Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

ANTARA DUA DUNIA

antara dua dunia

SAME KADE by SAME KADE
February 2, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 25 mins read
ANTARA DUA DUNIA

Daftar Isi

  • Bab 1  Kilometers Between Us
  • Bab 2  Langit yang Sama
  • Bab 3  Ujian Waktu
  • Bab 4  Surat Cinta yang Terlupakan
  • Bab 5  Kembali ke Kenangan
  • Bab 6  Titik Balik
  • Bab 7  Kilometers Between Us

Bab 1  Kilometers Between Us

Alya duduk di sudut kafe kecil, merenungi secangkir kopi yang sudah hampir dingin. Suasana kafe itu tenang, hanya ada beberapa orang yang berbincang-bincang santai di meja mereka. Namun, meskipun dunia di sekitarnya terasa damai, pikirannya berputar cepat. Di layar ponselnya, ada pesan terbaru dari Dika yang baru saja masuk. Hatinya berdebar, seolah-olah setiap ketukan jari di layar itu membawa beban yang lebih besar dari yang bisa ia bayangkan.

“Alya, aku rindu kamu. Kita sudah lama nggak ngobrol yang lama, ya?”

Dari sekian banyak pesan yang pernah mereka tukar, pesan ini terasa berbeda. Rindu. Kata itu selalu memiliki efek yang kuat pada Alya, apalagi datang dari Dika. Mereka sudah terbiasa berbicara tentang banyak hal, baik tentang pekerjaan, rencana masa depan, atau sekadar cerita sehari-hari. Tapi kali ini, pesan itu terasa lebih intim, lebih berat. Seakan-akan Dika mengakui sesuatu yang selama ini terpendam.

Alya menghela napas, lalu mengetik balasan.

“Aku juga rindu. Aku ingin kita bisa ngobrol lebih sering lagi, seperti dulu.”

Namun, setelah menekan tombol kirim, ia menunggu. Dika belum membalas. Alya tahu bahwa komunikasi dalam hubungan jarak jauh memang tidak selalu mudah. Kadang mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam berbicara, dan di lain waktu, mereka hanya terdiam dalam kesibukan masing-masing. Tidak ada yang salah dengan itu, tetapi terkadang jarak itu terasa semakin nyata ketika mereka jarang berhubungan.

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya pesan masuk dari Dika.

“Alya, aku merasa hubungan ini semakin sulit. Ada saat-saat aku merasa seperti kita hanya terhubung lewat pesan, tapi tidak pernah benar-benar bisa bersama.”

Pesan itu membuat jantung Alya berdegup kencang. Ia tahu bahwa Dika bukan tipe orang yang mudah membuka perasaan, jadi ketika ia mengungkapkan keraguannya, itu sudah menunjukkan bahwa sesuatu yang lebih dalam sedang terjadi dalam pikiran Dika. Alya pun terdiam sejenak, mencerna kalimat-kalimat itu. Jarak, katanya, hanya membuat semuanya semakin sulit.

Alya pun merasa begitu. Mereka sudah menjalin hubungan jarak jauh ini selama hampir setahun, dan meskipun mereka berdua berusaha keras untuk tetap terhubung, kenyataan bahwa mereka tidak bisa bertemu lebih sering mulai terasa seperti sebuah beban. Kadang-kadang, percakapan mereka terasa terputus, tidak ada lagi kehangatan yang bisa mereka rasakan. Mereka hanya berkomunikasi melalui pesan teks atau panggilan telepon, namun semuanya terasa begitu… kosong.

Namun, di sisi lain, Alya juga menyadari satu hal. Ia masih mencintai Dika. Perasaan itu tidak pernah hilang, meski jarak antara mereka semakin lebar. Cinta itu tetap ada, meskipun mereka tidak dapat saling merasakan kehadiran fisik satu sama lain.

Tapi apakah itu cukup? Apakah cinta saja bisa mengatasi segala jarak dan kesulitan?

Alya menulis balasan panjang kepada Dika.

“Aku tahu ini berat, Dika. Aku juga merasa hal yang sama. Rasanya kita hanya berbicara tentang hal-hal sepele, dan kadang-kadang aku merasa seperti kita kehilangan koneksi yang dulu ada. Tapi aku ingin kita berjuang. Aku tahu kita bisa melalui ini, kalau kita benar-benar ingin. Mungkin jarak memang menyakitkan, tapi kalau kita terus saling berusaha, aku yakin kita bisa kembali seperti dulu.”

Setelah mengirim pesan itu, Alya menatap ponselnya, berharap Dika akan membalas segera. Tetapi yang ia dapatkan hanya keheningan. Beberapa detik berlalu, dan kemudian satu menit, dua menit… Tidak ada balasan.

Alya merasa perasaan cemas mulai merayapi hatinya. Apakah Dika juga merasakan hal yang sama? Apakah hubungan ini sudah terlalu rapuh untuk dipertahankan? Ia tahu bahwa jarak mereka memang jauh, dan semakin lama mereka tidak bertemu, semakin banyak ketidakpastian yang datang. Bagaimana kalau Dika sudah mulai meragukan semuanya? pikirnya. Bagaimana kalau cinta ini tidak cukup untuk bertahan?

Namun, saat perasaan cemas itu mulai menguasai pikirannya, ponselnya berbunyi lagi.

“Aku tidak ingin kita menyerah, Alya. Aku juga merasa kita mulai terpisah, tetapi aku tidak ingin itu terjadi. Aku ingin berjuang, tapi aku takut, kamu sudah mulai merasa lelah dengan semua ini. Aku tahu aku sudah jarang menghubungimu akhir-akhir ini, dan itu salahku. Tapi aku ingin kita coba lagi. Kalau kamu masih ingin berjuang, aku juga siap.”

Dika. Alya tersenyum tipis, perasaan lega mengalir dalam dirinya. Mungkin perasaan ragu yang muncul di antara mereka adalah bagian dari perjalanan ini. Bagian dari hubungan jarak jauh yang memang tidak mudah. Tetapi di balik keraguan itu, ada satu hal yang jelas—Dika masih ingin berjuang. Mereka masih ingin mempertahankan hubungan ini.

Alya membalas dengan cepat.

“Aku masih ingin berjuang, Dika. Kita bisa lewatkan ini bersama, seperti dulu. Jangan khawatir, aku nggak akan menyerah.”

Pesan itu mengirimkan kedamaian ke dalam hati Alya. Meski jarak di antara mereka terasa begitu nyata, perasaan cinta mereka masih kuat. Mungkin mereka tidak bisa selalu bersama, tetapi mereka bisa selalu berusaha untuk saling mendukung.

Keesokan harinya, Alya memutuskan untuk lebih fokus pada pekerjaannya. Ia bekerja sebagai desainer grafis di sebuah perusahaan kreatif yang cukup sibuk. Setiap hari, ia duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang dipenuhi dengan proyek-proyek yang harus diselesaikan. Namun, meskipun pikirannya teralihkan oleh pekerjaan, ada satu hal yang selalu mengganggu pikirannya: Dika.

Ia mulai merindukan percakapan panjang mereka, tawa yang sering kali mengisi hari-hari mereka. Meski ada begitu banyak yang bisa ia lakukan di kota besar ini, tanpa Dika, rasanya seperti ada bagian dari dirinya yang hilang.

