Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga
Hari yang Biasa, Hingga Mereka Bertemu
Sandy menatap layar laptopnya yang memancarkan peta bintang dan planet-planet yang terlihat samar-samar di langit. Di ruangan kecilnya yang penuh dengan buku-buku astronomi, dia merasa seolah-olah ia sedang berada di luar angkasa. Begitu tenggelam dalam penelitiannya, ia hampir tidak menyadari bahwa hari sudah memasuki sore. Semua pemikirannya tercurah untuk proyek besar yang sedang ia kerjakan untuk seminar tahunan fakultas astronomi, yang akan segera diselenggarakan di universitas.
Tepat pada saat itu, sebuah pesan masuk di ponselnya. Itu dari temannya, Rian.
Rian:
“Sandy, ingat seminar besok? Kamu nggak boleh bolos! Aku daftarin kamu jadi pembicara sesi pembukaan. Asha juga bakal ada di sana, jangan lupa bawa topik menarik!”
Sandy melirik pesan itu dengan bingung. Asha? Siapa itu? Sandy tidak mengenal seorang Asha, tapi dia tahu bahwa Rian pasti mengundang seseorang yang menarik untuk acara tersebut. Berusaha tidak terlalu memikirkan hal itu, Sandy melanjutkan pekerjaannya, merasa bahwa dia lebih fokus pada bintang-bintang daripada urusan manusia.
Namun, saat hari seminar tiba, dunia Sandy yang penuh dengan angka, rumus, dan teori tentang alam semesta mulai berbenturan dengan sesuatu yang tak terduga sesuatu yang datang dari luar angkasa, namun tidak berbentuk planet atau bintang.
Kehadiran yang Tak Terduga
Saat Sandy tiba di ruang seminar, dia terkejut melihat banyak orang berkumpul. Tempat ini lebih ramai dari yang dia duga. Ada banyak pembicara dan mahasiswa yang berkumpul, membicarakan segala sesuatu tentang sains dan teknologi, dunia yang sangat dikenal oleh Sandy.
Sandy berjalan ke depan, menuju meja pendaftaran, dan langsung bertemu dengan Rian. Mereka berbicara sebentar tentang persiapan seminar, dan saat itulah Rian mulai memperkenalkan seseorang kepada Sandy.
Rian:
“Ini Asha, dia salah satu mahasiswi seni yang sangat berbakat. Dia tertarik untuk mendalami hubungan antara seni dan astronomi, khususnya tentang bagaimana bintang-bintang bisa menginspirasi karya seni. Asha, ini Sandy, teman kuliahku yang mendalami astronomi.”
Sandy tersenyum canggung, merasa sedikit aneh berbicara dengan seseorang yang tidak memiliki minat yang sama dengannya. Asha tersenyum ramah, mata cokelatnya berbinar-binar meski ada kesan ketidakpastian yang terlihat di wajahnya.
Asha:
“Hai, Sandy. Aku sangat tertarik dengan luar angkasa. Sepertinya dunia itu sangat indah, penuh misteri, ya?”
Sandy terkejut mendengar kalimat itu. Tidak banyak orang yang memiliki ketertarikan terhadap luar angkasa, apalagi seseorang yang berasal dari dunia seni, yang seharusnya lebih tertarik pada hal-hal seperti lukisan, musik, atau sastra. Namun, ada sesuatu dalam cara Asha berbicara yang membuat Sandy merasa penasaran.
Sandy:
“Ya, luar angkasa memang penuh misteri. Setiap bintang yang kita lihat di langit memiliki cerita. Tapi… apakah seni bisa benar-benar terhubung dengan luar angkasa?”
Asha tertawa pelan, matanya menyiratkan rasa penasaran yang lebih dalam.
Asha:
“Menurutku, seni adalah cara kita menafsirkan dunia di sekitar kita. Luar angkasa itu juga dunia, kan? Mungkin kita bisa melihatnya sebagai kanvas besar yang tak terlihat, penuh dengan gambar dan warna yang belum kita pahami.”
Sandy terdiam, mencerna apa yang Asha katakan. Sesuatu dalam kalimat itu membuat hatinya tergerak, namun ia tidak tahu harus bagaimana meresponnya. Apa yang Asha katakan berbeda dengan apa yang biasa ia pikirkan tentang luar angkasa. Baginya, bintang-bintang adalah objek yang harus dijelaskan dengan rumus, data, dan logika, bukan sesuatu yang bisa dipandang sebagai kanvas seni. Namun, dia merasa tertarik. Ada rasa penasaran yang menggerakkan dirinya untuk berbicara lebih banyak.
Sandy:
“Menarik… aku biasanya hanya melihat luar angkasa dari sudut pandang ilmiah. Tapi, mungkin ada sisi lain yang belum pernah aku pikirkan.”
Asha tersenyum dan memandangnya dengan penuh pengertian. Lalu mereka duduk di kursi seminar bersama Rian, tetapi pembicaraan mereka berhenti sejenak karena seminar dimulai.
Interaksi yang Kecil, Tapi Penuh Makna
Seminar dimulai dengan pembicara pertama yang membahas perkembangan terbaru dalam teknologi luar angkasa. Sandy duduk dengan penuh perhatian, sesekali mencatat beberapa hal di laptopnya. Namun, pandangannya tidak bisa berhenti melirik Asha yang duduk di sampingnya. Asha terlihat terpesona dengan setiap slide yang ditampilkan, meskipun sebagian besar topiknya adalah hal-hal teknis yang jauh dari dunia seni.
Setelah sesi pertama selesai, mereka berdua melanjutkan percakapan mereka di luar ruangan.
Asha:
“Kamu benar, Sandy. Dunia luar angkasa memang sangat menakjubkan. Tapi aku juga merasa bahwa ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan angka dan rumus.”
Sandy:
“Aku tahu, aku memang terlalu terobsesi dengan hal-hal yang bisa dihitung dan diprediksi. Mungkin aku terlalu terjebak dalam dunia yang sangat logis.”
Asha menatapnya dengan senyuman lembut.
Asha:
“Aku rasa dunia ini lebih indah ketika kita melihatnya dari berbagai sisi, Sandy. Seni dan sains bisa berjalan beriringan, bahkan jika kita tidak selalu mengerti satu sama lain.”
Mendengar kata-kata itu, Sandy merasakan perasaan aneh yang sulit dijelaskan. Dia merasa terhubung dengan Asha, meskipun mereka memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang dunia.
Menggali Dunia yang Berbeda
Setelah seminar berakhir, Sandy dan Asha sepakat untuk pergi ke sebuah kafe terdekat, di mana mereka bisa berbicara lebih santai. Saat berjalan bersama, mereka mulai berbicara lebih banyak tentang kehidupan masing-masing. Asha menceritakan tentang kehidupannya di dunia seni, betapa ia mencintai lukisan dan puisi, dan bagaimana bintang-bintang menginspirasi karyanya. Di sisi lain, Sandy berbicara tentang mimpinya menjadi astronot dan bagaimana ia selalu merasa tertarik untuk memahami semesta ini lebih dalam.
Asha:
“Kadang, aku merasa seperti dunia seni itu sangat kecil, tapi juga penuh keajaiban. Lihat saja bintang-bintang itu—mereka terlihat begitu jauh, tapi kita bisa melihat mereka, kan? Mungkin itu seperti cara kita melihat kehidupan ini, meskipun segala sesuatu tampak jauh, kita tetap bisa merasakannya dengan hati.”
Sandy terdiam, mendengarkan dengan seksama. Ia terkesan dengan cara Asha menggambarkan dunia yang selama ini tidak pernah ia lihat. Bintang-bintang, yang baginya adalah objek ilmiah yang harus dipelajari, kini dilihat oleh Asha sebagai sesuatu yang penuh dengan keindahan dan makna lebih dalam.
