Daftar Isi
BAB 1 Awal yang Indah
Samara menatap langit senja dengan mata yang lembut, mencium aroma laut yang jauh dari keramaian kota. Angin sepoi-sepoi mengusap wajahnya, membawa kenangan yang begitu dekat, namun terasa begitu jauh. Hari itu adalah salah satu hari terbaik dalam hidupnya, meskipun ia tidak tahu bahwa kebahagiaan itu akan berakhir begitu cepat.
Damar, pria yang kini berdiri di sampingnya, adalah bagian dari setiap mimpi dan harapan yang telah dibangun bersama. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di pinggir pantai yang terletak di luar kota, tempat yang jauh dari hiruk-pikuk dunia. Awalnya, itu hanya kebetulan; namun, kebetulan itu justru menjadi awal dari kisah yang begitu indah, sebuah cerita yang penuh dengan tawa, cinta, dan janji-janji manis tentang masa depan.
Samara mengenang bagaimana mereka pertama kali berbicara, bagaimana Damar dengan mudahnya mengajaknya berbicara tanpa rasa canggung, seperti dua orang yang sudah lama saling mengenal. Suasana di kafe itu begitu nyaman, dengan cahaya lembut yang menyinari wajah mereka, menciptakan kesan bahwa dunia hanya milik mereka berdua. Percakapan ringan tentang musik, buku, dan impian-impian yang mereka miliki perlahan berkembang menjadi diskusi yang lebih dalam. Mereka berbicara tentang segala hal yang mereka sukai, dan seiring berjalannya waktu, perasaan yang tidak bisa disangkal mulai tumbuh.
Damar adalah sosok yang menenangkan, selalu ada ketika Samara membutuhkan seseorang untuk berbicara, untuk berbagi cerita. Setiap kali Samara merasa lelah dengan dunia luar, Damar menjadi tempat pelariannya. Senyumannya yang hangat, caranya mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya, membuat Samara merasa dihargai, merasa penting. Mereka berbicara tentang masa depan, tentang tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi, dan tentang keluarga yang ingin mereka bangun bersama. Setiap detik yang mereka lewati bersama terasa seperti melodi yang mengalun indah, membawa mereka lebih dekat dengan impian yang mereka rangkai.
Namun, meskipun hubungan itu terasa begitu sempurna, Samara tahu bahwa setiap hubungan pasti menghadapi tantangan. Dia menyadari bahwa tidak ada yang benar-benar sempurna. Namun, saat itu, dengan Damar di sampingnya, dia merasa seolah semua hal buruk yang pernah terjadi dalam hidupnya bisa terlupakan. Damar adalah seseorang yang membuatnya percaya bahwa cinta itu nyata, bahwa cinta bisa menyembuhkan luka, bahwa cinta adalah alasan untuk bertahan.
Hari itu, saat mereka berjalan menyusuri pantai, Damar menggenggam tangannya erat. “Aku ingin kamu tahu, Samara,” katanya dengan suara lembut, “Aku berjanji akan selalu ada untukmu. Tidak peduli apa yang terjadi, kita akan melewati semuanya bersama.”
Samara menatapnya, merasakan kehangatan dari sentuhan tangannya. Ia tersenyum, merasa tenang dan damai. “Aku juga, Damar. Aku akan selalu ada untukmu, tak peduli apapun yang datang.”
Mereka berdua duduk di pasir, memandang matahari yang mulai tenggelam di balik cakrawala. Samara bisa merasakan kedamaian yang menyelimuti dirinya. Seolah dunia berhenti berputar, dan mereka berdua hanyalah dua jiwa yang saling mencari satu sama lain. Senja itu begitu indah, begitu sempurna, seakan mengabadikan momen mereka dalam sebuah lukisan.
Setelah beberapa lama duduk bersama, Damar berdiri dan mengulurkan tangan kepada Samara. “Ayo, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu,” ujarnya. Samara memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu, lalu mengulurkan tangannya dan berdiri, mengikuti langkah Damar yang penuh percaya diri.
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang berkelok-kelok, menuju sebuah tempat yang belum pernah Samara lihat sebelumnya. Di ujung jalan itu, sebuah pemandangan yang menakjubkan terbentang. Sebuah tebing kecil yang menghadap langsung ke lautan, dengan matahari terbenam yang memancarkan warna oranye keemasan. Samara terdiam, terpesona oleh keindahan alam yang ada di hadapannya.
“Ini tempat favoritku,” kata Damar, menatap Samara dengan penuh arti. “Aku ingin berbagi ini denganmu, karena aku merasa kamu adalah bagian dari hidupku yang paling berharga.”
Samara menatapnya, mata mereka saling bertaut. Pada saat itu, semua kata-kata yang ingin diucapkannya terasa tidak cukup. Dia hanya bisa tersenyum, merasakan hati yang penuh dengan rasa cinta dan kebahagiaan yang tulus.
Damar meraih tangan Samara, menggenggamnya erat. “Aku ingin kita selalu bersama, Samara. Aku ingin kita menjalani hidup ini bersama-sama, menghadapi setiap tantangan, dan menikmati setiap kebahagiaan yang datang.”
Samara menatapnya, merasakan kehangatan yang begitu nyata dalam sentuhan itu. “Aku juga, Damar. Aku ingin kita melangkah bersama, meraih impian kita bersama.”
Senja itu, semuanya terasa sempurna. Waktu seolah berhenti, dan Samara merasa bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya telah mengarah ke saat ini. Semua kenangan buruk, semua kegagalan, terasa terlupakan. Yang ada hanya dia dan Damar, dua hati yang saling menyatu dalam cinta yang tulus.
Namun, tanpa Samara sadari, di balik kebahagiaan yang dirasakannya, ada bayangan gelap yang perlahan mulai menyusup ke dalam hidup mereka. Tanpa dia tahu, kebahagiaan itu akan segera diuji oleh kenyataan yang tak terduga, sebuah pengkhianatan yang akan menghancurkan segalanya.
