Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

AKU KAMU DAN SELAMANYA

SAME KADE by SAME KADE
April 13, 2025
in Bucin
Reading Time: 12 mins read
AKU KAMU DAN SELAMANYA

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan yang Mengubah Takdir
  • Bab 2: Senyuman yang Menghantui
  • Bab 3: Kedekatan yang Menghangatkan
  • Bab 4: Luka Lama yang Kembali
  • Bab 5: Ujian Cinta dan Kepercayaan
  • Bab 6: Kepergian yang Menyakitkan
  • Bab 7: Kehampaan Tanpamu
  • Bab 8: Takdir Mempertemukan Kembali
  • Bab 9: Di Antara Cinta dan Ego
  • Bab 10: Aku, Kamu, dan Selamanya

Bab 1: Pertemuan yang Mengubah Takdir

Seorang gadis biasa dan seorang pria misterius bertemu dalam situasi yang tidak terduga. Apakah ini kebetulan atau bagian dari skenario takdir?

Hujan turun deras di tengah kota yang ramai. Langit kelabu, udara dingin menusuk, dan aroma tanah basah memenuhi jalanan. Di sudut sebuah kedai kopi kecil, seorang gadis bernama Anya duduk sendiri, menatap jendela berembun dengan tatapan kosong. Kopi di depannya sudah mendingin, tapi pikirannya masih berkelana jauh.

Ia baru saja mengalami hari terburuk dalam hidupnya—pekerjaan yang ia dambakan gagal ia dapatkan, ponselnya mati kehabisan baterai, dan kini, ia terjebak hujan tanpa payung.

Saat sedang larut dalam pikirannya, tiba-tiba seorang pria masuk ke kedai dengan langkah tergesa. Jaketnya basah kuyup, rambutnya meneteskan air, namun senyum kecil tetap terukir di wajahnya. Raka—seorang pria asing yang tiba-tiba mengambil tempat di depannya, tanpa izin.

“Maaf, boleh duduk di sini? Semua meja penuh,” katanya dengan suara hangat.

Anya mengerutkan kening. Harusnya ia menolak, tapi entah kenapa, ia hanya mengangguk pelan.

Mereka duduk dalam diam, mendengarkan suara rintik hujan di luar. Tapi keheningan itu tidak bertahan lama. Raka, yang tampaknya tidak tahan dengan suasana canggung, mulai membuka obrolan kecil. Tentang kopi favorit, tentang hujan, bahkan tentang kehidupan.

Tanpa disadari, Anya mulai merasa nyaman. Ada sesuatu dalam cara Raka berbicara yang membuatnya tenang, seolah-olah dunia tidak seburuk yang ia pikirkan sebelumnya.

Hujan mulai reda, dan saat Anya bersiap untuk pergi, Raka tiba-tiba berkata, “Aku rasa kita akan bertemu lagi.”

Anya hanya tersenyum samar. Dalam pikirannya, itu adalah pertemuan yang singkat, mungkin hanya momen sesaat yang akan segera terlupakan.

Tapi takdir ternyata punya rencana lain.

Pertemuan itu hanyalah awal dari sesuatu yang akan mengubah hidup mereka selamanya.

Bab 2: Senyuman yang Menghantui

Setelah pertemuan pertama, bayang-bayang senyumannya terus menghantui. Apakah ini hanya perasaan sesaat atau awal dari sesuatu yang lebih dalam?

Sejak pertemuan di kedai kopi itu, Anya merasa ada sesuatu yang berbeda dalam hidupnya. Bukan sesuatu yang besar, tapi cukup untuk mengusik pikirannya. Senyuman pria asing itu—Raka—masih membekas jelas di kepalanya.

“Kenapa aku masih kepikiran dia?” batinnya, sembari menyeruput teh di balkon apartemennya.

Ia mencoba mengabaikannya, berpikir bahwa itu hanya efek dari obrolan hangat di hari yang buruk. Tapi, anehnya, ia justru mulai memperhatikan hal-hal kecil yang mengingatkannya pada Raka. Seperti aroma kopi di pagi hari, suara hujan yang jatuh di jendela, bahkan lagu yang diputar di kafe tempatnya biasa bekerja.

