Daftar Isi
- Bab 1 – Awal yang Tak Direncanakan
- Bab 2 – Wajah Baru di Tengah Cerita Lama
- Bab 3 – Senyum yang Menyimpan Luka
- Bab 4 – Rahasia yang Mulai Terungkap
- Bab 5 – Antara Cinta dan Kesetiaan
- Bab 6 – Luka yang Tak Diucap
- Bab 7 – Kamu, Dia, dan Aku
- Bab 8 – Perpisahan yang Tak Pernah Diinginkan
- Bab 9 – Jika Harus Memilih
- Bab 10 – Luka yang Tertinggal
- Bab 11 – Mencintai dalam Diam
- Bab 12 – Antara Kamu, Dia, dan Aku
Bab 1 – Awal yang Tak Direncanakan
Pertemuan pertama yang manis namun tanpa rencana, mempertemukan tiga hati dalam satu takdir yang belum mereka sadari.
Langit sore itu terlihat cerah meskipun ada sedikit mendung yang menggelayuti horizon. Di sebuah kafe kecil yang terletak di pojok kota, Ada duduk sendiri di meja sudut. Wajahnya tampak tertekan, seperti seseorang yang tengah menunggu sesuatu, atau mungkin seseorang. Matanya menatap keluar jendela, tapi pikirannya entah ke mana. Rasa sepi menyelimuti, bukan karena kehadiran fisiknya yang sendirian, tapi karena hatinya yang terasa hampa. Kehidupan yang sebelumnya terasa penuh dengan gairah kini seolah membeku di tengah rutinitas yang menjemukan.
Ada adalah sosok yang terlalu memikirkan orang lain. Sejak kecil, ia selalu menempatkan orang lain di atas dirinya. Namun kini, hatinya dipenuhi oleh kebingungannya sendiri. Perasaan itu datang begitu saja, tanpa dia minta, tanpa peringatan. Perasaan yang muncul ketika ia bertemu dengan seseorang yang seharusnya tidak ada dalam hidupnya.
Kemudian, pintu kafe terbuka. Masuklah seorang pria muda dengan jaket hitam dan rambut yang sedikit berantakan, seperti baru saja terbangun dari tidur yang panjang. Suaranya lembut namun memerintah, “Tolong, satu kopi hitam.” Ada mengenali suara itu. Itu adalah suara yang membuat hatinya berdebar beberapa minggu yang lalu, saat pertama kali mereka bertemu.
Pria itu, Arya, duduk di meja sebelahnya tanpa menyadari Ada sudah ada di sana. Mereka saling menatap sebentar, seolah dunia berhenti sejenak. Ada merasa canggung, namun jantungnya berdegup lebih cepat. Arya tersenyum, senyum yang biasa namun kali ini rasanya berbeda—lebih dalam, lebih bermakna. Senyum yang membangkitkan kenangan yang tak pernah selesai.
“Ada?” Arya akhirnya bertanya, suaranya merendah seiring ia mendekat.
Ada sedikit terkejut, hampir saja ia menumpahkan kopi yang ada di tangannya. “Kamu… Arya?” jawabnya, berusaha menyembunyikan kegugupan.
“Ya, akhirnya kita bertemu lagi. Sepertinya sudah lama, kan?” Arya tersenyum, lalu duduk di kursi yang berlawanan. Ada merasa canggung, tetapi juga senang. Kehadiran Arya di sana mengubah segala sesuatunya, membangkitkan perasaan yang mulai terkubur.
Perkenalan mereka kembali mengingatkan Ada pada malam itu, saat ia dan Arya pertama kali bertemu di sebuah acara musik. Saat itu, segalanya terasa begitu ringan. Mereka berbicara tanpa beban, tertawa, dan menikmati waktu bersama. Ada tidak pernah menyangka bahwa pertemuan itu akan menjadi titik awal dari perasaan yang begitu rumit.
Namun, seiring waktu berjalan, perasaan itu berubah. Ada mulai merasa bingung—apakah ini hanya sekedar pertemuan biasa? Atau ada sesuatu yang lebih, yang harus dihadapi? Keterikatan yang tumbuh secara perlahan itu seolah membawa Ada ke dalam ruang yang tidak pernah ia rencanakan.
Di tengah percakapan ringan mereka, Ada merasakan kehadiran orang lain yang tak tampak, sebuah bayangan yang selalu mengintai di antara keduanya. Ia tahu, di luar sana, ada sosok lain yang perlahan mengisi ruang yang sebelumnya kosong di hidupnya. Tapi, apakah ia siap untuk menerima kenyataan itu?
Saat Arya berbicara tentang mimpinya dan kehidupannya yang penuh tantangan, Ada merasa sedikit tersesat. “Aku masih belum tahu ke mana arah hidupku,” kata Arya dengan senyum yang mengisyaratkan keraguan.
“Aku juga,” jawab Ada singkat, walau hatinya sedang bergejolak. Ada merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertemuan ini, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sebuah rasa yang menyelimuti, tapi juga memberi harapan, kebingungannya semakin membesar.
Saat mereka berdua berjalan keluar dari kafe itu bersama, ada perasaan yang tidak bisa diungkapkan. Tatapan mereka bertemu di bawah cahaya senja yang mulai redup. Pada detik itu, Ada tahu bahwa pertemuan ini, yang terasa begitu tak terencana, akan membawa mereka ke jalan yang tak bisa mereka hindari.
Bab 1 – “Awal yang Tak Direncanakan” ini mengisahkan tentang pertemuan yang tidak pernah direncanakan namun membekas, menandakan awal dari perjalanan emosional yang rumit. Ada dan Arya belum tahu betapa dalam perasaan mereka akan terjalin, tetapi mereka sudah menginjakkan kaki pada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertemuan biasa.
Apakah kamu ingin melanjutkan pengembangan cerita ini ke bab berikutnya, atau ingin penambahan atau perubahan tertentu? 😊
Bab 2 – Wajah Baru di Tengah Cerita Lama
Masuknya sosok baru membawa kegelisahan, dan perlahan mulai menggoyahkan hubungan yang dulu terasa pasti.
Kehidupan Ada mulai terasa seperti cerita yang tak pernah selesai. Setiap hari berulang, seperti lagu lama yang tak pernah berhenti diputar di dalam kepalanya. Ia masih teringat saat-saat pertama bertemu dengan Arya—pria yang kini sering muncul dalam pikirannya. Setiap detik yang mereka habiskan bersama seolah menambah lapisan baru dalam perasaan yang belum bisa ia artikan sepenuhnya. Tapi kini, Ada merasa seperti berada di persimpangan. Ada yang menghalangi, dan Ada tahu itu bukan sekadar perasaan dirinya sendiri.
Hidupnya tiba-tiba terasa berbeda ketika seorang gadis baru datang ke tempat kerjanya, seorang yang tidak hanya cantik, tetapi juga ceria. Namanya Lila. Ia datang ke kantor dengan penuh semangat, memulai hari pertama kerjanya sebagai asisten di bagian administrasi. Ada tidak tahu mengapa, namun saat Lila memperkenalkan diri dengan senyum lebar dan tatapan penuh semangat, Ada merasa ada yang aneh dalam dirinya. Sebuah perasaan yang tidak bisa dijelaskan—seperti ada sesuatu yang mengganjal di dada.
Lila mudah bergaul dengan siapa saja. Semua orang menyukainya, tak terkecuali Arya. Meski mereka bekerja di bidang yang berbeda, Ada sering melihat Arya dan Lila berbicara, berbagi tawa yang rasanya begitu akrab. Dan setiap kali mereka berbicara, Ada merasa ada bagian dari dirinya yang mulai terlupakan. Seperti ada celah yang terbuka lebar, mengundang perasaan yang lebih besar dari sekadar cemburu.
Hari itu, seperti biasa, Arya mengajak Ada untuk makan siang. Namun, ada yang berbeda—Lila ikut bergabung. Perasaan Ada sedikit terkoyak, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. Tentu saja, Lila tidak tahu betapa sulitnya bagi Ada untuk melihat kedekatannya dengan Arya. “Kamu tahu, Lila baru saja pindah ke kota ini,” Arya berkata sambil menatap Ada dengan penuh perhatian, berharap ia bisa menyambut Lila dengan senang hati.
“Aku tahu, selamat datang di kota yang penuh dengan kejutan,” jawab Ada dengan senyum yang terasa agak kaku. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa sulit, seolah ada batu besar yang menghalangi tenggorokannya. Ia mencoba menenangkan diri, namun di dalam hati, ia tahu ada sesuatu yang mengganggu.
Di tengah obrolan ringan mereka, Ada semakin merasa terpinggirkan. Lila dan Arya bercerita dengan antusias tentang tempat-tempat di kota yang belum mereka kunjungi, tentang konser yang baru saja mereka tonton, dan rencana masa depan mereka. Setiap kali Ada mencoba untuk ikut berbicara, selalu ada yang mendahului, ada yang lebih menarik dari kata-katanya.
Tetapi ketika Lila menatapnya dengan senyuman hangat, sesuatu berubah. “Kamu terlihat berbeda hari ini, Ada,” kata Lila, dan suara itu mengalir lembut, seolah mencoba menggali lebih dalam. “Ada yang sedang mengganggu pikiranmu?” Lila bertanya lagi, kali ini lebih serius. Ada terdiam sejenak, berpikir apakah ia harus mengungkapkan perasaannya yang semakin kusut, atau justru menyembunyikannya lebih dalam.
“Sepertinya aku hanya lelah,” jawab Ada akhirnya, berusaha tidak membuat suasana menjadi canggung. Namun, dalam hatinya, ia merasa seperti ada tembok yang semakin tinggi antara dirinya dan dunia di sekitarnya.
Setelah makan siang selesai, mereka semua berpisah, tapi Ada merasa bahwa sesuatu telah berubah. Lila, dengan senyum cerianya, sudah mulai masuk ke dalam dunia mereka—dunia yang pernah hanya ada untuknya dan Arya. Ada merasakan jarak yang semakin besar, seolah wajah baru ini telah mengubah banyak hal tanpa ia sadari.
