Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

ASMARA BERBALUT DENDAM

SAME KADE by SAME KADE
May 10, 2025
in Dendam Cinta
Reading Time: 20 mins read
ASMARA BERBALUT DENDAM

Daftar Isi

  • Bab 1: Luka yang Menganga
  • Bab 2: Perencanaan Dendam
  • Bab 3: Kembali Menyalakan Api
  • Bab 4: Cinta yang Membara
  • Bab 5: Kebenaran Terungkap
  • Bab 6: Ketika Dendam dan Cinta Bertemu
  • Bab 7: Akhir yang Tak Terduga

Bab 1: Luka yang Menganga

Langit sore itu mendung, seolah menggambarkan hati Nadia yang dipenuhi luka dan kepahitan. Ia duduk di sudut kafe kecil di pusat kota, ditemani secangkir kopi hitam yang sudah mendingin. Sudah tiga tahun berlalu sejak pengkhianatan itu, tetapi rasa sakitnya masih segar, seperti baru kemarin. Rendra, pria yang pernah ia cintai sepenuh hati, tidak hanya meninggalkannya tetapi juga menikahi sahabat terdekatnya, Diana.

Saat itu, Nadia hanyalah seorang perempuan muda dengan mimpi besar, sementara Rendra adalah pria penuh ambisi dengan pesona yang tak terbantahkan. Mereka berdua merancang masa depan bersama, atau setidaknya itulah yang Nadia pikirkan. Namun, mimpi indah itu hancur ketika Rendra memilih meninggalkannya demi Diana, dengan alasan yang tak pernah Nadia pahami sepenuhnya.

“Kamu harus kuat, Nad,” bisik Nadia pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hati yang rapuh. Ia memutuskan untuk meninggalkan kota kecil tempat ia dan Rendra dulu tinggal, memilih membangun kehidupan baru di Jakarta. Namun, sekeras apa pun ia mencoba melupakan masa lalu, bayangan Rendra terus menghantui.

Hari ini seharusnya menjadi hari biasa. Nadia baru saja menyelesaikan presentasi penting di sebuah seminar bisnis. Dengan gelar MBA yang ia raih dengan susah payah, ia kini menjadi seorang konsultan keuangan yang cukup diperhitungkan. Namun, siapa sangka takdir mempertemukannya kembali dengan seseorang yang paling ingin ia hindari?

Saat ia berjalan keluar dari ruang seminar, matanya menangkap sosok yang tak asing. Di sudut ruangan, berdiri Rendra, dengan setelan jas rapi dan senyuman yang masih sama menawan seperti dulu. Nadia berhenti sejenak, hatinya seperti dihantam ribuan ton beban. Ia tidak percaya pria itu ada di sini, tepat di hadapannya, seolah semesta sengaja mempermainkannya.

Rendra pun tampaknya melihat Nadia. Mata mereka bertemu, dan waktu seolah berhenti. Nadia ingin berbalik dan pergi, tetapi kakinya terasa membeku. Rendra mendekatinya dengan langkah penuh percaya diri, seperti seseorang yang tahu bahwa ia masih memiliki kekuatan atas hati Nadia.

“Nadia?” panggil Rendra dengan nada suara yang akrab namun terasa asing di telinga Nadia.

“Hai,” jawab Nadia singkat, berusaha menahan nada dingin yang ingin ia lontarkan.

“Lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?” tanya Rendra, seolah tidak ada apa-apa di antara mereka.

Nadia ingin tertawa sinis. Bagaimana kabarku? Setelah semua yang terjadi, bagaimana mungkin pria ini menganggap pertemuan mereka biasa saja? Tapi ia menahan diri. Ia tidak ingin memperlihatkan betapa hancurnya dirinya di depan pria itu.

“Baik,” jawab Nadia singkat sambil tersenyum tipis. “Kamu sendiri?”

“Aku baik juga. Aku dengar kamu sudah sukses sekarang. Hebat,” puji Rendra, matanya memancarkan kekaguman yang terasa seperti penghinaan bagi Nadia.

Percakapan itu berlangsung singkat, tetapi cukup untuk membuat luka lama Nadia terbuka kembali. Setelah berpamitan, Rendra pergi meninggalkannya dengan senyuman, sementara Nadia merasa dadanya sesak. Ia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan—melihat Rendra kembali atau menyadari bahwa sebagian kecil hatinya masih menginginkannya.

Malam itu, Nadia duduk di apartemennya, memandangi kota Jakarta dari balik jendela kaca. Ia menggenggam segelas anggur merah, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, bayangan pertemuan dengan Rendra terus berputar di benaknya.

“Mengapa harus sekarang?” gumamnya pelan. Ia telah bekerja keras untuk membangun kehidupannya kembali, tetapi kehadiran Rendra hanya mengingatkan bahwa ia belum sepenuhnya pulih.

Rasa sakit berubah menjadi kemarahan. Nadia tidak hanya marah pada Rendra, tetapi juga pada dirinya sendiri karena membiarkan masa lalu terus mengontrol hidupnya. Ia teringat bagaimana ia menangis setiap malam selama berminggu-minggu setelah pengkhianatan itu. Ia teringat betapa sulitnya berdiri kembali, membuktikan bahwa ia bisa sukses tanpa pria itu.

Namun, di balik kemarahan itu, ada rasa lapar yang mulai tumbuh. Bukan lapar akan cinta, tetapi sesuatu yang lebih gelap—keinginan untuk membalas dendam. Nadia tidak tahu dari mana dorongan itu datang, tetapi pertemuan dengan Rendra telah membangkitkan sesuatu yang ia pikir telah mati.

“Mungkin sudah saatnya aku berhenti jadi korban,” bisiknya dengan suara tegas.

Nadia meneguk sisa anggurnya dan meletakkan gelas itu di meja. Ia tahu satu hal: jika Rendra kembali ke dalam hidupnya, maka ia tidak akan membiarkan pria itu pergi tanpa merasakan luka yang sama dalamnya seperti yang ia rasakan.