Sementara itu, di sisi lain kota, Raka juga tak bisa melupakan pertemuan mereka. Ia sering mendapati dirinya menatap langit mendung dan tersenyum tanpa alasan. Seolah-olah ada sesuatu yang menariknya kembali ke momen itu—ke tatapan mata Anya yang sendu, ke caranya menghela napas sebelum berbicara.

Takdir ternyata punya rencana lain.

Beberapa hari kemudian, saat Anya sedang terburu-buru menuju kantornya, ia menabrak seseorang di tikungan jalan. Tumpukan berkas yang dibawanya jatuh berserakan.

“Astaga, maaf!” kata suara yang familiar.

Anya mendongak, dan jantungnya seketika berdegup lebih cepat.

Di depannya, berdiri seseorang yang beberapa hari ini menghantui pikirannya—Raka.

Senyuman itu kembali muncul. Senyuman yang sejak hari itu, seolah-olah menjadi miliknya.

Mungkin, ini bukan kebetulan. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang akan mengubah cara mereka melihat dunia.

Bab 3: Kedekatan yang Menghangatkan

Keduanya semakin dekat, berbagi cerita, impian, dan rahasia. Perlahan, mereka mulai menyadari bahwa hati mereka saling terpaut.

Sejak pertemuan tak terduga di tikungan jalan itu, Anya dan Raka semakin sering bertemu. Awalnya, mereka hanya sekadar mengobrol singkat—tentang pekerjaan, tentang cuaca, atau sekadar berbagi cerita kecil tentang keseharian. Tapi entah bagaimana, setiap pertemuan selalu terasa lebih lama dari sebelumnya.

Anya mulai menyadari bahwa bersama Raka, segalanya terasa lebih ringan. Dia tidak perlu berpura-pura kuat, tidak perlu menyembunyikan perasaannya. Raka, dengan segala kesederhanaannya, mampu membuatnya nyaman hanya dengan menjadi pendengar yang baik.

Suatu sore, hujan turun deras saat mereka sedang duduk di sebuah kafe kecil dekat taman kota. Anya yang awalnya hanya ingin mampir sebentar akhirnya terjebak di sana karena hujan. Raka yang kebetulan ada di meja sebelah menawarinya duduk bersama.

“Kamu selalu ada di mana-mana, ya?” ujar Anya setengah bercanda.

Raka tertawa. “Atau mungkin semesta memang sengaja mempertemukan kita terus?”

Kalimat itu terdengar seperti gurauan, tapi Anya bisa merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar candaan. Hatinya bergetar pelan.

Obrolan mereka mengalir begitu saja, membahas hal-hal kecil seperti buku favorit, mimpi masa kecil, hingga ketakutan terbesar mereka. Anya terkejut saat menyadari betapa banyak kesamaan yang mereka miliki—mulai dari selera musik, makanan favorit, hingga pandangan mereka tentang kehidupan.

Malam itu, saat hujan mulai reda, Raka mengulurkan jaketnya kepada Anya.

“Pakai ini, anginnya masih dingin.”

Anya menerimanya tanpa banyak bicara. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, dia merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Hangat, nyaman, dan aman.

Tanpa mereka sadari, sesuatu mulai tumbuh di antara mereka. Sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan. Sesuatu yang mungkin akan mengubah hidup mereka selamanya.

Bab 4: Luka Lama yang Kembali

Di balik kebahagiaan yang mereka rasakan, masa lalu kembali menghantui. Luka yang belum sembuh mengancam hubungan yang baru saja tumbuh.

Hubungan antara Anya dan Raka semakin dekat. Setiap pertemuan terasa seperti bagian dari cerita yang belum selesai, dan mereka semakin nyaman berbagi satu sama lain. Namun, di balik tawa dan percakapan yang mengalir, ada sesuatu yang masih bersembunyi di hati Anya—luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.

Suatu malam, saat mereka sedang berjalan santai di taman kota, Raka dengan lembut bertanya, “Kamu pernah jatuh cinta sebelumnya?”

Anya terdiam sejenak. Senyumnya yang tadi menghiasi wajah perlahan memudar. Pertanyaan itu membawa pikirannya kembali ke masa lalu—kepada seseorang yang dulu pernah membuatnya percaya pada cinta, lalu menghancurkannya tanpa peringatan.

