Daftar Isi
- Bab 1: Perkenalan yang Biasa Saja
- Bab 2: Cinta dalam Diam
- Bab 3: Rindu yang Tak Terungkap
- Bab 4: Jarak yang Meningkatkan Perasaan
- Bab 5: Ketika Rasa Sakit Itu Tumbuh
- Bab 6: Tanda yang Tersirat
- Bab 7: Cinta yang Tersampaikan Secara Tak Terduga
- Bab 8: Cuek Tapi Berarti
- Bab 9: Mencintai dengan Cara Kita Sendiri
- Bab 10: Cinta yang Tak Perlu Terlalu Diperjuangkan
- Bab 11: Epilog – Kita, Dalam Keheningan Cinta
Bab 1: Perkenalan yang Biasa Saja
- Pengantar hubungan mereka. Menggambarkan pertama kali mereka bertemu dan kesan pertama. Karakter utama, Ava, merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Rio, meskipun Rio tampak cuek dan tak tertarik. Ava merasa dia memiliki perasaan yang tumbuh untuknya meski Rio tidak menunjukkan ketertarikan.
Fokus pada kontras kepribadian. Ava yang ekspresif, emosional, dan penuh gairah dalam menjalani hidup. Sementara Rio, sangat tertutup, tidak banyak bicara, dan tampaknya tidak terlalu peduli pada orang lain.
- Pagi itu, seperti hari-hari biasanya, Ava terbangun dengan raut wajah yang sedikit lesu. Matanya yang besar dan penuh semangat biasanya cerah, namun hari ini, seolah ada sesuatu yang mengganggu. Ditemani secangkir kopi panas, dia duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang memuat tugas kuliah yang belum selesai. Tugas akhir semester, yang tidak seharusnya mengganggu pikirannya, justru mengganggu fokusnya. Rio.
- Siapa itu Rio?
- Bukan orang yang pernah dekat dengannya, bukan teman lama, dan jelas bukan seseorang yang mengisi hidupnya. Hanya saja, Rio adalah teman sekelas yang selalu ada di kampus. Mereka tidak pernah berteman dekat, bahkan tidak terlalu banyak berbicara satu sama lain. Namun, entah bagaimana, Ava selalu merasa ada sesuatu yang menarik tentang pria itu. Tidak banyak bicara, seringkali terlihat cuek, dan punya cara berjalan yang agak santai, seolah dunia tidak terlalu membutuhkan kehadirannya.
- Ava masih ingat pertama kali bertemu dengan Rio beberapa bulan lalu, saat mereka berada di ruang kelas yang sama. Tidak ada hal yang luar biasa saat itu. Hanya sekadar perkenalan biasa. Rio duduk di bangku belakang, menyandarkan diri di kursi, dan menatap ke depan dengan ekspresi kosong. Ava, yang biasanya ceria dan mudah bergaul, hanya melirik sekilas padanya tanpa berpikir lebih jauh.
- Namun, ada satu hal yang Ava ingat tentang Rio—sesekali, saat mata mereka bertemu dalam keheningan kelas, Rio akan memberi senyum tipis, yang rasanya entah mengapa membuat hatinya berdebar sedikit lebih cepat. Tapi, itu hanya senyum sekilas, yang langsung hilang begitu saja.
Tapi, bukan itu yang mengganggu Ava.
Apa yang mengganggunya adalah ketidakpeduliannya terhadap Rio. Di luar kelas, Ava selalu menghindar dari Rio, meski mereka sering bertemu di beberapa kesempatan—di kafe kampus, di perpusatakaan, atau bahkan saat melewati koridor yang sama. Setiap kali Ava mengira akan ada momen di mana mereka saling bertegur sapa, Rio hanya berjalan melewatinya dengan ekspresi yang tak berubah. Tidak ada sapaan, tidak ada keinginan untuk berinteraksi lebih jauh.
Tapi, entah mengapa, seiring waktu, Ava merasa ada semacam ketertarikan yang sulit dijelaskan. Ia tahu Rio tidak tertarik padanya—terlihat dari sikapnya yang acuh tak acuh—tapi tetap saja ada rasa penasaran yang terus menggelitik.
Mungkin perasaan itu mulai tumbuh dalam diam, tanpa disadari oleh Ava. Dia tidak bisa memaksa dirinya untuk melupakan sosok yang sering lewat begitu saja, tanpa kata, tanpa emosi. Ava memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan Rio lagi. Namun, takdir sering kali mengatur hidup dengan cara yang tak terduga.
Suatu hari, dalam kelas yang sama, mereka kembali berada di ruang yang sama. Rio duduk di bangku belakang, seperti biasanya, sementara Ava duduk di barisan depan. Kelas berlangsung seperti biasa, sampai tiba-tiba, seorang teman sekelas menyebutkan nama Rio dalam sebuah diskusi kecil tentang kelompok tugas yang akan dikerjakan bersama. Ava hanya mendengarkan percakapan itu dari kejauhan, tanpa berkomentar.
“Ayo, Rio, ikut saja kelompok kami. Pasti tugasnya jadi lebih seru!” ajak teman sekelasnya.
Rio hanya mengangguk pelan, namun tidak mengatakan apa-apa. Sebagai orang yang tidak terlalu suka ribut di kelas, Rio memilih untuk hanya mengikuti alur. Tiba-tiba, Ava merasa ada yang aneh. Ia merasa seolah Rio sedang menatapnya, meskipun tidak ada alasan jelas mengapa.
“Ava, ikut kelompok kami juga dong,” kata teman yang duduk di sampingnya, mengalihkan perhatiannya dari Rio. Ava mengangguk ragu.
Tugas kelompok yang sudah mulai dibicarakan menjadi jembatan pertama mereka. Tanpa disangka, Rio dan Ava akhirnya berada dalam kelompok yang sama. Namun, tak ada yang menyangka, bahwa perkenalan mereka yang begitu biasa itu akan mengarah pada perubahan dalam hidup Ava. Langkah pertama, yang tampaknya hanya sebuah tugas kuliah biasa, kini menjadi titik awal dari hubungan yang tak terduga.
Perkenalan yang hanya dimulai dengan pertanyaan sederhana dari teman sekelas tentang siapa yang akan mengerjakan tugas bersama, malah membawanya pada perasaan yang terus berkembang. Mungkin, justru dari sebuah kebetulan yang sederhana, kisah ini akan dimulai.
Tentu saja, Ava tidak tahu itu akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Bab ini berfokus pada perkenalan awal yang tampak biasa, tetapi penuh dengan potensi untuk tumbuh menjadi sesuatu yang lebih. Ava dan Rio belum tahu apa yang akan terjadi, namun keduanya akan segera memasuki perjalanan yang penuh dengan ketegangan, emosi, dan perubahan yang akan mengubah mereka selamanya.
Bab 2: Cinta dalam Diam
- Ava mulai menyadari bahwa perasaannya kepada Rio bukanlah sekadar ketertarikan biasa. Ada sesuatu yang lebih, tapi Rio seolah tak pernah memberi tanda bahwa dia juga merasa hal yang sama.
- Ketegangan emosional. Ava bingung apakah Rio memang tidak tertarik atau hanya tidak menunjukkan perasaannya. Dia mulai mencari cara untuk menarik perhatian Rio.
- Ava merasa seolah dunia tiba-tiba berputar dalam diam. Setiap detik yang dia jalani semakin terasa lambat, dan setiap kali dia bertemu dengan Rio, rasanya ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka. Mereka berbicara, ya, tapi obrolan mereka terasa ringan, seperti angin yang berbisik, lalu menghilang begitu saja. Ada hal lain yang tak terucapkan, sebuah perasaan yang terpendam di dalam dada Ava, yang semakin lama semakin sulit untuk disembunyikan.
Setiap kali bertemu Rio, Ava merasa ada jantungnya yang berdegup lebih cepat. Namun, dia tidak bisa memberanikan diri untuk mengatakan apa yang sebenarnya dia rasakan. Tidak bisa. Rio, yang begitu cuek dan terkesan tidak peduli dengan sekitarnya, seakan-akan membangun tembok tinggi di antara mereka. Ava hanya bisa menatap dari kejauhan, memperhatikan setiap gerak-geriknya, dan merasakan perasaan yang semakin dalam.
Tugas kelompok mereka berjalan seperti biasa, dengan dinamika yang sederhana. Rio lebih memilih untuk mengerjakan tugas dalam hening, duduk di pojok ruang, seperti dia tidak ingin mengganggu suasana. Ava mencoba untuk berbicara dengannya, namun setiap kali membuka mulut, kata-kata yang ingin dia ucapkan seperti tertahan di tenggorokannya.
“Ayo, Rio, kita bahas bagian ini bersama-sama,” ajak Ava dengan suara pelan, mencoba memecah keheningan.
Rio hanya mengangguk tanpa berbicara, tetap fokus pada laptop di depannya. Ava mencoba untuk mengerti sikapnya, merasa bahwa Rio memang bukan tipe orang yang suka banyak bicara, apalagi berbicara tentang hal-hal yang tidak terlalu penting baginya.
Namun, ada sesuatu dalam diri Rio yang membuat Ava penasaran. Meskipun ia terlihat dingin, bahkan sedikit tertutup, ada ketulusan di balik matanya yang membuat Ava ingin tahu lebih banyak. Tapi, setiap kali Ava berusaha untuk lebih dekat, Rio seperti menarik dirinya semakin jauh, seolah-olah ingin menjaga jarak.
Pada suatu siang, setelah pertemuan kelompok selesai, Ava duduk sendirian di kafe kampus, menatap secangkir kopi yang sudah hampir habis. Suasana di sekitar begitu ramai, tetapi Ava merasa hening. Di dalam kepalanya hanya ada satu sosok: Rio. Sekali lagi, Ava menyadari bahwa dia sudah jatuh cinta dalam diam.