Tetapi untuk saat ini, saat itu, Samara hanya ingin menikmati kebahagiaannya bersama Damar. Karena saat itu, dunia terasa begitu indah, dan cinta mereka adalah segalanya.*
BAB 2 Sebuah Pengkhianatan
Samara menatap layar ponselnya dengan perasaan yang semakin terperangkap di antara kebingungan dan ketidakpercayaan. Pesan yang baru saja masuk itu seakan memecah dunianya menjadi serpihan-serpihan yang tak mungkin ia satukan lagi. Di balik kata-kata yang tersusun rapi dalam pesan tersebut, ada sebuah kebenaran yang begitu menghancurkan. Selama ini, dia percaya bahwa hubungan yang dibangunnya dengan Damar adalah segalanya. Tetapi sekarang, dengan setiap detik yang berlalu, ia merasa seperti telah dibohongi.
Pesan itu datang dari sahabat terdekatnya, Maya, yang tidak pernah ragu untuk memberitahukan hal-hal penting padanya. Namun, kali ini, pesan itu bukanlah tentang kebahagiaan atau sesuatu yang menyenangkan. Maya mengirimkan sebuah foto yang menggambarkan Damar sedang berpelukan mesra dengan seorang wanita lain di sebuah restoran mewah—di tempat yang seharusnya menjadi tempat istimewa bagi Samara dan Damar, tempat mereka pernah merayakan banyak momen bersama.
Samara merasa darahnya berdenyut dengan keras, seolah seluruh tubuhnya dipenuhi oleh api yang membakar dari dalam. Air matanya hampir tumpah, tetapi entah mengapa ia tidak bisa menangis. Hatinya terasa beku. Ia mengecek sekali lagi pesan itu, memastikan bahwa tidak ada kesalahan, tetapi kenyataan yang terungkap di depan matanya begitu jelas dan nyata. Damar, pria yang pernah ia percayai sepenuhnya, telah mengkhianatinya.
Sampai saat itu, Samara selalu merasa bahwa hubungan mereka adalah hal yang sempurna. Damar adalah pria yang perhatian, penyayang, dan selalu ada untuknya. Mereka berbagi impian yang sama, saling mendukung satu sama lain, dan tampaknya tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Setiap momen bersama Damar terasa seperti cerita cinta yang tak akan pernah berakhir. Namun kenyataan berkata lain.
Tidak lama setelah menerima pesan itu, Samara langsung menelepon Damar. Suaranya terdengar bergetar, namun ia berusaha menahan emosinya. “Damar, apa ini?” tanyanya, berusaha terdengar tenang meskipun perasaan di dalam dirinya sudah ambruk.
Di ujung telepon, suara Damar terdengar terkejut dan cemas. “Samara, kamu… kamu melihatnya?” jawabnya, suara serak, seperti sedang mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Ini bukan seperti yang kamu pikirkan, Samara. Ada penjelasan untuk ini.”
Samara merasa ada sesuatu yang menjalar di dalam hatinya, membuatnya semakin sulit bernapas. “Penjelasan? Penjelasan apa yang bisa membuatku mengerti kenapa kamu bisa bersikap seperti ini? Apa kamu sudah bosan denganku, Damar? Apa aku hanya sekadar pilihan terakhir untukmu?”
Damar terdiam sejenak, suara desahnya terdengar berat. “Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakiti kamu, Samara. Aku sangat mencintaimu, tapi ini… Ini adalah kesalahan terbesar dalam hidupku.”
Namun kata-kata itu seolah tidak bisa meredakan amarah yang membakar dalam diri Samara. “Kesalahan? Damar, kamu berselingkuh! Ini bukan kesalahan, ini pengkhianatan!” serunya, hampir berteriak. “Bagaimana bisa kamu melakukan ini padaku? Aku selalu mempercayaimu, selalu ada untukmu, dan inilah balasannya? Pengkhianatan yang tak terampuni?”
Damar terdiam kembali, dan Samara bisa merasakan betapa berat bagi pria itu untuk mengatakan apa pun. “Aku minta maaf, Samara. Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu bagaimana bisa sampai ke titik ini. Aku sudah mencoba mengakhiri hubungan itu, tapi semuanya jadi semakin rumit. Aku akan bercerita padamu, tapi tolong, jangan ambil keputusan tergesa-gesa.”
Samara menutup matanya, merasakan dunia di sekitarnya berputar. Ia tidak ingin mendengar lebih banyak kata-kata dari Damar, tidak ingin mendengarnya mencari alasan yang takkan pernah cukup untuk menenangkan hatinya yang terluka. Ia mengakhiri telepon itu dengan sekali tarik napas panjang, meletakkan ponselnya di atas meja, dan membiarkan tubuhnya terjatuh ke kursi. Rasa sakit itu semakin dalam, tak terlukiskan. Ia merasa terjebak dalam lingkaran kebingungannya sendiri.
Selama beberapa jam, Samara hanya diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia mencoba mencari cara untuk memahaminya, untuk melihat apakah masih ada penjelasan yang bisa diterima. Tapi tidak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa Damar telah menduakannya. Tidak ada alasan yang bisa menghapus rasa sakit dan kebencian yang tumbuh dalam dirinya. Rasa percaya yang selama ini ia rawat dengan penuh perhatian seakan-akan hancur dalam sekejap.
Malam itu, saat seharusnya ia beristirahat, Samara malah terjaga. Ia berbalik ke foto-foto lama yang pernah mereka ambil bersama, memandang setiap senyuman yang dulunya begitu berarti. Kini, senyum itu terasa palsu. Apa yang terjadi dengan cinta mereka? Bagaimana bisa Damar, yang selama ini ia anggap sebagai belahan jiwanya, bisa menjadi orang yang menghancurkan hatinya?