Dulu, ada seseorang bernama Rendi. Dia adalah cinta pertamanya, seseorang yang dulu Anya pikir akan selalu ada. Namun, kenyataannya tidak semanis harapannya. Rendi pergi, meninggalkan Anya dengan luka yang tak pernah ia tunjukkan kepada siapa pun.

Anya menarik napas dalam sebelum menjawab, “Dulu, iya. Tapi tidak semua kisah cinta berakhir bahagia, kan?”

Raka menatapnya dengan penuh pengertian. Ia tak memaksa Anya untuk bercerita lebih jauh, tetapi dari cara Anya menghindari kontak mata, ia tahu bahwa ada sesuatu yang masih menghantui gadis itu.

Beberapa hari kemudian, tanpa diduga, bayangan dari masa lalu itu kembali dalam bentuk nyata.

Anya sedang duduk di sebuah kedai kopi ketika suara familiar menyapanya. Suara yang dulu sangat ia kenal.

“Anya?”

Ia menoleh, dan jantungnya berdegup kencang. Di hadapannya berdiri Rendi, seseorang yang dulu pernah menghancurkannya.

Tatapan matanya masih sama, tapi bagi Anya, semuanya terasa berbeda. Luka yang ia kira sudah sembuh, ternyata masih ada. Masih terasa.

Dan kali ini, ia harus memutuskan—apakah ia akan membiarkan luka itu kembali menghantuinya, atau melangkah maju menuju kebahagiaan yang baru bersama Raka?

Bab 5: Ujian Cinta dan Kepercayaan

Cinta diuji oleh jarak, kesalahpahaman, dan ego masing-masing. Apakah mereka mampu bertahan atau akan menyerah?

Setelah pertemuan tak terduga dengan Rendi, dunia Anya kembali terguncang. Ia pikir, luka lama itu sudah terkubur bersama waktu, tapi nyatanya hanya tertidur. Kini, dengan kemunculan kembali sosok dari masa lalunya, hati dan pikirannya menjadi kacau.

Di sisi lain, Raka mulai merasakan ada yang berbeda dari Anya. Gadis itu mulai lebih sering melamun, sesekali terlihat gugup saat menerima pesan, dan yang paling terasa—ada jarak yang tiba-tiba muncul di antara mereka.

Suatu malam, Raka mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya. Mereka duduk berdua di bangku taman, di bawah langit yang penuh bintang, tapi suasananya terasa berat.

“Kamu kenapa, An? Aku ngerasa kamu berubah,” tanya Raka, suaranya tenang tapi penuh dengan rasa ingin tahu.

Anya menggigit bibir bawahnya, berpikir apakah ia harus jujur atau tidak. Tapi akhirnya, dengan napas panjang, ia mengatakannya.

“Rendi kembali.”

Raka terdiam. Nama itu tidak asing baginya.

Dulu, saat pertama kali mengenal Anya, ia pernah mendengar cerita tentang pria itu—cinta pertama Anya yang berakhir menyakitkan. Raka tidak tahu detailnya, tapi ia tahu satu hal: Rendi adalah alasan mengapa Anya butuh waktu lama untuk percaya pada cinta lagi.

“Dan dia mau balikan sama kamu?” tanya Raka pelan, mencoba menjaga emosinya tetap stabil.

Anya mengangguk, matanya menerawang. “Dia bilang dia nyesel, dan dia pengen perbaiki semuanya. Tapi aku… aku nggak tahu, Rak. Aku bingung.”

Jawaban itu membuat dada Raka terasa sesak. Ia ingin marah, tapi lebih dari itu, ia takut. Takut kehilangan Anya.

Beberapa hari setelah percakapan itu, hubungan mereka menjadi semakin dingin. Anya masih mencoba memahami perasaannya, sedangkan Raka merasa seolah dirinya sedang diuji—apakah ia cukup kuat untuk tetap bertahan, atau lebih baik menyerah sebelum semuanya hancur?

Puncaknya terjadi saat Raka melihat Anya berbicara dengan Rendi di sebuah kafe. Dari kejauhan, mereka tampak akrab, dan senyum Anya yang dulu hanya untuknya, kini terlihat jelas di depan pria lain.