“Kenapa aku bisa merasa seperti ini?” Ava bergumam pelan pada dirinya sendiri.
Dia ingin melupakan perasaan itu, ingin kembali menjadi dirinya yang dulu—perempuan ceria dan tanpa beban. Namun, seiring waktu, perasaan itu semakin sulit untuk ditahan. Ava mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, tetapi setiap kali Rio lewat di depannya, hatinya berdebar.
Ava mencoba bertanya pada diri sendiri, apakah dia benar-benar mencintainya, atau hanya sekadar tergila-gila pada sikap Rio yang cuek dan misterius. Namun, jawabannya selalu sama: dia tidak tahu. Yang dia tahu, perasaan ini hadir tanpa permisi dan semakin sulit untuk diabaikan.
Suatu hari, saat Ava sedang duduk sendirian di ruang baca kampus, Rio datang menghampiri. Dia membawa selembar kertas, yang ternyata adalah bahan tugas kelompok yang harus diserahkan besok.
“Ini, Ava. Tugas kita sudah selesai,” katanya dengan suara yang datar, namun ada kesan halus dalam nada suaranya yang membuat Ava merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
Ava hanya bisa mengangguk, mencoba untuk tersenyum. “Terima kasih, Rio.”
Ada keheningan sejenak. Rio duduk di kursi di sebelah Ava, menghela napas seolah sedang berpikir. Ava merasa suasana itu semakin canggung, namun entah kenapa dia tidak bisa menghindar. Setiap detik yang berlalu terasa begitu panjang, dan Ava merasa begitu dekat, namun juga begitu jauh.
“Kenapa kamu selalu diam?” Ava tiba-tiba bertanya, suaranya hampir tak terdengar. Dia sendiri terkejut dengan pertanyaan yang baru saja keluar dari mulutnya.
Rio menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Aku nggak suka bicara banyak. Lagipula, menurutku kadang diam itu lebih nyaman.”
Ava menatapnya, merasakan ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-katanya. Dia ingin tahu lebih banyak, tetapi seolah ada suara di dalam hatinya yang mengatakan untuk berhenti bertanya, untuk berhenti membuka hati. Tapi, perasaan itu semakin kuat, semakin sulit untuk ditahan.
Hari-hari berikutnya, pertemuan mereka semakin sering, tetapi tetap dalam diam. Rio tetap dengan sikapnya yang tenang dan cuek, sementara Ava semakin tenggelam dalam perasaannya yang tak terucapkan. Setiap kali mereka bertemu, hati Ava berdebar lebih keras, tetapi dia tahu, Rio tidak merasakannya. Atau mungkin dia tidak ingin menunjukkan perasaan itu.
Perasaan Ava tumbuh dalam diam, seperti benih yang ditanam di dalam tanah yang keras, berusaha untuk tumbuh meskipun mendapat sedikit sinar matahari. Dia merasa seperti ada sesuatu yang indah di antara mereka, namun juga sangat rapuh dan mudah hancur.
Di balik sikap cuek Rio, Ava mulai menyadari bahwa mungkin, hanya mungkin, Rio juga merasakan hal yang sama. Mungkin, perasaan yang ia sembunyikan di dalam dirinya bukanlah satu-satunya yang ada. Mungkin, Rio juga sedang berjuang dengan perasaannya sendiri, yang sulit untuk diungkapkan.
Namun, sampai saat itu, Ava tetap dalam kebingungannya. Cinta dalam diam, yang ia rasakan setiap kali berada di dekat Rio, adalah perasaan yang sulit dijelaskan. Perasaan itu terus tumbuh, bahkan ketika dia tahu bahwa mungkin, tak ada kesempatan untuk mengungkapkannya.
Ava hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, dalam kesunyian yang penuh perasaan, Rio akan merasakannya juga—bahwa mereka, meskipun terpisah oleh tembok kebisuan, memiliki perasaan yang sama.
Bab 3: Rindu yang Tak Terungkap
- Ava merasa cemas karena semakin lama semakin sulit untuk menebak apa yang sebenarnya dirasakan Rio. Di satu sisi, Rio kadang menunjukkan perhatian kecil, seperti meminjamkan jaket saat hujan, atau memberi tahu hal-hal kecil tentang dirinya. Namun, dia tetap menunjukkan sikap yang dingin dan tidak banyak bicara.
- Rindu yang terpendam. Ava berjuang untuk menahan rasa rindunya pada Rio yang seolah tak pernah tahu.
- Hari-hari berlalu begitu cepat, tetapi Ava merasa seperti waktu bergerak lebih lambat setiap kali berhadapan dengan perasaan yang tak terungkap. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Rio di ruang baca kampus, ada sesuatu yang bergemuruh di dalam dirinya. Ada perasaan yang semakin menguat, perasaan yang sulit untuk dilawan, tetapi juga sulit untuk diungkapkan. Rindu.
Ava tidak bisa menahan perasaan itu. Setiap kali dia melihat Rio, rasa rindu itu datang tanpa izin, membuat hatinya berdebar kencang. Rio, yang tampak begitu tenang dan cuek, seolah tidak menyadari keberadaan perasaan yang tumbuh di antara mereka. Namun, Ava tahu, bahkan jika Rio tidak menyadarinya, hatinya tetap merasakan adanya hubungan yang lebih dari sekadar pertemuan biasa.
Di luar kampus, Ava mulai melamun tentang Rio lebih sering daripada yang seharusnya. Kadang, dia menemukan dirinya menatap layar ponsel, berharap ada pesan dari Rio, meskipun dia tahu itu hampir mustahil. Rio tidak pernah menghubunginya dulu, tidak pernah menunjukkan minat untuk berbicara lebih banyak. Namun, setiap kali mereka bertemu, ada tatapan singkat yang terasa begitu mendalam, seperti ada bahasa yang hanya mereka berdua yang mengerti.
Ava berdiri di depan jendela kamarnya, menatap langit sore yang mulai gelap. Hatinya terasa penuh, tapi ada kekosongan yang sulit dijelaskan. Rindu itu semakin tumbuh setiap kali dia melihat Rio di kelas, setiap kali dia mendengar nama Rio disebut di antara percakapan teman-temannya, setiap kali dia mendapati dirinya memikirkan sosoknya.
“Kenapa aku bisa merasa seperti ini?” Ava bergumam pelan. Pertanyaannya hampir tidak pernah mendapatkan jawaban. Bagaimana bisa perasaan ini muncul begitu saja, tanpa pernah ada kata-kata yang menyertainya?
Pada suatu hari yang cerah, saat Ava sedang duduk di sebuah kafe kampus, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Terkejut, Ava melihat nama Rio muncul di layar.
Rio: “Ava, aku butuh bantuan untuk tugas kelompok. Bisa ketemuan?”
Ava hampir tidak bisa mempercayai apa yang dia baca. Rio, yang selama ini tampak sangat cuek dan jarang sekali menghubunginya, kini mengirim pesan padanya. Ada kegembiraan yang tak bisa disembunyikan, tetapi juga kecemasan yang tiba-tiba muncul. Ava tahu, ini adalah kesempatan yang dia tunggu-tunggu, namun sekaligus juga sebuah ujian besar untuk hatinya.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Ava membalas pesan itu.
Ava: “Tentu, Rio. Aku akan ke sana sekarang.”
Setelah mengirimkan pesan itu, Ava merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Apa yang akan terjadi jika mereka benar-benar bertemu? Apa yang akan terjadi jika perasaan yang selama ini terkubur dalam diam mulai muncul ke permukaan? Mungkinkah Rio merasakan hal yang sama?
Ava bergegas menuju kafe yang sudah disepakati. Ketika dia sampai, dia melihat Rio sudah duduk di meja sudut, menatap layar laptopnya dengan serius. Ava bisa merasakan ketegangan dalam dirinya, meskipun Rio terlihat santai. Seperti biasa, wajah Rio tidak menunjukkan ekspresi yang jelas, namun Ava bisa merasakan adanya ketegangan yang samar di udara.
“Hei, Ava,” Rio menyapa dengan nada datar, seperti biasa. “Aku sudah mulai mengerjakan tugas ini, tapi ada beberapa bagian yang aku kurang paham. Bisa bantu?” tanyanya, sambil menepuk kursi di depan meja.
Ava duduk dengan ragu, mencoba mengendalikan perasaan yang menggebu di dalam dada. “Tentu, aku akan bantu,” jawab Ava, berusaha untuk tetap tenang.
Mereka mulai mengerjakan tugas bersama, namun Ava tidak bisa sepenuhnya fokus. Semua pikirannya teralihkan pada Rio—pada setiap gerakan kecil yang dilakukannya, pada setiap kata yang diucapkannya. Dia merasakan sesuatu yang begitu kuat, tetapi tidak bisa mengungkapkannya.
Setiap kali tangan mereka hampir bersentuhan, Ava merasa tubuhnya kaku. Setiap kali Rio menatapnya dengan matanya yang tajam, ada perasaan yang membekap dada Ava, membuatnya merasa terjebak dalam perasaan yang tak bisa diungkapkan.
“Ava…” Rio tiba-tiba berkata, memecah keheningan. “Kamu kenapa? Kamu terlihat agak cemas.”
Ava menoleh, sedikit terkejut. “Apa? Tidak, aku baik-baik saja.” Namun, suaranya terdengar ragu.
Rio mengangkat alis, tampaknya tidak percaya dengan jawabannya. “Kamu pasti ada sesuatu yang mengganggu. Jangan terlalu dipikirkan, Ava. Semua akan baik-baik saja,” ujarnya dengan nada lembut, yang jarang keluar dari bibirnya.
