Daftar Isi
Bab 1 Cinta yang Mulai Retak
Pagi itu, seperti biasa, Alika terbangun dengan mata yang masih berat, namun hatinya sudah dipenuhi semangat. Sebuah kebiasaan yang tak pernah berubah selama hampir dua tahun terakhir. Menghirup udara pagi yang segar, ia melangkah menuju dapur, menyalakan mesin kopi, dan menikmati secangkir kopi hitam hangat. Hari-hari ini, rutinitasnya terasa sedikit lebih berat, tetapi ia tetap menikmati detiknya. Sebuah tanda, mungkin, bahwa kehidupan berjalan dengan baik.
Namun, sejak beberapa minggu terakhir, ada sesuatu yang mengganjal dalam hidupnya. Sebuah perasaan yang sulit ia definisikan—seperti ada kekosongan yang tak terisi, seperti ada jarak yang semakin melebar antara dirinya dan Dio, kekasih yang selama ini dianggapnya sebagai bagian tak terpisahkan dari hidupnya.
Dio adalah segalanya bagi Alika. Sejak pertama kali bertemu di kafe kecil yang menjadi tempat favorit mereka berdua, ada sesuatu yang langsung terhubung antara mereka. Senyum Dio yang cerah, cara dia menatap Alika seolah-olah dia adalah satu-satunya wanita di dunia, membuat Alika merasa spesial. Mereka berbagi banyak impian, saling mendukung dalam karier, bahkan dalam hal-hal kecil seperti memasak bersama atau berjalan-jalan di taman saat senja. Mereka tampak sempurna di mata banyak orang, dan Alika merasa beruntung bisa memiliki Dio.
Namun akhir-akhir ini, semuanya mulai berubah.
Dio yang dulu selalu perhatian kini tampak sibuk dan menjauh. Alika merasa bahwa saat mereka bersama, ada sesuatu yang menghalangi komunikasi mereka. Pernah suatu malam, ketika Alika mencoba berbicara tentang masa depan mereka, Dio hanya memberi jawaban singkat, matanya tampak kosong, dan pikirannya jelas jauh di sana, entah ke mana.
“Itu cuma masalah kerjaan, Al,” kata Dio waktu itu, mencoba memberi alasan yang masuk akal. “Aku hanya butuh waktu sedikit lebih banyak untuk fokus. Kamu ngerti kan?”
Alika tersenyum dan mengangguk, meski hatinya tidak sepenuhnya yakin. Tetapi, sebagai seorang kekasih yang penuh pengertian, ia mencoba memberi ruang kepada Dio. Namun, semakin hari, jarak di antara mereka semakin terasa. Dio lebih sering menghabiskan waktu di luar kota dengan alasan pekerjaan, dan saat di rumah, dia lebih sering tenggelam dalam ponselnya daripada menghabiskan waktu dengan Alika. Ketika mereka berbicara, percakapan mereka terasa datar, kosong, seperti dua orang asing yang terjebak dalam rutinitas tanpa gairah.
Puncaknya terjadi pada suatu sore, ketika Alika memutuskan untuk mengejutkan Dio dengan mengunjungi kantornya setelah jam kerja. Ia tahu Dio bekerja lembur, dan ingin memberikan kejutan kecil sebuah makan malam sederhana yang bisa mereka nikmati bersama. Namun, ketika ia tiba di kantor Dio, ia mendapati sesuatu yang tak terduga.
Di depan pintu kantornya, Alika melihat Dio sedang berdiri bersama Rena, teman kerja yang cukup dekat dengan Dio. Mereka tampak sangat akrab, lebih dari sekadar rekan kerja. Tertawa bersama, dan yang paling mengejutkan, Rena menyandarkan kepalanya di bahu Dio, seolah mereka adalah pasangan yang tak terpisahkan.
Alika berhenti sejenak di balik dinding, mencoba memahami apa yang baru saja dilihatnya. Detak jantungnya terdengar begitu keras di telinganya. Ia ingin memanggil Dio, tetapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya. Alika merasa seolah dunia tiba-tiba menjadi sangat sempit, dan seluruh udara di sekitarnya terasa sesak.
Tidak lama setelah itu, Dio berbalik, dan ketika ia melihat Alika berdiri di sana, wajahnya berubah. Wajah yang biasanya cerah kini tampak gelisah, dan mata mereka bertemu dengan raut yang penuh kekhawatiran.
“Alika,” Dio mulai, nada suaranya tampak gugup. “Ini bukan apa yang kamu pikirkan.”
Namun, sebelum Dio bisa melanjutkan, Alika sudah melangkah pergi tanpa berkata sepatah kata pun. Air matanya mulai mengalir, namun ia berusaha menahannya. Duka yang ia rasakan tidak bisa dipungkiri lagi. Pengkhianatan itu datang begitu cepat, seperti badai yang menghancurkan segala yang telah dibangun. Ia tidak tahu harus bagaimana. Apakah yang ia lihat barusan adalah kenyataan yang seharusnya diterimanya?
Sore itu, Alika pulang ke apartemennya dalam diam. Ia mencoba untuk mengumpulkan kekuatan, mencari jawaban atas segala pertanyaan yang mengganggunya. Apakah ini memang akhir dari semua yang ia percayai? Haruskah ia bertanya langsung pada Dio, ataukah lebih baik diam dan menerima kenyataan bahwa hubungan ini tidak lagi sama?
Di malam yang sepi, Alika menatap ponselnya, dan kemudian mengirimkan pesan kepada Dio:
“Dio, aku butuh kejelasan. Aku melihat sesuatu tadi. Kita perlu bicara.”
Ia menunggu, namun tidak ada balasan.
Keesokan harinya, Alika memilih untuk pergi ke tempat kerjanya lebih awal, mencoba menghindari Dio. Namun pikirannya terus saja melayang, kembali pada momen sore itu. Rena… Apakah mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional di antara mereka? Dan apakah Dio pernah mempertimbangkan perasaan Alika sama sekali?
