Daftar Isi
- BAB 1: LUKA LAMA YANG TAK SEMBUH
- BAB 2: JEJAK MUSUH DALAM BAYANGAN
- BAB 3: CINTA YANG MENYELAMATKAN ATAU MEMBINASAKAN
- BAB 4: RENCANA YANG MULAI BERJALAN
- BAB 5: LANGKAH MENUJU KEGELAPAN
- BAB 6: DI ANTARA CINTA DAN KEGELAPAN
- BAB 7: LUKA LAMA YANG TERBUKA
- BAB 8: JALAN TAK TERDUKA
- BAB 9: PERTEMPURAN DI BALIK BAYANG-BAYANG
- BAB 10: AKHIR DARI SEGALANYA
BAB 1: LUKA LAMA YANG TAK SEMBUH
Hujan deras mengguyur kota sejak senja tadi, membasahi jalanan yang sepi dan menyelimuti malam dengan aroma tanah basah. Di sebuah apartemen kecil di sudut kota, Raka duduk diam di dekat jendela. Matanya menatap kosong ke luar, menelusuri gemerlap lampu jalan yang memantul di genangan air. Di tangannya, sebuah foto lama tergenggam erat—foto keluarganya sebelum semuanya berubah menjadi kelam.
Lima belas tahun telah berlalu sejak tragedi itu, tetapi ingatan akan malam itu masih segar dalam benaknya. Malam ketika keluarganya dihancurkan oleh seorang pria yang kini ia cari. Arman. Nama itu tertanam dalam pikirannya seperti luka yang tak pernah sembuh. Ayahnya tewas dengan tubuh penuh luka, ibunya menghilang tanpa jejak, dan adiknya—satu-satunya yang selalu ia lindungi—meninggal dalam kebakaran yang sengaja dibuat. Raka tidak pernah melupakan wajah pria itu, pria yang merebut segalanya darinya.
“Aku akan menemukannya,” gumamnya lirih, suaranya dipenuhi dendam yang dingin.
Malam itu, Raka kembali menelusuri data yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun. Ia telah melacak keberadaan Arman, tetapi pria itu selalu berpindah tempat. Namun, beberapa minggu lalu, sebuah informasi baru muncul—Arman kini berada di kota ini, hidup dengan identitas baru. Raka menggenggam segelas kopi yang sudah dingin. Dendam yang ia simpan begitu lama kini semakin mendekati titik akhir.
Tiba-tiba, suara bel pintu apartemennya berbunyi. Raka menoleh tajam, tangannya secara refleks bergerak ke laci meja tempat ia menyimpan pistol kecil. Namun, ketika ia membuka pintu, wajah yang dikenalnya muncul dengan senyum lembut. Nayla.
Nayla adalah satu-satunya cahaya dalam hidupnya yang penuh bayang-bayang. Wanita itu masuk ke dalam tanpa menunggu undangan, membawa kehangatan yang kontras dengan kegelapan di dalam hati Raka.
“Apa kau belum tidur?” tanya Nayla sambil melepaskan mantel basahnya.
Raka menggeleng. “Hujan terlalu deras.”
Nayla menghela napas pelan. “Atau mungkin kau terlalu sibuk dengan pikiranmu sendiri?”
Raka tidak menjawab. Nayla duduk di sofa, memperhatikannya dengan sorot mata penuh perhatian. Wanita itu selalu tahu kapan Raka tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mereka telah berteman sejak lama, tetapi Nayla selalu merasa ada sesuatu yang disembunyikan Raka. Sebuah rahasia yang terlalu gelap untuk dibagikan.
“Kau tidak bisa terus seperti ini, Raka,” kata Nayla lembut. “Aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Sesuatu yang selalu kau pikirkan setiap malam.”
Raka menoleh, menatap Nayla dengan mata tajam yang penuh beban. Ia ingin mengungkapkan segalanya, ingin berbagi rasa sakit yang selama ini ia simpan sendiri. Tetapi ia tahu, Nayla tidak akan mengerti. Wanita itu selalu berbicara tentang pengampunan, tentang bagaimana masa lalu tidak seharusnya mengendalikan masa depan. Tetapi bagi Raka, balas dendam bukan sekadar pilihan. Itu adalah takdir.
“Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat.
Nayla menghela napas, tahu bahwa ia tidak akan mendapatkan jawaban yang lebih panjang. Ia berdiri, melangkah ke dapur kecil di sudut ruangan dan mulai menyiapkan dua cangkir teh hangat.
“Kau tahu, aku selalu berpikir bahwa hidup ini seperti hujan,” katanya sambil menuangkan air panas ke dalam cangkir. “Kadang deras, kadang gerimis, tetapi akhirnya selalu berhenti. Dan setelah itu, langit akan cerah lagi.”
Raka tidak merespons. Ia tahu Nayla mencoba menghiburnya, tetapi kata-kata itu tidak akan mengubah tekadnya. Langitnya tidak akan pernah cerah sebelum ia membalas dendam.
Setelah beberapa saat hening, Nayla akhirnya menyerah. Ia menyerahkan secangkir teh kepada Raka dan tersenyum kecil. “Jangan begadang terlalu lama, oke?” katanya sebelum melangkah pergi.
Raka mengangguk, tetapi setelah Nayla pergi, ia kembali ke meja kerjanya. Ia menatap foto Arman yang terpampang di layar laptopnya, wajah pria yang telah menghancurkan hidupnya.
“Sebentar lagi, semuanya akan berakhir,” bisiknya pelan.
Di luar, hujan masih turun deras, seakan menjadi saksi bagi tekad seorang pria yang hidup dalam bayang-bayang dendam.*
BAB 2: JEJAK MUSUH DALAM BAYANGAN
Hujan telah reda, menyisakan udara dingin yang menusuk tulang. Raka duduk di depan laptopnya, menatap layar yang menampilkan serangkaian informasi yang telah ia kumpulkan selama bertahun-tahun. Foto-foto, laporan keuangan, dan alamat-alamat yang pernah dihuni oleh Arman tersusun rapi dalam folder rahasianya. Namun, baru beberapa minggu terakhir ia menemukan sesuatu yang benar-benar berarti—Arman kini berada di kota ini.
“Kali ini, aku tidak akan gagal,” gumamnya dalam hati.
Raka menarik napas dalam-dalam sebelum mulai mengetik sesuatu di laptopnya. Ia membuka akses ke beberapa kontak lamanya—orang-orang yang bekerja di dunia hitam, mereka yang tahu seluk-beluk kejahatan kota ini. Jika ada yang bisa memberikan informasi terbaru tentang Arman, mereka adalah jawabannya.
Beberapa menit kemudian, layar laptopnya menyala dengan pesan masuk. “Orang yang kau cari sering terlihat di klub malam Lotus, tapi ia menggunakan nama lain sekarang. Hati-hati, dia tidak sendiri.”
Lotus. Raka mengenal tempat itu—sebuah klub eksklusif yang sering dikunjungi oleh orang-orang berpengaruh, termasuk mereka yang bermain di dunia gelap. Jika Arman ada di sana, maka mendekatinya bukanlah tugas yang mudah.