Ava terdiam sejenak, merasa bingung. Kata-kata Rio terasa seperti sesuatu yang ingin dia dengar, tetapi juga terasa seperti sebuah peringatan. Apa yang harus dia katakan? Apakah dia harus jujur tentang apa yang dia rasakan? Tentang perasaan yang selama ini terus tumbuh di dalam hatinya, yang tak bisa dia ungkapkan?
Namun, Ava hanya bisa tersenyum tipis. “Mungkin kamu benar. Aku hanya sedikit lelah,” jawabnya, meskipun hatinya berteriak untuk mengungkapkan semuanya.
Mereka melanjutkan tugas mereka dalam keheningan, tetapi Ava merasa semakin terperangkap dalam perasaan yang tidak terucap. Setiap kata yang keluar dari mulut Rio semakin membuatnya merasa dekat, tetapi juga semakin jauh. Rindu itu tumbuh dalam diam, dan Ava tahu bahwa semakin lama dia menahan perasaan itu, semakin besar risiko yang harus dia hadapi.
Di akhir pertemuan itu, saat tugas mereka selesai, Rio berkata dengan suara rendah, “Terima kasih, Ava. Tanpa kamu, aku pasti kebingungan.”
Ava hanya bisa tersenyum, meskipun hatinya penuh dengan perasaan yang tak terungkapkan. “Tidak masalah,” jawabnya, sambil berusaha menahan air mata yang hampir keluar.
Saat mereka berpisah, Ava kembali merasakan rindu yang semakin mendalam. Setiap langkahnya terasa berat, setiap detik terasa lebih lama. Tetapi, apa yang bisa dia lakukan? Dia tahu bahwa Rio tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Rindu yang tumbuh tanpa kata-kata, hanya bisa dibiarkan mengalir dalam keheningan.
Bab 4: Jarak yang Meningkatkan Perasaan
- Ava mulai merasa putus asa, berpikir mungkin perasaannya tidak akan pernah terbalas. Ia mulai mencoba melupakan Rio dan berfokus pada kegiatan lain, tetapi ternyata semakin jauh dia mencoba untuk menghindar, semakin besar perasaan yang muncul.
- Pengembangan karakter Rio. Kita mulai melihat dari sudut pandang Rio, yang ternyata diam-diam peduli pada Ava, tapi takut untuk mengungkapkan perasaan karena latar belakang atau pengalaman buruknya di masa lalu.
- Setelah pertemuan yang sedikit canggung di kafe kampus, Ava kembali ke kehidupannya yang penuh rutinitas. Tugas kuliah, pekerjaan paruh waktu, dan waktu untuk diri sendiri. Namun, ada satu hal yang selalu mengganggu pikirannya: Rio. Setelah mereka menyelesaikan tugas bersama, jarak fisik mereka semakin jauh. Tidak ada lagi pertemuan spontan di ruang baca atau kafe kampus. Tidak ada lagi percakapan singkat yang biasanya membuat hati Ava berdebar.
Ava mencoba untuk bersikap normal, seperti tidak ada yang berubah. Namun, entah mengapa setiap kali dia melihat Rio di kampus atau mendapat pesan darinya, hatinya berdebar lebih kencang dari biasanya. Rasa rindu yang semula hanya sebuah bisikan perlahan berubah menjadi kegelisahan yang sulit ditahan. Jarak yang ada, yang seharusnya memberikan ruang untuk mereka berdua, malah justru semakin memperdalam perasaan Ava.
Ava mulai berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sebelumnya, perasaan ini hanya terasa sebagai sesuatu yang mengganggu, seperti sebuah rasa penasaran yang tidak bisa diselesaikan. Tetapi sekarang, dia merasa seperti terjebak dalam perasaan yang tak terucapkan. Rio yang semula tidak terlalu menunjukkan perhatian, kini mulai terasa seperti bayangan yang tak bisa dihindari.
Setiap kali Ava berjalan melewati tempat-tempat yang biasa mereka lewati bersama, seperti taman kampus yang ramai atau kafe tempat mereka mengerjakan tugas, ada perasaan kosong yang menyelubungi dirinya. Tanpa Rio, semuanya terasa lebih sunyi, lebih sepi. Jarak yang ada seolah semakin menambah kerinduan yang membelenggu hatinya. Tidak ada lagi pesan singkat yang memberi kehangatan, tidak ada lagi tatapan yang tak terucapkan.
Di sisi lain, Rio juga tampaknya mulai menunjukkan perubahan kecil, meski tetap dengan sikap cuek yang khas. Kadang-kadang, di saat-saat tertentu, Ava merasa Rio meliriknya dengan cara yang berbeda, dengan tatapan yang sedikit lebih lama. Namun, setiap kali Ava mencoba mendekat atau berbicara lebih lama dengannya, Rio akan menghindar atau memilih untuk tidak terlalu banyak bicara.
Ava bingung. Apakah Rio juga merasakan hal yang sama? Ataukah dia hanya merasa biasa saja, tidak ada yang istimewa? Kenapa jarak ini justru semakin membuat perasaan Ava berkembang tanpa bisa dikendalikan?
Suatu hari, setelah beberapa minggu tidak bertemu, Ava menerima pesan singkat dari Rio yang cukup mendadak.
Rio: “Ava, aku butuh bantuan lagi untuk tugas. Bisa kita bertemu di kampus? Hari ini mungkin lebih cepat selesai kalau kita kerjakan bareng.”
Ava hampir tidak percaya membaca pesan itu. Rio yang biasanya tidak pernah menghubunginya lebih dulu, kini tiba-tiba meminta bantuannya. Jantung Ava berdegup lebih kencang. Ada semacam perasaan campur aduk yang membuat dia tidak tahu harus merespons dengan apa. Apakah ini kesempatan yang sudah lama dia tunggu-tunggu, atau justru sebuah jebakan untuk tetap menjaga jarak?
Ava tidak bisa menahan diri. Segera dia membalas pesan itu dengan antusias.
Ava: “Tentu, aku akan ke sana. Sampai nanti.”
Setelah mengirimkan pesan, Ava merasakan kegelisahan yang semakin kuat. Dia mulai berpikir tentang semua perasaan yang selama ini ia coba sembunyikan. Apakah ini saatnya untuk mengungkapkan semuanya? Apakah Rio akan meresponsnya dengan cara yang sama, atau justru menjauh seperti yang selalu dilakukannya?
Ketika mereka akhirnya bertemu di ruang kampus yang sudah disepakati, Rio tampak sama seperti biasanya, tenang dan tanpa ekspresi berlebihan. Namun, ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat Ava merasa lebih dekat, lebih terhubung. Rio tersenyum kecil saat melihatnya, dan Ava merasakan sedikit kehangatan dari senyum itu, meskipun senyum itu masih terkesan dingin.
“Hei, Ava,” sapa Rio, membuka percakapan mereka. “Terima kasih sudah datang. Tugas ini agak berat kalau dikerjakan sendirian.”
Ava hanya mengangguk, berusaha menenangkan perasaannya. “Tidak masalah. Kita kerjakan bareng aja, kan lebih cepat.”
Selama mengerjakan tugas, Ava merasakan suasana yang berbeda. Ada kedekatan yang muncul meskipun keduanya tidak banyak bicara. Rio lebih sering mencuri pandang ke arahnya, dan Ava merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Jarak yang semula terasa begitu jauh kini menjadi semakin tipis, meskipun mereka tetap menjaga sedikit ruang.
“Ava…” Rio tiba-tiba memanggilnya, dengan nada yang lebih lembut dari biasanya. Ava menoleh, menatapnya dengan penuh harap.
“Kenapa kamu terlihat seperti ada yang mengganjal di hati?” Rio bertanya, seolah tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya.
Ava terdiam. Dia tidak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan itu. Semua perasaan yang selama ini ia sembunyikan terasa begitu berat untuk diungkapkan. Ada rasa rindu, ada harapan, ada kegelisahan yang bercampur aduk, namun ia tak bisa mengatakannya. Ia merasa takut akan ditolak, takut kalau perasaannya tidak akan pernah diterima.
“Ah, tidak ada apa-apa, Rio,” jawab Ava, berusaha tersenyum meski hatinya berat. “Aku cuma sedikit lelah saja.”
Namun, Rio hanya mengangguk perlahan, seolah tidak sepenuhnya percaya dengan jawabannya. “Jika kamu butuh sesuatu, beri tahu aku. Aku di sini, kalau kamu ingin bicara.”
Kata-kata itu, yang terdengar begitu ringan namun sarat makna, membuat Ava terdiam sejenak. Tidak ada yang pernah mengatakan hal seperti itu padanya. Selama ini, Rio selalu terlihat cuek dan acuh, tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Kata-kata itu seolah membuka pintu untuk perasaan yang selama ini terpendam.
Namun, Ava merasa bingung. Apa yang sebenarnya Rio rasakan? Apakah ia juga merasakan perasaan yang sama? Atau apakah semua ini hanya bentuk perhatian biasa, tanpa arti lebih?
Pertemuan mereka berakhir tanpa ada yang mengungkapkan perasaan sejati mereka. Tetapi, Ava tahu satu hal: jarak yang mereka jaga, baik secara fisik maupun emosional, hanya semakin membuat perasaan itu tumbuh semakin dalam. Entah kapan, entah bagaimana, Ava tahu suatu saat dia harus memilih untuk mengungkapkan semuanya, atau perasaan ini akan terus terkubur, selamanya.
Bab 5: Ketika Rasa Sakit Itu Tumbuh
- Konflik internal Ava. Ava mulai merasa tertekan dan kecewa, bingung apakah dia harus terus mengejar perasaannya atau berhenti. Ketegangan antara keinginan untuk melanjutkan perjuangan dan kenyataan bahwa Rio tidak menunjukkan tanda-tanda cinta membentuk konflik utama.