Hari-harinya terasa semakin berat. Ia mencoba berfokus pada pekerjaannya, tetapi semuanya tampak kabur. Ketika ia menerima telepon dari Dio beberapa jam kemudian, hatinya berdegup kencang. Namun, kali ini, dia tidak tahu apakah ia siap mendengarkan penjelasan yang mungkin sudah terlambat. Saat ponselnya berdering, ia menatap layar dengan cemas.
“Alika,” suara Dio terdengar rendah, penuh penyesalan. “Aku tahu kamu pasti marah. Aku ingin menjelaskan semuanya. Aku… aku tidak bermaksud membuatmu sakit hati.”
Namun, kata-kata Dio tidak mampu menghapus perasaan hancur yang ia rasakan. Alika menutup teleponnya tanpa berkata-kata. Ada yang berubah di dalam dirinya. Dia tidak lagi yakin bahwa hubungan ini bisa diselamatkan. Pengkhianatan itu telah menembus dinding pertahanan hatinya, dan meskipun ia mencintai Dio dengan sepenuh hati, kepercayaan yang telah terkoyak itu tidak bisa dengan mudah dipulihkan.
Saat ia menatap bayangannya di cermin, Alika tahu satu hal: hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Cinta yang pernah terasa sempurna kini mulai retak, dan ia harus siap untuk menghadapi kenyataan pahit itu.
Bab ini menunjukkan bagaimana cinta yang awalnya indah dan penuh harapan bisa berubah menjadi sesuatu yang penuh keraguan dan ketidakpastian. Pengkhianatan yang ditemukan oleh Alika mulai mengubah cara dia melihat Dio, dan menimbulkan perasaan terluka yang begitu dalam. Pembaca mulai merasakan ketegangan emosional yang dialami oleh Alika, dan merasa keperihan dalam setiap keputusan yang ia ambil. Konflik batin antara cinta dan pengkhianatan mulai tercipta, yang akan memicu perjalanan emosional selanjutnya.*
Bab 2 Pengkhianatan yang Terungkap
Setelah pertemuan yang mengguncang hatinya sore itu, Alika merasa seperti seseorang yang tenggelam di dalam lautan perasaan yang tak terkontrol. Setiap langkah yang diambilnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Pengkhianatan yang baru saja ia saksikan tak hanya menodai rasa cintanya, tetapi juga meruntuhkan seluruh kepercayaan yang pernah ia bangun bersama Dio. Namun, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini benar-benar pengkhianatan yang begitu nyata, ataukah hanya salah paham yang bisa diperbaiki?
Alika mencoba menenangkan diri, tetapi ada sesuatu yang mengganggu di dalam hatinya. Bagaimana mungkin Dio bisa begitu dekat dengan Rena, sahabat dekatnya yang selalu tampak ramah dan baik hati? Mereka selalu terlihat saling menghargai, dan tidak pernah ada tanda-tanda bahwa mereka bisa memiliki hubungan lebih dari sekadar teman. Atau, mungkinkah Alika hanya tidak melihat tanda-tanda yang jelas? Selama ini, ia terlalu terbuai dengan kesempurnaan yang diciptakan Dio dan dirinya sendiri.
Pagi itu, setelah tidur yang tidak nyenyak, Alika memutuskan untuk menghadapinya. Tidak ada lagi waktu untuk bersembunyi dari kenyataan. Dia harus tahu, harus mendengar penjelasan Dio. Ia memilih untuk pergi ke apartemen Dio, tempat yang dulu selalu dipenuhi tawa dan canda mereka. Namun kali ini, langkahnya terasa sangat berbeda. Tidak ada lagi kebahagiaan yang menghiasi matanya. Ada rasa takut dan cemas yang membebani dadanya, dan ia tahu bahwa apa yang akan terjadi di sana tidak akan pernah sama.
Sesampainya di apartemen Dio, Alika berdiri sejenak di depan pintu. Tangannya terangkat, siap mengetuk, tetapi tubuhnya seakan membeku. Apa yang harus ia katakan? Bagaimana harus memulai percakapan yang sangat menentukan ini? Namun, sebelum ia sempat mengetuk pintu, suara Dio terdengar dari dalam.
“Alika… kamu datang?” Suara Dio terdengar gugup, namun ada kelegaan di dalamnya.
Dengan perlahan, Alika membuka pintu dan melangkah masuk. Dio tampak berdiri di ruang tamu, matanya menghindari pandangannya, namun raut wajahnya menunjukkan kegelisahan yang jelas. Alika bisa merasakan ketegangan di udara. Dio tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semuanya, dan Alika sudah siap mendengar apapun yang akan ia katakan.
“Ada yang ingin aku bicarakan, Dio,” kata Alika dengan suara yang datar, mencoba menahan emosinya yang hampir meledak. “Tentang apa yang aku lihat kemarin sore…”
Dio terdiam beberapa detik, kemudian menghela napas panjang, seolah ia sudah tahu betapa besar rasa sakit yang akan ia hadapi. Ia duduk di sofa, mengisyaratkan Alika untuk duduk di sampingnya. Namun, Alika memilih berdiri, tidak ingin terlalu dekat dengan orang yang sudah menghancurkan hatinya.
“Apa yang kamu lihat kemarin bukan seperti yang kamu pikirkan, Alika,” kata Dio, nadanya rendah dan penuh penyesalan. “Aku tidak ingin kau merasa terluka, tapi aku tahu aku sudah melukai kamu dengan sangat dalam. Aku ingin menjelaskan semuanya.”
Alika menatap Dio tajam, matanya mulai berkaca-kaca, namun ia berusaha menahan air mata itu. “Jadi, apa itu semua? Apa yang aku lihat kemarin itu cuma salah paham? Kenapa kamu terlihat begitu dekat dengan Rena? Apa yang sebenarnya terjadi, Dio?”
Dio mengalihkan pandangannya ke lantai, seolah tidak mampu menatap wajah Alika yang dipenuhi kekecewaan. “Aku… aku tidak tahu bagaimana harus memulai,” Dio berkata dengan suara berat. “Rena dan aku, kami… kami terlibat dalam sebuah hubungan yang… yang tidak seharusnya terjadi. Aku sangat menyesal, Alika. Aku tahu aku telah mengkhianatimu, dan aku tidak tahu bagaimana bisa menjelaskan betapa buruknya semua ini.”