Di sisi lain, Dika juga merasakan hal yang sama. Pekerjaannya yang menuntut sering membuatnya merasa kesepian. Setiap malam setelah pulang kerja, ia duduk di ruang tamu yang sepi, memandang layar ponsel, berharap ada pesan dari Alya. Tetapi kadang-kadang, ia merasa cemas, khawatir bahwa mereka semakin jauh. Kadang ia berpikir, apakah hubungan ini bisa bertahan? Apakah mereka benar-benar bisa mengatasi jarak ini?

Namun, setiap kali ia membaca pesan-pesan Alya, perasaan itu kembali menguat cinta itu masih ada.

Alya dan Dika tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Ada banyak kilometer yang memisahkan mereka, dan jarak itu tidak bisa diabaikan. Tetapi satu hal yang mereka sepakati: mereka masih memiliki satu sama lain, dan itu adalah alasan untuk terus berjuang. Kilometers between us mungkin memisahkan mereka, tetapi cinta mereka lebih kuat dari itu.*

Bab 2  Langit yang Sama

Pagi itu, Alya bangun dengan perasaan campur aduk. Dia merasa lelah setelah malam panjang penuh perenungan, tetapi ada juga rasa harapan yang mulai tumbuh, perlahan. Ponselnya tergeletak di meja samping tempat tidur, dan seiring dengan sinar matahari yang masuk melalui tirai jendela, ia meraih ponsel itu. Ada pesan dari Dika yang masuk beberapa jam yang lalu.

“Alya, aku tahu kita jarang bicara belakangan ini. Aku merasa terputus dari kamu. Tapi meski jarak memisahkan kita, aku tetap merasa kita berada di bawah langit yang sama. Aku rindu kamu.”

Mata Alya berkelip membaca pesan itu. Ada kehangatan dalam kata-kata Dika, sesuatu yang membuat hatinya sedikit lebih tenang. Mungkin, di antara ribuan kilometer yang memisahkan mereka, ada sebuah koneksi yang tidak akan pernah bisa putus. Mereka berdua melihat langit yang sama setiap malam, memandang bintang-bintang yang sama, dan mungkin itu cukup untuk membuat mereka merasa lebih dekat. Langit yang sama sebuah simbol, sebuah pengingat bahwa mereka tidak benar-benar terpisah, meskipun dunia mereka berbeda.

Alya membalas pesan itu, mengetik dengan hati-hati.

“Aku juga rindu. Aku sering merasa bahwa meskipun kita terpisah, aku tetap bisa merasakan kehadiran kamu. Seperti kamu bilang, kita berada di bawah langit yang sama, Dika. Itulah yang selalu membuatku merasa dekat, meskipun kita tidak berada di tempat yang sama.”

Setelah mengirimkan pesan itu, Alya menyandarkan punggungnya ke bantal, memandang keluar jendela. Hari itu cerah, langit biru dengan beberapa awan tipis yang melayang perlahan. Ia tahu bahwa meskipun mereka tidak bisa bertemu secara fisik, ada banyak cara untuk tetap merasa dekat. Salah satunya adalah dengan berbicara tentang langit yang sama.

Di sisi lain, Dika sedang duduk di balkon rumahnya, menatap langit yang cerah. Pemandangan dari kota kecil tempat ia tinggal selalu membuatnya merasa damai, tetapi sekaligus sepi. Di antara pepohonan hijau dan rumah-rumah yang terletak berjajar, ia merasa rindu yang mendalam. Rindu pada Alya, pada kebersamaan mereka yang dulu sering dihabiskan untuk berjalan-jalan, berbicara tentang segala hal, dan hanya menikmati waktu bersama. Namun, semua itu kini terasa jauh, terhalang oleh jarak yang begitu besar.

“Langit yang sama,” pikir Dika, menyadari bahwa meskipun mereka terpisah, ada sesuatu yang menghubungkan mereka—sesuatu yang lebih kuat dari jarak. Mereka berdua bisa melihat bintang yang sama, merasakan dingin yang sama di malam hari, dan berharap di bawah langit yang sama. Alya, kamu di sana, dan aku di sini, tapi kita masih bisa berbagi dunia ini.

Dika membuka pesan Alya yang baru saja ia terima dan tersenyum kecil membaca kata-kata itu. Ada sesuatu yang hangat dalam pesan itu yang mengingatkannya pada masa-masa ketika mereka bisa saling bercanda tanpa beban. Mereka sudah lama tidak berbicara dalam waktu yang cukup lama, dan kadang-kadang, Dika merasa ada jarak yang tak hanya fisik, tetapi juga emosional. Namun, pesan ini, meskipun singkat, memberikan sedikit ketenangan dalam hatinya.

“Aku rindu juga. Sepertinya kita harus lebih sering bicara, kan?”

Ia mengetik balasan, mengirimkan pesan itu dengan perasaan yang bercampur antara rindu dan harapan.

Beberapa hari kemudian, mereka mulai berbicara lebih sering. Setiap malam, setelah rutinitas mereka selesai, mereka akan berbicara lewat telepon atau video call. Meski tidak bisa bertemu langsung, mereka merasa sedikit lebih dekat setiap kali berbicara. Namun, percakapan mereka sering kali berakhir dengan perasaan yang belum sepenuhnya terungkap—ada perasaan yang mengganjal, entah itu tentang masa depan hubungan mereka, atau tentang ketidakpastian yang selalu mengiringi cinta jarak jauh.

Suatu malam, setelah menghabiskan waktu berjam-jam berbicara, Alya memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya lebih dalam, sesuatu yang selama ini ia simpan.

“Aku ingin kita bicara tentang hal ini, Dika,” suara Alya terdengar sedikit ragu, tetapi penuh keyakinan. “Aku tahu kita sudah mencoba bertahan, tetapi kadang aku merasa bahwa kita tidak benar-benar tahu apa yang kita inginkan. Aku tahu kamu bilang kita berada di bawah langit yang sama, dan itu memberi aku harapan. Tapi… aku juga merasa takut, Dika. Aku takut kalau suatu hari nanti, kita akan terpisah lebih jauh lagi.”

Dika terdiam sejenak. Tidak ada jawaban langsung, hanya hening yang menggantung. Alya bisa merasakan beratnya kata-kata itu, dan bagaimana Dika pun pasti merasakannya.

“Alya, aku juga merasa takut,” jawab Dika akhirnya, dengan suara lembut. “Tapi aku tidak ingin takut itu membuat kita menyerah. Aku tahu ini sulit. Kita tidak bisa memaksakan segalanya jadi sempurna, dan kadang-kadang aku merasa seperti kita terlalu jauh. Namun, meskipun kita terpisah oleh jarak, aku percaya kita masih punya satu hal yang bisa kita pegang kita masih bisa melihat langit yang sama. Setiap malam, aku memandang bintang, dan aku merasa seolah-olah kamu juga ada di sana, menatapnya bersamaku.”

Alya menutup matanya sejenak, mencoba meresapi kata-kata itu. Meskipun perasaan mereka penuh dengan keraguan, ada sesuatu yang kuat dalam ucapan Dika sesuatu yang membuatnya merasa bahwa mereka belum benar-benar kehilangan satu sama lain. Mereka masih saling memiliki, meskipun dunia mereka terpisah oleh ribuan kilometer.