Untuk pertama kalinya, Raka merasakan rasa sakit yang begitu nyata.

Dan untuk pertama kalinya, ia bertanya pada dirinya sendiri—apakah ia harus tetap memperjuangkan Anya, atau merelakannya kembali ke masa lalunya?

Bab 6: Kepergian yang Menyakitkan

Salah satu dari mereka memilih pergi, meninggalkan luka mendalam di hati yang lain. Mungkinkah ada kesempatan untuk kembali?

Keputusan itu akhirnya diambil—dan tidak ada yang siap untuk dampaknya.

Raka duduk di dalam mobilnya, menatap kosong ke depan. Tangannya mengepal di atas kemudi, sementara pikirannya terus mengulang momen yang baru saja terjadi. Kata-kata Anya masih terngiang di telinganya.

“Maaf, Rak… Aku butuh waktu. Aku nggak bisa langsung milih. Aku nggak mau nyakitin kamu atau Rendi.”

Kata-kata yang terdengar seperti keraguan—atau lebih buruk, kata-kata yang menunjukkan bahwa hatinya memang sudah tidak sepenuhnya untuk Raka lagi.

Raka ingin memahaminya, ingin tetap bersabar seperti yang selama ini ia lakukan. Tapi untuk pertama kalinya, ia sadar bahwa mungkin cinta saja tidak cukup.

Malam itu, ia memutuskan sesuatu yang menyakitkan bagi dirinya sendiri.


Esoknya, Anya mendapat pesan dari Raka.

đź“© “Aku pergi untuk sementara waktu. Jangan cari aku, An. Aku butuh waktu juga.”

Dadanya terasa sesak membaca pesan itu. Tangannya gemetar saat mencoba membalas, tapi tidak ada satu kata pun yang bisa ia ketik. Raka pergi.

Bukan marah, bukan membenci—tapi karena ia sudah terlalu lelah menunggu kepastian dari dirinya.

Anya duduk di pojok kamarnya, menatap layar ponselnya dengan mata nanar. Hatinya terasa hancur, tapi di saat yang sama, ia sadar bahwa semua ini adalah akibat dari kebimbangannya sendiri.

“Apa aku sudah kehilangan dia… selamanya?”


Hari-hari berlalu tanpa kabar dari Raka. Anya mulai merasakan kehampaan yang tidak bisa diisi oleh siapa pun—bahkan oleh Rendi.

Setiap sudut kota ini mengingatkannya pada Raka. Kafe tempat mereka biasa bertemu, jalanan yang sering mereka lalui, bahkan hujan yang dulu terasa hangat karena ada sosoknya di samping Anya—sekarang terasa begitu dingin dan menyakitkan.

Ia mulai mempertanyakan keputusannya. Apakah ia benar-benar ingin kembali ke masa lalu, atau justru kehilangan masa depan yang seharusnya ia jalani?

Anya tidak tahu.

Yang ia tahu, kepergian Raka meninggalkan luka yang lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan.

Dan mungkin, kali ini, ia tidak bisa mengembalikan semuanya seperti semula.

Bab 7: Kehampaan Tanpamu

Kehidupan terus berjalan, tapi semuanya terasa kosong tanpa kehadiran satu sama lain. Bayang-bayang kenangan terus menghantui.

Hari-hari tanpa Raka terasa kosong. Tidak ada lagi pesan singkat di pagi hari yang menanyakan apakah Anya sudah sarapan. Tidak ada lagi suara lembutnya yang selalu menenangkan. Dan yang paling terasa—tidak ada lagi sosok yang selalu ada untuknya.

Awalnya, Anya mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini hanya sementara. Bahwa mungkin, dengan sedikit waktu dan jarak, semuanya bisa kembali seperti semula. Tapi semakin hari, ia justru semakin sadar—tanpa Raka, ada bagian dari dirinya yang ikut menghilang.


Suatu sore, Anya duduk sendiri di kafe favorit mereka. Tempat yang dulu penuh tawa kini terasa begitu sunyi. Di sudut itu, biasanya Raka duduk sambil tersenyum padanya, memainkan sendoknya dengan gelisah saat berusaha mengungkapkan sesuatu.