Malam itu, di kamar tidurnya, Ada duduk termenung. Ia mencoba untuk mengurai semua perasaan yang datang begitu mendalam. Mengapa setiap kali melihat Arya berbicara dengan Lila, hatinya terasa sakit? Mengapa ia merasa seolah ruang dalam hidupnya semakin sempit?
Lila bukanlah musuh, bukan juga seseorang yang harus dijauhi. Namun, kehadirannya menciptakan ruang yang mengubah dinamikanya dengan Arya. Ada merasa terjebak dalam cerita lama yang tak kunjung usai, sementara wajah baru itu datang dengan kebahagiaan dan ceritanya sendiri. Ia mulai meragukan diri sendiri, apakah ia bisa mempertahankan tempatnya di dunia yang tiba-tiba terasa asing ini.
Lima menit sebelum tidur, ponsel Ada berbunyi. Sebuah pesan masuk, dari Arya. “Ada, terima kasih sudah makan siang bareng tadi. Aku suka obrolan kita.” Ada tersenyum pelan, tetapi senyum itu terasa sepi, karena meski kata-kata itu indah, ia tahu ia tak bisa kembali ke waktu yang sama seperti dulu. Wajah baru telah hadir, dan dunia pun harus bergerak maju, meski ia belum siap untuk itu.
Bab 2 – “Wajah Baru di Tengah Cerita Lama” ini menggambarkan bagaimana kehadiran seseorang yang baru dapat mempengaruhi hubungan yang sudah ada, menciptakan ketegangan dan keraguan yang tak terungkap. Ada dihadapkan pada kenyataan bahwa perasaan yang ia miliki terhadap Arya mungkin lebih rumit dari yang ia kira, sementara Lila hadir sebagai penghalang yang tak terduga, meskipun ia sendiri tidak menyadari dampaknya.
Apakah kamu ingin melanjutkan atau ada bagian yang perlu penyesuaian? 😊
Bab 3 – Senyum yang Menyimpan Luka
Salah satu dari mereka mulai menyadari bahwa perasaan tak bisa dibohongi, meski semuanya tampak baik-baik saja di permukaan.
Pagi itu, udara terasa sedikit lebih dingin daripada biasanya. Ada keluar dari apartemennya, langkahnya berat, seolah tak ada semangat yang mengiringinya. Ia tahu, hari ini akan menjadi hari yang berbeda—sebuah hari yang dipenuhi dengan kebingungannya sendiri. Tidak hanya karena keberadaan Lila yang semakin dekat dengan Arya, tetapi juga karena perasaan yang terus tumbuh dalam dirinya, yang entah bagaimana harus dikelola.
Di kantor, segalanya terasa seperti rutinitas yang tak pernah berubah. Ada duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang kosong, pikirannya melayang ke mana-mana. Bahkan suara ketikan keyboard yang biasa ia nikmati kini terdengar asing. Setiap kali ia memalingkan wajah, Arya tampak lebih ceria dari biasanya. Dia sedang berbicara dengan Lila di meja sebelah, berbagi tawa, saling bercanda—sebuah kebahagiaan yang terasa begitu jauh.
Ada mencoba untuk tetap fokus pada pekerjaan, tetapi matanya tak bisa lepas dari keduanya. Arya, dengan senyum hangat yang biasa, kini tampak lebih terbuka, lebih hidup. Sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Lila begitu mudah masuk ke dunia mereka, membuat Ada merasa tersisih. Hati Ada sakit, tapi ia berusaha untuk menyembunyikannya. Setiap kali Lila tertawa, setiap kali Lila berbicara dengan Arya, Ada merasa hatinya semakin tercekik. Namun, ia berusaha tersenyum. Senyum yang ia paksa muncul di bibirnya, senyum yang menyembunyikan segala rasa sesak di dadanya.
Sore itu, Arya datang menghampirinya. “Ada, kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir. Ada menatapnya sejenak, kemudian mengangguk. “Ya, aku baik-baik saja,” jawabnya singkat, meski hatinya berontak.
Tapi Arya tak begitu mudah dikelabui. Ia duduk di samping Ada dan menatapnya dengan perhatian yang mendalam. “Jangan bohong, Ada. Aku tahu kalau ada yang mengganggumu,” katanya lembut. Ada merasakan sesak di dadanya. Ia ingin mengatakan semuanya—tentang perasaannya, tentang kebingungannya, tentang luka yang ia rasakan melihat kedekatan Arya dengan Lila. Tetapi, kata-kata itu terasa berat, terjebak di tenggorokannya.
“Arya, aku… aku hanya lelah,” jawab Ada, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Ia merasakan hatinya semakin berat. Mengapa ia harus merasakan ini? Mengapa semuanya terasa semakin sulit?
Arya menatapnya dengan tatapan yang penuh perhatian, seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, ia hanya diam, tak mengucapkan sepatah kata pun. Mungkin ia terlalu bingung atau terlalu hati-hati, tidak ingin menyakiti Ada lebih jauh. Hening menyelimuti mereka berdua, dan dalam keheningan itu, Ada merasa ada jarak yang semakin lebar. Jarak yang tidak terlihat, namun sangat nyata.
Hari-hari berlalu, dan senyum Ada semakin jarang terlihat. Ia berusaha keras untuk menjaga dirinya tetap teguh, meski di dalam hatinya segala perasaan itu bergejolak. Ia tak ingin menunjukkan kepada siapa pun, bahkan kepada Arya, bahwa ia merasa terluka. Senyum yang ia tunjukkan kepada dunia hanyalah topeng, sebuah pelindung dari rasa yang tak bisa ia ungkapkan.
Suatu hari, saat makan siang, Ada duduk sendirian di kafe favoritnya. Hari itu terasa berbeda, seperti ada sesuatu yang mengikat hatinya dengan kenangan yang belum bisa ia lepaskan. Tiba-tiba, Lila muncul di depannya, duduk di meja yang sama. Ada tak bisa menghindar, dan tanpa berkata apa-apa, Lila mulai berbicara.
“Ada, aku tahu kamu merasa tidak nyaman dengan kedekatanku dengan Arya,” Lila berkata dengan lembut. Ada terkejut mendengarnya. “Aku bukan bermaksud untuk merebut perhatian Arya darimu. Aku hanya… aku hanya ingin menjadi teman baiknya,” tambah Lila, matanya penuh pengertian.
Ada merasa seperti ada beban yang terangkat sedikit, meskipun ia tak tahu harus bagaimana menghadapinya. “Aku hanya… merasa bingung,” jawab Ada pelan, suaranya hampir tenggelam. “Perasaan itu datang begitu saja, dan aku tidak tahu harus bagaimana.”
Lila tersenyum, dan senyumnya itu terasa berbeda—tidak seperti senyum cerianya yang biasa, melainkan senyum yang mengerti, yang penuh dengan empati. “Kadang, perasaan datang tanpa kita pinta. Dan kadang, kita harus belajar melepaskannya, meski itu sangat sulit.”
Ada terdiam sejenak. Kata-kata Lila menembus langsung ke dalam hatinya. Ada merasa perasaan yang ia pendam mulai meledak, tetapi ia tak tahu harus memulai dari mana. “Aku hanya tidak ingin kehilangan semuanya,” jawab Ada akhirnya, suaranya hampir berbisik. “Tapi aku takut… aku takut jika aku mengungkapkan perasaan ini, semuanya akan berubah.”
Lila meraih tangan Ada dengan lembut, “Mungkin memang ada yang berubah, Ada. Tapi itu bukan berarti semuanya hilang. Kadang, perubahan adalah bagian dari proses untuk menemukan kebahagiaan kita sendiri.”
Ada mengangguk pelan, merasakan kehangatan dari sentuhan Lila. Ia merasa sedikit lega, meskipun perasaannya masih terombang-ambing. Tapi untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Ada merasa seperti ada secercah harapan. Mungkin ini bukan tentang memiliki, tetapi tentang memahami dan melepaskan.
Bab 3 – “Senyum yang Menyimpan Luka” ini menggambarkan bagaimana senyum, yang sering kali menjadi pelindung bagi perasaan terdalam, bisa menyimpan luka yang tidak terlihat oleh orang lain. Meskipun Ada berusaha menyembunyikan rasa sakitnya, ia mulai menyadari bahwa ada orang-orang yang bisa memahami dan mendukungnya untuk menghadapi perasaan yang tak terungkap. Namun, di balik senyum yang ia berikan, perasaan luka itu terus mengalir, tak bisa disembunyikan selamanya.
Apakah kamu ingin melanjutkan ke bab berikutnya atau ada yang perlu disesuaikan? 😊
Bab 4 – Rahasia yang Mulai Terungkap
Sebuah pesan, sebuah pertemuan diam-diam, dan perasaan yang tak seharusnya muncul—semuanya menuntut penjelasan.
Hari-hari berlalu dengan cepat, namun perasaan di dalam hati Ada tak juga berubah. Meski ia berusaha menjalani rutinitasnya dengan sebaik mungkin, ada sesuatu yang tak bisa ia lupakan—perasaan yang tumbuh untuk Arya, dan kenyataan bahwa dirinya terjebak di antara dua dunia yang sulit dipahami. Perasaan itu semakin menggerogoti hatinya, dan ia merasa semakin sulit untuk menutupinya.
Di kantor, meskipun Ada dan Lila mulai saling terbuka, Ada tetap merasa ada jarak yang tak bisa ia rapatkan. Lila tampak semakin dekat dengan Arya, dan meskipun mereka berteman dengan baik, Ada tidak bisa menghilangkan perasaan cemburunya yang semakin kuat. Setiap senyum, tawa, dan candaan antara Lila dan Arya, semakin terasa menyesakkan bagi Ada. Ada tahu, ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam kebingungannya sendiri. Ia harus menghadapi kenyataan, meskipun itu terasa sangat sulit.