- Momen frustrasi. Ava mengalami rasa sakit karena terus menerus merasa tidak dihargai.
- Ava memandang layar ponselnya dengan tatapan kosong. Pesan dari Rio yang seharusnya menghangatkan hatinya malah membuat jantungnya berdegup lebih cepat dalam cara yang tidak menyenangkan. Kali ini, Rio tidak hanya meminta bantuan untuk tugas, tapi juga memberitahunya sesuatu yang membuat hati Ava terasa kosong.
Rio: “Ava, aku ada rencana akhir pekan ini, mungkin kita nggak bisa lanjut ngerjain tugas bareng. Aku harus pergi sama teman-teman.”
Ava mengunci layar ponselnya dengan cepat, meskipun hatinya tidak bisa secepat itu menenangkan diri. Rencana akhir pekan? Dengan teman-teman? Seperti apa hubungan mereka sebenarnya, jika Rio bahkan lebih memilih menghabiskan waktu bersama teman-temannya daripada bersamanya? Untuk beberapa detik, Ava terdiam, mencoba menenangkan perasaan yang mendalam ini.
Kenapa dia merasa sakit? Bukankah Rio berhak untuk memiliki kehidupan sosial, untuk bersenang-senang? Bukankah dia sendiri yang tidak ingin terlalu mengganggu hidup Rio dengan perasaan yang semakin tumbuh?
Namun, semakin Ava mencoba meyakinkan dirinya bahwa tidak ada yang salah, semakin tajam perasaan itu. Rasa sakit itu semakin tumbuh, merayap ke dalam setiap sudut hatinya, merusak rasa percaya dirinya.
Dia mulai bertanya pada diri sendiri—apakah semua perasaan yang ia rasakan selama ini hanya ada di kepalanya? Apakah Rio benar-benar peduli, atau hanya merasa nyaman dengan keberadaannya yang tidak lebih dari sekadar teman?
Ava menghela napas panjang dan berjalan menuju balkon kamarnya, membiarkan angin sore yang sejuk menyapu wajahnya. Di luar, langit sudah mulai gelap, memberi tanda bahwa malam akan segera datang. Keheningan yang seolah mendukung pikirannya yang kacau, semakin memperburuk rasa kesepian yang terasa begitu nyata.
Sejenak, pikirannya kembali berkelana ke momen-momen kecil yang mereka lewati bersama—ketika mereka mengerjakan tugas, ketika Rio memberikan senyuman kecil, ketika dia menatapnya dengan cara yang membuat Ava merasa ada sesuatu yang lebih. Tapi semuanya terasa hampa sekarang. Mengapa perasaan itu hanya tumbuh dalam diam?
Ava tahu, dia tidak bisa terus-menerus membiarkan dirinya terjebak dalam harapan yang tak terucapkan. Namun, meskipun dia berusaha keras untuk berpikir rasional, ada rasa sakit yang terus berkembang di dalam dadanya, yang terasa semakin kuat dari waktu ke waktu.
Keesokan harinya, Ava mencoba untuk melupakan semuanya. Dia sibuk dengan kegiatan kampus dan pekerjaan, mengalihkan pikirannya dari Rio. Namun, setiap kali dia berpapasan dengan Rio di koridor kampus atau melihatnya duduk di ruang kelas, hatinya kembali berdebar, kali ini bukan karena kebahagiaan, tapi karena keraguan dan rasa sakit yang tak bisa dihindari.
Pernahkah Rio merasakan hal yang sama? Ataukah Ava hanya terjebak dalam ilusi cinta yang berlarut-larut? Jika memang Rio tidak pernah berniat untuk lebih, apakah Ava harus menahan perasaannya lebih lama lagi? Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepala Ava, tidak memberi ruang untuk perasaan lega.
Suatu hari, ketika Ava duduk sendiri di taman kampus, Rio datang menghampirinya. Ia duduk di bangku sebelah Ava, tanpa berkata apa-apa selama beberapa detik. Ava menoleh, dan melihat Rio hanya menatap ke depan, seolah menunggu sesuatu.
“Rio, ada apa?” tanya Ava pelan, berusaha untuk menjaga nada suaranya tetap stabil meskipun hatinya gelisah.
Rio tersenyum tipis, namun ada sesuatu yang membuat senyum itu terasa dipaksakan. “Aku minta maaf kalau kemarin aku bikin kamu nunggu terlalu lama, Ava. Aku nggak bermaksud buat kamu merasa diabaikan.”
Mendengar kata-kata itu, hati Ava terasa sesak. Dia ingin sekali menjawab, mengungkapkan semua perasaannya yang telah terpendam begitu lama, tetapi dia merasa kata-kata itu akan sulit keluar. Ava hanya bisa menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya.
“Tak apa,” jawabnya lirih. “Aku ngerti kok. Mungkin aku juga yang terlalu berharap.”
Rio memandangnya lebih lama, ada keraguan dalam tatapan matanya. “Ava, kamu tahu aku nggak bermaksud buat ninggalin kamu, kan?”
“Aku tahu,” jawab Ava, meski hatinya tak sepenuhnya yakin. “Aku cuma… aku cuma merasa bingung. Kadang kamu terlalu jauh, kadang kamu dekat sekali. Aku nggak tahu harus bagaimana.”
Rio terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Ava. “Aku… Aku nggak tahu harus ngomong apa. Aku nggak mau bikin kamu salah paham, tapi aku juga nggak mau kamu ngerasa terluka karena aku.”
Ava menatap Rio, ingin sekali mendengar lebih banyak, tetapi dia tahu bahwa meskipun Rio peduli, ada hal-hal yang tidak bisa diungkapkan begitu saja. “Aku cuma nggak ingin jadi orang yang terus-terusan menunggu tanpa tahu arah,” kata Ava, menahan suara yang hampir pecah.
Dia terdiam lama, mencoba untuk mencari kata-kata yang tepat, tapi akhirnya Ava memutuskan untuk pergi. “Aku rasa aku butuh waktu untuk mikirin ini semua,” tambahnya, sebelum berdiri dan meninggalkan Rio yang tampak bingung.
Langkah Ava terasa berat, lebih berat dari sebelumnya. Setiap langkah yang dia ambil, semakin terasa berat perasaan yang ingin ia sembunyikan. Rasa sakit itu tumbuh, tak lagi bisa ditahan, tak lagi bisa dihindari. Hatinya hancur, teriris antara harapan dan kenyataan yang pahit.
Ava tahu, dia harus membuat keputusan. Apakah dia akan terus memendam perasaannya dan menunggu, ataukah dia harus melangkah mundur, melepaskan sesuatu yang bahkan Rio sendiri mungkin tidak pernah menyadari?
Bab 6: Tanda yang Tersirat
- Rio memberikan sedikit lebih banyak perhatian daripada sebelumnya. Misalnya, dia mulai mengajak Ava berbicara lebih banyak atau melakukan tindakan-tindakan kecil yang menunjukkan bahwa dia peduli.
- Tanda-tanda perasaan Rio. Meskipun masih cuek, kita bisa melihat bahwa Rio sebenarnya mulai merasa nyaman dengan Ava dan mungkin dia merasa tertekan dengan perasaan yang sedang tumbuh.
- Ava masih teringat percakapan terakhirnya dengan Rio di taman kampus. Meskipun kata-kata yang keluar dari mulut Rio terdengar jujur, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Tanda-tanda yang selama ini ia anggap sekadar kebetulan kini mulai terasa lebih bermakna. Apakah ini petunjuk yang Rio kirimkan, atau sekadar perasaan Ava yang mulai berlebihan? Dia tidak bisa memastikannya, dan itu yang membuatnya semakin bingung.
Hari-hari berikutnya terasa penuh dengan kebingungan. Ava berusaha untuk fokus pada tugas-tugas kuliah, tetapi Rio selalu hadir di pikirannya, tanpa diminta. Setiap kali mereka berpapasan di kampus, tatapan Rio terasa berbeda. Bukan lagi sekadar tatapan kosong atau pandangan biasa, melainkan seperti ada sesuatu yang belum diungkapkan, seperti ada pesan yang belum selesai disampaikan.
Tapi, apa artinya semua ini?
Suatu sore, ketika Ava sedang duduk di ruang baca kampus, ponselnya bergetar. Pesan dari Rio masuk, cukup singkat namun meninggalkan kesan yang dalam:
Rio: “Ava, ada waktu nggak? Aku butuh ngobrol.”
Ava langsung merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Kenapa tiba-tiba Rio ingin ngobrol? Bukankah mereka baru saja berbicara beberapa hari lalu? Seperti ada sesuatu yang mengintai di balik pesan itu—sesuatu yang membuat Ava merasa ada perubahan. Ada keraguan di hatinya, tapi dia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.
Dia membalas pesan itu, berharap Rio hanya butuh bantuan lagi untuk tugas kuliah.
Ava: “Tentu, aku ada waktu. Ada apa?”
Beberapa detik setelahnya, Rio membalas.
Rio: “Aku mau ketemu. Kita bicara langsung aja. Di taman kampus, jam lima.”
Ava tidak bisa menahan perasaan campur aduknya. Taman kampus? Itu tempat yang selama ini menjadi saksi bisu banyak percakapan mereka. Tempat yang penuh kenangan kecil, tempat mereka pertama kali menghabiskan waktu bersama. Apa yang akan dibicarakan Rio? Ada yang berbeda dengan cara dia mengajak bertemu kali ini.
Ava menghela napas panjang, lalu memutuskan untuk pergi. Waktu yang ditentukan tidak lama lagi, dan dia merasa tidak bisa menunda-nunda lagi. Perasaannya semakin terjaga, dan dia tahu bahwa kali ini akan berbeda. Dia bisa merasakannya.
