapi godaan dan keraguan ini terus menguji kesabaran dan perasaan hatinya.

Hari-hari berikutnya, Nadia berusaha untuk melupakan kecurigaannya dan mempercayai Arga. Mereka terus berkomunikasi seperti biasa, tetapi ada ketegangan yang tersisa. Arga berusaha lebih terbuka dan memberi perhatian lebih pada Nadia, tetapi di dalam hati, Nadia masih merasakan ada sesuatu yang tak terucap.

Saat hubungan mereka memasuki fase yang lebih serius, godaan dan keraguan akan terus menghantui. Apakah mereka akan mampu bertahan? Akankah perasaan mereka cukup kuat untuk melewati ujian-ujian yang datang, baik dari dalam diri mereka sendiri maupun dari orang lain?

Dengan setiap percakapan, setiap pertemu.

Beberapa minggu berlalu setelah perbincangan yang sulit antara Nadia dan Arga. Meski kata-kata Arga terdengar meyakinkan, rasa cemburu dan ketidaknyamanan masih menghantui hati Nadia. Ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya, tapi bayangan tentang pertemuan Arga dengan Rani yang tampak begitu dekat, terus mengganggu pikirannya.

Setiap kali Arga mengirimkan pesan atau meneleponnya, Nadia selalu merasa ada jarak emosional yang tidak bisa dijangkau. Ia mencoba untuk mengatasi rasa cemburunya, tetapi keraguan itu seperti bayangan yang selalu mengikuti. Nadia berusaha tetap bersikap biasa, meskipun hatinya mulai retak sedikit demi sedikit.

Pada suatu sore, ketika Nadia sedang menulis tugas di kamarnya, ia mendapatkan pesan dari seorang teman kampusnya, Dwi. Dwi adalah teman yang dekat dengan Nadia sejak mereka kuliah bersama. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, baik untuk belajar maupun sekadar mengobrol tentang kehidupan pribadi.

“Hei, Nadia, aku dengar kabar dari teman-teman kalau Arga dan Rani sempat bertemu lagi, kan? Kalian baik-baik saja?” pesan dari Dwi itu tiba-tiba membuat dada Nadia terasa sesak.

Hatinya langsung berdebar lebih cepat. Ia tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Rasanya seperti dunia mendesaknya untuk menerima kenyataan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan biasa antara Arga dan Rani.

Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, Nadia membalas pesan Dwi dengan hati-hati. “Ya, mereka bertemu. Tapi tidak ada yang spesial kok. Aku cuma… sedikit cemas.”

Dwi, yang mengenal Nadia cukup baik, segera merespons. “Cemas? Kenapa? Bukannya kamu percaya pada Arga? Kamu harus ngomong sama dia, Nadia. Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, lebih baik langsung dibicarakan daripada dipendam.”

Pesan dari Dwi seperti tamparan halus bagi Nadia. Ia tahu bahwa teman-temannya benar. Keraguan dan kecemasannya sudah semakin besar, dan jika ia tidak segera menghadapinya, perasaan itu bisa menghancurkan hubungan yang sudah mereka bangun.

Namun, meskipun ia tahu apa yang seharusnya ia lakukan, hati Nadia masih bimbang. Apa yang akan terjadi jika ia berbicara langsung pada Arga tentang perasaannya yang semakin membingungkan? Apakah ia bisa mempercayai Arga sepenuhnya, atau apakah ini hanya cemburu yang berlebihan karena ketidakmampuan dirinya untuk menerima kenyataan bahwa Arga juga memiliki masa lalu yang tak bisa diubah?

Nadia akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Suatu malam setelah mereka selesai berbicara lewat telepon, Nadia memberanikan diri untuk mengajak Arga berbicara lebih serius. Meskipun hatinya berdebar keras, ia tahu bahwa jika tidak mengungkapkan perasaannya sekarang, ia akan terjebak dalam ketidakpastian yang tak ada habisnya.

“Arga, ada hal yang perlu kita bicarakan,” kata Nadia, suaranya sedikit ragu namun tegas.

Arga, yang sedang bersantai di apartemennya, merasakan perubahan nada suara Nadia. “Ada apa, Nad? Apa yang mengganggu pikiranmu?”

Nadia menatap ponselnya, mencari kata-kata yang tepat. Setelah beberapa detik hening, ia akhirnya berkata, “Aku merasa ada sesuatu yang aneh setelah pertemuanmu dengan Rani. Aku nggak bisa berhenti berpikir tentang kalian berdua. Aku merasa nggak nyaman, Arga. Meskipun kamu bilang nggak ada apa-apa, aku… nggak bisa mengabaikan perasaan ini.”

Arga terdiam cukup lama. Nadia bisa mendengar napasnya yang sedikit berat di ujung telepon. “Nadia,” jawabnya dengan suara lebih rendah dari biasanya, “Aku tahu perasaanmu, dan aku nggak ingin kamu merasa seperti itu. Rani memang teman lama, tapi kamu harus tahu bahwa perasaanku padamu nggak akan berubah. Aku cuma bertemu dengan dia untuk ngobrol tentang masa lalu, nggak lebih. Kamu harus percaya padaku.”

Namun, meskipun Arga berkata seperti itu, keraguan di hati Nadia tetap ada. “Aku ingin percaya, Arga, tapi aku juga merasa ragu. Kalau memang nggak ada apa-apa, kenapa kamu tidak memberi tahu aku lebih awal tentang pertemuan itu?” Nadia bertanya, mencoba untuk menjaga suaranya tetap tenang.

Arga merasa kesulitan untuk menjawab. “Aku memang seharusnya memberitahumu lebih awal, Nad. Aku nggak ingin kamu merasa khawatir. Aku nggak berpikir pertemuan itu akan jadi masalah, tapi aku tahu aku salah.”

Mendengar pengakuan Arga, Nadia merasa sedikit lega, tetapi di sisi lain, perasaan ragu itu belum juga hilang. “Aku nggak tahu, Arga. Aku ingin hubungan kita kuat, tapi aku juga nggak ingin hidup dalam ketidakpastian seperti ini. Aku nggak mau terus-terusan merasa cemburu atau ragu dengan perasaanmu.”

Setelah beberapa saat terdiam, Arga akhirnya berkata, “Aku tahu aku harus lebih terbuka padamu. Aku ingin kamu merasa aman dengan perasaanmu. Kalau kita ingin hubungan ini bertahan, kita harus belajar saling memahami dan memberi ruang satu sama lain. Aku janji, Nadia, aku nggak akan membiarkan kamu merasa seperti ini lagi.”

Meskipun kata-kata Arga terdengar tulus, Nadia masih merasa ada yang mengganjal. Ia tidak bisa menepis perasaan cemburu dan ketidakpercayaan yang semakin dalam. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah ia akan mampu bertahan dengan perasaan yang tak pernah benar-benar surut, atau apakah ia harus menghadapi kenyataan bahwa hubungan ini tidak selalu sempurna.

Seiring berjalannya waktu, perasaan Nadia semakin bimbang. Ia tahu bahwa Arga berusaha untuk memperbaiki keadaan dan membuktikan bahwa ia tetap mencintainya, namun perasaan cemburu dan keraguan itu tidak bisa begitu saja hilang. Setiap kali Arga menerima pesan dari Rani, atau mereka berbicara tentang hal-hal masa lalu, Nadia merasa seperti bayangan Rani terus mengikuti hubungan mereka.

Pada suatu malam, setelah berbicara panjang lebar dengan Dwi tentang hubungan mereka, Nadia merasa ada kebutuhan mendalam untuk memahami apa yang sebenarnya ia inginkan. Dwi memberi nasihat yang sangat berharga.

“Nadia, jika kamu benar-benar ingin hubungan ini bertahan, kamu harus belajar menerima masa lalu Arga. Rani hanya bagian dari sejarahnya, dan kamu adalah bagian dari masa depannya. Kamu nggak bisa membandingkan dirimu dengan masa lalu. Kalau kamu terus-terusan merasa cemburu dan meragukan Arga, kamu nggak akan bisa hidup tenang.”

Nasihat Dwi membuat Nadia merenung. Ia tahu Dwi benar, tetapi hatinya masih sulit untuk menerima kenyataan itu. Bagaimana ia bisa terus hidup dengan perasaan cemburu dan ketidakpercayaan? Apakah ia harus menyerah pada perasaan itu dan mengambil langkah mundur, atau ia harus terus bertahan dan berjuang untuk hubungan yang penuh dengan ketidakpastian?

Pada titik ini, Nadia menyadari bahwa ia harus membuat keputusan besar—apakah ia akan terus meragukan Arga dan hidup dalam bayang-bayang ketakutan, atau ia akan belajar untuk mempercayai Arga sepenuhnya dan menerima segala yang ada, termasuk masa lalunya.