Di luar jendela, hujan mulai turun, menyelimuti kota dengan udara dingin. Tetapi di dalam apartemen Nadia, ada sesuatu yang mulai menyala. Tidak lagi sekadar api kecil, tetapi bara yang siap membakar segalanya.*

Bab 2: Perencanaan Dendam

Malam itu, pikiran Nadia terus bergulat dengan pertemuan tak terduga dengan Rendra. Ia tahu dirinya telah melangkah jauh sejak perpisahan mereka, tapi kenangan pahit itu masih menyisakan luka yang sulit disembuhkan. Sosok pria itu, dengan senyumnya yang masih memikat, kembali menghantui pikirannya. Tidak hanya tentang pengkhianatan yang ia lakukan, tetapi juga bagaimana dia dan Diana dengan mudah menghancurkan kepercayaan Nadia.

Di atas meja apartemennya, laptop menyala, menampilkan beberapa dokumen pekerjaan yang seharusnya menjadi fokusnya malam itu. Namun, Nadia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Ia meletakkan gelas kopinya dan meraih buku catatan kecil yang selalu ia gunakan untuk mencatat ide-ide penting. Kali ini, buku itu tidak diisi dengan rencana kerja atau tujuan kariernya, melainkan sesuatu yang lebih gelap—strategi untuk menghancurkan hidup Rendra.

“Dia harus tahu bagaimana rasanya dikhianati,” pikir Nadia.

Namun, ia tahu, dendam tidak bisa dijalankan tanpa perencanaan yang matang. Nadia bukan tipe orang yang bertindak gegabah. Jika ia ingin menghancurkan Rendra, itu harus dilakukan perlahan, menyakitkan, dan dengan cara yang membuat pria itu sadar akan kesalahan yang telah diperbuatnya.

—

Mencari Celah

Langkah pertama dalam rencana Nadia adalah menggali informasi tentang kehidupan Rendra saat ini. Setelah membuka media sosial, ia menemukan akun LinkedIn Rendra. Dari sana, ia mempelajari bahwa pria itu kini adalah seorang direktur utama di perusahaan properti ternama, Artha Persada Group. Melihat foto Rendra dalam jas mahal di berbagai acara resmi hanya membuat Nadia semakin yakin bahwa ia harus melakukan ini.

“Dia hidup terlalu nyaman,” gumam Nadia sambil menggulir halaman profilnya.

Tak butuh waktu lama bagi Nadia untuk menemukan informasi tentang Diana. Wanita itu, yang dulunya adalah sahabat dekatnya, sekarang tampak menjalani hidup sebagai ibu rumah tangga kelas atas. Diana sering membagikan foto-foto keluarga kecil mereka di Instagram, lengkap dengan senyuman manis yang terasa seperti ejekan bagi Nadia.

“Kalian terlihat bahagia, tapi itu tidak akan berlangsung lama,” pikirnya, merasakan bara dendam semakin membakar hatinya.

—

Langkah Awal: Masuk ke Lingkaran Rendra

Nadia tahu bahwa untuk melancarkan rencananya, ia harus mendekati Rendra tanpa menimbulkan kecurigaan. Langkah pertamanya adalah mencari cara untuk terlibat dalam dunia profesional pria itu. Kebetulan, perusahaannya sendiri sedang mencari peluang kerja sama dengan Artha Persada Group. Nadia langsung mengambil alih proyek tersebut, menawarkan diri sebagai konsultan utama yang akan mengelola proposal bisnis.

“Ini langkah yang sempurna,” kata Nadia sambil tersenyum puas.

—

Menghitung Risiko

Namun, di balik keyakinannya, Nadia tahu bahwa permainan ini berisiko. Ia mempertimbangkan kemungkinan bahwa Diana akan menyadari niatnya. Diana adalah wanita yang cerdas dan dulu sangat mengenal Nadia. Tapi justru itulah tantangan yang membuatnya semakin bersemangat.

Nadia juga mempersiapkan strategi cadangan. Ia membuat daftar kontak penting yang bisa ia gunakan untuk mendukung rencananya, mulai dari klien bisnis, rekan kerja, hingga investor yang memiliki pengaruh besar di industri properti.

“Kalau aku tidak bisa menghancurkan dia secara pribadi, aku akan melakukannya secara profesional,” pikir Nadia.

—

Langkah Kedua: Menghidupkan Rasa Bersalah

Nadia menyadari bahwa untuk benar-benar menghancurkan Rendra, ia harus memanfaatkan sisi emosional pria itu. Ia tahu bahwa Rendra, di balik ambisinya, adalah orang yang selalu mencoba terlihat baik di mata semua orang. Nadia memutuskan untuk bermain sebagai korban yang termaafkan, membuat Rendra merasa bersalah tanpa menyadari bahwa itu bagian dari rencananya.

Beberapa hari kemudian, Nadia mengatur pertemuan dengan Rendra di kantor Artha Persada Group. Ia menggunakan kesempatan itu untuk menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita kuat yang telah “move on.” Ia mengenakan setelan kerja yang elegan, rambutnya ditata rapi, dan senyumnya memancarkan kepercayaan diri.

“Senang bisa bekerja sama denganmu, Rendra,” kata Nadia dengan nada formal.

Rendra tampak sedikit canggung, tetapi ia tetap tersenyum. “Aku juga, Nad. Rasanya seperti nostalgia.”

Namun, di balik senyum ramah itu, Nadia menyimpan rencana yang matang. Ia memperhatikan bagaimana Rendra berusaha menjaga sikap profesional, tetapi ada kilatan di matanya yang menunjukkan bahwa ia belum sepenuhnya melupakan masa lalu mereka.

—

Langkah Ketiga: Mengganggu Kehidupan Pernikahan

Setelah beberapa pertemuan kerja, Nadia mulai menjalin komunikasi lebih sering dengan Rendra. Ia memastikan bahwa percakapan mereka tetap terlihat profesional, tetapi dengan sedikit sentuhan emosional. Nadia sesekali menyebutkan masa lalu mereka secara halus, cukup untuk membangkitkan nostalgia tanpa membuat Rendra curiga.

Di sisi lain, Nadia juga mengamati pergerakan Diana melalui media sosial. Ia melihat bagaimana wanita itu kerap memposting tentang “keluarga bahagia,” tetapi Nadia tahu bahwa tidak ada hubungan yang benar-benar sempurna. Ia hanya butuh menemukan celah kecil untuk membuat Diana merasa tidak aman.

“Jika aku berhasil membuat Diana meragukan Rendra, semuanya akan lebih mudah,” pikir Nadia.