Suatu hari, setelah jam kantor selesai, Ada dan Arya duduk bersama di taman kota yang sepi. Ada merasa sedikit cemas, tapi ia tahu ini adalah kesempatan untuk berbicara dengan Arya, mengungkapkan segala yang telah lama dipendam. Arya duduk di sampingnya, menatap ke depan dengan senyum yang biasa ia tunjukkan. Ada menelan ludah, mencoba untuk mengumpulkan keberanian.
“Arya,” kata Ada, suaranya terdengar pelan namun penuh ketegasan. “Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu.”
Arya menoleh, menatapnya dengan tatapan yang penuh perhatian. “Apa itu, Ada?” tanyanya lembut, merasa ada yang berbeda dengan sikap Ada hari ini.
Ada menarik napas panjang, matanya bertemu dengan mata Arya. “Aku… aku merasa ada sesuatu yang berubah antara kita. Aku… aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi aku merasa semakin kesulitan untuk mengabaikan perasaan ini,” kata Ada, suaranya mulai bergetar.
Arya terdiam sejenak, seolah memikirkan kata-kata yang baru saja didengar. “Perasaan apa yang kamu maksud, Ada?” tanyanya dengan lembut, wajahnya tampak bingung namun penuh pengertian.
Ada menatapnya, merasa hatinya semakin berat. “Perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan. Perasaan yang aku coba sembunyikan karena aku tahu itu salah. Aku tahu kamu sudah dekat dengan Lila, dan aku tidak ingin merusak apa yang sudah ada di antara kalian. Tapi aku… aku tidak bisa mengabaikannya lagi.”
Setelah beberapa detik keheningan, Arya akhirnya mengangguk pelan. “Aku… aku tidak tahu apa yang harus aku katakan, Ada,” katanya dengan suara pelan. “Aku merasa sangat dekat dengan Lila, itu benar. Tapi aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku… aku merasa ada sesuatu yang berbeda denganmu juga, Ada.”
Mendengar itu, hati Ada berdebar kencang. Ada rasa lega dan bingung yang campur aduk. Apakah ini saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya? Apakah Arya merasakan hal yang sama, ataukah hanya perasaan yang dia miliki tanpa benar-benar mengerti apa yang terjadi dalam dirinya?
Namun, sebelum Ada bisa melanjutkan kata-katanya, suara tawa Lila terdengar dari jauh. Lila berjalan mendekat dengan senyum ceria di wajahnya, tidak menyadari bahwa percakapan yang baru saja terjadi antara Ada dan Arya mungkin akan mengubah segalanya. Ada merasa seperti ada yang tertahan di dalam dirinya, namun ia mencoba tetap tenang.
Lila menghampiri mereka dengan langkah santai. “Ada, Arya, kalian sudah selesai? Aku baru saja menemukan kafe baru di ujung jalan, kalian harus coba!” katanya dengan semangat, seolah tidak ada yang terjadi. Ada memaksakan senyum, meski hatinya terasa hampa.
“Ya, kita akan ikut, Lila,” jawab Arya, berusaha untuk kembali ke suasana yang biasa. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia berbicara kepada Lila—sesuatu yang tidak bisa dipahami Ada sepenuhnya.
Di tengah perjalanan menuju kafe yang dimaksud Lila, Ada merasa seperti ia berjalan di atas jurang tipis antara dua dunia. Dunia yang ingin ia capai, di mana perasaan itu bisa diungkapkan tanpa rasa takut. Dan dunia yang sekarang, dunia yang penuh dengan kebingungan dan ketidakpastian. Ia merasa seperti sebuah rahasia yang tertahan di dalam diri, rahasia yang mulai terungkap pelan-pelan namun tetap menyakitkan.
Saat mereka tiba di kafe, suasana ramai dengan tawa dan perbincangan. Lila duduk dengan ceria, sementara Ada dan Arya duduk berdekatan, namun terasa ada jarak yang tak terucapkan di antara mereka. Dalam diam, Ada merasakan bahwa apa yang dia ungkapkan kepada Arya tidak hanya sebuah perasaan, melainkan sebuah perubahan besar dalam hubungan mereka. Arya mungkin tak tahu harus bagaimana meresponnya, dan Lila—meskipun tidak sadar—sudah mengisi sebagian besar ruang dalam hidup mereka.
Di balik senyuman yang terpaksa Ada berikan, ada sebuah perasaan yang semakin tumbuh—rahasia yang perlahan mulai terungkap, namun tetap belum selesai. Bagaimana mereka akan menghadapinya? Apakah perasaan yang tersimpan ini akan mengubah segalanya, atau malah semakin memisahkan mereka? Ada tidak tahu jawabannya, tetapi ia tahu satu hal—hidup mereka kini tak akan pernah sama lagi.
Bab 4 – “Rahasia yang Mulai Terungkap” menggambarkan bagaimana perasaan yang terpendam mulai muncul ke permukaan, meski dalam bentuk yang penuh ketakutan dan kebingungannya. Ada merasa berada di persimpangan jalan, dan ia harus memutuskan apakah akan terus memendam perasaan atau berani menghadapinya meskipun itu bisa menghancurkan segalanya. Konflik batin yang dialami Ada semakin memuncak, dan rahasia yang terpendam semakin sulit untuk disembunyikan.
Bab 5 – Antara Cinta dan Kesetiaan
Mereka harus memilih: tetap tinggal karena janji, atau pergi karena hati sudah berubah.
Pagi itu, Ada duduk di ruang tamu apartemennya, menatap cangkir kopi yang sudah dingin. Pikirannya kembali teralihkan pada percakapan kemarin dengan Arya—percakapan yang membawanya ke sebuah titik yang tak terduga. Dalam keheningan, Ada merasakan konflik yang semakin dalam di dalam dirinya. Di satu sisi, ia merasa ada perasaan yang tak bisa dihindari antara dirinya dan Arya. Di sisi lain, ada Lila, sahabat yang sudah lama dekat dengan Arya, dan kesetiaan kepada sahabat itulah yang kini terasa lebih berat di pundaknya.
Hari demi hari, Ada berusaha untuk memendam perasaan itu, meyakinkan dirinya bahwa tidak ada yang bisa berubah. Lila dan Arya adalah dua orang yang begitu dekat, dan Ada tidak ingin menjadi penghalang dalam hubungan mereka. Namun, setiap kali ia melihat Lila dan Arya tertawa bersama, ada rasa sesak yang menghimpit dadanya, sebuah perasaan yang membuatnya merasa kecil dan tak berarti.
Pagi itu, Lila mengundang Ada untuk pergi ke sebuah kafe kecil yang mereka sering kunjungi. Lila tampaknya tidak menyadari apa yang sedang bergumul dalam hati Ada. Ada pun tidak bisa sepenuhnya mengungkapkan kegundahannya, karena takut merusak semuanya. Mereka bertiga, Arya, Lila, dan Ada, masih sering menghabiskan waktu bersama. Ada mencoba meyakinkan dirinya bahwa persahabatan mereka jauh lebih penting daripada perasaan yang tidak seharusnya ada.
Di kafe, Lila berbicara dengan semangat seperti biasa. “Aku senang kita bisa keluar seperti ini, bertiga lagi. Kayaknya sudah lama kita tidak ngumpul bareng, ya?” kata Lila, sambil tersenyum ceria.
Arya, yang duduk di sebelah Lila, mengangguk. “Benar. Aku kangen waktu-waktu seperti ini,” jawabnya, namun ada nada yang berbeda di suaranya. Ada bisa merasakannya, ada kehangatan dalam kata-katanya yang lebih ditujukan untuk Lila daripada dirinya.
Sementara itu, Ada hanya memandang mereka dengan senyuman yang terpaksa. Ia berusaha terlihat bahagia, namun hatinya terasa semakin terbelah. Di satu sisi, ada perasaan yang semakin kuat untuk Arya, namun di sisi lain, ada rasa bersalah yang menyelimuti dirinya karena ia tahu ia tidak bisa mengabaikan kesetiaannya pada Lila.
Lila menoleh pada Ada dan dengan antusias berkata, “Ada, aku merasa akhir-akhir ini kamu berbeda. Apa ada yang terjadi? Kamu kelihatan lebih pendiam.”
Mendengar itu, Ada terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Lila bisa merasakan perubahan itu. Namun, Ada hanya bisa tersenyum lemah, mencoba menutupi kegundahan di dalam hatinya. “Aku cuma lagi banyak mikir, Lila,” jawabnya singkat.
Lila tampak puas dengan jawaban itu dan kembali melanjutkan percakapan dengan Arya, sementara Ada tetap tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus menyembunyikan perasaan ini. Cinta yang tumbuh antara dirinya dan Arya bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. Tetapi, ia juga tahu bahwa jika ia mengungkapkan perasaannya, maka ia akan kehilangan Lila, sahabat yang sudah lama menemani hari-harinya.
Seiring berjalannya waktu, Ada semakin merasa terjebak. Setiap kali ia berada di dekat Lila dan Arya, ia merasa seperti sebuah bayangan, tak dapat menembus antara mereka. Ketika Arya memberikan perhatian lebih pada Lila, Ada merasa seolah dirinya terpinggirkan. Dan ketika Arya menatapnya, ada kehangatan yang tak terungkapkan, seolah ada yang belum selesai di antara mereka berdua.
Suatu sore, setelah mereka selesai makan malam bersama, Arya menawarkan untuk mengantar Ada pulang. Lila sudah pergi lebih dulu, dan kesempatan ini adalah yang pertama kalinya bagi Ada untuk berbicara lebih pribadi dengan Arya.
Dalam perjalanan pulang, suasana menjadi hening, hanya terdengar suara mesin mobil yang melaju. Arya mengemudi dengan tenang, sementara Ada menatap jalanan yang semakin gelap. Tiba-tiba, Arya membuka pembicaraan.