“Aku ingin berjuang, Dika,” suara Alya terdengar lebih tenang, meskipun ada kekhawatiran di balik kata-katanya. “Aku ingin kita berusaha bersama-sama. Tidak peduli berapa lama lagi jarak ini akan memisahkan kita, aku yakin kita masih bisa saling mendukung. Kita hanya perlu yakin, meskipun kadang kita tidak tahu bagaimana caranya.”

Dika terdiam beberapa saat, lalu mengangguk. Meskipun ia tidak bisa melihat Alya, ia bisa merasakan kehangatan dalam kata-kata itu, seolah-olah mereka sedang berdiri bersama di bawah langit yang sama, di bawah bintang-bintang yang mereka lihat bersama.

“Alya, aku juga ingin berjuang. Aku ingin kita melangkah bersama. Kita akan melalui ini, apapun yang terjadi.”

Langit malam itu terasa berbeda. Bintang-bintang tampak lebih terang, seakan memberi tanda bahwa meskipun mereka berada jauh satu sama lain, ada sesuatu yang menghubungkan mereka sesuatu yang tidak bisa diukur dengan jarak atau waktu. Sesuatu yang lebih dalam daripada yang bisa mereka katakan dengan kata-kata.

Dan meskipun malam itu, mereka tidak bisa saling menyentuh atau berada di ruang yang sama, mereka tahu satu hal pasti: mereka berdua tetap berada di bawah langit yang sama.*

Bab 3  Ujian Waktu

Alya duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang menunjukkan tumpukan pekerjaan yang menanti. Namun, pikirannya melayang jauh. Setiap kali ia mencoba untuk fokus, wajah Dika tiba-tiba muncul dalam bayangannya. Seperti halnya setiap malam, ia merindukan kehadirannya. Namun kali ini, perasaan itu terasa lebih berat, lebih mendalam. Hubungan mereka sudah terjalani cukup lama dalam jarak yang jauh, dan meskipun mereka saling berusaha untuk tetap terhubung, semakin lama semakin terasa bahwa waktu mulai menguji mereka.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Dika, namun kali ini tidak seperti biasanya. Ada jeda panjang antara pesan yang terakhir kali ia terima dan yang baru masuk ini. Alya merasa sedikit cemas saat membuka pesan itu.

“Alya, aku ingin kita bicara. Aku merasa semakin sulit mempertahankan hubungan ini. Aku tahu kita berdua berusaha keras, tapi entah kenapa, aku merasa kita semakin jauh. Aku tidak ingin membuat keputusan tergesa-gesa, tapi kita harus jujur pada diri sendiri. Aku merasa jarak ini semakin berat.”

Alya membaca pesan itu berulang kali, mencoba meresapi setiap kata yang ditulis Dika. Ada rasa sakit yang mengalir dalam dadanya. Ia tahu bahwa Dika bukanlah orang yang mudah mengungkapkan perasaan, apalagi hal-hal yang menyakitkan. Dan jika Dika sampai mengirim pesan seperti itu, artinya perasaan yang ia pendam sudah cukup lama. Jarak itu semakin terasa.

Alya menelan ludah, menggenggam ponselnya dengan erat. Dia tahu ini adalah ujian besar. Ujian waktu. Ujian yang datang dengan berjalannya hari-hari yang tak terasa berlalu begitu cepat. Mungkin bagi Dika, waktu telah membuat perasaan itu memudar, perlahan-lahan diselimuti keraguan. Sedangkan bagi Alya, meskipun rasa rindu dan keinginan untuk bertemu semakin mendalam, ia merasa bahwa mereka masih bisa bertahan. Tapi, apakah benar? Apakah keduanya bisa bertahan menghadapi ujian waktu yang semakin besar ini?

“Aku paham, Dika,” balas Alya setelah beberapa menit. “Aku juga merasa hal yang sama. Rasanya semakin sulit untuk terus berjuang jika kita tidak bisa bertemu, jika kita tidak bisa merasakan kehadiran satu sama lain. Tapi aku masih ingin mencoba, Dika. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku percaya kalau kita tetap berjuang bersama, kita bisa melewati ini.”

Alya mengirim pesan itu dan meletakkan ponselnya. Ia duduk terdiam, memikirkan apa yang baru saja terjadi. Hati kecilnya memberontak, tidak ingin menyerah begitu saja. Tetapi, pada saat yang sama, ada kekhawatiran yang semakin membesar. Mungkin Dika sudah lelah, mungkin dia sudah menemukan kenyamanan dalam kesibukannya yang baru. Mungkin ini saatnya melepaskan.

Namun, Alya merasa bahwa melepaskan tidaklah mudah. Sudah terlalu banyak kenangan indah yang mereka bagi bersama—kenangan yang begitu dalam, yang membuat hatinya tak bisa begitu saja menghilangkan perasaan itu. Dika adalah bagian dari hidupnya yang tak bisa dengan mudah ditinggalkan, meskipun kenyataan kadang terasa begitu keras.

Beberapa jam kemudian, Dika menghubunginya lewat panggilan telepon. Alya mengangkatnya, dan suara Dika terdengar berat di ujung telepon.

“Hallo, Alya. Aku ingin bicara lebih lanjut soal pesan tadi,” suara Dika terdengar serius. “Aku tidak ingin kita terjebak dalam kebisuan. Aku ingin kita saling mengerti.”

Alya mengangguk meskipun Dika tidak bisa melihatnya. “Aku juga ingin itu, Dika. Aku merasa kita harus bicara terbuka tentang apa yang kita rasakan. Aku nggak ingin kita saling terluka karena kesalahpahaman.”

“Aku hanya merasa, semakin lama kita terpisah, semakin sulit untuk tetap terhubung. Kita hanya bisa berbicara lewat pesan atau telepon. Kadang aku merasa seperti kita sedang mempertahankan sesuatu yang sudah tidak ada lagi,” kata Dika pelan, terdengar seperti ada beban yang berat di suaranya.

Alya mendalamkan napasnya. “Aku mengerti perasaanmu, Dika. Rasanya juga sama. Aku rindu kita bisa duduk bersama, bercerita tanpa harus takut waktu akan memisahkan kita. Tapi aku percaya, kita bisa lebih dari sekadar kata-kata atau pesan. Kita berdua harus bekerja untuk ini.”

Ada jeda lama di antara mereka. Keduanya tahu, tidak ada jalan yang mudah. Waktu telah memperkenalkan mereka pada banyak kenyataan yang pahit—bahwa tidak selalu cinta bisa bertahan tanpa pengorbanan, bahwa tidak selalu jarak bisa dijembatani dengan kata-kata.

“Aku tidak ingin kita kehilangan satu sama lain,” kata Alya akhirnya. “Aku ingin kita mencoba mencari cara supaya kita bisa terus bertahan, meskipun ada jarak. Aku tahu ini nggak akan mudah, tapi aku percaya kita bisa melewatinya. Kita hanya perlu lebih berkomunikasi. Kita harus lebih jujur dengan perasaan kita.”

Dika terdiam sejenak, dan Alya bisa mendengar napas beratnya di telepon. “Aku juga tidak ingin kehilanganmu, Alya. Aku ingin kita tetap bersama. Aku nggak mau menyerah begitu saja, meskipun kadang perasaan ini terasa begitu lelah.”

“Aku tahu, Dika,” balas Alya, mencoba memberikan ketenangan. “Tapi kita tidak bisa hanya berharap semuanya akan baik-baik saja tanpa usaha. Kita harus sama-sama berusaha untuk tetap terhubung, untuk terus menjaga rasa cinta itu. Kalau kita berdua yakin, kita bisa melaluinya, Dika.”