Di taman kampus, Ava duduk di bangku yang sama dengan tempat mereka pertama kali mengobrol. Seperti biasanya, suasana kampus terasa riuh dengan suara teman-teman yang bersenda gurau, tetapi kali ini hatinya terasa begitu hening. Dia menunggu Rio, mencoba menenangkan pikiran yang sudah mulai kacau.
Tak lama setelah itu, Rio datang, melangkah dengan kaki yang lebih berat dari biasanya. Ketika dia melihat Ava, senyum tipis muncul di wajahnya, tapi kali ini tidak ada lelucon atau canda seperti yang biasa terjadi. Rio terlihat serius, bahkan sedikit cemas. Ava merasakan ada sesuatu yang menggelitik di dadanya, sebuah perasaan yang mengatakan bahwa momen ini akan menjadi titik balik.
“Rio, ada apa? Kamu terlihat… berbeda,” kata Ava, berusaha untuk tidak membuat suasana semakin canggung.
Rio duduk di sebelah Ava, tidak menjawab langsung. Dia memandangi tangan mereka yang hampir bersentuhan di bangku itu, dan Ava bisa merasakan ketegangan yang terbangun di antara mereka. Akhirnya, Rio membuka mulutnya.
“Ava, aku nggak tahu gimana cara ngomongnya,” Rio mulai, suaranya serak. “Tapi aku… aku merasa ada yang harus diungkapkan.”
Ava menatapnya, semakin penasaran. “Apa itu, Rio? Kamu bisa ngomong apa aja, kok.”
Rio mengambil napas panjang, seperti mencari kata-kata yang tepat. “Aku tahu selama ini aku terkesan cuek, dan aku nggak pernah ngasih tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku juga tahu kamu pasti bingung dengan sikapku yang nggak konsisten. Aku minta maaf kalau itu bikin kamu nggak nyaman.”
Ava terdiam, merasa seolah dunia ini berhenti berputar. Apa yang sebenarnya dia dengar? Rio, yang biasanya terlihat cuek dan sulit didekati, kini mengungkapkan hal yang tidak pernah Ava bayangkan sebelumnya. Ada ketegangan yang terasa begitu nyata di udara.
“Kamu tahu, Ava, aku… aku juga bingung. Aku nggak tahu gimana cara menghadapi perasaan ini. Tapi setiap kali aku dekat sama kamu, rasanya semuanya jadi berbeda. Aku mulai merasa hal-hal yang nggak pernah aku rasain sebelumnya,” Rio melanjutkan, dengan tatapan yang lebih lembut. “Tapi aku nggak tahu apakah aku cukup baik buat kamu. Aku nggak mau mengecewakan kamu.”
Ava tidak bisa berkata apa-apa. Semua kata-kata Rio seolah memenuhi ruang di sekitarnya, membuatnya merasa bingung sekaligus lega. Ternyata, selama ini Rio merasakan hal yang sama—hal yang sudah lama dia simpan dalam hati. Namun, apakah itu berarti perasaan mereka bisa jadi sesuatu yang lebih?
“Aku nggak tahu kalau kamu merasa seperti itu,” Ava berkata, suaranya bergetar. “Aku juga merasa ada yang aneh sejak pertama kali kita ngobrol. Tapi aku takut, Rio. Takut kalau aku salah paham, takut kalau aku berharap terlalu banyak.”
Rio menoleh ke arahnya, dan kali ini senyumnya tulus. “Aku juga takut, Ava. Takut kalau aku malah bikin kamu jauh. Tapi aku nggak bisa terus-terusan menutupinya.”
Ava merasakan hatinya menghangat. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Rio memandangnya. Bukan sekadar tatapan biasa, tetapi ada kerentanannya yang terlihat jelas.
“Aku juga takut, Rio,” Ava berkata, akhirnya bisa mengungkapkan perasaannya. “Tapi aku lebih takut kalau aku nggak berani untuk menghadapinya.”
Mereka terdiam beberapa detik, seolah saling menyadari bahwa perasaan yang terpendam selama ini akhirnya mulai terungkap. Tanda yang selama ini Ava anggap tidak berarti, kini menjadi jelas. Mungkin, mereka berdua sudah siap untuk lebih dari sekadar teman.
“Ava, apakah kita bisa coba ini?” Rio bertanya dengan lembut, suaranya penuh harap. “Coba untuk saling percaya, mencoba lebih dari apa yang kita miliki sekarang?”
Ava menatap Rio, dan meskipun ada ratusan pertanyaan yang berputar di kepalanya, dia tahu satu hal pasti: perasaan yang tumbuh di antara mereka sudah lebih dari cukup untuk dimulai.
“Aku ingin coba, Rio,” jawab Ava, tanpa ragu. “Aku ingin coba kita.”
Di bawah langit sore yang mulai gelap, keduanya saling tersenyum. Tanda yang tersirat selama ini akhirnya terungkap, dan Ava tahu, inilah awal dari sesuatu yang baru.
Bab 7: Cinta yang Tersampaikan Secara Tak Terduga
- Suatu kejadian tak terduga mengubah segalanya. Mungkin Ava atau Rio mengungkapkan perasaan mereka melalui sebuah momen emosional—baik itu saat menghadapi situasi sulit bersama atau kejadian yang membuat mereka merasa perlu untuk membuka hati mereka.
- Pengungkapan perasaan. Mungkin Rio akhirnya mengungkapkan bahwa dia juga menyukai Ava, namun dengan cara yang sangat berbeda dari yang Ava harapkan. Tidak ada drama besar, hanya percakapan tenang di suatu malam.
- Pagi itu, Ava terbangun dengan perasaan campur aduk yang tak bisa ia jelaskan. Semua yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir terasa begitu cepat, namun pada saat yang sama, seolah-olah semuanya sudah terjadi sejak lama. Momen-momen bersama Rio, kebingungannya, ketegangan yang tak terucapkan, semuanya terasa menggelayut di pikirannya.
Di luar, cuaca cerah, namun dalam hatinya, ada awan gelap yang terus mengganggu ketenangannya. Rio, meskipun sudah mengungkapkan perasaannya di taman kampus beberapa hari lalu, masih terasa jauh. Ada jarak yang tak bisa dijelaskan, meskipun mereka sudah berbicara tentang hal itu. Dia merasa ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang masih mengganjal di antara mereka.
Ava memutuskan untuk pergi ke kampus lebih awal, berharap bisa menyibukkan diri dengan tugas-tugas kuliah yang sudah menumpuk. Tetapi setiap langkah yang diambilnya seakan dipenuhi dengan keraguan. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah hubungan mereka akan berlanjut setelah semua yang sudah terungkap? Ataukah ini hanya perasaan sementara yang akan hilang begitu saja?
Setibanya di kampus, Ava segera masuk ke ruang kelas. Tanpa sengaja, matanya bertemu dengan Rio yang sudah duduk di bangku belakang. Rio tersenyum tipis saat melihatnya, tetapi senyum itu terasa berbeda. Seperti ada hal yang ingin ia sampaikan, namun tidak tahu bagaimana cara memulainya.
Ava merasa perasaan itu semakin kuat. Ada sesuatu yang tak terucapkan, dan untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap. Tak ada kata-kata yang keluar, hanya tatapan yang penuh makna. Ava merasa seperti ada sebuah pesan yang ingin disampaikan, namun ia takut salah mengartikan.
Jam kuliah berjalan seperti biasa, meskipun pikiran Ava tidak bisa sepenuhnya fokus pada materi yang diajarkan. Setelah kelas selesai, Rio mengajak Ava untuk berjalan keluar bersama.
“V, mau nggak kita ngobrol sebentar?” Rio bertanya, seolah-olah sudah tahu apa yang ada di dalam pikiran Ava.
Ava mengangguk pelan, dan mereka berjalan bersama menuju taman kampus. Kali ini, suasana tidak tegang seperti sebelumnya. Ada kedamaian di antara mereka, meskipun perasaan di hati Ava masih bergejolak.
Mereka duduk di bangku taman yang sama tempat mereka pertama kali membuka percakapan yang lebih dalam. Rio memandang ke langit sejenak, kemudian menatap Ava dengan tatapan yang lebih serius dari biasanya.
“Ava,” kata Rio, suara rendah. “Aku tahu aku nggak bisa langsung ngajak kamu ke sini dan bilang semuanya seperti yang kamu harapkan. Tapi aku merasa… aku nggak bisa lagi menunggu waktu yang tepat. Aku takut kalau aku terus menunggu, aku bakal kehilangan kesempatan.”
Ava terdiam, perasaan yang sudah lama dia pendam mulai naik ke permukaan. “Maksud kamu?” tanya Ava, mencoba memahami apa yang ingin disampaikan Rio.
Rio menggenggam tangan Ava, membuat jantung Ava berdetak lebih cepat. “Aku suka kamu, Ava. Aku… Aku sudah lama ngerasa ini. Tapi aku nggak tahu gimana cara ngomongnya. Aku takut kalau aku terlalu terbuka, aku malah bikin kamu kabur.”
Ava terkejut, dan seketika itu perasaan yang sempat terkubur kembali muncul. “Rio…” Suaranya hampir tak terdengar. “Aku juga suka kamu, cuma… Aku takut ini cuma perasaan sesaat.”
Rio menatapnya lebih dalam, seolah-olah ingin memastikan kalau Ava sungguh-sungguh. “Ava, aku nggak ingin kamu merasa ragu. Aku tahu aku nggak sempurna, aku sering bingung sama perasaanku sendiri, tapi satu hal yang aku tahu pasti adalah… aku ingin kita mencoba, meskipun kita nggak tahu apa yang akan terjadi.”
Ava merasa hatinya semakin hangat, dan ada rasa lega yang mengalir begitu saja. “Aku juga merasa itu, Rio. Aku nggak tahu harus gimana, tapi… aku ingin coba.”
