Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

AKU BUCIN, KAMU TAK PEDULI

SAME KADE by SAME KADE
April 20, 2025
in Bucin
Reading Time: 9 mins read
AKU BUCIN, KAMU TAK PEDULI

Bab 1: Awal Ketertarikan yang Sepihak
Pertemuan pertama yang biasa saja baginya, tapi luar biasa bagiku.

Aku masih ingat pertama kali melihatnya. Bukan karena momen yang dramatis atau kebetulan seperti di film romantis, tapi karena sejak saat itu, entah kenapa, mataku selalu mencari sosoknya.

Namanya Reyhan. Tidak ada yang terlalu istimewa darinya—biasa saja, tidak terlalu tampan, tidak terlalu mencolok. Tapi bagiku, entah kenapa, dia adalah pusat semestaku. Mungkin karena senyumnya yang terlihat sederhana tapi terasa hangat, atau caranya tertawa yang terdengar menenangkan.

Aku mulai memperhatikannya lebih sering. Dari cara dia duduk di kantin dengan teman-temannya, bagaimana dia mengacak-acak rambut saat berpikir keras di kelas, atau kebiasaannya mengetuk-ngetukkan jari ke meja saat bosan. Hal-hal kecil yang mungkin tidak ada artinya baginya, tapi menjadi sesuatu yang selalu aku tunggu-tunggu.

Sayangnya, perasaan ini hanya berjalan satu arah. Dia tidak pernah benar-benar melihatku. Jika bertemu di lorong sekolah, dia hanya melewatiku tanpa ekspresi. Jika tak sengaja berpapasan, dia hanya memberi senyum sopan yang terasa seperti formalitas.

Tapi aku tetap berharap. Mungkin suatu hari dia akan menyadari keberadaanku. Mungkin suatu saat dia akan melihatku lebih dari sekadar bayangan yang hanya melintas dalam hidupnya.

Dan mungkin… hanya mungkin, perasaanku yang sepihak ini bisa menemukan jalannya sendiri.

Bagaimana menurutmu? Mau aku tambahkan interaksi pertama yang lebih mendalam atau konflik awal? 😊

Bab 2: Pesan yang Selalu Kuinginkan Balasannya
Menunggu pesan darimu seperti menunggu hujan di musim kemarau—tak pasti.

Aku sudah terbiasa menunggu. Menunggu dia menyadari keberadaanku. Menunggu dia menoleh ke arahku. Menunggu dia membalas pesanku.

Pesan pertama kukirim dengan penuh keberanian. “Hai, Reyhan!” Sesederhana itu, tanpa basa-basi yang berlebihan. Aku menatap layar ponsel dengan harapan yang terlalu besar. Titik dua dan tanda kurung kugunakan untuk menyisipkan senyum, berharap dia membalas dengan hal yang sama.

Centang satu.

Lalu centang dua.

Tapi tidak ada balasan.

Aku mencoba menghibur diri. Mungkin dia sibuk. Mungkin dia lupa. Mungkin dia tidak melihat pesannya.

Besoknya, aku memberanikan diri mengirim pesan lagi. Kali ini, lebih panjang. “Kamu tadi keren banget pas presentasi di kelas! Aku suka cara kamu menjelaskan materinya, bikin mudah dimengerti. Hehe.”

Centang satu.

Centang dua.

Lagi-lagi, tidak ada balasan.

Aku mulai bertanya-tanya. Apakah dia benar-benar tidak melihat pesanku? Atau… dia hanya tidak peduli?

Hari-hari berlalu, tapi aku tetap mengirim pesan. Kadang hanya sekadar menanyakan tugas, kadang memberi semangat sebelum ujian. Aku tahu ini bodoh. Aku tahu ini sepihak. Tapi aku tidak bisa berhenti berharap.

Dan saat akhirnya dia membalas—setelah sekian lama menunggu—hanya satu kata yang kudapatkan:

“Oh, iya. Makasih.”

