Daftar Isi
Bab 1: Awal Pertemuan
Pagi itu, mentari baru saja merangkak naik, menembus celah-celah daun di sepanjang jalan setapak menuju sekolah. Udara terasa segar, dengan aroma embun yang masih melekat pada rerumputan. Raka, seorang remaja dengan tubuh jangkung dan raut wajah yang selalu tampak serius, mengayuh sepeda tuanya dengan santai. Tas punggungnya penuh buku-buku dan sketsa yang ia bawa ke mana-mana.
Jalan setapak ini sudah menjadi bagian dari rutinitas Raka. Setiap pagi, ia melewati jalan ini yang dikelilingi oleh sawah hijau dan pohon-pohon besar. Bagi Raka, tempat ini adalah pelarian dari hiruk-pikuk kecil yang ada di rumahnya. Ayahnya adalah seorang petani yang tegas, sementara ibunya sibuk mengurus rumah tangga. Raka tidak punya banyak teman, dan ia lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan melukis atau sekadar termenung menikmati alam.
Namun, pagi itu terasa berbeda. Dari kejauhan, Raka melihat seorang gadis berdiri di tepi jalan, tampak bingung sambil memegang peta kecil. Gadis itu mengenakan seragam yang sama dengannya, seragam khas SMA di desa itu, tetapi wajahnya tidak familiar. Rambut hitamnya tergerai, dan ia terlihat sibuk memandang sekeliling seperti mencari sesuatu.
Raka sempat ragu untuk menghampiri, tetapi roda sepedanya yang melaju perlahan membuatnya berhenti tepat di samping gadis itu.
“Permisi,” ujar gadis itu lebih dulu, suaranya terdengar lembut namun penuh semangat. “Apa kamu tahu jalan ke SMA Bina Harapan?”
Raka menatapnya sejenak. Gadis ini jelas bukan dari desa ini, pikirnya. Wajahnya terlalu asing, tetapi ada sesuatu yang membuat Raka tak bisa mengalihkan pandangan—senyumnya yang tulus dan matanya yang bersinar seperti matahari pagi.
“Oh, itu sekolahku juga,” jawab Raka sambil menunjuk arah jalan di depan mereka. “Tinggal lurus saja, nanti belok kanan setelah pohon beringin besar. Kamu baru pindah ke sini?”
Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. “Iya, aku Alina. Aku baru pindah dari kota. Papa ditugaskan di sini, jadi kami sekeluarga harus ikut.”
Raka hanya mengangguk kecil, tidak tahu harus berkata apa. Ia bukan tipe orang yang pandai berbasa-basi, terutama dengan seseorang yang baru dikenalnya.
“Kalau begitu, boleh aku ikut jalan sama kamu? Aku takut nyasar,” kata Alina dengan nada canda.
Raka mengangguk lagi, kali ini lebih kikuk. Ia mempersilakan Alina berjalan di sampingnya sambil menuntun sepedanya. Mereka menyusuri jalan setapak itu bersama. Alina mulai bercerita tentang dirinya—tentang bagaimana ia merasa aneh tinggal di desa kecil ini setelah bertahun-tahun hidup di kota besar. Ia juga bercerita tentang hobi menulisnya, tentang buku-buku yang ia sukai, dan tentang mimpinya menjadi penulis terkenal suatu hari nanti.
Sementara itu, Raka lebih banyak mendengarkan. Ia merasa nyaman dengan cara Alina berbicara. Ada kehangatan dalam suaranya, seolah-olah ia membawa cerita-cerita dari dunia yang berbeda, dunia yang belum pernah Raka kenal.
“Kamu suka melukis, ya?” tanya Alina tiba-tiba, memecah keheningan singkat.
Raka terkejut. “Kok tahu?”
Alina menunjuk sudut tas Raka, di mana ujung kertas sketsa menyembul keluar. “Aku melihat ada kertas sketsa. Biasanya orang yang bawa itu suka melukis atau menggambar.”
Raka tersenyum tipis. “Iya, aku suka melukis. Tapi cuma buat diri sendiri, nggak pernah kasih lihat ke orang lain.”
“Kenapa nggak? Mungkin saja gambarmu bagus. Aku pengen lihat, boleh?”
Raka menggeleng cepat. “Belum siap. Mungkin nanti.”
Alina hanya tersenyum, tidak memaksa. Mereka terus berjalan, sesekali Alina melempar candaan yang membuat Raka tertawa kecil—hal yang jarang ia lakukan, bahkan bersama teman-temannya di sekolah.
Ketika mereka tiba di sekolah, Alina berhenti sejenak di depan gerbang. “Terima kasih sudah menemani, Raka. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku nyasar entah ke mana.”
Raka hanya mengangguk, masih merasa canggung. Tetapi sebelum Alina melangkah masuk, ia berkata, “Kalau nanti ada apa-apa, aku ada di kelas XI IPA 2.”
“Noted!” jawab Alina ceria. Ia melambai sebelum berjalan menuju aula untuk orientasi murid baru.
Hari itu menjadi awal dari sesuatu yang berbeda dalam hidup Raka. Entah mengapa, bayangan Alina yang tersenyum dan cara ia melambai seperti terpatri di pikirannya. Jalan setapak yang sebelumnya hanya jalan biasa, kini terasa lebih hidup. Dan tanpa Raka sadari, Alina telah membawa secercah warna baru ke dalam dunianya yang sunyi.*
Bab 2: Perkenalan yang Mendalam
Hari-hari berikutnya terasa berbeda bagi Raka. Sejak pertemuannya dengan Alina, jalan setapak yang biasa ia lalui sendirian kini tidak lagi sepi. Alina sering menunggunya di ujung jalan, di bawah pohon besar dekat sawah. Dengan senyum cerianya, gadis itu selalu menyapanya lebih dulu, seperti memberi isyarat bahwa mereka kini memiliki rutinitas baru bersama.
“Selamat pagi, Raka!” Alina berseru suatu pagi, sambil melambaikan tangan. Hari itu ia terlihat membawa tas selempang kecil berwarna cokelat yang tampak usang namun khas.
“Pagi,” balas Raka singkat sambil berhenti menuntun sepedanya.
Alina tertawa kecil. “Kamu selalu jawab pendek banget, ya. Apa kamu nggak pernah cerita panjang?”
Raka hanya tersenyum samar. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan seperti itu. Baginya, kata-kata bukanlah sesuatu yang mudah keluar, apalagi kepada orang yang baru ia kenal. Namun, Alina seperti tidak peduli. Ia terus saja berbicara, membuat suasana di antara mereka tidak pernah terasa canggung.
“Aku masih coba beradaptasi di sini,” kata Alina sambil berjalan di samping Raka. “Tapi sejauh ini, aku suka desa ini. Udaranya segar, pemandangannya indah. Jauh banget sama kota.”
“Kamu kangen kota?” tanya Raka akhirnya, mencoba membalas obrolan.
Alina mengangguk. “Kangen, sih. Tapi lebih kangen sama teman-teman di sana. Kami sering kumpul untuk baca puisi bareng atau nulis cerita. Kalau di sini, aku belum ketemu siapa pun yang punya minat yang sama.”
Raka mendengar itu sambil diam-diam berpikir. Ia bukan tipe yang suka berkumpul, tetapi mendengar Alina berbicara tentang menulis, ia merasa sedikit terhubung. Ia mengingat buku-buku sketsa miliknya, yang sering ia isi dengan gambar-gambar imajinasinya.
“Kenapa suka nulis?” tanya Raka tiba-tiba, membuat Alina terkejut.