Malam itu, Nadia memutuskan untuk membuka hati dan berbicara dengan Arga dengan cara yang berbeda. Ia tidak ingin terjebak dalam perasaan yang mengganggu lagi. Ia ingin memberi kesempatan pada dirinya sendiri dan hubungan mereka untuk berkembang.

Ketika Arga meneleponnya, Nadia berkata dengan tegas namun penuh pengertian, “Aku ingin hubungan kita menjadi lebih baik, Arga. Aku ingin kita saling mempercayai dan belajar untuk tidak saling meragukan satu sama lain. Aku nggak ingin terus hidup dalam ketakutan.”

Arga mendengarkan dengan seksama, lalu berkata, “Aku juga ingin kita berdua lebih baik, Nad. Aku berjanji akan lebih terbuka padamu. Kita bisa melalui semua ini, asal kita terus berbicara satu sama lain.”

Nadia merasakan suatu perubahan dalam dirinya. Ia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang dan penuh dengan tantangan. Namun, untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir, ia merasa sedikit lega. Godaan dan keraguan yang selama ini membayangi hubungan mereka masih ada, tetapi Nadia mulai menyadari bahwa cinta yang mereka miliki lebih besar daripada rasa takut dan kecemasan yang terkadang datang begitu saja.Dengan keputusan itu, Nadia dan Arga melangkah maju, berusaha untuk mengatasi semua ujian yang datang, dan belajar untuk percaya*

Bab 4: Kehilangan dan Penantian

 Setelah perdebatan dan ketegangan, hubungan mereka memasuki fase jeda. Meskipun mereka masih saling mencintai, jarak yang semakin membebani hubungan mereka membuat mereka merasa semakin terasing. Ada kesalahan komunikasi yang membuat keduanya merasa terabaikan, sehingga mereka mulai merasa bingung dan tidak tahu bagaimana melanjutkan.

Ceritakan bagaimana Nadia mencoba untuk bergerak maju, meskipun hatinya masih tertinggal dengan Arga. Ia mencoba untuk fokus pada kehidupan dan pekerjaannya, namun perasaan rindu terus mengganggunya. Sementara Arga, meskipun selalu berusaha untuk berhubungan, merasa semakin jauh karena perbedaan prioritas dan keinginan yang berbeda.

Setelah perbincangan panjang yang penuh dengan ketegangan, Arga dan Nadia merasa seolah beban yang selama ini menekan hubungan mereka mulai sedikit terangkat. Meski perasaan cemburu dan keraguan tidak serta-merta hilang, mereka berdua sepakat untuk memberikan ruang bagi hubungan mereka untuk tumbuh dan berkembang. Namun, meski kata-kata itu terucap, perasaan hati tak semudah itu bisa berubah.

Seminggu berlalu dengan banyak percakapan ringan, tetapi ada sesuatu yang terasa berbeda. Arga semakin sibuk dengan pekerjaannya. Terkadang, ia bahkan menghilang selama beberapa hari, hanya mengirimkan pesan singkat untuk memberitahu Nadia bahwa ia sedang sibuk dan akan menelepon nanti. Nadia yang awalnya cukup sabar mulai merasa resah. Keadaan yang penuh ketidakpastian ini membuatnya semakin merasa terasing, meskipun mereka tinggal di kota yang sama. Rasanya seperti ada tembok yang menghalangi antara mereka, walaupun hanya sedikit demi sedikit.

Nadia mencoba mengabaikan perasaan itu dan fokus pada kuliahnya. Setiap kali ia merasa jenuh, ia akan menghubungi Arga, berharap bisa mendapatkan perhatian lebih dari pria yang telah ia cintai selama ini. Namun, seringkali jawaban Arga terasa datar, seolah ia sedang terfokus pada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar mendengarkan cerita Nadia.

Pada satu malam, Nadia merasa terjaga lebih lama dari biasanya. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang tak bisa ia jawab. Apakah semuanya akan baik-baik saja? Apakah hubungan mereka benar-benar bisa bertahan setelah semua yang telah terjadi? Keheningan yang muncul antara mereka semakin mengikis rasa percaya diri Nadia. Seringkali ia merasa seperti kehilangan dirinya sendiri, terjebak dalam penantian yang tak jelas.

Tanpa sadar, sudah dua minggu sejak mereka terakhir kali bertemu. Nadia mencoba menghubungi Arga, tetapi jawaban yang ia dapatkan hanya sekedar pesan singkat: “Maaf, aku sedang banyak pekerjaan. Nanti kita bicarakan.” Dan itu saja. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, tidak ada kehangatan yang seharusnya ada dalam sebuah hubungan.

Pikiran Nadia terus berputar. Mengapa Arga begitu sibuk? Mengapa ia tidak bisa meluangkan waktu untuknya? Dan mengapa ia merasa semakin dijauhkan, meskipun mereka berdua saling mencintai? Keraguan itu semakin membesar seiring berjalannya waktu, membuat Nadia merasa semakin tidak dihargai.

Hari demi hari berlalu dengan perasaan hampa yang semakin membebani. Nadia sering kali merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya—sesuatu yang tak bisa ia sentuh atau jelaskan. Hatinya meronta, berharap agar Arga mengerti bahwa ia membutuhkan perhatian lebih. Tapi, seolah dunia mereka semakin jauh, dan Nadia semakin terperangkap dalam keheningan.

Pada suatu malam yang sunyi, saat hujan turun dengan derasnya di luar jendela, Nadia duduk di ruang tamunya, menatap layar ponsel yang sepi. Hatinya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Mengapa Arga tidak lagi menunjukkan perhatian seperti dulu? Apakah ini tanda bahwa hubungan mereka akan berakhir, tanpa kata-kata perpisahan yang tegas?

Saat itu, ponselnya bergetar, dan sebuah pesan dari Arga masuk. Nadia membuka pesan tersebut dengan hati yang penuh harap, tetapi yang ia baca hanya kalimat singkat: “Aku akan pergi ke luar kota untuk beberapa hari. Ada urusan penting yang harus aku selesaikan. Semoga kita bisa berbicara setelah aku kembali.”

Nadia merasakan ada yang menusuk dalam dadanya. Ia ingin sekali menangis, tetapi ia menahan diri. Perasaan rindu dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Selama ini, ia sudah berusaha sabar dan memberi ruang, namun kenyataannya Arga semakin menjauh. Apa yang salah dengan hubungan ini? Mengapa ia merasa seperti tak diinginkan?

Ia tahu, pada titik ini, ia harus membuat pilihan. Apakah ia akan terus menunggu tanpa kepastian, atau ia akan mencoba untuk melepaskan dirinya dari semua beban yang semakin berat? Nadia merasa terhimpit dalam kebingungannya, tak tahu arah mana yang harus ia tuju.

Arga kembali ke luar kota selama beberapa hari. Nadia mencoba untuk tetap tenang, meskipun hatinya dipenuhi oleh ribuan pertanyaan yang belum terjawab. Setiap malam, sebelum tidur, ia sering kali merenung, menatap langit malam yang gelap dan berharap agar suatu saat Arga akan kembali dan menjelaskan semuanya.

Namun, semakin hari, perasaan cemas Nadia semakin membesar. Apa yang terjadi dengan Arga? Mengapa ia tidak memberinya kabar lebih sering? Rindu dan penantian itu menjadi semakin menekan hati Nadia. Ia ingin berbicara, namun setiap kali ia mencoba menghubungi Arga, jawabannya selalu terkesan terburu-buru dan tidak jelas.

Penantian yang terasa tak berujung itu membuat Nadia merasa semakin terasing. Setiap kali ia berusaha membuka hati, setiap kali ia ingin berbagi cerita, Arga seakan menutup dirinya. Kapan pun mereka berbicara, topik yang dibahas selalu tentang pekerjaan, dan tidak pernah ada waktu untuk mereka berdua. Nadia merasa seperti seorang yang terbuang, meskipun ia tahu bahwa Arga masih mencintainya. Namun, apakah cinta itu cukup kuat untuk mengatasi segala keraguan dan jarak yang semakin melebar?

Beberapa malam setelah pertemuan terakhir mereka, Nadia memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat yang menenangkan pikirannya. Ia berjalan-jalan di sekitar taman kota, tempat yang biasa mereka kunjungi untuk berbincang dan menikmati waktu bersama. Di sana, di bawah pohon yang rindang, Nadia duduk termenung, memikirkan semua yang telah terjadi.