Keesokan harinya, Samara menghubungi Maya lagi, kali ini dengan suara yang lebih tegas. “Terima kasih sudah memberitahuku. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang,” katanya, suaranya serak dan penuh kesedihan.
Maya hanya bisa memberi kata-kata penghiburan. “Aku tahu ini berat, Samara. Tapi kamu harus kuat. Jangan biarkan pengkhianatan itu mengendalikan hidupmu.”
Samara mengangguk, meskipun tidak ada janji bahwa dia bisa melewati ini. Dendam mulai tumbuh di dalam dirinya, dan meskipun hatinya penuh luka, dia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Pengkhianatan itu mungkin akan menjadi titik balik dalam hidupnya—satu hal yang tidak akan pernah bisa dia lupakan.
Kini, satu-satunya yang bisa Samara lakukan adalah merencanakan langkah berikutnya. Dan meskipun hatinya hancur, ia tahu bahwa perjalanan untuk membalas dendam baru saja dimulai.*
BAB 3 Luka yang Menghujam
Setiap langkah yang diambil Samara terasa berat, seolah ada sesuatu yang mengikat hatinya dan membatasi kebebasannya. Keputusan untuk melanjutkan hidup setelah pengkhianatan yang dilakukan Damar tidak semudah yang dia bayangkan. Luka yang ditinggalkan oleh pria yang dulu begitu ia percayai, kini membekas dengan sangat dalam, menghujam jauh ke dalam dirinya. Ia bisa merasakannya setiap kali terbangun dari tidur yang gelisah, setiap kali berusaha mengisi hari-hari dengan rutinitas yang dulu ia nikmati.
Hari-hari tanpa Damar terasa seperti kehidupan yang hilang arah, bahkan sekadar menjalani aktivitas sehari-hari menjadi sebuah perjuangan. Namun, rasa sakit yang mendera Samara bukan hanya karena kehilangan cinta, tetapi karena pengkhianatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Damar yang begitu ia cintai, yang dulu ia anggap sebagai separuh jiwanya, ternyata mampu menyakitinya dengan cara yang begitu mendalam.
Samara mulai mempertanyakan segalanya: kenapa dia begitu mudah dikhianati, dan kenapa Damar yang pernah begitu tulus menyayanginya bisa berubah menjadi sosok yang begitu asing? Setiap detik yang berlalu seperti menghujamkan jarum ke dalam hati Samara, semakin dalam, semakin membuatnya merasa sesak. Ketika dia mengenang setiap momen bersama Damar, setiap tawa, setiap sentuhan, semua itu terasa seperti kebohongan yang dibangun di atas janji-janji kosong. Cinta yang pernah tumbuh subur kini hanyalah puing-puing yang hancur, dan Samara merasa tak mampu mengembalikannya.
Waktu tidak pernah bisa menghapus perasaan sakit itu. Beberapa minggu setelah perpisahan mereka, Samara memutuskan untuk tinggal di sebuah kota yang jauh, berharap dengan menjauh, rasa sakit ini akan mereda. Tetapi kenyataannya, tak ada tempat di dunia ini yang bisa menghindarkannya dari bayang-bayang Damar. Setiap sudut kota baru ini terasa kosong dan sunyi. Teman-teman yang mencoba menghiburnya tidak mampu mengisi kekosongan yang ada dalam hatinya. Samara merasa terasing, terperangkap dalam dunia yang terasa begitu asing dan hampa.
Di malam-malam yang sunyi, Samara sering kali terjaga, merenungkan segalanya. Mengapa dia begitu bodoh untuk tidak melihat tanda-tanda pengkhianatan itu? Mengapa ia tidak bisa melihat bahwa Damar sebenarnya sudah tidak mencintainya lagi? Ada begitu banyak pertanyaan yang tidak memiliki jawaban yang memadai. Kenyataan bahwa hubungan mereka yang penuh dengan kebahagiaan itu berakhir dengan cara yang begitu tragis membuat hatinya semakin rapuh.
Suatu malam, saat dia berjalan sendirian di trotoar yang gelap, kenangan tentang Damar datang menghampirinya. Suara tawa mereka yang dulu begitu akrab, kata-kata manis yang selalu diucapkannya, semuanya kembali menghantui. Setiap detik dalam hidupnya seolah menjadi peringatan tentang betapa naifnya dia dulu, percaya pada seseorang yang ternyata tak benar-benar menginginkannya. Rasa sakit yang begitu nyata datang lagi, menghujam ke dalam dirinya.
Namun, meskipun perasaan sakit itu begitu kuat, Samara tahu bahwa dia harus mencoba untuk bangkit. Dia tidak bisa terpuruk selamanya. Setiap kali pikirannya dipenuhi dengan bayangan Damar, dia berusaha keras untuk mengalihkan perhatiannya. Tetapi, usaha itu tidak mudah. Bagaimana bisa melupakan seseorang yang pernah begitu penting dalam hidupnya? Bagaimana bisa melepaskan kenangan indah yang dulu mereka bagi? Setiap kali mencoba untuk move on, wajah Damar selalu muncul, seolah menuntut penjelasan.
Rasa marah mulai tumbuh dalam diri Samara. Dia marah pada dirinya sendiri karena telah begitu naif, marah pada Damar karena telah menghancurkan segalanya. Rasa dendam itu mulai tumbuh di dalam hatinya, seiring dengan perasaan terluka yang semakin dalam. Samara tidak ingin menangis lagi. Dia ingin menunjukkan pada dirinya sendiri bahwa dia lebih kuat dari ini. Namun, meskipun berusaha sekuat tenaga untuk menahan perasaan itu, terkadang air mata tetap saja jatuh, tak bisa dibendung.