—
Malam itu, Raka berdiri di depan Lotus. Lampu-lampu neon berkedip terang, musik berdentum keras dari dalam gedung, dan antrian panjang terbentuk di depan pintu masuk. Ia mengenakan jaket hitam dan celana jeans gelap, mencoba menyatu dengan kerumunan.
Setelah menyogok penjaga pintu, ia masuk dengan mudah. Di dalam, aroma alkohol dan parfum mahal bercampur dengan suara tawa serta obrolan orang-orang kaya yang menikmati malam mereka. Raka berjalan ke bar, memesan segelas whisky, lalu mengamati sekelilingnya.
Ia tidak butuh waktu lama untuk menemukannya. Di sudut ruangan VIP, seorang pria berusia akhir lima puluhan duduk dengan angkuh, dikelilingi oleh dua wanita muda dan beberapa pria berbadan kekar yang tampaknya adalah pengawalnya. Wajahnya sedikit berubah—kerutan di dahi lebih dalam, rambutnya mulai memutih—tetapi tidak ada yang bisa menghapus bayangan masa lalu dari ingatan Raka. Itu dia. Arman.
Raka mengepalkan tangannya di bawah meja. Seluruh tubuhnya menegang, tetapi ia tahu ini bukan saatnya untuk bertindak gegabah. Jika ia menyerang sekarang, ia hanya akan berakhir sebagai mayat di gang belakang klub ini. Tidak, ia harus lebih pintar.
Ia mengeluarkan ponselnya dan diam-diam mengambil beberapa foto. Ini adalah bukti pertama bahwa Arman benar-benar ada di sini. Dengan ini, ia bisa melacaknya lebih jauh, mencari tahu rutinitasnya, kelemahannya.
Namun, sebelum ia bisa menyimpan ponselnya, seseorang tiba-tiba duduk di sebelahnya. Raka menoleh dan terkejut melihat Nayla di sana, mengenakan gaun merah yang membuatnya tampak sangat berbeda dari biasanya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Nayla, suaranya penuh kecurigaan.
Raka berusaha tetap tenang. “Harusnya aku yang bertanya begitu. Kau tidak terlihat seperti orang yang biasa datang ke tempat seperti ini.”
Nayla tersenyum miring. “Aku diundang oleh teman. Tapi pertanyaanku belum kau jawab, Raka.”
Raka menggertakkan giginya. Nayla tidak boleh tahu. Tidak sekarang. Ia tidak ingin wanita itu terlibat dalam kegelapan yang sedang ia jalani.
“Aku hanya minum,” jawabnya singkat. “Tak ada yang perlu kau khawatirkan.”
Tapi Nayla tidak semudah itu dibodohi. Ia melihat sorot mata Raka yang gelap, penuh rahasia, dan kemudian mengikuti arah pandangannya ke sudut VIP.
“Jadi ini tentang pria itu?” bisik Nayla. “Siapa dia?”
Raka terdiam, merasa terpojok. Ia harus segera mengakhiri percakapan ini sebelum Nayla semakin banyak tahu.
“Kau sebaiknya pergi, Nayla,” katanya dingin. “Tempat ini tidak cocok untukmu.”
Nayla menatapnya dalam-dalam, seakan mencoba membaca pikirannya. Namun akhirnya, ia menghela napas dan berdiri.
“Aku tidak tahu apa yang kau sembunyikan, Raka. Tapi kuharap kau tahu apa yang kau lakukan,” katanya sebelum berjalan pergi.
Raka menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Nayla terlalu pintar. Jika ia tidak hati-hati, wanita itu bisa menjadi penghalang bagi misinya.
Ia kembali menatap Arman. Sebentar lagi. Aku akan membawamu ke neraka yang telah kau ciptakan untuk keluargaku.*
BAB 3: CINTA YANG MENYELAMATKAN ATAU MEMBINASAKAN
Malam itu, Raka tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh dua hal yang bertolak belakang—balas dendam yang telah ia rancang selama bertahun-tahun, dan kehadiran Nayla yang mulai mengganggu fokusnya. Ia tahu Nayla bukan ancaman, tapi wanita itu selalu muncul di saat yang tidak tepat. Seolah-olah Tuhan mengirimkan pengingat bahwa masih ada sesuatu yang lebih berharga daripada dendam.
Namun, bagi Raka, tidak ada yang lebih penting selain menghancurkan Arman.
Ia mengambil ponselnya, membuka folder foto yang tadi malam ia ambil di Lotus. Gambar Arman, dengan senyum angkuhnya, dikelilingi oleh kekayaan dan kekuasaan. Sementara di dalam hati Raka, api kemarahan semakin membara. Ia telah kehilangan segalanya karena pria itu. Sekarang, giliran Arman yang harus merasakan penderitaan yang sama.
Tetapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, suara ketukan di pintu apartemennya membuyarkan lamunannya.
Raka menoleh tajam. Sudah larut malam, siapa yang datang? Dengan hati-hati, ia mendekati pintu dan mengintip melalui lubang intip. Nayla.
Raka menghela napas, lalu membuka pintu. Wanita itu berdiri di ambang pintu dengan sweater oversized dan celana jeans, terlihat sederhana tapi tetap cantik. Namun, ekspresinya tidak seperti biasanya—ada sorot kekhawatiran di matanya.
“Kau belum tidur, kan?” Nayla berkata tanpa basa-basi, lalu masuk ke dalam sebelum Raka sempat menolaknya.
“Apa yang kau lakukan di sini, Nay?” Raka bertanya, menutup pintu di belakangnya.
Nayla menatapnya tajam. “Aku harus tahu apa yang kau rencanakan, Raka. Aku melihat matamu tadi malam, dan aku tahu itu bukan sekadar kebetulan. Siapa pria itu? Apa hubunganmu dengannya?”
Raka terdiam. Ia tidak ingin Nayla terlibat, tetapi wanita itu terlalu keras kepala untuk mundur begitu saja.
“Ini bukan urusanmu, Nayla,” katanya dingin.
Nayla menggeleng. “Aku tidak percaya. Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan. Dan aku takut… aku takut kau akan melakukan sesuatu yang akan menghancurkanmu sendiri.”
Raka tertawa kecil, getir. “Kau takut aku hancur? Nayla, aku sudah hancur sejak lima belas tahun lalu.”
Nayla menatapnya dengan ekspresi sedih. “Tapi kau masih punya pilihan, Raka. Kau bisa berhenti sebelum semuanya terlambat.”
Raka menatap Nayla dalam-dalam, mencoba mencari jawaban dalam tatapan lembutnya. Ada sesuatu tentang wanita ini yang membuatnya goyah, sesuatu yang mengingatkannya pada kehidupan yang bisa ia miliki—jika saja ia bukan pria yang hidup dalam bayang-bayang dendam.
Tapi, apakah ia benar-benar bisa melepaskan segalanya?
Nayla mendekat, menyentuh tangannya dengan lembut. “Aku tahu ada luka dalam dirimu, Raka. Aku tidak tahu apa yang terjadi di masa lalumu, tapi aku tahu satu hal—dendam tidak akan pernah memberimu kebahagiaan.”
Raka mengeratkan rahangnya. “Aku tidak butuh kebahagiaan. Aku hanya butuh keadilan.”
“Apakah kau yakin ini keadilan?” Nayla bertanya, suaranya hampir seperti bisikan. “Atau hanya kemarahan yang kau beri nama lain?”