Sandy:
“Aku selalu melihat bintang sebagai hal yang harus dipahami, bukan sebagai sesuatu yang bisa dirasakan. Tapi, kamu benar, Asha. Mungkin ada cara untuk merasakannya, bukan hanya mengukurnya.”
Asha hanya tersenyum, merasa senang bisa membuat Sandy melihat dunia dengan cara yang berbeda.
Perasaan yang Muncul Tanpa Diduga
Hari itu berakhir dengan penuh pemikiran mendalam bagi Sandy. Saat kembali ke kamarnya, dia tidak bisa berhenti memikirkan Asha. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya setelah berbicara dengan Asha. Mungkin ini yang disebut dengan pertemuan tak terduga pikirnya.
Meskipun Sandy berusaha untuk fokus pada impian dan penelitiannya, ia tahu ada perasaan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Perasaan yang tidak dapat dia jelaskan dengan logika atau angka. Perasaan yang melampaui batasan dunia luar angkasa yang selama ini menguasai pikirannya.
Sandy menatap bintang-bintang di luar jendela, seolah-olah mereka memberikan jawaban yang tidak pernah dia cari. Dia tahu, bahwa perjalanan ini—baik itu tentang luar angkasa atau tentang perasaan baru saja dimulai.
Dialog yang Membuka Pintu Baru
Sandy duduk di kafe kecil yang nyaman, di luar ruang seminar. Kafe itu dikelilingi oleh tanaman hijau dan dihiasi dengan poster-poster film klasik yang sangat kontras dengan dunia Sandy yang dipenuhi buku dan rumus astronomi. Asha duduk di seberangnya, dengan secangkir kopi panas di tangan, tampak begitu santai dan penuh semangat. Sandy masih merasa sedikit canggung.Asha:
“Aku selalu
berpikir bahwa seni bisa ditemukan di mana saja, bahkan di luar angkasa.”
Sandy:
“Kenapa luar angkasa?”
Sandy merasa penasaran, meskipun ini bukanlah bidang yang biasanya ia eksplorasi. Asha tersenyum penuh makna, seperti sedang mengungkapkan suatu rahasia yang sangat berarti bagi dirinya.
Asha:
“Karena luar angkasa itu adalah simbol dari segala kemungkinan. Kita selalu melihat bintang-bintang itu, tapi tak ada yang benar-benar tahu apa yang ada di baliknya. Kanvas yang sangat besar, dan kita hanya bisa memandangi, berusaha menebak-nebak. Itulah yang membuatnya sangat menarik.”
Sandy terdiam. Ia merasa kata-kata Asha sangat berbeda dari apa yang biasa ia pikirkan tentang luar angkasa. Ia selalu memandang bintang sebagai titik-titik di langit yang bisa dipelajari dan diprediksi, bukan sebagai misteri yang bisa diungkap melalui perasaan atau seni.
Sandy:
“Jadi, menurutmu, seni adalah cara kita merasakan dunia yang tak bisa kita pahami secara logika?”
Asha mengangguk, wajahnya serius, namun senyumnya tetap hangat.
Asha:
“Ya, benar. Dan luar angkasa itu sempurna untuk seni. Sebab, ada begitu banyak hal yang tidak bisa kita jelaskan, begitu banyak keindahan yang harus kita rasakan. Cobalah melihat bintang-bintang malam ini. Ada cerita di balik setiap sinar yang datang ribuan tahun yang lalu.”
Sandy merasa ada sesuatu yang menggugah dalam diri Asha. Ketika ia berbicara tentang bintang, itu bukan sekadar ilmu atau pengetahuan yang terukur. Itu adalah sesuatu yang lebih dalam, yang berhubungan dengan perasaan, dengan emosi manusia. Dalam perjalanan hidupnya yang terfokus pada sains, Sandy belum pernah melihat luar angkasa dari sudut pandang ini. Perasaan ini mulai tumbuh perlahan, meskipun ia tidak tahu bagaimana mengartikannya.
Koneksi yang Tak Terbantahkan
Malam itu, setelah berjam-jam berbicara tentang seni, astronomi, dan kehidupan, mereka berdua merasa seperti sudah saling mengenal bertahun-tahun lamanya. Asha berbicara tentang lukisan-lukisannya yang terinspirasi dari langit malam, sementara Sandy menceritakan tentang mimpinya untuk bisa pergi ke luar angkasa, menjelajahi planet-planet yang belum terjamah oleh manusia.
Asha:
“Apa yang ingin kamu temukan di luar angkasa, Sandy?”
Sandy menatap langit malam yang gelap, mencoba menjawab pertanyaan yang seolah mengundang dirinya untuk mengungkapkan sesuatu yang lebih pribadi.
Sandy:
“Sebuah jawabannya. Sebuah pemahaman yang lebih besar tentang dunia ini. Bagaimana alam semesta bekerja. Aku ingin menemukan bukti bahwa ada sesuatu yang lebih besar di luar sana. Sesuatu yang lebih dari sekadar kita.”
Asha terdiam. Ia tidak pernah membayangkan bahwa seseorang bisa begitu terobsesi dengan luar angkasa sampai titik ini. Namun, di dalam dirinya, ada perasaan bahwa ada keindahan dalam setiap kata Sandy. Keteguhan dan obsesi Sandy membuatnya terkesan, meskipun ia sendiri tidak sepenuhnya memahami dunia yang Sandy jalani.
Asha:
“Aku rasa, kita semua mencari sesuatu, ya? Aku mencari keindahan, sedangkan kamu mencari pemahaman. Mungkin itu yang membuat dunia ini begitu menarik kita semua punya cara berbeda untuk melihatnya.”
Sandy memandang Asha, dan dalam sekejap dia merasakan sebuah ikatan yang tak terucapkan. Mereka berasal dari dunia yang sangat berbeda, namun malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, mereka berbicara seolah-olah tidak ada batasan yang memisahkan mereka.
Sisi Lain dari Diri Mereka
Hari-hari setelah seminar itu, Sandy dan Asha mulai sering bertemu. Meski Asha bukanlah teman kuliah Sandy, kedekatan mereka tumbuh begitu cepat. Mereka saling bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing Sandy yang terjebak dalam dunia sains yang penuh dengan logika dan bukti, sementara Asha yang menjalani kehidupan yang lebih berfokus pada perasaan dan ekspresi.
Suatu sore, mereka duduk di taman kampus, di bawah pohon besar yang rindang. Asha membawa sketchbook-nya dan mulai menggambar beberapa gambar abstrak yang terinspirasi dari bintang-bintang yang ia lihat malam sebelumnya. Sandy hanya memandanginya, mencoba memahami apa yang sedang digambarnya.
Asha:
“Aku suka menggambar sesuatu yang bisa menghubungkan perasaan dengan dunia luar. Seperti bintang yang terlihat, namun jauh di dalamnya ada perasaan yang bisa kita rasakan meskipun kita tak tahu apa itu.”
Sandy merasa ada sesuatu yang menggelitik pikirannya. Asha melihat dunia dengan cara yang sangat berbeda. Setiap goresan pensil Asha seolah menceritakan kisah yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Sandy:
“Bagaimana kamu tahu apa yang digambar itu benar-benar menggambarkan bintang?”
Asha:
“Karena itu terasa benar di hati.”
Asha berhenti menggambar sejenak dan menatap Sandy dengan mata yang penuh makna. “Kadang, aku merasa dunia ini bukan hanya tentang apa yang bisa kita lihat, tetapi juga tentang apa yang kita rasakan.”
Sandy terdiam, terpesona oleh cara Asha melihat dunia. Ada keindahan dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya. Meski mereka berasal dari dunia yang berbeda, Asha berhasil menunjukkan kepada Sandy bahwa ada lebih banyak cara untuk melihat dunia ini—tidak hanya dengan pikiran, tetapi juga dengan perasaan.