Di tengah kesendiriannya, Nadia merasa ada sesuatu yang hilang. Keheningan yang begitu dalam semakin menekan pikirannya. Rindu yang terpendam semakin tak terelakkan. Ia ingin sekali berbicara dengan Arga, ingin mengungkapkan semua perasaannya yang telah lama terkunci, namun ia tak tahu lagi harus mulai dari mana.

Arga akhirnya kembali setelah beberapa hari menghilang. Namun, saat mereka bertemu di kafe seperti biasa, Nadia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang berbeda. Arga tampak kelelahan dan sibuk, tetapi yang paling mengganggu hati Nadia adalah ketidakmampuan Arga untuk berbicara tentang apa yang terjadi.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Arga?” tanya Nadia dengan hati yang berat. “Kenapa kamu begitu menjauh belakangan ini? Aku merasa seperti kita semakin terpisah, meskipun kita berada di tempat yang sama.”

Arga menatapnya dengan tatapan yang kosong, seakan-akan sedang berjuang untuk menemukan kata-kata yang tepat. “Nadia, aku minta maaf. Aku sedang menghadapi banyak hal di luar sana, dan aku tidak ingin membebanimu dengan masalah-masalahku. Aku pikir aku bisa mengatasinya sendiri, tapi aku salah.”

Tapi kata-kata itu hanya membuat Nadia merasa semakin bingung. “Masalah apa yang kamu sembunyikan dari aku, Arga? Kenapa kamu tidak pernah berbagi?”

Arga menarik napas panjang, menundukkan kepala sejenak. “Aku tidak ingin membuatmu khawatir. Tapi aku merasa semakin jauh dari dirimu. Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menghadapimu lagi setelah semua yang terjadi. Aku takut, Nad. Takut kehilanganmu.”

Nadia merasa dunia berhenti berputar sesaat mendengar kata-kata itu. Ia ingin sekali memeluk Arga, namun ia merasa ada tembok yang sangat tebal antara mereka. Tembok yang dibangun dari rasa sakit, penantian yang tak pasti, dan jarak emosional yang semakin dalam.

“Aku juga takut kehilanganmu, Arga. Tapi aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Aku butuh kepastian. Aku butuh kamu ada di sini, bersama aku.”

Arga terdiam, tidak tahu bagaimana menjawab. Rasa kesal, kecewa, dan rindu bercampur menjadi satu. Nadia merasa seolah mereka berada di persimpangan yang tak bisa dijembatani. Apakah hubungan mereka akan bertahan? Atau akankah mereka terjebak dalam penantian yang tak berujung, terpisah oleh jarak yang semakin lebar?

Hari demi hari berlalu, dan meskipun mereka berusaha untuk kembali menjalin komunikasi, ada rasa yang tak bisa disembunyikan. Kehilangan dan penantian menjadi bagian dari keseharian mereka. Arga merasa semakin tertekan dengan pekerjaan dan segala masalah yang ia hadapi, sementara Nadia merasa semakin terabaikan dan kesepian.

Namun, di tengah kebingungannya, Nadia tahu satu hal yang pasti: ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Ia butuh jawaban, butuh kejelasan tentang hubungan mereka. Cinta saja tidak cukup untuk mengatasi segala hal. Mungkin inilah saatnya untuk membuat keputusan besar.

Sementara Arga semakin terjebak dalam rutinitasnya, Nadia berusaha tetap tegar meskipun hatinya semakin terasa hampa. Mungkin ia terlalu berharap, mungkin ia terlalu menunggu sesuatu yang tidak pernah datang dengan cara yang ia inginkan. Pada suatu malam, saat Nadia memutuskan untuk pergi ke tempat yang biasa mereka kunjungi—kafe kecil di ujung kota yang selalu menyimpan kenangan indah—ia tak sengaja bertemu dengan Arga.

Arga datang lebih dulu dan duduk di pojok kafe, tampak lelah dan tertekan. Nadia merasakan getaran cemas yang menggelitik hatinya. Arga tampak seperti sedang mencari-cari kata-kata, seolah ia tahu bahwa pertemuan ini bukan pertemuan biasa. Nadia duduk di seberangnya, mencoba menahan perasaan yang mulai menguasai dirinya.

“Arga,” Nadia membuka pembicaraan dengan hati yang berat. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku merasa semakin jauh dari dirimu. Apa yang sebenarnya terjadi dengan kita?”

Arga mengangkat wajahnya, matanya sedikit sayu. “Nadia, aku tahu kita sudah berusaha sebaik mungkin, tapi kadang-kadang aku merasa kesulitan untuk menghadapimu. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Aku terlalu terfokus pada masa depan, dan aku lupa kalau aku juga harus ada untukmu.”

Nadia terdiam, mendengarkan kata-kata Arga yang penuh penyesalan. Seolah dunia runtuh di sekelilingnya. Ia ingin sekali berteriak, ingin meluapkan semua perasaan yang selama ini dipendam. Tetapi tidak ada suara yang keluar. “Tapi aku juga merasa kesepian, Arga. Aku merasa seperti tidak ada di dalam hidupmu lagi. Setiap kali kita berbicara, itu hanya tentang pekerjaanmu, atau tentang hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kita. Aku rindu perhatianmu, aku rindu segala hal yang dulu kita lakukan bersama.”

Arga menundukkan kepala, seolah merasa bersalah. “Aku terlalu egois, Nad. Aku tahu aku telah mengabaikanmu, tapi aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku takut, takut kalau aku tidak bisa memenuhi ekspektasimu. Takut kalau aku tidak bisa menjadi pasangan yang cukup baik untukmu.”

Mendengar pengakuan itu, Nadia merasakan ada sesuatu yang membelai hatinya. Di satu sisi, ia merasa sedikit lega, karena akhirnya Arga membuka hatinya, namun di sisi lain, ia juga merasa semakin bingung. Apakah ini hanya sebuah alasan untuk menutupi ketidakmampuan Arga dalam menghadapi masalah mereka? Ataukah memang benar bahwa hubungan ini telah berubah menjadi sesuatu yang semakin sulit dijalani?

Malam itu terasa berbeda. Suasana kafe yang biasanya penuh dengan tawa dan kegembiraan, kini terasa begitu sunyi dan berat. Nadia dan Arga duduk berhadap-hadapan, mencoba menyusun kata-kata yang bisa memberi penjelasan tentang perasaan masing-masing. Namun, setiap kalimat yang terucap justru menambah kebingungan dalam hati mereka.

“Apa yang harus kita lakukan, Arga?” tanya Nadia, matanya sedikit berkaca-kaca. “Aku tidak tahu apakah aku bisa terus menunggu dalam ketidakpastian seperti ini. Aku butuh jawaban, aku butuh tahu apa yang kita hadapi.”

Arga menghela napas panjang. “Aku… aku juga tidak tahu, Nad. Semua terasa begitu sulit. Aku merasa seperti kita berdua berada dalam dunia yang berbeda. Aku takut kalau aku tidak bisa memberikanmu apa yang kamu butuhkan.”

Mendengar kata-kata itu, hati Nadia terasa teriris. “Aku hanya ingin tahu, Arga. Apakah kamu masih mencintaiku? Apakah kita masih memiliki masa depan bersama, atau apakah kita hanya terus terjebak dalam rutinitas ini?”

Pertanyaan itu menggema di udara, seperti menghantui Arga. Ia tahu bahwa jika tidak segera menjawabnya, Nadia akan semakin merasa ditinggalkan. Ia tidak ingin kehilangan Nadia, namun ia merasa tidak mampu memberikan jaminan apapun.

“Nadia,” Arga mulai berbicara dengan nada pelan, “Aku mencintaimu. Aku tahu ini terdengar klise, tapi aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa kamu. Tapi aku juga merasa takut kalau hubungan ini tidak akan pernah sama lagi, jika aku tidak bisa memberi kamu perhatian yang kamu butuhkan.”

Nadia menunduk, mencoba mencerna kata-kata itu. Semua yang ia rasakan selama ini—rindu, kesepian, dan ketidakpastian—terjadi karena ketakutan ini. Mereka berdua terjebak dalam ketakutan yang sama: takut akan kehilangan, takut akan kenyataan yang tidak mereka inginkan.

“Aku ingin kita berdua keluar dari kebingungan ini, Arga,” kata Nadia, suara lirih. “Aku ingin tahu apakah kita bisa menjalani hubungan ini dengan lebih jelas, tanpa adanya ketakutan atau keraguan. Jika kamu merasa tidak bisa memberi aku waktu dan perhatian, mungkin kita harus berpikir ulang tentang apa yang kita inginkan.”