Kini, tempat itu kosong.

Anya mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya gemetar saat membuka percakapan terakhir mereka.

đź“© “Aku pergi untuk sementara waktu. Jangan cari aku, An. Aku butuh waktu juga.”

Ia menekan ikon panggilan di sebelah nama Raka, berharap mendengar suaranya. Tapi yang terdengar hanya nada sambung panjang, lalu pesan suara.

“Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi…”

Dadanya terasa sesak. Apakah ini akhirnya?


Malam itu, Anya duduk di balkon kamarnya, menatap langit yang dipenuhi bintang. Dulu, saat Raka ada, mereka sering berbicara tentang mimpi-mimpi mereka di bawah langit yang sama.

“Kalau nanti kita udah tua, kita masih temenan nggak, Rak?” tanyanya dulu.

Raka tertawa kecil. “Temenan? Kalau aku nggak pergi ninggalin kamu?”

Anya terdiam, tidak menyangka pertanyaan isengnya dulu menjadi kenyataan yang menyakitkan sekarang.


Di tempat lain, Raka juga merasakan kehampaan yang sama.

Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan, dengan teman-temannya, bahkan dengan hobi yang dulu membuatnya bahagia. Tapi semuanya terasa kosong.

Di dalam dirinya, ada kerinduan yang terus tumbuh.

Kerinduan pada sosok yang selama ini selalu ia jaga, tapi akhirnya harus ia lepaskan.

Namun Raka tahu, tidak ada gunanya kembali jika Anya belum benar-benar memilihnya.

Dan ia juga tahu, jika suatu saat Anya menyadari siapa yang benar-benar ada di hatinya—Raka akan menunggu, sejauh apa pun jarak yang memisahkan mereka.

Bab 8: Takdir Mempertemukan Kembali

Setelah sekian lama terpisah, mereka bertemu kembali di situasi yang tidak terduga. Apakah perasaan mereka masih sama?

Hujan turun deras di kota ini. Butiran air membasahi jalanan yang penuh dengan orang-orang berlalu lalang. Di sebuah kafe kecil di sudut jalan, Anya duduk sambil menatap ke luar jendela, tangannya membungkus cangkir kopi hangat yang mulai mendingin.

Hampir satu tahun sejak perpisahan itu. Sejak Raka memilih untuk pergi dan Anya memilih untuk tetap bertahan dengan egonya. Sejak semua berubah menjadi kehampaan yang tak pernah bisa ia isi dengan apa pun.

Namun, hidup terus berjalan. Anya mencoba berdamai dengan keadaan, dengan kenyataan bahwa mungkin, Raka bukan takdirnya.

Hingga hari ini.

Saat pintu kafe terbuka, dan suara lonceng kecil di atasnya berdenting, ada sesuatu yang membuat Anya menoleh.

Seorang pria masuk, mengenakan jaket hitam yang basah terkena hujan, rambutnya sedikit berantakan, dan matanya… mata yang dulu selalu menatapnya penuh kasih.

Itu Raka.


Detik itu, waktu seolah berhenti.

Anya bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Apakah ini nyata? Atau hanya ilusi yang selama ini ia harapkan?

Raka juga terdiam di ambang pintu, matanya membeku saat melihatnya. Seakan-akan ia tidak percaya, setelah begitu lama menjauh, takdir justru mempertemukan mereka di tempat yang dulu menjadi saksi kebersamaan mereka.

Seorang barista menyapanya, menyadarkan Raka dari lamunannya. Ia tersenyum kecil, lalu berjalan menuju kasir untuk memesan kopi.

Anya tak bisa mengalihkan pandangannya. Tangannya gemetar, pikirannya kacau. Haruskah ia menyapanya? Atau haruskah ia pergi sebelum hatinya semakin hancur?

Tapi sebelum ia bisa mengambil keputusan, Raka sudah berdiri di hadapannya.

“Hai, An.”


Suara itu.

Suara yang dulu selalu menjadi pelipur laranya.

Anya menelan ludah, mencoba menyembunyikan gemetar di suaranya. “Hai, Rak.”

Raka menarik napas dalam, lalu duduk di depannya. Tidak ada kata-kata selama beberapa saat, hanya keheningan yang berbicara lebih banyak dari ribuan percakapan yang pernah mereka lalui.

