Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

DI BALIK KEHIDUPAN YANG SEMPURNA

SAME KADE by SAME KADE
January 28, 2025
in Cinta Segitiga
Reading Time: 19 mins read
DI BALIK KEHIDUPAN YANG SEMPURNA

Daftar Isi

  • Bab 1: Kehidupan yang Terlihat Sempurna
  • Bab 2: Tumbuhnya Perasaan
  • Bab 3: Cinta yang Terbagi
  • Bab 4: Menghadapi Kenyataan
  • Bab 5: Akhir yang Terbuka

Bab 1: Kehidupan yang Terlihat Sempurna

Alya memandang keluar jendela apartemennya, menatap langit kota yang biru cerah. Pagi itu, sinar matahari menembus kaca jendela dan menyinari seluruh ruang tamu, menciptakan suasana yang hangat dan nyaman. Tak jauh dari sana, di meja makan, Reza sedang duduk sambil menyeruput kopi dengan tenang, seperti biasa. Wajahnya tampak rileks, tersenyum kecil ketika melihat Alya yang baru keluar dari kamar tidur, menatapnya penuh perhatian.

“Selamat pagi, sayang,” Reza menyapa dengan suara lembut, menawarkan secangkir kopi hangat.

Alya tersenyum tipis, membalas sapaan itu dengan ringan. “Pagi, Reza.”

Mereka hidup bersama di sebuah apartemen kecil yang terletak di lantai lima sebuah gedung modern. Apartemen ini memiliki segala yang mereka butuhkan—dapur yang lengkap, ruang tamu yang nyaman, dan satu kamar tidur besar dengan pemandangan kota yang menakjubkan. Setiap sudut di rumah ini terasa seperti bagian dari kehidupan yang stabil, nyaman, dan aman. Mereka telah hidup bersama selama dua tahun terakhir, dan semuanya berjalan lancar. Tidak ada yang besar yang perlu dipikirkan, semuanya terasa begitu alami, begitu “normal.”

Alya dan Reza bertemu dua tahun lalu di sebuah acara teknologi di mana Alya diminta untuk berbicara tentang desain antarmuka pengguna dalam aplikasi terbaru yang ia kerjakan. Reza adalah seorang insinyur perangkat lunak di perusahaan yang sama, dan saat pertama kali mereka bertemu, Alya langsung merasakan ada sesuatu yang berbeda. Tidak hanya karena mereka bekerja di bidang yang sama, tetapi juga karena cara Reza berbicara—tenang, rasional, dan penuh perhatian.

Keputusan untuk berpacaran datang begitu alami setelah beberapa kali bertemu di luar pekerjaan. Reza bukan pria yang banyak bicara, tetapi ia memiliki cara untuk membuat orang merasa dihargai. Alya merasa diterima, dipahami, dan, yang paling penting, dihargai. Reza selalu tahu apa yang perlu dia katakan untuk membuat Alya merasa lebih baik. Mereka jarang berdebat, jarang berselisih. Kehidupan bersama Reza terasa seperti aliran sungai yang tenang, tidak terganggu oleh riak kecil apapun.

Hari-hari mereka diisi dengan rutinitas yang saling melengkapi. Reza akan pergi lebih awal untuk bekerja, dan Alya akan menyusul beberapa jam kemudian. Sore hari, mereka kembali ke rumah, berbagi makan malam di meja makan, kemudian menonton film atau hanya berbicara tentang hari mereka. Itu adalah kehidupan yang nyaman, penuh dengan tawa kecil, dan setiap malam berakhir dengan pelukan hangat sebelum tidur. Bahkan dalam kesibukan pekerjaan yang menuntut, mereka selalu punya waktu untuk satu sama lain.

Namun, di balik kenyamanan itu, ada sebuah perasaan yang mulai tumbuh dalam diri Alya—perasaan yang sulit untuk dia pahami. Seperti ada sesuatu yang hilang, meski dia tidak bisa menggambarkan dengan jelas apa itu. Segala sesuatu yang dia inginkan seharusnya sudah ada di hadapannya—kehidupan yang stabil, pasangan yang baik, pekerjaan yang memuaskan. Tetapi kenapa ada rasa hampa yang semakin lama semakin mengganggunya? Kenapa dia merasa ada sesuatu yang lebih yang belum dia temui dalam hidupnya?

Alya duduk di kursi meja makan, menatap cangkir kopinya yang hampir kosong. Reza tidak tahu tentang perasaan ini, dan Alya tidak yakin apakah dia ingin memberitahunya. Bagaimana mungkin dia bisa menjelaskan perasaan ini, perasaan yang membuatnya terombang-ambing di antara kenyamanan yang selama ini dia cari dan hasrat yang belum pernah dia kenal?

“Alya, apakah kamu sudah melihat email tentang proyek baru itu?” Reza tiba-tiba bertanya, mengalihkan perhatian Alya dari pikirannya.

Alya mengangguk tanpa mengangkat pandangannya. “Iya, aku sudah lihat. Aku rasa kita bisa menyelesaikan itu dalam waktu singkat.” Dia mencoba kembali fokus, meski hatinya tetap terbang jauh.

Reza tersenyum dan melanjutkan, “Aku sudah mengatur jadwal untuk kita bertemu dengan tim pengembang minggu depan. Kalau ada ide atau masukan, beri tahu saja.”

Alya mengangguk lagi, tapi kali ini dia merasa kosong. Reza tidak tahu bahwa ide atau masukan yang paling ingin dia beri bukan hanya tentang pekerjaan. Itu tentang dirinya—tentang bagaimana dia merasa terperangkap dalam kehidupan yang sudah dia bangun bersama Reza. Kehidupan yang terlihat sempurna, tetapi dalam hatinya, ada pertanyaan besar yang tak bisa dijawab.