Gadis itu tersenyum lebar. “Karena nulis bikin aku bebas. Aku bisa menciptakan dunia yang aku mau. Kalau aku sedih, aku tulis cerita bahagia. Kalau aku marah, aku buat karakter yang melawan semua ketidakadilan.”
Raka menatap Alina dengan penuh rasa ingin tahu. Ia kagum pada cara Alina berbicara tentang hal yang ia cintai, seolah-olah menulis adalah hidupnya. “Aku nggak pernah nulis,” katanya pelan. “Tapi aku melukis. Rasanya mungkin sama.”
Alina berhenti berjalan dan memandang Raka. “Kamu melukis dunia yang kamu mau?”
Raka mengangguk. “Iya. Aku suka melukis apa yang ada di pikiranku. Kadang itu pemandangan, kadang sesuatu yang nggak nyata. Tapi aku nggak pernah kasih lihat ke orang lain.”
Alina mengangkat alis. “Kenapa? Kan kamu bisa berbagi apa yang kamu rasakan lewat lukisanmu.”
Raka hanya mengangkat bahu. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan bahwa lukisannya adalah sesuatu yang sangat pribadi baginya, sesuatu yang hanya ia mengerti.
“Kalau suatu hari kamu siap, aku ingin lihat,” kata Alina sambil tersenyum.
Percakapan itu terus terulang dalam perjalanan-perjalanan mereka di jalan setapak. Alina sering bercerita tentang buku favoritnya, sementara Raka mulai merasa nyaman berbagi cerita tentang apa yang ia lukis atau hal-hal kecil yang ia perhatikan di sekitar desa. Mereka berbicara tentang mimpi, tentang tempat yang ingin mereka kunjungi, bahkan tentang hal-hal sederhana seperti makanan favorit.
Namun, ada satu momen yang membuat Raka semakin merasa dekat dengan Alina. Suatu sore, sepulang sekolah, Alina tiba-tiba berhenti di tengah jalan setapak.
“Raka,” katanya serius.
Raka menghentikan sepedanya dan menatap Alina. “Kenapa?”
“Aku punya sesuatu,” kata Alina sambil membuka tas kecilnya. Ia mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dengan sampul berwarna biru muda. “Ini jurnal mimpiku. Aku selalu nulis di sini tentang semua yang ingin aku capai. Kamu punya hal semacam ini juga?”
Raka menggeleng. “Nggak. Aku cuma melukis apa yang aku suka. Nggak pernah kepikiran buat bikin daftar mimpi.”
Alina tersenyum dan menyerahkan buku itu pada Raka. “Coba lihat.”
Raka membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya ada tulisan tangan Alina yang rapi, disertai dengan beberapa gambar kecil di tepinya. Ada daftar mimpi seperti, ‘Menulis novel yang diterbitkan,’ ‘Pergi ke Paris,’ dan bahkan yang sederhana seperti ‘Melihat hujan meteor.’
“Ini keren,” kata Raka pelan.
“Terima kasih,” balas Alina. “Menurutku semua orang harus punya sesuatu seperti ini. Kamu juga harus punya. Kamu bisa mulai dengan menulis atau melukis apa yang ingin kamu capai.”
Raka tidak menjawab, tetapi ada sesuatu dalam kata-kata Alina yang menyentuhnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mimpinya melukis pemandangan indah di tempat-tempat jauh bukanlah sesuatu yang mustahil.
Hari itu, hubungan mereka semakin erat. Jalan setapak yang mereka lalui setiap hari terasa seperti tempat yang penuh cerita dan harapan. Alina terus membawa warna baru ke dalam dunia Raka, sementara Raka diam-diam mulai menyadari bahwa ia tidak ingin jalan setapak ini sepi lagi.*
Bab 3: Bayangan Cinta Pertama
Raka duduk di bangku panjang di depan rumahnya. Matahari sore mulai terbenam, menyisakan cahaya jingga yang merona di langit. Di pangkuannya, sebuah buku sketsa terbuka dengan beberapa lembar kosong. Tangannya memegang pensil, tetapi ia tidak menggambar apa pun sejak setengah jam lalu. Pikirannya melayang ke satu hal—atau lebih tepatnya, satu orang. Alina.
Seminggu terakhir, Raka merasa dirinya berbeda. Ia tidak bisa menjelaskan apa yang ia rasakan setiap kali melihat Alina. Gadis itu selalu muncul di pagi hari dengan senyum yang seolah mampu menghapus rasa kantuknya. Setiap kali mereka berjalan bersama di jalan setapak, Raka mendapati dirinya berharap waktu berjalan lebih lambat.
Namun, sore ini, sesuatu yang tidak biasa terjadi. Di tengah lamunannya, ia mulai menggambar tanpa sadar. Pensilnya bergerak perlahan, membentuk garis demi garis di atas kertas putih itu. Ia menggambar sosok gadis yang sedang tersenyum, dengan rambut tergerai ditiup angin. Sosok itu tidak lain adalah Alina.
Setelah selesai, Raka memandang hasil gambarnya. Ia tertegun. Bukan karena gambarnya buruk—justru sebaliknya. Lukisan itu sangat hidup, seolah-olah senyum Alina benar-benar ada di sana, menatapnya. Tapi hati Raka bergetar. Mengapa ia menggambar Alina? Mengapa ia merasa perlu mengabadikan senyuman itu?
Raka menutup buku sketsa itu dengan cepat, seolah-olah takut seseorang akan melihatnya. Namun, rasa cemasnya tidak bisa ia abaikan. Apakah ini cinta? Ia tidak tahu. Ia belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.
Keesokan paginya, Raka kembali bertemu dengan Alina di jalan setapak seperti biasa. Gadis itu melambai dengan ceria, membawa buku catatannya yang ia peluk erat.
“Selamat pagi, Raka! Aku punya sesuatu buat kamu,” kata Alina dengan penuh semangat.
“Apa itu?” tanya Raka, sedikit penasaran.
Alina membuka buku catatannya dan menunjukkan tulisan tangannya yang rapi. “Aku menulis cerpen baru. Ceritanya tentang seorang pelukis muda yang melukis seseorang yang dia kagumi, tapi dia tidak pernah punya keberanian untuk mengungkapkan perasaannya.”
Raka tertegun. Ia menatap Alina, mencoba mencari tahu apakah cerpen itu tentang dirinya. Tapi Alina hanya tersenyum lebar, seolah-olah cerpen itu hanyalah karangan biasa.
“Kamu suka?” tanya Alina.
“Bagus,” jawab Raka singkat. Tapi pikirannya tidak berhenti memutar cerita itu. Kata-kata Alina seakan memukul tepat di hatinya.
Di sepanjang perjalanan menuju sekolah, Raka mencoba mengalihkan pikirannya. Ia mendengarkan cerita Alina tentang ide-ide ceritanya yang lain, tetapi bagian dari dirinya terus mempertanyakan perasaan yang ia miliki.
Hari itu, setelah pulang sekolah, Raka memutuskan untuk berjalan sendiri di jalan setapak. Ia merasa perlu waktu untuk berpikir. Langkahnya lambat, sementara pikirannya berkecamuk. Bayangan Alina terus menghantui benaknya, dari senyum cerianya hingga caranya berbicara tentang hal-hal kecil yang membuatnya bahagia.
Raka berhenti di bawah pohon besar yang sering mereka lewati bersama. Ia menatap daun-daun yang bergoyang pelan ditiup angin, mencoba mencari ketenangan. Tetapi hatinya justru semakin gelisah.
“Aku suka dia,” gumam Raka pelan, hampir tidak terdengar. Kata-kata itu terasa aneh baginya, tetapi di saat yang sama, seperti itulah kebenarannya.