—

Akhir Bab

Malam itu, di apartemennya, Nadia duduk di depan cermin sambil memikirkan rencananya dengan detail. Ia tahu bahwa ini adalah permainan panjang, tetapi ia siap melakukannya. Baginya, dendam adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan keadilan atas apa yang telah hilang.

“Rendra, Diana… kalian tidak akan pernah melihat ini datang,” bisik Nadia sambil menatap bayangannya di cermin.

Perlahan tapi pasti, roda dendam mulai berputar, dan Nadia tahu bahwa ia sudah memulai langkah yang tidak akan bisa ia hentikan.*

Bab 3: Kembali Menyalakan Api

Matahari sore perlahan terbenam, mewarnai langit dengan semburat jingga yang temaram. Di sebuah restoran mewah di pusat kota, Nadia duduk di meja sudut, mengenakan gaun elegan berwarna hitam. Ia memilih tempat ini dengan sengaja—lokasi yang cukup privat untuk percakapan yang ia rencanakan, tetapi tetap cukup terbuka untuk memberikan kesan profesional.

Rendra datang tak lama kemudian. Dengan setelan jas abu-abu dan senyum yang seolah tak pernah pudar, ia melangkah ke arahnya. Nadia merasakan sesuatu mengalir dalam dirinya—sebuah campuran rasa puas dan nostalgia yang ia coba kendalikan. Ia bangkit dari kursi dan menyambutnya dengan senyuman tipis.

“Terima kasih sudah menyempatkan waktumu, Rendra,” kata Nadia, mengulurkan tangan.

“Tentu saja. Untukmu, aku selalu punya waktu,” jawab Rendra sambil menjabat tangannya.

Nadia mengabaikan degupan kecil di dadanya. Ia tahu ini bukan cinta, melainkan adrenalin dari permainan yang sedang ia mulai.

—

Percakapan yang Terbungkus Nostalgia

Mereka memulai dengan percakapan ringan, membahas rencana kerja sama antara perusahaan Nadia dan Artha Persada Group. Nadia memastikan pembicaraan tetap fokus pada pekerjaan di awal, memberinya kesempatan untuk mengamati Rendra lebih dekat.

Rendra masih sama seperti yang ia ingat—karismatik, pandai memilih kata, dan selalu tahu cara membuat lawan bicaranya merasa nyaman. Namun, Nadia juga melihat sesuatu yang berbeda. Di balik senyumnya, ada sorot mata yang sedikit lelah, seperti seseorang yang membawa beban yang tak terlihat.

Setelah beberapa saat, percakapan mereka mulai mengarah ke topik yang lebih pribadi. Rendra, yang sepertinya merasa cukup nyaman, membuka pembicaraan tentang masa lalu mereka.

“Jujur saja, Nad,” kata Rendra dengan nada pelan. “Aku tidak pernah menyangka kita akan bertemu lagi, apalagi dalam situasi seperti ini.”

Nadia tersenyum kecil. “Hidup penuh kejutan, kan? Aku juga tidak menyangka. Tapi, mungkin memang begini caranya semesta bekerja.”

Rendra tertawa ringan, tetapi ada rasa bersalah yang terlihat di wajahnya. “Aku tahu aku tidak berhak mengatakan ini, tapi aku benar-benar menyesal atas apa yang terjadi di masa lalu.”

Kalimat itu membuat Nadia terdiam sesaat. Di dalam hatinya, ia merasakan campuran antara kepuasan dan kemarahan. Ia tahu bahwa rasa bersalah Rendra adalah celah yang bisa ia manfaatkan, tetapi ia juga merasa tersayat karena pengakuan itu mengingatkan kembali luka yang pernah ia rasakan.

“Aku sudah melupakannya,” kata Nadia dengan suara yang tenang, meskipun itu adalah kebohongan. “Kita semua membuat keputusan yang sulit dalam hidup. Aku tidak menyalahkanmu lagi.”

Namun, di balik kata-kata itu, Nadia memutar roda rencananya. Ia tahu bahwa membuat Rendra merasa nyaman adalah langkah penting. Pria itu harus percaya bahwa ia benar-benar telah memaafkan, bahwa ia hanya ingin menjalin hubungan profesional dan, mungkin, persahabatan.

—

Kedekatan yang Berbahaya

Beberapa minggu setelah pertemuan itu, hubungan antara Nadia dan Rendra mulai semakin akrab. Dengan alasan pekerjaan, mereka sering bertemu untuk membahas proyek. Namun, di sela-sela pembicaraan formal, Nadia perlahan menambahkan sentuhan emosional dalam percakapan mereka.

“Rendra, pernahkah kamu merasa bahwa hidup ini seperti roda? Kadang kita berada di atas, kadang di bawah. Tapi ketika di bawah, kita belajar banyak hal,” kata Nadia suatu malam saat mereka bertemu di sebuah kafe.

Rendra memandangnya dengan penuh perhatian. “Aku tahu perasaan itu, Nad. Kadang aku merasa seperti itu juga, terutama ketika aku mengingat masa lalu.”

Nadia tersenyum samar. “Aku pikir kamu memiliki segalanya sekarang. Karier yang sukses, keluarga yang bahagia…”

Rendra menghela napas pelan, dan untuk pertama kalinya, Nadia melihat ada keretakan di dinding sempurna yang selama ini pria itu tunjukkan. “Tidak selalu seperti yang terlihat, Nad. Kehidupan yang terlihat sempurna sering kali menyembunyikan banyak hal.”

Itu adalah pengakuan kecil, tetapi bagi Nadia, itu sudah cukup. Ia tahu bahwa ia telah menyentuh sisi rapuh Rendra, membuka pintu yang bisa ia manfaatkan lebih jauh.

—

Diana Mulai Curiga

Namun, di sisi lain, kedekatan ini tidak luput dari perhatian Diana. Istri Rendra itu mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Suaminya sering pulang lebih larut dari biasanya, dengan alasan pekerjaan. Ia juga melihat nama “Nadia” muncul di layar ponsel Rendra beberapa kali.

Diana mencoba untuk tidak terlalu curiga. Ia tahu Nadia sebagai teman lama suaminya, dan ia ingin mempercayai Rendra. Namun, instingnya mengatakan ada sesuatu yang salah.

Suatu malam, ketika Rendra sedang mandi, Diana mengambil ponselnya dan membuka pesan-pesan dari Nadia. Tidak ada yang mencurigakan secara eksplisit, tetapi nada percakapan mereka terasa terlalu akrab bagi Diana.