Kegelisahan yang Tumbuh
Meski hubungan mereka semakin dekat, Sandy mulai merasakan kegelisahan yang tidak bisa ia sembunyikan. Apakah perasaan yang ia rasakan ini adalah sesuatu yang bisa ia pertahankan? Asha begitu berbeda dari dirinya—berbeda dalam cara berpikir, dalam cara melihat dunia. Bahkan Asha memiliki pandangan yang lebih santai terhadap hidup, sementara Sandy selalu terobsesi dengan masa depan dan mimpinya yang besar.
Di suatu malam, saat mereka duduk di tepi sungai kampus, Sandy tiba-tiba terdiam lama. Asha yang memperhatikan, mulai bertanya.
Asha:
“Ada yang mengganggumu, Sandy?”
Sandy menatap bintang-bintang di langit, merasa seperti ada sesuatu yang berat di hatinya.
Sandy:
“Aku… aku hanya merasa, kita berasal dari dunia yang berbeda, Asha. Kamu dengan seni dan perasaanmu, aku dengan ilmu pengetahuan dan impian besar. Aku takut, kita nggak akan bisa terus berkomunikasi seperti ini.”
Asha menghela napas dan menatapnya dengan lembut.
Asha:
“Sandy, mungkin kita memang berbeda, tapi itu bukan berarti kita nggak bisa saling mengerti. Dunia ini penuh dengan ketidakpastian, dan aku rasa, kita semua sedang mencari sesuatu yang kita rasa benar. Aku rasa, kita bisa mencari cara untuk tetap bersama meskipun dunia kita berbeda.”
Kata-kata Asha membuat hati Sandy merasa lebih tenang. Meskipun dia masih merasa ada banyak ketidakpastian, ia mulai menyadari bahwa terkadang perasaan tidak harus dijelaskan dengan logika.
Perasaan yang Tak Terucapkan
Saat malam itu berakhir, dan Sandy mengantarkan Asha pulang, mereka berdiri sebentar di depan pintu asrama. Ada keheningan yang dalam di antara mereka. Sandy menatap Asha dengan perasaan yang sulit ia ungkapkan. Ada perasaan tak terucapkan yang mengambang di udara, seperti bintang-bintang di langit yang meskipun jauh, tetap hadir di dalam pikiran mereka.
Asha:
“Sampai jumpa, Sandy.”
Sandy:
“Sampai jumpa, Asha.”
Perasaan ini, yang baru saja dimulai, terasa seperti sebuah perjalanan yang belum diketahui ujungnya. Namun, Sandy tahu satu hal: pertemuan mereka adalah sebuah titik awal dari sesuatu yang lebih besar sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh logika, tapi bisa dirasakan di hati.*
Bab 2: Antara Bintang dan Keinginan Cinta yang Tumbuh
Langkah Pertama dalam Ketidakpastian
Hari-hari setelah seminar itu berlalu dengan cepat. Meski Sandy sibuk dengan proyek penelitiannya yang semakin mendalam, pikirannya selalu kembali kepada Asha. Setiap percakapan mereka, setiap senyum yang Asha berikan, selalu meninggalkan jejak di hatinya. Terkadang, Sandy merasa terjebak dalam kebingungannya sendiri di satu sisi, dia ingin mengejar mimpinya untuk menjelajahi luar angkasa, sementara di sisi lain, ada perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam dirinya untuk seseorang yang berasal dari dunia yang jauh berbeda.
Pagi itu, Sandy berjalan di kampus dengan langkah yang lebih lambat dari biasanya. Kuliah sudah dimulai, tetapi pikirannya belum sepenuhnya berada di sana. Tiba-tiba, ponselnya bergetar, menandakan ada pesan masuk.
Asha:
“Hey, Sandy! Ada pameran seni kecil di galeri kampus. Aku akan memamerkan beberapa lukisan terbaruku. Mau datang?”
Pesan itu membuat hati Sandy berdebar. Entah mengapa, dia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Asha mengundangnya. Biasanya, Sandy selalu merasa cemas jika harus menghadiri acara seni, sesuatu yang tidak sepenuhnya ia pahami. Namun, kali ini, ada dorongan yang kuat dalam dirinya untuk pergi.
Sandy membalas pesan itu dengan cepat.
Sandy:
“Aku akan datang. Pameran tentang luar angkasa?”
Asha:
“Sesuatu yang lebih dari itu. Lebih kepada perasaan dan bagaimana bintang-bintang itu menginspirasi dunia kita. Aku harap kamu suka.”*
Sandy tersenyum kecil saat membaca pesan itu. Ada rasa penasaran yang tumbuh di dalam dirinya. “Mungkin ini saatnya melihat dunia melalui mata Asha,” pikirnya. Perasaan itu mulai mengguncang dirinya, perasaan yang bahkan tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.
Sebuah Pameran yang Menyentuh Jiwa
Galeri seni di kampus itu tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk menampung karya-karya mahasiswa yang penuh kreativitas. Saat Sandy memasuki ruang pameran, dia disambut oleh lukisan-lukisan yang memukau. Ada sesuatu yang magis dalam setiap goresan warna yang Asha buat bintang-bintang yang menggantung di langit malam, langit yang dipenuhi kabut awan, dan gelap yang memeluk terang.
Sandy berjalan mendekat dan melihat salah satu lukisan yang menggambarkan galaksi dalam warna biru tua yang dalam. Di tengah lukisan itu, ada siluet seorang wanita yang memandang ke luar angkasa. Lukisan itu membuat hati Sandy berdebar, karena dia merasakan sesuatu yang sangat kuat meskipun tidak ada kata-kata yang terucap.
Asha:
“Senang kamu datang, Sandy.”
Sandy menoleh dan melihat Asha berdiri di dekatnya, mengenakan gaun biru yang sederhana namun sangat elegan. Wajah Asha berseri-seri, seolah-olah lukisan-lukisannya berbicara lebih banyak daripada apa yang bisa ia katakan.
Sandy:
“Lukisan ini… luar biasa. Kamu bisa melihat bintang-bintang seolah-olah mereka hidup.”
Asha:
“Itulah yang aku rasakan. Aku ingin menangkap perasaan yang muncul ketika aku melihat langit malam. Bintang-bintang itu seolah-olah mengingatkan kita akan hal-hal yang lebih besar dari diri kita sendiri.”
Ada keheningan sejenak, Sandy merasa kata-kata Asha benar-benar menggugah sesuatu dalam dirinya. Selama ini, dia hanya memandang bintang sebagai objek penelitian, namun kali ini, bintang itu terasa sangat personal, sangat dekat, seolah memiliki cerita yang bisa dirasakan, bukan hanya dipahami.
Sandy:
“Aku merasa seolah bintang itu berbicara, tapi aku tidak tahu bahasa apa yang mereka pakai.”
Asha:
“Kadang, kita tidak perlu memahami segalanya, Sandy. Beberapa hal hanya perlu dirasakan.”
Sandy terdiam, merasa semakin terhubung dengan Asha. Tanpa sadar, jari-jari mereka bersentuhan saat Asha menunjukkan karya lainnya. Perasaan aneh itu kembali muncul, dan Sandy tidak bisa lagi mengabaikannya.
Cinta yang Mulai Menghampiri
Seminggu setelah pameran itu, Sandy semakin sering menghabiskan waktu bersama Asha. Mereka berbicara tentang segalanya—tentang bintang, tentang hidup, dan tentang mimpi-mimpi yang mereka miliki. Sandy mulai menyadari bahwa ia merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kekaguman terhadap Asha. Meskipun Asha berasal dari dunia seni yang sangat berbeda dengan dunia ilmiah Sandy, ada koneksi yang kuat antara mereka. Perasaan itu tumbuh, perlahan, namun pasti.
Pada suatu malam, mereka duduk di bangku taman kampus, melihat langit yang penuh bintang.