Raka menghela napas panjang. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan perasaannya. Bagaimana jika Alina tidak merasakan hal yang sama? Bagaimana jika mereka lebih baik tetap menjadi teman? Semua pertanyaan itu terus menghantuinya, membuatnya ragu untuk bertindak.
Di hari-hari berikutnya, Raka mulai melihat Alina dengan cara yang berbeda. Setiap kali gadis itu tersenyum, ia merasa dadanya berdebar. Setiap kali mereka berbicara, Raka merasa bahwa waktu berjalan lebih cepat dari biasanya. Namun, ia juga mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Alina membuatnya semakin sulit untuk bersikap biasa.
Suatu sore, mereka berjalan pulang bersama seperti biasa. Alina tampak sibuk dengan ceritanya tentang sebuah novel yang baru saja ia baca, sementara Raka hanya mendengarkan dengan diam. Di tengah perjalanan, Alina tiba-tiba berhenti.
“Raka, kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu diam banget,” tanya Alina sambil menatapnya dengan penuh perhatian.
Raka terkejut. “Enggak kok. Aku cuma… banyak pikiran.”
“Banyak pikiran? Tentang apa? Cerita dong!”
Raka ragu. Ia ingin sekali mengungkapkan apa yang ia rasakan, tetapi lidahnya terasa kelu. Akhirnya, ia hanya tersenyum kecil dan berkata, “Nggak penting.”
Alina mengernyit, tetapi tidak memaksa. “Oke, kalau kamu nggak mau cerita sekarang. Tapi kalau ada apa-apa, aku ada, ya.”
Perkataan Alina membuat hati Raka semakin berat. Ia tahu Alina peduli padanya, tetapi ia tidak tahu apakah kepedulian itu lebih dari sekadar teman.
Malam itu, Raka membuka kembali buku sketsanya. Ia memandangi gambar Alina yang ia buat beberapa hari lalu. Di bawahnya, ia menambahkan tulisan kecil: Bayanganmu selalu ada di pikiranku, tapi aku terlalu takut untuk mengakuinya.
Dengan tulisan itu, Raka menutup buku sketsanya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Cinta pertama, pikirnya, memang indah sekaligus rumit. Dan di jalan setapak yang selalu ia lalui bersama Alina, ia menyadari bahwa perasaan ini akan menjadi bagian dari hidupnya, meskipun ia belum tahu ke mana cinta ini akan membawanya.*
Bab 4: Janji di Jalan Setapak
Langit mulai berwarna jingga ketika Raka dan Alina berjalan berdua di jalan setapak sepulang sekolah. Suara jangkrik mulai terdengar di kejauhan, dan angin sore bertiup pelan, menggoyangkan daun-daun di sepanjang jalan. Suasana terasa begitu tenang, tetapi di hati Raka, gelombang kegelisahan terus bergemuruh.
Hari itu, Alina terlihat lebih ceria dari biasanya. Ia sibuk bercerita tentang buku baru yang ia baca semalam, sebuah novel tentang dua orang asing yang terhubung oleh takdir. Raka hanya mendengarkan sambil tersenyum kecil, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya fokus. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, tetapi ia tidak tahu bagaimana memulainya.
“Raka, kamu kok diam terus sih?” Alina tiba-tiba menoleh, membuat Raka terkejut.
“Eh, enggak. Aku dengerin kok,” jawab Raka canggung.
Alina memiringkan kepala, seperti mencoba membaca pikiran Raka. “Hmm, kamu kelihatan aneh hari ini. Ada apa? Cerita dong.”
Raka menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya Alina memintanya untuk berbagi, tetapi kali ini terasa lebih sulit dari sebelumnya. Ia memandangi jalan setapak di depan mereka, mencoba mengumpulkan keberanian.
“Aku cuma lagi banyak mikir,” akhirnya Raka berkata pelan.
“Mikir apa? Tentang sekolah? Tentang keluarga?” Alina bertanya dengan nada penasaran.
Raka menggeleng. “Tentang kita.”
Langkah Alina terhenti sejenak. Ia menatap Raka dengan mata yang penuh rasa ingin tahu, tetapi ia tidak langsung bertanya.
“Apa maksudmu?” tanya Alina akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya.
Raka merasa jantungnya berdebar semakin kencang. Ia tidak pernah merasa setegang ini sebelumnya. “Aku cuma… aku senang bisa kenal sama kamu, Alina. Kamu bikin hari-hariku jadi beda.”
Alina tersenyum, tetapi ada sedikit kerutan di dahinya. “Aku juga senang kenal kamu, Raka. Kamu teman pertama yang aku punya di sini.”
“Teman, ya…” Raka mengulang kata itu dalam hatinya. Ia tahu bahwa Alina menganggap mereka teman, tetapi baginya, Alina sudah menjadi lebih dari itu.
Mereka terus berjalan dalam keheningan. Alina tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia membiarkan Raka mengambil waktu untuk bicara. Setelah beberapa saat, Raka berhenti di bawah pohon besar yang biasa mereka lewati.
“Alina,” Raka memanggil dengan suara pelan.
“Iya?” Alina menatapnya, menunggu.
Raka menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya kembali. “Aku ingin janji sama kamu.”
Alina mengerutkan kening, terlihat bingung. “Janji apa?”
“Kalau suatu hari nanti, kita ada di tempat yang jauh dari sini, atau bahkan kalau kita nggak sering ketemu lagi… aku ingin kita tetap ingat jalan setapak ini,” kata Raka dengan nada serius.
Alina tersenyum tipis. “Kenapa harus jalan setapak ini?”
Raka memandangi jalan di depan mereka. “Karena di sini tempat aku pertama kali kenal kamu. Tempat aku pertama kali merasa… bahagia dengan seseorang yang ngerti aku.”
Alina terdiam. Kata-kata Raka membuat dadanya terasa hangat, tetapi ia juga tidak tahu bagaimana harus merespons. Ia menatap Raka dengan lembut, lalu mengangguk. “Aku janji. Aku nggak akan lupa jalan ini, Raka. Ini tempat yang istimewa buat aku juga.”
Raka tersenyum kecil, merasa lega meskipun ia tahu masih ada banyak hal yang belum ia ungkapkan. Setidaknya, Alina mengerti bahwa jalan setapak ini adalah simbol dari hubungan mereka, tempat di mana semua cerita mereka dimulai.
Beberapa hari kemudian, saat mereka kembali berjalan bersama, Alina membawa sebuah ide yang membuat Raka terkejut.
“Raka, aku kepikiran sesuatu,” kata Alina sambil tersenyum ceria.
“Apa itu?” tanya Raka.
“Aku mau kita bikin sesuatu untuk mengenang jalan setapak ini. Semacam tanda, supaya kalau suatu hari kita kembali ke sini, kita bisa ingat semua cerita yang pernah kita buat,” kata Alina penuh semangat.
“Tanda? Maksudnya gimana?”
Alina mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari tasnya. “Aku mau kita tulis sesuatu di sini. Mungkin tentang apa yang kita rasakan saat pertama kali bertemu, atau mimpi-mimpi kita. Nanti kita kubur buku ini di bawah pohon besar di ujung jalan.”
Raka tertegun. Ide itu terasa begitu sederhana tetapi penuh makna. Ia mengangguk pelan. “Oke, aku setuju.”
Mereka pun mulai menulis di buku itu setiap kali mereka punya waktu luang. Alina menulis tentang mimpinya menjadi seorang penulis, tentang bagaimana ia merasa bahwa Raka adalah orang pertama yang benar-benar mendengarkannya. Sementara itu, Raka menulis tentang perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata, tentang bagaimana Alina membawa cahaya ke dalam dunianya yang sebelumnya terasa kosong.