Arga terdiam lama, lalu akhirnya ia berkata, “Aku tidak ingin kehilanganmu, Nad. Tapi aku juga takut kita akan semakin jauh jika aku terus-menerus tidak bisa memberi apa yang kamu harapkan. Aku butuh waktu untuk menyelesaikan pikiranku, untuk memastikan apa yang aku inginkan, dan apakah kita masih bisa memiliki masa depan bersama.”

Malam itu berakhir tanpa jawaban yang pasti. Mereka berdua pulang dengan perasaan yang lebih berat dari sebelumnya, seolah beban dunia sedang mereka pikul bersama. Nadia tidak tahu apa yang akan terjadi, namun ia tahu satu hal: penantian ini harus segera berakhir. Ia tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian, terus-menerus merindukan seseorang yang seakan tidak pernah ada di sana.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Nadia memutuskan untuk memberikan ruang lebih bagi dirinya sendiri. Ia mulai lebih fokus pada kuliah dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat mengalihkan pikirannya dari Arga. Meski begitu, bayangan pria itu terus menghantuinya, dan setiap kali ia mencoba untuk melupakan, perasaan itu muncul kembali. Ia merasa semakin tersesat dalam kehidupannya yang penuh dengan pertanyaan tak terjawab.

Suatu pagi, ketika ia sedang duduk di taman kampus, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Arga: “Nadia, aku sudah memikirkan semuanya. Aku ingin kita bicara lebih lanjut tentang hubungan kita. Aku merasa harus membuat keputusan yang jelas.”

Mendengar pesan itu, hati Nadia kembali berdebar. Ia tidak tahu apakah ia siap mendengar apa yang akan Arga katakan. Namun, satu hal yang pasti—ia tidak bisa terus menunggu tanpa kejelasan. Ia harus tahu apa yang akan terjadi, apakah hubungan mereka bisa diselamatkan ataukah ini adalah akhir dari segalanya.

Dengan perasaan yang campur aduk, Nadia membalas pesan itu. “Aku akan menunggumu. Kita perlu bicara.”

Saat mereka bertemu di tempat yang sama, Arga terlihat lebih tenang, tetapi matanya tampak lelah. Nadia tahu bahwa ini adalah saat yang menentukan. Apa pun yang akan terjadi setelah ini, mereka harus siap menghadapinya.

“Nadia, aku sudah memikirkannya matang-matang,” Arga berkata dengan suara rendah. “Aku tahu hubungan kita tidak akan bisa bertahan kalau kita terus menghindari masalah ini. Aku sangat mencintaimu, tetapi aku merasa bahwa kita berdua perlu lebih banyak waktu untuk memperbaiki diri, untuk bisa memberi yang terbaik satu sama lain.”

Nadia menatap Arga dengan perasaan yang campur aduk. “Jadi, ini akhirnya tentang waktu, ya? Aku harus menunggu lebih lama lagi untuk mendapatkan kepastian?”

Arga mengangguk perlahan. “Aku tidak ingin kau menunggu tanpa kejelasan, Nad. Aku ingin kita berdua menjadi lebih baik dulu, untuk diri kita sendiri. Setelah itu, baru kita bisa memikirkan tentang hubungan kita.”

Mendengar itu, Nadia merasa sebuah rasa sakit yang tajam menusuk hatinya. Sementara Arga berbicara tentang waktu, ia merasa seolah waktunya sudah habis. Semua penantian yang ia lakukan terasa sia-sia. Namun, ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang harus diterima, meskipun ia tak tahu apakah itu akan menyembuhkan luka yang sudah dalam di hatinya.

Setelah pertemuan itu, Nadia merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tak jelas. Meski ia berusaha untuk memahami keputusan Arga, hati kecilnya berkata bahwa tidak ada yang pasti dalam hubungan mereka. Arga telah meminta waktu untuk dirinya sendiri, dan Nadia tahu bahwa selama waktu itu, ia tidak bisa lagi menunggu dengan sia-sia.

Hari-hari berlalu dengan penuh keheningan. Nadia tidak lagi menerima pesan atau telepon dari Arga. Ia merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya yang pernah begitu hidup. Meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada*

Bab 5: Pertemuan yang Tak Terlupakan

Setelah berbulan-bulan berpisah dan menghadapi banyak keraguan, akhirnya ada kesempatan untuk bertemu. Momen ini penuh dengan emosi, kecemasan, dan kebahagiaan yang bercampur aduk. Mereka bertemu di tempat yang spesial, yang sudah lama mereka impikan, mungkin di tempat pertama kali mereka bertemu atau tempat yang penuh kenangan.

Di pertemuan ini, mereka menyadari betapa dalamnya rasa rindu mereka, dan bagaimana pertemuan tersebut menghidupkan kembali cinta yang seakan meredup. Namun, mereka juga harus menghadapi kenyataan bahwa meskipun mereka saling mencintai, realitas kehidupan mereka yang berbeda tetap ada.

Mereka berbicara tentang masa depan, apa yang harus mereka lakukan agar hubungan ini bisa bertahan. Mereka tahu bahwa meskipun mereka memiliki kenangan yang indah, mereka juga harus siap menghadapi tantangan yang lebih besar.

Sejak awal mereka bertemu melalui aplikasi pesan, hubungan antara Rani dan Dimas telah tumbuh menjadi sesuatu yang tidak terduga. Meskipun terpisah ribuan kilometer, mereka merasa terhubung satu sama lain dengan cara yang sulit dijelaskan. Mereka berbicara tentang segalanya—impian, ketakutan, kenangan masa lalu, hingga hal-hal kecil yang sering kali terlewatkan dalam percakapan sehari-hari. Namun, ada satu hal yang belum mereka alami: pertemuan nyata.

Selama berbulan-bulan, Rani dan Dimas hanya berinteraksi melalui layar ponsel mereka. Terkadang lewat video call, saling bercanda, atau berbicara serius tentang masa depan mereka. Tetapi jarak tetap saja menjadi penghalang, meskipun keinginan untuk bertemu semakin besar. Rani, yang tinggal di Jakarta, dan Dimas yang menetap di Yogyakarta, memutuskan bahwa mereka harus bertemu untuk merasakan apa yang sebenarnya ada di antara mereka. Rani merasa gundah—takut pertemuan itu akan mengecewakan, atau bahkan membuat segalanya menjadi lebih rumit.

Namun, Dimas meyakinkannya. “Kita hanya perlu melihatnya dengan mata kepala kita sendiri, Rani. Aku yakin ini akan jadi momen yang tak akan kita lupakan.”

Dan akhirnya, setelah berbulan-bulan menunggu dan merencanakan, pertemuan itu tiba. Rani memutuskan untuk terbang ke Yogyakarta, sebuah kota yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Ia merasa cemas, tetapi juga bersemangat. Apa yang akan terjadi? Bagaimana kalau semuanya berbeda dari yang mereka bayangkan?

Pagi itu, Rani berdiri di depan bandara Adisutjipto, matanya berkeliling mencari sosok yang sudah ia kenal melalui layar ponselnya. Di antara keramaian orang yang lalu-lalang, ia melihat Dimas—dengan pakaian santai dan senyum lebar yang membuat jantungnya berdebar lebih kencang.

Dimas berjalan mendekatinya dengan langkah pasti, seolah-olah tak ada jarak yang memisahkan mereka. Ketika mata mereka bertemu, seolah waktu berhenti sejenak. Rani merasa seperti ada magnet yang menarik mereka berdua, dan tanpa ragu, ia melangkah maju.

“Dimas…” Rani menyebutkan namanya dengan suara lembut, suaranya sedikit gemetar. Dimas hanya tersenyum dan membuka tangan, memberikan pelukan yang hangat.

“Rani, akhirnya kita bertemu,” kata Dimas, dan itu terasa seperti sebuah janji yang terpenuhi.

Pelukan itu seolah menghilangkan semua rasa ragu yang ada di hati Rani. Dalam sekejap, ia merasakan kenyamanan yang tidak pernah ia bayangkan bisa didapatkan dari seseorang yang selama ini hanya ia lihat melalui layar.

Mereka berjalan keluar dari bandara bersama-sama, berbicara ringan tentang perjalanan dan hal-hal sepele. Tetapi di balik setiap percakapan itu, ada perasaan yang lebih dalam—sebuah kesadaran bahwa pertemuan ini lebih dari sekadar kesempatan biasa. Ini adalah titik balik dari perjalanan panjang yang mereka jalani bersama, meski hanya dalam dunia maya.

Setelah beberapa menit berjalan, Dimas mengajak Rani untuk makan siang di sebuah kafe yang terkenal dengan suasana yang tenang dan pemandangan indah. Kafe itu terletak di daerah yang sedikit jauh dari keramaian kota, dengan udara segar dan pepohonan hijau yang mengelilinginya. Mereka duduk di sebuah meja di pojok, menikmati makanan yang sederhana tetapi penuh makna.