Raka tidak menjawab. Ia ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa ini memang keadilan, bahwa Arman pantas mendapat hukuman atas apa yang telah ia lakukan. Tapi jauh di lubuk hatinya, ada bagian kecil yang ragu.
Nayla menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku peduli padamu, Raka. Lebih dari yang kau tahu. Dan aku tidak ingin melihatmu tersesat dalam kebencian.”
Jantung Raka berdegup lebih cepat. Kata-kata Nayla menusuknya lebih dalam daripada yang ia kira. Ia ingin percaya bahwa masih ada jalan lain, tetapi bayang-bayang masa lalu terus menghantuinya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari kontak rahasianya. “Arman akan berada di hotel Grand Imperial besok malam. Ini kesempatan terbaikmu.”
Raka mengepalkan tangannya. Kesempatan yang telah ia tunggu-tunggu akhirnya datang.
Nayla memperhatikan perubahan ekspresinya. “Apa itu?” tanyanya curiga.
Raka menyembunyikan ponselnya di sakunya. “Bukan apa-apa.”
Nayla menggeleng. “Raka, jangan lakukan ini.”
Tapi Raka sudah mengambil keputusan. Dendamnya lebih besar dari segalanya.
Ia menatap Nayla untuk terakhir kalinya sebelum berkata dengan suara pelan, “Maaf, Nayla. Tapi ini sesuatu yang harus aku selesaikan sendiri.”
Nayla menatapnya dengan putus asa. “Raka…”
Namun, Raka sudah berbalik, menutup matanya sejenak untuk menenangkan detak jantungnya yang kacau. Tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang.
Di luar, angin malam berhembus pelan, seakan membawa pertanda bahwa pertempuran antara cinta dan balas dendam baru saja dimulai.*
BAB 4: RENCANA YANG MULAI BERJALAN
Raka duduk di dalam mobilnya, menatap gedung hotel Grand Imperial dari kejauhan. Lampu-lampu mewah berpendar di sepanjang koridor, mencerminkan kemewahan tempat itu. Ia sudah memastikan Arman akan berada di sana malam ini, menghadiri pertemuan eksklusif dengan beberapa pengusaha kelas atas. Ini adalah kesempatan terbaiknya—kesempatan untuk mengakhiri semua penderitaan yang telah menghantuinya selama lima belas tahun.
Tangannya menggenggam erat setir mobil. Dalam saku jaketnya, ia bisa merasakan dinginnya pistol kecil yang ia bawa sebagai jaga-jaga. Raka bukan seorang pembunuh bayaran, tetapi ia tahu bahwa dunia tidak memberikan ruang bagi mereka yang ragu. Jika ia ingin membalas dendam, ia harus siap mengotori tangannya.
Namun, jauh di lubuk hatinya, suara Nayla masih menggema. “Dendam tidak akan pernah memberimu kebahagiaan.”
Raka menggeleng pelan, mencoba mengusir bayang-bayang wanita itu dari pikirannya. Ini bukan tentang kebahagiaan. Ini tentang keadilan.
Ia menarik napas dalam, lalu meraih ponselnya untuk mengecek ulang rencana. Salah satu kontaknya di dunia hitam telah memberikan detail bahwa Arman akan tiba dengan pengawal pribadi dan menginap di penthouse hotel. Pengawalnya memang banyak, tapi mereka tidak akan menyangka bahwa ada seseorang yang berani mendekati Arman di tempat yang begitu terbuka.
Raka membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Ia mengenakan setelan formal hitam, menyamar sebagai tamu biasa. Di tangannya, sebuah amplop berisi undangan palsu yang ia dapatkan dari seorang peretas. Dengan ini, ia bisa masuk ke acara yang akan dihadiri Arman tanpa menimbulkan kecurigaan.
Saat ia berjalan menuju lobi hotel, ia bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Hanya satu langkah lagi. Satu langkah menuju akhir.
—
Begitu memasuki lobi, Raka segera menuju lift menuju lantai ballroom. Suasana di dalam hotel terasa elegan, dengan tamu-tamu berpakaian mewah berjalan anggun di sekitar ruangan. Pelayan berjas rapi membawa nampan berisi sampanye, dan musik klasik mengalun lembut di latar belakang.
Raka berjalan dengan tenang, matanya menelusuri ruangan. Ia tidak perlu terburu-buru. Jika ia ingin menyelesaikan ini dengan bersih, ia harus menunggu waktu yang tepat.
Lalu, ia melihatnya.
Arman duduk di meja VIP di sudut ruangan, berbincang dengan beberapa pria kaya lainnya. Rambutnya telah memutih, tetapi sikap angkuhnya masih sama seperti lima belas tahun lalu. Ia tertawa, menyesap minumannya, seakan tidak pernah ada dosa yang menghantuinya.
Darah Raka mendidih. Bagaimana pria itu bisa hidup begitu tenang setelah semua yang telah ia lakukan?
Saat Raka bersiap untuk mendekat, seseorang tiba-tiba menyentuh lengannya.
“Raka?”
Jantungnya mencelos. Ia mengenali suara itu.
Nayla.
Ia menoleh, dan di hadapannya berdiri wanita itu, mengenakan gaun biru gelap yang membuatnya terlihat begitu berbeda dari biasanya. Matanya yang teduh kini dipenuhi kecemasan.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Nayla, suaranya nyaris berbisik.
Raka menegang. Ia tidak menyangka Nayla akan berada di sini.
“Aku bisa bertanya hal yang sama padamu,” balasnya, berusaha tetap tenang.
Nayla melirik ke arah meja VIP, lalu kembali menatapnya. “Jangan bilang kau di sini karena pria itu.”
Raka tidak menjawab. Ia tahu, jika ia membuka mulut sekarang, Nayla akan tahu segalanya.
Nayla mendekat, suaranya semakin pelan. “Kumohon, Raka. Jangan lakukan ini.”
Raka mengepalkan tangannya. “Ini bukan urusanmu, Nayla.”
“Tapi aku peduli padamu!” suara Nayla sedikit gemetar. “Aku tidak tahu apa yang terjadi antara kau dan pria itu, tapi aku tahu kau bukan orang yang tega membiarkan kebencian mengendalikan hidupmu.”
Raka menatap Nayla dalam-dalam. Ada sesuatu dalam matanya yang membuatnya ingin menyerah, ingin melupakan semuanya dan pergi bersamanya. Tapi ia tahu, ia tidak bisa mundur sekarang.
“Maaf, Nayla,” katanya akhirnya. “Tapi aku harus melakukannya.”
Nayla menatapnya dengan ekspresi terluka. “Kalau begitu, kau akan kehilangan dirimu sendiri, Raka.”
Sebelum Raka bisa menjawab, tiba-tiba suasana ruangan berubah. Beberapa pria berbadan besar memasuki ballroom, dan Raka segera mengenali mereka sebagai pengawal Arman. Salah satu dari mereka berbisik ke telinga Arman, lalu pria itu berdiri dari kursinya dan mulai berjalan keluar.
Ini kesempatan Raka.
Tanpa menunggu lebih lama, ia berbalik dan mengikuti mereka. Nayla berusaha menghentikannya, tetapi ia sudah melangkah lebih jauh.