Setiap kali merasa hampir menyerah, Samara teringat pada orang-orang di sekitarnya—keluarga dan teman-teman yang selalu mendukungnya. Mereka tidak pernah meninggalkannya, dan itulah yang membuatnya merasa sedikit lebih baik. Meski rasa sakit dan dendam itu masih menghantui, dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Ada orang-orang yang peduli padanya, yang ingin melihatnya bahagia lagi.
Namun, meskipun ada dukungan dari orang-orang terdekat, Samara masih merasa terperangkap dalam perasaan yang begitu mengikat dirinya. Rasa luka itu tidak bisa sembuh hanya dengan waktu atau dukungan orang lain. Ini adalah luka yang hanya bisa disembuhkan oleh dirinya sendiri. Tetapi, di balik luka yang menghujam itu, Samara mulai belajar satu hal: pengkhianatan ini tidak akan menentukan siapa dia. Pengkhianatan ini tidak akan menjadi akhir dari hidupnya, meskipun perasaan sakit itu kadang-kadang membuatnya merasa seperti terjatuh ke dalam lubang yang dalam.
Samara tahu bahwa suatu hari nanti, dia akan menemukan jalan keluar dari kegelapan ini. Suatu hari nanti, dia akan bisa melepaskan dendam dan memaafkan, bahkan jika itu tidak mudah. Tetapi untuk saat ini, dia harus terus berjuang untuk sembuh, meskipun setiap langkah terasa seperti menyakiti dirinya sendiri. Karena satu hal yang Samara pelajari dari luka ini adalah bahwa dia tidak akan membiarkan pengkhianatan itu menguasai hidupnya selamanya. Dia akan menemukan kekuatan untuk bangkit, meskipun itu membutuhkan waktu yang lama.
Dan meskipun hatinya masih terluka, Samara akhirnya sadar—dia masih bisa menyembuhkan dirinya sendiri.*
BAB 4 Perjalanan Kembali
Samara duduk di bangku pesawat yang terbang rendah di atas kota asalnya. Hatinya bergemuruh, berbaur antara rasa rindu dan cemas. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali dia melangkahkan kaki di tanah ini. Kota yang pernah menjadi saksi kebahagiaan dan kehancuran cintanya. Di sinilah, di jalanan yang penuh kenangan, dia pertama kali bertemu Damar. Di sinilah cinta mereka tumbuh, lalu meredup menjadi luka yang tak kunjung sembuh.
Sesaat, Samara menatap keluar jendela pesawat, menyaksikan awan yang bergerak cepat, seolah menggambarkan bagaimana kehidupannya berlari tanpa henti. Rasanya, waktu telah berlalu begitu lama. Dia sudah mencoba untuk melupakan semuanya—Damar, cinta, dan rasa sakit yang tak tertahankan. Namun, entah mengapa, perasaan itu kembali muncul setiap kali dia memikirkan kota ini. Kota yang kini terasa asing baginya, meskipun segala yang ada di sini mengingatkan pada masa lalu yang kelam.
Pesawat akhirnya mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Kota A, dan Samara menarik napas dalam-dalam. Setelah keluar dari pesawat, langkahnya terasa berat. Seolah setiap langkah yang diambilnya mengingatkan pada masa-masa ketika cinta mereka masih hangat, namun juga pada saat di mana pengkhianatan Damar menghancurkan segalanya.
Pemandangan kota yang kini tampak sibuk dan modern tak mengurangi rasa kosong dalam hatinya. Di sinilah dia dulu tumbuh bersama Damar, berbagi mimpi dan harapan. Namun, kenangan itu kini berbalut dengan kepahitan. Samara tidak tahu apa yang harus dia lakukan di sini. Apakah dia datang untuk mencari kedamaian, atau hanya untuk menyusuri jejak-jejak lama yang akan semakin menyakitkan?
Dia berjalan keluar dari bandara dan memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe kecil di pusat kota, tempat yang dulu menjadi tempat favorit mereka berdua. Suasana di sana masih sama, meski sedikit berubah. Banyak yang datang dan pergi, namun bagi Samara, kafe ini tetap memiliki atmosfer yang penuh kenangan. Dia duduk di meja yang dulu sering mereka duduki bersama, di dekat jendela besar yang menghadap ke taman.
Secangkir kopi hangat diletakkan di depannya, dan dia mengatur napasnya. Dalam keheningan itu, dia tak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan Damar. Sudah lama mereka tak berkomunikasi. Bahkan, setelah perpisahan yang penuh air mata itu, Samara memilih untuk menghindari segala bentuk kontak. Dia merasa terluka terlalu dalam untuk bisa berdamai dengan masa lalu. Namun, kini, dalam keheningan ini, dia merasa ada sesuatu yang memanggilnya untuk kembali.
“Tidak ada yang bisa dihindari, Samara,” bisik hatinya. “Kamu harus bertemu dengannya.”
Tiba-tiba, suara yang dikenalnya menyapa dari belakangnya. Suara itu tidak asing—Damar. Samara menoleh, dan jantungnya terasa berhenti sejenak. Damar berdiri di sana, di ambang pintu kafe, dengan wajah yang tampak lebih matang dan serius. Dia mengenakan jas hitam yang sederhana, tetapi ekspresinya penuh dengan penyesalan.
Damar tampak terkejut melihat Samara, begitu juga dengan Samara yang merasa seperti ditarik kembali ke masa lalu. Ada perasaan yang sulit dijelaskan—cinta, dendam, dan keinginan untuk tahu mengapa semuanya berakhir seperti ini. Damar perlahan mendekat dan duduk di seberang Samara tanpa berbicara lebih dulu. Mereka hanya saling menatap, seolah waktu kembali mundur ke beberapa tahun yang lalu.
“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” kata Damar akhirnya, suaranya terdengar rendah dan penuh penyesalan. “Samara, aku tahu aku tidak pantas ada di sini, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku menyesal. Semua yang terjadi—semua kesalahan yang aku buat—aku sangat menyesal.”