Dia sering berpikir, apakah ini hanya fase yang biasa dialami setiap pasangan yang sudah bersama selama beberapa waktu? Atau apakah ada sesuatu yang lebih mendalam yang mulai dia pertanyakan tentang dirinya sendiri? Pikirannya sering terhenti di pertanyaan itu, dan perasaan hampa itu semakin kuat setiap hari.

Pada minggu yang sama, sebuah konferensi teknologi besar diadakan di kota tempat mereka tinggal. Sebagai seorang desainer antarmuka pengguna, Alya diundang untuk berbicara tentang inovasi terbaru dalam desain aplikasi, topik yang sudah sering ia bahas dalam pekerjaannya. Reza, yang tahu betapa pentingnya acara itu bagi Alya, menyarankan agar dia pergi sendirian, tanpa dia.

“Aku tahu kau ingin fokus pada presentasi itu. Aku akan ikut dengan teman-temanku, jadi kita bisa bertemu nanti setelah acara selesai,” kata Reza dengan senyum yang penuh pengertian.

Alya merasa bersyukur dengan sikap Reza yang selalu memberi ruang. Namun, ada perasaan yang berbeda dalam dirinya saat dia mempersiapkan diri untuk pergi ke acara itu. Tidak ada yang bisa menjelaskan perasaan itu, tetapi ada sebuah perasaan aneh yang menggerakkan dirinya. Seperti ada sesuatu yang baru akan datang, sesuatu yang mengundang ketidakpastian, yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat.

Di acara itu, setelah presentasi, Alya bertemu dengan beberapa orang dari industri teknologi yang telah ia kenal sebelumnya. Di antara mereka ada seorang pria muda yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Namanya Damar, seorang pengusaha muda yang sedang naik daun. Ia bekerja dalam bidang pengembangan kecerdasan buatan dan memiliki perusahaan startup yang sedang berkembang pesat.

Damar berbicara dengan penuh semangat tentang berbagai kemungkinan yang ada di dunia teknologi. Ia berbicara tentang visi besar untuk masa depan, tentang bagaimana teknologi bisa mengubah dunia, dan bagaimana mereka bisa menjadi bagian dari perubahan itu. Cara Damar berbicara sangat berbeda dari Reza. Ada semangat yang tak terbendung dalam setiap kata-katanya, sebuah gairah yang jarang ditemukan dalam percakapan sehari-hari.

Alya merasa ada sesuatu yang menarik tentang Damar, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Damar berbicara tentang ide-ide besar dengan cara yang membuat Alya merasa terinspirasi. Setiap kata yang diucapkannya seperti membawa Alya keluar dari dunia yang selama ini terasa sangat terbatas. Damar tampak tahu apa yang dia inginkan dalam hidup, dan itu adalah sesuatu yang sangat berbeda dari dunia yang selama ini Alya jalani bersama Reza.

Sebelum acara berakhir, Damar mengundang Alya untuk berbincang lebih lanjut tentang ide-ide teknologi yang sedang ia kembangkan. Meskipun Alya tahu ini hanyalah obrolan profesional, ada rasa yang lebih dari itu. Ada ketertarikan yang tidak bisa ia jelaskan.

Alya pulang malam itu dengan perasaan campur aduk. Reza menunggunya di rumah dengan senyum yang hangat, menyambutnya dengan sapaan lembut. Mereka makan malam bersama, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Alya merasa jarak di antara mereka semakin besar, meskipun mereka duduk di meja yang sama. Dia merasa seperti dua dunia yang sangat berbeda sedang bertabrakan di dalam dirinya.

Hari itu, meskipun segala sesuatu berjalan dengan sempurna, Alya merasakan sebuah kekosongan yang tak bisa dia jelaskan. Cinta dan kenyamanan bersama Reza yang selama ini menjadi pegangan hidupnya mulai terasa tidak cukup. Ada sesuatu yang lebih yang sepertinya sedang menunggu untuk ditemukan.

Begitulah kehidupan Alya yang terlihat sempurna—dengan pasangan yang penuh perhatian, pekerjaan yang stabil, dan rumah yang nyaman. Tetapi di balik semua itu, ada perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya, perasaan yang mengganggu kenyamanan itu. Sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang lebih menggugah hati, yang mengarah pada perjalanan baru yang tak terduga. Dan tanpa dia sadari, langkah pertama menuju perubahan itu telah dimulai.*

Bab 2: Tumbuhnya Perasaan

Hari-hari setelah konferensi teknologi itu berlalu dengan cepat, namun sesuatu dalam diri Alya telah berubah. Meskipun ia kembali ke rutinitas sehari-hari dengan Reza, hidupnya mulai terasa berbeda. Entah sejak kapan, ia mulai memikirkan Damar lebih sering dari yang ia inginkan. Perbincangan singkat mereka di acara itu, yang awalnya terasa biasa saja, perlahan berputar kembali dalam pikirannya. Gairah dan antusiasme Damar dalam berbicara tentang teknologi dan masa depan terasa begitu menular, membuatnya merasa hidup, seakan ada kemungkinan-kemungkinan baru yang terbuka lebar di hadapannya.

Alya duduk di meja makan, menatap laptopnya, tetapi pikirannya jauh dari pekerjaan yang sedang ia kerjakan. Ia teringat bagaimana Damar berbicara dengan penuh semangat tentang visi besar teknologi dan bagaimana dunia bisa berubah dengan ide-ide baru. Damar tidak hanya berbicara tentang masa depan teknologi, tapi juga tentang bagaimana kita harus berani mengambil risiko untuk mencapainya. Kata-katanya begitu hidup, begitu penuh gairah. Di sisi lain, Reza selalu berbicara dengan cara yang lebih hati-hati, logis, dan terstruktur. Alya sering kali merasa nyaman dengan cara Reza yang lebih tenang, tetapi ada saat-saat di mana ia merasa seolah-olah hidupnya terjebak dalam rutinitas yang tidak pernah berubah.