“Ada,” suaranya terdengar pelan, namun tegas. “Aku tahu kamu merasa ada yang berbeda antara kita. Aku juga merasakannya. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana.”
Ada menoleh, matanya bertemu dengan mata Arya yang penuh kebingungannya. “Apa maksudmu?” tanyanya, dengan suara yang hampir tak terdengar.
Arya berhenti sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku… aku tahu kita bertiga sudah lama bersama, dan aku tidak ingin merusak semuanya. Tapi aku juga tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Aku merasa ada sesuatu antara kita, Ada. Sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.”
Mendengar itu, Ada merasa dadanya serasa terhimpit. Kata-kata itu seperti angin yang membuyarkan pikirannya. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun mulutnya terasa kaku. Semua perasaan yang selama ini ia pendam seakan meledak begitu saja, tapi di sisi lain, ia tahu bahwa keputusan ini tidak hanya akan mempengaruhi dirinya dan Arya, tetapi juga Lila.
“Arya,” Ada mulai berkata dengan suara rendah, “aku juga merasakannya. Aku… aku merasa ada perasaan yang lebih dalam dari sekadar persahabatan ini. Tapi aku takut, aku takut jika kita mengungkapkannya, aku akan kehilangan sahabatku. Aku tidak ingin merusak apa yang sudah ada.”
Arya terdiam, menatap jalan di depannya. “Aku mengerti,” jawabnya pelan. “Aku juga tidak ingin menyakiti siapa pun, terutama Lila. Tapi aku tidak bisa menutup mata pada apa yang kita rasakan.”
Ada menundukkan kepala, merasa kesedihan menguasai hatinya. “Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyanya dengan suara gemetar.
Di tengah keheningan itu, Arya mengangkat tangan dan menepuk lembut tangan Ada yang ada di atas lutut. “Aku tidak punya jawaban untuk itu, Ada. Tapi yang bisa kita lakukan sekarang adalah memilih untuk jujur pada diri kita sendiri, dan berharap apapun yang terjadi, kita bisa melaluinya bersama.”
Kata-kata itu menggema di dalam hati Ada. Cinta, kesetiaan, dan pilihan yang sulit. Apakah mereka berdua akan memilih untuk melanjutkan hubungan ini meski ada resiko menghancurkan persahabatan mereka? Atau apakah Ada akan tetap memilih untuk menahan perasaannya demi menjaga kedamaian? Pertanyaan itu terus menghantuinya, menunggu jawabannya yang belum tentu bisa ia temukan dengan mudah.
Bab 5 – “Antara Cinta dan Kesetiaan” menggambarkan dilema emosional yang semakin memuncak bagi Ada. Ia dihadapkan pada pilihan yang sulit antara mengikuti perasaannya yang tumbuh untuk Arya atau tetap setia pada sahabatnya, Lila. Konflik batin ini semakin menegangkan, karena setiap pilihan memiliki konsekuensinya sendiri. Cinta dan kesetiaan, dua hal yang sulit untuk dipisahkan, kini menjadi pertarungan dalam diri Ada.
Bab 6 – Luka yang Tak Diucap
Salah satu dari mereka memilih diam. Tapi diam tak pernah benar-benar membungkam rasa sakit yang ada di dalam hati.
Pagi itu, Ada bangun dengan perasaan yang berat. Seperti biasa, ia mencoba menutupi rasa yang mengganjal di dalam dada dengan rutinitas harian. Namun, sejak percakapan malam itu dengan Arya, hatinya terasa semakin rapuh. Luka yang selama ini ia sembunyikan semakin nyata. Luka yang tak diucapkan, tapi selalu ada, menggerogoti pikirannya dan membuatnya merasa terperangkap.
Di luar, langit tampak mendung, mencerminkan perasaan Ada yang penuh kekalutan. Ia memilih untuk berjalan kaki ke kafe tempat ia biasanya bekerja. Selama beberapa hari terakhir, bekerja di kafe ini menjadi cara terbaik untuk melupakan segalanya. Namun, kali ini, saat membuka pintu kafe, Ada merasa bahwa ruang itu tak cukup untuk menutupi luka yang semakin dalam.
Lila, sahabat yang selalu ada di sisi Ada, datang untuk menemani seperti biasa. Mereka duduk bersama di meja kecil di sudut kafe, namun Ada merasakan ada jarak yang tak terkatakan antara mereka. Senyum Lila yang biasa ceria sekarang tampak lebih datar, seakan menyembunyikan kerisauan yang tak ia ungkapkan.
“Ada, aku merasa ada yang berbeda belakangan ini. Kamu seperti menjauh, tapi aku enggak tahu kenapa. Apa ada yang bisa aku bantu?” Lila bertanya, suaranya lembut namun penuh perhatian.
Ada menatap sahabatnya dengan mata yang terasa kosong. Ia ingin sekali membuka mulut, ingin sekali mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, namun hatinya terasa terkunci. Setiap kali ia berpikir untuk mengungkapkan perasaan itu, ada rasa takut yang datang menghantui. Bagaimana jika ini merusak hubungan mereka? Bagaimana jika, dengan mengungkapkan apa yang ada di hatinya, ia justru kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupnya—Arya dan Lila?
“Tidak ada apa-apa, Lila. Aku cuma capek akhir-akhir ini,” jawab Ada, berusaha tersenyum, meskipun senyum itu terasa pahit. Ia tahu Lila tidak akan begitu saja percaya, namun untuk saat ini, itu adalah jawaban terbaik yang bisa ia berikan.
Lila menatap Ada dengan pandangan penuh kasih, namun Ada bisa merasakan ada sesuatu yang tertahan di dalam mata sahabatnya. Lila tahu ada sesuatu yang tidak beres, tapi seolah-olah ia menahan diri untuk tidak terlalu memaksa. “Kalau kamu butuh bicara, aku ada di sini,” katanya pelan.
Namun, saat itu juga, Ada merasa seakan ada sebuah tembok tinggi yang membatasi antara dirinya dan Lila. Ada begitu ingin berbicara, mengungkapkan perasaan yang selama ini ia pendam, tetapi kata-kata itu seperti tercekik di tenggorokannya. Ia merasa kehilangan arah, terjebak dalam labirin perasaan yang tak pernah ia pilih.
Sore itu, setelah Lila pergi lebih dulu, Ada memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki, berusaha untuk membersihkan pikirannya. Namun, setiap langkahnya hanya mengarah pada perasaan yang semakin dalam. Di tengah perjalanan, ponselnya bergetar, dan saat Ada melihat layar, ia melihat nama Arya tertera di sana.
Dengan ragu, Ada menerima telepon itu. “Halo?” suaranya terdengar pelan.
“Ada, aku ingin berbicara denganmu,” suara Arya terdengar serak. Ada bisa merasakan ada sesuatu yang mendalam dalam suaranya, seolah ada ketegangan yang tak terucapkan antara mereka.
Ada terdiam sejenak, perasaannya campur aduk. “Tentang apa?” tanyanya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.
“Aku tahu kamu merasa ada sesuatu yang belum selesai di antara kita. Aku tidak bisa terus-terusan menghindari kenyataan ini. Ada, aku ingin tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan,” Arya berkata, nada suaranya penuh dengan kejujuran yang tak bisa disembunyikan.
Mendengar kata-kata itu, Ada merasa hatinya tersentak. Apa yang seharusnya ia katakan? Apakah ini waktunya untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini ia pendam? Atau apakah ia akan memilih untuk terus menahan luka yang sudah terlalu lama ia simpan?
“Arya… aku…” Ada memulai kalimatnya, namun kata-kata itu terhenti begitu saja. Tak ada suara lain selain suara nafasnya yang terengah-engah. Perasaannya begitu campur aduk, seolah semua kata-kata itu menyatu menjadi sebuah luka yang terlalu dalam untuk diungkapkan.
“Jika kamu belum siap untuk bicara, tidak apa-apa,” kata Arya, terdengar sedikit kecewa. “Aku hanya ingin kamu tahu, aku ada untukmu, apapun yang terjadi.”
Setelah percakapan itu berakhir, Ada merasa hampa. Ia tahu apa yang ia rasakan untuk Arya, namun kebingungannya tentang Lila membuatnya merasa terpecah. Luka yang ia rasakan semakin menganga, dan ia tak tahu bagaimana cara untuk menutupinya. Perasaan cinta, persahabatan, dan kesetiaan seolah bercampur menjadi satu, menghasilkan sebuah luka yang tidak bisa sembuh dengan mudah.
Di malam yang sama, Ada kembali ke apartemennya, menatap langit yang gelap di luar jendela. Ia duduk di sana, terdiam, mencoba mengurai semua perasaan yang ada di dalam dirinya. Mungkin ia harus memilih salah satu—antara mengikuti perasaannya atau tetap menjaga kesetiaan pada sahabatnya. Tetapi, tidak ada yang pernah mengajarkan bagaimana cara untuk menyembuhkan luka tanpa harus merasakan sakit.
Ada tahu, tidak peduli apapun yang ia pilih, luka ini akan tetap ada. Luka yang tak pernah diucapkan, yang akan terus menghantui hatinya selama ia belum bisa menemukan jalan keluar.
Bab 7 – Kamu, Dia, dan Aku
Ketiganya mulai saling menghindar, namun luka yang tertinggal justru mempertemukan mereka kembali dalam ketegangan emosional.
Sudah hampir dua minggu sejak percakapan terakhirnya dengan Arya. Ada merasa dunia seolah diam di sekelilingnya, namun hatinya terus bergejolak. Setiap kali ia mencoba menyembunyikan perasaan itu, perasaan yang kian tak tertahankan, rasanya seperti ada yang selalu mengusik. Setiap kali ia melihat Arya, ada rasa yang muncul, namun di sisi lain, setiap kali ia berada di dekat Lila, ada kekosongan yang ia tak bisa jelaskan. Tiga jiwa yang terhubung, namun saling bertolak belakang.