Samara terdiam, mencoba menenangkan dirinya. Rasa sakit itu kembali muncul, lebih tajam daripada yang dia duga. Bagaimana bisa dia menerima penyesalan yang terlambat ini? Bagaimana bisa dia memaafkan pengkhianatan yang telah menghancurkan hidupnya?
“Apa yang membuatmu berpikir aku akan mendengarkan kata-kata seperti itu, Damar?” tanya Samara, suaranya sedikit bergetar. “Kamu sudah menghancurkan semua yang pernah kita bangun. Semua yang kita impikan bersama. Sekarang kamu datang dan meminta maaf?”
Damar menundukkan kepala, seolah mencoba menanggung seluruh beban kesalahan yang telah dia buat. “Aku tahu aku tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi,” kata Damar pelan. “Tapi, aku datang untuk meminta kesempatan. Kesempatan untuk menjelaskan, untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik.”
Samara merasa amarah dan kebingungan membakar hatinya. Namun, ada sesuatu dalam diri Damar yang berbeda. Ada kejujuran yang terpancar dari matanya, meskipun ia tak bisa menghapus luka yang telah dia buat. Samara tahu dia harus membuat keputusan. Haruskah dia terus hidup dengan rasa sakit ini, atau memberikan Damar kesempatan untuk menjelaskan?
“Jangan berharap semuanya bisa kembali seperti dulu,” kata Samara dengan suara yang tegas namun ada keheningan di dalamnya. “Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu. Tapi, aku di sini sekarang, dan kita harus bicara. Aku ingin tahu alasanmu, Damar. Kenapa semuanya bisa terjadi?”
Damar mengangguk, lalu dia mulai bercerita tentang segala yang terjadi setelah mereka berpisah. Pengkhianatan itu bukan karena dia tidak mencintai Samara, tapi lebih pada kelemahan dirinya sendiri, yang dia sebut sebagai kesalahan fatal. Samara mendengarkan setiap kata dengan hati yang penuh campuran perasaan—antara ingin percaya dan merasa dihianati lagi.
Perjalanan kembali ini, meski penuh dengan luka dan rasa sakit, membuka kembali jalan bagi mereka untuk berbicara. Samara tahu, pertemuan ini bukanlah akhir, namun awal dari perjalanan baru. Namun, perjalanan apa yang akan mereka ambil, hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Dengan hati yang terpecah, Samara menyadari satu hal: tidak ada yang bisa kembali seperti semula. Tetapi, mungkin, justru dengan pertemuan ini, mereka bisa menemukan jalan untuk sembuh—entah bersama atau terpisah.
Perjalanan kembali ke kota ini bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan hati yang penuh dengan pertanyaan dan harapan. Samara tahu, apapun yang terjadi, dia harus menemukan cara untuk berdamai dengan masa lalunya, meskipun itu berarti berhadapan dengan orang yang telah mengukir luka dalam hidupnya.*
BAB 5 Dendam yang Membara
Waktu terasa begitu lambat bagi Samara. Setiap detik yang berlalu hanya semakin menguatkan luka yang telah tercipta dalam hatinya. Pengkhianatan Damar yang dulu sangat dia percayai kini menjadi bayangan gelap yang selalu menghantuinya. Meski berusaha keras untuk mengabaikan perasaan itu, dendam terus membara di dalam dirinya, semakin lama semakin tak tertahankan.
Di setiap sudut rumahnya, Samara selalu mengingat kenangan tentang Damar. Senyumannya, cara dia memanggil namanya, bahkan suara tawa kecil yang selalu mampu membuatnya merasa aman. Semua itu kini terasa seperti racun yang perlahan menggerogoti dirinya. Betapa bodohnya dia dulu, memberi begitu banyak kepercayaan pada pria yang sekarang sudah pergi, meninggalkannya dengan luka yang tak akan sembuh.
Samara duduk di meja makan, menatap secangkir kopi yang sudah dingin. Keheningan itu begitu menyesakkan, setiap kali pikirannya kembali pada Damar. Ketika pertama kali mengetahui pengkhianatan itu, dia tak bisa percaya. Hatinya terasa hancur, dan dunia seolah runtuh di hadapannya. Kini, meskipun dia berusaha untuk melupakan, bayangannya selalu muncul di setiap langkah hidupnya.
Dia tahu, apa yang harus dilakukan. Balas dendam. Itu satu-satunya cara untuk menghukum Damar atas apa yang telah dia lakukan padanya. Selama ini, Samara telah menahan diri, mencoba untuk tetap tenang, namun rasa sakit yang begitu dalam tidak bisa dipadamkan hanya dengan air mata. Rasa sakit itu harus terbalaskan.
Hari itu, Samara bertekad untuk bertemu dengan Damar. Dia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan mudah, karena Damar akan berusaha menghindar. Namun, dia sudah siap. Samara tidak akan membiarkan dirinya terjatuh ke dalam perangkap perasaan lagi. Dia harus menunjukkan pada Damar bahwa dia tidak bisa begitu saja meninggalkannya, tanpa konsekuensi.
Samara menatap dirinya di cermin. Ia mengenakan gaun hitam elegan yang tampak anggun, namun penuh misteri. Setiap detail penampilannya diperhatikan dengan seksama. Dia ingin terlihat sempurna—terlihat kuat, penuh kendali, dan tak tergoyahkan. Tidak ada ruang untuk kelemahan. Tidak ada tempat bagi penyesalan.
Setelah keluar dari rumah, Samara mengemudi dengan kecepatan tinggi, menuju restoran yang sering dia kunjungi bersama Damar. Tempat yang dulunya penuh dengan tawa dan canda mereka, kini terasa asing dan menyakitkan. Ketika mobilnya berhenti di depan pintu restoran, dia melihat Damar sedang duduk di meja yang pernah mereka duduki bersama. Senyum samarnya menyapa saat melihat Samara, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Damar tahu bahwa sesuatu yang tak biasa sedang terjadi.