Sandy:
“Kamu tahu, Asha, aku selalu berpikir bahwa bintang-bintang itu terlalu jauh untuk bisa kita rasakan. Tapi entah mengapa, sekarang aku merasa sangat dekat dengan mereka.”
Asha:
“Karena bintang-bintang itu ada di dalam diri kita, Sandy. Kita hanya perlu melihatnya dari dalam hati.”
Kata-kata Asha membuat perasaan Sandy semakin dalam. Ada sesuatu yang membuatnya merasa hangat meskipun udara malam terasa dingin. Mereka duduk berdekatan, dan untuk pertama kalinya, Sandy merasakan kedamaian yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Sandy:
“Asha, aku mulai merasa bahwa dunia ini… lebih dari yang aku bayangkan. Aku tidak hanya melihat bintang lagi, aku merasakannya.”
Asha:
“Dan itu adalah bagian dari perjalanan kita, Sandy.”
Malam itu, untuk pertama kalinya, Sandy merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih penting daripada mencari tahu segala hal tentang luar angkasa. Ada keindahan dalam merasakandan mungkin, dalam hal ini, dia juga sedang merasakan cinta.
mereka begitu bertolak belakang. Sandy selalu terikat pada ilmu pengetahuan dan logika, sementara Asha lebih mengutamakan perasaan dan imajinasi. Meskipun mereka merasa terhubung, ada keraguan yang mulai mengganggu pikirannya. Apakah perasaan ini akan bertahan?
Suatu hari, Sandy memutuskan untuk berbicara dengan Asha tentang perasaan yang semakin kuat ini. Mereka duduk di bangku taman yang sama, namun kali ini, perasaan yang lebih berat mengisi udara di antara mereka.
Sandy:
“Asha, aku mulai merasa ada sesuatu yang berbeda di antara kita. Aku tidak tahu apakah ini hanya perasaan sementara atau sesuatu yang lebih…”
Asha menatapnya dengan lembut, menyadari kecemasan yang mulai muncul di wajah Sandy. Dia tahu betul bahwa mereka berasal dari dunia yang berbeda, dan dia juga tidak yakin apa yang akan terjadi di masa depan. Namun, dia tahu satu hal: perasaan yang mereka miliki saat ini sangat berharga.
Asha:
“Aku tahu, Sandy. Aku merasa itu juga. Tapi, kita tidak perlu tahu semua jawabannya sekarang, kan? Mungkin kita bisa menjalaninya, menikmati perjalanan ini.”
Sandy terdiam, merasa sedikit lega meskipun keraguan masih ada. Mungkin Asha benar, mungkin mereka tidak perlu terburu-buru untuk mencari jawaban. Yang penting adalah mereka saling merasakan dan menikmati momen ini bersama.
Keinginan yang Semakin Tumbuh
Semakin lama, Sandy merasa semakin sulit untuk menyangkal perasaannya terhadap Asha. Setiap detik bersama Asha terasa begitu berharga, dan Sandy mulai menyadari bahwa ia ingin lebih dari sekadar pertemanan. Cinta ini tumbuh dengan cara yang tidak pernah ia duga sebelumnya secara perlahan, namun pasti. Namun, ia juga tahu bahwa ada banyak hal yang harus dihadapi jika mereka memutuskan untuk berjalan bersama.
Pada suatu malam, setelah berbincang tentang berbagai hal, Asha tiba-tiba bertanya dengan senyum misterius.
Asha:
“Sandy, apakah kamu pernah berpikir, bagaimana jika kita mencoba melihat dunia ini dengan cara yang berbeda? Tanpa terlalu banyak keraguan atau batasan.”
Sandy menatap Asha, merasakan kehangatan yang mengalir dari kata-kata itu. Mungkin inilah saatnya untuk menerima bahwa cinta merekam meskipun berada di antara dua dunia yang sangat berbeda adalah sesuatu yang nyata, yang patut diperjuangkan.
Perasaan yang Tidak Bisa Dihindari
Malam semakin larut, dan Sandy merasa gelisah. Dia berjalan menyusuri kampus yang hampir kosong, hanya suara langkah kakinya yang terdengar di jalan setapak yang tertutup oleh daun-daun kering. Pikirannya berkecamuk, memikirkan semua percakapan dengan Asha, segala hal yang telah mereka bagikan bersama, dan perasaan yang semakin tumbuh dalam dirinya.
Sandy bukanlah seseorang yang terbiasa dengan perasaan ini rasaan yang mengganggu dan membuatnya bingung. Sebagai seorang ilmuwan, dia selalu mengandalkan logika, sesuatu yang terukur, sesuatu yang dapat dijelaskan. Tetapi perasaan terhadap Asha, yang terus menerus mengisi pikirannya, tidak terdefinisikan dengan kata-kata. Rasanya, itu lebih seperti gravitasi yang menariknya ke suatu arah, tanpa bisa dia hindari.
Ponselnya bergetar di dalam saku jaketnya. Itu adalah pesan dari Asha.
Asha:
“Sandy, ada sesuatu yang ingin aku ceritakan padamu. Bisakah kita bertemu malam ini?”
Sandy berhenti sejenak, membaca pesan itu beberapa kali. Suasana hati Asha terlihat berbeda. Ada ketegangan di dalam kata-kata itu, dan Sandy merasa hatinya berdebar. Dengan cepat, dia membalas.
Sandy:
*”Tentu, aku akan menemuimu. Dimana?”
Asha:
“Di tempat biasa. Di bawah pohon besar di taman kampus. Aku menunggumu.”
Sandy merasa ada sesuatu yang berbeda dalam pesan itu. Asha selalu menjadi pribadi yang terbuka dan penuh semangat, tetapi kali ini ada sesuatu yang lebih serius dalam kata-katanya. Dengan rasa ingin tahu yang semakin mendalam, Sandy menuju taman kampus.
Pergolakan Perasaan yang Tak Terucapkan
Saat sampai di taman, Sandy melihat Asha sudah duduk di bawah pohon besar yang mereka sering kunjungi. Wajah Asha terlihat sedikit tertekan, namun masih ada senyuman kecil yang tersungging di bibirnya. Asha menyambutnya dengan anggukan kepala.”Terima kasih sudah datang, Sandy. Aku tahu ini mungkin agak mendadak.”
Sandy:
“Tidak apa-apa, Asha. Apa yang ingin kamu bicarakan?”
Sandy duduk di sampingnya, merasakan ketegangan di udara. Di bawah langit malam yang penuh dengan bintang, sepertinya ada perasaan yang tak terucapkan di antara mereka. Asha menatap bintang-bintang itu dengan tatapan yang penuh arti, seolah ia sedang mencari jawaban di dalamnya.
Asha:
“Aku… aku ingin kita jujur satu sama lain.”
Asha berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Aku merasa ada sesuatu yang semakin tumbuh di antara kita, Sandy. Sesuatu yang aku tidak tahu harus dijelaskan dengan kata-kata apa.”
Sandy terdiam sejenak. Perasaan itu yang semakin jelas di dalam dirinya, yang selalu hadir setiap kali mereka bersama, akhirnya mulai diungkapkan dengan terang. Namun, meskipun hatinya berdebar, Sandy tidak bisa begitu saja mengabaikan keraguan yang mengisi pikirannya.
Sandy:
“Aku juga merasakannya, Asha. Tetapi…”
Sandy menelan ludahnya, merasa cemas. “Kita berasal dari dunia yang sangat berbeda. Kamu dengan seni dan perasaanmu, sementara aku dengan ilmu dan impian besar yang tak pernah bisa dijelaskan dengan kata-kata.”
Asha menatapnya dengan lembut, seolah memahami setiap keraguan yang ada di dalam hati Sandy.
Asha:
“Aku tahu, Sandy. Dunia kita memang berbeda. Namun, bukankah itu yang membuat perasaan ini begitu menarik? Kita menemukan sesuatu yang saling melengkapi.”