“Bagaimana rasanya?” tanya Dimas sambil memperhatikan ekspresi wajah Rani yang tampak begitu menikmati hidangan.

“Enak banget! Tapi… lebih enak karena bisa makan bareng kamu,” jawab Rani dengan senyum kecil yang manis. Dimas tertawa, merasa hangat mendengar kata-kata Rani.

Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang hal-hal yang selama ini hanya bisa mereka ungkapkan lewat chat dan panggilan telepon. Rani mengungkapkan betapa ia sering membayangkan pertemuan ini, tentang apa yang akan terjadi, apakah perasaan yang mereka rasakan di dunia maya akan tetap sama di dunia nyata. Dimas pun merasa hal yang sama. Kadang, ia merasa takut bahwa kenyataan bisa saja berbeda dari harapan, tetapi ketika ia melihat Rani secara langsung, ia tahu bahwa perasaan mereka adalah sesuatu yang nyata dan tak terelakkan.

Setelah makan siang, mereka melanjutkan jalan-jalan keliling kota. Rani kagum dengan keindahan Yogyakarta yang begitu berbeda dengan Jakarta—dengan suasana yang lebih santai dan orang-orang yang ramah. Mereka mengunjungi tempat-tempat yang sering dibicarakan Dimas selama percakapan mereka. Dari Taman Sari hingga Malioboro, mereka berjalan bersama, menikmati setiap detik yang ada. Rasanya seperti mereka tidak lagi terpisah oleh jarak—hanya ada mereka berdua, menikmati kebersamaan yang telah lama ditunggu-tunggu.

Namun, di suatu titik, mereka berhenti di sebuah jembatan yang menghadap ke sungai. Matahari mulai terbenam, menciptakan langit dengan gradasi warna yang memukau. Di tengah keheningan itu, Dimas menggenggam tangan Rani dan menatapnya dengan penuh arti.

“Rani,” katanya perlahan. “Kita sudah menunggu begitu lama untuk momen ini. Apa menurutmu, kita bisa terus berjalan bersama?”

Rani merasa jantungnya berdebar lebih cepat, dan ia tidak bisa menyembunyikan senyum bahagia di wajahnya. “Aku ingin terus berjalan bersama kamu, Dimas. Selama kita bisa menjaga hati ini tetap utuh, aku yakin kita bisa menghadapinya.”

Dimas tersenyum, melepaskan sedikit tawa yang penuh harapan. “Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk itu, Rani.”

Saat matahari sepenuhnya tenggelam, keduanya hanya berdiri di sana, berdampingan, meresapi setiap momen yang sudah lama mereka impikan. Perasaan rindu yang selama ini hanya bisa disalurkan melalui pesan teks, kini dapat mereka rasakan secara langsung—dalam bentuk kehangatan, sentuhan, dan kata-kata yang diucapkan langsung. Mereka tahu, pertemuan ini bukanlah akhir, tetapi justru awal dari perjalanan mereka yang lebih panjang.

Namun, meskipun kebahagiaan itu terasa sempurna, ada sebuah kenyataan yang harus mereka hadapi. Waktu yang mereka miliki bersama terbatas. Rani harus kembali ke Jakarta keesokan harinya, dan Dimas harus kembali ke rutinitasnya di Yogyakarta. Mereka berdua sadar bahwa pertemuan ini adalah langkah pertama yang sangat berarti dalam hubungan mereka, tetapi ujian sebenarnya baru saja dimulai.

Saat malam semakin larut, Rani dan Dimas duduk di beranda sebuah rumah tradisional yang mereka sewa, berbicara tentang apa yang akan terjadi setelah pertemuan ini. Ada keheningan yang nyaman di antara mereka, namun juga ada banyak pertanyaan yang masih menggantung di udara. Akankah jarak menjadi penghalang lagi? Akankah mereka bisa tetap bertahan, meski kembali terpisah?

“Yang terpenting, kita sudah berusaha, kan?” kata Dimas dengan suara rendah, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Rani mengangguk perlahan. “Iya. Kita sudah melakukan yang terbaik untuk sampai sejauh ini.”

Dengan pelukan terakhir sebelum mereka berpisah keesokan harinya, Rani dan Dimas tahu bahwa pertemuan itu akan selalu menjadi kenangan yang tak terlupakan—satu momen yang akan mereka simpan dalam hati mereka, sebagai dasar untuk terus melangkah maju bersama.

Rani menatap layar ponselnya, matanya sedikit basah, dan jari-jarinya menggenggam erat sebuah pesan singkat dari Dimas. Sudah berbulan-bulan mereka hanya bisa berkomunikasi melalui pesan, video call, dan suara yang terdengar lemah melalui panggilan telepon. Namun hari ini, setelah lebih dari 7 bulan menjalani hubungan jarak jauh, mereka akhirnya memutuskan untuk bertemu. Sebuah keputusan besar yang membuat jantung Rani berdebar kencang.

“Dimas… aku nggak tahu kenapa, tapi aku sangat gugup,” tulis Rani dalam pesan balasan, hanya untuk melihat emoji senyum yang muncul sebagai balasan dari Dimas.

“Tenang, Rani. Aku juga merasa sama. Kita akan baik-baik saja. Ini hanya awal dari banyak momen indah yang akan kita lewati bersama. Aku sudah menunggu kesempatan ini terlalu lama.”

Rani tersenyum sendiri membaca pesan itu. Rasanya, walaupun mereka berdua tahu pertemuan ini sangat penting dan penuh harapan, rasa ragu tetap ada. Bagaimana kalau perasaan yang mereka rasakan lewat layar tidak sesuai dengan kenyataan? Bagaimana kalau, dalam dunia nyata, mereka merasa asing satu sama lain? Pikiran-pikiran ini terus berlarian di kepala Rani, tetapi ia berusaha mengusirnya. Ia sudah memutuskan. Ia akan pergi ke Yogyakarta untuk bertemu Dimas.

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Rani terbang dari Jakarta menuju Yogyakarta dengan campuran perasaan—antara kegembiraan yang meluap dan kecemasan yang tak terungkapkan. Penerbangan yang hanya memakan waktu sekitar satu jam terasa begitu lama baginya. Setiap detik ia merasa semakin dekat dengan Dimas, namun juga semakin dekat dengan rasa takut akan kemungkinan kekecewaan.

Sesampainya di Bandara Adisutjipto, ia mencari-cari Dimas di antara keramaian. Beberapa orang berjalan cepat, berbicara dengan gelisah melalui telepon, atau hanya sibuk dengan urusan masing-masing. Tetapi matanya langsung menangkap sosok Dimas di kejauhan—membawa senyum lebar dan tatapan penuh antusiasme yang tak terlewatkan.

Rani sedikit terhenti sejenak, mencoba menenangkan perasaan yang mendalam ini. Ini adalah pertama kalinya mereka bertemu di dunia nyata. Dimas berjalan mendekat, langkahnya penuh keyakinan dan cepat. Ketika mereka saling bertemu pandang, Rani merasakan perasaan hangat yang menyelimuti tubuhnya. Rasa rindu yang sudah menumpuk, semuanya terkumpul dalam satu tatapan.

“Rani…” suara Dimas terdengar dalam-dalam, penuh rasa syukur dan kebahagiaan.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Dimas membuka tangannya, dan Rani, tanpa ragu, langsung menyambutnya. Pelukan itu terasa begitu nyaman, seperti membawa mereka ke dunia yang berbeda—di mana tidak ada jarak, tidak ada waktu yang terbuang, hanya ada mereka berdua.

Beberapa detik berlalu, dan akhirnya Dimas melepaskan pelukan itu. Ia memandang Rani dengan senyum lebar, matanya bersinar. “Kamu lebih cantik daripada yang aku bayangkan.”

Rani tertawa malu, sedikit terkejut dengan kata-kata Dimas. “Kamu lebih tampan juga, Dimas.”

Mereka berdua tertawa, seakan pertemuan ini sudah lama ditunggu, tetapi juga terasa begitu baru dan asing pada saat yang sama. Rani merasa seolah segala kecemasan yang sebelumnya ada hilang begitu saja.

“Ayo, aku antar kamu ke tempatku. Kita bisa bicara lebih banyak di sana.”

Rani mengangguk, dan mereka berdua berjalan keluar bandara. Yogyakarta di sore itu terasa begitu berbeda dibandingkan dengan Jakarta—lebih tenang, dengan udara yang lebih segar dan langit yang cerah. Meskipun Rani sangat mencintai Jakarta, ia merasa ada sesuatu yang magis di sini. Sesuatu yang bisa membuat hatinya lebih tenang.