Denyut di dadaku berdebar tak karuan. Aku tahu itu bukan balasan yang kuharapkan. Tapi setidaknya, dia membalas. Setidaknya, dia membaca pesanku.

Dan bodohnya aku, satu balasan singkat itu sudah cukup untuk membuatku bertahan dan terus berharap.


Bagaimana menurutmu? Mau ada tambahan adegan atau konflik yang lebih dramatis? 😊

Bab 3: Mencintai dalam Diam
Aku tahu aku bukan prioritasmu, tapi hatiku tetap berharap.

Mencintai Reyhan adalah sebuah kebiasaan. Aku terbiasa melihatnya dari jauh, mendengar suaranya saat dia berbicara dengan teman-temannya, bahkan menghafal ekspresi wajahnya ketika dia sedang serius atau sekadar melamun.

Aku menikmati perasaan ini meskipun tidak pernah terbalas. Aku sudah tahu sejak awal bahwa Reyhan tidak pernah benar-benar memperhatikanku, tapi aku tetap bertahan. Aku tidak butuh pengakuan, tidak butuh perhatian lebih, cukup melihatnya dari kejauhan saja sudah membuatku bahagia.

Hari-hari berlalu, dan aku tetap menjadi bayangan yang selalu ada di dekatnya tanpa dia sadari. Jika dia tertawa, aku ikut bahagia. Jika dia terlihat murung, aku bertanya-tanya apa yang membuatnya begitu. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa menemaninya, tapi aku tidak tahu bagaimana cara untuk mendekat.

Suatu hari, aku melihatnya duduk sendirian di taman sekolah, memainkan ponselnya tanpa ekspresi. Ada sesuatu dalam tatapannya yang berbeda, seolah ada beban yang dia sembunyikan. Aku ingin mendekat, ingin bertanya apakah dia baik-baik saja, tapi aku terlalu takut.

Aku hanya berdiri di kejauhan, memperhatikannya seperti biasa, mencintainya tanpa suara.

Hingga akhirnya, aku menyadari sesuatu yang menyakitkan. Reyhan tidak sendiri. Ada seorang gadis yang datang menghampirinya. Mereka bercanda, berbicara, dan saat gadis itu tertawa, Reyhan ikut tersenyum.

Aku merasa bodoh.

Aku sudah tahu sejak awal bahwa perasaanku hanyalah ilusi. Aku sudah tahu bahwa aku hanya mencintai dalam diam, tanpa harapan untuk dia sadari. Tapi melihatnya bahagia dengan orang lain, tetap saja menyakitkan.

Mungkin aku harus belajar untuk melepaskan, tapi bagaimana caranya jika hatiku masih memilih untuk tetap bertahan?


Bagaimana menurutmu? Mau ada lebih banyak momen yang memperlihatkan betapa dalam perasaan tokoh utama? 😊

Bab 4: Tanda-Tanda yang Tak Pernah Aku Sadari
Semua orang melihat aku hanya buang-buang waktu, tapi aku tetap bertahan.

Aku selalu berpikir bahwa mencintai Reyhan adalah sesuatu yang harus kuterima tanpa imbalan. Aku tidak pernah berharap dia akan menyadari keberadaanku, apalagi membalas perasaanku. Bagiku, cukup melihatnya dari jauh sudah lebih dari cukup.

Namun, ada sesuatu yang mulai terasa berbeda.

Aku sering mendapati Reyhan diam-diam menoleh ke arahku saat kami berada di kelas yang sama. Awalnya, aku mengira itu hanya kebetulan, tapi semakin hari, aku semakin menyadari bahwa tatapan itu bukan sekadar tatapan biasa.

Lalu, ada cara dia bersikap.

Saat aku kesulitan membawa buku-buku perpustakaan yang menumpuk, Reyhan tiba-tiba datang dan tanpa berkata apa-apa, mengambil setengah dari beban yang kubawa. Jantungku berdegup kencang, tapi aku terlalu bingung untuk mengatakan sesuatu.