Sandy merasakan kehangatan dalam kata-kata Asha. Meskipun ada kekhawatiran yang mengisi pikirannya, hatinya mulai memahami bahwa perasaan ini, meskipun sulit dijelaskan, bukanlah sesuatu yang bisa dibiarkan begitu saja. Ada sesuatu dalam diri Asha yang membuatnya merasa ingin bertahan, meski ketidakpastian terus mengguncang hatinya.
8. Cinta yang Menjadi Kenyataan
Setelah percakapan itu, hubungan mereka semakin mendalam. Setiap hari, Sandy merasa semakin terikat dengan Asha. Mereka sering bertemu di tempat yang sama, berbincang tentang bintang, tentang hidup, dan tentang mimpi-mimpi mereka. Sandy mulai belajar untuk membuka hatinya terhadap perasaan yang selama ini ia tutup rapat-rapat. Asha mengajarinya bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa dihitung dengan logika, tetapi sesuatu yang harus dirasakan, dipahami dengan hati.
Namun, meskipun perasaan itu semakin tumbuh, Sandy tetap merasa ada ketidakpastian yang menggelayuti pikirannya. Bagaimana jika mereka tidak bisa bertahan? Bagaimana jika perbedaan antara dunia mereka akhirnya memisahkan mereka?
Suatu malam, ketika mereka duduk di taman yang sama, Asha bertanya dengan lembut, seolah membaca perasaan yang tak terucapkan di hati Sandy.”Apa yang kamu takutkan, Sandy? Apa yang membuatmu ragu tentang kita?”
Sandy menatap Asha, merasa cemas dan bingung. Dia ingin berkata bahwa dia takut kehilangan sesuatu yang berharga, tetapi kata-kata itu terasa begitu sulit keluar dari bibirnya. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad, Sandy berbicara.
Sandy:
“Aku takut, Asha. Aku takut bahwa kita akan terpisah oleh jarak, atau oleh perbedaan dunia kita. Aku takut aku akan lebih memilih impian-impian besar itu daripada memilihmu.”
Asha mendekat dan memegang tangan Sandy dengan lembut. Tatapan matanya penuh dengan pengertian dan keyakinan.
Asha:
“Sandy, aku tahu impianmu sangat penting, dan aku tidak ingin menghalangimu untuk mengejarnya. Tapi, aku ingin kamu tahu bahwa aku di sini, selalu ada. Aku percaya, apapun yang terjadi, kita akan menemukan cara untuk bersama. Mungkin tidak sekarang, mungkin tidak mudah, tapi aku yakin kita bisa.”
Kata-kata Asha menggetarkan hati Sandy. Meskipun ada ketakutan yang menyelimuti dirinya, ada kehangatan yang datang dari kata-kata Asha. Perasaan yang selama ini ia coba hindari, perlahan-lahan mulai terbuka. Mungkin ini adalah cinta yang tidak sempurna, namun Sandy merasa bahwa cinta ini memiliki kekuatan yang lebih besar dari segala ketakutan yang ada.
. Keinginan untuk Bertahan
Beberapa minggu berlalu, dan Sandy merasa hatinya semakin mantap. Meskipun mereka berasal dari dunia yang berbeda, mereka menemukan cara untuk saling memahami dan menghargai satu sama lain. Mimpi-mimpi besar Sandy untuk menjelajahi luar angkasa masih ada, namun kini ia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih penting yang harus dijalani.
Pada suatu malam, di bawah langit yang penuh bintang, Sandy dan Asha duduk berdampingan. Mereka tak perlu berkata banyak untuk saling memahami. Semua yang mereka rasakan sudah ada di dalam hati mereka.
Sandy:
“Asha, aku ingin kamu tahu satu hal. Aku akan mengejar impianku, itu sudah pasti. Tapi aku juga ingin kamu tahu bahwa aku ingin kita tetap bersama. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi aku ingin kita berjuang untuk itu.”
Asha tersenyum dan memeluk Sandy dengan erat. “Aku juga ingin kita tetap bersama, Sandy. Karena aku tahu, meskipun jarak dan waktu akan menguji kita, cinta ini akan bertahan.”
Di bawah langit yang tak pernah berubah, dengan bintang-bintang yang terus berkelap-kelip, Sandy merasa lebih yakin dari sebelumnya. Mungkin mereka berada di dunia yang sangat berbeda, tetapi pada malam itu, mereka merasa lebih dekat dari sebelumnya. Cinta mereka, meskipun tidak sempurna, adalah sesuatu yang nyata sesuatu yang patut diperjuangkan.*
Bab 3: Ketakutan yang Muncul
Awal Ketegangan
Pagi itu terasa dingin. Sandy duduk di meja belajarnya, menatap layar komputer yang menampilkan grafik dan angka yang sulit dimengerti oleh orang biasa, tetapi justru memunculkan kegembiraan dalam dirinya. Namun, meskipun dunia ilmiah ini memuaskan kecerdasannya, pikirannya terus kembali pada Asha. Kecemasan yang ia rasakan semakin sulit untuk diabaikan.
Keinginan untuk mengejar karir di luar angkasa, impian yang selama ini ia kejar, tiba-tiba terasa lebih jauh dari jangkauan. Cinta yang tumbuh di antara dirinya dan Asha mulai memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru. Apa yang akan terjadi jika dunia mereka terus berjalan dalam dua jalur yang terpisah? Bagaimana jika impian besar Sandy membawanya jauh dari Asha? Bagaimana jika hubungan ini tak mampu bertahan?
Sandy menekan ponselnya, membuka pesan yang baru saja diterimanya dari Asha.
Asha:
“Sandy, aku ingin bicara. Aku rasa ada yang perlu kita diskusikan.”
Pesan itu terasa seperti petir yang menghantam jantungnya. Hanya beberapa kata, namun begitu kuat dampaknya. Apa yang perlu didiskusikan? Apakah Asha merasakan hal yang sama? Apakah ini berarti hubungan mereka sedang berada di ujung tanduk? Semua ketakutan itu muncul dalam sekejap.
Sandy tahu, tanpa sadar, bahwa mereka berdua telah berada di titik yang sangat penting dalam hubungan mereka. Cinta mereka yang semakin berkembang mulai menghadapi rintangan yang tidak bisa lagi mereka hindari. Ketidakpastian mulai merayap masuk ke dalam perasaan mereka. Tanpa banyak berpikir, Sandy membalas pesan itu.
Sandy:
“Aku juga ingin bicara, Asha. Ayo kita bertemu.”
Pertemuan yang Dibatasi Ketakutan
Malam itu, mereka bertemu di tempat yang biasa di bawah pohon besar yang telah menjadi saksi perjalanan cinta mereka. Asha sudah menunggu, mengenakan jaket tebal dan rambut yang dibiarkan tergerai. Ketika Sandy mendekat, ia melihat Asha tampak lebih serius dari biasanya, wajahnya terlihat cemas dan sedikit tertekan.
Sandy merasa hatinya semakin berat. Ia merasa seperti ada sesuatu yang sangat besar di antara mereka, sesuatu yang mereka belum bisa ungkapkan dengan kata-kata. Tanpa mengucapkan apa-apa, mereka duduk bersebelahan. Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang terasa berat.
Asha:
“Sandy, aku… aku takut.”
Sandy menatapnya dengan penuh perhatian, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Suara Asha sedikit gemetar, dan Sandy bisa merasakan ketegangan yang ada di udara.
Sandy
“Asha, apa yang kamu takutkan? Apa yang terjadi?”
Asha menarik napas dalam-dalam, seolah-olah mencoba menenangkan diri sebelum melanjutkan.