Ia tidak tahu apakah ia akan keluar dari tempat ini dengan kemenangan atau kehancuran. Yang ia tahu, malam ini akan menentukan segalanya.*
BAB 5: LANGKAH MENUJU KEGELAPAN
Raka mengikuti Arman dengan langkah hati-hati. Pria tua itu berjalan menuju lift yang akan membawanya ke penthouse, diapit oleh dua pengawal berbadan besar yang tampak waspada. Raka tahu bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan untuk mendekat, tetapi ia tidak bisa bertindak gegabah.
Dari sudut matanya, ia melihat Nayla berdiri di tengah ballroom, menatapnya dengan ekspresi cemas. Wanita itu tidak mengatakan apa-apa lagi, tetapi sorot matanya seakan menjadi pengingat terakhir bahwa ia masih punya pilihan untuk mundur. Namun, bagi Raka, tidak ada jalan kembali.
Saat Arman dan para pengawalnya masuk ke dalam lift, Raka segera melangkah cepat, bergabung dengan beberapa tamu lain yang juga hendak naik. Ia masuk ke dalam lift kedua, memastikan ia tidak langsung mencolok. Ia menekan tombol menuju lantai yang sama, lalu menarik napas dalam-dalam, menyiapkan dirinya untuk apa pun yang akan terjadi di atas sana.
—
Begitu pintu lift terbuka di lantai tertinggi hotel, Raka melangkah keluar dengan hati-hati. Koridor menuju penthouse terasa sepi, hanya ada dua pria berbadan besar berdiri di depan pintu utama.
Ia harus menemukan cara untuk masuk.
Tanpa membuang waktu, ia berbalik dan berjalan ke arah lain, mencari jalur alternatif. Kemudian, matanya menangkap sesuatu—sebuah pintu keluar darurat di ujung koridor. Ia segera berjalan ke sana dan membukanya dengan hati-hati. Pintu itu mengarah ke tangga darurat yang memiliki akses ke balkon luar penthouse.
Raka menyelinap keluar ke balkon, merasakan angin malam yang dingin menerpa wajahnya. Dari sini, ia bisa melihat jendela besar penthouse, sebagian tertutup oleh tirai tebal. Ia berjongkok, mengamati situasi di dalam. Arman duduk di sofa, berbicara dengan seseorang di telepon, sementara dua pengawalnya berdiri di dekat pintu.
Ini bukan tugas yang mudah. Tetapi Raka sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang.
Ia merogoh sakunya, mengambil pisau lipat yang selalu ia bawa sebagai perlindungan. Senjata api akan terlalu berisik—ia harus menyelesaikan ini secara cepat dan senyap.
Dengan hati-hati, ia merayap menuju balkon yang lebih dekat ke jendela. Namun, tepat saat ia bersiap untuk masuk, sesuatu yang tidak ia duga terjadi.
Suara langkah kaki terdengar di belakangnya.
Raka menoleh dengan cepat, tetapi sebelum ia bisa bereaksi, sebuah tangan mencengkeram kerah jaketnya dan menariknya dengan keras. Ia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai balkon, pisau lipatnya terlepas dari genggaman.
Dua pria berbadan besar berdiri di atasnya, dan salah satunya menodongkan pistol ke arahnya.
“Siapa kau?” suara berat pria itu terdengar dingin dan tajam.
Raka menggertakkan giginya. Ia telah meremehkan keamanan Arman.
Pintu balkon terbuka, dan Arman muncul, mengenakan jas mewah dengan segelas wine di tangannya. Saat matanya bertemu dengan Raka, ekspresi terkejut muncul di wajahnya.
“Astaga…” Arman tersenyum miring. “Aku hampir tidak mengenalimu, Nak. Tapi wajah itu… ya, aku tidak mungkin melupakannya.”
Darah Raka mendidih. Pria ini masih bisa tersenyum setelah semua yang telah ia lakukan?
Arman melangkah lebih dekat, menatapnya dengan tatapan penuh ejekan. “Lihat siapa yang datang mencariku setelah bertahun-tahun. Aku harus mengakui, kau tumbuh menjadi pria yang tangguh.”
Raka mengepalkan tinjunya. “Kau tidak berhak berbicara tentang aku. Kau telah membunuh keluargaku.”
Arman tertawa kecil. “Oh, kau masih menyimpan dendam itu? Begitu lama, dan kau masih tidak bisa melupakan masa lalu?”
“Kau pikir aku akan melupakan apa yang telah kau lakukan?” suara Raka bergetar oleh kemarahan. “Ayahku mati karena ulahmu. Ibuku hilang. Adikku terbakar hidup-hidup! Dan kau… kau hidup mewah seolah-olah tidak ada yang terjadi!”
Arman menyesap wine-nya dengan santai. “Kau benar. Aku tidak merasa bersalah sedikit pun.”
Kemarahan meledak dalam diri Raka. Ia berusaha bangkit, tetapi pria bersenjata menekan pistolnya lebih keras ke pelipisnya, memaksanya tetap di tempat.
Arman berjongkok di depan Raka, menatapnya dengan tatapan puas. “Aku harus mengakuinya, aku kagum dengan tekadmu. Tapi kau membuat kesalahan besar dengan datang ke sini sendirian.”
Raka mengertakkan giginya. Ia tidak bisa mati di sini. Tidak sebelum ia membalas dendam.
Tiba-tiba, suara keras terdengar dari dalam ruangan. Semua orang menoleh ke arah pintu penthouse yang terbuka.
Dan di sana, berdiri Nayla.
Mata Raka membelalak. Apa yang dia lakukan di sini?!
Nayla tampak ketakutan, tetapi ia mencoba menyembunyikan rasa cemasnya. “Lepaskan dia,” katanya dengan suara tegas.
Arman mengangkat alisnya, tampak terhibur. “Dan siapa kau?”
Nayla menelan ludah, tetapi ia tidak mundur. “Aku teman Raka. Dan aku tidak akan membiarkan kalian menyakitinya.”
Arman tertawa. “Lucu. Tapi aku tidak melihat bagaimana seorang wanita seperti kau bisa menghentikan kami.”
Namun, sebelum Arman bisa mengatakan lebih jauh, Nayla bergerak cepat. Dengan satu gerakan, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya—semprotan merica.
Ia menyemprotkan cairan itu langsung ke wajah Arman, membuat pria tua itu menjerit kesakitan dan mundur sambil memegangi matanya.
Dalam kekacauan itu, Raka langsung mengambil kesempatan. Ia meraih pisau lipatnya yang terjatuh dan menebas tangan pria bersenjata, membuat pistolnya terlepas. Dengan cepat, Raka memukul rahang pria itu dengan siku, menjatuhkannya ke lantai.
Pria kedua mencoba menyerang, tetapi Raka sudah lebih cepat. Ia menendang kaki pria itu dengan keras, membuatnya kehilangan keseimbangan sebelum menghantam wajahnya dengan pukulan yang cukup kuat untuk membuatnya pingsan.
Saat semua berakhir, hanya suara napas berat yang terdengar.
Arman masih mengerang kesakitan, sementara Nayla berdiri di pintu, terlihat sedikit gemetar.
