Daftar Isi
Bab 1: Kenangan yang Tertinggal
Rani: Seorang wanita muda yang cerdas dan penuh semangat, tinggal di Jakarta. Mungkin ia bekerja sebagai seorang profesional muda atau mahasiswa yang sibuk.
Dimas: Seorang pria yang tinggal di Yogyakarta, yang memiliki kehidupan sederhana namun penuh dengan mimpi dan ambisi.
Ceritakan bagaimana Rani dan Dimas bertemu dalam sebuah pertemuan tak sengaja mungkin melalui sebuah acara, perjalanan, atau melalui pertemuan online yang kemudian menjadi kenyataan.
Kesamaan dan Koneksi Awal: Jelaskan bagaimana mereka menemukan kesamaan dan koneksi mendalam yang membuat mereka semakin tertarik satu sama lain, meskipun baru pertama kali bertemu.
Setelah pertemuan tersebut, jelaskan bagaimana hubungan mereka dimulai meskipun Rani tinggal di Jakarta dan Dimas di Yogyakarta. Perkenalkan ide hubungan jarak jauh, yang akan menjadi tema besar dalam cerita.
Bab 2: Cinta yang Tumbuh di Antara Waktu dan Ruang
Gambarkan bagaimana mereka mulai menjalin komunikasi melalui pesan singkat, telepon, dan video call. Ceritakan tentang kedekatan yang mereka rasakan meskipun terpisah jarak.
Perlihatkan perasaan rindu yang mulai muncul. Meskipun hanya berbicara lewat layar, mereka mulai merasa seolah-olah mereka lebih dekat.
Ceritakan bagaimana masing-masing karakter beradaptasi dengan kehidupan mereka yang sibuk sambil menjaga hubungan mereka tetap hidup.
Gambarkan konflik internal yang mereka rasakan—perasaan kesepian, keraguan, dan tantangan-tantangan dalam hubungan jarak jauh.
Di bagian ini, tunjukkan bagaimana salah satu atau keduanya mulai merasakan ketidakpastian. Mungkin Rani mulai mempertanyakan apakah Dimas masih merasakan hal yang sama, atau Dimas mulai merasa kesulitan menjaga komunikasi karena kesibukannya.
Dimas menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Di sana, tertera sebuah pesan singkat dari Rani yang sudah lama tidak ia terima. Beberapa tahun telah berlalu sejak mereka memutuskan untuk berpisah, tetapi entah mengapa pesan itu tetap terasa begitu nyata.
“Dimas, aku ingin bicara. Ada hal yang ingin aku katakan. Mungkin… kita bisa bertemu lagi?”
Dimas terdiam lama. Kata-kata itu datang seperti angin yang tiba-tiba berhembus di tengah keheningan yang sudah lama ia rasakan. Sejak perpisahan mereka, Dimas menganggap bahwa kenangan bersama Rani akan terus tinggal di dalam hatinya—sebagai kisah indah yang pernah ada, yang kini terbungkus rapat dalam lembaran waktu yang tak bisa kembali. Namun, pesan itu… membuat semuanya seakan berubah.
Jarak yang terentang di antara mereka selama ini bukanlah sekadar soal ruang fisik. Bukan hanya tentang kota yang memisahkan mereka, tetapi juga tentang waktu yang terus berjalan. Waktu yang terus membawa mereka masing-masing ke dunia yang berbeda, ke kehidupan yang seakan-akan sudah dipenuhi dengan rutinitas dan kebiasaan baru. Tetapi, entah kenapa, Dimas merasa ada sesuatu yang tak bisa dilupakan begitu saja. Ada sesuatu dalam dirinya yang merasa tertarik untuk melihat Rani sekali lagi. Mungkin ini adalah kesempatan untuk menutup bab yang selama ini terbuka tanpa akhir.
Pikirannya mulai mengembara kembali ke masa lalu. Ke waktu-waktu yang terasa begitu indah, namun juga penuh dengan rasa sakit yang tak bisa diungkapkan. Mereka bertemu di saat yang tidak tepat, atau mungkin memang tak ada waktu yang tepat untuk sebuah kisah cinta yang seharusnya tidak terjadi. Namun, meskipun jarak memisahkan mereka, meskipun waktu terus bergerak tanpa henti, perasaan itu tetap tumbuh. Perasaan yang bahkan tak bisa Dimas pahami sepenuhnya.