Pagi itu, Ada duduk di meja makan sambil menatap ponselnya yang kosong. Tidak ada pesan dari Arya, dan Lila pun tidak menghubunginya hari ini. Keheningan itu terasa begitu berat, seolah-olah ia sedang berdiri di persimpangan jalan yang tak ada ujungnya.
Tanpa sadar, ia mengambil tas dan bergegas menuju kafe. Setiap kali ia merasa lelah dengan pikirannya, kafe itu menjadi tempat pelariannya. Tempat di mana ia bisa berada di antara kesibukan orang lain, namun tetap merasa terasingkan.
Ketika ia masuk, aroma kopi yang menguar segera menyapa indra penciumannya, namun hatinya tetap terasa kosong. Ia melihat Lila sudah duduk di sudut meja mereka, wajahnya tertunduk, sibuk dengan ponsel. Lila tidak tampak seperti biasa—senyum cerianya kini teredam, seolah ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Ada melangkah mendekat dan duduk di seberang Lila. “Hei, gimana kabarmu?” tanya Ada dengan suara yang lebih ringan dari yang ia rasakan dalam hatinya.
Lila mengangkat wajahnya, mata mereka bertemu, namun ada kerutan yang jelas tampak di wajah sahabatnya. “Aku baik-baik saja,” jawab Lila, meskipun kata-katanya tidak terdengar meyakinkan.
Ada merasakan ketegangan itu. Ia tahu, ada sesuatu yang sedang Lila sembunyikan. “Aku tahu, Lila. Kalau ada yang ingin kamu bicarakan, aku di sini,” kata Ada, berusaha menawarkan kenyamanan yang sudah lama ia simpan untuk dirinya sendiri.
Lila terdiam, lalu menghela napas panjang. “Aku hanya… aku hanya merasa kamu mulai menjauh. Kita seperti ada di dunia yang berbeda sekarang.” Lila menatap Ada dengan tatapan yang penuh kekhawatiran. “Apakah semuanya baik-baik saja antara kita berdua?”
Kata-kata itu seolah melukai Ada. Ia tahu persis apa yang dirasakan Lila, karena perasaan itu juga yang ia rasakan. Namun, ada satu hal yang tak pernah bisa ia ungkapkan—perasaannya terhadap Arya yang kini semakin kuat, namun ia takut jika hal itu akan menghancurkan segalanya.
“Ada… ada yang ingin aku bicarakan,” kata Lila tiba-tiba, dengan nada serius.
Ada menatapnya, merasa semakin cemas. “Tentang apa?”
Lila menunduk sejenak, kemudian berkata, “Tentang kamu dan Arya.”
Seketika, Ada merasa darahnya berhenti mengalir. “Apa maksudmu?”
Lila menatapnya dengan mata penuh pengertian. “Aku tahu kamu menyukai Arya. Aku bisa merasakannya, Ada. Aku tidak ingin ada yang tersembunyi antara kita.” Suaranya bergetar, seolah-olah kata-katanya harus dilontarkan sekarang, meskipun itu berat.
Ada tidak tahu harus bagaimana. Ia terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari mulut sahabatnya. “Lila…” Suaranya nyaris hilang. “Aku… aku tidak tahu harus bagaimana.”
“Tidak apa-apa kalau kamu merasa seperti itu,” Lila berkata pelan, “Tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku hanya ingin kita jujur satu sama lain, Ada.”
Ada menghela napas berat, menatap sahabatnya yang kini lebih dekat dengan kebenaran yang tak bisa ia hindari. “Aku tidak tahu apakah itu bisa berhasil. Aku tidak ingin kehilanganmu, Lila.”
Lila tersenyum tipis, namun senyumnya kali ini tidak penuh. “Kamu tidak akan kehilangan aku, Ada. Kita berdua tahu ini bukan tentang memilih antara dia atau aku. Ini tentang kamu dan perasaanmu yang kamu sembunyikan terlalu lama.”
Tetapi pada saat yang sama, pikiran Ada terpecah. Semua yang dipendamnya tentang Arya, perasaan yang telah tumbuh sejak lama, dan sekarang ini harus dihadapi. Semakin lama ia berpikir, semakin banyak yang harus diungkapkan, tetapi ia takut jika itu akan menghancurkan segala sesuatu yang telah ia bangun. Bagaimana jika akhirnya ia memilih Arya, tetapi kehilangan Lila? Atau sebaliknya, bagaimana jika ia memilih Lila dan menutup hati untuk Arya yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidupnya?
Setelah beberapa lama terdiam, Ada menggelengkan kepalanya, seolah-olah ingin mengusir semua kekeliruan itu. “Aku tidak tahu apa yang harus aku pilih, Lila,” ujarnya, dengan suara yang hampir hilang. “Tapi aku ingin kita tetap bisa berbicara, seperti yang dulu. Aku… aku ingin kamu tetap ada di sini.”
Lila mengangguk perlahan, meskipun matanya masih menunjukkan kerisauan. “Aku akan selalu ada, Ada. Tidak peduli keputusanmu nanti.”
Hari itu, di kafe yang penuh dengan hiruk pikuk kehidupan, Ada merasa hatinya semakin terbelah. Ia tahu ia tak bisa terus menerus bersembunyi dari kenyataan ini. Ia harus memilih, meskipun pilihan itu akan menyakitkan. Namun, yang lebih ia takutkan adalah, jika ia memilih salah satu, apakah ia masih bisa memiliki keduanya?
Pada saat yang sama, Arya muncul di pintu kafe itu. Ada merasakan detak jantungnya semakin cepat. Arya memandang ke arah Ada dan Lila, lalu berjalan mendekat. “Aku ingin berbicara denganmu, Ada,” katanya, matanya penuh kesungguhan.
Lila menatap mereka berdua sejenak, kemudian berdiri dan memberi mereka ruang. “Aku akan pergi dulu,” ujarnya sambil tersenyum kecil, “Kalian perlu bicara.”
Ketika Lila pergi, Ada menatap Arya yang kini berdiri di depannya. Semua perasaan yang ia pendam, yang ia sembunyikan di dalam hatinya, semakin sulit untuk dihindari.
“Ada, aku tahu ini sulit. Tapi kita tidak bisa terus bersembunyi dari apa yang kita rasakan,” kata Arya dengan suara rendah dan penuh keyakinan.
Ada menatap Arya, mengingat semua kenangan indah mereka bersama, dan akhirnya ia berkata, “Aku tidak tahu apa yang harus aku pilih, Arya… tapi aku tahu aku harus memutuskan, sebelum semuanya terlambat.
Bab 8 – Perpisahan yang Tak Pernah Diinginkan
Ada yang memilih mundur demi kebahagiaan orang lain. Tapi cinta tak pernah benar-benar bisa diatur logika.
Hujan turun dengan deras, membasahi setiap sudut kota yang kini terasa lebih sunyi dari biasanya. Di dalam apartemen kecilnya, Ada duduk di jendela, menatap titik-titik air yang mengalir menuruni kaca. Setiap tetesan seperti menggambarkan perasaan yang ia pendam—berat, penuh sesak, dan tak terhindarkan.
Hari itu seharusnya menjadi hari yang penuh harapan, tetapi justru berakhir dengan keputusasaan. Setelah pertemuan yang tak terelakkan dengan Arya beberapa hari yang lalu, Ada merasa seolah dunia memaksanya untuk membuat keputusan yang sulit, pilihan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Antara Lila yang telah menjadi sahabat sejatinya dan Arya, yang sejak awal hadir dalam hidupnya dengan begitu banyak warna dan kenangan. Ia tak tahu harus bagaimana lagi.
Ponselnya bergetar di meja, sebuah pesan singkat dari Lila muncul di layar.
“Aku sudah memikirkan semuanya, Ada. Aku pikir aku sudah siap dengan keputusan ini. Tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak akan membencimu.”
Ada menatap pesan itu, hatinya bergejolak. Lila, sahabat yang selalu ada dalam setiap tawa dan air mata, kini menyisakan ruang kosong yang semakin besar di hatinya. Lila telah melihat ke dalam dirinya, memahami lebih banyak daripada siapa pun, namun perasaan itu tidak cukup untuk menghapus kenyataan yang harus mereka hadapi.
Pintu apartemen diketuk pelan. Ada tahu siapa yang ada di luar. Arya.
Tanpa menunggu lama, Ada membuka pintu dan melihat Arya berdiri di depan pintu, basah kuyup oleh hujan yang belum berhenti. Wajahnya penuh dengan ketegangan dan kekhawatiran. Namun ada sesuatu di matanya, sesuatu yang tak bisa disembunyikan—rasa cemas yang sama dengan apa yang Ada rasakan.
“Ada…” suara Arya terdengar berat, seolah kata-kata itu harus dipaksakan keluar. “Kamu baik-baik saja?”
Ada mengangguk pelan, meskipun hatinya tak sebaik yang ia tunjukkan. “Aku… aku hanya butuh waktu, Arya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.”
Arya melangkah masuk tanpa menunggu diperbolehkan, seolah ia sudah tahu apa yang terjadi. Hujan yang menggenang di lantai apartemen semakin menambah kesan suram dalam suasana itu. Mereka berdiri di ruang tamu, saling terdiam, seakan-akan kata-kata tak cukup untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan.
“Ada,” Arya akhirnya berkata dengan suara yang rendah, “Aku tahu ini sulit. Tapi aku… aku tidak bisa terus-terusan menunggu tanpa tahu apa yang kamu rasakan. Aku sudah terlalu lama menyimpan perasaan ini, dan aku rasa ini saatnya kita jujur.”
Ada menatapnya, hatinya bergetar. Ia tahu ini adalah saat yang paling menentukan, tapi semakin ia mencoba untuk mencari jawaban, semakin ia merasa hilang. “Aku… aku takut, Arya,” jawab Ada dengan suara yang hampir tenggelam, “Aku takut jika aku memilih salah satu, aku akan kehilangan semuanya. Aku takut jika aku memilihmu, aku akan kehilangan Lila. Tapi jika aku memilih Lila, aku takut aku akan kehilangan perasaan yang semakin kuat untukmu.”