Hingga akhirnya, Raka tersenyum tipis. “Kita ketemu lagi.”

Anya balas tersenyum, meski hatinya masih penuh tanda tanya. “Mungkin memang seharusnya begitu.”

Dan di antara hujan yang terus turun di luar sana, mereka tahu—takdir belum selesai dengan kisah mereka.

Bab 9: Di Antara Cinta dan Ego

Keduanya harus memilih: mengikuti kata hati atau tetap mempertahankan ego masing-masing.

Hujan masih turun dengan derasnya. Di luar jendela kafe, lampu-lampu kota berpendar samar, menciptakan refleksi di genangan air yang menutupi aspal jalanan. Anya masih duduk di tempatnya, menatap cangkir kopi yang sejak tadi tak lagi disentuh. Di hadapannya, Raka—pria yang dulu pergi, kini kembali duduk di seberangnya.

Namun, ada jarak di antara mereka. Jarak yang tak hanya tercipta oleh waktu, tetapi juga oleh luka dan keangkuhan yang masih menggantung di hati masing-masing.

“Apa kabar?” suara Raka memecah keheningan.

Anya menegakkan punggungnya, berusaha tampak tenang meski ada badai dalam dadanya. “Baik,” jawabnya singkat.

Raka mengangguk pelan. “Aku sering ke sini. Dulu aku berharap bisa melihatmu lagi, tapi aku sadar… mungkin kau tak ingin bertemu denganku lagi.”

Anya tersenyum tipis, penuh ironi. “Kalau aku tidak ingin bertemu, aku pasti sudah pergi begitu melihatmu tadi.”

Raka menatapnya dalam. “Jadi, kau masih ingin bertemu denganku?”

Pertanyaan itu menusuk hati Anya. Jawabannya iya. Tapi egonya berkata lain.

Ia menghela napas. “Aku hanya ingin tahu… kenapa kamu ada di sini? Kenapa setelah sekian lama pergi tanpa kabar, sekarang kamu muncul begitu saja?”

Raka menunduk, menggenggam cangkir kopinya erat-erat. “Aku pergi karena aku pikir itu yang terbaik. Aku pergi karena aku ingin memberikan waktu untuk kita. Tapi selama ini, aku sadar… perasaan itu nggak pernah hilang, An.”

Anya terdiam. Perasaan itu memang tak pernah benar-benar hilang.

Namun, ada kemarahan yang ia pendam selama ini. Ada pertanyaan yang tak pernah terjawab, ada luka yang belum sepenuhnya sembuh.

“Kamu pergi tanpa bicara. Kamu membuatku merasa aku tidak cukup penting untuk diberi alasan. Aku menunggu, Raka. Aku menunggu berbulan-bulan tanpa tahu harus berharap atau menyerah.”

Raka menghela napas berat. Matanya memancarkan penyesalan yang dalam. “Aku salah. Aku pengecut. Aku takut jika aku bertahan, kita akan semakin menyakiti satu sama lain. Aku memilih pergi dengan harapan suatu hari nanti, jika kita bertemu lagi, kita bisa memulai dengan lebih baik.”

Anya tertawa kecil, sarkastik. “Dan menurutmu, ini cara yang benar? Pergi tanpa kabar, lalu muncul lagi seolah tidak ada yang terjadi?”

Raka mengusap wajahnya, frustrasi. “Aku nggak tahu harus gimana, An. Aku hanya tahu… aku masih mencintaimu.”

Kata-kata itu melumpuhkan Anya seketika. Masih mencintai? Setelah semua ini? Setelah luka yang dia tinggalkan?

“Dan kamu pikir aku masih mencintaimu?” Anya bertanya, nadanya tajam.

Raka menatapnya dalam. “Kamu nggak akan duduk di sini kalau kamu sudah benar-benar melupakan aku.”

Anya terdiam. Dadanya terasa sesak. Benarkah ia belum bisa melupakan Raka? Atau ini hanya egonya yang tak ingin mengakuinya?

Ada perang dalam dirinya. Antara cinta yang masih ada dan ego yang menolak untuk mengalah.