Rani, dengan segala kehangatan yang selalu ia bawa, dengan senyumnya yang tak pernah terlupakan, adalah bagian dari hidup Dimas yang sulit dihapus begitu saja. Mereka pernah saling berbagi mimpi dan harapan, namun apa yang tak pernah mereka perhitungkan adalah kenyataan hidup yang keras. Mungkin cinta mereka memang terhalang oleh banyak hal—terutama oleh ruang dan waktu yang tidak pernah bisa diprediksi. Tapi cinta itu, meski jarak memisahkan, tetap tumbuh di dalam hati mereka berdua. Mungkin dalam bentuk yang berbeda, namun tetap ada.
Dimas memutuskan untuk membalas pesan itu. Mungkin ini saatnya untuk bertemu, untuk melihat apa yang masih tersisa di antara mereka. Mungkin, hanya mungkin, mereka bisa menyelesaikan semua yang belum sempat mereka bicarakan.
Dua hari kemudian, Dimas dan Rani akhirnya bertemu di sebuah kafe yang mereka pilih untuk mengobrol. Kafe kecil di sudut kota ini adalah tempat yang pernah mereka kunjungi dulu—tempat yang menyimpan banyak kenangan tentang tawa, cerita, dan perasaan yang dulu begitu murni. Seperti saat pertama kali mereka bertemu, suasana di kafe itu terasa begitu familiar. Meski ada banyak orang di sekitar mereka, seakan-akan dunia hanya milik mereka berdua.
Rani sudah duduk di sebuah meja pojok, menunggu dengan wajah yang sedikit tegang. Dimas merasa ragu sejenak saat melihatnya. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali mereka bertemu, dan tentu saja, banyak yang telah berubah. Namun, mata Rani yang masih memancarkan kehangatan, senyumnya yang selalu begitu menenangkan, membuat Dimas merasa seolah-olah tidak ada waktu yang terlewat di antara mereka.
“Rani…” suara Dimas keluar pelan saat ia mendekat. Rani menoleh dan tersenyum, namun senyum itu sedikit terkesan dipaksakan, seolah ada sesuatu yang belum bisa ia ungkapkan.
“Selamat datang, Dimas,” jawab Rani dengan suara lembut, namun ada rona kesedihan di matanya. “Aku tahu, kita sudah lama tidak bertemu. Aku… aku hanya ingin berbicara. Mungkin ini saatnya untuk membuka kembali lembaran yang dulu kita tutup.”
Dimas duduk di seberangnya, mencoba meredakan kecemasan di dadanya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia tahu bahwa pertemuan ini akan mengungkapkan lebih banyak hal daripada yang ia duga. Mereka berdua saling terdiam sejenak, masing-masing berusaha mengumpulkan kata-kata.
Rani akhirnya memecah keheningan. “Aku ingin meminta maaf, Dimas. Waktu itu, saat kita memutuskan untuk berpisah… aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku merasa terlalu banyak yang menghalangi kita—terlalu banyak yang tidak bisa kita kendalikan. Dan aku tahu, keputusan itu tidak mudah untukmu.”
Dimas menghela napas panjang. “Aku paham, Rani. Waktu itu, aku memang merasa sangat kehilangan. Tapi aku juga tahu bahwa kita berdua mencoba yang terbaik. Hanya saja, mungkin kita tidak bisa menyamakan cara kita menghadapi jarak dan waktu.”
Rani mengangguk perlahan. “Iya, aku tahu itu. Aku tidak pernah melupakan kamu, Dimas. Selama ini, aku selalu merasa ada bagian dari diriku yang masih tertinggal bersamamu. Tapi aku juga takut, takut kalau kita mencoba lagi, kita akan kembali ke titik yang sama—di mana kita harus memilih antara cinta dan kenyataan.”
Dimas merasa hati nya sedikit teriris mendengar kata-kata Rani. Kenyataan memang sering kali menjadi hal yang sulit untuk diterima, dan meskipun mereka telah berpisah, perasaan itu tetap ada, tetap hidup di dalam mereka berdua. “Mungkin kita memang tidak bisa mengubah kenyataan, Rani,” jawab Dimas pelan, “tapi setidaknya kita bisa memberi kesempatan pada diri kita untuk melihat apakah kita masih bisa berada di jalur yang sama.”
Mereka terdiam sejenak, tenggelam dalam perasaan masing-masing. Dimas merasa ada sesuatu yang mengalir di antara mereka, sebuah aliran perasaan yang belum pernah padam, meskipun mereka telah terpisah oleh waktu dan jarak. Rani juga merasakannya, meskipun ia takut untuk mengakui itu. Mereka berdua, seakan-akan, telah tumbuh menjadi dua individu yang berbeda, tetapi ada hal-hal yang tak bisa terpisahkan, bahkan oleh waktu.