Arya mendekat, lalu dengan hati-hati meraih tangannya. “Aku tidak ingin kamu merasa terjebak, Ada. Aku tahu ini sulit, dan aku tahu kita tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak akan memaksamu memilih apa pun. Aku hanya ingin kamu bahagia, meskipun itu tidak bersama aku.”
Kata-kata itu terasa seperti cambuk yang menyayat hati. Ada merasa seluruh tubuhnya lemas, terbebani dengan keputusan yang tak bisa ia hindari. Namun pada saat yang sama, ia merasakan kenyataan yang semakin menekan. Keputusan itu harus diambil, meskipun hati ini terasa terkoyak.
“Arya… aku tidak tahu apakah aku bisa memilih. Aku merasa kita… kita sudah terlalu jauh, dan aku tidak bisa menahan rasa ini lagi.” Ada menunduk, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. “Tapi aku juga tidak bisa melupakan Lila, aku tidak bisa… menghancurkan persahabatan kita.”
Arya menghela napas panjang. “Aku mengerti, Ada. Aku tidak ingin menghalangi apa pun yang kamu rasakan. Jika kamu memilih Lila, aku akan mengerti. Tapi jika kamu memutuskan untuk berada denganku, aku akan menunggumu, seberat apa pun itu.”
Hening sejenak. Hujan di luar semakin deras, seperti menggambarkan betapa dalamnya perasaan yang ada di dalam hatinya. Ada merasa dunia seperti berputar begitu cepat, dan ia tak tahu lagi apa yang benar atau salah.
Di luar jendela, Ada melihat bayangan Lila berjalan menjauh dari apartemennya. Tatapan itu, tatapan penuh pengertian dan juga kesedihan. Ia tahu Lila mengerti, meskipun tidak ada kata-kata yang diucapkan.
“Ada, aku tidak bisa memaksamu memilih,” kata Arya lagi, dengan nada yang lebih lembut, “Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi. Aku ingin kamu bahagia, tidak peduli dengan apa yang aku rasa.”
Ada merasakan perasaan yang sangat berat. Ia melihat kembali pada sosok Arya, lalu menoleh ke luar jendela, di mana Lila sudah semakin jauh. Perpisahan yang tidak pernah ia inginkan, yang datang tanpa bisa ia elakkan.
Akhirnya, Ada menarik napas dalam-dalam, mencoba menyusun kata-kata yang mungkin bisa meredakan semua kegelisahan itu. “Arya,” katanya, suaranya sedikit gemetar, “Aku harus pergi. Aku harus memberi diriku waktu untuk berpikir, untuk mengetahui apa yang benar-benar aku inginkan.”
Arya terdiam, namun tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya mengangguk, seakan memahami perasaan Ada yang tak terungkapkan sepenuhnya.
Saat Arya pergi, Ada menatapnya untuk terakhir kalinya. Hatinya hancur, namun ia tahu ia harus membuat keputusan yang akan mengubah jalan hidupnya.
Perpisahan ini bukanlah akhir dari segalanya, tetapi mungkin awal dari sebuah babak baru yang tak terduga. Namun, dalam hati Ada, ia tahu—keputusan yang akan ia buat tidak akan pernah mudah, dan perpisahan ini akan meninggalkan luka yang sulit untuk sembuh.
Bab 9 – Jika Harus Memilih
Konflik semakin memuncak. Ketiganya akhirnya dihadapkan pada pilihan yang akan menentukan jalan hidup mereka masing-masing.
Waktu terasa begitu lambat, seolah setiap detik yang berlalu membawa beban yang semakin berat di hati Ada. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, matanya menatap kosong ke luar jendela, di mana langit senja mulai memerah. Senja yang dulu selalu memberi kedamaian kini justru menambah kekosongan yang ada di dalam dirinya. Ia tahu, malam ini adalah malam yang harus ia tentukan, malam di mana ia akan memilih.
Namun, memilih antara Lila dan Arya bukanlah hal yang sederhana. Cinta itu rumit, lebih rumit daripada yang bisa ia bayangkan. Ada tidak bisa menahan perasaan cinta yang tumbuh untuk Arya, tetapi pada saat yang sama, Lila adalah bagian dari hidupnya yang sudah terlalu lama ia kenal—sahabat yang selalu ada dalam setiap senyum dan air mata, seseorang yang begitu penting. Kehilangan salah satu di antara mereka akan menghancurkan banyak hal yang telah ia bangun.
Ponsel di meja samping tempat tidurnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Lila.
“Kamu sudah memutuskan?”
Hati Ada bergejolak. Ia menghela napas panjang, lalu membuka pesan tersebut. Dalam setiap kata yang terkirim, Ada merasakan ada rasa yang tak terucapkan, rasa yang lebih dalam daripada sekadar persahabatan. Lila mungkin sudah tahu apa yang Ada rasakan, bahkan sebelum ia bisa mengatakannya. Tetapi apakah Lila siap untuk mendengarnya?
Ada tak bisa lagi menghindar dari kenyataan ini. Ia mematikan ponselnya, lalu berdiri dan berjalan menuju dapur. Suara detak jam di dinding terdengar semakin keras, seperti mengingatkannya tentang waktu yang semakin terbatas. Pilihan harus segera diambil, dan setiap langkah yang ia ambil menuju pilihan itu terasa seperti perjalanan menuju jurang yang tak terlihat.
Tiba-tiba pintu apartemennya diketuk, dan Ada tahu siapa yang datang. Arya. Tidak perlu kata-kata lagi, karena hanya satu hal yang ada dalam pikiran mereka—keputusan yang harus dibuat.
“Ada, kamu tidak perlu merasa tertekan. Aku tahu ini sulit,” kata Arya dengan suara yang lembut namun tegas, saat melihat Ada berdiri di ambang pintu. “Aku tidak ingin kamu merasa harus memilih aku hanya karena aku memintanya. Aku tahu kamu butuh waktu, dan aku menghargai itu.”
Ada menatap wajah Arya, melihat keraguan dan ketulusan dalam matanya. Ada tahu bahwa Arya benar-benar peduli padanya, tetapi perasaan yang tumbuh di dalam dirinya tidak bisa dipaksakan. Cinta yang hadir begitu cepat, begitu kuat, dan begitu nyata. Namun, ada satu hal yang membuatnya ragu—Lila.
“Jadi, kamu tidak akan menekan aku untuk memilih sekarang?” tanya Ada, suaranya hampir terdengar putus asa.
Arya tersenyum samar, meskipun rasa cemas masih menghiasi wajahnya. “Aku hanya ingin kamu bahagia, Ada. Aku tidak akan memaksamu. Apapun keputusanmu, aku akan menerimanya. Yang penting, kamu harus memilih dengan hati, bukan dengan tekanan dari luar.”
Ada merasa sedikit lega mendengar kata-kata itu, tetapi rasa takut dan kebingungannya belum hilang. Dengan langkah berat, ia berjalan ke balkon, berdiri di tepi dengan pemandangan kota yang tampak jauh di bawahnya. Arya mengikuti, berdiri di sampingnya, tidak mengucapkan sepatah kata pun.
“Arya,” Ada mulai, suaranya lebih lembut dari sebelumnya, “Aku… aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan.”
Arya menoleh ke arahnya, menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulut Ada. Namun, Ada menunduk, merasa tidak bisa menatap langsung wajah pria yang begitu ia cintai.
“Tapi, Arya,” Ada melanjutkan dengan suara yang bergetar, “Aku takut. Aku takut memilih kamu, karena itu berarti aku harus melepaskan Lila. Lila adalah sahabatku. Aku tahu kita tidak bisa melanjutkan ini tanpa ada yang terluka, dan aku tidak tahu apakah aku siap menghadapi konsekuensinya.”
Arya menghela napas panjang. “Aku tahu itu, Ada. Aku tahu kamu merasa terjebak di antara dua cinta. Tapi kamu harus mendengarkan hati kamu, bukan kata orang atau apa yang harusnya terjadi. Cinta itu milikmu, dan hanya kamu yang bisa memutuskan siapa yang pantas untuk mendampingimu.”
Ada mengusap air matanya yang hampir jatuh. Ia tidak ingin menangis lagi. Ia tidak ingin terlihat lemah. Namun, perasaan itu sudah terlalu kuat untuk dipendam. Di matanya, ada kebingungan yang semakin mendalam, dan di hatinya ada rasa yang semakin besar—rasa takut akan kehilangan semuanya.
“Arya, aku harus membuat pilihan yang benar, untuk diriku sendiri. Ini bukan hanya tentang kita berdua. Ini tentang siapa yang bisa membuatku lebih baik, siapa yang bisa menerima aku sepenuhnya, siapa yang akan menemani aku melewati semua rintangan hidup.”
Arya menatapnya, dan meskipun ia bisa melihat betapa beratnya perasaan Ada, ia tetap memilih untuk tetap ada di sana, mendengarkan, tanpa menghakimi. “Apapun yang kamu pilih, Ada, aku akan selalu ada di sini. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan yang sejati, dan aku ingin kamu merasa bebas untuk memilih.”
Ada menatap mata Arya untuk beberapa detik, lalu perlahan mengalihkan pandangannya. Ia tahu apa yang harus ia pilih, meskipun setiap bagian dari dirinya menolak kenyataan itu. Cinta bukan tentang siapa yang lebih baik atau siapa yang lebih cocok, tapi siapa yang bisa menerima luka dan tumbuh bersamanya.
Di saat yang penuh kebingungannya itu, Ada akhirnya menemukan ketenangan dalam dirinya. Ia tahu bahwa keputusan ini akan mengubah segalanya, dan tidak ada jalan kembali. Tetapi, ia juga tahu bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensinya sendiri.