Ketika buku itu selesai, mereka pergi ke pohon besar di ujung jalan setapak. Dengan hati-hati, mereka menggali lubang kecil dan mengubur buku itu di sana.
“Janji ya, suatu hari nanti kita baca lagi buku ini,” kata Alina sambil tersenyum.
“Janji,” jawab Raka, meskipun di dalam hatinya ia berharap saat itu tidak akan pernah datang karena ia tidak ingin kehilangan kebersamaan mereka.
Di bawah langit senja, mereka berdiri di sana, membiarkan keheningan berbicara lebih banyak dari kata-kata. Jalan setapak itu kini menjadi lebih dari sekadar jalan—ia telah menjadi saksi dari sebuah janji, sebuah kenangan, dan sebuah awal dari sesuatu yang mungkin lebih besar dari cinta pertama.*
Bab 5: Hadirnya Orang Ketiga
Hari itu hujan turun dengan deras. Raka berdiri di depan pintu kelasnya, memandangi butiran hujan yang jatuh tanpa henti. Biasanya, dia menikmati suara hujan—ada ketenangan yang selalu ia rasakan saat itu. Tetapi kali ini, pikirannya tidak tenang. Sudah beberapa hari Alina tampak berbeda. Gadis itu masih tersenyum dan bercerita seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang terasa berubah.
“Raka,” suara seorang teman mengagetkannya. “Eh, kamu tau nggak kalau Alina sering jalan bareng sama anak baru itu?”
Raka menoleh dengan kening berkerut. “Anak baru? Siapa?”
“Rio. Dia pindahan dari kota. Ganteng, pinter lagi. Aku lihat mereka tadi ngobrol di kantin, kelihatan akrab banget,” ujar temannya sambil tertawa kecil.
Raka terdiam. Nama Rio tidak asing baginya. Beberapa hari terakhir, Rio memang menjadi bahan pembicaraan di sekolah. Anak laki-laki itu cepat bergaul dan punya kepribadian yang menarik. Tapi mendengar bahwa Rio dekat dengan Alina membuat hati Raka terasa berat, meskipun ia tidak ingin mengakuinya.
Keesokan harinya, Raka memperhatikan bahwa apa yang temannya katakan benar adanya. Di tengah perjalanan menuju sekolah, biasanya Alina menunggu di ujung jalan setapak. Namun hari itu, Raka hanya menemukan dirinya sendiri. Tidak ada tanda-tanda Alina di sana.
Setelah tiba di sekolah, ia melihat Alina di depan perpustakaan bersama Rio. Mereka terlihat sedang berbicara serius, tetapi sesekali tertawa bersama. Raka memandangi mereka dari kejauhan, dadanya terasa sesak.
Selama pelajaran, pikiran Raka terus dipenuhi oleh bayangan itu. Ia mencoba fokus, tetapi suara tawa Alina dan Rio terus bergema di kepalanya. Ia bertanya-tanya apakah ini hanya kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih dalam hubungan mereka.
Sepulang sekolah, Raka akhirnya bertemu Alina di jalan setapak. Gadis itu berjalan mendahului, tetapi Raka memanggilnya. “Alina, tunggu!”
Alina menoleh, tersenyum seperti biasa. “Oh, Raka! Maaf ya, aku tadi nggak sempat nunggu kamu pagi-pagi. Aku buru-buru ke sekolah.”
“Tidak apa-apa,” kata Raka, meskipun hatinya ingin bertanya lebih jauh.
Mereka berjalan berdampingan dalam keheningan. Biasanya, Alina akan bercerita tentang banyak hal, tetapi kali ini dia hanya diam. Setelah beberapa langkah, Raka memberanikan diri bertanya. “Alina, kamu sering bareng Rio, ya?”
Alina menoleh, sedikit terkejut. “Iya, dia anak baru kan? Aku cuma coba bantu dia menyesuaikan diri di sini. Kenapa?”
Raka menggeleng pelan. “Nggak apa-apa. Cuma tanya.”
Namun, keheningan kembali menyelimuti mereka. Raka merasa bahwa kata-katanya tidak cukup untuk menyampaikan apa yang ia rasakan.
Hari-hari berikutnya, Raka semakin sering melihat Alina bersama Rio. Mereka berjalan bersama di lorong sekolah, berbicara dengan santai di perpustakaan, bahkan sesekali makan siang bersama di kantin. Alina tetap berbicara dengan Raka di jalan setapak, tetapi percakapan mereka tidak lagi sehangat dulu.
Satu sore, ketika mereka berjalan pulang bersama, Raka akhirnya tidak bisa menahan diri. “Alina, aku merasa kamu berubah.”
Alina berhenti melangkah, menatap Raka dengan bingung. “Berubah? Maksud kamu apa?”
“Kamu lebih sering bareng Rio sekarang,” ujar Raka, suaranya penuh keraguan.
Alina tersenyum kecil. “Dia cuma teman, Raka. Kamu nggak perlu khawatir. Aku tetap di sini, kok.”
“Tapi aku merasa kita nggak kayak dulu lagi,” kata Raka pelan.
Alina terdiam, lalu menggenggam tangannya dengan lembut. “Raka, kamu selalu jadi orang yang spesial buat aku. Jalan setapak ini adalah tempat kita. Itu nggak akan berubah.”
Meskipun kata-kata Alina menenangkannya, Raka tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang mulai menjauh di antara mereka.
Puncaknya terjadi ketika Raka melihat Rio dan Alina berjalan di jalan setapak yang biasanya ia lalui bersama Alina. Mereka terlihat bercanda, suara tawa mereka menggema di udara sore yang tenang. Raka hanya bisa memandang dari kejauhan, merasa jalan setapak itu tidak lagi menjadi miliknya dan Alina saja.
Malam itu, Raka membuka buku sketsanya. Ia menggambar jalan setapak dengan pohon besar di ujungnya, tetapi kali ini ia menambahkan dua sosok kecil yang sedang berjalan bersama. Bukan dirinya dan Alina, tetapi Rio dan Alina.
Raka menatap gambar itu lama, sebelum akhirnya menuliskan kata-kata di bawahnya: “Jalan setapak ini menjadi milik kita, tapi sekarang aku takut ia menjadi milik orang lain.”
Perasaan Raka menjadi semakin rumit. Ia tahu ia tidak berhak melarang Alina untuk dekat dengan siapa pun, tetapi hatinya terasa tidak siap menerima kenyataan bahwa mungkin, Alina mulai menemukan seseorang yang lebih istimewa.
Di dalam diam, Raka berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap menjaga janji mereka tentang jalan setapak ini, meskipun ia tidak tahu ke mana hubungan mereka akan berakhir.*
Bab 6: Pengakuan yang Tertunda
Langit sore tampak cerah, tetapi hati Raka terasa berat seperti langit yang mendung. Sudah beberapa hari ia tidak berjalan bersama Alina di jalan setapak. Gadis itu kini sering berjalan dengan Rio, sementara Raka hanya bisa memperhatikan dari kejauhan. Ia ingin berbicara dengan Alina, ingin mengatakan sesuatu yang selama ini ia pendam, tetapi keberaniannya selalu hilang.
Sore itu, Raka memutuskan untuk duduk di bawah pohon besar di ujung jalan setapak. Ia membawa buku sketsanya, berharap menggambar bisa membantu menenangkan pikirannya. Namun, saat membuka halaman demi halaman, ia kembali menemukan sketsa Alina yang pernah ia buat. Gambarnya tampak hidup, tetapi kali ini, senyuman Alina di sketsa itu justru terasa jauh darinya.
“Raka?”