Percakapan itu berlangsung lama, lebih lama dari biasanya. Masing-masing dari mereka mengungkapkan kekhawatiran, ketakutan, tetapi juga harapan. Ada banyak yang belum mereka sampaikan, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, mereka mulai menyadari satu hal—meskipun waktu terus berjalan, dan meskipun jarak semakin menguji mereka, cinta mereka belum hilang. Mereka masih berusaha untuk tetap bertahan. Itu yang terpenting.

Hari-hari berikutnya tidak menjadi lebih mudah. Setiap kali Alya memeriksa ponselnya, ada sedikit rasa cemas yang datang. Pesan-pesan dari Dika tidak lagi secepat dulu, kadang berhari-hari baru ada balasan. Dan meskipun mereka berdua berusaha untuk saling mengerti, semakin banyak momen ketika mereka terdiam dalam kebisuan, terhanyut dalam kesibukan masing-masing.

Namun, di balik semua itu, Alya tahu bahwa ujian waktu ini tidak bisa dihindari. Mereka berdua harus bertahan melaluinya, bahkan jika itu berarti harus belajar untuk lebih sabar, untuk lebih memahami bahwa cinta dalam jarak jauh memang membutuhkan pengorbanan yang lebih besar. Waktu mungkin akan menguji mereka lebih jauh lagi, tetapi Alya percaya sejauh apapun mereka terpisah, sejauh apapun jarak itu menjauhkan mereka, selama mereka terus berjuang bersama, cinta mereka akan selalu ada.

Dan pada akhirnya, meskipun waktu memberi ujian yang begitu keras, itu juga yang akan membuat mereka lebih kuat, lebih mengerti satu sama lain. Cinta itu, seperti halnya waktu, tidak bisa diburu. Cinta itu hanya bisa tumbuh, seiring dengan usaha dan kesabaran.

Di bawah langit yang sama, mereka akan berusaha untuk terus berjalan bersama, meskipun kadang waktu terasa begitu berat.*

Bab 4  Surat Cinta yang Terlupakan

Pagi itu, Alya duduk di ruang tamu apartemennya, memandang secangkir teh yang sudah mulai mendingin di tangannya. Langit di luar tampak mendung, seolah menggambarkan perasaannya yang tengah diliputi keraguan. Beberapa hari terakhir, komunikasi dengan Dika semakin jarang. Meski mereka berdua sudah sepakat untuk berjuang bersama, ada sebuah perasaan yang tak bisa disembunyikan kekosongan.

Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Alya membuka pesan dari Dika dengan harapan, namun yang ia temui hanya kalimat singkat yang sama seperti sebelumnya.

“Alya, maaf aku tidak bisa membalas lebih cepat. Aku sibuk dengan pekerjaan. Nanti aku telepon.”

Pesan itu seperti rutinitas harian mereka saling memberi tahu tanpa benar-benar mendalam. Ada rasa hampa yang mulai tumbuh, dan Alya merasa seolah-olah hubungan mereka mulai terlepas sedikit demi sedikit, meskipun keduanya masih berusaha untuk bertahan.

Dengan perasaan yang berat, Alya meletakkan ponselnya di meja. Ia berjalan ke lemari kecil di sudut ruangan, tempat di mana beberapa barang kenangan yang tak sering disentuhnya tersimpan. Sebuah kotak kayu dengan ukiran sederhana terlihat di sana. Kotak itu adalah tempat di mana ia menyimpan surat-surat dari Dika surat-surarat yang sudah lama terlupakan, ditulis di masa awal hubungan mereka, saat jarak belum terlalu jauh dan dunia mereka masih penuh dengan percakapan panjang di telepon atau bertemu di akhir pekan.

Alya membuka kotak itu, mengambil surat-surat yang sudah agak kusut, dan membacanya satu per satu. Setiap surat membawa kenangan tentang mereka yang sangat berbeda dari sekarang kenangan tentang kebersamaan yang penuh dengan antusiasme, tentang rencana-rencana masa depan yang mereka buat bersama. Dika menulis dengan tangan yang penuh perhatian, setiap kata penuh dengan harapan dan cinta.

Salah satunya, surat pertama yang Dika kirimkan untuknya. Saat itu, mereka baru saja memulai hubungan jarak jauh mereka. Dika menulis tentang rasa takutnya, tentang bagaimana ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa jarak bukanlah penghalang bagi perasaan mereka. Terkadang, membaca surat itu membuat Alya merasa seperti melangkah kembali ke masa lalu, ketika mereka masih penuh semangat untuk berbicara tentang impian dan cita-cita, tentang rencana untuk bertemu setiap bulan, tentang dunia yang masih terasa dekat meskipun terpisah oleh jarak.

“Alya, aku percaya kita bisa melalui semua ini. Meskipun jarak memisahkan kita, aku tahu kita masih punya hati yang sama. Jangan pernah ragu dengan perasaanku, karena aku sudah memutuskan untuk selalu ada untukmu, tak peduli apapun yang terjadi. Aku yakin kita bisa bertahan.”

Alya menutup mata sejenak, merasakan getarannya di dalam hati. Betapa kuatnya kata-kata itu, dulu. Betapa mereka berdua begitu yakin bahwa cinta ini akan bertahan, tidak peduli dengan apa pun yang terjadi.

Namun, kenyataan yang ada saat ini sangat berbeda. Alya merasa Dika semakin jarang menghubunginya. Pesan-pesan yang dulu selalu disambut dengan balasan cepat, kini menjadi lebih dingin dan terputus-putus. Bahkan dalam percakapan telepon terakhir mereka, ada rasa kekosongan yang sulit untuk dijelaskan. Seolah-olah keduanya sudah mulai berbicara tentang hal-hal yang tidak lagi penting, dan menghindari topik-topik yang lebih dalam.

Alya mengambil surat kedua yang ada di dalam kotak itu. Ini adalah surat yang ditulis Dika setelah mereka mengalami perpisahan sementara waktu di mana Dika harus pergi bekerja di luar negeri untuk beberapa bulan. Surat itu penuh dengan perasaan yang tulus, di mana Dika menulis tentang betapa ia merindukan Alya, tentang betapa beratnya meninggalkan kota yang sama, meninggalkan kenangan yang mereka buat bersama.

“Alya, aku tahu ini sulit. Tapi aku percaya, jarak tidak akan mengubah perasaanku padamu. Kita akan melewati ini bersama, dan aku akan kembali ke pelukanmu. Mungkin waktu dan jarak akan menguji kita, tetapi aku yakin kita akan bertahan. Aku selalu memikirkanmu, setiap saat.”

Alya menggenggam surat itu dengan erat. Ada rasa haru yang tiba-tiba muncul, dan dalam hati, ia merasa tertekan oleh kenyataan bahwa sekarang, perasaan yang sama sepertinya sudah memudar, digantikan oleh keraguan dan kesibukan masing-masing. Di mana perasaan itu sekarang? Di mana janji-janji itu?

Alya menatap surat-surat itu, teringat akan masa-masa ketika mereka dulu berbicara dengan penuh semangat tentang masa depan. Setiap surat dari Dika adalah janji bahwa mereka akan bersama, meskipun terpisah oleh jarak dan waktu. Namun, apakah janji itu masih ada? Atau apakah mereka hanya terjebak dalam kebiasaan dan rutinitas, tanpa lagi mengingat arti dari kata-kata yang pernah mereka ucapkan?