Asha:
“Aku takut, Sandy. Aku takut kita tidak bisa bertahan. Aku takut impian-impianmu akan membuatmu pergi jauh dari aku. Aku takut aku tidak cukup untuk membuatmu tinggal, atau untuk menjadi bagian dari dunia yang kamu impikan.”
Sandy terdiam, merasakan hatinya seolah terhimpit oleh kata-kata itu. Ketakutan yang ia dengar di suara Asha adalah ketakutan yang juga mulai menghantui dirinya. Meskipun ia tidak ingin mengakuinya, hatinya merasa berat. Ketakutan Asha adalah cerminan dari ketakutannya sendiri.
Sandy:
“Aku juga takut, Asha. Aku takut kita tidak bisa mengatasi perbedaan dunia kita. Aku takut impian-impian besar itu akan membuat kita terpisah.”
Suasana menjadi lebih tegang. Keheningan mengisi ruang di antara mereka, dan Sandy merasa seperti terjebak dalam labirin ketakutan yang tidak bisa ia tembus.
*sha:
“Aku tahu aku bukan bagian dari dunia ilmiah yang kamu jalani. Aku tahu aku tidak bisa membantumu mengukur bintang-bintang atau mengejar impian besar yang kamu miliki. Tapi, aku merasa terhubung denganmu, Sandy. Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar di sini, sesuatu yang tak bisa dijelaskan hanya dengan logika.”
Sandy merasa hatinya teriris. Asha benar, ia sudah merasa ada sesuatu yang sangat kuat, sesuatu yang tak bisa dia jelaskan. Namun, dia juga merasa sangat ragu. Dunia mereka terlalu berbeda. Cinta yang tumbuh di antara mereka seakan berada di dua dunia yang terpisah. Asha dengan imajinasi dan seni, sementara Sandy dengan dunia logika dan matematika yang keras.
Cinta yang Tertahan dalam Keraguan
Hari-hari setelah pertemuan itu terasa penuh ketegangan. Sandy tidak bisa menghindari pikiran tentang Asha. Setiap kali dia menatap langit malam, dia teringat pada percakapan mereka. Ketakutan yang muncul takut akan kehilangan, takut akan perbedaan, dan takut tidak bisa menyeimbangkan antara impian dan cinta semakin membebani pikirannya.
Sandy merasa bimbang. Di satu sisi, impian untuk menjelajah luar angkasa adalah tujuan hidupnya yang telah ia kejar sejak kecil. Namun, di sisi lain, ada Asha. Ada cinta yang tumbuh dengan begitu cepat, begitu intens, dan begitu nyata. Tidak ada jawaban yang mudah. Setiap malam, Sandy merenung, mencoba mencari solusi yang terbaik. Apakah dia harus memilih antara mengejar impian besar itu atau bertahan dengan Asha?
Suatu malam, mereka bertemu lagi. Asha menatap Sandy dengan mata yang penuh harap. Namun, kali ini, Sandy bisa merasakan jarak yang lebih besar di antara mereka. Ada ketidakpastian yang semakin membingungkan. Asha, yang selalu penuh dengan senyum dan semangat, kini terlihat lebih rapuh.
Sandy:
“Asha, aku… aku merasa takut. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”
Asha:
“Aku juga, Sandy. Aku merasa seperti kita berada di persimpangan jalan yang sangat penting. Aku takut, aku akan kehilanganmu.”
Sandy menggenggam tangan Asha dengan lembut, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Namun, hatinya tetap dipenuhi dengan kebingungan. Mereka sedang berada di persimpangan yang sangat sulit, dan dia merasa tidak tahu harus berbuat apa.
Sandy:
“Aku ingin kita bertahan, Asha. Tapi, aku juga ingin mengejar impianku. Aku takut jika aku terlalu fokus pada hubungan ini, aku akan meninggalkan impian yang telah lama aku perjuangkan.”
Asha menunduk, mencoba memahami perasaan Sandy. Ia tahu betul bagaimana perasaan Sandy, bagaimana impian besar itu telah mengarahkan langkah-langkahnya sejauh ini. Namun, Asha juga merasakan kekosongan yang muncul dalam dirinya setiap kali Sandy menunjukkan keraguan. Ia tidak ingin menghalangi impian Sandy, tetapi dia juga tidak ingin kehilangan apa yang mereka miliki.
Asha:
“Aku tidak akan menghalangimu, Sandy. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, denganmu. Apa pun yang kamu pilih, aku akan mendukungmu. Tapi, aku juga takut… aku takut kamu akan memilih untuk meninggalkanku demi impian itu.”
Ketakutan yang Menyatu dalam Keputusan
Seminggu berlalu, dan setiap hari terasa semakin berat. Sandy mulai merasa bahwa keputusan yang harus ia buat tidak hanya tentang dirinya sendiri, tetapi juga tentang Asha, tentang perasaan yang telah mereka bangun bersama. Cinta ini, meskipun indah, seakan menghadapi ujian yang begitu besar. Setiap kali ia mencoba meredakan ketakutannya, semakin banyak keraguan yang muncul.
Pada malam yang tenang, di bawah langit penuh bintang, Sandy berdiri di dekat jendela kamar asramanya, memandangi langit yang luas. Asha pernah berkata bahwa bintang-bintang itu selalu ada, meski tak selalu terlihat. Tetapi kali ini, bintang-bintang itu terasa sangat jauh, seolah mereka tidak bisa dijangkau.
Sandy:
“Asha, aku takut. Aku takut kehilanganmu. Aku takut aku akan memilih jalan yang salah.”
Pada malam itu, Sandy memutuskan untuk bertemu dengan Asha sekali lagi. Ia tahu bahwa hanya dengan berbicara, mereka bisa mencari jalan keluar dari kebingungan ini. Ketakutan yang telah menggerogoti hati mereka berdua harus dihadapi. Ini adalah momen yang menentukan, momen di mana mereka harus memutuskan apakah hubungan ini layak diperjuangkan ataukah harus mereka akhiri.
Pertemuan yang Menyentuh Hati
Malam itu, mereka bertemu di taman. Asha sudah menunggu, tampak lebih tenang meskipun masih ada kerutan di dahinya.*
Bab 4: Ketegangan yang Tertahan
Kedekatan yang Terasa Jauh
Setelah pertemuan malam itu, hubungan antara Sandy dan Asha seakan terhenti dalam ruang hampa. Meski mereka terus bertemu dan berbicara, ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka. Ketegangan itu mengisi setiap percakapan, setiap tatapan, dan bahkan setiap langkah yang mereka ambil bersama.
Sandy merasakan perasaan yang mengganjal di dalam dadanya. Ada perasaan cemas yang semakin membesar. Setiap kali ia melihat Asha, ia merasa semakin dekat dengan wanita itu, namun sekaligus semakin jauh. Seolah ada tembok yang menghalangi mereka, tembok yang terbentuk dari keraguan yang tak bisa diselesaikan hanya dengan kata-kata.
Di sisi lain, Asha juga merasakan hal yang sama. Meskipun dia selalu berusaha tersenyum, ada kegelisahan di matanya yang tak bisa ia sembunyikan. Ketakutannya akan masa depan semakin menggerogoti pikirannya. Mungkin cinta mereka tak cukup kuat untuk mengatasi semua perbedaan ini. Mungkin, mereka sudah berada di ujung yang tak bisa kembali.
Hari demi hari, mereka berdua terjebak dalam ketegangan yang tak terucapkan, dalam kebisuan yang penuh makna. Asha merasa semakin cemas setiap kali melihat Sandy sibuk dengan rencanany rencana yang semakin menjauhkan mereka satu sama lain. Sandy juga merasa terbelah, berusaha memenuhi impian besar yang ia miliki, sementara pada saat yang sama, ia merasakan dorongan kuat untuk tidak meninggalkan Asha.