“Aku cuma kebetulan lewat,” katanya singkat, sebelum berjalan mendahuluiku.

Aku hanya bisa menatap punggungnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

Ada juga kejadian lain. Seperti saat hujan turun tiba-tiba dan aku terjebak di depan gerbang sekolah tanpa payung. Aku sudah siap berlari menembus hujan ketika seseorang menyodorkan payung ke arahku.

“Lain kali, lihat dulu ramalan cuaca sebelum berangkat,” ucapnya santai.

Reyhan.

Hatiku kembali berdebar.

Aku tidak ingin terlalu berharap. Aku takut ini hanya caranya bersikap baik tanpa makna yang lebih dalam. Tapi semakin aku memperhatikan, semakin banyak tanda-tanda kecil yang dia tunjukkan—tanda-tanda yang selama ini tak pernah aku sadari.

Mungkinkah selama ini aku tidak benar-benar sendirian dalam perasaan ini?

Ataukah ini hanya ilusiku semata?

Aku tidak tahu, tapi untuk pertama kalinya, ada harapan kecil yang mulai tumbuh di dalam hatiku.


Gimana menurutmu? Mau ada lebih banyak interaksi antara mereka? 😊

Bab 5: Saat Harapan Mulai Pudar
Aku mulai lelah. Apakah kamu benar-benar tidak peduli, atau aku yang terlalu buta?

Aku pernah berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, Reyhan mulai menyadari keberadaanku. Bahwa tatapan-tatapannya, perhatiannya yang kecil, dan cara dia muncul di saat yang tepat bukan hanya kebetulan. Aku sempat membiarkan hatiku dipenuhi oleh harapan, meskipun aku tahu risikonya.

Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda.

Reyhan mulai menjauh.

Dia tidak lagi menoleh ke arahku di kelas. Tidak ada lagi momen-momen kecil di mana dia secara tidak langsung menunjukkan kepeduliannya. Bahkan, ketika aku melewati koridor tempat dia biasanya berdiri dengan teman-temannya, dia hanya menatap sekilas, lalu kembali berbicara seperti aku tak ada di sana.

Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa ini hanyalah perasaanku saja. Bahwa mungkin dia hanya sibuk, atau sedang banyak pikiran. Tapi semakin hari, semakin aku merasa kehadiranku di sekitarnya tidak berarti apa-apa lagi.

Puncaknya adalah ketika aku melihatnya bersama seorang gadis di taman sekolah. Gadis itu terlihat nyaman berbicara dengannya, dan Reyhan tersenyum—senyum yang dulu pernah membuatku berpikir bahwa mungkin aku punya tempat di dunianya.

Tapi ternyata, senyum itu bukan hanya untukku.

Aku ingin pergi, tapi kakiku terasa berat. Aku ingin berpaling, tapi mataku terus terpaku pada mereka.

Seharusnya aku sudah tahu dari awal bahwa harapan ini tidak akan pernah menjadi kenyataan. Seharusnya aku tidak pernah membiarkan diriku berharap terlalu jauh. Tapi kenyataannya, aku telah jatuh terlalu dalam.

Hati ini sakit, tapi aku hanya bisa tersenyum pahit dan berbisik pada diri sendiri:

Mungkin inilah saatnya aku berhenti berharap…


Menurutmu, mau dibuat lebih dramatis lagi? Atau cukup seperti ini? 😊

Bab 6: Luka dari Cinta yang Tak Berbalas
Menangis diam-diam saat melihatmu bahagia dengan yang lain.

Aku pikir rasa sakit itu akan mereda seiring waktu. Aku pikir jika aku berpura-pura baik-baik saja, hatiku akan ikut percaya bahwa aku sudah terbiasa dengan kenyataan ini. Tapi semakin aku berusaha mengabaikan luka ini, semakin dalam perih yang kurasakan.