Dia membuka surat ketiga, yang ditulis setelah mereka menghabiskan waktu beberapa bulan tanpa bertemu. Dika menulis tentang keinginannya untuk mengunjungi Alya, untuk merasakan kembali kebersamaan mereka, meskipun itu hanya untuk beberapa hari.

“Aku tidak sabar untuk bertemu lagi. Setiap hari aku merindukanmu. Aku tahu kita akan lebih kuat setelah ini, karena aku percaya bahwa kita adalah dua orang yang benar-benar ditakdirkan untuk bersama. Aku berharap kita bisa lebih sering bertemu setelah ini. Hanya kamu yang aku inginkan di sisiku.”

Alya menghela napas panjang. Kata-kata itu kini terasa seperti angin yang berlalu. Meskipun Dika masih sering mengirim pesan atau menelepon, perasaan itu tidak lagi seperti dulu. Mereka berdua seperti berada di jalur yang berbeda, dan meskipun mereka mencoba untuk bertahan, kenyataan bahwa hubungan ini bukanlah seperti yang mereka bayangkan awalnya mulai menyentuh mereka.

Alya menyadari sesuatu. Mereka berdua telah terjebak dalam rutinitas yang menghabiskan energi mereka, tanpa memberi ruang untuk rasa saling mengingatkan satu sama lain. Mereka sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing, dengan pekerjaan, teman-teman, dan dunia mereka sendiri. Surat-surat ini surat-surat yang penuh dengan janji dan impian ternyata menjadi sesuatu yang terlupakan. Mereka seolah-olah melupakan alasan mengapa mereka memulai hubungan ini, dan apa yang mereka perjuangkan bersama.

Alya menyadari bahwa cinta bukan hanya tentang menjaga komunikasi atau mengirimkan pesan. Cinta juga membutuhkan perhatian yang lebih dalam, lebih dari sekadar kata-kata yang terlontar. Cinta memerlukan usaha yang tidak bisa diukur hanya dengan waktu atau jarak. Ia harus dibangun, dirawat, dan diperjuangkan dengan lebih dari sekadar janji-janji kosong.

“Dika…” gumam Alya, menatap surat terakhir yang ditulis Dika beberapa bulan yang lalu, surat yang berisi ungkapan cinta yang begitu mendalam. Seperti yang ia rasakan sekarang, kata-kata itu terasa begitu jauh. Apakah ada cara untuk kembali kepada perasaan itu? Apakah masih ada waktu untuk mempertahankan cinta ini?

Alya tahu bahwa tidak ada yang bisa menjamin hubungan jarak jauh akan selalu berjalan mulus. Namun, ia juga tahu bahwa cinta itu tidak bisa hanya dilihat dari apa yang ada di permukaan. Terkadang, untuk menjaga cinta tetap hidup, mereka harus berani membuka kembali surat-surat yang terlupakan, membaca kembali kata-kata yang dulu mereka ucapkan, dan mengingatkan diri mereka mengapa mereka memulai semuanya.

Dan mungkin, dengan itu, mereka bisa menemukan kembali jalan untuk melangkah bersama, meskipun jarak dan waktu mencoba menguji mereka.*

Bab 5  Kembali ke Kenangan

Malam itu, Alya duduk sendiri di balkon apartemennya, memandang langit yang dihiasi dengan kilauan bintang. Angin malam menyentuh wajahnya dengan lembut, membawa kesegaran yang seolah mengingatkannya pada segala sesuatu yang sudah lama terlupakan. Tanpa sadar, ia menggenggam erat sebuah surat yang sudah lusuh di tangannya—surat dari Dika yang ia temukan beberapa hari yang lalu di dalam kotak kenangan. Surat itu adalah salah satu yang pertama kali Dika kirimkan padanya, tepat setelah mereka memutuskan untuk berpacaran meski jarak memisahkan mereka.

Kenangan tentang masa-masa awal hubungan mereka begitu jelas dalam benaknya. Dika, dengan segala perhatian dan kasih sayangnya, selalu berusaha mengisi hari-harinya dengan kebahagiaan meskipun mereka terpisah ribuan kilometer. Mereka sering berbicara tentang masa depan, tentang bagaimana mereka akan bertemu dan menjalani hidup bersama setelah waktu yang panjang. Tetapi sekarang, semuanya terasa berbeda. Mereka berada dalam dunia yang berbeda, terjebak dalam rutinitas masing-masing, dan meskipun mereka masih saling mencintai, Alya merasa ada jarak yang semakin lebar di antara mereka.

Alya menarik napas dalam-dalam, seolah-olah mencoba menyaring semua perasaan yang bercampur dalam hatinya. Di satu sisi, ia rindu dengan perasaan itu perasaan saat semuanya terasa baru dan penuh semangat. Namun, di sisi lain, ia merasa terjebak dalam kebisuan yang begitu lama. Kehidupan mereka semakin sibuk, dan komunikasi yang dulu begitu hangat kini mulai terasa dingin dan formal. Mereka semakin jarang menghubungi satu sama lain. Apakah ini yang disebut cinta jarak jauh yang sesungguhnya?

“Dika…” gumam Alya, menatap langit yang sama yang dulu sering mereka pandangi bersama. “Kenapa semua terasa berbeda sekarang?”

Ia menutup matanya, membiarkan ingatan itu datang begitu saja—kenangan tentang mereka yang selalu berbicara tentang masa depan, tentang rencana-rencana kecil mereka, tentang betapa mereka ingin menghabiskan setiap momen bersama. Waktu itu, mereka tidak pernah merasa takut. Tidak pernah merasa ragu. Cinta mereka begitu kuat, seolah-olah jarak tidak mampu menghentikan mereka. Mereka masih bisa merasakan kehadiran satu sama lain meskipun hanya lewat pesan dan panggilan video. Namun, kini, meskipun mereka masih berusaha untuk tetap berhubungan, terasa seperti ada sesuatu yang hilang.

Alya membuka surat itu lagi. Di dalamnya, Dika menulis dengan penuh perasaan:

“Alya, aku berjanji bahwa meskipun kita terpisah, aku akan selalu berusaha untuk ada di hidupmu. Aku tidak peduli seberapa jauh jarak ini, aku tahu kita akan melewati semua ini. Aku ingin kita selalu berbagi cerita, berbagi tawa, dan berbagi mimpi. Aku ingin jadi orang yang selalu ada untukmu, tidak peduli apapun yang terjadi.”

Alya merasakan dadanya sesak membaca kata-kata itu. Betapa Dika dulu penuh dengan harapan. Betapa ia begitu yakin bahwa cinta mereka tidak akan pernah pudar meskipun waktu terus berjalan. Tapi sekarang... Alya menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan yang datang begitu mendalam. Apakah itu hanya impian mereka berdua, atau memang ada kesempatan untuk mereka kembali menemukan jalan yang sudah mulai terlupakan?

Di saat itulah, sebuah pesan masuk di ponselnya. Itu dari Dika. Alya membuka pesan itu dengan penuh harap, tetapi hatinya sedikit kecewa saat melihat hanya ada beberapa kata singkat.

“Alya, maaf aku sudah lama tidak menghubungimu. Aku benar-benar sibuk akhir-akhir ini. Aku berharap kamu baik-baik saja.”