Alika merasa seluruh tubuhnya terasa kaku. Kata-kata Dio begitu menusuk hatinya, seperti pisau yang mengiris dagingnya perlahan. Dia merasa seperti seseorang yang sedang jatuh ke dalam jurang gelap, tidak tahu harus kemana dan bagaimana keluar. “Jadi, semua itu nyata?” tanyanya, suaranya hampir tidak terdengar.
Dio mengangguk pelan, dan Alika bisa melihat penyesalan yang tergambar jelas di wajahnya. “Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu, Alika. Semua yang terjadi dengan Rena—itu bukan sesuatu yang aku rencanakan. Kami mulai dekat karena banyak hal, dan aku mulai terjebak dalam kebingunganku sendiri. Aku sangat bingung dengan perasaanku.”
Alika terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Dio. “Jadi, kamu tidak tahu apa yang kamu inginkan? Kamu hanya terjebak?” tanyanya dengan suara yang semakin pecah. “Aku sudah memberimu segalanya, Dio! Aku selalu ada untukmu, aku percaya padamu. Tapi ini… ini yang kamu balas dengan pengkhianatan? Kamu lebih memilih dia daripada aku?”
Dio terdiam, tidak tahu harus berkata apa. “Aku… aku tidak bermaksud begitu, Alika. Aku mencintaimu, tapi… perasaan itu mulai kabur. Aku tidak tahu harus bagaimana, dan aku… aku sangat menyesal.”
Alika tidak bisa lagi menahan air matanya. Mereka jatuh begitu saja, seperti hujan yang deras mengguyur wajahnya. Ia mencoba menahan suara isaknya, tetapi gagal. “Kau bilang kau mencintaiku, Dio. Tapi itu semua tidak berarti apa-apa sekarang. Kamu sudah memilih jalanmu, dan aku tidak bisa lagi mempercayaimu.”
Dio meraih tangan Alika, mencoba untuk menariknya ke dalam pelukannya, tetapi Alika menarik tangan itu dengan cepat. “Jangan sentuh aku,” katanya, suaranya keras dan penuh kebencian. “Aku tidak bisa lagi percaya padamu. Cintamu tidak cukup untuk menutupi kebohongan dan pengkhianatan yang telah kamu lakukan.”
Ia mundur beberapa langkah, menatap Dio dengan mata yang penuh air mata. “Aku tidak tahu siapa kamu lagi, Dio. Kamu bukan lagi pria yang aku kenal. Kamu sudah menghancurkan segalanya. Dan aku tidak bisa lagi menjadi bagian dari hidupmu.”
Dengan itu, Alika berbalik dan berjalan keluar dari apartemen Dio. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, tetapi di saat yang sama, ia merasa seolah-olah beban yang selama ini ia pikul mulai sedikit demi sedikit terlepas. Cinta yang ia miliki untuk Dio masih ada, tetapi kepercayaan yang seharusnya menjadi pondasi hubungan mereka telah hancur tak tersisa.
Saat Alika meninggalkan apartemen Dio, ia merasa dunia seakan berhenti sejenak. Semua yang ia kenal semua yang ia percayai telah berubah dalam sekejap. Rasa sakitnya begitu dalam, tetapi ia tahu satu hal pasti: ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang kebohongan dan pengkhianatan. Saat itu juga, ia memutuskan untuk tidak kembali lagi.
Pengkhianatan yang terungkap itu tidak hanya mengubah segalanya antara dirinya dan Dio, tetapi juga mengubah dirinya. Alika tahu, meskipun rasa sakit itu masih ada, ia harus belajar untuk berdiri sendiri. Dunia ini bukan hanya tentang cinta. Itu juga tentang keberanian untuk melangkah meskipun hati terluka.*
Bab 3 Membangun Dendam
Setelah pertemuan yang memecahkan hatinya, Alika merasa seperti dirinya telah kehilangan bagian terbesar dari dirinya. Dio, yang dulu adalah pria yang ia percayai dan cintai dengan sepenuh hati, kini hanyalah bayangan masa lalu yang menyakitkan. Pengkhianatan yang diterimanya bukan sekadar luka biasa; itu adalah pisau yang menembus jantungnya, merobek kepercayaan yang telah dibangunnya selama bertahun-tahun. Meskipun rasa sakit itu begitu dalam, ada sesuatu yang jauh lebih menggerogoti dalam dirinya. Sesuatu yang lebih gelap. Sesuatu yang mulai tumbuh dalam dirinya—dendam.
Pada awalnya, Alika mencoba untuk menghindari perasaan itu. Dendam bukanlah sesuatu yang ingin ia pelihara dalam hidupnya. Cinta dan pengkhianatan adalah dua hal yang tak pernah ia bayangkan bisa terjalin begitu rumit. Namun, semakin ia berusaha untuk melupakan dan melepaskan, semakin jelas bahwa pengkhianatan itu tidak akan mudah menghilang begitu saja.
Hari-hari setelah pertemuan dengan Dio terasa seperti hari yang panjang dan berat. Alika kembali ke rutinitasnya kerja, pulang, tidur, lalu kembali bekerja. Namun, pikirannya terus dipenuhi dengan bayang-bayang Dio dan Rena. Setiap kali ia memikirkan mereka, rasa sakit itu datang begitu tajam. Ia membayangkan bagaimana mereka berbicara, tertawa, dan berbagi momen-momen yang dulu ia kira hanya untuk mereka berdua. Setiap gambar itu menjadi seperti duri yang terus menusuk hatinya.
Ia tidak bisa mengabaikan satu fakta yang menghantui setiap malamnya: Dio telah mengkhianatinya, dan itu tidak bisa dimaafkan begitu saja. Dendam, yang awalnya ia anggap sebagai sesuatu yang tidak ingin ia pelihara, kini mulai tumbuh. Itu bukan lagi sekadar perasaan kecewa atau marah. Dendam ini semakin kuat, dan dengan setiap detiknya, ia merasa lebih sulit untuk melepaskannya. Perasaan itu merasuki dirinya, seperti api yang mulai menyebar perlahan, membakar setiap rasa baik yang pernah ada.