Sepanjang perjalanan, Dimas berbicara dengan sangat lancar, menjelaskan banyak hal tentang Yogyakarta—tempat-tempat yang menarik, makanan khas yang harus dicoba, dan kenangan-kenangan kecil yang pernah ia alami di kota itu. Rani mendengarkan dengan antusias, meski sesekali matanya memandang Dimas dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Mereka berbicara tentang masa lalu, tentang kenangan-kenangan indah yang mereka miliki sebelum bertemu, dan bagaimana hubungan mereka berawal.

“Kamu tahu,” kata Dimas, tiba-tiba, sambil mengendarai mobilnya. “Aku nggak pernah menyangka kalau kita bisa sampai di titik ini. Dulu aku cuma bercanda waktu bilang, ‘Bayangin kalau kita ketemu suatu hari nanti.’ Ternyata, kita benar-benar di sini sekarang, di satu tempat yang sama.”

Rani tersenyum, matanya sedikit berkaca. “Aku juga nggak pernah bayangin. Semua ini terasa seperti mimpi, Dimas.”

Mereka sampai di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di tengah kota Yogyakarta. Kafe itu memiliki nuansa vintage yang kental, dengan lampu-lampu kecil menggantung di atas meja kayu yang sederhana. Dimas memilih tempat di dekat jendela, tempat di mana mereka bisa melihat jalanan yang tenang dan beberapa pejalan kaki yang lewat.

Setelah memesan makanan, mereka duduk diam sejenak, menikmati suasana dan kebersamaan yang selama ini hanya bisa mereka impikan. Lalu, Dimas memecah keheningan.

“Rani, aku tahu kita belum terlalu lama kenal, tapi perasaan aku sama kamu sudah jauh lebih dari sekadar pertemuan online. Aku nggak ingin kehilangan kamu.”

Rani merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Aku juga, Dimas. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tapi aku ingin kita coba terus berjalan bersama. Aku nggak ingin ini hanya berakhir begitu saja.”

Dimas menggenggam tangan Rani di atas meja, dan matanya menatap Rani dengan serius. “Aku akan berusaha, Rani. Aku akan berusaha untuk tidak membiarkan jarak menjadi penghalang. Kita bisa atur semuanya bersama.”

Rani mengangguk, merasakan ketulusan di dalam hati Dimas. Mereka mungkin belum tahu apa yang akan terjadi setelah pertemuan ini, tapi mereka tahu satu hal yang pasti—bahwa perasaan mereka sejauh ini adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang berharga.

Setelah makan siang, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan keliling kota. Mereka mengunjungi beberapa tempat wisata yang terkenal di Yogyakarta, seperti Taman Sari dan Keraton Yogyakarta, namun tanpa terburu-buru. Mereka lebih memilih untuk menikmati kebersamaan dan berbicara tentang hal-hal kecil, sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan melalui layar ponsel.

Saat senja mulai datang, mereka duduk di sebuah jembatan yang menghadap sungai, dengan langit berwarna oranye yang memukau. Dimas menatap Rani dengan penuh arti.

“Kamu tahu, Rani, pertemuan ini benar-benar luar biasa. Semua yang kita lakukan, semua yang kita bicarakan, terasa seperti kita sudah mengenal satu sama lain jauh lebih lama dari yang sebenarnya,” ujar Dimas dengan suara penuh perasaan.

Rani menatapnya dengan lembut. “Aku juga merasa begitu. Rasanya seperti kita sudah berada di sini bersama sejak lama. Aku nggak tahu kalau bisa merasakan kedekatan seperti ini meskipun jarak memisahkan kita.”

Dimas menggenggam tangan Rani lebih erat, dan mereka hanya duduk bersama, menikmati momen yang sederhana tetapi penuh makna. Hari itu, mereka berdua merasa lebih dekat dari sebelumnya—bukan hanya karena mereka akhirnya bertemu secara langsung, tetapi karena mereka tahu bahwa meskipun jarak masih ada, hati mereka sudah saling terikat dengan cara yang tak terpecahkan.

Saat malam tiba dan mereka harus berpisah, perasaan haru mulai menghampiri. Rani merasa berat untuk mengucapkan selamat tinggal, meskipun hanya untuk sementara. Dimas juga merasakannya, tetapi ia meyakinkan Rani bahwa mereka akan terus berusaha, meski pertemuan mereka kali ini hanya sebentar.

“Aku akan menunggu kamu, Rani. Semoga kita bisa segera bertemu lagi,” kata Dimas, dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.

Rani mengangguk, matanya sedikit berkaca. “Aku juga akan menunggu, Dimas.”

Ketika mereka berpisah di bandara, mereka tahu bahwa pertemuan ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru. Meskipun perasaan mereka tidak akan pernah menghilang, dan meskipun jarak masih menjadi penghalang, mereka memiliki satu hal yang lebih kuat daripada sebelumnya—keyakinan bahwa cinta mereka, meskipun terpisah oleh ruang dan waktu, akan selalu ada.*

Bab 6: Jarak yang Membentuk Cinta

Setelah bertemu, keduanya menyadari bahwa hubungan jarak jauh bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan sesuatu yang harus mereka terima dan hadapi. Mereka mulai membangun cara-cara baru untuk tetap terhubung, seperti menetapkan waktu yang khusus untuk berbicara atau merencanakan kunjungan berikutnya.

Dalam setiap percakapan dan pertemuan, mereka merasa hubungan mereka semakin kuat, meskipun jarak tetap ada. Mereka belajar untuk lebih percaya satu sama lain, memberikan ruang untuk berkembang tanpa saling menguasai, dan merasa lebih kuat meskipun terpisah oleh ribuan kilometer.

Beberapa minggu setelah pertemuan yang tak terlupakan itu, kehidupan Rani dan Dimas kembali ke ritme yang biasa—dengan jarak yang memisahkan mereka kembali. Meskipun perasaan mereka terhadap satu sama lain semakin kuat, kenyataan bahwa mereka harus berpisah setelah beberapa hari kebersamaan yang intens tetap menjadi sebuah ujian. Mereka kembali menjalani hidup mereka dengan cara masing-masing, tapi kali ini dengan satu hal yang lebih—kepercayaan yang semakin mendalam dan ikatan yang lebih kuat dari sebelumnya.

Rani kembali ke Jakarta dengan perasaan campur aduk. Ada rasa rindu yang menggelayuti hatinya, namun di sisi lain, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan jarak jauh yang mereka jalani. Perasaan cinta yang mereka bagi saat bertemu itu tidak hanya bertahan, tetapi tumbuh lebih dalam. Meskipun terpisah oleh ribuan kilometer, setiap pesan, setiap video call, dan bahkan setiap panggilan telepon, terasa begitu nyata. Seperti tidak ada jarak sama sekali. Namun, di balik kenyataan itu, ada tantangan yang harus mereka hadapi—bagaimana mempertahankan kedekatan ini di tengah batasan-batasan yang ada.

Setiap hari Rani mencoba menyesuaikan diri dengan rutinitas yang sibuk di Jakarta. Pekerjaannya yang menuntut sering kali membuatnya sibuk sepanjang hari, tapi ada satu hal yang tetap hadir di pikirannya: Dimas. Ia merindukan senyumannya, cara Dimas mendengarkan setiap cerita dengan penuh perhatian, dan tentunya pelukan yang mereka bagi saat pertemuan mereka. Namun, Rani berusaha untuk tidak membiarkan rasa rindu itu menghancurkannya. Ia tahu bahwa hubungan ini membutuhkan lebih dari sekadar kerinduan. Ini membutuhkan kesabaran, pengertian, dan komitmen yang lebih besar daripada sebelumnya.

Di sisi lain, Dimas pun merasa hal yang sama. Yogyakarta tidak lagi terasa sama sejak pertemuan mereka. Kehidupan sehari-harinya kembali seperti sebelumnya—terasa sepi dan sunyi tanpa kehadiran Rani. Ia merindukan suara tawa Rani, cara Rani bercanda, dan bahkan kebiasaan-kebiasaan kecil yang sering kali mereka bicarakan. Meski demikian, Dimas tahu bahwa mereka telah melangkah ke level yang lebih dalam dalam hubungan ini. Cinta yang mereka rasakan bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi ia percaya bahwa mereka berdua bisa melewati tantangan ini bersama.

Mereka berdua tahu bahwa jarak akan selalu ada, tapi mereka juga tahu bahwa mereka bisa menghadapinya. Mereka telah memutuskan untuk tidak membiarkan jarak menjadi penghalang.