Ketika Reza pulang ke rumah pada suatu malam, Alya merasa sedikit canggung. Reza baru saja menyelesaikan proyek besar di kantor dan sepertinya ingin berbicara banyak tentang pekerjaan. Namun, Alya tidak bisa menghindari perasaan bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya—sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar pekerjaan.

“Saya senang proyek itu akhirnya selesai,” kata Reza sambil duduk di meja makan, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan senyum puas. “Aku benar-benar merasa kalau proyek itu bisa membuka banyak peluang buat kita di perusahaan.”

Alya mengangguk sambil tersenyum, meskipun pikirannya masih melayang pada percakapan dengan Damar beberapa hari sebelumnya. Ia merasa tidak sepenuhnya ada di sana, meskipun tubuhnya duduk di meja yang sama. Reza melanjutkan berbicara tentang proyek-proyek masa depan, tetapi bagi Alya, semuanya terasa jauh. Apa yang dulu membuatnya merasa nyaman kini terasa begitu biasa, dan semakin lama ia merasa seperti bagian dari rutinitas yang tak pernah berakhir.

Reza tidak tahu tentang perasaan itu. Bahkan, Alya sendiri pun kesulitan untuk menggambarkannya. Namun, ada sesuatu yang jelas—perasaan yang tumbuh setelah bertemu Damar sulit diabaikan begitu saja. Sebuah dorongan untuk mengejar sesuatu yang lebih besar, lebih berani, dan lebih hidup. Alya ingin merasakan hal itu lebih banyak, tetapi itu berarti harus menghadapi kenyataan yang jauh lebih rumit.

Setelah beberapa hari, Alya mendapat pesan dari Damar. Ternyata, mereka akan bekerja sama lagi dalam proyek desain aplikasi baru yang akan diluncurkan oleh perusahaan tempat Damar bekerja. Alya merasa campuran antara senang dan cemas saat menerima pesan itu. Damar menyarankan agar mereka bertemu untuk mendiskusikan proyek tersebut lebih lanjut. Meski ia tahu itu hanya untuk pekerjaan, perasaan Alya terhadap Damar semakin kuat.

Hari itu, mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang terletak di pusat kota, tempat yang sering mereka kunjungi setelah acara konferensi. Damar sudah menunggu di meja dengan secangkir kopi di depannya ketika Alya datang. Wajah Damar terlihat santai dan percaya diri seperti biasa. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan matanya kali ini—sesuatu yang membuat Alya merasa lebih canggung dari biasanya.

“Senang bisa bertemu lagi, Alya,” kata Damar sambil tersenyum. “Aku rasa kita akan mengerjakan sesuatu yang hebat bersama di proyek ini.”

Alya tersenyum, tetapi ada perasaan yang jauh di dalam dirinya. “Iya, aku juga berharap begitu.”

Mereka berbicara tentang proyek dengan penuh semangat, berbagi ide-ide kreatif, dan saling melengkapi dalam pembicaraan. Damar selalu mampu membuat Alya merasa terinspirasi, dan semakin lama mereka berbicara, semakin ia merasa ada hal yang lebih dari sekadar kolaborasi profesional. Damar memperkenalkan ide-ide besar, tetapi yang lebih membuat Alya terkesan adalah cara dia berbicara dengan keyakinan dan semangat yang luar biasa.

“Teknologi itu bukan hanya tentang perangkat dan aplikasi,” kata Damar, menatap Alya dengan serius. “Teknologi itu harus bisa memberi dampak pada kehidupan manusia, memberdayakan mereka untuk mencapai lebih banyak hal. Kalau kita berpikir lebih besar, kita bisa mengubah dunia, Alya.”

Alya mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa seolah-olah terhanyut dalam kata-kata Damar. Ada sesuatu dalam cara Damar melihat dunia yang membuatnya merasa lebih hidup, lebih bersemangat. Dia merasa seperti dunia yang selama ini ia kenal dengan Reza—dunia yang nyaman dan aman—tiba-tiba terasa kecil, terbatas, dan tidak cukup lagi.

Setelah beberapa jam berbicara tentang proyek dan masa depan teknologi, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Tanpa disadari, percakapan mereka beralih ke topik yang lebih pribadi. Damar mulai berbicara tentang hidupnya, tentang bagaimana ia memulai karirnya dengan penuh ketekunan, dan betapa pentingnya untuk mengikuti impian meskipun jalan yang ditempuh penuh dengan ketidakpastian.

“Kadang-kadang, hidup itu harus berani,” kata Damar, matanya menyala penuh semangat. “Bukan hanya soal mencapainya, tapi soal mengambil langkah pertama, meskipun kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”

Alya terdiam mendengarkan, merasa ada suatu bagian dari dirinya yang terbangun. Kata-kata itu seperti sebuah panggilan, seperti sebuah dorongan untuk melangkah keluar dari zona nyamannya—zona yang selama ini ia pilih bersama Reza. Namun, dalam hati Alya, ada keraguan yang semakin dalam. Ia menyadari bahwa semakin ia bersama Damar, semakin ia merasa terhubung dengan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa itu bukan sekadar ketertarikan fisik atau perasaan sesaat. Itu adalah sesuatu yang lebih mendalam—suatu dorongan untuk mencari sesuatu yang lebih dari sekadar kenyamanan hidup yang selama ini ia jalani.