“Siapa sebenarnya Nadia sekarang?” gumam Diana, perasaan tidak nyaman mulai merayapi hatinya.

—

Nadia Semakin Dalam

Sementara itu, Nadia semakin percaya diri dengan langkah-langkahnya. Ia berhasil membuat Rendra merasa nyaman, bahkan mulai membuka diri tentang masalah-masalah pribadinya. Ia tahu bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk melangkah lebih jauh.

Nadia memutuskan untuk memainkan kartu nostalgia. Suatu malam, saat mereka bertemu untuk makan malam bisnis, ia membawa topik tentang kenangan masa lalu mereka.

“Ingat waktu kita dulu sering makan di warung kecil di dekat kampus?” tanya Nadia sambil tersenyum.

Rendra tertawa kecil. “Tentu saja. Itu salah satu kenangan terbaikku.”

Percakapan itu terus berlanjut, dan Nadia menyadari bahwa ia telah berhasil menyalakan api lama di hati Rendra. Pria itu mulai terlihat lebih sering mencarinya, baik dalam urusan pekerjaan maupun sekadar berbicara.

Namun, di balik kehangatan ini, Nadia tidak lupa tujuannya. Ia tahu bahwa ini hanyalah langkah awal. Api itu tidak hanya akan menyala, tetapi juga akan membakar—dan kali ini, Nadia yang memegang kendali.*

Bab 4: Cinta yang Membara

Seminggu setelah makan malam bisnis terakhir mereka, hubungan antara Nadia dan Rendra semakin intens. Apa yang awalnya hanya sekadar obrolan profesional kini berubah menjadi percakapan panjang yang penuh dengan nostalgia, kehangatan, dan bahkan tawa. Bagi Rendra, Nadia bukan hanya rekan bisnis yang kompeten, tetapi juga seseorang yang kembali mengisi ruang kosong di hatinya. Bagi Nadia, semua ini hanyalah permainan yang sudah ia rancang dengan hati-hati.

Namun, semakin sering mereka bertemu, Nadia tidak bisa memungkiri bahwa ada sesuatu yang mulai berubah di dalam dirinya. Di balik dendam yang ia pupuk selama bertahun-tahun, ada percikan emosi yang lama ia pendam. Ia mulai merasakan kembali daya tarik Rendra yang dulu membuatnya jatuh cinta. Tetapi kali ini, ia menahan dirinya. Ia tidak akan membiarkan perasaannya mengacaukan rencana yang telah ia buat.

—

Malam yang Berbeda

Malam itu, Rendra mengundang Nadia ke sebuah acara gala yang diadakan oleh perusahaannya. Nadia awalnya ragu, tetapi akhirnya menerima undangan tersebut. Ia tahu bahwa ini adalah peluang emas untuk semakin mendekatkan dirinya pada Rendra, sekaligus memperkuat posisinya di lingkaran profesional pria itu.

Ketika Nadia tiba di acara tersebut, semua mata tertuju padanya. Ia mengenakan gaun berwarna merah tua yang pas di tubuhnya, menonjolkan sisi elegan dan percaya diri yang membuatnya terlihat memukau. Rendra, yang sedang berbincang dengan beberapa kolega, tampak terpana saat melihatnya.

“Wow, Nadia,” kata Rendra sambil menghampirinya. “Kamu benar-benar mencuri perhatian malam ini.”

Nadia tersenyum kecil. “Itu karena aku punya niat mencuri sesuatu yang lain juga,” jawabnya, setengah bercanda.

Rendra tertawa, tetapi ada sesuatu di matanya yang sulit dijelaskan. Dalam sekejap, Nadia merasa seolah waktu berhenti. Untuk sesaat, ia lupa tentang rencananya, tentang dendamnya, dan hanya melihat pria yang dulu pernah ia cintai.

Namun, momen itu segera berlalu. Nadia mengingatkan dirinya bahwa ini adalah bagian dari permainannya. Ia harus tetap fokus.

—

Tarian yang Membara

Di tengah acara, musik romantis mulai mengalun, dan para tamu diundang untuk menari. Rendra, tanpa ragu, mengulurkan tangannya kepada Nadia.

“Ini hanya tarian, kan? Tidak ada salahnya,” katanya dengan senyum yang menawan.

Nadia hampir menolak, tetapi sesuatu dalam dirinya memutuskan untuk menerima. Ia meletakkan tangannya di tangan Rendra dan membiarkan pria itu membimbingnya ke lantai dansa.

Saat mereka mulai bergerak mengikuti irama, Nadia merasa hatinya berdebar lebih kencang. Sentuhan tangan Rendra di punggungnya mengingatkan pada masa lalu, saat mereka masih saling mencintai tanpa beban. Namun, kini semuanya terasa lebih rumit, lebih intens.

“Terima kasih sudah datang malam ini,” bisik Rendra di telinganya.

“Ini bagian dari pekerjaan,” jawab Nadia, mencoba terdengar santai.

“Tapi aku senang kamu ada di sini,” balas Rendra.

Kata-kata itu membuat Nadia terdiam. Ia merasakan sesuatu yang berbeda dalam nada suara Rendra. Ada kehangatan, ketulusan, dan sesuatu yang terasa seperti pengakuan. Namun, ia menolak untuk membiarkan dirinya terhanyut.

—

Rendra Mulai Terbakar

Beberapa hari setelah acara gala, Rendra semakin sering menghubungi Nadia. Ia tidak hanya membicarakan pekerjaan, tetapi juga mulai membuka diri tentang masalah-masalah pribadinya.

“Kadang aku merasa, dengan semua yang aku miliki sekarang, hidupku seharusnya sempurna,” kata Rendra saat mereka sedang makan siang bersama. “Tapi, kenyataannya tidak selalu seperti itu.”

Nadia mengangguk, pura-pura memahami. “Kesempurnaan itu cuma ilusi, Ren. Semua orang punya luka dan kekurangan, meskipun mereka tidak menunjukkannya.”

Rendra tersenyum lemah. “Kamu selalu bisa membaca aku, ya? Seperti dulu.”

Kata-kata itu membuat Nadia terkejut, tetapi ia berusaha tetap tenang. Ia menyadari bahwa api cinta lama di hati Rendra mulai menyala kembali. Pria itu mulai menunjukkan ketertarikan yang lebih dari sekadar profesional.