Reyhan tidak pernah tahu betapa besarnya perasaan yang kupendam untuknya. Dan mungkin, dia memang tidak perlu tahu. Untuk apa? Tidak akan ada bedanya. Perasaanku tidak akan mengubah apa pun.

Sejak aku melihatnya bersama gadis itu di taman, semuanya terasa hampa. Setiap sudut sekolah yang dulu menyimpan kenangan kecil tentangnya kini terasa menyesakkan. Aku mulai menghindari tempat-tempat yang biasa kami lewati, meskipun sebenarnya dia tidak pernah benar-benar bersamaku. Itu hanya anganku saja.

Sahabatku, Rina, mulai menyadari perubahan sikapku.

“Kamu nggak capek, Nis?” tanyanya lembut saat kami duduk di bangku taman belakang sekolah, tempat favoritku untuk menyendiri.

“Capek?” Aku pura-pura tidak mengerti.

“Capek mencintai seseorang yang nggak pernah sadar kalau kamu ada.”

Aku terkesiap. Kata-katanya menohok tepat di bagian hati yang selama ini berusaha kututupi. Tapi aku hanya tersenyum, meski terasa getir.

“Kayaknya aku nggak punya pilihan lain, Rin. Aku nggak bisa berhenti gitu aja.”

“Tapi kamu bisa memilih untuk berhenti menyakiti diri sendiri.”

Aku terdiam.

Benarkah aku hanya menyakiti diri sendiri? Apakah aku begitu bodohnya karena terus berharap pada sesuatu yang jelas-jelas tidak akan pernah menjadi milikku?

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran yang terasa sesak di dada. Tapi saat aku menatap langit senja yang mulai menggelap, aku menyadari satu hal—tidak ada yang lebih menyakitkan daripada mencintai seseorang yang tidak pernah melihatmu lebih dari sekadar bayangan.

Dan mungkin, sudah saatnya aku berhenti menjadi bayangan itu.


Menurutmu, Nisa harus move on atau tetap memperjuangkan perasaannya? 😉

Bab 7: Mencoba Pergi, Tapi Selalu Kembali
Aku mencoba menghapusmu dari hati, tapi kamu tetap ada di pikiranku.

Aku sudah mencoba segalanya.

Menghindari tempat-tempat yang biasa Reyhan kunjungi. Berusaha menutup hati setiap kali namanya disebut. Menghapus semua jejak perasaan yang selama ini aku simpan rapi. Aku ingin berhenti berharap, berhenti membiarkan diriku terjebak dalam cinta yang tidak pernah dihargai.

Tapi mengapa setiap kali aku mencoba pergi, aku justru kembali ke titik yang sama?

Aku pikir dengan menjauh, aku bisa melupakan. Tapi semakin aku menghindar, semakin besar kerinduanku. Aku mulai merindukan kebiasaanku menunggunya di kantin, meski hanya untuk sekadar melihatnya dari jauh. Aku merindukan bagaimana detak jantungku selalu berdegup lebih cepat saat kami berpapasan. Aku bahkan merindukan rasa sakit yang datang setiap kali dia tidak menyadari kehadiranku.

Lalu, aku kembali.

Bukan secara fisik, tapi hatiku masih terikat padanya. Sekuat apa pun aku mencoba berpaling, ada sesuatu yang membuatku tetap bertahan.

Aku membenci kenyataan ini.

Membenci bagaimana aku selalu jatuh ke dalam lubang yang sama. Membenci bagaimana aku masih berharap, meskipun aku tahu harapan itu tidak akan pernah menjadi nyata. Membenci betapa mudahnya Reyhan membuatku luluh, bahkan tanpa dia melakukan apa pun.

Mungkin aku bukan hanya sekadar bucin.

Mungkin aku benar-benar terjebak dalam perasaan yang tak bisa aku kendalikan.

Atau mungkin… aku hanya terlalu takut untuk benar-benar melepaskannya?