Malam itu, saat pulang ke rumah, Alya merasa cemas. Reza sudah berada di rumah, menunggu dengan senyum yang hangat. Namun, hatinya terasa lebih berat dari biasanya. Ketika Reza bertanya tentang pertemuan dengan Damar, Alya hanya bisa tersenyum samar.

“Aku rasa proyek ini akan sangat menarik,” kata Alya, mencoba terdengar biasa.

Namun, di dalam dirinya, ia tahu bahwa perasaannya kini telah terbagi. Ia tidak hanya terjebak antara dua pria, tetapi lebih kepada dua dunia yang sangat berbeda. Dunia yang aman dan stabil yang ia miliki dengan Reza, dan dunia yang penuh dengan tantangan dan gairah yang dibawa oleh Damar.

Alya tahu bahwa hidupnya tidak akan bisa tetap seperti ini untuk selamanya. Suatu saat, ia harus membuat pilihan—meskipun memilih salah satunya bisa berarti kehilangan yang lainnya. Namun, apakah ia siap untuk menghadapi kenyataan itu? Entah bagaimana, perasaan yang tumbuh dalam dirinya hanya semakin besar, semakin kuat. Dan Alya tidak tahu seberapa lama lagi ia bisa menahannya.*

Bab 3: Cinta yang Terbagi

Alya merasa terjaga di tengah malam, matanya terbuka lebar, namun pikirannya masih terperangkap dalam keraguan. Suara detak jam di kamar terasa menggetarkan, seolah menambah ketegangan dalam hatinya. Di sampingnya, Reza tertidur nyenyak, napasnya teratur dan tenang. Alya menatap wajahnya yang tampak damai, namun hati kecilnya terus berontak. Ia merasa terjaga dalam dua dunia yang berbeda, dua dunia yang kini bertarung untuk mendapatkan hatinya.

Alya menarik selimut ke tubuhnya, mencoba menenangkan pikirannya yang semakin kacau. Ia mencintai Reza, itu jelas. Reza adalah pria yang penuh perhatian, stabil, dan selalu mendukungnya. Selama dua tahun bersama, mereka telah membangun hidup yang nyaman, penuh dengan kebiasaan yang membahagiakan. Tidak ada masalah besar, tidak ada konflik berarti. Tapi semakin lama, Alya merasa seperti ada sesuatu yang hilang, ada ruang kosong di dalam dirinya yang tak bisa ia isi hanya dengan rutinitas yang sudah terbentuk.

Sedangkan Damar, pria yang baru ia kenal dalam beberapa bulan terakhir, telah mengubah segalanya. Dia datang dengan cara yang berbeda, membawa gairah, tantangan, dan semangat yang jarang ditemukan dalam hidupnya. Setiap percakapan dengan Damar membuat Alya merasa lebih hidup, merasa seolah-olah ia baru pertama kali merasakan betapa besar dunia ini, betapa banyak kemungkinan yang terbuka. Di sisi lain, Reza selalu berada di zona nyaman, memberikan dukungan tanpa banyak pertanyaan, tetapi tidak pernah mengundang ketegangan atau gairah.

Tapi sekarang, perasaan itu telah tumbuh—perasaan yang sulit dijelaskan. Alya merasa terperangkap di antara dua pilihan yang sangat berbeda: memilih keamanan dan kenyamanan yang ditawarkan Reza, atau memilih kebebasan dan gairah yang datang bersama Damar.

Keesokan paginya, seperti biasa, Alya bangun lebih pagi daripada Reza. Ia menyiapkan sarapan, mengatur meja makan dengan rapi, dan berusaha mengusir kegelisahan yang mengganggunya. Reza muncul beberapa menit kemudian, dengan wajah penuh senyum, tampaknya tidak menyadari kekacauan yang terjadi dalam hati Alya.

“Selamat pagi, sayang,” ucap Reza dengan lembut, mencium pipi Alya sebelum duduk di meja makan. “Ada yang menarik di pekerjaanmu hari ini?”

Alya tersenyum tipis. “Pagi, Reza. Hmm, ya, ada beberapa hal baru yang harus aku kerjakan.” Ia mencoba berbicara seolah-olah tidak ada yang berubah, seolah tidak ada keraguan yang menggerogoti pikirannya. Namun, jauh di dalam hatinya, Alya merasa seperti berbohong. Setiap kata yang ia ucapkan terasa kosong. Ia tahu ia tidak bisa terus seperti ini, hidup dalam kebohongan kecil kepada dirinya sendiri.

Reza terus berbicara tentang proyek di kantor, tetapi Alya hanya mendengarkan dengan setengah perhatian. Pikirannya melayang jauh, pada Damar, pada percakapan mereka tentang masa depan, tentang dunia yang lebih besar yang bisa mereka ciptakan bersama. Damar begitu bersemangat, begitu hidup. Setiap kali ia bersama Damar, ada perasaan seperti dunia ini terbuka lebar dan segala kemungkinan terasa mungkin. Tapi kemudian ia teringat pada Reza—pria yang selalu ada di sampingnya, yang selalu melindunginya, yang memberinya rasa aman dan stabilitas.

Alya merasa seperti berada di persimpangan jalan, terjebak dalam dilema yang semakin membebani dirinya.

Setelah beberapa hari berlalu, Alya memutuskan untuk berbicara dengan Reza. Ia tahu ia tidak bisa terus mengabaikan perasaannya. Menunda-nunda hanya akan membuatnya semakin tersiksa. Hari itu, setelah makan malam yang tenang, Alya memutuskan untuk membuka pembicaraan.

“Reza,” Alya memulai, suaranya agak ragu. “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”

Reza menatapnya dengan perhatian, menunggu kelanjutan kalimat Alya. “Tentu, sayang. Ada apa? Kau tampak seperti ada yang mengganggumu.”