Pesan itu terasa seperti rutinitas biasa. Tidak ada kehangatan, tidak ada pertanyaan tentang bagaimana perasaannya. Tidak ada ungkapan rindu yang sering mereka bagi dulu. Alya menatap pesan itu lama, merasakan kekosongan yang semakin dalam. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Dika benar-benar sibuk, ataukah perasaan itu sudah benar-benar hilang?

Alya meletakkan ponselnya, kemudian kembali menatap langit malam. Kenangan tentang mereka yang dulu mulai kembali hadir dengan jelas. Ia teringat tentang malam pertama mereka bertemu, di sebuah kafe kecil di tengah kota. Mereka berbicara berjam-jam, berbagi cerita tentang kehidupan mereka, tentang impian mereka, tentang segala hal yang terasa begitu penting pada saat itu. Setiap kata yang diucapkan terasa begitu dalam, begitu berarti, seolah-olah mereka sudah saling mengenal sejak lama. Mereka tertawa bersama, bercanda tentang masa depan, dan berjanji untuk selalu saling mendukung.

Setelah itu, percakapan mereka berlanjut melalui pesan-pesan panjang yang mengisi hari-hari mereka. Setiap pagi mereka selalu mengirim pesan selamat pagi, dan setiap malam mereka menutup hari dengan pembicaraan panjang hingga larut malam. Alya merasa seolah-olah dunia mereka hanyalah satu—dunia yang penuh dengan harapan dan kebahagiaan. Kenapa semuanya terasa begitu jauh sekarang?

Alya teringat malam itu, saat Dika menulis surat pertamanya. Ia masih ingat betapa Dika dengan penuh hati menulis setiap kata, seperti menumpahkan semua perasaan yang ada di dalam hatinya. Ia menulis tentang betapa ia mencintainya, tentang betapa ia ingin selalu ada untuknya meskipun jarak memisahkan mereka.

“Aku tahu, Alya. Ini tidak akan mudah, tetapi aku percaya kita bisa menghadapinya. Kita akan menghadapinya bersama.”

Alya tersenyum tipis, meskipun ada rasa perih di hatinya. Surat-surat itu semua surat yang dulu begitu berarti sekarang terasa seperti kenangan yang semakin jauh. Ia bertanya-tanya, apakah Dika masih ingat tentang semua janji itu? Apakah ia masih percaya pada kata-kata yang dulu mereka ucapkan bersama?

Alya pun memutuskan untuk mengirimkan pesan balasan kepada Dika. Kali ini, ia tidak akan lagi menunggu pesan darinya atau berharap dia yang akan memulai percakapan. Ia harus jujur pada perasaannya. Jika mereka berdua ingin memperbaiki hubungan ini, mereka harus memulai dari awal, mengingat kembali kenangan indah mereka, dan mencari cara untuk membawa kembali perasaan yang dulu ada.

“Dika,” tulis Alya dengan hati-hati. “Aku rindu kita yang dulu. Aku rindu kita yang selalu berbicara tentang masa depan, yang selalu punya waktu untuk satu sama lain. Aku tahu kita berdua sibuk, tapi aku ingin kita kembali seperti dulu. Kita sudah terlalu lama terjebak dalam rutinitas yang membuat kita semakin jauh. Mungkin kita harus kembali ke kenangan itu, untuk mengingat mengapa kita memulai semua ini.”

Setelah menekan tombol kirim, Alya merasa sedikit lega. Mungkin ini adalah langkah pertama untuk kembali membuka jalan komunikasi antara mereka. Mereka perlu kembali pada akar hubungan mereka, kembali mengingat alasan mengapa mereka memilih untuk bertahan meskipun terpisah oleh jarak. Mungkin kenangan itu akan mengingatkan mereka untuk berjuang bersama lagi.

Alya menatap langit sekali lagi, berharap bahwa bintang-bintang malam itu akan memberi jawaban. Mungkin, hanya dengan kembali ke kenangan, mereka bisa menemukan kembali cinta yang hampir terlupakan.*

Bab 6  Titik Balik

Pagi itu, Alya berjalan ke kafe kecil favoritnya dengan langkah yang lebih ringan dari biasanya. Langit cerah, dan udara yang masih segar di awal hari seakan memberikan semangat baru. Mungkin karena hari ini adalah hari yang sangat berbeda, atau mungkin karena ia sudah memutuskan untuk tidak membiarkan kebisuan yang merenggut hubungan mereka terus mendominasi hidupnya. Beberapa hari terakhir, ia merasa seperti ada sesuatu yang harus berubah, dan percakapan terakhir dengan Dika beberapa malam lalu menjadi titik awal dari perubahan itu.

Alya sudah memutuskan untuk tidak hanya menunggu, tapi juga mengambil langkah. Menghadapi kenyataan bahwa hubungan jarak jauh mereka telah menghadapi begitu banyak ujian memang berat. Tetapi, jika mereka masih ingin mempertahankan hubungan ini, mereka berdua harus berani mengambil keputusan dan menghadapi kenyataan itu dengan jujur.

Sebelum keluar dari apartemennya, Alya memeriksa ponselnya untuk yang kesekian kali pagi ini. Tidak ada pesan dari Dika. Sejak percakapan mereka minggu lalu, Dika tampaknya semakin sibuk, atau lebih tepatnya, semakin menghindar. Alya tidak tahu apakah itu karena kesibukannya yang memang luar biasa atau karena ia mulai lelah dengan hubungan mereka. Tapi yang jelas, ia tidak bisa terus menerus terjebak dalam ketidakpastian ini.

Pikirannya melayang sejenak saat ia tiba di kafe. Ada banyak kenangan indah yang muncul begitu saja kenangan tentang pertemuan pertama mereka di tempat yang sama, tentang bagaimana mereka berbicara selama berjam-jam hingga waktu terasa begitu cepat. Segala hal terasa begitu mudah saat itu, seolah-olah mereka tidak peduli akan jarak yang memisahkan.

Apa yang salah dengan kita? Alya berpikir sejenak. Apakah kita sudah mulai kehilangan koneksi itu?

Ia duduk di meja yang biasa mereka pilih, di dekat jendela yang menghadap ke taman. Alya menatap keluar, memandang pepohonan yang bergerak lembut tertiup angin, dan sedikit tersenyum. Ini adalah tempat yang selalu mengingatkan pada Dika, dan kali ini, dengan perasaan yang lebih tenang, Alya merasa bahwa ia perlu berhenti meratap pada kenangan yang sudah lewat. Mereka berdua harus melihat ke depan.

Dengan tekad yang lebih bulat, Alya membuka aplikasi pesan di ponselnya. Jari-jarinya ragu sejenak sebelum akhirnya menekan nama Dika. Saat pesan terakhir yang mereka kirimkan beberapa hari lalu teringat, Alya tahu dia harus berbicara lebih jujur dan lebih terbuka. Tidak ada lagi yang bisa ditunda.

“Dika, aku ingin kita bicara. Tentang kita. Tentang hubungan kita yang semakin terasa jauh. Aku tidak ingin kita terus seperti ini, terjebak dalam kesibukan yang membuat kita semakin jauh. Aku merindukanmu. Aku rindu kita yang dulu. Dan aku rasa kita harus membuat keputusan yang jelas.”