Beberapa saat kemudian, mereka mulai berbicara lebih banyak. Tentang hidup mereka setelah berpisah, tentang apa yang mereka alami, dan bagaimana perasaan mereka tentang semuanya. Dimas menceritakan bagaimana ia merasa kesepian di kota baru, bagaimana ia mencoba bertahan dengan rutinitas yang padat, tetapi tetap merasa ada yang kurang. Rani pun mengungkapkan perasaan yang sama—meskipun ia mencoba menjalani hidup dengan lebih fokus pada karir dan mimpinya, ada bagian dalam dirinya yang selalu merindukan Dimas.
“Sebenarnya, aku selalu merasa ada yang kurang,” kata Rani, dengan suara yang sedikit bergetar. “Kadang, meskipun aku dikelilingi banyak orang, aku tetap merasa sendirian. Dan itu semua karena aku tidak bisa benar-benar menghilangkan kamu dari pikiranku.”
Dimas memandang Rani dalam diam. Perasaan yang dulu pernah mereka bagi, kini kembali mengalir begitu alami. Mereka berdua tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kenangan—sesuatu yang masih terhubung di antara mereka, meskipun tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Di tengah percakapan mereka yang mengalir begitu lancar, Dimas mulai menyadari satu hal: meskipun jarak memisahkan mereka, meskipun waktu telah mengubah banyak hal, cinta yang tumbuh di antara mereka tidak pernah benar-benar hilang. Cinta itu hanya bersembunyi dalam bentuk yang berbeda, dalam ruang yang berbeda, tetapi tetap ada—tumbuh di antara waktu dan ruang yang tak bisa mereka kendalikan.
Namun, mereka juga sadar bahwa ada banyak hal yang harus mereka pertimbangkan. Masa lalu, kenangan, dan keputusan yang telah mereka buat. Mereka tak bisa kembali ke masa lalu, dan mereka tahu itu. Tetapi, meskipun begitu, ada kemungkinan untuk sebuah kisah baru. Sebuah kisah yang mungkin tidak akan sama dengan yang dulu, tetapi masih bisa menjadi bagian dari hidup mereka yang lebih baik.
Malam itu, mereka berpisah dengan perasaan yang campur aduk—rindu, harapan, dan kenyataan yang harus dihadapi. Tapi satu hal yang pasti: cinta yang tumbuh di antara waktu dan ruang,meskipun terhalang oleh banyak hal, tidak akan pernah bisa mati begitu saja.*
Bab 3: Ujian Cinta dan Rasa Rindu
Gambarkan bagaimana salah satu karakter, mungkin Rani, mengalami momen emosional atau masalah yang membuat hubungan mereka diuji—bisa jadi karena perasaan rindu yang semakin mendalam atau kesulitan dalam komunikasi.
Salah satu karakter mungkin mengungkapkan perasaannya dengan penuh keraguan dan ketakutan akan masa depan hubungan ini.
Ceritakan tentang adanya kesalahpahaman kecil yang sempat menambah jarak antara mereka, misalnya, ketidakjelasan tentang kesetiaan atau rencana masa depan yang tidak terkoordinasi dengan baik.
Di sini, tunjukkan bagaimana mereka akhirnya berbicara jujur satu sama lain. Mereka membuka perasaan, meredakan ketegangan, dan sepakat untuk lebih mengutamakan komunikasi dan saling percaya.
Setelah beberapa bulan menjalani hubungan jarak jauh, Rani dan Dimas mulai merasakan bagaimana beratnya menghadapi ujian-ujian yang datang. Mereka berdua adalah pasangan yang sebelumnya selalu bisa bertemu setiap minggu, namun setelah Dimas mendapat tawaran pekerjaan di luar kota, kehidupan mereka pun berubah. Jarak yang memisahkan kini menjadi tembok yang harus mereka hadapi bersama. Begitu banyak hal yang perlu dipertahankan, namun tidak semua bisa didapat dengan mudah.
Rani dan Dimas mulai menjalani hubungan LDR dengan penuh semangat, saling menguatkan meskipun tahu tantangan besar sudah menunggu di depan. Perpisahan pertama kali di bandara terasa begitu menyakitkan bagi Rani. Dia melihat Dimas melambaikan tangan dari balik kaca, wajahnya tampak tegar, tapi ada kerutan di dahi yang tidak bisa disembunyikan. Rani berusaha tersenyum meskipun hatinya berat, tahu bahwa mereka akan terpisah untuk waktu yang tidak bisa dipastikan.
“Dimas, kita akan baik-baik saja, kan?” tanya Rani, mencoba meyakinkan diri sendiri lebih dari apapun.
Dimas menggenggam tangan Rani dengan erat sebelum akhirnya melepaskannya. “Kita akan baik-baik saja, Ran. Aku janji, kita pasti akan selalu ada buat satu sama lain, meskipun jarak memisahkan.”