Raka menoleh ke arah wanita itu, perasaan bercampur aduk dalam dirinya. Ia marah karena Nayla membahayakan dirinya sendiri, tetapi di saat yang sama, ia tahu bahwa jika bukan karena wanita itu, ia mungkin sudah mati.
Nayla menatapnya dengan ekspresi penuh emosi. “Kita harus pergi, sekarang.”
Raka menatap Arman yang masih mengerang kesakitan. Ini adalah kesempatan sempurna untuk menghabisinya. Tetapi dengan Nayla di sini, ia tidak bisa melakukannya.
Ia menggertakkan giginya, lalu menarik tangan Nayla dan berlari keluar dari penthouse.
Malam itu, Raka menyadari satu hal.
Dendamnya belum selesai. Tapi sekarang, ia tidak lagi sendirian.*
BAB 6: DI ANTARA CINTA DAN KEGELAPAN
Raka dan Nayla berlari menembus lorong hotel, napas mereka memburu. Alarm keamanan mulai berbunyi, tanda bahwa kejadian di penthouse telah menarik perhatian pihak keamanan. Mereka harus keluar dari tempat ini sebelum semuanya menjadi lebih buruk.
Mereka tiba di tangga darurat, dan Raka segera menarik Nayla turun dengan cepat. Setiap langkah terasa seperti pertaruhan hidup dan mati. Di belakang mereka, suara langkah kaki terdengar mendekat—pengawal Arman pasti sudah sadar dan kini sedang memburu mereka.
“Terus lari!” Raka berkata tanpa menoleh.
Nayla tidak membantah. Meskipun terlihat kelelahan, wanita itu tetap berlari, mengikuti Raka yang sudah lebih terbiasa dengan situasi seperti ini.
Saat mereka mencapai lantai bawah, Raka mendorong pintu keluar darurat dengan keras. Mereka keluar ke area parkir belakang hotel, di mana beberapa mobil berjejer. Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara mobil berdecit keras terdengar. Sebuah SUV hitam meluncur cepat, memblokir jalan mereka.
Pintu mobil terbuka, dan tiga pria berbadan besar keluar, wajah mereka dingin dan tanpa ekspresi.
Raka segera menarik Nayla ke belakangnya. “Tetap di belakangku,” bisiknya.
Salah satu pria itu melangkah maju. “Bos ingin berbicara denganmu, Raka.”
Raka menyeringai. “Kalau dia ingin bicara, seharusnya dia melakukannya tadi sebelum mencoba membunuhku.”
Pria itu tidak tersenyum. “Jangan buat ini sulit.”
Raka melirik sekeliling, mencari celah untuk kabur. Namun, sebelum ia bisa mengambil keputusan, Nayla tiba-tiba melangkah maju.
“Berhenti!” katanya lantang.
Semua mata tertuju padanya. Raka membeku, tidak percaya Nayla baru saja menempatkan dirinya dalam bahaya seperti ini.
“Aku tahu siapa Arman,” kata Nayla dengan suara tegas. “Dan aku tahu semua kejahatannya. Jika kalian tidak membiarkan kami pergi, aku akan memastikan dunia tahu juga.”
Pria itu tertawa kecil. “Ancaman itu tidak akan berhasil, Nona.”
“Tapi aku punya bukti,” Nayla menambahkan cepat. “Aku merekam semuanya.”
Raka terkejut. Ia menoleh ke arah Nayla, mencoba memastikan apakah wanita itu mengatakan yang sebenarnya atau hanya menggertak.
Pria itu tampak ragu sejenak.
Saat itulah Raka mengambil kesempatan. Dengan gerakan cepat, ia meraih lengan Nayla dan menariknya berlari ke samping mobil terdekat. Seketika, suara tembakan terdengar, peluru menghantam bodi mobil dengan suara nyaring.
“Nayla, masuk!” Raka membuka pintu mobil yang tidak terkunci dan mendorong Nayla ke dalam.
Ia melompat ke kursi pengemudi, menyalakan mesin dengan cepat, lalu menginjak pedal gas sekuat tenaga. Ban berdecit saat mobil melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan para pengejar mereka di belakang.
—
Setengah jam kemudian, mereka akhirnya berhenti di sebuah jalan kecil di pinggiran kota. Raka mematikan mesin dan menghela napas dalam-dalam. Tangannya masih gemetar akibat adrenalin.
Ia menoleh ke arah Nayla, yang duduk di sampingnya dengan ekspresi campuran antara ketakutan dan kelegaan.
“Apa kau gila?” Raka akhirnya berkata. “Kenapa kau bilang kau punya rekaman?!”
Nayla mengangkat bahu, mencoba tersenyum kecil meski wajahnya masih pucat. “Aku harus melakukan sesuatu untuk mengalihkan perhatian mereka. Dan ternyata berhasil.”
Raka menatapnya, tidak tahu apakah ia harus marah atau kagum. “Itu terlalu berisiko.”
Nayla menunduk. “Aku tidak bisa membiarkanmu mati, Raka.”
Keheningan menyelimuti mereka. Raka menatap Nayla lebih lama dari yang seharusnya. Kata-kata wanita itu menggema dalam pikirannya. Ia sudah terbiasa hidup sendiri, bertahan dengan kebencian sebagai bahan bakarnya. Tetapi kini, ada seseorang yang benar-benar peduli padanya.
“Kenapa?” tanya Raka akhirnya, suaranya lebih lembut.
Nayla mengangkat wajahnya. “Karena aku peduli padamu.”
Hati Raka berdebar. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata seakan menghilang.
Nayla menghela napas. “Aku tahu kau ingin membalas dendam. Tapi apa yang terjadi tadi membuktikan bahwa Arman lebih berbahaya daripada yang kau kira. Kau tidak bisa melawannya sendirian, Raka. Kita harus punya rencana yang lebih matang.”
Raka menatap lurus ke depan. “Aku tidak bisa berhenti sekarang, Nay.”
Nayla menggenggam tangannya. “Aku tidak bilang kau harus berhenti. Aku hanya ingin kau tetap hidup.”
Sekali lagi, keheningan menyelimuti mereka. Raka merasa sesuatu berubah dalam dirinya—sebuah perasaan yang selama ini ia coba abaikan.
Di antara balas dendam yang membara, ada seseorang yang berusaha menariknya kembali ke cahaya.
Tapi apakah ia akan membiarkan dirinya terselamatkan? Atau tetap terjun lebih dalam ke dalam kegelapan.*
BAB 7: LUKA LAMA YANG TERBUKA
Malam semakin larut, tetapi pikiran Raka terus berputar. Ia duduk di kursi pengemudi dengan tangan mencengkeram setir, tatapannya kosong menatap jalan yang sepi. Di sampingnya, Nayla masih terdiam, seakan menunggu Raka mengatakan sesuatu.
Setelah keheningan yang terasa begitu panjang, Raka menghela napas dan akhirnya berbicara, “Aku tidak bisa berhenti, Nay.”
Nayla menoleh, ekspresinya penuh kekhawatiran. “Aku tahu. Aku hanya ingin kau berpikir lebih jernih. Kita nyaris mati tadi, Raka. Ini bukan sekadar permainan.”
Raka memejamkan matanya sejenak. “Bagiku, ini bukan permainan. Ini hidupku. Ini tentang keluargaku.”