Tiba-tiba, suasana menjadi hening. Angin sepoi-sepoi membawa daun-daun yang jatuh ke tanah, menciptakan suasana yang tenang. Semua yang terpendam kini terasa lebih jelas, seperti saling berbagi beban yang selama ini mereka pikul sendiri.
“V, aku janji aku akan berusaha jadi lebih baik. Aku nggak bisa langsung merubah segalanya, tapi aku yakin kalau kita saling berusaha, kita bisa menghadapi semua ini bareng-bareng,” Rio berkata dengan serius, namun ada kelembutan dalam suaranya.
Ava menunduk, mencoba menahan air mata yang hampir menetes. “Aku nggak tahu kalau kamu merasa seperti itu,” katanya dengan suara pelan. “Tapi aku ingin percaya, Rio. Aku ingin percaya kita bisa lebih.”
Mereka saling berpandangan, dan dalam diam, keduanya tahu bahwa ini adalah titik balik mereka. Tidak ada lagi kebingungan, tidak ada lagi keraguan yang menggantung di udara. Mereka berdua sadar bahwa perasaan mereka, yang sudah lama terpendam, akhirnya bisa tersampaikan tanpa takut akan ditolak.
“Kamu nggak perlu takut lagi, V,” Rio berkata dengan senyum yang lebih lebar. “Kita nggak akan tahu apa yang akan terjadi ke depan, tapi selama kita bersama, kita bisa menjalani ini dengan hati yang terbuka.”
Ava tersenyum, perasaan ringan memenuhi hatinya. “Aku siap, Rio. Aku siap menjalani semuanya.”
Mereka duduk di sana, di bawah langit yang mulai gelap, menikmati ketenangan yang datang setelah lama menunggu. Di antara mereka, ada cinta yang akhirnya tersampaikan, tanpa kata-kata yang berlebihan, hanya sebuah perasaan yang tulus dan siap untuk dibangun bersama.
Langit semakin gelap, namun Ava merasa hangat di dalam hatinya. Ternyata, cinta itu bisa datang dengan cara yang tak terduga, dan kadang, ketika kita paling tidak mengharapkannya, itulah saat yang paling indah.
Bab 8: Cuek Tapi Berarti
- Ava mulai menerima kenyataan bahwa Rio memang tidak akan pernah menjadi orang yang ekspresif, tetapi hal itu tidak mengurangi cinta dan perhatian yang ia berikan dengan cara yang lebih subtil.
- Penerimaan. Ava mulai memahami bahwa meskipun Rio tidak banyak bicara atau terlalu perhatian, cintanya tetap ada, dan itu cukup baginya. Mereka menemukan cara untuk saling mengisi, meskipun dengan cara yang berbeda.
- Ava berjalan melewati koridor kampus dengan langkah ringan, meskipun pikirannya masih tergantung pada percakapan dengan Rio beberapa hari yang lalu. Mereka memang sudah mengungkapkan perasaan masing-masing, namun suasana di sekitar mereka tetap terasa ambigu. Rio masih seperti biasanya: cuek, jarang menunjukkan perhatian secara langsung, dan seolah-olah tidak terlalu peduli. Padahal, Ava tahu bahwa di balik sikap itu, ada sesuatu yang lebih dalam.
Hari itu, Ava bertemu Rio di kantin kampus, tempat mereka biasa makan siang bersama. Rio duduk sendirian di meja pojok, tampak serius dengan ponselnya. Ketika Ava datang, dia tersenyum tipis, namun tidak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Seperti biasa, dia terlihat seperti seseorang yang lebih suka menjaga jarak. Tidak ada sapaan hangat atau kata-kata manis. Namun, Ava tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa senyum kecil itu cukup berarti bagi dirinya.
Ava duduk di seberang Rio dan mulai membuka kotak makan siangnya. “Eh, kamu kenapa?” tanya Ava, sedikit penasaran. “Kok kayaknya ada yang nggak beres?”
Rio mengangkat wajahnya dari ponsel dan mengalihkan pandangannya ke Ava, namun hanya ada tatapan datar yang biasa. “Nggak ada apa-apa,” jawabnya singkat.
Ava mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang aneh. Sikap Rio yang cuek memang bukan hal baru, tetapi entah kenapa hari ini rasanya lebih terasa dari biasanya. Seperti ada jarak yang tak terucapkan di antara mereka, meskipun mereka sudah saling mengungkapkan perasaan. Seharusnya, setelah itu, semuanya lebih mudah, bukan?
“Rio, serius deh,” Ava berkata lagi, mencoba memecah ketegangan. “Kamu baik-baik aja kan?”
Rio mendengus pelan dan akhirnya menatap Ava dengan mata yang agak lelah. “Aku baik-baik aja, cuma… bingung.”
Ava mengerutkan dahi. “Bingung soal apa?”
“Kadang-kadang aku merasa kalau aku terlalu… ‘cuek’. Kamu tahu kan, aku nggak bisa terlalu ekspresif. Aku nggak ngerti kenapa, tapi aku merasa kalau aku terlalu menunjukkan perasaan, itu malah bikin semuanya jadi aneh.”
Ava terdiam sejenak, meresapi kata-kata Rio. Dia tahu Rio memang tipe orang yang sulit mengekspresikan perasaan. Itu sudah jelas sejak mereka mulai berkenalan. Tapi, entah mengapa, sikap cuek Rio kali ini malah membuatnya merasa semakin bingung. Bukankah mereka sudah sepakat untuk saling berusaha?
“Aku nggak minta kamu jadi orang lain, Rio,” jawab Ava pelan. “Aku cuma butuh kamu jadi diri kamu yang sebenarnya. Kalau kamu cuek, ya cuek aja. Tapi, yang aku butuhkan adalah, meskipun kamu cuek, aku tahu kamu peduli. Itu aja.”
Rio terdiam, dan Ava bisa melihat perasaan yang bergejolak di balik mata Rio. Meskipun Rio tidak berkata apa-apa, Ava tahu dia mengerti apa yang dimaksudkan. Tapi, sikap cuek Rio tampaknya memang sudah menjadi bagian dari dirinya yang sulit untuk diubah begitu saja.
“Ava,” Rio mulai lagi, kali ini dengan suara yang lebih pelan dan dalam. “Aku nggak bisa janji bakal selalu nunjukin perhatian kayak yang kamu harapkan. Tapi, aku janji, meskipun aku nggak banyak ngomong atau tunjukin, aku peduli. Kamu harus tahu itu.”
Ava menatap Rio, merasa ada kehangatan yang mulai muncul dari dalam dirinya. Ada ketulusan dalam perkataan Rio, meskipun ia tidak bisa mengungkapkannya dengan cara yang biasanya diharapkan orang lain. Tapi bagi Ava, itu sudah cukup. Cuek Rio memang masih ada, tapi ada makna yang lebih dalam di balik sikapnya itu.
“Aku tahu,” jawab Ava, sedikit tersenyum. “Aku nggak butuh kamu jadi orang lain. Aku cuma butuh kamu jadi diri kamu yang sebenarnya. Kalau kamu cuek, ya cuek aja. Asalkan aku tahu, kamu peduli.”
Rio tersenyum tipis, senyum yang selalu berhasil membuat hati Ava berdebar. “Makasih, V,” katanya dengan suara yang lembut. “Aku nggak ngerti kenapa, tapi aku seneng bisa ngobrol kayak gini sama kamu.”
Ava merasakan sesuatu yang menenangkan di dalam hatinya. Mungkin mereka memang tidak akan pernah menjadi pasangan yang selalu berpelukan di depan umum atau berciuman di tengah keramaian. Tapi mereka memiliki cara mereka sendiri untuk menunjukkan cinta—cara yang mungkin tidak selalu tampak jelas bagi orang lain, tetapi cukup jelas bagi mereka berdua.
Setelah makan siang selesai, mereka beranjak dari meja. Rio mengacungkan tangan, memberi isyarat agar Ava berjalan bersamanya ke luar kantin. Tanpa banyak bicara, mereka berjalan berdampingan, menikmati kebersamaan yang terasa sederhana, namun begitu berarti.
“V,” Rio memulai, kali ini dengan suara yang lebih ringan. “Nggak usah terlalu mikirin sikap cuek aku. Aku tahu itu bikin kamu bingung, tapi aku bakal berusaha lebih terbuka, kok.”
Ava tertawa kecil, merasa lega. “Aku nggak pernah terlalu mikirin itu, Rio. Yang penting, kita bisa jujur sama perasaan masing-masing. Itu aja.”
Mereka melangkah keluar dari kantin, membiarkan suasana sekitar mengisi keheningan yang terasa nyaman. Meski Rio tetap dengan sikap cueknya yang khas, Ava tahu bahwa di balik itu, ada cinta yang tumbuh perlahan—cinta yang tidak selalu terlihat jelas, namun tetap ada di setiap langkah mereka.
Dan meskipun Rio tidak selalu mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata, Ava yakin satu hal: Cuek Rio, pada akhirnya, justru menjadi bagian dari cara mereka untuk saling memahami—cara yang mungkin tidak sempurna, tetapi cukup untuk membuat hati mereka tetap dekat.
Bab 9: Mencintai dengan Cara Kita Sendiri
- Perubahan dan adaptasi. Ava dan Rio beradaptasi dengan kepribadian masing-masing dan cara mereka mengekspresikan cinta. Ava tidak lagi merasa kecewa dengan sikap Rio yang cuek, sementara Rio mulai belajar untuk lebih terbuka dengan perasaan tanpa mengubah dirinya sepenuhnya.
- Hubungan yang seimbang. Mereka mulai memahami satu sama lain lebih dalam dan menerima kekurangan masing-masing.