Bagi Nadia, ini adalah kemenangan kecil. Ia tahu bahwa semakin dalam Rendra terjerat, semakin besar peluangnya untuk melaksanakan dendamnya. Tetapi di sisi lain, ada bagian kecil dari dirinya yang mulai goyah. Ia bertanya-tanya, apakah ia benar-benar bisa menghancurkan pria yang masih memiliki tempat di hatinya?

—

Diana yang Gelisah

Di sisi lain, Diana semakin gelisah. Ia merasakan perubahan pada Rendra—suaminya menjadi lebih perhatian, tetapi sekaligus lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Instingnya mengatakan bahwa sesuatu sedang terjadi, tetapi ia tidak tahu apa.

Suatu malam, saat Rendra sedang di kamar mandi, Diana mencoba membuka ponselnya lagi. Kali ini, ia menemukan pesan dari Nadia.

“Terima kasih untuk malam yang menyenangkan kemarin. Kita harus mengulanginya lagi kapan-kapan.”

Mata Diana membelalak. Pesan itu tidak eksplisit, tetapi cukup untuk menyalakan alarm di pikirannya. Ia merasa ada sesuatu yang salah, sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional antara suaminya dan Nadia.

—

Cinta yang Membakar Dua Arah

Sementara itu, di apartemennya, Nadia duduk merenung. Ia memikirkan semua yang telah ia lakukan sejauh ini. Rencananya berjalan dengan sempurna—ia telah berhasil mendekati Rendra, membuat pria itu kembali memperhatikannya.

Namun, Nadia tidak bisa mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh di dalam hatinya. Ia benci mengakuinya, tetapi ia merasa senang saat bersama Rendra. Api dendam yang selama ini ia pupuk mulai bercampur dengan cinta lama yang membara kembali.

“Tidak, aku tidak boleh terjebak,” bisik Nadia kepada dirinya sendiri.

Ia tahu bahwa jika ia membiarkan perasaannya menguasai, rencananya akan gagal. Tapi, semakin sering ia bertemu dengan Rendra, semakin sulit baginya untuk membedakan antara cinta dan dendam.

Di luar sana, Rendra pun merasakan hal yang sama. Ia tahu bahwa perasaannya terhadap Nadia mulai tumbuh kembali, dan itu membingungkan sekaligus membahayakan.

Mereka berdua berada di tepi jurang, dengan api yang membara di antara mereka—api yang bisa menghanguskan segalanya, termasuk diri mereka sendiri.*

Bab 5: Kebenaran Terungkap

Pagi itu, hujan turun perlahan, membawa suasana dingin yang membuat Nadia enggan beranjak dari tempat tidurnya. Namun, pikirannya sudah melaju jauh sebelum tubuhnya bangkit dari selimut. Hubungannya dengan Rendra semakin mendalam, melampaui batas profesional dan masuk ke dalam wilayah yang lebih pribadi, lebih emosional. Ia tahu bahwa ini adalah bagian dari rencana yang ia buat, tetapi sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa ia telah melewati batas yang seharusnya.

Di sisi lain, Diana, istri Rendra, mulai merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam pernikahannya. Kebahagiaan yang selama ini ia pamerkan di media sosial mulai terasa seperti kebohongan. Ia memutuskan bahwa ia tidak bisa terus diam. Malam itu, setelah Rendra tertidur, Diana membuka laptopnya dan mulai menyelidiki lebih dalam tentang Nadia.

—

Jejak Masa Lalu

Diana menemukan foto-foto lama di akun media sosial Nadia. Salah satu foto yang menarik perhatiannya adalah foto lama Nadia dan Rendra saat masih kuliah, berpose bersama dalam suasana yang penuh tawa. Diana tidak tahu bahwa mereka pernah memiliki sejarah sedekat itu. Ia mulai menghubungkan titik-titik.

“Jadi, ini bukan sekadar rekan bisnis,” gumam Diana, matanya menyipit penuh kecurigaan.

Ia terus menggulir, membaca komentar dan unggahan lama yang memperlihatkan hubungan erat antara suaminya dan Nadia di masa lalu. Semakin ia membaca, semakin ia merasa dikhianati.

Keesokan harinya, Diana mengonfrontasi Rendra dengan temuan-temuannya.

“Apa hubunganmu dengan Nadia sebenarnya?” tanya Diana tajam, memperlihatkan layar ponselnya yang menampilkan foto lama Rendra dan Nadia.

Rendra terkejut. Ia tahu bahwa Diana adalah wanita yang cerdas dan peka, tetapi ia tidak menyangka bahwa istrinya akan sampai pada kesimpulan ini begitu cepat.

“Nadia hanyalah rekan kerja, tidak lebih,” kata Rendra, berusaha terdengar meyakinkan.

Namun, Diana tidak mudah percaya. “Jangan bohong padaku, Rendra. Aku bisa melihatnya di matamu. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan antara kalian berdua.”

Rendra terdiam. Ia tahu bahwa menyangkal hanya akan memperburuk keadaan, tetapi ia juga tidak siap untuk mengakui kebenaran yang mulai ia rasakan dalam dirinya sendiri.

—

Nadia yang Terpojok

Sementara itu, di apartemennya, Nadia menerima pesan dari Diana. Pesan itu singkat, tetapi penuh makna:

“Kita perlu bicara. Aku tahu semuanya.”

Pesan itu membuat Nadia terdiam. Ia tahu bahwa Diana adalah wanita yang tidak akan tinggal diam jika merasa ada sesuatu yang mengancam pernikahannya. Nadia mencoba mengabaikan pesan itu, tetapi hatinya tidak tenang.

Setelah beberapa jam mempertimbangkan, Nadia memutuskan untuk menemui Diana. Ia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan mudah, tetapi ia juga merasa bahwa ini adalah bagian dari konsekuensi dari permainan yang telah ia mulai.

—

Konfrontasi yang Panas

Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di sudut kota. Diana datang lebih dulu, mengenakan pakaian sederhana namun tetap anggun. Tatapannya tajam, menunjukkan bahwa ia tidak datang untuk berbasa-basi.

“Terima kasih sudah mau bertemu,” kata Diana dengan nada datar saat Nadia duduk di depannya.

“Kenapa aku tidak datang langsung ke rumahmu saja?” balas Nadia, mencoba terdengar tenang meskipun ia merasa gugup.