Namun, janji-janji itu hanya bisa bertahan seiring berjalannya waktu. Setelah seminggu berlalu, Rani mulai merasakan perbedaan yang besar dalam hidupnya. Rutinitasnya menjadi sepi, kesibukannya di kantor mulai terasa lebih berat tanpa adanya pesan-pesan manis dari Dimas yang biasa datang di tengah hari, atau bahkan telepon malam hari yang menjadi rutinitas mereka.
Pada awalnya, komunikasi mereka berjalan lancar. Pesan-pesan singkat, video call beberapa kali seminggu, dan telepon yang kadang muncul di tengah malam membuat mereka merasa seolah-olah tidak ada jarak yang menghalangi. Tapi lama kelamaan, jadwal kerja Dimas yang semakin padat membuat komunikasi mereka semakin terbatas. Rani merindukan suara Dimas, merindukan tawa yang selalu membuat hatinya tenang.
Suatu hari, Rani menerima pesan dari Dimas yang sudah lama tidak menghubunginya.
“Maaf, Ran. Aku sedang sibuk banget, dan aku tahu aku sudah lama nggak ngabarin kamu. Aku cuma pengen kamu tahu, aku mikirin kamu, selalu. Aku kangen.”
Pesan itu, meskipun singkat, langsung membuat hati Rani berdebar. Begitu lama dia menunggu, dan begitu sederhana cara Dimas mengungkapkan rasa rindunya. Rani tahu Dimas sangat sibuk dengan pekerjaannya, tapi di sisi lain, ada perasaan kesepian yang mulai menghantui hatinya.
“Aku juga kangen, Dim. Aku cuma nggak tahu apa kita bisa bertahan dengan kondisi kayak gini.”
Malam itu, mereka saling berbicara lebih lama lewat video call. Dimas menjelaskan betapa sibuknya dia, bagaimana dia hampir tidak punya waktu untuk dirinya sendiri. Tapi dia berjanji untuk selalu berusaha memberikan waktu untuk Rani, meski hanya sekejap. Rani pun mencoba untuk mengerti, meskipun dalam hati ada perasaan rindu yang sangat dalam.
Semakin lama, keraguan mulai muncul di benak Rani. Apakah hubungan ini masih bisa bertahan? Apakah cinta mereka cukup kuat untuk mengatasi jarak dan waktu? Rani merasa cemas setiap kali Dimas tidak bisa dihubungi. Dia khawatir Dimas mulai melupakan dirinya, atau ada orang lain yang mulai mendekat.
Suatu malam, setelah seminggu tidak ada kabar dari Dimas, Rani merasa hatinya semakin gelisah. Dia membuka media sosial dan melihat foto-foto Dimas yang diunggah oleh teman-temannya. Di salah satu foto, Dimas tampak sedang berbincang dengan seorang perempuan. Meski tidak ada yang aneh, Rani merasa cemburu. Itu adalah salah satu ujian besar bagi Rani: apakah dia bisa mengatasi rasa cemburu yang tidak terkendali? Atau apakah ini pertanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam hubungan mereka?
“Kenapa dia nggak ngabarin aku? Kenapa aku merasa dia mulai menjauh?” pikir Rani, merasa terjebak dalam perasaan yang sulit diungkapkan.
Hari-hari berlalu dengan perasaan cemas yang semakin mendalam. Rani tidak bisa mengabaikan perasaan takut kehilangan Dimas. Tapi dia tahu, jika dia tidak bisa mempercayai Dimas, hubungan ini tidak akan bisa bertahan. Dia memutuskan untuk menghubungi Dimas dan membuka perasaannya.
“Dim, aku cuma pengen bilang, aku kangen banget sama kamu. Aku ngerti kamu sibuk, tapi aku merasa kita makin jauh. Aku nggak tahu harus gimana lagi,” ungkap Rani dengan suara yang agak bergetar saat mereka akhirnya berbicara lewat telepon.
Dimas di sisi lain mendengarkan dengan seksama, dan akhirnya menjawab dengan suara yang penuh penyesalan. “Ran, aku nggak pernah mau kamu merasa seperti itu. Aku tahu aku banyak kekurangan, aku sering nggak bisa ada buat kamu, tapi itu bukan karena aku nggak peduli. Aku cinta sama kamu, dan aku akan berusaha lebih baik lagi.”
Obrolan malam itu membuat Rani merasa sedikit lega. Meskipun keraguan masih ada, dia tahu bahwa cinta Dimas padanya masih kuat. Tetapi, ujian untuk tetap percaya dan sabar masih akan terus ada. Rani harus belajar untuk melepaskan rasa takut kehilangan dan mulai menerima kenyataan bahwa cinta mereka akan terus diuji.