- Ava terbangun di pagi yang cerah, namun perasaan dalam hatinya terasa lebih ringan dari hari-hari sebelumnya. Meskipun semuanya masih belum sepenuhnya jelas, ada perasaan tenang yang menyelimuti dirinya. Rio, dengan sikap cueknya yang tak bisa dipahami sepenuhnya, tetap menjadi bagian dari hidupnya. Tetapi, entah bagaimana, Ava merasa lebih yakin. Cinta mereka bukanlah sebuah standar yang harus mengikuti pola yang ditentukan orang lain—mereka berdua memiliki cara mereka sendiri.
Setelah pagi yang tenang, Ava memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampus, menikmati udara segar yang membuat pikirannya lebih jernih. Jalanan kampus sudah mulai ramai, tetapi Ava merasa dunia di sekelilingnya terasa lebih hening. Pikirannya terfokus pada Rio, pada perasaan yang mereka bagi, meskipun tidak selalu dengan kata-kata.
Ava duduk di bangku taman yang sudah mereka datangi beberapa kali. Tempat itu sudah menjadi semacam zona nyaman bagi mereka berdua, tempat di mana kata-kata sering kali tidak dibutuhkan untuk merasakan kedekatan. Bahkan dengan keheningan yang sering mengisi percakapan mereka, Ava merasa tidak ada yang hilang.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Rio.
“Kamu lagi di mana?”
Ava tersenyum kecil, membaca pesan itu. Bukan karena kata-katanya yang manis, tetapi karena cara Rio selalu bertanya, tanpa terlalu peduli dengan formalitas. Hanya sebuah pertanyaan sederhana yang terasa lebih hangat daripada kalimat yang lebih berlebihan.
“Di taman, duduk-duduk. Kenapa?” balas Ava.
Tidak lama, Rio muncul dari balik pepohonan, mengenakan jaket biru favoritnya dan celana jeans yang sedikit kusut. Dia selalu terlihat santai, meskipun ada sesuatu yang berbeda tentang dirinya hari itu. Ada sedikit kegugupan yang terpancar dari ekspresi wajahnya, meskipun ia berusaha menyembunyikannya.
“Ada yang ingin kubicarakan,” kata Rio begitu tiba di hadapannya.
Ava mengernyitkan dahi, merasa sedikit terkejut. “Ada apa? Kamu kelihatan serius banget.”
Rio duduk di samping Ava dan menghela napas panjang. “Aku cuma mau bilang, kalau selama ini, aku sadar… aku mungkin nggak selalu bisa jadi orang yang mudah dihadapi. Aku cuek, susah ngomong perasaan, kadang lebih memilih diam daripada bicara. Tapi… aku nggak ingin kamu ngerasa kalau itu berarti aku nggak peduli.”
Ava memandang Rio dengan serius. “Aku nggak pernah merasa kamu nggak peduli, Rio. Aku tahu, kadang-kadang kamu hanya butuh waktu untuk membuka diri. Dan aku nggak bisa memaksakan kamu untuk jadi orang lain.”
Rio tersenyum tipis, terlihat lega mendengar kata-kata Ava. “Makasih udah ngerti. Aku cuma nggak mau kamu salah paham. Cinta itu nggak selalu harus dikemas dengan cara-cara yang biasa orang lihat. Aku mungkin nggak bisa selalu ngungkapin perasaan dengan kata-kata yang romantis, tapi kamu harus tahu, aku peduli banget sama kamu. Cara aku mencintaimu itu… bisa jadi nggak seperti yang orang lain harapkan, tapi aku yakin itu cukup buat kita berdua.”
Ava mengangguk pelan. Ia merasa kata-kata Rio itu mengalir dengan tulus, meskipun disampaikan dengan cara yang sederhana. Dalam hati, Ava sadar bahwa hubungan mereka memang berbeda dengan hubungan lainnya. Tidak ada drama besar, tidak ada kata-kata manis yang keluar tiap hari, tetapi ada satu hal yang jelas: mereka saling mengerti tanpa perlu banyak bicara.
“Aku nggak butuh kamu jadi orang lain, Rio,” Ava berkata lembut, menatap mata Rio yang penuh harapan. “Aku cuma butuh kamu jadi dirimu sendiri. Mungkin itu yang membuat kita berjalan seperti sekarang. Kita nggak sempurna, tapi kita saling menerima kekurangan satu sama lain.”
Rio tersenyum lebih lebar, dan Ava merasa hangat di dalam hatinya. Meskipun Rio tidak banyak berbicara tentang perasaan, ia selalu tahu bagaimana menunjukkan perhatian dalam cara-cara kecil yang tak terucapkan. Itulah cara Rio mencintainya—dengan segala sikap cuek dan ketidakterbukaannya, Rio tetap menunjukkan perhatiannya dengan cara yang hanya bisa dipahami oleh mereka berdua.
“V,” Rio berkata, suaranya lebih ringan sekarang. “Aku janji, meskipun aku cuek, aku nggak akan berhenti buat coba menjadi yang terbaik untuk kamu. Kita mungkin nggak akan pernah jadi pasangan yang selalu ngomongin perasaan tiap waktu, tapi kita akan tetap bersama, kan?”
Ava tertawa pelan, merasa ringan. “Iya, Rio. Kita akan tetap bersama. Dengan cara kita sendiri.”
Mereka berdua duduk dalam diam, meresapi kenyataan bahwa hubungan mereka tak perlu mengikuti aturan yang ada. Tidak ada standar yang harus mereka capai untuk membuktikan cinta mereka. Mereka hanya perlu saling menerima, dengan segala kekurangan dan perbedaan yang ada.
Seiring berjalannya waktu, Ava dan Rio menyadari bahwa cinta itu bukan tentang mencocokkan diri dengan gambaran romantis yang ada di kepala orang lain. Cinta itu tentang menemukan cara untuk mengerti dan menerima satu sama lain, meskipun tidak selalu mudah untuk diungkapkan dengan kata-kata. Cinta mereka, meskipun sederhana dan penuh dengan ketidakpastian, tetap kuat dan nyata, karena mereka belajar untuk mencintai dengan cara mereka sendiri.
“Terima kasih sudah tetap di sini,” kata Rio, sambil memandang Ava dengan tatapan lembut.
“Terima kasih juga sudah menjadi dirimu sendiri,” jawab Ava, senyumnya tulus.
Dan dengan itu, mereka duduk bersama, membiarkan waktu berjalan, menikmati momen-momen kecil yang membuat mereka merasa lebih dekat satu sama lain. Cinta mereka mungkin tidak sempurna, tetapi itu adalah cinta yang mereka pilih—cinta yang mereka jalani dengan cara mereka sendiri.
Bab 10: Cinta yang Tak Perlu Terlalu Diperjuangkan
- Pada akhirnya, Ava menyadari bahwa cinta tidak selalu harus dipenuhi dengan perasaan yang penuh gejolak atau perhatian yang berlebihan. Cinta yang sejati bisa datang dalam bentuk yang tenang, tanpa harus dipaksakan atau dicari-cari.
- Kebahagiaan dalam kesederhanaan. Ava dan Rio akhirnya menemukan kebahagiaan dalam hubungan mereka yang sederhana, meskipun penuh perasaan, dan mereka melangkah maju bersama.
Ava duduk di balkon kamarnya, menikmati senja yang perlahan menyelimuti langit dengan warna oranye kemerahan. Udara sore itu terasa sejuk, mengingatkan dirinya pada saat-saat yang telah dilewatinya bersama Rio—saat-saat di mana mereka tidak perlu berkata banyak untuk merasa saling mengerti. Terkadang, cinta itu memang tak selalu harus diperjuangkan dengan keras. Terkadang, ia datang dengan cara yang lebih sederhana, hanya dengan menerima segala kekurangan dan perbedaan yang ada.
Dia memejamkan mata sejenak, membiarkan angin menyejukkan wajahnya. Selama beberapa minggu terakhir, hubungan mereka dengan Rio telah berkembang dengan cara yang tak terduga. Mereka tidak terburu-buru, tidak ada tekanan untuk menjadikan semuanya sempurna. Mereka hanya berada di sana, satu sama lain, dengan segala ketidaksempurnaan yang ada. Dan itu cukup.
Ava tersenyum kecil, teringat percakapan mereka beberapa hari yang lalu. Rio, dengan segala sikap cueknya, akhirnya mulai menunjukkan sisi lain dirinya—lebih terbuka, lebih jujur, meskipun dalam cara yang masih sangat sederhana. Tidak ada kata-kata manis yang keluar setiap saat, tetapi ada sebuah kenyataan yang lebih penting: mereka mulai saling menerima. Dan Ava merasa itu sudah lebih dari cukup.
Rio datang ke balkon dengan wajah ceria, meskipun dia tetap terlihat santai dan sedikit cuek seperti biasanya. “Mau nonton film malam ini?” tanyanya, mengacungkan remote TV di tangannya.
Ava tertawa ringan. “Akhirnya kamu nanya juga. Aku pikir kamu udah lupa.”
Rio duduk di sampingnya, membuang pandangannya ke luar. “Enggak. Cuma, kadang aku nggak tahu harus ngomong apa. Aku lebih suka melakukan hal-hal kecil daripada ngomongin perasaan yang kadang bikin kita canggung.”
Ava memandang Rio, melihat betapa tulusnya dia meskipun kata-katanya tetap terasa datar. “Aku tahu, Rio. Dan aku nggak pernah merasa kamu nggak peduli. Kamu cuma nggak ekspresif aja.”
Rio mengangguk pelan, seolah mengerti bahwa Ava tahu siapa dirinya. Mereka tidak perlu selalu berbicara panjang lebar atau saling menunjukkan perhatian secara dramatis. Kadang, hanya dengan berada di dekat satu sama lain sudah cukup untuk membuktikan bahwa cinta itu ada. Cinta mereka tidak membutuhkan perjuangan yang berlebihan atau pengorbanan yang harus terus dipaksakan.