Meskipun jarak memisahkan mereka, Rani dan Dimas berusaha menjaga komunikasi mereka tetap erat. Setiap pagi, mereka saling mengirimkan pesan singkat untuk menyapa dan memberi semangat. Video call pun menjadi rutinitas yang tak bisa dilewatkan, meskipun kadang-kadang perbedaan waktu membuat mereka harus mengatur waktu dengan hati-hati.

“Gimana hari ini? Ada yang seru?” tanya Dimas melalui pesan suara, suaranya terdengar hangat seperti biasanya.

Rani tersenyum mendengar suaranya. “Pekerjaan lagi numpuk, tapi nggak ada yang seru sih. Tapi mendengar suaramu bikin hariku lebih baik.”

Itu adalah percakapan sehari-hari mereka—sesuatu yang sederhana, tapi penuh makna. Meskipun tidak bisa bertemu langsung, komunikasi menjadi jembatan yang menghubungkan mereka. Setiap percakapan, meskipun hanya lewat pesan atau panggilan telepon, membawa mereka lebih dekat. Setiap kali Dimas menceritakan hari-harinya di Yogyakarta, Rani merasa seakan-akan ia ada di sana, berjalan bersamanya, menikmati setiap detik. Begitu pun sebaliknya. Setiap cerita Rani tentang kegiatan di Jakarta membuat Dimas merasa terhubung, seolah-olah ia juga turut merasakannya.

Namun, ada kalanya percakapan itu tidak bisa menutupi rasa rindu yang mendalam. Rani sering kali merasa kesepian setelah panggilan itu berakhir, dan Dimas pun merasakannya. Mereka berdua tahu bahwa satu-satunya cara untuk melewati rasa itu adalah dengan tetap menjaga komunikasi, meskipun kadang perasaan itu terasa begitu berat.

Dengan waktu yang terus berlalu, perasaan Rani semakin berkembang. Ia mulai merasakan kekhawatiran yang tidak terucapkan. Apakah Dimas merasakan hal yang sama? Apakah dia masih setia menunggu dan berusaha untuk menjaga hubungan ini tetap utuh? Kadang, dalam kesendirian malam-malam panjang di Jakarta, Rani terjebak dalam pikiran-pikiran negatif. Apa yang akan terjadi jika jarak ini membuat mereka semakin jauh? Apa yang akan terjadi jika mereka mulai merasa lelah?

Ketika ia mengungkapkan kecemasannya dalam sebuah pesan kepada Dimas, jawaban yang diberikan Dimas selalu menenangkan.

“Rani, aku tahu kamu khawatir. Aku juga khawatir kadang-kadang. Tapi aku percaya kita bisa melewatinya. Setiap hari kita akan semakin dekat, dan aku yakin kita akan lebih kuat setelah ini. Aku nggak pernah menyesal bertemu denganmu.”

Pesan Dimas itu menjadi pengingat bagi Rani. Dia tahu bahwa hubungan ini bukanlah hal yang mudah, tetapi ia juga tahu bahwa cinta mereka lebih kuat dari jarak yang memisahkan. Mereka berdua memiliki komitmen untuk saling percaya dan berusaha untuk menjaga apa yang telah mereka bangun.

Setiap kali perasaan ragu datang, Rani mengingat pertemuan mereka di Yogyakarta—waktu yang mereka habiskan bersama, bagaimana mereka saling membuka hati dan mengungkapkan perasaan mereka dengan tulus. Itu adalah kenangan yang menguatkan dirinya untuk tetap bertahan.

Beberapa bulan kemudian, Rani dan Dimas merasa semakin nyaman dengan rutinitas baru mereka. Rani memutuskan untuk lebih banyak menyisihkan waktu untuk berbicara dengan Dimas. Meskipun pekerjaan sering kali menuntutnya, ia berusaha untuk tetap memberi ruang bagi Dimas dalam hidupnya.

Di sisi lain, Dimas juga mulai lebih memahami bagaimana cara menjaga hubungan jarak jauh ini agar tetap kuat. Ia tahu bahwa komunikasi adalah kunci, dan ia mulai lebih sering berbagi perasaan dan keinginan dengan Rani, mengungkapkan harapan-harapan mereka untuk masa depan.

Pada suatu malam, saat video call mereka, Dimas menatap Rani dengan serius. “Rani, aku tahu ini mungkin terdengar terlalu cepat, tapi aku ingin bertanya sesuatu.”

Rani yang merasa sedikit terkejut, memandang Dimas dengan penuh perhatian. “Apa itu, Dim?”

“Aku ingin kita mulai merencanakan masa depan bersama. Aku tahu kita masih jauh, tapi aku percaya ini yang terbaik untuk kita. Bagaimana kalau kita mulai memikirkan bagaimana cara kita bisa lebih dekat, mungkin dalam beberapa bulan ke depan?”

Rani terdiam sejenak, merasa terharu dengan niat Dimas. Ia tahu ini adalah langkah besar, tetapi di sisi lain, ia merasa siap. Mereka telah melewati banyak hal bersama, dan meskipun jarak tetap ada, ia percaya mereka bisa membuatnya berhasil.

“Aku setuju, Dimas. Kita harus merencanakan itu. Aku ingin kita bisa lebih dekat, lebih sering bertemu. Aku juga ingin masa depan kita terwujud.”

Percakapan itu menjadi titik balik dalam hubungan mereka. Mereka mulai merencanakan masa depan mereka bersama—membicarakan kemungkinan untuk tinggal di kota yang sama, mencari cara agar bisa sering bertemu, dan merencanakan langkah-langkah yang akan membawa mereka lebih dekat.

Seiring berjalannya waktu, Rani dan Dimas semakin memahami satu hal penting: jarak bukanlah halangan, melainkan ujian bagi cinta mereka. Jarak mengajarkan mereka untuk lebih sabar, lebih mengerti, dan lebih menghargai satu sama lain. Mereka tahu bahwa meskipun ada waktu-waktu yang sulit, mereka bisa bertahan. Bahkan, jarak ini membuat mereka lebih menghargai setiap detik yang mereka habiskan bersama—setiap percakapan, setiap tawa, dan setiap pertemuan.

Hari-hari yang dulu terasa sepi kini menjadi lebih berarti. Mereka belajar bahwa cinta yang kuat tidak hanya dibangun dari kebersamaan fisik, tetapi juga dari komunikasi, pengertian, dan komitmen. Jarak, meskipun menguji mereka, pada akhirnya hanya memperkuat cinta yang mereka miliki.

Dan begitu mereka berdua melangkah maju, mereka tahu bahwa jarak yang pernah memisahkan mereka, kini justru menjadi kekuatan yang mengikat mereka. Mereka siap menjalani perjalanan ini, bersama-sama, meskipun masih ada jarak yang memisahkan.

Setelah pertemuan mereka yang tak terlupakan di Yogyakarta, Rani dan Dimas kembali menjalani kehidupan mereka yang terbagi oleh ribuan kilometer. Meskipun perasaan mereka terhadap satu sama lain semakin kuat, kenyataan bahwa mereka harus kembali berpisah dan melanjutkan hidup masing-masing memberikan tantangan yang cukup besar. Jarak yang semula terasa hanya sebagai angka dalam peta, kini menjadi sesuatu yang sangat nyata. Namun, mereka tidak menyerah begitu saja. Mereka tahu bahwa cinta yang mereka miliki tidak bisa hanya diukur dengan kedekatan fisik semata, tetapi juga dengan cara mereka menjaga hubungan ini meskipun jarak menjadi penghalang.

Rani kembali ke Jakarta dengan perasaan campur aduk. Tentu saja, ia merindukan Dimas, tapi kehidupan di Jakarta juga membutuhkan perhatian yang tidak bisa ia abaikan. Pekerjaan yang menumpuk, kewajiban sosial, dan segala aktivitas yang sebelumnya menjadi bagian dari kesehariannya, kembali memanggil. Meskipun demikian, ada satu hal yang tetap ada di dalam benaknya—Dimas. Rasa rindu yang menggelora di dalam hatinya tidak bisa dipungkiri. Mereka masih berbicara setiap hari, tetapi kenyataan bahwa ia kembali sendiri ke Jakarta dengan kerinduan yang semakin mendalam terkadang membuatnya merasa sepi.

Setiap malam, Rani merindukan Dimas dengan cara yang berbeda. Dia sering terjaga hingga larut malam, memikirkan kembali percakapan mereka selama berhari-hari—mengenang setiap momen bahagia yang mereka habiskan bersama. Namun, Rani berusaha untuk tidak larut dalam perasaan itu. Ia tahu bahwa hidupnya di Jakarta masih menunggu perhatian yang cukup besar. Keinginan untuk fokus pada pekerjaannya adalah prioritas utama. Namun, terkadang saat hari mulai gelap, pikirannya akan kembali melayang pada Dimas, pada Yogyakarta, dan pada kenangan indah yang mereka bagi.