“Aku mengerti,” suara Nayla melembut. “Tapi kalau kau mati dalam prosesnya, semua ini akan sia-sia.”
Kata-kata itu menancap dalam di benaknya. Raka tahu Nayla benar, tetapi di saat yang sama, ia merasa tidak bisa berhenti sekarang. Setelah bertahun-tahun mencari jejak Arman, akhirnya ia menemukan jalannya. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Setelah beberapa saat, ia menyalakan mobil dan mulai melaju pelan. “Aku harus mencari cara lain. Kita butuh bukti nyata untuk menjatuhkan Arman, bukan hanya kemarahan.”
Nayla tersenyum kecil. “Itu baru pemikiran yang cerdas.”
Raka meliriknya. “Kau benar-benar nekat, tahu?”
Nayla terkekeh. “Kalau aku tidak nekat, aku tidak akan ada di sini bersamamu.”
Senyum samar muncul di wajah Raka, sesuatu yang jarang terjadi. Namun, di balik momen itu, ia tahu bahwa masih ada jalan panjang yang harus mereka tempuh.
—
Mereka akhirnya tiba di sebuah motel kecil di pinggiran kota. Tempat itu jauh dari pusat keramaian, cukup aman untuk bersembunyi sementara waktu. Raka memesan satu kamar, dan begitu mereka masuk, ia segera memeriksa keadaan sekitar.
“Kau paranoid,” ujar Nayla, duduk di tepi tempat tidur.
“Lebih baik waspada daripada mati bodoh,” balas Raka sambil memastikan jendela terkunci.
Setelah yakin bahwa mereka aman, ia melepas jaketnya dan duduk di kursi di sudut ruangan. Rasa lelah mulai menyerangnya, tetapi pikirannya masih terlalu aktif untuk bisa tidur.
Nayla menatapnya lama sebelum akhirnya berbicara, “Raka, bisa kau ceritakan semuanya padaku?”
Raka mengangkat alis. “Semuanya?”
Nayla mengangguk. “Aku tahu Arman telah menghancurkan hidupmu. Tapi aku ingin tahu lebih dari itu. Aku ingin tahu kenapa kau bisa sampai di titik ini.”
Raka terdiam sejenak. Ia tidak suka membicarakan masa lalunya. Itu adalah bagian dari dirinya yang selalu ia sembunyikan, bahkan dari dirinya sendiri.
Namun, saat melihat mata Nayla yang penuh ketulusan, ia merasa mungkin ini saatnya berbagi beban itu.
Ia menarik napas panjang sebelum mulai berbicara. “Lima belas tahun lalu, ayahku adalah seorang pengusaha kecil yang menolak bekerja sama dengan Arman. Ia tidak ingin terlibat dalam bisnis kotor, dan itu membuatnya menjadi musuh. Suatu malam, rumah kami dibakar. Aku selamat karena aku sedang bermain di luar. Tapi ayahku…”
Suara Raka sedikit bergetar. “Ayahku tewas di tempat. Ibuku menghilang setelah itu, tidak ada yang tahu ke mana. Dan adikku… dia terjebak di dalam. Aku mendengar teriakannya, tetapi aku tidak bisa menyelamatkannya.”
Nayla menutup mulutnya dengan tangan, matanya berkaca-kaca. “Ya Tuhan, Raka…”
Raka menelan ludah, mencoba menahan emosi yang sudah lama ia tekan. “Aku menghabiskan bertahun-tahun mencoba mencari tahu kebenarannya. Aku ingin bukti bahwa Arman yang bertanggung jawab. Tapi setiap kali aku mendekati kebenaran, orang-orang yang membantuku selalu menghilang atau mati.”
Keheningan menyelimuti mereka. Nayla akhirnya bangkit dan berjalan mendekatinya. Tanpa berkata apa-apa, ia meraih tangan Raka, menggenggamnya erat.
“Aku tidak bisa mengubah masa lalu,” katanya pelan. “Tapi aku di sini sekarang. Aku akan membantumu mencari keadilan, bukan hanya balas dendam.”
Raka menatap tangan Nayla yang menggenggamnya. Hangat. Nyata. Sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.
Mungkin, untuk pertama kalinya, ia tidak benar-benar sendirian.
Namun, jauh di dalam pikirannya, ia tahu bahwa semakin dalam Nayla terlibat, semakin berbahaya situasi ini bagi mereka berdua.
Dan ia tidak yakin apakah ia sanggup kehilangan seseorang lagi.*
BAB 8: JALAN TAK TERDUKA
Hari-hari berlalu, dan Raka dan Nayla terus bergerak, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bersembunyi dari pengaruh Arman yang semakin kuat. Mereka mulai merencanakan langkah-langkah selanjutnya untuk menghancurkan jaringan bisnis kotor Arman, tetapi setiap gerakan mereka diawasi ketat. Raka tahu, waktu mereka tidak banyak.
Malam itu, setelah beberapa minggu berada dalam bayang-bayang, Raka dan Nayla duduk di sebuah kafe yang tersembunyi di sudut kota. Mereka berdua terlihat seperti pasangan biasa yang sedang menikmati secangkir kopi, tetapi di balik itu, mereka berdua saling menjaga dengan penuh kewaspadaan.
“Nay,” Raka memulai dengan suara pelan, “Kau tahu kita tidak bisa terus seperti ini.”
Nayla menatapnya, menyadari betul apa yang ia maksud. “Kita tidak punya banyak pilihan, kan?” jawabnya. “Arman pasti sudah tahu kalau kita masih hidup. Dia pasti sedang mencari kita.”
Raka mengangguk. “Aku sudah menduga itu. Tapi semakin lama kita bersembunyi, semakin banyak nyawa yang akan hilang. Kita harus menghentikan semuanya.”
Nayla mengerutkan kening. “Bagaimana caranya? Arman begitu berkuasa. Semua bukti yang kita punya belum cukup untuk menghadapinya.”
Raka menghela napas. “Aku tidak peduli. Kita harus mengguncangnya dari dalam.”
Ada kegigihan dalam suara Raka yang membuat Nayla terdiam. Ia tahu bahwa pria ini sudah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang kematian dan dendam, tetapi ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Seperti ada harapan baru yang mulai tumbuh.
“Bagaimana kalau kita menyusup ke jaringan Arman?” lanjut Raka. “Aku tahu di mana tempat Arman menyembunyikan dokumen-dokumen pentingnya. Jika kita bisa mendapatkannya, kita bisa mengungkap semuanya.”
Nayla memandangnya dengan skeptis. “Menyusup? Itu bunuh diri, Raka. Kita tahu seberapa ketat pengamanan di sana.”
Raka tidak terpengaruh. “Aku tidak peduli. Kita harus melakukannya.”
Nayla terdiam, mempertimbangkan kata-kata Raka. Sesuatu dalam dirinya merasa tergerak. Ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan Arman, tetapi ia juga tahu bahwa ini akan sangat berisiko.
“Kalau kita gagal…” suara Nayla tertahan.
Raka menatapnya tajam. “Kita tidak boleh gagal.”
Nayla menelan ludah. “Baiklah. Aku ikut denganmu.”