Suara itu membuatnya tersentak. Ia menoleh dan melihat Alina berdiri di sana, tersenyum seperti biasa. Gadis itu tampak segar meski rambutnya sedikit berantakan karena angin sore.
“Alina…” Raka menutup buku sketsanya dengan cepat, seolah-olah takut gadis itu melihat isinya.
“Kamu ngapain di sini sendirian?” tanya Alina sambil melangkah mendekat.
“Cuma… cari udara segar,” jawab Raka pelan.
Alina duduk di sampingnya, menatap jalan setapak yang membentang di depan mereka. “Aku jarang lihat kamu di jalan ini akhir-akhir ini. Kamu sibuk, ya?”
Raka tertawa kecil, meskipun hatinya terasa perih. “Mungkin kamu yang sibuk,” jawabnya, mencoba terdengar ringan.
Alina menoleh dan menatapnya. “Raka, kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu kayak menjauh. Kalau ada yang salah, bilang dong.”
Pertanyaan itu membuat Raka terdiam. Ia ingin sekali jujur, ingin mengatakan bahwa ia merasa kehilangan Alina, bahwa ia merasa Rio telah mengambil tempatnya. Tapi bagaimana jika pengakuannya justru merusak hubungan mereka?
“Aku nggak apa-apa, Alina,” akhirnya Raka berkata, memalingkan wajahnya.
“Raka…” Alina menatapnya dengan ekspresi serius. “Kamu nggak pandai bohong, tahu.”
Raka menggigit bibirnya, merasa bahwa ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata pelan, “Alina, aku cuma… aku merasa kita nggak seperti dulu lagi. Aku merasa ada jarak di antara kita.”
Alina terkejut mendengar itu. “Jarak? Kenapa kamu merasa begitu?”
“Karena kamu lebih sering sama Rio sekarang,” jawab Raka, suaranya hampir berbisik. “Dan aku nggak tahu apakah aku masih punya tempat di hidup kamu.”
Alina terdiam. Ia menatap Raka dengan mata yang sulit dibaca. Setelah beberapa saat, ia berkata, “Raka, kamu selalu punya tempat di hidupku. Rio memang teman baru yang menyenangkan, tapi itu nggak berarti aku melupakan kamu.”
“Tapi aku merasa kehilangan,” Raka akhirnya berkata dengan jujur. “Aku kehilangan momen-momen kita di jalan setapak ini. Aku kehilangan cara kita dulu bicara tanpa harus berpikir terlalu banyak. Aku kehilangan kamu, Alina.”
Kata-kata itu membuat suasana menjadi hening. Alina tampak terkejut, tetapi juga tersentuh. Ia memalingkan wajahnya ke jalan setapak, memandangi pohon-pohon yang melambai ditiup angin.
“Raka,” katanya pelan, “aku nggak pernah bermaksud membuat kamu merasa seperti itu. Aku… aku nggak tahu kamu merasa kehilangan.”
Raka menghela napas panjang. “Aku juga nggak tahu bagaimana harus bilang. Aku takut kalau aku bilang sesuatu, semuanya akan berubah. Aku nggak mau kehilangan kamu, Alina.”
Alina menoleh, menatap Raka dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. “Kamu nggak akan kehilangan aku. Aku janji. Tapi…” Alina menggantungkan kata-katanya, seolah-olah ada sesuatu yang sulit untuk ia katakan.
“Tapi apa?” tanya Raka, penasaran.
“Aku…” Alina menarik napas, lalu berkata, “Aku juga bingung dengan perasaanku sendiri, Raka. Aku senang ada kamu di hidupku. Kamu adalah orang pertama yang membuat aku merasa nyaman di tempat ini. Tapi Rio… dia juga membuatku merasa berbeda.”
Hati Raka terasa hancur mendengar itu. Meskipun ia sudah menduga bahwa Rio memiliki tempat khusus di hati Alina, mendengarnya langsung tetap membuatnya sakit.
“Aku nggak tahu harus bagaimana,” lanjut Alina, suaranya pelan. “Aku nggak ingin menyakiti siapa pun. Kamu penting buat aku, Raka. Tapi aku butuh waktu untuk memahami apa yang aku rasakan.”
Raka mengangguk pelan, meskipun hatinya berteriak. “Aku ngerti, Alina. Aku nggak akan memaksakan apa pun. Aku cuma… aku cuma ingin kamu tahu bahwa aku selalu ada di sini untuk kamu, apa pun yang terjadi.”
Alina tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan Raka dengan lembut. “Terima kasih, Raka. Aku nggak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa kamu.”
Mereka duduk dalam keheningan di bawah pohon besar itu, membiarkan angin sore membawa pergi sebagian dari beban di hati mereka. Bagi Raka, perasaannya tetap terpendam, tertunda untuk diungkapkan sepenuhnya. Tapi ia tahu, untuk saat ini, ia hanya bisa menunggu.
Dan di jalan setapak itu, meskipun rasa sakit masih ada, Raka tetap memegang teguh janjinya kepada Alina—bahwa ia akan selalu berada di sana, apa pun yang terjadi.*
Bab 7: Perpisahan di Jalan Setapak
Langit sore itu berwarna kelabu. Hujan rintik-rintik turun, menutupi jalan setapak yang biasa menjadi saksi perjalanan Raka dan Alina. Tetapi tidak ada langkah kaki bersama di sana sore ini—hanya suara gemerisik air yang jatuh di atas dedaunan dan bayang-bayang kenangan yang terasa begitu nyata.
Raka berdiri di bawah pohon besar di ujung jalan setapak. Di tangannya, ia menggenggam payung kecil, tetapi ia tidak menggunakannya. Ia membiarkan rintik hujan membasahi rambut dan bajunya. Hari itu, ia tahu, adalah hari terakhir ia dan Alina bisa menghabiskan waktu bersama di tempat ini.
Dari kejauhan, Alina muncul. Gadis itu mengenakan jaket biru tua, wajahnya terlihat murung. Ia berjalan perlahan, seolah-olah langkah-langkahnya berat untuk diayunkan. Ketika ia sampai di depan Raka, mereka hanya saling menatap tanpa kata.
“Alina…” Raka akhirnya membuka suara.
“Hari ini datang juga, ya,” gumam Alina, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan.
Raka mengangguk pelan. “Kamu jadi pindah besok?”
Alina menunduk, memainkan ujung jaketnya dengan gelisah. “Iya. Papaku nggak bisa menunda lagi. Semua sudah siap. Besok pagi aku harus pergi.”
Keheningan menyelimuti mereka lagi. Jalan setapak yang dulu penuh tawa dan cerita kini terasa begitu sunyi.
“Aku nggak tahu harus bilang apa,” kata Raka akhirnya. “Aku pikir aku sudah siap untuk hari ini, tapi ternyata… aku nggak siap, Alina.”
Mata Alina mulai berkaca-kaca. Ia mencoba tersenyum, tetapi senyuman itu tidak mampu menyembunyikan kesedihannya. “Aku juga nggak siap, Raka. Tempat ini adalah rumahku sekarang, dan kamu adalah bagian dari rumah itu. Tapi aku nggak punya pilihan.”
Raka merasakan dadanya sesak. Selama ini, ia selalu percaya bahwa mereka akan selalu memiliki jalan setapak ini—bahwa di tempat ini, Alina akan selalu ada bersamanya. Tetapi kenyataan berkata lain.
“Alina, sebelum kamu pergi…” Raka berhenti sejenak, mencoba mengumpulkan keberaniannya. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan terakhirnya untuk mengatakan apa yang selama ini ia simpan. “Aku ingin kamu tahu sesuatu.”
Alina menatap Raka dengan penuh perhatian, meskipun air matanya mulai mengalir perlahan. “Apa itu, Raka?”