Di satu malam yang hening, ketika Alika duduk sendiri di balkon apartemennya, menatap bintang-bintang yang bersinar di langit, sebuah pikiran muncul dalam benaknya. Dendam ini, meskipun membuatnya merasa terperangkap dalam kemarahan dan kebencian, juga memberi kekuatan. Kekuatan untuk tidak lagi merasa lemah, untuk tidak lagi merasa ditinggalkan tanpa arah. Dendam memberinya tujuan baru: membalas, membuktikan bahwa Dio tidak bisa begitu saja meninggalkannya tanpa konsekuensi.
Alika tidak tahu bagaimana cara tepat untuk membalasnya, namun ia tahu satu hal: ia harus membuat Dio merasakan betapa dalamnya luka yang ia ciptakan. Ia harus menunjukkan bahwa pengkhianatan itu bukan hal yang bisa dimaafkan dengan mudah. Alika tahu betul bahwa ia harus menggunakan senjata yang paling mematikan—kepercayaan yang telah hilang.
Tapi bagaimana caranya? Di dalam dirinya, perasaan yang berkembang semakin gelap, dan ia mulai mencari cara untuk mengatur langkahnya dengan hati-hati. Dio pasti tidak menyangka bahwa Alika bisa menjadi begitu dingin dan berhati keras. Selama ini, ia selalu melihat Alika sebagai wanita yang lembut dan pengertian. Tapi sekarang, ada sisi lain dari dirinya yang mulai terbentuk. Sisi yang akan mengambil alih kendali.
Hari-hari berlalu, dan Alika mulai mengamati semua hal yang terjadi di sekitar Dio. Ia mencari tahu lebih banyak tentang Rena—teman kerja yang telah mengambil tempatnya dalam hidup Dio. Melalui media sosial, ia menemukan lebih banyak informasi tentang perempuan itu. Rena, yang selama ini hanya ia anggap sebagai rekan kerja biasa, ternyata memiliki kehidupan yang sangat berbeda dari apa yang ia bayangkan. Ternyata, Rena juga sering berbagi momen intim dengan Dio, dan lebih dari itu, ia tidak segan-segan menunjukkan kedekatannya di depan umum. Rena tidak malu menampilkan hubungan mereka kepada dunia, sedangkan Alika, yang pernah menjadi pusat dunia Dio, kini hanya tinggal bayangan di balik layar.
Perasaan cemburu mulai kembali menggerogoti Alika. Ia tahu, Rena adalah bagian dari pengkhianatan yang harus ia hadapi. Tidak hanya Dio, tetapi Rena juga harus merasakan konsekuensinya. Rasa sakit yang ia rasakan harus dilampiaskan kepada mereka berdua. Tidak ada tempat untuk maaf, tidak ada ruang untuk penyesalan. Dendam ini harus terbalas.
Pada suatu hari, Alika menerima undangan pertemuan dari seorang teman lama yang bekerja di perusahaan tempat Dio dan Rena bekerja. Teman itu, Mia, adalah seorang yang selalu memiliki informasi terkini mengenai siapa yang sedang dekat dengan siapa. Alika melihat kesempatan itu sebagai jalan untuk mendekati tujuan barunya. Dengan senyum yang dipaksakan, Alika menerima undangan tersebut.
Mia, yang tahu bahwa Alika sedang berjuang mengatasi perasaannya, memulai percakapan dengan hati-hati. “Alika, aku tahu ini berat buatmu,” kata Mia. “Tapi kamu juga harus tahu, Dio… dia bukan orang yang kamu kira. Rena dan Dio, mereka bukan hanya teman kerja. Ada banyak hal yang sudah terjadi di belakangmu.”
Alika mendengarkan setiap kata Mia dengan seksama. Rasa penasaran dan dendam yang membara semakin besar di dalam dirinya. Mia bercerita lebih banyak tentang bagaimana hubungan antara Dio dan Rena semakin berkembang, dan bagaimana Dio akhirnya terbuka dengan perasaannya untuk wanita itu. Namun, ada satu hal yang Mia tidak tahu: Alika tidak ingin mendengar kata-kata itu sebagai pelipur lara. Ia ingin melihat bagaimana Dio dan Rena benar-benar dihancurkan oleh perasaan yang dulu mereka anggap remeh.
Setelah percakapan dengan Mia, Alika merasa seperti sesuatu telah terbangun dalam dirinya. Ia merasakan sebuah dorongan yang kuat untuk mengatur langkah-langkahnya dengan lebih hati-hati. Rencana balas dendamnya kini mulai terbentuk. Tidak ada lagi ruang untuk kebahagiaan atau pengampunan. Ia akan meruntuhkan dunia mereka, sedikit demi sedikit.
Dengan setiap informasi yang ia kumpulkan, Alika merasa semakin yakin. Dio dan Rena tidak tahu apa yang akan datang. Mereka tidak tahu bahwa Alika, yang dulu lembut dan pengertian, kini berubah menjadi wanita yang akan membuat mereka merasakan kesakitan yang jauh lebih dalam daripada yang pernah mereka bayangkan.
Alika tahu satu hal dengan pasti: jika Dio dan Rena ingin merusak hidupnya, mereka juga harus siap merasakan betapa sakitnya hidup tanpa rasa kepercayaan, tanpa kasih sayang. Dan ia akan memastikan bahwa mereka merasakannya. Perlahan, tetapi pasti, ia mulai membangun dendam yang tak akan bisa dipadamkan begitu saja.*
Bab 4 Ketegangan dan Konflik dalam Dendam
Alika berdiri di tepi jendela apartemennya, menatap malam yang gelap. Kota di bawah sana tampak seperti lautan lampu yang berkelap-kelip, namun hatinya terasa sunyi. Dia tidak tahu sudah berapa lama ia berdiri di sana, hanya merenung, mencerna setiap langkah yang ia ambil dalam beberapa minggu terakhir. Setiap detik yang berlalu semakin menguatkan tekadnya. Dendam yang telah tumbuh dalam dirinya kini semakin sulit dibendung, dan ia merasa seolah-olah dunia di sekitarnya tidak lagi ada. Semua yang ada hanyalah perasaan marah yang terus membakar, dan keinginan untuk melihat Dio dan Rena menderita, sama seperti yang ia rasakan.