Alya menarik napas panjang. Kata-kata yang ingin ia ucapkan terasa begitu sulit. Ia merasa takut akan reaksi Reza, takut melukai perasaan pria yang telah menemaninya selama ini.

“Sebenarnya… aku merasa seperti ada sesuatu yang kurang,” Alya mengungkapkan, suaranya semakin pelan. “Aku… aku merasa terjebak, Reza. Aku merasa seperti aku tidak bisa menemukan diriku sendiri lagi.”

Reza terdiam sejenak, mencerna kata-kata Alya. Wajahnya sedikit berubah, dan Alya bisa melihat ketegangan mulai muncul di mata Reza. “Apa maksudmu, Alya? Apa yang kurang?”

Alya menghindari tatapan Reza. Ia merasa hatinya semakin berat. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana… Aku merasa seperti aku telah kehilangan bagian dari diriku, bagian yang dulu membuatku merasa hidup. Semua ini terasa begitu… biasa saja.”

Reza mendekat, menggenggam tangan Alya dengan lembut. “Alya, jika ada yang mengganggumu, kau bisa menceritakannya. Aku di sini untukmu. Tapi, kita sudah membangun banyak hal bersama. Tidak bisakah kita menghadapinya bersama-sama?”

Alya merasa hatinya bergejolak. Ia ingin berkata lebih banyak, tetapi kata-kata itu terasa seperti pisau yang tajam. Bagaimana ia bisa mengungkapkan bahwa perasaannya terhadap Damar telah tumbuh begitu kuat? Bahwa ada gairah yang belum pernah ia rasakan dengan Reza, gairah yang mengingatkan Alya pada bagian dirinya yang telah lama terkubur.

Namun, Alya tidak bisa mengatakan itu. Ia hanya bisa menunduk dan mengangguk pelan. “Aku… aku hanya perlu waktu untuk berpikir, Reza.”

Reza tampaknya memahami. Ia melepaskan genggaman tangannya dan memberi Alya ruang. “Baiklah. Aku akan memberimu waktu. Tapi aku berharap kita bisa melewati ini bersama. Aku tidak ingin kehilanganmu, Alya.”

Alya merasa dadanya sesak. Bagaimana bisa ia melukai pria yang begitu penuh perhatian padanya, yang sudah banyak memberi cinta dan pengertian? Namun, ia tahu ia tidak bisa terus berbohong pada dirinya sendiri. Perasaannya terhadap Damar terlalu kuat untuk diabaikan.

Keesokan harinya, Alya menerima pesan dari Damar. Kali ini, bukan tentang proyek. Pesan itu lebih pribadi, lebih intim, meskipun Damar tidak pernah mengungkapkan perasaannya secara langsung.

“Alya,” tulis Damar, “Aku tahu kita sedang sibuk dengan pekerjaan, tapi aku ingin tahu apakah kamu ingin pergi keluar sebentar? Mungkin makan malam, hanya kita berdua. Aku rasa ada banyak hal yang belum kita bicarakan.”

Alya membaca pesan itu berulang kali. Hatinya berdegup kencang. Ia tahu ia harus berhati-hati, tetapi semakin lama, semakin sulit untuk menahan perasaan yang tumbuh di dalam dirinya. Perasaan itu tidak bisa ia kendalikan, dan ia tahu, pada titik tertentu, ia harus membuat keputusan.

Apakah ia akan terus bersama Reza, menjaga kenyamanan yang telah mereka bangun selama ini? Ataukah ia akan mengikuti dorongan hatinya, memilih Damar dan hidup dalam ketidakpastian, tetapi dengan semangat yang menggebu-gebu, dengan potensi untuk mengejar impian yang lebih besar?

Alya tahu bahwa pilihan itu tidak akan mudah. Tidak ada yang bisa dijamin. Tetapi perasaan di hatinya semakin jelas—ia tidak bisa terus hidup dalam kebohongan, tidak bisa terus terjebak dalam kenyamanan tanpa menemukan siapa dirinya yang sebenarnya.

Cinta yang terbagi, antara kenyamanan dan gairah, antara rasa aman dan kebebasan, kini membuatnya harus memilih. Namun, apakah ia siap menghadapi konsekuensi dari pilihannya?

Keputusan itu harus segera dibuat.*

Bab 4: Menghadapi Kenyataan

Pagi itu, Alya merasa udara di sekitar rumahnya lebih berat dari biasanya. Matahari yang memancar melalui jendela kamar tidur seakan tidak mampu mengusir kegelisahan yang menyelubungi hatinya. Ia duduk di meja dapur, menatap cangkir kopi yang sudah lama dingin. Reza sedang bersiap-siap untuk pergi ke kantor, seperti biasanya. Suara klakson mobil di luar apartemen dan langkah-langkah Reza yang cepat memberi kesan bahwa hari ini tidak ada yang berbeda.

Namun, semuanya terasa berbeda bagi Alya. Perasaan yang ia pendam semakin sulit untuk diabaikan. Percakapan dengan Reza semalam masih bergema dalam pikirannya, begitu juga pesan dari Damar yang membuat hatinya terus berdebar. Alya tahu bahwa ia tidak bisa terus menghindar dari kenyataan. Kehidupannya tidak lagi bisa dipertahankan dalam kebohongan, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap Reza.

Reza baru saja selesai mengenakan jas kerjanya dan menyambar tas dari meja. Ia mendekati Alya yang duduk dengan ekspresi kosong di wajahnya. “Aku berangkat dulu ya, sayang. Aku akan coba pulang lebih awal, jadi kita bisa makan malam bersama,” kata Reza, menyapanya dengan lembut.