Di sisi lain, Dimas juga menghadapi kenyataan yang sama. Kehidupan di Yogyakarta kembali terasa seperti semula—tenang dan tidak banyak berubah. Namun, seiring berjalannya waktu, kehadiran Rani yang semula hanya terasa lewat pesan-pesan, kini menjadi sesuatu yang terasa lebih dalam. Setiap kali ia mengingat kenangan mereka bersama, ada perasaan hangat yang mengalir di dalam dirinya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai merasa cemas. Tidak ada lagi pelukan hangat yang bisa ia rasakan, tidak ada lagi senyuman Rani yang bisa ia lihat secara langsung. Semua itu hanya dapat ia rasakan lewat layar ponsel. 

Meskipun mereka berdua sibuk dengan kehidupan masing-masing, komunikasi menjadi cara mereka menjaga hubungan ini tetap hidup. Setiap pagi, mereka menyapa satu sama lain dengan pesan singkat yang penuh semangat. Meskipun hanya berupa kata-kata sederhana, seperti “Selamat pagi, semoga hari ini menyenankan” atau “Aku rindu kamu”, komunikasi ini memberikan pengaruh besar pada mereka berdua. Setiap kali Rani melihat pesan Dimas di ponselnya, ia merasa ada kehangatan yang tiba-tiba mengalir dalam dirinya. Begitu pun dengan Dimas, yang merasa ada kekuatan dalam setiap pesan Rani.

Namun, meskipun demikian, tidak jarang rasa rindu datang begitu mendalam, sampai-sampai mereka merasa kesulitan untuk menghadapinya. Terkadang, percakapan singkat itu tidak bisa menghilangkan rasa sepi yang mereka rasakan. Video call yang mereka lakukan di akhir pekan menjadi satu-satunya cara untuk “mendekatkan” mereka kembali. Tetapi meskipun mereka bisa melihat wajah satu sama lain, ada sesuatu yang masih terasa kurang—ketidakhadiran fisik itu sulit untuk diatasi dengan teknologi.

Rani sering kali merasa kecewa ketika video call harus berakhir. Saat percakapan itu berhenti, dia merasa seolah dunia kembali membeku. Begitu pula dengan Dimas, yang sering kali melanjutkan pekerjaannya setelah video call selesai, tetapi pikirannya terus melayang kepada Rani. Mereka tahu bahwa komunikasi ini sangat penting, tetapi tetap saja, ada keinginan kuat dalam diri mereka untuk bertemu lagi, untuk merasakan kehadiran satu sama lain tanpa ada batasan.

Hingga satu malam, Rani merasa sangat tertekan. Tugas-tugas yang menumpuk di kantor, perasaan kesepian yang semakin dalam, serta kerinduan yang tak kunjung padam membuatnya merasa lelah. Ia membuka aplikasi pesan di ponselnya, menulis pesan untuk Dimas, kemudian menundukkan kepalanya. Terkadang, rasa takut untuk mengungkapkan perasaan terlalu dalam membuatnya ragu. Namun, malam itu, ia menulis, “Dim, aku kangen banget. Aku merasa sangat kesepian. Kadang aku takut kita bakal semakin jauh, meskipun kita sudah berusaha.”

Setelah mengirimkan pesan itu, Rani terdiam. Tidak lama kemudian, pesan suara dari Dimas masuk ke ponselnya. “Rani, aku tahu kamu merasa kesepian. Aku juga merasa begitu. Tapi kamu harus tahu, bahwa meskipun kita jauh, aku selalu ada untuk kamu. Aku nggak akan membiarkan kita terpisah. Aku percaya kita bisa melalui ini bersama.”

Mendengar kata-kata Dimas, hati Rani terasa sedikit lebih tenang. Ada kenyamanan dalam kata-kata itu. Rasanya, meskipun tidak ada fisik yang saling menguatkan, kata-kata itu sudah cukup untuk memberikan ketenangan. Ia merasakan adanya komitmen dalam kata-kata Dimas. Meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka bisa bersama setiap saat, namun mereka berdua punya keinginan yang sama untuk tetap menjaga hubungan ini, sekuat apapun jarak yang ada.

Meskipun rasa rindu sering kali menguasai, mereka berdua memutuskan untuk tidak terjebak dalam ketidakpastian. Mereka tahu bahwa hubungan jarak jauh ini membutuhkan lebih banyak usaha dan pengorbanan. Rani yang awalnya merasa tidak yakin tentang masa depan hubungan mereka mulai melihat sisi positif dari hubungan ini. Jarak mengajarkannya untuk lebih menghargai waktu dan kesempatan yang ada. Setiap percakapan yang mereka lakukan, meskipun sejenak, terasa sangat berarti. Setiap kali mereka merencanakan kunjungan berikutnya, meskipun tidak pasti kapan itu bisa terlaksana, ia merasa seperti ada harapan yang terus menyala.

Sama halnya dengan Dimas. Ia mulai merasa bahwa jarak, meskipun menyulitkan, justru mengajarkannya untuk lebih sabar dan lebih mendalam dalam memahami Rani. Mereka mulai berbicara tentang hal-hal yang lebih dalam daripada sebelumnya. Tidak hanya tentang kehidupan sehari-hari, tetapi juga tentang impian, ketakutan, dan masa depan. Percakapan mereka semakin berkembang, lebih matang, dan penuh makna.

“Rani, kamu tahu nggak? Aku mulai berpikir kalau semua ini justru memperkuat kita. Jarang ada hubungan yang bisa bertahan di tengah segala keterbatasan seperti ini. Kita mungkin belum tahu apa yang akan terjadi ke depan, tapi aku merasa yakin kalau kita bisa melewati semua ini,” kata Dimas suatu malam, dalam salah satu percakapan panjang mereka.

Rani terdiam sejenak, meresapi kata-kata Dimas. “Aku juga merasa begitu. Terkadang aku khawatir, tapi aku juga sadar bahwa kita sudah melalui banyak hal bersama. Kita bisa kuat, asal kita tetap saling percaya.”

Dengan semangat yang kembali membara, mereka mulai berbicara tentang masa depan mereka. Mereka sadar bahwa hubungan jarak jauh ini tidak bisa terus berlanjut selamanya. Mereka membutuhkan cara untuk bisa lebih dekat, lebih sering bertemu, dan akhirnya, mungkin, tinggal bersama di kota yang sama. Meskipun masih banyak hal yang perlu dipertimbangkan—seperti pekerjaan, keluarga, dan impian pribadi—mereka berdua sepakat untuk mulai merencanakan langkah-langkah menuju masa depan bersama.

Hari-hari berlalu dengan lebih optimis. Rani kembali fokus pada pekerjaan, namun selalu menyisakan ruang untuk Dimas dalam pikirannya. Begitu juga dengan Dimas, yang merasa lebih percaya diri bahwa hubungan mereka bisa bertahan dan berkembang meskipun ada jarak yang memisahkan.

Mereka menyadari satu hal yang penting—bahwa jarak ini, meskipun sulit, justru telah membuat mereka lebih menghargai satu sama lain. Cinta yang mereka miliki bukan hanya dibangun dari kebersamaan fisik, tetapi juga dari pengertian, komunikasi, dan komitmen yang lebih dalam.

Penutup

Jarak yang sebelumnya hanya tampak seperti angka dalam peta, kini menjadi ujian yang terus menguji cinta mereka. Namun, Rani dan Dimas tahu bahwa hubungan mereka bukan hanya tentang bertemu secara fisik, tetapi juga tentang bagaimana mereka bisa tumbuh bersama meskipun terpisah oleh ruang dan waktu. Jarak, bagi mereka, bukanlah sebuah penghalang, tetapi sebuah pelajaran yang.***

————–THE END————-

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #CintaDanKepercayaan#cintajarakjauh#HubunganJarakJauh#KomunikasiDalamHubungan#PengujianCinta#rindu
Previous Post

SURAT YANG TAK PERNAH SAMPAI

Next Post

BAYANGAN BAYANGAN MU TAK PERNAH HILANG

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
BAYANGAN BAYANGAN MU TAK PERNAH HILANG

BAYANGAN BAYANGAN MU TAK PERNAH HILANG

CINTA TERJAGA MELALUI JARAK

CINTA TERJAGA MELALUI JARAK

KENANGAN YANG BERMEKARAN

KENANGAN YANG BERMEKARAN

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id