Pesan itu dikirim. Alya menatap layar ponselnya sejenak, lalu meletakkannya di atas meja. Hatinya berdebar. Apakah ini keputusan yang benar? Ia merasa seperti sedang meletakkan beban yang begitu besar di pundaknya. Tetapi, pada saat yang sama, ia juga merasa lega. Ia telah mengambil langkah pertama untuk mengubah situasi ini.

Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Dika.

“Alya, aku baca pesanmu. Aku tidak tahu harus berkata apa, karena aku juga merasa seperti itu. Tapi aku rasa aku telah terlalu lama menghindari pembicaraan ini. Mungkin aku sudah lelah, atau mungkin aku takut kita akan berakhir seperti ini. Aku tidak ingin itu, tetapi aku tidak tahu harus bagaimana.”

Alya menelan ludah. Pesan itu menyentuh hatinya, dan juga membuat perasaan cemas datang kembali. Ini adalah titik balik yang ia tunggu—titik di mana mereka berdua harus jujur, berani menghadapi kenyataan. Alya membalas pesan itu dengan cepat.

“Aku tahu, Dika. Aku juga merasa takut. Tapi aku tidak bisa terus merasa bingung. Kita perlu bicara tentang ini. Kita sudah terlalu lama terjebak dalam kebisuan. Jika kita benar-benar ingin mempertahankan hubungan ini, kita harus lebih terbuka satu sama lain. Tidak ada yang bisa kita sembunyikan lagi.”

Tidak lama setelah itu, Dika menelepon. Alya tidak menunggu lebih lama dan segera menjawabnya. Suara Dika terdengar lebih berat dari biasanya.

“Hallo, Alya. Aku… aku tahu ini mungkin sulit, tapi aku tidak bisa terus menghindar. Aku merasa kita telah banyak berubah, dan aku tidak tahu apakah kita bisa kembali seperti dulu. Kita sudah terpisah terlalu lama, dan aku merasa seperti kita semakin terjauh. Tapi aku juga tidak ingin kehilanganmu. Aku ingin kita mencoba, tapi aku takut semuanya hanya akan berakhir sia-sia.” Suara Dika terdengar penuh keraguan, tetapi juga ada kejujuran yang begitu dalam.

Alya menundukkan kepala, menahan air mata yang hampir jatuh. Ini adalah momen yang selama ini ia takuti momen di mana perasaan mereka diuji oleh waktu dan jarak. “Aku juga takut, Dika. Aku takut kita sudah terlalu jauh, takut kita sudah mulai kehilangan kita. Tapi aku juga percaya kita bisa melawan rasa takut ini. Kalau kita masih punya cinta, aku yakin kita bisa menemukan cara untuk kembali bersama. Aku tidak ingin menyerah begitu saja.”

Dika terdiam sejenak. “Aku tidak ingin kita berakhir seperti ini, Alya. Tapi aku juga tahu kita harus melakukan sesuatu. Aku ingin berusaha, tetapi kita harus lebih jujur satu sama lain. Aku harus bisa membuka hatiku, dan aku tahu kamu juga harus begitu.”

Alya merasa ada kehangatan dalam kata-kata itu. Meskipun masih ada banyak keraguan, ada juga keinginan untuk memperbaiki semuanya. Mereka berdua akhirnya berbicara lebih dalam, membahas segala hal yang selama ini terpendam. Tentang rasa rindu yang semakin besar, tentang ketakutan yang menghantui mereka, dan tentang keinginan untuk tetap berjuang meskipun jalan yang harus ditempuh tidak mudah.

“Alya,” kata Dika, suara seraknya terdengar lebih lembut. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tapi aku ingin kita mencoba lagi. Aku ingin kita memberi kesempatan pada hubungan ini, meskipun kita tahu itu tidak akan mudah. Aku ingin kita sama-sama berusaha.”

Alya menutup matanya, merasakan kelegaan yang luar biasa. Mereka belum selesai, tetapi mereka sudah mencapai titik balik titik di mana mereka mengakui perasaan mereka yang sesungguhnya. Tidak ada lagi ketidakpastian, tidak ada lagi kebisuan. Kini, mereka memiliki keputusan bersama untuk mencoba lagi, untuk saling memberi ruang, waktu, dan usaha yang lebih banyak.

“Dika, terima kasih. Aku ingin kita melangkah bersama lagi, meskipun kita tahu ada banyak hal yang harus kita perbaiki. Tapi aku percaya kita bisa, jika kita benar-benar berusaha.” Alya tersenyum, meskipun ada air mata di sudut matanya. “Aku tidak ingin kehilangan kita.”

“Begitu juga aku,” jawab Dika dengan lembut. “Kita akan melalui ini bersama.”

Malam itu, setelah percakapan panjang yang penuh dengan pengakuan, Alya merasa hatinya lebih ringan. Ini bukan akhir, dan juga bukan awal yang sempurna. Tetapi mereka sudah mengambil langkah pertama untuk kembali menemukan jalan mereka. Titik balik ini adalah awal dari perjalanan baru mereka perjalanan yang akan dipenuhi dengan pengertian, usaha, dan cinta yang lebih kuat.*

Bab 7  Kilometers Between Us

Hari itu, Alya merasa ada sesuatu yang berbeda di udara. Meski matahari bersinar cerah, ada kesan sepi yang menemaninya sepanjang hari. Pekerjaannya di kantor tampak seperti rutinitas biasa, tetapi pikirannya terus melayang ke satu tempat yang jauh ke Dika. Beberapa minggu sudah berlalu sejak percakapan mereka yang menyentuh hati, dan meskipun mereka berdua sepakat untuk berjuang, jarak yang memisahkan mereka tak bisa diabaikan begitu saja.

Alya duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan kosong. Setiap kali ia memeriksa ponselnya, tidak ada pesan baru dari Dika. Mungkin, seperti yang ia rasakan, kesibukan dan rutinitas sehari-hari mulai mengambil alih semuanya. Namun, ada rasa hampa yang mulai menggerogoti hatinya. Mereka sudah berusaha kembali, mencoba untuk lebih terbuka, lebih dekat tetapi tetap saja, jarak itu menghalangi.

Ia teringat kembali kata-kata Dika dalam salah satu percakapan mereka beberapa waktu lalu: “Meski kita berjarak ribuan kilometer, Alya, aku percaya kita bisa melalui semua ini. Tapi aku juga tahu, kita tidak bisa terus-terusan hidup dalam ketidakpastian. Aku tidak tahu bagaimana, tapi kita harus mencari cara agar jarak ini tidak memisahkan kita lebih jauh lagi.”

Dika benar. Meskipun mereka berbicara tentang mencoba lagi, rasanya masih ada hal yang tertinggal, seolah-olah mereka hanya berjalan di tempat tanpa benar-benar menemukan cara untuk mengatasi kekosongan yang ada. Jarak dengan segala keterbatasannya menjadi penghalang yang terus menggantung di antara mereka, menambah keraguan dan ketakutan yang mereka rasakan.

Alya menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan pikirannya. Satu hal yang ia tahu pasti adalah bahwa ia tidak ingin menyerah. Meski jarak memisahkan mereka, meski segala sesuatunya terasa berat, ia masih mencintai Dika, dan ia yakin bahwa Dika pun merasakan hal yang sama. Mereka hanya perlu menemukan cara untuk mengubah ketidakpastian ini menjadi sebuah kepastian, menemukan kembali cara untuk menjembatani jarak yang semakin lebar.