“Terima kasih, Arya,” kata Ada dengan suara yang berat. “Kamu sudah memberi aku ruang untuk memilih dengan bebas. Aku akan memilih… aku akan memilih untuk memberi diriku waktu untuk memikirkan semuanya. Aku belum siap untuk memilih siapa pun sekarang.”
Arya mengangguk, meskipun ada kesedihan yang tersirat di matanya. Namun, ia menerima keputusan Ada dengan lapang dada. Ada tahu, meskipun ini bukanlah keputusan yang ia harapkan, ini adalah langkah pertama menuju penyembuhan dan pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya sendiri.
Malam itu, Ada kembali ke apartemennya, merenung dalam kesendirian, mencoba memahami apa yang sebenarnya ia inginkan, dan apa yang akan terjadi setelah semua ini.
Bab 10 – Luka yang Tertinggal
Satu memilih pergi, satu tetap tinggal, dan satu masih bertanya-tanya: kenapa semuanya harus terjadi seperti ini?
Pagi datang dengan penuh keheningan, seolah dunia pun ikut menunggu keputusan Ada. Waktu berjalan dengan lambat, tapi hatinya tidak bisa berhenti berdebar. Luka yang ditinggalkan bukan hanya di tubuh, tetapi lebih dalam lagi, di jiwa yang terasa hampa. Meski ada banyak hal yang harus dipikirkan, Ada merasa terjebak dalam ingatan yang terus menggelayut, tak dapat ia lepaskan.
Semenjak malam itu, perasaan yang menggelora tak pernah benar-benar hilang. Ada memilih untuk mundur, untuk memberi ruang pada dirinya sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu, luka yang tertinggal setelah perpisahan dengan Arya dan Lila semakin terasa. Cinta yang terputus begitu saja meninggalkan bekas, dan perasaan yang sempat tumbuh kini seakan mati suri, hanya menyisakan kehampaan.
Ada duduk di tepi jendela apartemennya, matanya menatap ke luar. Langit pagi terlihat abu-abu, menyatu dengan warna hatinya yang masih buram. Ia teringat akan senyum Lila yang selalu menjadi penopang, dan bagaimana Arya datang dengan janji yang tulus meski akhirnya tak bisa dipenuhi. Ada tahu, meskipun ia memilih untuk mundur, tak ada yang bisa menghapus perasaan yang sudah tertanam dalam hati.
Namun, luka ini bukan hanya tentang kehilangan. Luka ini adalah tentang pengorbanan, tentang kesadaran bahwa kadang-kadang kita harus melepaskan sesuatu yang kita cintai demi kebahagiaan orang lain. Dan itulah yang Ada rasakan—kesedihan karena ia tahu bahwa keputusannya, meskipun sulit, adalah yang terbaik bagi mereka semua.
Ponselnya berbunyi, menarik Ada dari lamunan. Ada melihat nama Lila muncul di layar.
“Ada, kita harus bicara.”
Tanpa berpikir panjang, Ada langsung menekan tombol jawab. Suara Lila terdengar cemas, penuh keraguan, namun juga penuh harapan.
“Ada, aku tahu ini sulit, dan aku merasa kita tidak bisa terus begini. Aku… aku sudah tahu apa yang terjadi. Tentang kamu dan Arya. Dan aku tidak tahu harus berkata apa lagi.”
Ada merasakan tenggorokannya tercekat. Air mata hampir menetes, tetapi ia menahannya. Tidak ada kata yang lebih tepat selain kejujuran, yang kini ia rasa sudah lama ia sembunyikan.
“Lila, aku tidak pernah bermaksud melukai kamu. Aku tahu aku tidak bisa memilih dengan adil, dan aku tidak bisa terus memaksakan perasaan ini. Tetapi, ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perasaan kita. Aku tak ingin melihat kalian berdua terluka karena aku.”
Lila terdiam, mungkin meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Ada. “Jadi, kamu benar-benar memutuskan untuk mundur? Meninggalkan semuanya?”
“Aku tidak tahu. Aku hanya tahu, aku harus memberi diriku waktu untuk sembuh, untuk benar-benar memahami apa yang aku inginkan.”
Lila menghela napas, seolah merasa beban berat tertanggung di bahunya. “Aku tidak tahu apakah kita bisa kembali seperti dulu, Ada. Tapi aku ingin kamu tahu, aku menghargai apa yang sudah kamu lakukan untukku selama ini. Dan aku berharap kita bisa belajar untuk menerima kenyataan ini bersama-sama.”
Air mata Ada menetes juga akhirnya. Bukan karena kesedihan semata, tetapi karena rasa terima kasih yang mendalam. Lila, sahabat yang sudah begitu lama berada di sisinya, meskipun terluka, tetap bisa memahami keputusan yang ada ambil. Namun, meskipun ada pengertian, perasaan itu tak bisa hilang begitu saja.
Beberapa hari berlalu setelah percakapan itu, dan Ada merasakan waktu yang berjalan sangat pelan. Ia mencoba untuk kembali menjalani hidupnya seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang terasa kosong. Luka yang tertinggal dalam dirinya adalah bukti dari ketidakmampuan untuk memilih dengan bijak, dan meskipun ia memilih untuk mundur, perasaan itu tetap ada, terjebak di antara dua hati yang saling mencintai.
Namun, ada satu hal yang Ada sadari. Luka ini tidak selamanya akan menjadi beban. Ia harus belajar untuk menerima bahwa hidup memang penuh dengan pilihan sulit, dan kadang kita harus menghadapi kenyataan meskipun itu menyakitkan. Ini adalah bagian dari proses tumbuh, dari belajar menerima bahwa cinta tidak selalu berakhir bahagia, tetapi selalu ada pelajaran berharga yang bisa diambil.
Ada kembali duduk di tepi jendela, menatap langit yang kini mulai cerah. Mungkin lukanya tidak akan sembuh dalam waktu dekat, tetapi ia yakin, dengan waktu, segalanya akan menjadi lebih baik. Ia belajar bahwa luka bukan akhir dari segalanya, tetapi sebuah awal dari perjalanan baru yang penuh dengan harapan.
Untuk pertama kalinya setelah berhari-hari diliputi kebingungannya, Ada merasakan kedamaian. Meskipun hatinya masih sakit, ia tahu bahwa langkahnya yang berat untuk melepaskan semuanya adalah keputusan yang tepat. Luka yang tertinggal mungkin masih ada, tetapi ia akan belajar untuk menerima dan melangkah maju.
Bab 11 – Mencintai dalam Diam
Meski tak lagi bersama, cinta tetap tinggal diam-diam di hati. Menjadi bagian dari kenangan yang tak bisa dihapus waktu.
Ada duduk sendiri di balkon rumahnya yang menghadap ke taman belakang, memandangi langit yang perlahan berubah menjadi kelabu saat senja mulai mereda. Udara malam yang sejuk menyentuh wajahnya, tetapi hati Ada terasa hangat—hangat yang datang dari dalam dirinya, dari cinta yang sudah lama ia pendam. Cinta yang tak pernah bisa ia ungkapkan, tak pernah ia ucapkan dengan kata-kata, meski setiap detik terasa penuh dengan perasaan itu.
Sudah begitu lama Ada mencintai Arya dengan cara yang diam-diam. Ia sadar bahwa perasaan ini mungkin tak akan pernah bisa terbalas. Arya telah memilih Lila, dan meskipun Ada ingin sekali mengungkapkan perasaannya, ia tahu betul bahwa tidak ada tempat bagi dirinya di hati Arya. Lila adalah segalanya bagi Arya, dan Ada tidak bisa merusak itu.
Mencintai dalam diam adalah pilihan, atau lebih tepatnya, pengorbanan. Ada tidak bisa menyakiti siapa pun, dan dalam diamnya, ia memilih untuk melihat Arya bahagia, meski bukan bersamanya. Dalam setiap senyum yang ditunjukkan Arya kepada Lila, Ada merasakan campuran kebahagiaan dan kesedihan. Ia merasa senang karena orang yang ia cintai bahagia, tetapi juga terluka karena ia tahu ia tidak bisa menjadi bagian dari kebahagiaan itu.
Hari-hari berlalu dengan sunyi. Ada tetap menjalani hidupnya seperti biasa, bertemu dengan teman-temannya, bekerja, tetapi di dalam hatinya, ada ruang kosong yang tak pernah bisa diisi oleh apa pun selain perasaan itu. Cinta yang tidak bisa ia tunjukkan kepada dunia. Cinta yang terkunci rapat dalam dirinya, dan hanya ia yang tahu betapa dalamnya perasaan itu.
Suatu malam, Ada menerima pesan dari Arya. Pesan yang sangat sederhana, hanya menanyakan kabar dan apakah Ada ingin bertemu untuk minum kopi. Ada tahu bahwa Arya tidak bermaksud apa-apa, hanya sekadar bertanya. Tapi hati Ada tetap berdebar. Ia tidak tahu apakah ia siap bertemu dengan Arya lagi, melihat senyumannya, mendengar suaranya, tanpa bisa mengungkapkan perasaan yang selama ini ia simpan.
Akhirnya, Ada memutuskan untuk bertemu. Ia memilih kafe kecil di sudut kota, tempat yang mereka biasa kunjungi bersama beberapa waktu lalu. Saat ia memasuki kafe, matanya langsung mencari sosok Arya. Arya sudah duduk di meja pojok, memegang cangkir kopi, dengan tatapan yang penuh kehangatan. Meski Ada tahu bahwa mereka hanya berteman, rasa rindu yang tiba-tiba muncul begitu kuat—rindu yang tidak bisa ia ungkapkan.
Mereka saling menyapa, dan percakapan pun dimulai dengan topik yang ringan. Namun, Ada tahu bahwa sesuatu yang lebih dalam sedang mengalir di antara mereka. Tatapan mereka bertemu, dan Ada merasa seolah waktu berhenti. Untuk sejenak, ia merasa dunia hanya milik mereka berdua, meskipun ia tahu itu hanya ilusi.