Di luar, hujan mulai mereda. Tapi di dalam hatinya, badai baru saja dimulai.

Bab 10: Aku, Kamu, dan Selamanya

Pada akhirnya, cinta sejati akan menemukan jalannya sendiri. Tapi, apakah akhir ini akan menjadi bahagia atau justru menyakitkan?

Malam itu, Anya berdiri di tepi jembatan tempat di mana segalanya dimulai. Angin berembus lembut, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Di bawah sana, air sungai mengalir tenang, seperti mencerminkan hatinya yang masih bergejolak.

Langkah kaki terdengar mendekat. Raka.

Ia menghentikan langkahnya tepat di samping Anya, menatap lurus ke depan tanpa berkata apa-apa. Mereka berdua hanya berdiri di sana, dalam diam, ditemani kenangan yang menggantung di antara mereka.

“Kenapa kamu ke sini?” suara Anya terdengar pelan, hampir tenggelam dalam suara angin malam.

Raka menoleh, menatapnya dengan mata yang tak lagi dipenuhi keraguan. “Karena aku tahu, ini satu-satunya tempat di mana aku bisa menemukanmu saat kau ingin sendiri.”

Anya tersenyum tipis. Ia lupa, Raka selalu mengingat hal-hal kecil tentangnya.

“Aku sudah lelah, Rak.” Anya menghela napas berat. “Lelah terus bertanya-tanya. Lelah dengan semua emosi ini. Aku hanya ingin tahu… setelah semua yang terjadi, apa kita masih bisa kembali?”

Raka mengambil satu langkah lebih dekat, menatapnya dalam. “Aku tidak tahu apakah kita bisa kembali seperti dulu. Tapi aku tahu satu hal, An…”

Anya menahan napas, menunggu kata-kata yang akan keluar dari bibirnya.

“Aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku tanpa kamu di dalamnya.”

Seketika, dadanya terasa sesak. Antara bahagia, haru, dan takut.

“Tapi bagaimana jika kita terluka lagi?” bisik Anya, matanya berembun.

Raka tersenyum, lembut. “Cinta itu nggak selalu mudah, An. Tapi aku siap memperjuangkannya. Aku siap jatuh dan bangkit lagi bersamamu. Aku siap menghadapi apapun, selama itu dengan kamu.”

Anya menatap matanya, mencari kebohongan atau keraguan di sana. Tapi yang ia temukan hanya ketulusan.

Angin kembali berembus, dan Anya menutup matanya sejenak. Kali ini, ia tak ingin melawan apa yang hatinya inginkan.

“Kalau begitu, ayo kita coba lagi.”

Raka tersenyum, lalu meraih tangannya. Anya tidak menolak. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa tenang. Mereka tidak tahu bagaimana akhir cerita ini, tapi satu hal yang pasti…

Aku, kamu, dan selamanya.***


📌 TAMAT ✨💕


—— THE END ——

Source: MELDA
Tags: #kisahcinta#LoveStory#NovelRomantisAkuKamuDanSelamanya 💫✨CintaDanTakdir ❤️
Previous Post

DIANTARA ZONA WAKTU

Next Post

CINTA DI DUA KEHIDUPAN

Related Posts

AKU TUNGGU KAMU KEMBALI

AKU TUNGGU KAMU KEMBALI

May 13, 2025
JODOHKU, SEMOGA BUKAN PHP

JODOHKU, SEMOGA BUKAN PHP

May 4, 2025
AKU CINTA, KAMU CUEK

AKU CINTA, KAMU CUEK

May 1, 2025
BUCIN TAK KENAL AKAL SEHAT

BUCIN TAK KENAL AKAL SEHAT

April 30, 2025
PERTEMUAN VIRTUAL YANG TAK TERDUGA

PERTEMUAN VIRTUAL YANG TAK TERDUGA

April 29, 2025
CINTA ATAU MIE INSTAN?

CINTA ATAU MIE INSTAN?

April 28, 2025
Next Post
CINTA DI DUA KEHIDUPAN

CINTA DI DUA KEHIDUPAN

dibalik tembok takdir

dibalik tembok takdir

HATI YANG TAK LAGI MENGENAL CINTA

HATI YANG TAK LAGI MENGENAL CINTA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id