Raka tersenyum tipis, meskipun senyum itu tidak sepenuhnya mencapai matanya. Ia tahu ini adalah langkah yang berbahaya, tapi ia juga tahu bahwa mereka sudah terlalu dalam terjebak dalam permainan ini. Jika mereka mundur sekarang, maka semuanya akan sia-sia.
—
Pagi berikutnya, mereka mulai merencanakan aksi mereka. Raka tahu bahwa satu-satunya cara untuk bisa masuk ke tempat itu adalah menyamar sebagai bagian dari orang dalam. Ia mulai mengingat kembali semua informasi yang pernah ia dapatkan tentang Arman dan anak buahnya.
“Nay,” Raka berkata serius, “Aku butuh bantuanmu. Kita harus bisa menyusup ke dalam acara gala yang diadakan oleh Arman malam ini. Itu adalah kesempatan terbaik untuk masuk tanpa menarik perhatian.”
Nayla mengangguk, meskipun raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran. “Kita akan menyamar sebagai tamu biasa?”
“Ya,” jawab Raka. “Aku.*
BAB 9: PERTEMPURAN DI BALIK BAYANG-BAYANG
Detak jantung Raka terdengar seperti guntur di telinganya. Ia berdiri di tengah ruangan itu, tubuhnya kaku dan matanya terkunci pada sosok Arman yang berdiri beberapa langkah darinya, wajahnya yang penuh dengan senyum licik.
“Kenapa, Raka? Kau masih ingin melawan?” Arman berkata dengan suara tenang, meskipun ada kebanggaan yang jelas terlihat di matanya. “Kau pikir ini akan berakhir dengan caramu? Kalau begitu, kau sangat naif.”
Raka menatapnya dengan penuh kebencian. “Aku tidak peduli dengan permainanmu, Arman. Aku sudah kehilangan segalanya karenamu. Dan sekarang, aku akan mengambil semuanya darimu.”
Arman tertawa kecil. “Kau pikir aku takut? Kau yang seharusnya takut, Raka. Kau sudah menyusuri jalan yang berbahaya, dan sekarang kau terjebak.”
Raka mengabaikan kata-kata itu. Ia tahu Arman selalu memutar balikkan fakta. Tentu saja, Arman memiliki kekuatan, uang, dan pengaruh, tetapi apa yang tidak dimiliki pria itu adalah kemampuan untuk melihat orang-orang di sekitarnya sebagai manusia. Mereka hanya alat baginya—alat untuk mencapai tujuannya. Dan sekarang, Raka dan Nayla adalah ancaman bagi tujuannya itu.
“Sekarang, keluarlah dari sini,” Arman melangkah lebih dekat. “Kalau tidak, aku akan memastikan kau tak akan pernah melihat dunia luar lagi.”
Raka menegakkan tubuhnya. “Aku tidak akan pergi sampai aku mendapatkan apa yang aku cari.”
Dengan gerakan cepat, Arman melangkah maju, mengangkat tangannya untuk memberi perintah pada dua pengawal yang sebelumnya tak terlihat. Mereka berdua muncul dengan cepat, menghalangi pintu dan mulai mendekati Raka.
Namun, Raka sudah siap. Tanpa ragu, ia menarik senjata yang ia sembunyikan di balik jasnya dan mengarahkannya ke dua pengawal itu. “Jangan coba mendekat,” katanya dengan suara yang lebih dingin dari es.
Pengawal pertama menatapnya sejenak, kemudian mundur perlahan. “Dia sudah terlalu berani,” katanya kepada rekannya.
Arman tersenyum, melihat Raka yang tampak lebih siap daripada yang ia perkirakan. “Kau memang lebih tangguh dari yang kupikirkan. Tapi itu tidak akan cukup.”
Raka tahu bahwa ini adalah ujian terakhir—bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Nayla. Jika ia gagal, maka semuanya akan sia-sia. Ia harus menemukan cara untuk mengalahkan Arman, atau lebih tepatnya, menghancurkan sistem yang ada di balik pria itu.
Di luar sana, Nayla sedang berada dalam bahaya yang sama. Setelah berbaur di kerumunan, ia sudah berhasil memperoleh beberapa informasi penting dari percakapan yang tidak sengaja didengarnya. Namun, ia tahu bahwa Raka sedang berada di dalam bahaya. Itu sebabnya, meskipun jantungnya terasa terhimpit, ia berusaha mencari cara untuk menyelamatkan mereka berdua.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar. Seseorang muncul dari pintu belakang ruangan itu—seorang pria berjas hitam yang Raka kenali dengan baik. Itulah salah satu tangan kanan Arman, seorang pria bernama Reno.
Reno memandang Raka dengan tatapan dingin. “Apa yang kau lakukan di sini, Raka?”
Raka menahan napas. “Aku datang untuk menuntut balas.”
Reno tertawa sinis. “Balas dendam, ya? Tapi kau sudah terlambat. Semua bukti yang kau cari sudah hancur. Tidak ada yang tersisa.”
Raka menggeram pelan. “Jangan bercanda. Aku tahu Arman pasti punya sesuatu yang dia sembunyikan di sini.”
Reno mengangkat alis. “Kau benar-benar ingin mencarinya? Baiklah. Tapi, kau akan menyesal.”
Dengan gerakan cepat, Reno menerjang maju. Raka berkelit, menghindari serangan tersebut, dan mengarahkan senjatanya ke arah Reno. Namun, pria itu lebih gesit dari yang diperkirakan. Dalam hitungan detik, ia sudah berhasil menendang senjata Raka hingga terjatuh ke lantai.
Raka terpaksa bertarung tanpa senjata. Meskipun ia sudah terlatih, tubuhnya mulai kelelahan karena pertempuran panjang yang baru saja terjadi. Namun, Raka tidak menyerah. Ia berusaha keras untuk menghindari pukulan-pukulan Reno, berbalik serangan dengan tendangan dan pukulan yang memanfaatkan momentum.
Di luar, Nayla yang masih berada di tengah keramaian mendengar suara gaduh dari ruang tempat Raka dan Arman berhadapan. Ia tahu bahwa waktunya hampir habis. Tanpa berpikir panjang, Nayla memutuskan untuk mengambil tindakan.
Dengan cepat, ia bergerak menuju ruang belakang, tempat di mana semua pengamanan berada. Sebelum ia bisa mencapai pintu masuk, seorang pengawal Arman menghalanginya.
“Aku tidak bisa membiarkanmu lewat, Nona,” kata pengawal itu.
Nayla menatapnya dengan tajam. “Aku tidak punya waktu untuk bermain, percayalah.” Dengan gerakan yang cepat, ia menggunakan kemampuan yang sudah dipelajarinya untuk menjatuhkan pengawal tersebut tanpa ampun. Ia segera berlari menuju pintu yang mengarah ke tempat pertempuran Raka.
Di dalam ruangan, Raka sudah kelelahan. Reno berhasil mendorongnya ke dinding, dan tubuhnya terasa seperti dihantam berulang kali. Namun, ia tidak akan menyerah begitu saja. Ketika Reno hendak melangkah maju untuk memberikan pukulan terakhir, pintu ruangan terbuka dengan keras.
Nayla muncul di ambang pintu, senjata di tangan, dengan tatapan tajam. “Kau akan menyesal jika melanjutkan ini, Reno.”