Semakin hari, rasa rindu itu semakin menguat. Setiap pesan singkat, setiap video call yang mereka lakukan terasa seperti obat bagi hati yang lelah. Namun, ada satu hal yang selalu mengganggu pikiran Rani: kapan mereka bisa bertemu lagi? Waktu dan jarak yang memisahkan mereka membuat pertemuan menjadi begitu langka dan berharga.
Rani mulai merencanakan sesuatu yang spesial. Dia tahu bahwa Dimas juga merindukannya, dan mungkin cara terbaik untuk mengatasi rindu yang mendalam adalah dengan bertemu langsung. Dia mulai mencari tiket pesawat, mencari waktu yang tepat untuk mengunjungi Dimas di kota tempat dia bekerja. Namun, perjalanan itu bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan dengan mudah. Biaya, waktu, dan pekerjaan yang menumpuk menjadi halangan terbesar. Tetapi, Rani tidak menyerah.
Akhirnya, setelah berbulan-bulan menjalani LDR, Rani memutuskan untuk mengejutkan Dimas. Dengan segala perjuangan yang dilakukan, ia berhasil mendapatkan tiket pesawat dan memesan waktu untuk pergi. Ketika Rani tiba di kota Dimas, dia merasa jantungnya hampir meledak karena gugup. Tapi begitu melihat Dimas di bandara, senyum mereka bertemu. Semua rasa rindu, semua kekhawatiran, semua perasaan cemas yang pernah ada langsung hilang begitu saja.
“Ran!” Dimas berlari menghampiri dan langsung memeluknya erat. “Aku nggak percaya kamu ada di sini.”
Rani tertawa sambil memeluk Dimas kembali. “Aku datang buat kamu, Dim. Kamu nggak akan pernah tahu betapa beratnya ini buat aku.”
Saat itu, Rani merasa bahwa meskipun LDR adalah perjalanan yang penuh ujian, setiap momen yang mereka lewati bersama adalah bukti cinta yang tidak mudah dipatahkan. Cinta mereka teruji, tetapi rasa rindu itu mengajarkan mereka untuk lebih menghargai satu sama lain, dan lebih yakin bahwa mereka bisa melewati jarak dan waktu, asalkan tetap ada cinta di antara mereka.
Setelah pertemuan mereka yang penuh kebahagiaan di bandara, kehidupan kembali ke rutinitas lama. Rani kembali ke kotanya, dan Dimas pun kembali sibuk dengan pekerjaannya. Meskipun kebersamaan mereka beberapa hari itu menyegarkan, kenyataan bahwa mereka terpisah lagi mulai menguji kesabaran masing-masing. Rani merasa kembali ke dalam perasaan sepi yang sempat hilang, dan Dimas juga merasa beban tanggung jawab pekerjaan semakin meningkat.
Setiap hari mereka mencoba saling menghubungi, tetapi semakin lama, percakapan mereka mulai terasa kering. Tidak ada lagi cerita tentang aktivitas seharian yang bisa dibagikan, tidak ada lagi tawa ringan yang membuat hari terasa lebih cerah. Semua percakapan terasa lebih seperti formalitas, dan Rani mulai merasakan kekosongan itu. Ada rasa takut yang kembali muncul dalam hatinya: apakah mereka benar-benar akan berhasil bertahan kali ini?
Suatu malam, Rani duduk termenung di depan layar ponselnya. Pikirannya kembali menerawang pada pesan-pesan yang jarang ia terima. Rindu itu mulai menggerogoti hatinya. Meskipun Dimas tidak pernah berkata kasar atau menunjukkan tanda-tanda menjauh, Rani merasa bahwa ada sesuatu yang berubah. Dimas semakin jarang memulai percakapan, dan Rani harus lebih banyak mengambil inisiatif. Rasa cemas ini perlahan mengarah pada ketegangan.
“Apa dia masih mencintaiku? Atau mungkin dia mulai merasa bosan?” pikir Rani sambil mengamati layar ponselnya yang tampak kosong. Dia sudah memutuskan untuk mengirim pesan kepada Dimas, tetapi jari-jarinya ragu untuk menekan tombol kirim.
Akhirnya, Rani memutuskan untuk menulis sebuah pesan panjang yang berisi kekhawatirannya.
“Dim, aku cuma mau kamu tahu, akhir-akhir ini aku merasa kita mulai kehilangan sesuatu yang dulu kita punya. Kita jarang ngobrol, dan aku merasa kayak… kayak kita mulai saling menjauh. Aku tahu kamu sibuk, dan aku nggak mau ganggu, tapi aku juga nggak bisa paksain diri aku untuk nggak merasa khawatir.”