“Samara,” ucap Damar dengan suara berat. “Kau datang.”
Samara menatapnya dengan mata yang penuh perasaan campur aduk. Hatinya berdegup kencang, namun kali ini bukan karena cinta. Itu adalah rasa marah yang membara. “Aku datang untuk berbicara,” jawabnya, suaranya tegas, tanpa rasa ragu. “Dan untuk memberi pelajaran.”
Damar mengernyit, sedikit terkejut. “Pelajaran apa?”
Samara menarik kursi dan duduk, tidak membuang waktu lagi. “Apa yang kamu lakukan padaku, Damar, adalah sebuah penghinaan besar. Aku memberi hatiku padamu, dan kau begitu mudahnya menghancurkannya. Tapi aku tidak akan membiarkan diriku hancur begitu saja. Aku akan membuatmu merasakannya.”
Damar terdiam. Wajahnya berubah serius, tidak lagi tersenyum. “Samara, aku tahu aku salah. Aku menyesal. Aku—”
“Menyesal?” potong Samara tajam. “Tidak ada kata penyesalan yang bisa mengembalikan waktu. Tidak ada kata maaf yang bisa menghapus semua yang telah kamu lakukan. Aku sudah cukup lama menjadi orang yang lemah, yang selalu berharap padamu, tapi aku akan berhenti. Aku tidak butuh lagi pengampunan darimu. Ini tentang bagaimana aku bisa mengembalikan keseimbanganku.”
Samara melanjutkan dengan suara rendah, namun penuh kekuatan. “Aku tidak akan lagi menjadi perempuan yang kau bisa tinggalin begitu saja. Aku akan membuatmu tahu apa rasanya ditinggalkan oleh seseorang yang kamu cintai. Hanya dengan cara ini, aku akan bisa melupakanmu.”
Damar tampaknya kebingungan, tidak tahu bagaimana merespon. Ada kekhawatiran yang jelas terpancar di matanya. “Samara, kau benar-benar ingin membalas dendam? Aku tidak ingin membuatmu lebih terluka lagi, aku—”
“Luka sudah ada, Damar!” serunya, suaranya hampir bergetar. “Luka itu tidak bisa hilang hanya dengan kata-kata. Tidak ada yang bisa memperbaiki semuanya. Tapi aku akan belajar bagaimana membuat diriku lebih kuat. Aku tidak lagi membutuhkanmu untuk menjadi diriku yang utuh.”
Damar mencoba meraih tangan Samara, namun dia menghindar dengan cepat. Matanya menatap tajam. “Jangan sentuh aku,” katanya pelan namun penuh penekanan. “Ini sudah cukup. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan.”
Samara bangkit dari kursinya, berjalan menuju pintu dengan langkah tegap. Setiap langkah terasa berat, tetapi dia tahu ini adalah langkah yang harus diambil. Mengakhiri semuanya. Meninggalkan Damar di masa lalu dan melangkah maju, meskipun dengan luka yang belum sepenuhnya sembuh. Tapi dendam itu kini bukan lagi untuk Damar—itu adalah untuk dirinya sendiri.
Ketika dia melangkah keluar, udara malam terasa lebih segar. Samara tahu dia sudah melakukan hal yang benar. Perasaannya memang kacau, tetapi satu hal yang pasti—dendam ini bukan hanya untuk menyakiti Damar. Itu adalah cara Samara untuk membebaskan dirinya dari ikatan masa lalu yang kelam.
Dendam yang membara kini telah mereda. Namun, luka itu tetap ada, menunggu waktu untuk sembuh.*
BAB 6 Cinta yang Terkubur
Keheningan kota yang dulu menjadi saksi bisu perjalanan cinta Samara dan Damar kini terasa menyesakkan. Setiap sudut, setiap jalan yang mereka lewati bersama, menjadi kenangan yang menyakitkan. Samara berjalan perlahan di trotoar, matanya kosong, terfokus pada langkahnya sendiri. Ia tahu, di depan sana, di salah satu sudut kafe yang biasa mereka kunjungi, Damar menunggunya. Namun, hatinya masih penuh amarah, penuh luka yang tidak kunjung sembuh.
Damar sudah menunggunya sejak beberapa menit lalu, matanya terfokus pada Samara yang datang, namun ia bisa merasakan betapa beban rasa sakit dan dendam itu menghalangi setiap langkah perempuan yang dulu begitu ia cintai. Samara berhenti beberapa langkah sebelum sampai ke meja yang telah disiapkan Damar. Tak ada senyum di wajahnya, hanya pandangan tajam yang penuh kebekuan. Damar menghela napas, mencoba menguatkan diri.
“Aku tahu, Samara,” katanya perlahan, suaranya penuh penyesalan. “Aku tahu aku tak bisa mengubah masa lalu kita. Aku tahu aku salah, dan aku sangat menyesal. Aku datang ke sini hanya untuk satu hal… memohon maaf.”
Samara mengangkat alis, suara Damar yang penuh penyesalan itu tidak cukup untuk menghapus rasa sakit yang ada di hatinya. “Maaf?” jawabnya dengan nada sinis. “Kau pikir dengan maaf semuanya akan selesai? Aku terluka, Damar. Kau hancurkan aku dengan pengkhianatanmu.”
Damar menunduk, merasa setiap kata Samara menyayat jantungnya. Ia tahu bahwa dirinya telah menyakiti perempuan yang dulu begitu ia cintai dengan cara yang tak bisa dimaafkan begitu saja. “Aku tahu… Aku tahu, Samara. Aku tak akan memintamu untuk melupakan semua itu. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu, dan aku ingin memperbaiki semuanya.”