Diana tidak langsung menjawab. Ia mengambil napas dalam sebelum berbicara. “Aku ingin mendengar langsung darimu. Apa hubunganmu dengan Rendra sekarang?”

Nadia menatap Diana sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah saat di mana segala sesuatunya akan berubah.

“Rendra dan aku… kami pernah punya masa lalu,” jawab Nadia akhirnya. “Tapi itu sudah lama sekali, dan aku tidak punya niat untuk mengganggu pernikahan kalian.”

Diana tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh sinisme. “Kamu pikir aku bodoh? Aku bisa melihatnya, Nadia. Kamu ingin lebih dari sekadar kerja sama profesional. Kamu ingin merebutnya kembali.”

Kalimat itu menusuk Nadia, tetapi ia menolak untuk menunjukkan kelemahannya. “Diana, kalaupun Rendra masih memikirkan aku, itu bukan karena aku memaksanya. Mungkin dia yang tidak pernah benar-benar melupakan aku.”

Pernyataan itu membuat Diana terdiam. Ia merasa marah, tetapi juga takut, karena di dalam hatinya, ia tahu bahwa Nadia mungkin benar.

—

Rencana yang Terungkap

Pertemuan itu tidak berjalan baik. Diana meninggalkan kafe dengan perasaan terluka dan semakin curiga pada suaminya. Nadia, di sisi lain, merasa bahwa permainannya mulai kehilangan kendali. Ia kembali ke apartemennya dengan perasaan campur aduk.

Namun, sesuatu yang lebih besar menanti Nadia. Keesokan harinya, ia menerima email dari seseorang yang tidak dikenal. Isi email itu adalah rekaman percakapan telepon antara Nadia dan salah satu rekan kerjanya, di mana ia secara tidak langsung mengungkapkan niatnya untuk “menghancurkan” kehidupan Rendra.

“Permainanmu sudah selesai, Nadia,” tulis pengirim email tersebut.

Nadia tertegun. Ia tahu bahwa ini bisa menghancurkan segalanya—rencananya, reputasinya, bahkan kariernya. Tapi siapa yang mengirim email itu? Apakah Diana, atau seseorang lain yang tahu tentang permainannya?

—

Kebenaran yang Tak Bisa Ditolak

Pada malam yang sama, Rendra menghadapi Diana di ruang keluarga mereka. Diana, yang sudah lelah menahan rasa sakit, akhirnya mengungkapkan semua yang ia ketahui.

“Aku tahu tentang kamu dan Nadia,” katanya dengan suara bergetar. “Aku tahu kalian punya sejarah, dan aku tahu kalian berdua mulai mendekat lagi.”

Rendra tidak membantah. Ia tahu bahwa ini adalah saat di mana ia harus jujur, tidak hanya kepada Diana, tetapi juga kepada dirinya sendiri.

“Ya, aku mengakui bahwa aku masih memiliki perasaan untuk Nadia,” katanya akhirnya. “Tapi itu tidak berarti aku ingin meninggalkanmu, Diana.”

Namun, bagi Diana, pengakuan itu lebih menyakitkan daripada kebohongan.

—

Bab Berakhir dengan Ketegangan

Malam itu, kebenaran terungkap, tetapi bukannya menyelesaikan masalah, kebenaran itu justru menciptakan jurang yang semakin dalam di antara mereka semua. Nadia, Rendra, dan Diana kini terjebak dalam pusaran emosi yang rumit, di mana cinta, dendam, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu.

Dan untuk pertama kalinya, Nadia mulai mempertanyakan segalanya. Apakah dendam ini benar-benar sepadan dengan kehancuran yang telah ia ciptakan? Atau apakah ia sendiri yang akan menjadi korban dari rencananya sendiri?.*

Bab 6: Ketika Dendam dan Cinta Bertemu

Nadia berdiri di depan cermin besar di apartemennya, menatap bayangannya sendiri. Di balik wajahnya yang tampak tenang dan percaya diri, ada pergolakan emosi yang semakin sulit ia kendalikan. Perasaan yang bercampur antara dendam dan cinta kini semakin sulit dibedakan. Ia merasa seperti terperangkap dalam jaring yang ia buat sendiri.

Pikirannya melayang ke pertemuan terakhir dengan Diana. Ia tidak menyangka istri Rendra akan seberani itu menghadapinya secara langsung. Dan kini, dengan rekaman yang ia terima melalui email, Nadia merasa bahwa posisinya semakin genting.

Ia memegang ponselnya, melihat daftar kontak, dan berhenti pada nama Rendra. Sudah beberapa hari mereka tidak saling bertemu atau berbicara. Nadia tahu bahwa Rendra pasti merasakan tekanan dari semua pihak, tetapi ia juga tahu bahwa pria itu masih memiliki perasaan untuknya.

Dengan napas berat, Nadia memutuskan untuk menghubungi Rendra.

—

Pertemuan yang Sarat Emosi

Mereka bertemu di sebuah taman kota yang sepi, tempat yang jauh dari keramaian. Rendra tiba lebih dulu, duduk di bangku kayu di bawah pohon besar. Ketika Nadia mendekat, pria itu mengangkat wajahnya dan memberikan senyum lemah.

“Terima kasih sudah mau bertemu,” kata Nadia sambil duduk di sampingnya.

“Aku rasa kita memang perlu bicara,” balas Rendra, suaranya terdengar letih.

Ada keheningan sejenak di antara mereka, hanya terdengar suara angin yang berdesir di antara dedaunan.

“Rendra,” Nadia memulai, suaranya pelan. “Aku tidak pernah bermaksud untuk merusak hidupmu. Tapi aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa perasaanku terhadapmu belum benar-benar hilang.”

Rendra menatapnya, matanya penuh dengan campuran rasa bersalah dan kebingungan. “Nadia, aku tidak bisa mengingkari apa yang aku rasakan. Ketika aku bertemu denganmu lagi, semua kenangan itu kembali. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa aku memiliki keluarga.”

Nadia mengangguk pelan. Ia tahu bahwa ini adalah dilema besar bagi Rendra, tetapi ia juga merasa bahwa pria itu perlu tahu kebenaran di balik semua ini.

“Ada sesuatu yang harus kamu ketahui,” kata Nadia akhirnya. “Selama ini, aku kembali ke hidupmu bukan hanya karena kebetulan. Aku punya tujuan lain.”