Rani menatap pesan itu sejenak, merasakan ada beban di dadanya. Meskipun pesan itu keluar dari hatinya, ia takut bahwa kata-kata itu bisa merusak apa yang sudah mereka bangun. Tetapi, ia tahu, tidak ada cara lain untuk mengungkapkan perasaan itu.
Dimas membutuhkan waktu beberapa menit untuk membalas, dan ketika akhirnya pesan itu datang, hati Rani sedikit lega, meskipun ada sedikit kekhawatiran dalam setiap kata yang diketik oleh Dimas.
“Ran, aku paham kalau kamu merasa seperti itu. Aku juga merasa kita mulai kehilangan kedekatan kita. Aku nggak pernah bermaksud membuat kamu merasa sendirian. Aku cuma nggak tahu gimana caranya buat menyelesaikan semuanya, terutama karena pekerjaan yang semakin menumpuk di sini. Aku janji, aku akan coba cari cara supaya kita bisa lebih sering ngobrol. Aku kangen banget sama kamu.”
Mendapatkan balasan ini sedikit mengurangi rasa cemas Rani, tetapi di sisi lain, keraguan masih ada. Apakah perasaan rindu ini akan cukup untuk menjaga hubungan mereka tetap kuat? Rani tahu, meskipun mereka saling mencintai, ada banyak hal yang perlu dihadapi untuk menjaga hubungan jarak jauh tetap hidup.
Hari demi hari berlalu, dan meskipun mereka saling berusaha untuk mempertahankan komunikasi, rasa rindu itu selalu datang. Rani merasa seolah-olah hatinya terbelah antara kebahagiaan saat berbicara dengan Dimas, dan kesepian saat percakapan berakhir. Setiap malam, setelah percakapan mereka selesai, Rani merasa seperti ada yang hilang. Dia tidak bisa tidur dengan tenang, bahkan di tengah malam, dia sering terbangun dan memikirkan Dimas.
“Kenapa kita tidak bisa lebih dekat lagi, Dim? Kenapa kita selalu harus terpisah?” pikir Rani sambil menatap langit yang gelap di luar jendela kamarnya. Ia ingin mengubah keadaan ini, tapi dia tahu bahwa tidak ada jalan pintas. Setiap kali ia berpikir tentang masa depan mereka, dia merasa bingung dan cemas. Rani ingin berjuang, tetapi dia tidak tahu seberapa kuat hubungan mereka bisa bertahan jika jarak terus menjadi penghalang.
Namun, meskipun rasa rindu ini hampir tak tertahankan, Rani tidak pernah meragukan cinta Dimas. Mereka berdua memang tidak sempurna, tetapi mereka saling mengisi dan saling memahami dengan cara mereka masing-masing. Rani tahu, meskipun ada ujian berat yang harus dilalui, rasa cinta itu tetap menjadi hal yang paling penting.
Di sisi lain, Dimas juga merasakan hal yang sama. Pekerjaan yang menumpuk membuatnya jarang memiliki waktu luang, tetapi setiap kali dia berpikir tentang Rani, dia merasakan dorongan untuk bertahan. Cinta mereka bukan hanya tentang bertemu atau berbicara setiap saat, tetapi juga tentang pengertian dan kesetiaan. Meskipun di tengah kesibukannya, Dimas berusaha mengingatkan dirinya untuk selalu menghargai Rani, meskipun terkadang ia gagal mengungkapkan perasaannya.
Suatu malam, setelah hampir sepekan mereka tidak berbicara karena kesibukan masing-masing, Dimas akhirnya menghubungi Rani. Kali ini, tidak hanya sebuah pesan singkat atau panggilan video, tapi sebuah pesan yang sangat berarti bagi Rani.
“Ran, aku ingin kita ngobrol, aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu menghargai kamu. Mungkin aku nggak bisa selalu ada buat kamu, tapi aku akan berusaha untuk menjadi lebih baik. Aku cinta sama kamu, lebih dari yang bisa aku ungkapkan.”
Rani membaca pesan itu berulang kali. Rasa haru dan kebahagiaan yang memenuhi hatinya begitu mendalam. Meskipun tidak ada jaminan bahwa hubungan ini akan selalu mudah, kata-kata itu memberinya harapan. Dimas masih mencintainya, dan itu adalah kekuatan yang mereka perlukan untuk bertahan.