“Aku…” Raka menggenggam erat buku sketsa di tangannya. Ia menatap Alina dengan mata yang penuh emosi. “Aku suka sama kamu, Alina. Dari pertama kali kita ketemu di jalan setapak ini, aku tahu ada sesuatu yang berbeda. Kamu membawa warna dalam hidupku, sesuatu yang nggak pernah aku rasakan sebelumnya.”
Alina terdiam, matanya membesar. Ia tidak pernah menyangka Raka akan mengungkapkan perasaannya seperti ini, apalagi di hari terakhir mereka bersama.
“Tapi aku nggak pernah punya keberanian untuk bilang,” lanjut Raka. “Aku takut merusak apa yang kita punya. Dan sekarang, aku bahkan lebih takut lagi, karena aku nggak tahu kapan aku bisa ketemu kamu lagi.”
Air mata Alina semakin deras. Ia menghapusnya dengan cepat, tetapi emosinya terlalu besar untuk ia sembunyikan. “Raka… aku nggak tahu harus bilang apa. Kamu adalah sahabat terbaikku. Kamu adalah orang yang selalu ada buat aku, dan aku… aku juga nggak ingin kehilangan kamu.”
“Tapi aku tahu kamu punya Rio sekarang,” kata Raka pelan, suaranya terdengar getir. “Dan aku nggak mau memaksa kamu untuk merasakan hal yang sama. Aku cuma ingin kamu tahu perasaanku sebelum semuanya terlambat.”
Alina memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya. “Raka, aku nggak pernah memilih Rio. Aku bahkan nggak tahu apa yang aku rasakan tentang dia. Tapi kamu… kamu selalu ada di hati aku. Aku nggak tahu apakah ini cinta, tapi aku tahu kamu adalah bagian terpenting dari hidupku.”
Raka tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa hancur. “Itu sudah cukup buat aku, Alina. Aku cuma ingin kamu bahagia, di mana pun kamu berada.”
Alina mengangguk, lalu melangkah mendekat dan memeluk Raka dengan erat. Pelukan itu terasa seperti akhir dari segalanya, tetapi juga awal dari sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Ketika mereka melepaskan pelukan, Alina tersenyum tipis meskipun air matanya masih mengalir. “Aku janji, Raka. Aku nggak akan lupa jalan setapak ini, dan aku nggak akan lupa kamu.”
“Aku juga janji,” kata Raka. “Jalan setapak ini akan selalu menjadi milik kita.”
Setelah beberapa saat, Alina melangkah pergi. Raka hanya bisa memandangi punggungnya yang semakin menjauh, hingga akhirnya ia menghilang di tikungan jalan setapak.
Di bawah pohon besar itu, Raka duduk sendirian, membiarkan hujan membasahi tubuhnya. Ia membuka buku sketsanya, lalu menggambar Alina sekali lagi. Kali ini, ia menggambar sosok Alina yang berjalan menjauh di jalan setapak, dengan langit kelabu dan rintik hujan sebagai latarnya.
Di bawah sketsa itu, ia menuliskan satu kalimat: “Perpisahan ini bukan akhir. Di jalan setapak ini, kenangan kita akan selalu hidup.”
Dan untuk pertama kalinya, meskipun hatinya terasa kosong, Raka merasa ia telah melakukan hal yang benar dengan mengungkapkan perasaannya. Alina mungkin pergi, tetapi jalan setapak itu akan selalu menjadi milik mereka—tempat di mana semuanya dimulai, dan tempat di mana semuanya akan terus hidup dalam kenangan.*
Bab 8: Kehampaan dan Rindu
Hari-hari setelah kepergian Alina terasa hampa bagi Raka. Jalan setapak yang dulu menjadi bagian dari rutinitas mereka kini hanya menjadi lintasan sunyi. Tidak ada lagi tawa ceria Alina, tidak ada lagi cerita-cerita yang mengisi perjalanan mereka pulang. Jalan itu sekarang hanya diisi oleh suara angin dan dedaunan yang berbisik pelan.
Setiap pagi, Raka masih melewati jalan setapak itu, berharap menemukan jejak Alina, meskipun ia tahu itu mustahil. Pohon besar di ujung jalan setapak tampak seperti saksi bisu yang menatapnya dengan iba. Setiap kali ia melihat pohon itu, kenangan tentang pelukan terakhir Alina selalu menyeruak di pikirannya.
Di sekolah, keadaan tidak jauh berbeda. Rio, yang sebelumnya sering bersama Alina, kini juga tampak lebih banyak menyendiri. Rio dan Raka jarang berbicara, tetapi ada rasa saling mengerti di antara mereka. Mungkin karena keduanya sama-sama merasakan kehilangan sosok Alina, meski dengan cara yang berbeda.
Raka mencoba mengalihkan pikirannya dengan berbagai cara. Ia menyibukkan diri dengan menggambar di buku sketsa, tetapi setiap kali ia memulai sebuah gambar, ia selalu berakhir menggambar Alina—senyumnya, tawanya, bahkan bayangannya saat berjalan menjauh di jalan setapak.
Suatu malam, Raka duduk di kamarnya dengan buku sketsa di tangan. Lampu kamar menerangi lembaran-lembaran yang penuh dengan gambar Alina. Ia membuka halaman terakhir, di mana ia menggambar Alina yang berjalan menjauh di bawah langit kelabu. Ia menatap gambar itu lama, sebelum akhirnya meraih pena dan menuliskan sesuatu di bawahnya:
“Aku merindukanmu, Alina. Jalan setapak ini tidak lagi sama tanpamu.”
Tulisan itu membuat dadanya terasa sesak, tetapi sekaligus membuatnya merasa lega. Setidaknya, ia telah mengungkapkan perasaannya, meski hanya di atas kertas.
Hari-hari berlalu, tetapi rasa rindu itu tidak juga hilang. Raka sering menemukan dirinya memandangi ponselnya, berharap ada pesan dari Alina. Tetapi tidak ada. Alina sepertinya benar-benar menghilang dari hidupnya.
“Raka,” suara ibunya membuyarkan lamunannya suatu sore. “Kenapa kamu murung terus belakangan ini? Ada masalah di sekolah?”
Raka menggeleng pelan. “Nggak, Bu. Cuma lagi banyak pikiran aja.”
Ibunya menatapnya dengan perhatian. “Kalau kamu mau cerita, Ibu selalu ada, ya.”
Raka hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Ia tahu ibunya peduli, tetapi ia merasa sulit menjelaskan apa yang ia rasakan. Kehilangan seseorang yang berarti bukanlah hal yang mudah untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Suatu sore, Raka memutuskan untuk kembali ke jalan setapak. Ia membawa buku sketsanya dan duduk di bawah pohon besar di ujung jalan. Angin bertiup lembut, membawa aroma hujan yang baru saja reda.
Ia membuka buku sketsa dan mulai menggambar. Kali ini, ia menggambar jalan setapak itu seperti yang ada di ingatannya—dengan Alina yang berjalan di sampingnya, berbicara dengan penuh semangat. Gambarnya tampak hidup, seolah-olah Alina benar-benar ada di sana bersamanya.
Saat ia menyelesaikan gambarnya, ia merasakan air mata mulai mengalir di pipinya. Ia menyeka air matanya dengan cepat, merasa malu meskipun tidak ada orang di sekitarnya.
“Aku merindukanmu, Alina,” gumamnya pelan, seolah-olah pohon besar itu bisa mendengarnya.
Beberapa minggu kemudian, sebuah pesan akhirnya muncul di ponsel Raka. Itu dari Alina.