Arya tersenyum, senyum yang selalu membuat hati Ada berdebar. “Kau terlihat berbeda hari ini, Ada. Lebih tenang, lebih damai. Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada lembut.
Ada merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia hanya tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan perasaannya yang menggebu. “Aku hanya… mencoba menerima kenyataan,” jawabnya dengan suara pelan. “Menerima bahwa beberapa hal tidak selalu seperti yang kita inginkan.”
Arya menatapnya sejenak, seolah mencoba membaca maksud dari kata-kata Ada. Ada tahu bahwa Arya bisa merasakan sesuatu yang berbeda, meskipun ia tidak pernah mengatakannya. Ada merasa semakin berat, tetapi ia tidak bisa mengungkapkan semua yang ada di dalam hatinya. Mencintai dalam diam, sepertinya, adalah jalan yang harus ia pilih. Ia tidak ingin merusak persahabatan mereka, tidak ingin ada yang berubah.
“Kadang, aku merasa seakan ada sesuatu yang belum selesai di antara kita,” ujar Arya dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku tahu kita sudah banyak berubah, tapi aku tetap merasa ada banyak hal yang belum kita bicarakan.”
Ada terdiam, menatap ke arah Arya dengan pandangan yang penuh makna. Bagaimana bisa ia menjelaskan perasaannya yang telah lama terkunci? Bagaimana bisa ia mengungkapkan cinta yang selama ini ia sembunyikan? Ada tahu bahwa Arya juga merasakan sesuatu, meski tidak pernah ada kata-kata yang diucapkan.
“Kadang-kadang,” lanjut Arya, “aku berpikir bahwa jika kita lebih terbuka satu sama lain, mungkin kita bisa menemukan jalan yang berbeda.”
Ada menelan salivanya, hatinya bergejolak. “Terkadang,” ia mulai berbicara dengan suara yang hampir serak, “beberapa jalan memang tidak bisa kita pilih, Arya. Beberapa perasaan memang tidak bisa kita ungkapkan.”
Arya menatapnya dengan tajam, seakan mencoba menangkap setiap kata yang keluar dari bibir Ada. Tetapi, meskipun ada keterikatan yang tak terbantahkan di antara mereka, Ada merasa bahwa ini adalah akhir dari perjalanan perasaan yang tak terucap. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus mencintai Arya seperti ini—dalam diam, tanpa ada harapan.
Malam itu berakhir dengan senyum yang tersembunyi di antara mereka, senyum yang tidak mengungkapkan apa-apa selain persahabatan yang tak bisa lagi dipertahankan. Ada tahu, ia harus melepaskan perasaan ini, walaupun itu terasa sangat sulit.
Setelah meninggalkan kafe, Ada berjalan sendirian di bawah sinar rembulan yang temaram. Ia merasa ada kedamaian yang datang setelah pertemuan itu. Mencintai dalam diam memang membawa luka, tapi itu juga memberi ruang bagi dirinya untuk tumbuh dan belajar menerima kenyataan. Ada mungkin tidak bisa memiliki Arya, tetapi ia belajar untuk mencintai tanpa harus memilikinya—dan itu adalah cinta yang paling murni.
Kadang, cinta bukan tentang memiliki, melainkan tentang merelakan.
Bab 12 – Antara Kamu, Dia, dan Aku
Akhir yang tidak selalu bahagia, tapi penuh kejujuran. Ketiganya belajar bahwa cinta tak selalu berarti memiliki.
Di sebuah sore yang sepi, Ada berdiri di balkon rumahnya, memandangi langit yang mulai meredup. Angin berhembus pelan, seolah membawa semua keraguan dan perasaan yang menggelayuti hatinya. Hari ini, semuanya terasa berbeda. Ada yang menunggu, dan ia tahu itu adalah pertemuan yang telah ia hindari selama ini.
Sudah berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, Ada mencoba untuk menghindar dari pertemuan ini. Ia merasa terjebak antara dua dunia yang berbeda—dunia di mana ia mencintai Arya, dan dunia di mana ia harus menerima kenyataan bahwa Arya telah memilih Lila. Namun, kenyataan itu bukanlah yang membuat hati Ada begitu sesak. Itu adalah kenyataan bahwa meskipun ia tahu apa yang terjadi, ia tetap tidak bisa menghilangkan perasaan itu—perasaan yang tak pernah benar-benar bisa ia lupakan.
Hari itu, Arya menghubunginya lagi. Pesan singkat yang mengundangnya untuk bertemu. Tidak ada kata-kata berlebihan, hanya permintaan sederhana yang seolah memanggilnya untuk menghadapinya. Ada tahu, ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ini adalah titik balik. Titik yang mungkin akan mengubah arah hidupnya.
“Ada, bisa kita bicara? Aku rasa kita harus menyelesaikan ini,” pesan dari Arya itu berbunyi.
Ada menarik napas panjang, meletakkan ponselnya, dan menatap langit yang semakin gelap. Di sana, di tengah-tengah ketidakpastian, ia merasa ada dorongan kuat untuk menghadapinya. Ia harus menghadapinya, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk semua yang ada di antara mereka. Ada, Arya, dan Lila—tiga orang yang terikat dalam cerita yang begitu rumit dan penuh emosi.
Pertemuan itu dimulai dengan udara yang kaku, penuh dengan perasaan yang belum terselesaikan. Mereka bertemu di sebuah taman kecil, tempat yang mereka biasa kunjungi saat masih bisa tertawa bersama. Namun kali ini, suasananya berbeda—lebih berat, lebih penuh makna.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Arya dengan nada lembut, mencoba memecah kesunyian.
“Aku baik-baik saja,” jawab Ada singkat, mencoba menyembunyikan perasaan yang bergolak di dalam hati. “Kau sendiri?”
Arya mengangguk, menatap Ada dengan mata yang penuh arti. “Ada… aku ingin kita bicara tentang Lila, dan tentang… kita,” ujar Arya dengan suara pelan, namun tegas.
Ada merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu apa yang akan datang. Selama ini, ia menunggu saat ini, meskipun ia tidak benar-benar siap untuk mendengarnya. “Kita?” tanya Ada, berusaha tetap tenang.
Arya menarik napas dalam-dalam, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang akan ia ucapkan. “Aku tahu kamu merasa kesulitan dengan semuanya. Dengan aku, dengan Lila, dan… dengan perasaanmu. Aku juga merasa bingung. Aku mencintai Lila, tapi aku tidak ingin kehilangan persahabatan kita, Ada. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan ini.”
Ada merasakan kepedihan yang tersembunyi dalam setiap kata Arya. Ia ingin sekali melupakan semua perasaan ini, ingin sekali bisa melepaskan Arya dengan ikhlas. Tetapi kenyataannya, mencintai seseorang yang tidak bisa ia miliki terasa jauh lebih rumit daripada yang ia kira. Ada merasa terluka, tetapi di sisi lain, ada rasa pengertian yang besar terhadap Arya—bahwa ia pun tidak mudah dengan situasi ini.
“Arya…” Ada berhenti sejenak, mencoba mengatur kata-katanya, “Aku tahu perasaanmu, dan aku tidak akan pernah menghalangi kebahagiaanmu. Tetapi, aku juga harus belajar menerima kenyataan ini. Aku tahu aku tidak bisa terus mengharapkan sesuatu yang tidak bisa aku miliki. Kamu dan Lila… kalian sudah memilih jalan kalian.”
Ada menunduk, tidak bisa menahan air mata yang perlahan menetes. Arya yang melihatnya merasa hatinya sakit. Ia merasa ada banyak hal yang ingin ia katakan, namun ia tahu bahwa kata-kata tidak akan bisa menyembuhkan luka di hati Ada.
“Ada, aku tidak ingin kehilanganmu,” kata Arya dengan suara yang bergetar. “Tapi aku juga tidak bisa membiarkan diriku bermain-main dengan perasaanmu. Aku tahu aku sudah membuat keputusan, dan itu mungkin menyakitkan. Tapi aku berharap kamu tahu, bahwa meskipun kita tidak bersama, aku tetap ingin kamu ada dalam hidupku, sebagai teman.”
Ada menatap Arya, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya. Cinta memang terkadang tidak datang dengan cara yang kita harapkan. Mungkin ada cinta yang harus dilepaskan, ada cinta yang hanya bisa dipendam, dan ada cinta yang akan tetap ada meskipun tidak pernah terucapkan. Tapi yang lebih penting, ada perasaan saling menghargai—bahwa meskipun mereka tidak bersama, ada ikatan yang tidak bisa diputuskan.
“Aku mengerti, Arya,” jawab Ada dengan suara yang lembut, meskipun hatinya terasa sakit. “Aku akan mencoba menerima kenyataan ini. Mungkin ini bukan akhir dari semuanya, tapi awal dari langkah baru kita masing-masing.”
Ada tidak bisa memaksakan perasaan. Ia tahu, ini adalah perpisahan dari harapan-harapan yang selama ini mengikat hatinya. Tetapi juga, ini adalah titik di mana ia harus melepaskan, meskipun itu sangat berat.
Mereka duduk diam, saling bertukar pandang tanpa kata-kata. Ada tahu, bahwa pertemuan ini adalah jalan untuk melangkah ke depan—untuk menerima luka dan untuk menatap masa depan, meski langkah itu terasa sangat lambat.
Di antara mereka, ada tiga perasaan yang berbeda—Ada yang mencintai Arya dalam diam, Arya yang mencintai Lila, dan Lila yang tidak tahu akan semua perasaan yang tertinggal. Namun, satu hal yang jelas: hidup tidak selalu tentang memiliki, tetapi tentang belajar menerima dan memahami apa yang sudah terjadi.
Dan mungkin, meskipun mereka tidak bersama, Ada akan selalu mengingat bahwa cinta itu tidak selalu tentang hasil akhirnya, melainkan tentang perjalanan yang penuh dengan makna.
Kalau kamu mau, aku bisa bantu mengembangkan tiap babnya juga. Mau mulai dari Bab 1 sekarang?.***