“Kadang aku berpikir, mungkin kita nggak perlu terlalu berjuang untuk ini,” Ava melanjutkan, “Karena cinta itu, ya, datang dengan cara kita masing-masing. Kita nggak perlu menunjukkan semuanya secara langsung, tapi kalau kita saling mengerti, itu sudah lebih dari cukup, kan?”
Rio menatap Ava, dan untuk pertama kalinya, dia mengangguk dengan senyum yang lebih lebar. “Iya. Aku setuju. Kita nggak perlu menjadikan ini ribet. Yang penting kita nyaman satu sama lain.”
Malam itu, mereka menonton film bersama, tertawa ringan, berbicara sedikit, dan menikmati kebersamaan dengan cara mereka sendiri. Tidak ada kata-kata manis yang berlebihan, tidak ada ungkapan besar tentang cinta. Tetapi di antara tawa yang tercipta, Ava tahu bahwa mereka berada di jalur yang benar. Mungkin mereka bukan pasangan yang sempurna, tetapi mereka adalah pasangan yang saling menerima dan menghargai satu sama lain.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan cara yang sederhana. Mereka tidak pernah mendiskusikan hubungan mereka secara terbuka. Tidak ada pembicaraan besar tentang bagaimana perasaan mereka satu sama lain. Tetapi setiap kali Rio mengirim pesan, setiap kali mereka saling bertemu, Ava merasa seperti cinta itu datang dengan cara yang lebih halus—seperti aliran angin yang tak terlihat, namun cukup terasa untuk membuat hati ini tenang.
Ava mengerti sekarang: Cinta itu bukan tentang perjuangan besar yang harus ditempuh, bukan tentang upaya untuk selalu terlihat sempurna. Cinta itu datang ketika dua orang saling menghargai dan menerima satu sama lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tidak perlu diperjuangkan dengan keras, cukup dengan hadir dan saling memahami, cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya.
Malam itu, Ava menatap langit malam yang penuh bintang, merasa tenang. Mungkin cinta mereka tidak akan pernah penuh dengan kisah-kisah dramatis, atau perasaan yang selalu terungkap dengan kata-kata indah. Tapi justru itulah yang membuatnya berbeda. Cinta mereka adalah cinta yang sederhana, tapi tulus, dan itu sudah cukup.
“Rio,” Ava berkata dengan suara lembut, masih memandang ke langit malam.
“Hmm?” Rio menjawab dengan santai, duduk di sampingnya.
“Aku nggak pernah merasa hubungan ini penuh dengan drama. Tapi aku senang karena kita nggak perlu berjuang terlalu keras. Kita cuma perlu jadi diri kita sendiri.”
Rio tersenyum, menatap Ava dengan tatapan yang penuh kehangatan. “Iya, kita nggak perlu berjuang. Yang penting kita ada di sini, bersama.”
Ava merasa hatinya hangat. Tidak ada kata-kata besar, tidak ada janji-janji manis. Tetapi di dalam hati, mereka tahu—cinta ini, dengan segala kesederhanaannya, lebih dari cukup untuk membuat mereka tetap bersama.
Dan di bawah langit malam yang sama, Ava dan Rio duduk berdampingan, merasakan kedamaian yang datang dari cinta yang tak perlu diperjuangkan—cinta yang datang begitu alami, dan tumbuh dengan cara yang sederhana namun berarti.
Bab 11: Epilog – Kita, Dalam Keheningan Cinta
- Setelah melalui perjalanan panjang, hubungan Ava dan Rio kini menjadi lebih matang dan damai. Mereka tidak lagi terjebak dalam drama dan kekhawatiran tentang perasaan satu sama lain. Mereka menikmati momen kebersamaan dengan cara mereka sendiri, di tengah ketenangan yang mereka ciptakan.
- Kesimpulan tentang cinta. Cinta itu tidak selalu membutuhkan tanda-tanda yang jelas atau kata-kata manis setiap hari. Kadang, cukup dengan saling menghargai dan membiarkan satu sama lain menjadi diri sendiri.
- Beberapa tahun telah berlalu sejak Ava dan Rio menyadari bahwa cinta mereka tidak perlu diperjuangkan dengan keras. Hubungan mereka berkembang begitu alami, tanpa banyak kata-kata manis atau pengungkapan perasaan yang berlebihan. Namun, justru di sanalah letak kekuatan mereka—dalam keheningan, mereka menemukan kenyamanan dan kedekatan yang tidak perlu diungkapkan dengan cara apapun selain hanya dengan hadir di sisi satu sama lain.
Pagi itu, Ava duduk di balkon apartemennya, menatap dunia yang seakan berputar dengan cara yang berbeda. Kehidupan tidak selalu mudah, tetapi ada kebahagiaan dalam menemukan seseorang yang tidak perlu dijelaskan, hanya dirasakan. Rio, dengan segala kekurangannya yang pernah membuatnya ragu untuk berkomitmen, kini menjadi bagian dari hidupnya yang tak tergantikan.
Ava tersenyum tipis, mengingat perjalanan mereka. Ada saat-saat sulit, tentu saja. Namun, semuanya terasa lebih ringan ketika mereka bisa saling mengerti tanpa banyak bicara. Mereka tahu, cinta itu tidak selalu harus menggebu-gebu, tidak perlu sebuah kisah besar yang dramatis. Cinta itu hanya butuh dua orang yang mau memahami, berkompromi, dan menerima satu sama lain apa adanya.
Rio, yang kini telah lebih terbuka dan bisa menunjukkan perasaannya meski tidak banyak berkata-kata, memasuki balkon dengan secangkir kopi di tangan. Dia duduk di samping Ava, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, namun kehadirannya sudah cukup untuk mengatakan semuanya.
“Tenang, ya?” Rio akhirnya membuka mulut, menatap Ava yang sedang menikmati pemandangan pagi.
Ava mengangguk pelan, merasakan kenyamanan yang sulit dijelaskan. “Iya. Kadang, aku berpikir, kita nggak pernah tahu sejauh apa hubungan ini akan pergi. Tapi aku tahu, aku ingin tetap di sini. Dengan kamu.”
Rio menatap Ava, dan meskipun tidak ada kata-kata manis yang keluar, ada kekuatan dalam tatapan itu—sebuah pengakuan tanpa suara bahwa mereka berdua sudah cukup. Tidak ada lagi rasa takut akan kehilangan atau kebingungan tentang masa depan. Mereka telah menemukan keseimbangan dalam hubungan mereka, dan itu sudah cukup untuk mereka bertahan bersama.
“Aku juga merasa gitu,” Rio akhirnya berkata, suaranya pelan, tetapi tulus. “Kita nggak perlu menjadi sempurna. Kita cuma perlu jadi kita sendiri. Dan itu cukup buat aku.”
Ava tersenyum, merasa damai dalam hatinya. Mungkin, seperti yang sering dia katakan, hubungan mereka tidak akan pernah penuh dengan kata-kata besar atau perasaan yang selalu diungkapkan secara dramatis. Namun, setiap detik yang mereka lewati bersama penuh makna. Mereka berdua telah belajar bahwa cinta sejati bukanlah tentang selalu merasa bahagia, tetapi tentang berbagi hidup dengan seseorang yang mengerti kita tanpa banyak bicara, yang bisa berada di sisi kita meski dalam keheningan.
Pagi itu, mereka tidak perlu melakukan apapun selain duduk bersama, menikmati kebersamaan dalam keheningan yang penuh dengan pengertian. Tidak ada yang perlu mereka buktikan. Tidak ada yang perlu mereka cari lagi. Mereka sudah menemukan satu sama lain, dan itu adalah sesuatu yang lebih berharga daripada kata-kata.
“Kadang aku berpikir, mungkin kita nggak membutuhkan banyak kata-kata untuk mengatakan apa yang kita rasakan,” Ava berkata, suaranya hampir berbisik.
Rio mengangguk, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Iya. Karena yang terpenting, kita saling tahu.”
Mereka duduk dalam diam, menikmati senja yang mulai datang dengan warna oranye yang lembut. Dunia terus berputar, dan hidup terus berjalan, tetapi saat itu, dalam keheningan yang penuh dengan cinta, mereka tahu—mereka telah menemukan tempat mereka di dunia ini. Tidak ada yang lebih berarti daripada itu.
Ava menatap Rio, merasakan rasa syukur yang dalam. Cinta mereka mungkin tidak akan pernah seperti yang digambarkan dalam buku-buku atau film-film. Tetapi justru itu yang membuatnya lebih indah. Cinta mereka adalah cinta yang sederhana, namun penuh dengan makna. Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi. Mereka tahu apa yang mereka punya, dan itu sudah cukup untuk membuat mereka bertahan bersama.
Dan di bawah langit yang berubah warna, mereka duduk berdampingan, menikmati kedamaian yang datang dari sebuah cinta yang tidak perlu diperjuangkan. Karena, seperti yang selalu mereka percaya, kadang yang terpenting adalah menemukan satu sama lain dalam keheningan dan kenyamanan, tanpa harus berteriak tentang perasaan. Dalam keheningan, mereka menemukan cinta yang lebih nyata daripada kata-kata apapun.
Keheningan itu adalah suara mereka. Dan di sanalah, dalam keheningan cinta, mereka berdua menyadari satu hal: mereka telah menemukan rumah dalam hati masing-masing, tanpa perlu mencari lagi.
Struktur ini menggabungkan elemen konflik emosional, ketegangan, dan karakter yang berkembang seiring berjalannya waktu, serta menggambarkan perjalanan hubungan yang tidak selalu mudah, tetapi penuh pembelajaran tentang cinta yang tidak sempurna namun bisa bertahan.***