“Hai, Raka. Maaf aku baru bisa menghubungi. Aku masih sibuk beradaptasi di tempat baru. Gimana kabarmu? Aku harap kamu baik-baik aja.”
Raka menatap pesan itu lama, tidak tahu harus merespons apa. Perasaan rindu dan bahagia bercampur menjadi satu, tetapi juga ada rasa sedih yang sulit dijelaskan. Setelah beberapa saat, ia akhirnya membalas:
“Hai, Alina. Aku baik-baik aja. Jalan setapak masih sama seperti biasa, tapi rasanya kosong tanpa kamu. Aku harap kamu juga baik-baik di sana.”
Pesan itu dikirim, dan detik-detik berlalu dengan lambat. Akhirnya, balasan dari Alina muncul:
“Aku juga kangen jalan setapak itu, Raka. Aku kangen semuanya di sana. Aku kangen kamu.”
Mata Raka mulai berkaca-kaca. Ia membaca pesan itu berulang-ulang, seolah-olah ingin memastikan bahwa ia tidak salah membaca. Kata-kata Alina membawa sedikit kehangatan di tengah kehampaannya, meskipun ia tahu jarak mereka tetap jauh.
Sejak hari itu, mereka mulai saling berkirim pesan, meskipun tidak setiap hari. Percakapan mereka singkat, tetapi cukup untuk mengisi kekosongan yang selama ini Raka rasakan.
Namun, setiap kali Raka berjalan di jalan setapak itu, ia tetap merasakan kehampaan yang sama. Bayangan Alina masih ada di sana, tetapi itu hanyalah kenangan. Ia sadar bahwa jalan setapak itu, meskipun penuh kenangan indah, tidak akan pernah sama lagi.
Raka menutup buku sketsanya dan menghela napas panjang. Meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, ia memutuskan untuk tetap berjalan di jalan setapak itu—tempat di mana ia pertama kali menemukan cinta, kehilangan, dan kerinduan.*
Bab 9: Kembalinya Bayangan
Pagi itu, langit tampak cerah meskipun udara sedikit lebih sejuk dari biasanya. Raka duduk di tepi jendela kamar, menatap jalan setapak yang tampak sepi. Sudah hampir dua bulan sejak Alina pergi, dan meskipun mereka masih saling mengirim pesan, rasanya seperti ada jarak yang semakin lebar. Raka tahu bahwa kenangan tentang jalan setapak itu, tentang Alina, tetap hidup dalam dirinya, tetapi seiring waktu, perasaan itu mulai memudar.
Ia menatap buku sketsanya yang tergeletak di atas meja. Setiap gambar yang ia buat selalu terhubung dengan kenangan tentang Alina—senyumnya, langkah-langkah kecil di jalan setapak, dan percakapan mereka yang dulu terasa begitu hangat. Namun, sekarang, semuanya terasa begitu jauh. Raka tahu, meskipun ia terus merindukan Alina, hidup harus terus berjalan.
“Raka!” Teriakan ibu memanggilnya dari ruang bawah. “Ayo turun, sarapan!”
Raka menghela napas panjang dan meletakkan buku sketsanya. Ia menyadari bahwa hidupnya memang harus terus berjalan. Alina mungkin sudah tidak ada di sekitarnya, tetapi jalan setapak tetap ada, dan itu adalah tempat yang selalu membawa kenangan indah.
Hari itu, setelah sarapan, Raka memutuskan untuk kembali ke jalan setapak. Rasanya sudah lama ia tidak berjalan di sana tanpa perasaan terbebani. Ia ingin merasakan kedamaian yang dulu sering ia temui ketika berjalan bersama Alina, meskipun kini ia tahu jalan itu tidak akan pernah sama lagi.
Di sepanjang jalan, Raka memperhatikan setiap langkahnya. Ia berjalan pelan, menikmati setiap detil di sekelilingnya. Dedaunan yang berguguran, angin yang berhembus lembut, bahkan aroma tanah basah setelah hujan. Semua ini mengingatkannya pada Alina, pada semua yang pernah mereka lakukan bersama.
Ketika ia hampir sampai di ujung jalan setapak, Raka terhenti. Di sana, di bawah pohon besar yang dulu sering menjadi tempat mereka berbincang, berdiri sosok yang sangat ia kenal.
“Alina…” Suara Raka serak.
Gadis itu menoleh, dan senyum yang dulu selalu menenangkan hati Raka kembali muncul di wajahnya. “Raka,” katanya, suaranya lembut namun penuh makna. “Aku nggak menyangka bisa ketemu kamu di sini.”
Raka hanya bisa menatapnya, hampir tidak percaya. Alina, yang selama ini hanya ada di pikirannya dan dalam pesan-pesan singkat, kini ada di depan matanya. Ia merasa jantungnya berdegup kencang.
“Apa kamu… kembali?” tanya Raka, suara gemetar.
Alina mengangguk. “Iya. Aku kembali untuk beberapa hari. Papaku mendapat proyek baru di sini, jadi kami akan tinggal sementara. Aku tidak bisa melewatkan kesempatan untuk melihatmu lagi.”
Raka merasa seolah-olah waktu berhenti sejenak. Bayangan Alina yang selama ini hanya ada dalam ingatannya, kini nyata di depannya. Rasanya seperti mimpi, tetapi ia tidak ingin membangunkan dirinya sendiri.
“Kenapa nggak bilang dulu?” tanya Raka, mencoba tersenyum meskipun hatinya penuh dengan emosi.
Alina hanya tertawa kecil. “Aku ingin kejutan, kan? Dan juga, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Aku… Aku juga kangen jalan setapak ini, Raka.”
Raka terdiam, mencoba merangkai kata-kata. “Aku juga… kangen kamu.”
Alina tersenyum tipis, lalu berjalan mendekat dan duduk di bawah pohon besar itu. Raka ikut duduk di sampingnya, dan untuk beberapa saat mereka hanya diam, menikmati kehadiran satu sama lain setelah sekian lama terpisah.
“Raka, aku… aku nggak tahu harus bagaimana,” kata Alina akhirnya, suaranya pelan. “Aku tahu aku sudah pergi, dan aku tahu aku membuat kamu bingung dengan semua yang terjadi. Aku nggak pernah bermaksud membuatmu merasa sepi.”
Raka menatap Alina, merasa perasaan yang selama ini terkunci di hatinya mulai meledak. “Aku nggak tahu apa yang terjadi, Alina. Aku cuma merasa hilang setelah kamu pergi. Setiap kali aku melangkah di jalan ini, rasanya seperti ada yang hilang.”
Alina menunduk, wajahnya penuh penyesalan. “Aku juga merasa seperti itu, Raka. Setelah aku pergi, aku merasa seperti meninggalkan sesuatu yang sangat penting di sini. Tapi aku… aku takut, Raka. Aku takut kalau kita tetap bersama, aku akan membuatmu terluka lagi.”
Raka menggenggam tangan Alina dengan lembut, mencoba memberikan kenyamanan meskipun hatinya penuh kebingungannya sendiri. “Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi, Alina. Aku juga takut, tapi aku tahu satu hal—bahwa aku nggak bisa melupakan kamu. Aku nggak bisa mengabaikan apa yang kita punya.”
Alina menatapnya dengan mata yang hampir penuh dengan air mata. “Raka, aku juga nggak bisa melupakanmu. Tapi aku harus pergi lagi setelah beberapa hari. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku ingin kita menikmati waktu yang tersisa ini.”
Raka merasa dadanya sesak, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang. “Kita masih punya waktu, Alina. Kita masih bisa berjalan bersama di jalan setapak ini. Aku nggak tahu ke depan nanti bagaimana, tapi untuk saat ini, aku hanya ingin berada di sini bersamamu.”