Namun, seiring dengan semakin dalamnya dendam itu, ada perasaan yang muncul di dalam dirinya perasaan cemas dan ragu. Ketegangan ini mulai menguasai dirinya. Apakah yang ia lakukan benar? Apakah benar ia harus menghancurkan dunia mereka untuk membalas rasa sakit yang ditinggalkan? Alika tidak tahu lagi. Semua yang ia tahu adalah bahwa hatinya dipenuhi dengan kebencian yang tak terkatakan.
Dendam itu tidak hanya menyakitkan dirinya sendiri, tetapi juga menambah ketegangan dalam setiap interaksi yang ia jalani. Di tempat kerja, Alika mulai merasa semakin terasing. Teman-temannya mulai menyadari bahwa ada yang berbeda dari dirinya. Sebelumnya, ia dikenal sebagai wanita yang ceria dan penuh semangat. Kini, ia hanya seorang yang dingin, lebih sering menyendiri, dan terkadang menyembunyikan pandangan tajam yang menyiratkan ketegangan dalam hatinya. Mereka tidak tahu apa yang terjadi dalam dirinya, tetapi mereka mulai merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya.
Di sisi lain, Dio dan Rena juga mulai merasakan perubahan itu, meskipun mereka tidak sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi. Dio mulai merasa khawatir dengan sikap Alika yang semakin jauh dan menghindarinya, meskipun ia tahu ia telah bersalah. Namun, seberapa dalam penyesalannya? Seberapa banyak dia benar-benar merasakan kesalahan yang telah dia buat? Alika tidak tahu jawabannya, dan mungkin ia tidak peduli lagi.
Suatu hari, Dio mencoba menghubungi Alika. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam situasi yang tidak menguntungkan, dan Dio mulai merasa kesal. Apakah ia benar-benar bisa memperbaiki semuanya? Setelah apa yang telah terjadi, apakah masih ada ruang untuk pengampunan? Namun, kali ini, ketika Alika menerima telepon dari Dio, ada sesuatu yang berbeda.
“Alika, bisa kita bicara?” Suara Dio terdengar penuh penyesalan. “Aku tahu aku telah membuatmu terluka, tapi aku ingin memperbaikinya. Aku ingin kita kembali seperti dulu.”
Alika merasa seolah-olah suara itu hanyalah angin yang lewat tanpa meninggalkan bekas. Ia menundukkan kepala, menatap ponselnya, dan beberapa detik berlalu sebelum ia akhirnya berbicara.
“Sudah terlalu terlambat, Dio,” jawabnya dengan suara datar. “Aku sudah cukup mendengar kata-kata itu. Pengampunan tidak datang dengan mudah. Apakah kamu pikir aku bisa melupakan semuanya begitu saja? Apa yang kamu lakukan tidak bisa diperbaiki hanya dengan kata-kata.”
Dio terdiam sejenak, merasa tak berdaya. “Alika, aku minta maaf. Aku tahu ini salah, dan aku bersedia melakukan apapun untuk memperbaikinya. Aku tidak ingin kehilanganmu.”
Mendengar kata-kata itu, Alika merasa kebingungannya semakin dalam. Di satu sisi, ia merasa rindu dengan masa-masa indah bersama Dio. Namun di sisi lain, dendam yang tumbuh dalam dirinya terlalu besar untuk dibiarkan pergi. Cinta yang dulu ia rasakan kini telah digantikan dengan kebencian, dan meskipun ia masih mencintai Dio, perasaan itu telah dipenuhi oleh rasa sakit yang begitu dalam.
“Aku rasa kita sudah cukup, Dio,” kata Alika dengan suara yang penuh kekosongan. “Kita tidak bisa kembali. Kita sudah selesai. Aku sudah terlalu terluka.”
Dengan itu, Alika memutuskan telepon itu tanpa ada kata-kata lagi. Ia merasa lega, tetapi juga kosong. Dendamnya belum sepenuhnya terbalas, dan walaupun hatinya masih rapuh, ia tahu bahwa ia telah mengambil keputusan yang benar. Namun, ketegangan yang tercipta dari keputusan itu tidak hanya berhenti pada dirinya. Ketegangan itu juga mulai menyebar ke dalam hidup Dio dan Rena, mengubah segalanya.
Pada malam yang sama, Alika menerima pesan dari Rena. Seseorang yang selama ini ia anggap hanya sebagai teman biasa. Pesan itu cukup singkat, tetapi cukup untuk membuat jantung Alika berdegup lebih kencang.
“Alika, aku tahu kamu pasti kecewa dan marah. Aku ingin minta maaf atas apa yang terjadi. Aku tidak bermaksud melukaimu. Bisa kita bicarakan ini?”
Melihat pesan itu, Alika merasakan sebuah kekuatan yang membara. Rena, wanita yang telah merebut Dio darinya, kini berani menghubunginya. Tidak ada lagi rasa kasihan dalam dirinya, hanya keinginan untuk melihat keduanya merasakan apa yang ia rasakan. Rencana balas dendamnya mulai matang. Rena harus merasakan bagaimana rasanya dihancurkan oleh perasaan yang sama seperti yang ia alami.
Namun, meskipun Alika tahu bahwa ia akan merencanakan sesuatu, ada rasa bimbang yang menyelinap dalam dirinya. Konflik ini mulai mengganggu pikirannya. Di satu sisi, ia merasa tidak ingin lagi terikat dengan masa lalu. Tetapi, di sisi lain, perasaan dendam yang telah tumbuh begitu kuat sehingga sulit untuk melepaskannya.
Di malam berikutnya, ketika Alika sedang duduk di apartemennya, merenung, sebuah keputusan besar terlintas dalam pikirannya. Dia tahu dia harus segera bertindak, sebelum perasaan ini semakin menguasainya. Dia tidak bisa membiarkan Dio dan Rena merasa bebas dari rasa sakit yang telah mereka buat. Tetapi dalam melakukan itu, ia sadar bahwa dia juga harus menanggung konsekuensinya. Dendam ini, meskipun memberikan kekuatan, juga menghancurkan bagian dari dirinya sendiri.