Konflik Batin yang Makin Menekan
Suatu malam, Sandy berdiri di tepi jendela kamarnya. Angin malam yang dingin menyentuh wajahnya, tetapi hatinya justru terasa lebih berat dari sebelumnya. Pikirannya berkelana, mencoba mencari jalan keluar dari kebingungan yang semakin mendalam. Asha, dengan segala kecemasan dan keraguan yang ia bawa, masih ada dalam pikirannya. Namun, Sandy tahu satu hal dengan pasti: ia merasa semakin terikat pada Asha, semakin sulit untuk melepaskannya.
Namun, impian besar itu, impian untuk menjelajah luar angkasa dan membuat penemuan-penemuan ilmiah yang dapat mengubah dunia, terus menggoda dirinya. Apa yang akan terjadi jika ia harus memilih antara Asha dan impiannya? Apa yang harus dia lakukan jika keduanya tak bisa berdampingan?
Ketegangan itu semakin menyakitkan. Perasaan cinta yang ia rasakan terhadap Asha semakin dalam, namun perasaan takut dan ragu-ragu itu juga semakin kuat. Mungkin cinta saja tidak cukup untuk menjembatani jurang pemisah di antara mereka. Bahkan, mungkin saja impian dan cinta ini saling bertentangan, saling merusak satu sama lain.
Sandy:
“Kenapa rasanya semua hal ini begitu sulit? Kenapa aku merasa begitu terperangkap di antara keduanya?”
Pikiran itu terus menghantui dirinya. Ia ingin berbicara dengan Asha, tetapi apa yang bisa ia katakan? Bagaimana menjelaskan perasaan yang begitu kompleks ini, perasaan yang bertabrakan dalam dirinya?
Sandy mengirimkan pesan ke Asha, berharap bisa menemukan sedikit kejelasan.
Sandy:
*”Asha, aku rasa kita perlu bicara. Aku tidak bisa lagi menahan perasaan ini.”
Beberapa saat setelah pesan itu terkirim, Asha membalas.
Asha:
“Aku tahu, Sandy. Aku juga merasa ada sesuatu yang harus kita bicarakan. Mari kita bertemu malam ini.”*
Sandy merasa sedikit lega, namun perasaan takut masih terus menggantung. Perasaan apa yang akan muncul setelah percakapan itu? Apa yang akan terjadi jika Asha mengungkapkan sesuatu yang ia tak bisa hadapi?
Pertemuan yang Dipenuhi Kecemasan
Malam itu, mereka bertemu di taman kampus, tempat mereka biasa berbicara dengan tenang. Asha sudah ada di sana, duduk di bangku taman, memandang ke langit malam. Tak ada bintang yang tampak, hanya langit yang gelap dan tak terjamah. Sebuah simbol sempurna untuk apa yang dirasakan keduanya—hati yang gelap dan penuh ketegangan.
Asha:
“Sandy, aku rasa kita sudah lama menghindari pembicaraan ini, kan? Kita tidak bisa terus seperti ini. Ada begitu banyak ketegangan yang tidak bisa kita pungkiri.”
Sandy duduk di sampingnya, menarik napas panjang. Ia merasakan beban yang sangat berat di dadanya. Semua ketakutan yang tertahan dalam dirinya akhirnya mulai meledak.
Sandy:
“Aku tahu, Asha. Aku tahu aku sudah menghindar. Tapi aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku ingin tetap bersamamu, aku ingin kita bersama. Tapi impian besar itu… aku tidak bisa begitu saja mengabaikannya. Aku takut jika aku memilih impian itu, aku akan kehilanganmu.”
Asha menatapnya dengan mata yang penuh pengertian, namun ada kesedihan yang terpantul di sana. Dia merasakan setiap kata yang keluar dari mulut Sandy. Bagaimana perasaan ini begitu dekat, namun begitu sulit dicapai? Bagaimana mereka bisa saling mencintai ketika dunia mereka begitu berbeda?
Asha:
“Aku tidak ingin menghalangimu, Sandy. Aku tahu impianmu sangat besar dan penting. Aku tidak ingin menjadi penghalang dalam hidupmu. Tapi aku juga tidak bisa menutup mata. Aku merasa kita tidak bisa terus seperti ini. Ada ketegangan yang tidak bisa kita abaikan.”
Suasana semakin terasa berat. Sandy merasakan perasaan cemas yang semakin membesar. Mereka berdua sedang berada di persimpangan jalan yang sangat sulit. Ada cinta yang begitu dalam, namun di sisi lain, ada ketakutan yang semakin menggerogoti hati mereka.
Sandy:
“Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku merasa terjebak di antara cinta dan impian yang tidak bisa aku tinggalkan.”
Asha menunduk, menyentuh tanah di bawahnya dengan jari-jarinya, mencoba menenangkan diri. Ia tahu betul bagaimana perasaan Sandy. Ia tahu betul betapa besar impian itu bagi Sandy, dan ia tidak ingin menghalanginya. Namun, di sisi lain, ia merasa seolah-olah cinta mereka semakin memudar, tergerus oleh ketegangan yang semakin besar.Asha:
“Aku tidak ta
tahu juga, Sandy. Aku merasa kita mulai saling menjauh meskipun kita berada di tempat yang sama. Ketegangan ini… aku merasa kita sudah terlalu lama menahan semuanya.”
Menghadapi Ketegangan dalam Keputusan
Keesokan harinya, hubungan mereka semakin terasa seperti benang tipis yang hampir putus. Meski mereka berdua ingin bertahan, ada begitu banyak ketegangan yang membuat perasaan mereka menjadi rumit. Sandy merasa bahwa setiap langkahnya semakin jauh dari Asha, meski ia ingin tetap bersamanya.
Keputusan ini tidak mudah. Sandy tahu bahwa dunia mereka sudah tidak sejalan lagi. Mimpi besar itu, yang sudah ada dalam dirinya sejak lama, semakin menuntut perhatian penuh. Namun, ada perasaan dalam dirinya yang tak bisa ia abaikan erasaan bahwa Asha adalah seseorang yang sangat berharga, yang sangat berarti.
Namun, ketegangan itu tidak hanya datang dari dirinya. Asha juga merasakannya. Ia merasa semakin terabaikan, meski Sandy selalu berusaha memberikan perhatian. Setiap kali mereka berbicara, Asha merasa ada sesuatu yang hilang sebuah jembatan yang mulai rapuh di antara mereka.
Asha:
“Sandy, aku ingin kita menyelesaikan ini. Kita tidak bisa terus hidup dalam ketegangan. Kita perlu membuat keputusan.”
Sandy menatap Asha dengan mata yang penuh kecemasan. Ia tahu ini adalah momen yang sangat penting. Apa yang harus mereka pilih? Terus berjuang bersama meskipun ketegangan terus menggerogoti, atau menyerah pada kenyataan bahwa perbedaan mereka sudah terlalu besar untuk dipertahankan?*
Bab 5: Tembus Cahaya
Titik Jenuh
Pagi itu, langit tampak mendung di luar jendela kamar Sandy. Sejak beberapa minggu terakhir, perasaan cemas dan ragu-ragu semakin menguasai dirinya. Setiap percakapan dengan Asha seakan terasa lebih berat, lebih menguras energi, lebih penuh dengan kata-kata yang tak terucapkan. Mereka terus berbicara, tetapi ada jarak yang tak terjamah, sebuah kesenjangan yang tak bisa diatasi hanya dengan usaha mereka berdua.
Sandy merasa hidupnya sedang berada di persimpangan jalan yang sangat sulit. Impian untuk menjelajah luar angkasa, untuk berkontribusi pada dunia ilmiah, semakin terasa lebih dekat. Tetapi, di sisi lain, Asha—wanita yang telah merajut hatinya dengan lembut—ternyata tak bisa ia abaikan begitu saja.