Rendra mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

Nadia menarik napas panjang sebelum menjelaskan semuanya—tentang luka yang ia rasakan bertahun-tahun lalu ketika Rendra meninggalkannya, tentang rasa sakit yang membuatnya memupuk dendam, dan tentang bagaimana ia merencanakan semuanya untuk membuat Rendra merasakan apa yang ia rasakan dulu.

“Aku ingin kamu merasakan kehilangan seperti yang aku rasakan,” kata Nadia dengan suara bergetar. “Tapi sekarang, aku tidak tahu apakah aku masih ingin melanjutkan ini. Karena di tengah semua ini, aku mulai merasakan sesuatu yang nyata lagi. Sesuatu yang tidak bisa aku abaikan.”

—

Reaksi Rendra

Mendengar pengakuan itu, Rendra terdiam lama. Ia merasa seperti disambar petir. Fakta bahwa Nadia masuk ke dalam hidupnya dengan tujuan menghancurkannya membuatnya merasa marah, kecewa, tetapi juga sedih.

“Aku tidak tahu harus berkata apa, Nadia,” ujar Rendra akhirnya. “Aku mengerti mengapa kamu merasa terluka, tapi aku tidak pernah berniat menyakitimu dulu. Keputusanku meninggalkanmu adalah keputusan yang sulit, tetapi saat itu aku merasa itu yang terbaik.”

Nadia tersenyum pahit. “Dan sekarang? Apa kamu merasa bahwa aku pantas untuk dilupakan begitu saja?”

Rendra menggeleng. “Aku tidak pernah melupakanmu, Nadia. Kamu selalu ada di pikiranku, bahkan setelah aku menikah. Tapi, aku juga tidak bisa mengubah masa lalu.”

Keduanya terdiam, terjebak dalam suasana yang penuh emosi.

—

Diana Memasuki Pertemuan

Namun, tanpa mereka sadari, Diana berada di dekat mereka. Ia mengikuti Rendra setelah melihat suaminya pergi dengan ekspresi gelisah. Diana menyaksikan percakapan itu dari kejauhan, mendengar setiap kata yang diucapkan Nadia.

Setelah beberapa saat, Diana mendekat. Kehadirannya mengejutkan Nadia dan Rendra.

“Jadi ini akhirnya,” kata Diana dengan suara dingin. “Kamu mengakui semuanya, Nadia. Bahwa kamu mendekati suamiku untuk membalas dendam.”

Nadia tidak menjawab. Ia tahu bahwa tidak ada gunanya menyangkal.

“Dan kamu, Rendra,” lanjut Diana, menatap suaminya dengan mata yang penuh kemarahan. “Kamu membiarkan dia masuk kembali ke dalam hidupmu, meskipun kamu tahu itu akan menghancurkan kita.”

Rendra mencoba menjelaskan. “Diana, ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku—”

“Jangan coba-coba menjelaskan!” potong Diana dengan suara tinggi. “Aku sudah cukup mendengar dan melihat. Nadia mungkin punya dendam, tapi kamu yang membiarkannya menjadi lebih dari sekadar itu.”

—

Konflik Memuncak

Pertengkaran itu berlangsung sengit. Diana melepaskan semua kemarahan dan kekecewaannya, sementara Rendra hanya bisa meminta maaf berulang kali. Nadia, di sisi lain, merasa dirinya menjadi penyebab kehancuran ini.

“Aku minta maaf,” kata Nadia akhirnya, air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak pernah bermaksud menghancurkanmu, Diana. Aku hanya ingin Rendra tahu bagaimana rasanya kehilangan.”

Diana menatapnya tajam. “Kamu berhasil, Nadia. Tapi apakah itu membuatmu merasa lebih baik?”

Pertanyaan itu menusuk Nadia. Ia tidak bisa menjawabnya, karena di dalam hatinya, ia tahu bahwa dendam ini tidak memberinya kebahagiaan. Yang ia dapatkan hanyalah kekacauan dan rasa bersalah yang mendalam.

—

Kesimpulan yang Pahit

Setelah pertengkaran itu, Diana pergi, meninggalkan Rendra dan Nadia di taman. Rendra menatap Nadia dengan tatapan penuh kekecewaan.

“Nadia, aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu atas apa yang telah kamu lakukan. Tapi aku juga tidak bisa membencimu. Aku hanya berharap kita bisa melanjutkan hidup masing-masing tanpa saling menyakiti lagi.”

Nadia mengangguk pelan. “Aku juga berharap begitu, Rendra.”

Malam itu, Nadia pulang dengan hati yang berat. Ia tahu bahwa dendamnya telah membawa kehancuran, bukan hanya bagi Rendra dan Diana, tetapi juga bagi dirinya sendiri. Ia akhirnya menyadari bahwa dendam dan cinta tidak pernah bisa berjalan bersama—keduanya hanya akan saling menghancurkan.

Dan untuk pertama kalinya, Nadia merasa benar-benar kehilangan segalanya.*

Bab 7: Akhir yang Tak Terduga

Malam itu, hujan deras membasahi kota. Nadia duduk di depan jendela apartemennya, menatap butiran hujan yang mengalir di kaca. Ia merasa kosong, seolah semua emosi yang selama ini ia rasakan—dendam, cinta, kebencian—menghilang, meninggalkan ruang hampa di hatinya.

Pertemuan dengan Diana dan Rendra di taman telah membuka matanya. Semua rencananya, semua perjuangannya untuk membalas dendam, justru berakhir dengan kehancuran bagi dirinya sendiri. Sekarang, ia tidak lagi tahu apa yang harus ia lakukan.

Pikirannya melayang ke masa lalu, saat ia dan Rendra masih bersama. Saat itu, ia percaya bahwa cinta mereka adalah segalanya, bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Namun, waktu membuktikan bahwa cinta saja tidak cukup. Rendra pergi, meninggalkan luka yang begitu dalam, dan sekarang, ia menyadari bahwa ia telah membiarkan luka itu mengontrol hidupnya selama bertahun-tahun.

Namun, malam itu akan membawa kejutan yang tidak pernah ia duga.

—

Kedatangan yang Tidak Terduga

Ketukan di pintu apartemennya mengalihkan perhatian Nadia dari lamunannya. Siapa yang datang larut malam seperti ini? Dengan ragu, ia berjalan menuju pintu dan membukanya.