Ketegangan yang ia rasakan mulai menguasai setiap aspek hidupnya. Ia harus memilih: melanjutkan balas dendam ini dan menghancurkan mereka berdua, atau membiarkan dirinya sendiri kembali hidup, tanpa perasaan yang terus menyiksa.
Namun, pilihan itu semakin rumit. Ketika seseorang terjebak dalam dendam, garis antara kebenaran dan kebohongan semakin kabur. Apa yang dulu tampak jelas, kini menjadi kabur. Alika tidak tahu lagi apakah keputusan yang diambilnya akan membawanya pada pembebasan atau justru pada kehancuran yang lebih besar.
Dendam ini semakin membara, dan Alika tahu satu hal: tidak ada jalan keluar yang mudah. Konflik batin ini akan menguji dirinya—hingga akhirnya ia harus memilih antara melepaskan atau menghancurkan.*
Bab 5 Pertemuan yang Tak Terduga
Alika berjalan dengan langkah pasti menuju kafe kecil yang terletak di sudut kota. Udara musim gugur yang sejuk menyentuh wajahnya, mengingatkannya pada banyak hal yang telah terjadi. Beberapa bulan terakhir terasa seperti perjalanan panjang yang penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Kecewa, marah, dan kehilangan adalah perasaan yang tak bisa ia hindari. Namun di tengah perasaan itu, ada satu hal yang mulai mengusik pikirannya: pertemuan yang tak terduga ini.
Hari ini, setelah berhari-hari memendam dendam dan kebingungannya, Alika memutuskan untuk bertemu dengan seseorang. Seseorang yang ia kenal sangat baik, namun tak pernah terbayangkan akan menjadi bagian dari cerita ini. Rena, perempuan yang selama ini ia anggap sebagai teman biasa, kini menjadi bagian dari kisah hidup yang lebih rumit dari yang pernah ia bayangkan.
Beberapa hari sebelumnya, Rena mengirimkan pesan yang begitu sederhana, namun cukup kuat untuk membuat Alika merasa tergerak. Pesan itu datang setelah pertemuan terakhir mereka yang berakhir dengan ketegangan. Dalam pesan tersebut, Rena meminta maaf dan mengungkapkan bahwa ia tidak ingin hubungan mereka berakhir dengan kebencian. Alika merasa kebingungannya semakin mendalam. Mengapa Rena tiba-tiba ingin berbicara? Apakah ia benar-benar tulus, atau ini hanya cara lain untuk menenangkan perasaan bersalah?
Namun, rasa ingin tahu yang mendalam membuat Alika memutuskan untuk bertemu. Ia tahu bahwa pertemuan ini bisa jadi titik balik dalam ceritanya, atau malah semakin memperburuk keadaan. Tidak ada yang tahu. Semua terasa seperti langkah yang dilalui tanpa petunjuk, tanpa tahu arah yang jelas.
Sesampainya di kafe, Alika memilih duduk di meja pojok. Ia memesan secangkir kopi hangat, berusaha menenangkan diri sebelum pertemuan yang tidak terduga ini dimulai. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Rena, atau bagaimana perasaan mereka berdua akan berkembang setelah ini. Namun, satu hal yang jelas: Alika ingin mengetahui apa yang sebenarnya ada dalam hati Rena. Apakah ada penyesalan di sana, ataukah semuanya hanyalah alasan kosong belaka?
Tidak lama kemudian, pintu kafe terbuka, dan Rena masuk. Perempuan itu tampak sedikit gugup, tetapi masih memiliki senyuman yang lembut di wajahnya. Rena mengenakan jaket hitam dan celana panjang yang sederhana, seolah ingin menunjukkan kesan yang lebih rendah hati. Ketika mata mereka bertemu, Alika bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Rena bukan lagi perempuan yang ia kenal dulu. Ada sesuatu yang telah berubah dalam dirinya, dan Alika merasa itu bukan hanya tentang perasaan cinta yang telah hilang.
Rena mendekat, dan tanpa banyak bicara, duduk di hadapan Alika. Mereka saling menatap sejenak, masing-masing tampak berpikir tentang apa yang harus dikatakan terlebih dahulu. Alika membuka percakapan dengan nada yang datar, namun penuh dengan ketegangan.
“Jadi, apa yang sebenarnya ingin kamu bicarakan, Rena?” Alika mengangkat alisnya, berusaha untuk tidak menunjukkan betapa cemasnya ia.
Rena menghela napas panjang, menunduk sejenak, lalu akhirnya berkata dengan suara lembut, “Alika, aku tahu aku telah menghancurkan kepercayaanmu. Aku tahu apa yang terjadi antara kita tidak bisa diperbaiki begitu saja. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Aku minta maaf.”
Mendengar kata-kata itu, Alika merasa sebuah gelombang perasaan yang campur aduk. Apakah itu penyesalan yang tulus? Atau hanya sebuah permintaan maaf yang biasa, yang tidak benar-benar bisa menghapus apa yang telah terjadi? Meskipun Rena berbicara dengan penuh rasa bersalah, Alika masih sulit untuk mempercayainya sepenuhnya.
“Apa kamu yakin itu penyesalan yang tulus, Rena?” tanya Alika dengan suara yang mulai agak serak. “Karena kalau aku melihatnya, kamu hanya melangkah begitu saja dan meninggalkan aku dalam kehancuran. Kamu bahkan tahu betapa dalamnya perasaan aku terhadap Dio, dan tetap saja kamu memilih untuk menghancurkannya.”
Rena menundukkan kepala, tampak seperti sedang mencoba menahan air mata. “Aku tidak pernah ingin menyakitimu, Alika. Aku tahu aku salah, dan aku benar-benar menyesal. Aku juga terluka, karena aku tahu apa yang kita miliki dulu sangat berarti. Tapi… aku tidak bisa menahan perasaan ini lagi. Aku jatuh cinta pada Dio, dan itu salah. Tapi aku tak bisa menyalahkan perasaan itu begitu saja.”