Setiap malam sebelum tidur, Sandy merenung. Berjam-jam ia terjaga, berpikir tentang masa depannya, tentang Asha, dan tentang segala keputusan yang harus ia ambil. Bagaimana jika keduanya harus memilih jalan yang berbeda? Bagaimana jika impian itu, yang telah ada dalam dirinya sejak kecil, ternyata harus memisahkan mereka? Mungkinkah ada jalan keluar? Ataukah mereka akan terjebak dalam perasaan yang saling bertentangan?
Sandy akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan kepada Asha. Ada sesuatu yang harus dibicarakan, sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar kata-kata biasa.
Sandy:
“Asha, aku merasa semakin terperangkap dalam perasaan ini. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin kita bicara lagi, lebih serius kali ini. Bisakah kita bertemu malam ini?”
Pesan itu terkirim, dan Sandy menunggu dengan cemas. Dia tahu bahwa pertemuan ini akan sangat berbeda. Ini bukan sekadar tentang perasaan atau ketegangan semata. Kali ini, mereka harus berbicara tentang masa depan mereka—apakah mereka bisa bertahan bersama, ataukah jalan mereka akan berpisah.
Pertemuan yang Menunggu Pencerahan
Sore itu, Asha datang lebih awal ke tempat mereka biasa bertemu, sebuah taman kecil di pinggir kota. Ada rasa ragu yang jelas tergambar di wajahnya, meskipun dia berusaha tersenyum. Sandy melihat Asha berjalan mendekat dengan langkah lambat, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya.
Asha:
“Sudah lama, ya, kita tidak berbicara serius seperti ini.”
Sandy hanya mengangguk, menatap Asha dengan tatapan yang penuh kecemasan. Ketegangan yang selama ini terpendam antara mereka seakan mencapai puncaknya malam itu. Semua perasaan, semua kata-kata yang tak terucapkan, kini muncul ke permukaan. Mereka sudah lama berusaha menghindari pembicaraan ini, namun malam ini tak bisa dihindari lagi.
sandy:
“Asha, aku… aku merasa kita berada di titik yang sangat sulit. Setiap hari, aku merasa semakin terhimpit antara dua pilihan besar. Di satu sisi, aku ingin terus mengejar impianku. Di sisi lain, aku merasa semakin terikat padamu, semakin sulit untuk membayangkan hidup tanpa kamu.”
Asha menunduk sejenak, menyerap setiap kata yang keluar dari mulut Sandy. Meskipun ia mencoba untuk tampak kuat, matanya tetap menunjukkan kegelisahan. Ada perasaan yang sulit ia ungkapkan. Ia tahu bahwa Sandy berjuang dengan impiannya, dan ia tidak ingin menjadi penghalang dalam perjalanan itu. Namun, ada sesuatu dalam hatinya yang menuntut perhatian lebih sesuatu yang tak bisa ia abaikan lagi.
Asha:
“Sandy, aku tahu betapa besar impianmu, dan aku tidak ingin menghalangi apapun. Aku ingin mendukungmu. Tetapi, aku juga merasa semakin jauh dari kamu. Ada sesuatu yang menghalangi kita, dan aku merasa kita tidak bisa terus berlarut-larut dalam ketegangan seperti ini.”
Sandy merasakan perasaan yang sama. Meskipun ia ingin berjuang bersama Asha, ada perasaan takut yang terus menghantui dirinya. Takut akan kehilangan, takut akan memilih jalan yang salah. Namun, saat mendengar kata-kata Asha, ia merasa ada sedikit kelegaan. Asha tidak menuntut apapun, hanya ingin kebenaran sebuah pencerahan yang bisa mengakhiri kebingungan mereka.
Sandy:
“Asha, aku tidak tahu bagaimana kita bisa bertahan jika kita terus berada di tempat ini. Aku rasa kita butuh jawaban, butuh keputusan yang lebih jelas.”
Asha menghela napas panjang. Ia merasa seolah-olah terjebak dalam waktu yang tak bergerak, namun perasaan itu mengarah pada satu kesimpulan yang tak bisa ia hindari: ada sesuatu yang harus diputuskan.
Menemukan Titik Terang
Saat mereka duduk bersama di bangku taman, angin malam berhembus lembut, memberikan sedikit ketenangan. Tiba-tiba, Asha meraih tangan Sandy, menggenggamnya dengan erat. Sandy menatapnya, bingung dengan apa yang Asha ingin katakan. Ada semacam ketegangan yang mendalam dalam genggaman tangan itu, tetapi juga sebuah harapan yang belum padam.
Asha:
“Sandy, aku ingin kita menemukan cahaya itu, cahaya yang bisa menuntun kita keluar dari ketegangan ini. Aku tahu impianmu sangat besar, dan aku ingin kamu mencapai semuanya. Tapi aku juga ingin kita menemukan cara agar bisa bersama tanpa ada rasa takut, tanpa ada keraguan. Aku ingin kita berjuang untuk itu. Mungkin kita tidak bisa selalu bersama setiap saat, tapi aku yakin kita bisa menemukan cara untuk tetap saling mendukung.”
Asha berbicara dengan suara lembut, tetapi penuh ketegasan. Kata-katanya memberikan pencerahan yang sangat dibutuhkan oleh Sandy. Ia merasa seolah-olah beban yang selama ini menekan dirinya mulai sedikit terangkat. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasakan kelegaan sebuah sinar yang menembus kegelapan ketakutannya.
Sandy:
“Asha… kamu benar. Aku terlalu terfokus pada apa yang aku takuti, dan aku lupa bahwa kita bisa menemukan jalan bersama. Mungkin ini bukan tentang memilih satu jalan, tapi tentang bagaimana kita berjalan beriringan. Aku ingin kita bertahan, Asha. Aku ingin berjuang untuk kita.”
Keduanya saling menatap, dan untuk pertama kalinya, ketegangan yang selama ini ada seakan mencair. Ada pencerahan yang tiba-tiba datang, memberikan mereka sebuah harapan baru. Mereka tahu bahwa hubungan ini tidak akan mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa cinta mereka cukup kuat untuk menembus segala ketegangan yang ada.
Cahaya yang Tembus dari Kegelapan
Setelah pertemuan itu, Sandy dan Asha mulai merasakan perubahan dalam hubungan mereka. Meskipun mereka masih menghadapi tantangan yang besar, mereka kini memiliki pemahaman yang lebih dalam satu sama lain. Mereka mulai menyadari bahwa hidup mereka tidak harus dipisahkan oleh jarak atau perbedaan impian. Yang mereka butuhkan hanyalah kemauan untuk terus berjuang bersama, untuk saling mendukung dan memberikan ruang bagi satu sama lain untuk berkembang.
Sandy kembali pada impiannya untuk mengejar karir luar angkasa, tetapi kali ini, ia tidak merasa terasing dari Asha. Sebaliknya, Asha kini menjadi sumber dukungan yang tak ternilai harganya. Ia menyadari bahwa meskipun jalur hidup mereka berbeda, mereka masih bisa berjalan bersama dengan cara yang unik menemukan cara untuk saling melengkapi.
Asha pun mulai mengejar mimpinya, tidak lagi terikat pada rasa takut kehilangan Sandy. Ia tahu bahwa meskipun mereka berada di dua dunia yang berbeda, mereka bisa tetap berjuang untuk satu tujuanmencapai kebahagiaan dan pemahaman yang lebih dalam dalam hubungan mereka.
Dengan kesadaran baru ini, keduanya merasa ada sebuah cahaya yang menembus kegelapan yang sebelumnya menutupi hubungan mereka. Mereka tahu bahwa meskipun perjalanan mereka tidak mudah, mereka telah menemukan cara untuk menghadapi ketegangan dan rintangan bersama. Cinta mereka tidak lagi terhalang oleh ketakutan atau keraguan, tetapi dipenuhi dengan harapan dan keyakinan untuk tetap bersama, meski jalan mereka tidak selalu lurus.***
———–THE END———