Diana berdiri di ambang pintu, basah kuyup oleh hujan. Wajahnya terlihat lelah, tetapi tatapannya tegas.

“Nadia,” kata Diana tanpa basa-basi. “Kita perlu bicara.”

Nadia terkejut melihat Diana muncul di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang diharapkan dari wanita itu. Apakah Diana datang untuk menyerangnya, atau untuk menyelesaikan semua ini?

“Masuklah,” kata Nadia akhirnya, membuka pintu lebih lebar.

Diana melangkah masuk dan duduk di sofa, masih dengan ekspresi yang sulit dibaca. Nadia membawa handuk kecil dan menyerahkannya pada Diana, yang hanya mengangguk kecil sebagai tanda terima kasih.

“Aku tidak akan lama,” ujar Diana. “Aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang harus kamu dengar.”

—

Pengakuan Diana

Nadia duduk di seberang Diana, mencoba membaca emosi wanita itu. Namun, yang Diana katakan berikutnya membuat Nadia tertegun.

“Aku tahu apa yang kamu rasakan, Nadia. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kamu cintai,” kata Diana dengan suara pelan tetapi penuh emosi. “Tapi aku juga tahu bagaimana rasanya hidup dalam bayangan seseorang yang tidak pernah benar-benar melupakan cinta lamanya.”

Nadia tidak menjawab. Ia hanya menatap Diana dengan mata yang membelalak.

“Rendra mencintaimu, Nadia,” lanjut Diana. “Aku tahu itu. Bahkan ketika kami menikah, aku tahu bahwa sebagian hatinya masih ada padamu. Dan itu menyakitkan bagiku, selama bertahun-tahun ini.”

Kata-kata itu membuat Nadia merasa bersalah, tetapi Diana belum selesai.

“Aku tidak datang ke sini untuk menyalahkanmu. Aku datang untuk memberitahumu bahwa aku menyerah. Aku tidak bisa terus berjuang untuk mempertahankan pernikahan ini jika suamiku tidak benar-benar ada di sisiku, baik hati maupun pikirannya.”

Diana menarik napas panjang, mencoba menahan emosinya. “Aku akan meninggalkan Rendra. Dan aku harap kamu tahu bahwa apa yang kamu lakukan, Nadia, telah membantuku melihat kebenaran ini.”

—

Kebenaran yang Menyakitkan

Setelah pengakuan Diana, suasana di ruangan itu menjadi hening. Nadia tidak tahu harus mengatakan apa. Ia merasa bahwa ia telah memenangkan sesuatu, tetapi anehnya, ia tidak merasakan kebahagiaan.

“Diana,” kata Nadia akhirnya, suaranya gemetar. “Aku tidak pernah ingin ini terjadi. Aku pikir dengan mendekati Rendra lagi, aku bisa merasa puas, bisa membalas apa yang pernah ia lakukan padaku. Tapi sekarang aku sadar, aku hanya membuat semuanya lebih buruk.”

Diana tersenyum kecil, tetapi senyum itu dipenuhi kelelahan. “Kamu tidak perlu menjelaskan. Aku tahu bagaimana perasaanmu. Kita berdua adalah korban dalam cerita ini, Nadia. Dan mungkin, yang paling bersalah adalah Rendra sendiri.”

Mereka berdua terdiam lagi, tetapi kali ini, ada pemahaman yang perlahan tumbuh di antara mereka.

—

Keputusan Nadia

Setelah Diana pergi, Nadia duduk sendirian di ruang tamunya. Kata-kata Diana terus terngiang di kepalanya. Ia tahu bahwa hidupnya tidak bisa terus seperti ini. Ia harus melepaskan dendamnya, melepaskan perasaannya pada Rendra, dan mulai membangun kembali hidupnya yang hancur.

Keesokan harinya, Nadia menghubungi Rendra dan memintanya untuk bertemu di tempat yang sama seperti sebelumnya, di taman kota.

Ketika Rendra tiba, ia terlihat cemas. “Ada apa, Nadia?” tanyanya.

Nadia menatap pria itu dengan mata yang penuh tekad. “Rendra, aku ingin kamu tahu bahwa aku melepaskanmu. Aku tidak akan lagi mencoba masuk ke dalam hidupmu, tidak akan lagi mencoba membalas dendam atau mengganggu keluargamu. Aku hanya ingin memulai kembali, tanpa membawa luka masa lalu ini.”

Rendra terlihat terkejut, tetapi juga lega. “Nadia, aku benar-benar minta maaf atas semua ini. Aku tidak pernah berniat menyakitimu, baik dulu maupun sekarang.”

Nadia tersenyum tipis. “Aku tahu. Tapi aku juga sadar bahwa aku tidak bisa terus hidup dalam bayanganmu. Aku harus belajar mencintai diriku sendiri, tanpa harus bergantung pada masa lalu.”

—

Epilog: Awal yang Baru

Beberapa bulan kemudian, Nadia memutuskan untuk meninggalkan kota itu. Ia memulai hidup baru di tempat yang jauh, meninggalkan semua kenangan lama di belakangnya. Ia tidak lagi merasa perlu membalas dendam, karena ia telah menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri.

Diana juga memulai kembali hidupnya. Ia mengajukan perceraian dari Rendra dan fokus pada karier serta kebahagiaannya sendiri. Sementara Rendra, meskipun kehilangan kedua wanita yang pernah ia cintai, belajar dari kesalahan dan mulai mencari makna hidup yang baru.

Cerita ini berakhir bukan dengan kebahagiaan yang sempurna, tetapi dengan pelajaran yang mendalam tentang cinta, kehilangan, dan pengampunan. Kadang, akhir yang tak terduga adalah kesempatan untuk memulai sesuatu yang benar-benar baru.&***

——-the and——-

Source: SYAHIBAL
Tags: cinta berbalut dendamdendam cintaluka masa lalupengkhioanatanromansa gelap
Previous Post

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

Next Post

JIKA RINDU BISA TERBANG

Related Posts

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

May 14, 2025
SAAT LUKA MENJADI CINTA

SAAT LUKA MENJADI CINTA

May 13, 2025
JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

May 12, 2025
Next Post
JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

CINTA YG TAK TERBALAS

CINTA YG TAK TERBALAS

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id