Rani tahu bahwa perasaan ini tidak akan pernah bisa diselesaikan hanya dengan pesan atau telepon. Dia merindukan sentuhan Dimas, kehadirannya yang selalu membuatnya merasa aman dan nyaman. Rani akhirnya memutuskan untuk kembali mengunjungi Dimas, kali ini tanpa pemberitahuan sebelumnya. Keputusan ini datang dari rasa rindu yang tak tertahankan dan juga keinginan untuk merasakan kebersamaan mereka tanpa batasan waktu.
Ketika Rani sampai di kota tempat Dimas bekerja, dia merasa jantungnya berdebar sangat kencang. Ada rasa gugup yang luar biasa, meskipun dia tahu Dimas pasti akan senang dengan kedatangannya. Rani mengambil taksi dan menuju tempat tinggal Dimas. Ketika dia sampai di depan pintu apartemen Dimas, dia berdiri sejenak, menenangkan diri.
“Ini adalah keputusan yang benar, Ran. Kamu harus lakukan ini. Cinta itu butuh usaha,” bisiknya pada dirinya sendiri.
Rani mengetuk pintu. Dimas yang sedang duduk di ruang tamu terkejut mendengar suara ketukan. Ketika dia membuka pintu, wajahnya berubah terkejut dan kemudian senyuman lebar muncul di wajahnya.
“Ran!” Dimas berkata dengan nada penuh kelegaan. “Kamu di sini?”
Rani hanya tersenyum dan langsung memeluk Dimas erat-erat. Semua perasaan rindu, semua keraguan yang ada, seolah menguap begitu saja dalam pelukan itu. Mereka kembali menemukan apa yang selama ini mereka cari: kehadiran satu sama lain.
“Ini adalah jawaban atas semua pertanyaan yang kita punya,” bisik Dimas di telinga Rani. “Aku akan selalu ada untuk kamu, Ran. Meskipun jarak memisahkan, hati kita tidak akan pernah jauh.”
Rani hanya mengangguk, merasa semua keraguan dan rasa cemas hilang dalam pelukan itu. Mereka tahu, meskipun perpisahan selalu menanti, cinta mereka akan terus menguat.
Setelah beberapa minggu menjalani kebersamaan, Rani dan Dimas mulai menyadari bahwa meskipun mereka tidak bisa selalu bersama, mereka memiliki satu sama lain dalam hati mereka. Meskipun tantangan terus datang, cinta mereka tetap menguat. Mereka belajar untuk lebih sabar, lebih mengerti, dan lebih menghargai satu sama lain.
Akhirnya, mereka tahu bahwa ujian cinta dan rasa rindu ini adalah bagian dari perjalanan mereka. Dan meskipun dunia terasa seperti mencoba memisahkan mereka, cinta mereka selalu menemukan jalan untuk bertahan.*
Bab 4: Janji dan Harapan untuk Masa Depan
Setelah mengatasi konflik, mereka mulai berbicara lebih serius tentang masa depan mereka. Mungkin mereka merencanakan kunjungan satu sama lain, atau bahkan berpikir untuk tinggal di kota yang sama.
Mungkin di bagian ini, mereka memutuskan untuk lebih serius menjalani hubungan mereka meskipun tetap terpisah. Mereka berkomitmen untuk menjaga hubungan ini, bahkan jika itu berarti banyak pengorbanan.
Jelaskan bagaimana mereka semakin dekat satu sama lain setelah mengatasi semua hambatan. Mereka mulai mengenal lebih dalam tentang diri masing-masing, dan saling berbagi impian serta harapan untuk masa depan.Bisa jadi ada simbol yang mereka buat bersama, seperti sebuah tempat yang memiliki arti khusus bagi mereka, atau bahkan kata-kata atau janji yang mereka buat yang menjadi pengingat untuk saling menjaga cinta ini.
Meskipun Rani dan Dimas telah melalui banyak ujian dalam hubungan jarak jauh mereka, pada akhirnya, mereka menyadari satu hal yang lebih penting dari semuanya: bahwa mereka saling mencintai dan ingin menjalani hidup bersama. Setelah beberapa kali bertemu dan melalui banyak percakapan yang jujur, keduanya menyadari bahwa meskipun cinta mereka kuat, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa dunia tidak selalu memberikan apa yang mereka inginkan dengan mudah. Untuk itu, mereka harus berkomitmen satu sama lain, meskipun banyak ketidakpastian yang mengelilingi masa depan mereka.
Sebelum berbicara lebih jauh tentang masa depan, ada baiknya mereka berdua mengenang perjalanan mereka bersama. Rani dan Dimas tidak langsung menemukan kenyamanan dalam hubungan mereka. Awalnya, mereka seperti dua orang asing yang hanya bertemu lewat pertemuan kebetulan. Bahkan ketika mereka pertama kali jatuh cinta, tidak ada yang pernah menyangka hubungan mereka akan berkembang sejauh ini.