Menurutmu, perlu ada twist di akhir? Atau dibiarkan seperti ini? 😌

Bab 8: Saat Cinta Bertepuk Sebelah Tangan Terlalu Menyakitkan
Aku mulai sadar, aku hanya membuang waktuku untuk seseorang yang tak pernah melihatku.

Setelah sekian lama berharap, menunggu, dan bertahan dengan perasaan yang ia pendam, Dinda akhirnya mencapai titik di mana hatinya terasa terlalu lelah. Selama ini, ia selalu ada untuk Raka—dalam suka, duka, dan bahkan saat Raka jatuh cinta pada orang lain. Tapi apa yang ia dapatkan? Tidak lebih dari peran sebagai sahabat yang selalu menjadi tempat bersandar tanpa pernah dianggap lebih.

Malam itu, Dinda menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Chat-nya masih berstatus delivered, belum terbaca, seperti biasa. Raka memang sering mengabaikan pesannya, kecuali jika ia sedang butuh sesuatu. Namun, yang membuat hatinya semakin sakit adalah unggahan terbaru Raka di media sosial—foto dirinya dengan seorang gadis lain, dengan caption yang jelas menunjukkan bahwa Raka sedang jatuh cinta.

Dada Dinda terasa sesak. Rasanya seperti ditampar kenyataan yang selama ini ia coba abaikan. Betapa selama ini ia hanya membodohi dirinya sendiri dengan harapan-harapan kosong. Ia pikir mungkin suatu hari Raka akan menyadari perasaannya, tetapi nyatanya, harapan itu hanya ilusi yang ia ciptakan sendiri.

Tangannya gemetar saat ia mengetik pesan.

“Aku lelah, Rak. Mungkin ini saatnya aku berhenti.”

Namun, ia tidak pernah menekan tombol kirim. Sebaliknya, ia hanya menghapus pesan itu dan menaruh ponselnya di samping. Air matanya jatuh tanpa suara. Ia ingin marah, tapi kepada siapa? Kepada Raka yang tidak pernah membalas perasaannya? Atau kepada dirinya sendiri yang terlalu bodoh untuk tetap bertahan?

Malam itu, Dinda sadar, cinta yang bertepuk sebelah tangan bukan hanya menyakitkan, tapi juga perlahan menghancurkan dirinya sendiri. Jika ia terus bertahan, yang tersisa mungkin hanya kehancuran dan luka yang semakin dalam.

Tapi… bisakah ia benar-benar pergi?

Bab 9: Melepaskanmu atau Bertahan?
Haruskah aku menyerah atau tetap memperjuangkan sesuatu yang mungkin tak pernah ada?

Berikut adalah pengembangan cerita untuk Bab 9: Melepaskanmu atau Bertahan?


Setelah sekian lama berjuang mencintai tanpa kepastian, hati mulai mempertanyakan: masihkah ada harapan, atau hanya keinginan untuk bertahan pada sesuatu yang tak mungkin?

Selama ini, ia selalu menunggu, berharap bahwa perasaannya akan terbalas. Namun, setiap perhatian yang diberikan hanya dibalas dengan senyuman tanpa makna. Setiap usaha yang dilakukan seolah hanya menjadi angin lalu. Mungkin selama ini, ia hanya berjuang sendiri.

Tapi bisakah ia benar-benar melepaskan? Menghapus semua kenangan yang telah ia simpan dengan baik?

Hari itu, ia berani mengambil keputusan. Berdiri di depan orang yang selama ini ia cintai, menatap matanya dengan keberanian yang tak pernah ia miliki sebelumnya. “Aku capek. Aku ingin tahu, sebenarnya aku ini apa untukmu?”

Orang itu terdiam, menundukkan kepala, seolah mencari kata-kata yang tepat. Tapi keheningan yang terlalu panjang itu sudah cukup menjadi jawaban.