Alya hanya mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan gejolak di dalam hatinya. “Oke, hati-hati di jalan,” jawabnya, suara terasa berat.

Reza memberi senyum hangat sebelum keluar dari apartemen mereka, meninggalkan Alya dengan pikirannya yang semakin kacau. Begitu pintu tertutup, Alya merasakan sebuah ketegangan yang mulai mencekik. Ia tidak bisa terus menghindar dari kenyataan. Ia harus berbicara dengan Reza. Ia tidak bisa menyimpan rahasia ini lebih lama lagi.

Hari itu berjalan lambat, meskipun pekerjaan di kantor Alya cukup menyibukkan. Seiring berjalannya waktu, rasa cemas yang menghantui semakin sulit diabaikan. Setiap kali ia menatap layar komputernya, pikirannya kembali pada Damar—pada cara Damar melihat dunia dengan semangat dan gairah yang tidak pernah ia rasakan bersama Reza. Damar memberi Alya sebuah perspektif yang baru, perspektif yang membuatnya merasa lebih hidup, lebih berani, lebih nyata.

Namun, di balik itu semua, ia juga merasakan penyesalan yang mendalam. Reza adalah pria yang telah memberi segalanya untuknya, yang selalu ada di saat-saat sulit, yang memberikan kenyamanan dan stabilitas. Bagaimana bisa ia memilih sesuatu yang tidak pasti, sesuatu yang baru dan penuh gairah, sementara di sisi lain, ada Reza yang begitu baik dan penuh kasih?

Sore itu, saat Alya kembali ke rumah, ia merasa detak jantungnya semakin cepat. Ia tahu ini adalah saat yang harus ia hadapi, saat di mana ia tidak bisa lagi bersembunyi dari kenyataan yang ada. Ketika ia membuka pintu apartemen, Reza sudah berada di ruang tamu, duduk di sofa sambil membaca buku. Senyum yang ia tunjukkan membuat hati Alya semakin berat. Semua yang ada di hadapannya terasa seperti sebuah ilusi yang harus dihancurkan, tetapi ia tahu, semakin lama ia menunda, semakin sakit hatinya.

“Alya, kamu kenapa? Tadi pagi kamu tampak sedikit cemas,” Reza bertanya, menatapnya dengan penuh perhatian.

Alya menatap Reza, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Tapi kata-kata itu terasa begitu sulit, seperti sebuah beban yang tak mampu ia bawa lebih lama lagi.

“Reza, aku rasa kita perlu bicara,” akhirnya Alya membuka suara, suara yang agak serak.

Reza mengangkat alisnya, tampak terkejut. “Tentang apa? Ada yang salah?” Ia menutup bukunya dan menatap Alya dengan cemas.

Alya menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. “Aku… aku merasa seperti aku tidak bisa terus seperti ini. Aku merasa terjebak, Reza. Aku merasa aku tidak bisa lagi menjalani hidup yang sama denganmu, meskipun aku tahu itu sangat menyakitkan.”

Reza terdiam, matanya mulai menunjukkan tanda-tanda kebingungan dan kekhawatiran. “Apa maksudmu? Kalau ada masalah, kita bisa selesaikan bersama, kan? Kita bisa bicara, kita bisa mencari jalan keluar.”

Alya menunduk, mengusap wajahnya dengan tangan. “Aku tahu, Reza, aku tahu kamu selalu ada untukku. Tapi… aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Aku… aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini lagi.”

Reza mengerutkan kening, bingung. “Perasaan apa, Alya?”

Alya menatap Reza dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Perasaan tentang Damar,” katanya pelan, merasa kata-kata itu seperti pisau yang menancap di hatinya. “Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar, lebih hidup, yang aku rasakan bersamanya. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi aku tidak bisa terus berbohong pada diriku sendiri.”

Reza terpaku sejenak, matanya terbuka lebar seolah mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Damar?” Ia mengulang nama itu dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Kau… kau merasa lebih baik dengannya daripada denganku?”

Alya menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir keluar. “Aku tidak ingin melukai perasaanmu, Reza. Aku benar-benar tidak ingin itu. Tapi perasaan ini sudah tidak bisa aku hindari lagi. Aku merasa terjebak di antara dua dunia, dan aku tidak tahu harus bagaimana.”

Suasana hening sejenak. Reza menatap Alya, seolah mencoba menemukan jawaban atas kata-kata yang baru saja keluar dari mulut wanita yang sudah lama ia cintai. Ada kesedihan yang tergambar jelas di wajahnya, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang, meskipun hatinya hancur.

“Jadi, kamu memilih dia?” tanya Reza dengan suara yang penuh ketegangan, namun ada juga keputusasaan yang terdengar di dalamnya.

Alya menunduk, merasa sangat bersalah. “Aku tidak tahu, Reza. Aku tidak ingin memilih di antara kalian berdua. Aku hanya… aku merasa seperti aku harus menemukan jalan keluar dari semua ini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku terus bertahan di sini.”

Reza menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan diri. “Kamu tahu, Alya, aku selalu berusaha yang terbaik untuk kita. Aku tidak pernah meminta lebih dari itu. Tapi jika kamu merasa seperti ini, jika kamu merasa lebih hidup bersama orang lain, aku… aku tidak tahu harus berkata apa.”

Alya merasakan hatinya semakin sakit. “Reza, aku tidak ingin menyakitimu. Aku tidak ingin membuat semuanya jadi lebih rumit. Tapi aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku tidak bisa memberikanmu apa yang kamu butuhkan lagi.”