Reno terkejut, namun dengan cepat menanggapi. “Mereka berdua memang berbahaya,” katanya sambil mundur sedikit.
Nayla bergerak cepat, menembakkan senjata dengan presisi tinggi. Tembakan itu mengenai tangan Reno, membuatnya kehilangan pegangan dan jatuh ke lantai. Raka langsung bangkit dan menendang senjata Reno jauh-jauh.
Arman, yang sebelumnya hanya menyaksikan, kini melangkah maju. “Kalian pikir ini akan selesai begitu saja? Ini baru permulaan.”
Raka menatap Arman dengan penuh kebencian. “Tidak, Arman. Ini adalah akhir dari perjalanan gelapmu.”
Dengan gerakan cepat, Raka melangkah maju, siap untuk mengakhiri semua ini. Namun, apa yang akan terjadi selanjutnya akan menguji seberapa jauh mereka bersedia untuk melangkah demi keadilan yang selama ini mereka perjuangkan.*
BAB 10: AKHIR DARI SEGALANYA
Keheningan menguasai ruangan itu setelah tembakan Nayla membungkam Reno. Arman berdiri dengan senyum yang mulai memudar, dan matanya mulai menatap tajam ke arah Raka dan Nayla, seolah menghitung langkah mereka selanjutnya.
Raka masih berdiri tegak, meskipun tubuhnya terasa lelah dan penuh luka. Nayla di sampingnya, senjata masih terpegang erat, menatap Arman dengan ekspresi yang sulit diartikan. Mereka tahu bahwa ini adalah momen penentu, tempat di mana semuanya akan berakhir—apakah dengan kemenangan mereka, atau kehancuran lebih lanjut.
“Kalian pikir bisa menghentikanku begitu saja?” Arman berkata, suaranya tenang namun penuh ancaman. “Aku punya lebih banyak cara untuk membuat hidup kalian hancur. Lebih banyak orang yang bisa kubayar untuk menutup mulut kalian.”
Raka mengernyit. “Kau masih tidak mengerti, ya?” katanya dengan suara tegas. “Kau sudah kehilangan segalanya, Arman. Kau hanya belum menyadarinya.”
Arman tertawa kecil. “Aku tidak pernah kehilangan apa pun, Raka. Selama ini, aku adalah yang paling berkuasa. Kalian hanyalah sekelompok orang yang terjebak dalam dunia yang kalian tidak pahami.”
“Jangan terlalu sombong, Arman,” Nayla bersuara dengan dingin. “Kau boleh punya kekuasaan, tapi hari ini, kau akan kehilangan semuanya.”
Raka menatap Nayla, ada sesuatu dalam tatapan itu yang mengingatkannya pada masa lalu—mereka berdua sudah sampai di titik ini bersama-sama, melalui semuanya. “Sudah saatnya berakhir,” katanya, menatap Arman tanpa rasa takut.
Arman melihat keduanya dengan pandangan penuh kebencian. “Kau benar-benar yakin? Kau pikir aku akan menyerah begitu saja?”
“Tidak,” jawab Raka dengan pasti. “Tapi kau akan menyerah, Arman. Semua ini akan berakhir, entah kau siap atau tidak.”
Raka mengangguk pada Nayla, memberi isyarat agar mereka bergerak cepat. Nayla langsung mengarahkan senjatanya ke Arman, sementara Raka bergegas menuju meja besar di sudut ruangan, tempat berbagai dokumen penting yang selama ini mereka cari.
Arman meraih ponselnya dengan cepat dan mulai mengetik sesuatu, mungkin untuk memanggil bantuan. Namun, sebelum ia sempat mengirim pesan, Raka sudah berada di hadapannya, merebut ponsel itu dari tangannya. “Tidak akan ada yang datang, Arman. Ini sudah berakhir untukmu.”
Dengan gerakan cepat, Raka melempar ponsel itu ke lantai dan menginjaknya, menghancurkannya hingga tak bisa digunakan lagi. Arman terlihat marah, tetapi ia tahu bahwa ia tidak punya banyak pilihan. Dalam sekejap, ia sudah terpojok, tanpa senjata atau sekutu yang bisa membantu.
“Kau tidak bisa menghentikan aku, Raka,” Arman berkata dengan suara serak. “Aku masih punya banyak pengaruh di luar sana. Keluargamu, teman-temanmu, mereka masih bisa menjadi targetku.”
Raka tersenyum tipis, meski ada amarah yang menggelegak di dalam dirinya. “Tidak ada yang bisa kau lakukan lagi, Arman. Semua orang yang kau sakiti akan tahu siapa dirimu. Mereka akan tahu siapa yang harus mereka lawan.”
Nayla mendekat, berdiri di samping Raka, matanya masih tajam mengarah ke Arman. “Kau sudah terjebak dalam kebohonganmu sendiri. Ini adalah akhir dari karirmu yang penuh dengan kekerasan dan manipulasi.”
Arman mencoba tersenyum, meskipun bibirnya bergetar. “Kalian masih tidak mengerti. Ini bukan akhir untukku. Ini baru permulaan.”
Namun, kata-kata itu tidak lebih dari desisan yang sia-sia. Raka dan Nayla sudah mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Semua bukti yang ada di meja, semua dokumen yang berisi kejahatan Arman selama ini, sudah mereka amankan. Tidak ada lagi jalan keluar untuk pria itu.
“Semua ini akan segera terungkap,” kata Nayla, matanya tetap fokus pada Arman. “Tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi.”
Raka menatap Arman dengan penuh keyakinan. “Kau akan dibawa ke pengadilan, Arman. Kau akan membayar untuk semua yang telah kau lakukan.”
Di luar ruangan, suara sirene mulai terdengar, tanda bahwa pihak berwenang sudah datang. Mereka tidak memerlukan bantuan Arman atau orang-orang di sekitarnya. Ini adalah akhir dari segalanya.
Sebelum Arman sempat mengatakan sesuatu lagi, pintu ruangan terbuka lebar, dan polisi masuk. Mereka segera mengamankan Arman dan para pengawalnya, menggeledah ruangan dan mengambil semua bukti yang ada.
Raka dan Nayla hanya mengamati dengan tenang, merasa lega karena semuanya akhirnya selesai. Mereka sudah melalui banyak hal, berhadapan dengan ancaman dan bahaya, dan sekarang, keadilan akhirnya akan terwujud.
Ketika Arman dibawa pergi, Raka menatapnya dengan dingin. “Kau bisa melawan selama ini, tapi akhirnya, hukum akan tetap menang.”
Nayla menatap Raka, lalu berjalan mendekatinya. “Kita sudah sampai di sini, kan?”
Raka mengangguk pelan. “Ya. Tapi ini baru permulaan bagi kita. Keadilan memang lambat, tapi akhirnya akan datang.”
Mereka berdua saling berpandangan, menyadari bahwa perjalanan mereka masih panjang. Meski begitu, mereka tidak lagi berada dalam bayang-bayang ketakutan dan dendam. Kini, mereka bisa melangkah ke depan, meraih harapan baru, dan memperjuangkan hidup yang lebih baik.
Dan dengan itu, babak baru dimulai—bukan hanya bagi mereka, tetapi juga bagi dunia yang telah lama terperangkap dalam ketidakadilan.*
———the and———