Air mata jatuh begitu saja, bukan karena marah, tapi karena akhirnya menyadari bahwa bertahan hanya akan terus menyakitinya. Dan mungkin, melepaskan adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirinya sendiri.


Bab ini menjadi titik balik besar dalam cerita, di mana tokoh utama menghadapi dilema terbesar dalam hidupnya: terus bertahan meski sakit, atau belajar merelakan demi kebahagiaan dirinya sendiri.

Bab 10: Aku Bucin, Kamu Tak Peduli
Akhirnya, aku belajar. Mencintai seseorang tak harus berarti kehilangan diri sendiri.

Berikut pengembangan cerita untuk Bab 10: Aku Bucin, Kamu Tak Peduli


Setelah sekian lama berjuang, berharap, dan memberikan segalanya, akhirnya aku sampai di titik ini. Titik di mana aku sadar, tak peduli seberapa besar perasaanku, seberapa dalam aku mencintaimu, kau tetap berdiri di tempat yang sama—tanpa pernah melangkah mendekat.

Aku selalu ada di setiap momen sulitmu, mendengarkan keluh kesahmu, mendukung setiap keputusanmu, bahkan ketika kau tak pernah benar-benar memedulikanku. Aku menjadi seseorang yang dengan mudah kau cari saat butuh, tetapi kau abaikan saat segalanya berjalan baik. Aku mencintaimu dengan cara yang paling tulus, tetapi kau tak pernah melihatnya sebagai cinta.

Hari ini, aku berdiri di depan cermin, menatap diriku sendiri. Mata ini penuh kelelahan, hati ini penuh luka yang kubiarkan terus menganga hanya karena aku terlalu takut kehilanganmu. Tapi, apa gunanya bertahan jika aku hanya jatuh semakin dalam ke dalam jurang yang tak pernah bisa menyelamatkanku?

Kau tahu? Aku masih mencintaimu. Aku masih ingin berada di sisimu. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bertanya pada diri sendiri—apa aku benar-benar harus terus seperti ini? Apa aku harus terus mencintai seseorang yang bahkan tak peduli jika aku pergi?

Aku menghela napas panjang. Kali ini, aku ingin memikirkan diriku sendiri. Mungkin ini saatnya aku melepaskan, bukan karena aku menyerah, tapi karena aku akhirnya sadar bahwa cinta seharusnya tidak sesakit ini.

Maka aku pergi.

Dan untuk pertama kalinya, aku tak menoleh ke belakang.***

—— THE END ——-

 

Source: MELDA
Tags: #Drama#MELEPASKAN#MoveOn#RomansaBucinCintaTakBerbalasHarapanPalsu
Previous Post

DUA HATI YANG BERDEGUP

Next Post

Ketika Adik Ipar Menjadi Godaan

Related Posts

AKU TUNGGU KAMU KEMBALI

AKU TUNGGU KAMU KEMBALI

May 13, 2025
JODOHKU, SEMOGA BUKAN PHP

JODOHKU, SEMOGA BUKAN PHP

May 4, 2025
AKU CINTA, KAMU CUEK

AKU CINTA, KAMU CUEK

May 1, 2025
BUCIN TAK KENAL AKAL SEHAT

BUCIN TAK KENAL AKAL SEHAT

April 30, 2025
PERTEMUAN VIRTUAL YANG TAK TERDUGA

PERTEMUAN VIRTUAL YANG TAK TERDUGA

April 29, 2025
CINTA ATAU MIE INSTAN?

CINTA ATAU MIE INSTAN?

April 28, 2025
Next Post
Ketika Adik Ipar Menjadi Godaan

Ketika Adik Ipar Menjadi Godaan

AKU MENCINTAI MU UNTUK MEMBALAS DENDAM KU

AKU MENCINTAI MU UNTUK MEMBALAS DENDAM KU

CINTA PERTAMA YANG MENGUBAH SEGALANYA

CINTA PERTAMA YANG MENGUBAH SEGALANYA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id