Reza terdiam, lalu berdiri perlahan. “Aku… aku mengerti,” katanya dengan suara yang berat. “Aku tidak akan memaksa kamu untuk tetap di sini jika hatimu sudah tidak di sini lagi. Tetapi, aku minta maaf kalau aku tidak bisa memberikan apa yang kamu inginkan.”

Alya merasakan air mata yang mulai mengalir di pipinya. “Reza, aku minta maaf. Aku minta maaf jika aku telah mengecewakanmu.”

Reza menatap Alya dengan tatapan yang kosong, seperti sedang berusaha menerima kenyataan yang baru saja terungkap. “Tidak ada yang perlu dimaafkan, Alya. Kamu tidak perlu merasa bersalah. Jika memang ini yang kamu rasakan, maka aku harus menghormatinya.”

Alya hanya bisa terdiam, merasakan betapa sakitnya mendengar kata-kata itu. Tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam kebohongan. Ia harus menghadapi kenyataan, meskipun itu berarti kehilangan sesuatu yang sangat berarti dalam hidupnya.

Hari itu, Alya tahu bahwa tidak ada jalan kembali. Ia telah membuat keputusan, meskipun itu sangat sulit, meskipun itu mengandung banyak kehilangan. Tetapi hidupnya tidak bisa lagi dipertahankan dalam ketidakpastian. Keputusan untuk menghadapi kenyataan, meskipun pahit, adalah satu-satunya pilihan yang tersisa.*

Bab 5: Akhir yang Terbuka

Malam itu, setelah percakapan panjang dengan Reza, Alya merasa seperti beban yang selama ini mengendap dalam dadanya akhirnya terangkat. Namun, rasa lega itu datang dengan harga yang sangat tinggi. Ia duduk di balkon apartemennya, menatap kota yang ramai di bawah sana, namun hatinya terasa sepi. Terkadang, kita perlu melepaskan sesuatu yang kita cintai untuk bisa menemukan diri kita yang sebenarnya, tetapi keputusan itu tetap tidak mudah.

Reza sudah pergi, mengemas barang-barangnya, dan pergi untuk sementara waktu. Alya tidak tahu apakah mereka akan kembali seperti dulu atau jika perpisahan ini adalah titik akhir dari hubungan mereka. Yang ia tahu, saat itu adalah satu langkah besar yang telah ia ambil. Namun, ada perasaan lain yang mengusik pikirannya: Damar. Keputusan yang Alya buat tidak serta-merta berarti ia memilih Damar, tetapi itu juga tidak berarti ia bisa mengabaikan perasaan yang semakin tumbuh di dalam dirinya. Terkadang, perasaan datang begitu cepat dan kuat, sehingga sulit untuk menentukan arah yang benar.

Pesan dari Damar yang mengundangnya untuk makan malam bersama beberapa hari lalu masih terngiang di telinganya. “Aku ingin berbicara lebih banyak, Alya. Tentang kita,” tulis Damar, kalimat itu seperti menggoda rasa penasaran yang belum sepenuhnya terjawab. Alya tahu, Damar tidak mengungkapkan perasaannya secara langsung, tetapi kata-kata itu, cara Damar berbicara, seolah memberi ruang bagi Alya untuk meraba kemungkinan yang lebih besar antara mereka berdua.

Namun, apakah ia siap untuk itu? Bagaimana jika perasaan ini hanya muncul karena ia merasa kosong setelah keputusan besar yang ia ambil? Bagaimana jika Damar hanya sebuah pelarian sementara, sebuah cara untuk mengisi kekosongan yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya?

Alya menatap ponselnya yang tergeletak di sampingnya. Pesan dari Damar masih ada di sana, belum dibaca, belum dibalas. Ia menarik napas panjang, merasa bingung. Ia bisa merasakan bahwa hidupnya kini ada di persimpangan, dan setiap langkah yang ia ambil akan mengarah ke sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak bisa ia prediksi. Keputusan ini tidak akan mengembalikan apa yang telah hilang, tidak ada cara untuk kembali ke titik yang sama. Yang bisa ia lakukan adalah memilih apa yang akan datang, meskipun itu penuh dengan ketidakpastian.

Beberapa hari setelah pertemuan dengan Reza, Alya memutuskan untuk pergi ke tempat yang biasa mereka kunjungi—kafe kecil di sudut kota, tempat di mana mereka pertama kali bertemu setelah konferensi teknologi. Alya tahu bahwa ia harus menemui Damar, tetapi ia juga tahu bahwa pertemuan ini bukan sekadar tentang pekerjaan atau proyek yang sedang mereka kerjakan. Ini lebih tentang perasaan yang belum ia pahami sepenuhnya, perasaan yang tumbuh di dalam dirinya sejak pertama kali berbicara dengan Damar. Perasaan yang semakin sulit ia abaikan.

Damar sudah duduk di meja yang mereka pilih saat itu, dengan secangkir kopi di depannya. Wajahnya terlihat lebih serius daripada biasanya, dan ketika melihat Alya datang, ia tersenyum tipis, tetapi ada kesan keraguan di mata Damar yang tidak bisa disembunyikan.

“Terima kasih sudah datang, Alya,” ucap Damar, suaranya lebih rendah dari biasanya. “Aku tahu kamu punya banyak hal yang harus dipikirkan.”

Alya duduk di seberangnya, mencoba tersenyum meskipun hatinya masih berdebar. “Aku juga harus berterima kasih. Sejujurnya, aku masih merasa cemas tentang banyak hal.”

Damar mengangguk, memandang Alya dengan perhatian. “Aku mengerti, Alya. Apa pun yang terjadi, aku tidak ingin kamu merasa tertekan. Kita bisa saja bicara tentang hal-hal lain, atau bahkan hanya diam sebentar.”