Alya memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada Dika. Kali ini, ia ingin berbicara lebih jujur lagi, tanpa ada perasaan ragu. Tidak ada lagi waktu untuk menunggu, untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Mereka harus saling memberi ruang untuk berkomunikasi, untuk memahami perasaan masing-masing, dan yang terpenting, untuk mencari cara agar cinta mereka tidak tergerus oleh jarak.

“Dika,” tulis Alya, “Aku tahu kita berdua sudah berusaha untuk lebih terbuka, lebih dekat, tapi rasanya kita masih terhalang oleh sesuatu yang lebih besar dari kita—jarak. Aku tidak bisa terus merasa seperti ini, seolah-olah kita hanya bertahan tanpa benar-benar merasa satu sama lain. Aku ingin kita menemukan cara untuk mengatasi ini, untuk tidak terus terjebak dalam ketidakpastian. Aku tahu ini sulit, tapi aku percaya kita bisa menemukan cara agar jarak ini tidak memisahkan kita lebih jauh lagi.”

Setelah beberapa menit, pesan itu akhirnya terkirim. Alya menatap layar ponselnya sejenak, merasa perasaan campur aduk. Ia tidak tahu apa yang akan Dika katakan, atau apakah ia akan merespons seperti yang diharapkan. Namun, satu hal yang ia tahu adalah bahwa ia tidak bisa terus merasa terperangkap dalam ketidakpastian ini.

Beberapa jam kemudian, ponselnya bergetar. Itu dari Dika.

“Alya, aku paham apa yang kamu rasakan. Aku juga merasa terhalang oleh jarak ini. Ada kalanya aku merasa seolah-olah kita semakin jauh meskipun kita sudah berusaha untuk tetap dekat. Tapi aku juga tahu, kita tidak bisa terus seperti ini. Kita harus mencari cara agar hubungan kita bisa bertahan, bahkan jika kita terpisah ribuan kilometer. Aku tidak ingin kehilanganmu.”

Alya merasa sedikit lega membaca balasan itu. Meskipun Dika mengakui kesulitan yang mereka hadapi, ada sebuah keinginan untuk memperjuangkan hubungan ini. Mungkin mereka berdua memang harus berjuang lebih keras, lebih banyak lagi.

“Aku juga tidak ingin kehilanganmu, Dika. Tapi kita tidak bisa hanya berharap semuanya akan membaik dengan sendirinya. Kita perlu lebih dari sekadar kata-kata, lebih dari sekadar janji-janji yang kita buat. Kita perlu menemukan cara untuk saling hadir meski terpisah jarak. Aku ingin kita lebih sering berbicara, lebih sering berbagi, dan lebih sering mengingatkan diri kita mengapa kita memilih untuk bertahan.”

Beberapa detik kemudian, Dika membalas.

“Aku setuju, Alya. Mungkin kita sudah terlalu lama terjebak dalam rutinitas yang sama. Aku ingin kita mencari cara untuk membuat jarak ini tidak terlalu berat. Aku akan berusaha lebih untuk menghubungimu, lebih sering, lebih terbuka. Aku ingin kita saling mendukung, meskipun kita terpisah oleh ribuan kilometer.”

Alya menatap pesan itu dengan hati yang lebih tenang. Mereka sudah mulai membangun jembatan untuk mengatasi jarak yang memisahkan mereka. Mungkin tidak mudah, mungkin penuh dengan tantangan, tetapi mereka sudah memutuskan untuk mencoba lagi, untuk tidak membiarkan kilometer antara mereka menjadi penghalang yang tak teratasi.

Hari-hari berikutnya, mereka mulai berkomunikasi lebih intens. Mereka tidak hanya berbicara melalui pesan singkat atau telepon biasa, tetapi mulai merencanakan untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama, meski melalui video call. Setiap pagi, mereka berusaha untuk mengirimkan pesan selamat pagi, setiap malam mereka berusaha untuk berbicara tentang hari mereka, tentang hal-hal kecil yang terjadi dalam kehidupan mereka. Meskipun fisik mereka terpisah, mereka mulai merasakan kehadiran satu sama lain dengan cara yang baru. Tidak ada lagi rasa hampa yang menggerogoti, tidak ada lagi ketakutan bahwa hubungan mereka akan terlupakan oleh waktu.

Namun, meskipun mereka merasa lebih dekat, jarak itu tetap ada. Ada kalanya Alya merasa sepi, merasa seperti ada yang hilang dalam kehidupannya, terutama saat ia melihat pasangan-pasangan lain yang bisa bersama setiap hari. Begitu juga Dika, yang kadang merasa kesulitan untuk berbagi kisah hariannya, karena jarak itu membuat segalanya terasa jauh.

Pada suatu malam, saat mereka berbicara melalui video call, Alya melihat ekspresi Dika yang berbeda. Matanya tampak lelah, dan suara di balik senyumnya terasa sedikit paksaan. “Dika, kamu baik-baik saja?” tanya Alya dengan lembut, meskipun hatinya sedikit cemas.

Dika menghela napas panjang, dan menggelengkan kepala pelan. “Aku… aku hanya merasa lelah, Alya. Terkadang aku berpikir, apakah aku bisa terus seperti ini, dengan jarak yang selalu menghalangi kita. Aku ingin kita lebih dekat, tapi aku juga merasa sulit untuk mengatur semuanya.”

Alya merasa hatinya tergetar mendengar pengakuan itu. Namun, daripada merasa putus asa, ia justru merasa lebih yakin. Ini adalah ujian, ujian yang harus mereka lewati bersama. Mereka sudah memilih untuk berjuang, dan ini adalah bagian dari perjalanan mereka. Jarak itu memang ada, tetapi jika mereka terus berusaha untuk menghadapinya bersama, mereka akan menemukan cara untuk tetap saling hadir meskipun terpisah.

“Dika, aku tahu ini sulit, tetapi aku tidak ingin kita menyerah. Kita sudah datang sejauh ini, dan aku percaya kita bisa melewati ini. Kita akan selalu menemukan cara untuk tetap dekat, meski ada ribuan kilometer di antara kita. Aku tidak ingin kehilanganmu, dan aku tahu kamu juga tidak ingin itu,” kata Alya, mencoba memberikan semangat yang Dika butuhkan.

Dika tersenyum, meskipun matanya sedikit berkaca-kaca. “Aku juga tidak ingin kehilanganmu, Alya. Terima kasih telah membuatku merasa bahwa kita masih punya kesempatan. Aku janji akan lebih berusaha.”

Kilometer yang memisahkan mereka mungkin tetap ada, tetapi malam itu, Alya merasa bahwa meskipun jarak itu ada, mereka sudah mulai menemukan cara untuk menghadapinya. Karena cinta mereka, meskipun terhalang jarak, akan selalu menemukan jalannya.***

————-THE END————-

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintadalamkesunyian#cintajarakjauh#jarakyangmenguji#kilometerantarakita#perjuangancinta
Previous Post

CINTA YANG KEBAKAR OLEH KE BOHONGAN

Next Post

SAMPAI JUMPA CINTA

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
SAMPAI JUMPA CINTA

SAMPAI JUMPA CINTA

Ketika Cinta Pertama Menyapa

Ketika Cinta Pertama Menyapa

SAAT HUJAN MENGINGATKAN MU

SAAT HUJAN MENGINGATKAN MU

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id