Alika merasa seperti ada yang tertusuk di dadanya. Kata-kata Rena begitu sederhana, namun mengandung luka yang mendalam. “Kau jatuh cinta padanya?” Alika bertanya, suaranya hampir tak terdengar. “Jadi, itu alasanmu? Karena kamu jatuh cinta padanya, aku harus menderita?”
Rena terdiam sejenak, tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya. Ia mengusap wajahnya, mencoba untuk menenangkan diri. “Aku tahu, ini tidak bisa diterima, dan aku tak bisa meminta maaf cukup dalam untuk itu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyesal. Aku tak bisa mengubah apa yang telah terjadi, Alika. Tapi aku ingin memperbaiki hubungan kita, jika masih ada kesempatan.”
Kata-kata Rena mengingatkan Alika pada perasaan yang dulu ia miliki. Dulu, ia pernah menganggap Rena sebagai sahabat, seseorang yang bisa ia percayai. Tetapi kini, setiap kata yang keluar dari bibir Rena terasa seperti pertanyaan yang tidak bisa ia jawab. Apakah mungkin mereka bisa memperbaiki ini? Apakah mungkin mereka bisa kembali menjadi teman? Perasaan itu begitu sulit untuk diterima.
“Tapi kamu tidak mengerti, Rena,” kata Alika dengan suara yang mulai gemetar. “Aku sudah kehilangan terlalu banyak. Aku memberi semua yang aku miliki kepada Dio, dan dia… dia mengkhianatiku. Kamu mengkhianatiku. Aku tidak tahu bagaimana cara untuk memaafkan kalian.”
Rena mengangguk pelan, seolah mengerti betul apa yang Alika rasakan. “Aku tahu. Aku mengerti bahwa maafku tidak cukup untuk memperbaiki semua ini. Aku tidak bisa memaksa kamu untuk memaafkan aku. Tapi setidaknya, aku ingin kamu tahu bahwa aku merasa bersalah. Dan aku ingin kamu bahagia, Alika. Aku ingin kamu bisa melewati ini.”
Alika menundukkan kepala, menatap cangkir kopi yang sudah dingin di depannya. Dalam hati, ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang mati. Bagaimana bisa seseorang yang pernah begitu dekat, begitu penting, kini menjadi orang yang hampir tak dikenali lagi?
Di saat perasaan itu mulai meresap, Alika tahu bahwa pertemuan ini lebih dari sekadar penyelesaian masalah. Ini adalah titik balik dalam perjalanan hidupnya. Dendam yang telah membakar dalam dirinya selama ini, meskipun terasa sangat kuat, mulai memudar. Perlahan, ia merasakan bahwa mungkin, hanya mungkin, ada jalan untuk melepaskan semuanya—untuk mulai menyembuhkan luka yang sudah terlalu lama dipendam.
“Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu, Rena,” kata Alika dengan suara yang penuh ketenangan. “Tapi aku akan berusaha. Mungkin tidak sekarang, mungkin tidak dalam waktu dekat, tapi aku akan berusaha.”
Rena menatapnya dengan penuh harapan. “Aku hanya ingin kamu tahu, aku sangat menyesal, Alika. Semoga suatu hari nanti kita bisa jadi teman lagi.”
Mereka duduk dalam keheningan, saling menatap, mencoba memahami satu sama lain. Ada kesedihan di mata mereka, tapi juga ada harapan. Mungkin pertemuan ini, meskipun berat dan penuh dengan ketegangan, adalah langkah pertama menuju penyembuhan.
Alika tahu bahwa perjalanan ini masih panjang. Dendam yang selama ini ia pelihara belum sepenuhnya hilang, namun pertemuan ini membuka sedikit ruang untuk kedamaian. Kadang-kadang, kata-kata maaf yang tulus bisa mengubah sesuatu yang terasa mustahil menjadi sedikit lebih mudah diterima. Namun, hanya waktu yang akan menentukan apakah perasaan itu benar-benar bisa diubah menjadi pengertian dan perdamaian yang sejati.*
Bab 6 Dendam yang Melelehkan
Hari-hari berlalu dengan lambat, tetapi Alika merasakan perubahannya. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, meskipun ia tak bisa langsung mengidentifikasinya. Rasa dendam yang dulu begitu membara di dalam dadanya kini mulai terasa lebih ringan, seolah-olah sebagian dari beban itu mulai meleleh, meskipun sedikit. Setiap kali ia teringat pada Dio dan Rena, ada rasa sakit yang tak kunjung hilang, namun entah kenapa, ada juga ruang yang mulai terbuka di hatinya ruang yang semula ia tutup rapat-rapat.
Pagi itu, Alika duduk di balkon apartemennya, memandangi kota yang mulai sibuk. Angin musim gugur berhembus perlahan, menyapu rambutnya. Pikirannya terbang kembali ke malam itu, saat ia duduk bersama Rena di kafe. Percakapan mereka, meskipun penuh ketegangan, meninggalkan kesan yang tidak bisa ia hapus begitu saja. Ada sesuatu dalam kata-kata Rena yang membuat Alika merenung lebih lama dari yang ia kira. Rena mengungkapkan penyesalan yang tulus, sesuatu yang tak bisa ia abaikan. Sejujurnya, Alika tidak menginginkan apa pun selain rasa sakit yang hilang. Tapi apakah mungkin pengampunan benar-benar bisa datang setelah semua yang terjadi?
Hari itu, Alika menerima pesan dari Dio. Pesan itu singkat, namun penuh dengan penyesalan yang mendalam.
“Alika, aku tahu aku sudah terlalu jauh melukai kamu. Aku tidak tahu bagaimana bisa meminta maaf atas semua yang telah aku lakukan. Tapi aku ingin kamu tahu, aku masih mencintaimu. Aku akan menunggu, sampai kamu siap untuk memaafkanku.”