Alya menarik napas panjang, matanya menatap kopi yang ada di hadapannya. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana, Damar. Aku… baru saja mengalami banyak hal. Aku merasa seperti hidupku tiba-tiba berantakan.”

Damar menatapnya dengan lembut. “Aku tidak ingin menambah bebanmu, Alya. Aku hanya ingin kamu tahu, apa pun yang kamu pilih, aku akan mendukungmu. Aku tidak ingin kamu merasa terjebak di antara dua dunia.”

Alya memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan diri. Kata-kata Damar terdengar begitu tulus, dan itu menyentuh hatinya. Tetapi, hatinya masih berat, bingung. “Aku merasa seperti aku baru saja membuat keputusan besar, tetapi aku tidak tahu apakah itu keputusan yang benar. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya.”

Damar menundukkan kepala, memberi ruang bagi Alya untuk berbicara lebih banyak jika ia ingin. Namun, ia tetap menunggu dengan sabar, tidak memaksa, dan itu membuat Alya merasa lebih dihargai daripada sebelumnya.

“Reza dan aku… kami sudah berpisah,” akhirnya Alya mengatakannya, meskipun suara itu terlepas dengan berat. “Aku merasa tidak bisa lagi melanjutkan hubungan itu. Aku merasa ada sesuatu yang hilang, dan aku tidak bisa mengabaikannya lagi.”

Damar tetap diam sejenak, memberi Alya waktu untuk mengolah kata-katanya sendiri. “Aku tahu itu tidak mudah, Alya. Tapi kamu sudah membuat keputusan. Yang penting sekarang adalah bagaimana kamu akan melangkah ke depan.”

Alya menatap Damar dengan mata yang penuh kebingungan. “Bagaimana aku tahu jika aku memilih hal yang benar? Aku tahu aku merasa sesuatu yang kuat antara kita, Damar, tapi… aku tidak ingin berlari ke sesuatu yang hanya akan berakhir mengecewakan.”

Damar tersenyum tipis, menghela napas sebelum berbicara. “Alya, hidup itu tidak pernah menawarkan jawaban yang pasti. Tidak ada cara untuk tahu pasti apakah kita memilih jalan yang benar atau salah. Yang kita punya hanyalah keberanian untuk melangkah dan mencoba. Keputusanmu adalah milikmu sendiri. Jangan biarkan keraguan orang lain, atau keraguan dari dirimu sendiri, menghalangi langkahmu.”

Alya terdiam. Kata-kata itu mengena, tetapi juga menambah kebingungannya. Damar benar. Tidak ada yang pasti. Ia tidak bisa mengendalikan masa depan, tidak bisa menjamin bahwa perasaan yang ia rasakan kini akan bertahan. Yang bisa ia lakukan adalah memilih untuk hidup dengan perasaan itu, untuk merasakannya dan menjalani apa pun yang datang setelahnya.

Setelah beberapa saat, Damar mengangkat cangkir kopinya dan memandang Alya dengan tatapan yang hangat. “Kita tidak perlu terburu-buru untuk membuat keputusan, Alya. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa apa pun yang terjadi, aku di sini. Tidak ada tekanan, hanya ruang untuk kamu menjadi dirimu sendiri.”

Alya tersenyum kecil, merasa seolah-olah ada sesuatu yang melegakan dalam hatinya. Mungkin tidak ada jawaban pasti untuk dilema ini. Mungkin hidup memang penuh dengan ketidakpastian dan pilihan yang tidak bisa kita prediksi. Tapi yang Alya tahu sekarang adalah bahwa ia tidak sendiri dalam perjalanannya. Damar, dengan segala keseriusan dan kebijaksanaannya, telah memberi ruang untuknya untuk menghadapinya dengan lebih tenang.

“Terima kasih, Damar,” ucap Alya pelan, merasa sedikit lebih ringan. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku akan mencoba untuk menjalani ini dengan lebih baik.”

Damar tersenyum, matanya menyiratkan sebuah harapan. “Kita lihat saja ke mana perjalanan ini membawa kita, Alya.”

Saat itu, Alya merasa sebuah pintu baru terbuka di hadapannya. Tidak ada jaminan atau kepastian, hanya perjalanan yang dimulai dengan langkah pertama, meskipun itu penuh dengan ketidakpastian. Tetapi untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Alya merasa siap untuk melangkah ke dalam ketidakpastian itu, karena ia tahu, meskipun banyak yang belum pasti, ia tidak perlu melaluinya sendirian.

Dan dengan itu, cerita Alya belum berakhir—hanya baru dimulai.***

—————-THE END—————

Source: DELA SAYFA
Tags: #cintasegita#dilemahati.#keputusansulit#kehidupanpencintaan#perasaanterluka
Previous Post

KETIKA MATA BERTEMU

Next Post

DENDAM DIBALIK JANJI

Related Posts

” RUANG RINDU DI ANTARA KITA “

” RUANG RINDU DI ANTARA KITA “

April 30, 2025
ANTARA KAMU, DIA DAN LUKA YANG TERTINGGI

ANTARA KAMU, DIA DAN LUKA YANG TERTINGGI

April 29, 2025
CINTA SEGITIGA

CINTA SEGITIGA

April 28, 2025
pilihan sulit

pilihan sulit

April 26, 2025
CINTA TERBELAH DUA

CINTA TERBELAH DUA

April 25, 2025
DILEMA CINTA SEGITIGA

DILEMA CINTA SEGITIGA

April 16, 2025
Next Post
DENDAM DIBALIK JANJI

DENDAM DIBALIK JANJI

DIANTARA MEREKA

RAHASIA DI BALIK TIRAI

RASA YANG TUMBUH PERLAHAN

RASA YANG TUMBUH PERLAHAN

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id