Samara merasakan dadanya sesak. Kata-kata Damar seperti pisau tajam yang mengiris luka-luka lama yang belum sembuh. “Cinta?” bisiknya, meskipun hatinya tidak yakin apakah itu adalah kata yang tepat lagi untuk menggambarkan perasaan mereka. “Kau tidak bisa begitu saja mengucapkan kata itu setelah apa yang telah kau lakukan. Kau merusak kepercayaan yang aku beri padamu, Damar.”
Damar menatapnya dengan tatapan penuh penyesalan. “Aku tahu, Samara. Aku tahu aku telah merusaknya. Tapi, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan berusaha menebus semua kesalahan ini. Aku tidak ingin kehilanganmu, tidak lagi.”
Namun, bagi Samara, kata-kata itu terdengar kosong. Ia memejamkan matanya, berusaha mengendalikan emosinya yang mulai membuncah. Perasaan yang sudah terkubur dalam-dalam, perasaan cinta yang dulu ia miliki untuk Damar, kini terasa begitu berat untuk dipertahankan. Terlalu banyak air mata yang telah jatuh, terlalu banyak malam yang ia habiskan dengan perasaan terluka dan dikhianati.
“Damar,” suara Samara terdengar lemah, namun tajam, “Cinta itu seharusnya membuatmu merasa aman, bukan hancur berkeping-keping seperti ini. Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku rasakan. Kau sudah mengubah segalanya.” Samara menatap Damar, matanya berkaca-kaca, tetapi ia berusaha keras untuk tidak menangis. “Aku sudah berusaha untuk melupakanmu, untuk melepaskanmu. Tapi kenapa kau datang lagi dan membuka luka ini?”
Damar mendekat sedikit, namun tetap menjaga jarak. “Samara, aku tidak bisa hanya pergi begitu saja. Aku tahu aku tidak berhak meminta banyak, tapi jika ada sedikit kesempatan, aku ingin kita bisa mulai dari awal. Tanpa rasa sakit, tanpa dendam.”
Samara terdiam lama, menatap Damar yang kini terlihat begitu rapuh di hadapannya. Selama ini, ia berusaha keras untuk melupakan Damar, tetapi melihatnya sekarang, ada sesuatu yang membuatnya ragu. Apakah ini yang ia inginkan? Apakah ia bisa mengampuni Damar? Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya.
“Dendam itu seperti api, Damar,” kata Samara pelan, “Makin kau bakar, makin membakar dirimu sendiri. Aku rasa aku sudah cukup membiarkannya membakar hatiku selama ini. Mungkin aku harus melepaskanmu, dan aku harus belajar untuk memaafkan, bukan untukmu, tetapi untuk diriku sendiri.”
Damar tidak bisa berkata apa-apa. Samara menghela napas, menatapnya sekali lagi. “Aku tidak tahu apakah aku bisa memberimu kesempatan kedua, Damar. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa mencintaimu setelah semua yang terjadi. Tapi aku tahu satu hal, aku tidak ingin hidup dalam kebencian dan dendam.”
Saat itu, suasana antara mereka berdua menjadi sunyi. Damar merasa kelegaan yang aneh, meskipun belum ada kepastian. Samara, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan, mulai merasa beban di dadanya sedikit berkurang. Mungkin, hanya mungkin, ada jalan keluar dari rasa sakit ini.
“Aku tidak tahu apakah kita bisa kembali seperti dulu,” kata Samara akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan. “Tapi aku ingin mencoba melepaskan semuanya. Untuk diriku sendiri.”
Damar tersenyum lemah, air mata mulai mengalir di pipinya, bukan karena kesedihan, tetapi karena rasa syukur. Meskipun tidak ada jaminan bahwa cinta mereka akan kembali seperti dulu, ada satu hal yang pasti: mereka telah mulai membuka kembali pintu yang lama terkunci oleh kebencian dan luka.
Samara mengalihkan pandangannya, menghirup udara dalam-dalam. Cinta itu memang terkubur dalam-dalam, tapi untuk pertama kalinya, dia merasa ada sedikit ruang bagi perasaan itu untuk tumbuh kembali. Entah bagaimana caranya, entah seberapa lama, tapi mungkin, hanya mungkin, cinta yang terkubur ini bisa menemukan jalannya kembali ke permukaan.*
BAB 7 Pengampunan yang Menyembuhkan
Samara berdiri di balkon apartemennya, menatap langit malam yang gelap, dihiasi dengan titik-titik cahaya bintang yang remang. Angin malam yang dingin menyentuh kulitnya, seolah berusaha menenangkan kegelisahannya. Di bawah sana, kota yang tak pernah tidur terus bergerak, sementara hatinya terjebak dalam ketidakpastian.
Dendam itu masih ada, bersemayam dalam dirinya. Setiap kali dia menutup mata, bayangan Damar yang penuh penyesalan dan kesedihan datang menghampiri, menambah berat beban di dadanya. Meski begitu, ada yang berbeda. Ada sebuah benih harapan yang tumbuh perlahan, seiring berjalannya waktu. Apakah mungkin dia bisa melepaskan segala rasa sakit ini? Apakah mungkin ada ruang bagi pengampunan dalam hatinya yang sudah terlalu lama dilanda kebencian?
Langkah kaki Damar yang mendekat memecah lamunan Samara. Dia menoleh, dan melihat pria itu berdiri di depan pintu apartemennya, wajahnya penuh ketegangan, seakan menunggu respon darinya. Matanya yang dulu cerah kini dipenuhi penyesalan yang mendalam. Samara bisa merasakan betapa dalam luka yang ia rasakan, namun itu tidak menghapus perasaan benci yang masih ada di dalam dirinya.