Alina tersenyum, dan kali ini senyum itu terasa begitu tulus dan penuh makna. “Aku juga ingin itu, Raka. Aku ingin kita menikmati setiap detik yang ada.”
Mereka duduk dalam keheningan, hanya ditemani oleh suara angin dan deru dedaunan. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan lebih lanjut. Kehadiran satu sama lain sudah cukup mengisi kekosongan yang selama ini mereka rasakan.
Ketika matahari mulai terbenam, Alina berdiri dan menatap Raka dengan senyum lembut. “Aku janji, Raka. Meskipun aku harus pergi lagi nanti, aku akan selalu ingat jalan setapak ini, dan aku akan selalu ingat kamu.”
Raka mengangguk, merasa hati yang dulu penuh dengan kehampaan kini kembali dipenuhi dengan harapan. “Aku juga, Alina. Jalan setapak ini akan selalu menjadi tempat kita, tempat di mana kita pertama kali bertemu dan pertama kali belajar tentang cinta dan kehilangan.”
Alina melangkah perlahan pergi, meninggalkan jejak-jejak kecil di tanah basah. Raka hanya bisa menatapnya pergi, tetapi kali ini ia merasa lebih kuat. Alina mungkin akan pergi lagi, tetapi setidaknya ia tahu—bayangan Alina di jalan setapak itu, dan di dalam hatinya, akan selalu ada.*
Bab 10: Jalan Setapak Baru
Pagi itu, Raka terbangun dengan perasaan yang lebih ringan dari biasanya. Meskipun hari ini adalah hari terakhir Alina berada di kota, ia tidak merasa kesedihan yang menyelimuti dirinya seperti sebelumnya. Ada sebuah perasaan yang berbeda, sesuatu yang lebih dalam, yang memberi Raka kekuatan untuk melangkah maju, meskipun jalan yang harus ia jalani tak lagi sama seperti sebelumnya.
Setelah sarapan, Raka memutuskan untuk kembali ke jalan setapak yang selama ini menjadi saksi perjalanan hidupnya bersama Alina. Namun kali ini, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Jalan setapak itu, meskipun penuh kenangan, tidak lagi terasa seperti satu-satunya tempat yang dapat membawa kedamaian dalam dirinya.
Ia melangkah pelan, kali ini tanpa terburu-buru. Setiap langkahnya terasa lebih ringan, dan meskipun angin masih berhembus sama, ada sesuatu yang lebih tenang dalam dirinya. Ia sudah siap untuk meninggalkan bagian dari masa lalu yang terlalu lama ia pegang erat.
Di ujung jalan setapak, di bawah pohon besar yang selalu mereka lewati bersama, Raka berhenti sejenak. Di sana, di bawah pohon itu, Alina sudah menunggunya. Tetapi kali ini, mereka tidak duduk lama seperti biasanya. Alina menatap Raka dengan senyum yang penuh harapan.
“Kamu datang juga,” kata Alina, suaranya lembut, namun ada rasa haru yang tersirat di dalamnya.
Raka tersenyum, tetapi tidak berkata apa-apa untuk beberapa detik. Ia hanya memandangi Alina dengan tatapan yang penuh makna. Baginya, pertemuan ini lebih dari sekadar sebuah perpisahan. Ini adalah awal dari perjalanan baru—baik bagi mereka berdua maupun bagi dirinya sendiri.
“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” kata Raka akhirnya, memecah keheningan. “Tapi aku merasa seperti… aku sudah berubah, Alina.”
Alina mengangguk pelan. “Aku juga merasa seperti itu, Raka. Mungkin karena kita sudah terlalu lama terjebak dalam kenangan. Tapi kita nggak bisa terus hidup di masa lalu.”
Raka menghela napas panjang, lalu menatap jalan setapak yang membentang di hadapannya. “Jalan ini dulu penuh dengan tawa dan cerita kita. Tapi sekarang, rasanya semua itu tinggal bayang-bayang. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tapi aku merasa aku siap untuk jalan ke arah yang baru.”
Alina tersenyum dengan lembut. “Aku senang kamu bisa merasa seperti itu, Raka. Aku nggak ingin kamu terjebak dalam kenangan yang hanya membuatmu terluka. Kita berdua layak mendapatkan jalan baru.”
Raka menatap Alina sejenak. Matanya yang dulu penuh dengan keraguan kini terlihat lebih pasti. “Kamu benar. Aku merasa sudah waktunya untuk pergi ke tempat baru—meninggalkan jalan setapak ini dan mulai langkah baru dalam hidup.”
Alina berjalan mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Raka. “Jangan pernah merasa seperti kamu harus melupakan jalan ini sepenuhnya. Kenangan yang ada di sini akan tetap hidup dalam dirimu, tapi itu bukan berarti kamu harus terus berjalan di jalur yang sama. Jalan setapak baru akan membawamu ke tempat yang lebih baik, Raka.”
Raka menatap Alina, merasa kata-katanya membawa rasa lega yang luar biasa. Terkadang, hidup memang harus berani untuk mengambil keputusan besar—untuk berhenti sejenak, melihat ke belakang, dan kemudian melangkah maju. Raka tahu bahwa perpisahan kali ini bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah perjalanan baru yang akan membentuk dirinya menjadi seseorang yang lebih baik.
“Aku nggak tahu apa yang akan terjadi nanti, Alina,” kata Raka pelan. “Tapi aku ingin kita berdua berjalan di jalan yang berbeda, meskipun kenangan kita tetap ada.”
Alina mengangguk, air matanya mulai mengalir perlahan. “Aku juga ingin itu, Raka. Aku ingin kamu bahagia, di jalan yang baru. Aku harap kita bisa menemukan kebahagiaan masing-masing.”
Raka meraih tangan Alina, menggenggamnya untuk terakhir kalinya dengan lembut. “Terima kasih, Alina. Terima kasih sudah menjadi bagian dari perjalanan hidupku.”
Alina tersenyum, meskipun air mata masih mengalir di pipinya. “Aku juga, Raka. Terima kasih sudah mengajarkan aku banyak hal. Kamu akan selalu ada di hati aku.”
Mereka berdua duduk sejenak di bawah pohon itu, tanpa kata-kata. Hanya ada keheningan yang penuh makna. Waktu mereka bersama memang singkat, tetapi setiap detik yang dihabiskan di jalan setapak itu telah membentuk kenangan yang akan selalu hidup dalam hati mereka.
Ketika matahari mulai turun, Alina berdiri dan melangkah pergi. Tidak ada kata-kata terakhir yang perlu diucapkan, hanya sebuah senyuman yang mengiringi perpisahan itu. Raka menatapnya pergi, merasa hatinya lebih ringan. Meskipun perpisahan itu menyakitkan, ia tahu bahwa ia telah siap untuk berjalan di jalan setapak baru—jalan yang akan membawanya menuju masa depan yang lebih cerah.
Raka kemudian berdiri dan melangkah menjauh dari pohon besar itu. Jalan setapak yang dulu begitu penuh kenangan kini terasa kosong, tetapi ia tidak merasa kesepian. Ada kedamaian dalam dirinya, karena ia tahu bahwa ia telah menutup bab kehidupan yang lama dan siap memulai bab yang baru.
Di kejauhan, jalan setapak itu terlihat lebih jelas, seperti mengundang Raka untuk melangkah lebih jauh. Raka tidak tahu apa yang akan ia temui di depan, tetapi satu hal yang pasti—ia tidak akan lagi berjalan sendirian. Ia membawa kenangan dan pelajaran dari masa lalu, tetapi ia juga membawa harapan dan semangat untuk menjalani jalan setapak baru yang terbentang di depannya.***
————–THE END————-