Dio—pria yang selama ini menjadi pusat segala perasaan Alika, kini menulis kata-kata ini. Apa yang terjadi dengan dirinya? Bukankah dia sudah cukup dengan rasa sakit yang ditinggalkan? Mengapa Dio kembali muncul setelah semua yang terjadi? Alika menatap pesan itu, merasa kebingungan. Satu sisi hatinya ingin sekali membalas dendam, memberi pelajaran kepada Dio atas segala pengkhianatannya. Namun, ada sisi lain dalam dirinya yang mulai merasakan kebingungan. Apakah kebencian ini benar-benar harus terus membara? Apakah rasa sakit ini akan terus mengendap, mengakar, dan menyiksa dirinya?
Tak lama setelah membaca pesan itu, Alika memutuskan untuk pergi keluar, meninggalkan apartemennya yang terasa semakin sempit. Ia berjalan tanpa tujuan, hanya ingin menghirup udara segar dan merasakan kebebasan. Setiap langkah terasa berat, tetapi ia tahu ia harus bergerak. Dendam yang menggerogoti hatinya kini seolah berusaha meleleh, meskipun ia tak tahu apakah ia siap untuk melepaskan semuanya.
Sementara itu, Dio merasa dirinya berada dalam dilema yang sama. Setelah pertemuan itu dengan Alika beberapa minggu lalu, ia merasa ada ruang yang hilang dalam dirinya. Kata-kata Alika, meskipun dingin dan penuh kebencian, tetap terngiang dalam pikirannya. Dio tahu bahwa apa yang telah ia lakukan tak akan bisa dengan mudah diampuni. Namun, ia tak bisa melepaskan perasaan itu begitu saja. Ia masih mencintai Alika, meskipun ia tahu cinta itu tak lagi memiliki tempat di hati wanita itu. Lalu mengapa ia masih merasa seperti ini? Mengapa ia tidak bisa melupakan?
Dio memutuskan untuk pergi ke tempat yang sering mereka kunjungi bersama taman yang tenang di pinggir kota. Tempat itu mengingatkan Dio pada saat-saat indah bersama Alika, sebelum semua menjadi kacau. Ketika ia tiba di taman, ia duduk di bangku yang dulu mereka sering duduki bersama. Pandangannya kosong, dan hatinya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Apakah ia bisa benar-benar memperbaiki semuanya? Atau akankah dia terus terjebak dalam kenangan dan rasa bersalah?
Sementara itu, Alika, yang tanpa sengaja mendekati taman yang sama, merasakan dorongan untuk pergi ke sana. Ia tak tahu mengapa, tetapi ada perasaan yang memanggilnya untuk melihat tempat itu lagi. Taman ini memiliki kenangan indah dan buruk, dan ia merasa itu adalah tempat yang tepat untuk merenung. Ketika ia sampai, ia melihat Dio duduk seorang diri, wajahnya tertunduk, seolah larut dalam pikirannya. Tanpa berpikir panjang, Alika mendekat, walau dengan perasaan yang campur aduk. Namun, kali ini ia merasa sesuatu yang berbeda. Tidak ada rasa marah yang begitu membakar. Ada ketenangan yang menenangkan hati yang dulu penuh dengan amarah.
Dio yang menyadari kehadiran Alika, menoleh dengan hati yang penuh penyesalan. Mereka saling menatap dalam diam, hanya ada kebisuan yang merayapi suasana itu. Namun, kali ini, tidak ada kata-kata pedas, tidak ada pembelaan diri. Hanya ada dua hati yang terluka, saling mencari cara untuk menyembuhkan.
“Alika,” Dio akhirnya membuka suara, suaranya berat dan penuh beban. “Aku tahu aku tidak punya hak untuk meminta apapun darimu. Aku sudah terlalu banyak melukai kamu. Tapi aku ingin kamu tahu… aku menyesal.”
Alika merasa sesuatu dalam dirinya bergerak. Suara Dio, meskipun penuh dengan penyesalan, terdengar tulus. Ia tidak tahu mengapa, tetapi perasaan dendam yang selalu ia bawa seperti mencair sedikit demi sedikit.
“Apa kamu benar-benar menyesal?” tanya Alika, matanya menatap tajam ke mata Dio. “Apa kamu benar-benar bisa merasa apa yang aku rasakan?”
Dio mengangguk perlahan, matanya penuh dengan air mata yang berusaha ditahan. “Ya, Alika. Aku tahu aku tak bisa mengubah apa yang telah terjadi, tapi aku akan menunggu… jika itu berarti memberi kamu ruang untuk memaafkanku.”
Alika terdiam. Dendam yang selama ini ia pelihara, perlahan terasa seperti es yang meleleh, meninggalkan ruang kosong di dalam hatinya. Ia ingin marah, ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa Dio tak pantas mendapatkan pengampunannya. Namun, ada satu hal yang ia sadari dalam dirinya—bahwa kebencian itu telah menggerogoti dirinya lebih dalam daripada yang ia kira. Bahwa, meskipun perasaan itu ada, ia tidak bisa membiarkan dendam mendefinisikan siapa dirinya.
“Iya,” kata Alika pelan, “aku… aku ingin melupakan. Aku ingin menyembuhkan, meskipun aku tak tahu bagaimana caranya.”
Dio mendekat, menatapnya dengan penuh harap. “Jika kamu memerlukan waktu, aku akan menunggu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu. Kalau pun itu hanya untuk menjadi teman.”
Kata-kata itu menghangatkan hati Alika. Ada rasa sakit yang masih ada, namun kali ini ia merasa ada sesuatu yang lebih penting—sebuah kesempatan untuk berdamai dengan dirinya sendiri, dan mungkin dengan Dio. Dendam itu perlahan mulai meleleh, dan meskipun Alika tidak tahu bagaimana semuanya akan berakhir, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih lega.
Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang, mereka duduk bersama di bangku taman, tidak saling berbicara, tetapi ada pemahaman yang mulai tumbuh antara mereka. Mungkin perjalanan mereka berdua tidak akan mudah. Tapi Alika tahu satu hal: ia sudah mengambil langkah pertama untuk melepaskan kebencian yang telah lama membara. Dendam itu akhirnya mulai meleleh, memberi jalan untuk kedamaian yang perlahan menyentuh hatinya***
—————-THE END—————-