“Samara,” Damar memulai, suaranya terdengar rendah dan gemetar, “aku tahu ini mungkin sudah terlambat, tapi aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku minta maaf. Maafkan aku.”
Samara menatapnya dalam diam, merasa hatinya semakin tergerus oleh kata-kata itu. “Maafkan kamu?” katanya perlahan, bibirnya tersenyum pahit. “Apa itu cukup untuk menebus semua yang kau lakukan, Damar? Apa kata-kata itu bisa menghapus kenangan buruk yang kau tinggalkan?”
Damar menggigit bibirnya, merasakan berat dari setiap kata yang keluar dari mulut Samara. Ia tahu ia tidak bisa mengharapkan segalanya kembali seperti semula dengan sekadar meminta maaf. Ada yang lebih dari itu yang harus ia lakukan—sesuatu yang tak bisa diukur dengan kata-kata.
“Tidak, aku tahu itu tidak cukup. Aku tahu aku telah menghancurkan segalanya. Aku tidak akan pernah bisa mengembalikan waktu kita, Samara. Tapi aku ingin mencoba—aku ingin berusaha untuk memperbaiki semuanya, meskipun aku tahu aku tidak punya hak untuk memintanya,” Damar melanjutkan, suaranya semakin rendah, seolah berusaha menunjukkan betapa dalam penyesalannya.
Samara menggigit bibirnya, memandang pria yang dulu begitu dia cintai dengan perasaan campur aduk. Ada saat-saat ketika dia ingin memaafkannya, namun bayangan pengkhianatan itu selalu muncul kembali. Setiap kali Damar menyentuh hatinya, dia merasa terluka sekali lagi. Dendam itu telah meresap begitu dalam, seolah menjadi bagian dari dirinya yang tak bisa dilepaskan.
“Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu, Damar,” ujar Samara akhirnya, suaranya terdengar putus asa. “Aku tidak tahu apakah aku bisa melewati ini semua.”
Damar menundukkan kepalanya, seolah menerima kenyataan bahwa dia tidak bisa mengubah perasaan Samara begitu saja. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang memotivasi untuk terus mencoba, meskipun hasilnya tak pasti. Ia tahu, jika Samara bisa melihat usaha tulusnya, mungkin saja hatinya yang keras akan melunak.
“Aku tidak akan pernah memaksamu untuk memaafkanku, Samara,” kata Damar dengan suara penuh penyesalan. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku menyesal. Aku tahu aku telah menghancurkan kepercayaanmu, dan aku tidak akan pernah berhenti meminta maaf.”
Samara merasa ada sesuatu yang menggerakkan hatinya saat mendengar kata-kata itu. Damar tidak sedang mencari pembenaran atau alasan, dia hanya ingin Samara tahu bahwa dia benar-benar menyesal. Ini bukan hanya tentang menebus kesalahannya, tetapi tentang menunjukkan bahwa dia benar-benar ingin berubah. Namun, apakah itu cukup bagi Samara untuk membuka hatinya kembali?
Tiba-tiba, kenangan indah mereka bersama muncul begitu jelas dalam benaknya. Waktu-waktu ketika mereka tertawa bersama, berbicara tentang masa depan, dan merencanakan segala hal. Samara menyadari bahwa rasa sakit yang dia rasakan bukan hanya karena pengkhianatan Damar, tetapi juga karena hilangnya mimpi-mimpi mereka yang dulu begitu indah.
Air mata mulai menggenang di mata Samara. “Aku tidak tahu harus bagaimana, Damar. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa mempercayaimu setelah semua yang terjadi.”
Damar berjalan mendekat, meski tahu bahwa setiap langkahnya bisa saja memperburuk keadaan. Namun, ia merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk memberi tahu Samara betapa dia menghargai kesempatan ini.
“Aku tahu aku tidak pantas untukmu,” kata Damar, suaranya semakin penuh penyesalan. “Tapi aku ingin kau tahu, jika ada satu kesempatan lagi, aku akan melakukannya dengan cara yang berbeda. Aku akan berjuang untukmu, berjuang untuk kepercayaanmu, berjuang untuk cinta kita yang telah hilang.”
Samara menutup matanya, merasakan seakan hatinya sedang diperas. Rasa sakit itu begitu dalam, namun ada perasaan lain yang mulai tumbuh—rasa yang tak lagi dipenuhi dendam, melainkan keraguan dan harapan.
Dia menarik napas panjang, mencoba mencari jawaban dalam dirinya. Samara tahu bahwa pengampunan bukan hanya untuk Damar, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Menggenggam dendam itu berarti dia akan terus terluka, dan itu bukan cara untuk hidup. Mungkin, hanya dengan melepaskan rasa sakitnya, dia bisa mulai sembuh.
“Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa,” kata Samara akhirnya, membuka matanya dan memandang Damar dengan penuh keteguhan. “Tapi aku akan mencoba. Aku akan mencoba untuk memaafkanmu. Mungkin, ini bukan untukmu, tapi untuk aku. Untuk diriku sendiri.”
Damar menatapnya dengan harapan yang hampir tak percaya. Samara tidak memberikan jaminan, tapi ia tahu, ini adalah langkah pertama menuju penyembuhan—bukan hanya untuk hubungan mereka, tetapi juga untuk hatinya yang telah lama terluka. Dengan pengampunan, mereka mungkin bisa menemukan jalan baru, meskipun penuh dengan ketidakpastian.
“Terima kasih, Samara,” Damar berkata, suaranya hampir pecah. “Aku akan berjuang untuk membuktikan bahwa aku pantas mendapatkan kesempatan ini.”
Samara mengangguk pelan, meskipun dia tahu perjalanan ini tidak akan mudah. Tapi untuk pertama kalinya, dia merasa ada harapan untuk sembuh, untuk meninggalkan luka lama, dan untuk merangkai kembali serpihan-serpihan hatinya yang telah hancur.***
—————THE END—————