Mereka bertemu di sebuah acara teman bersama beberapa tahun yang lalu, di mana Rani awalnya merasa bahwa Dimas hanya seorang pria biasa dengan pekerjaan yang biasa saja. Namun, ketika Dimas mulai berbicara, Rani merasa seperti ada koneksi khusus. Ternyata, mereka memiliki banyak kesamaan: kecintaan terhadap buku-buku sastra, pandangan hidup yang sama tentang pentingnya kesederhanaan, dan sebuah obsesi bersama terhadap kopi.
Namun, ketika keduanya mulai menjalin hubungan, tidak semuanya berjalan mulus. Rani dan Dimas sempat merasakan ketegangan dalam hubungan mereka. Meskipun cinta ada, keduanya merasa sedikit kesulitan untuk menyelaraskan harapan dan kenyataan. Ada momen di mana Rani merasa Dimas terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sementara Dimas merasa Rani terlalu bergantung padanya. Mereka sering bertengkar kecil, tetapi setiap kali mereka berbicara jujur tentang perasaan masing-masing, hubungan mereka menjadi lebih kuat.
Kini, setelah melalui banyak perpisahan, kerinduan, dan komunikasi yang sering terhambat oleh jarak, mereka akhirnya berada di titik di mana mereka siap untuk melangkah lebih jauh. Ketegangan dan keraguan yang dulu pernah ada kini berubah menjadi kedewasaan dalam hubungan mereka.
Setelah bertemu beberapa kali, Rani dan Dimas menyadari bahwa mereka tidak bisa terus-menerus menjalani hubungan jarak jauh tanpa kejelasan. Mereka mulai memikirkan masa depan mereka bersama, dan bagaimana mereka bisa mengatasi tantangan yang ada.
Pada suatu sore yang cerah, setelah kembali mengunjungi Dimas di kota tempatnya bekerja, Rani dan Dimas duduk bersama di balkon apartemen Dimas. Cuaca sedang sangat indah, dan meskipun mereka hanya berdua, rasanya dunia seperti berhenti. Dimas memecah keheningan dengan pertanyaan yang sudah lama ada di benaknya.
“Ran, kamu pernah mikir nggak tentang kita ke depan? Maksudku, tentang masa depan kita? Kalau kita terus kayak gini, kita nggak bisa selamanya jauh-jauhan.”
Rani menghela napas panjang. Dia sudah menunggu saat ini. Sudah lama dia ingin membahas tentang masa depan mereka, tetapi dia takut jika pembicaraan ini akan merusak kebahagiaan yang baru mereka rasakan.
“Aku selalu mikirin itu, Dim. Tapi, jujur saja, aku takut. Aku takut kalau rencana kita nggak berjalan sesuai harapan. Aku takut kalau jarak ini akan terus jadi penghalang.” Rani menatap mata Dimas, berusaha mencari kenyamanan dalam tatapan itu.
Dimas tersenyum, meskipun sedikit lelah. “Aku tahu. Aku juga takut. Tapi kita nggak bisa terus hidup dalam ketakutan, Ran. Kita harus mulai bikin rencana. Kalau nggak, kita bakal terus-terusan terjebak di sini, di dalam perasaan nggak pasti.”
Rani terdiam sejenak. Dimas benar. Mereka sudah cukup lama hidup dalam ketidakpastian. Namun, sekarang saatnya untuk berbicara lebih jujur tentang apa yang mereka inginkan.
“Apa yang kamu bayangkan untuk masa depan kita, Dim?” tanya Rani, matanya penuh harapan.
Dimas menatap jauh ke depan, seolah-olah mencari jawabannya di langit biru yang luas. “Aku membayangkan kita tinggal bareng, nggak terpisah lagi. Aku tahu kita masih punya banyak hal yang harus dipikirin, tapi aku percaya kalau kita punya tujuan yang sama, kita bisa jalani itu.”
Rani tersenyum. Sebuah senyuman penuh harapan, meskipun ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Mereka sudah cukup lama menjalani LDR, dan sekarang saatnya untuk membuat keputusan besar.
“Aku juga ingin itu, Dim. Aku nggak mau terus-terusan terpisah kayak gini. Tapi aku tahu itu nggak akan gampang. Aku harus lebih kuat, dan kita harus siap menghadapi segala kemungkinan.”
“Betul,” jawab Dimas, “Tapi kita bisa kok, Ran. Aku percaya kita berdua bisa saling melengkapi.”
Bicara tentang masa depan bukanlah hal yang mudah. Banyak hal yang harus dipertimbangkan, mulai dari pekerjaan, keluarga, hingga kehidupan pribadi. Namun, yang lebih penting lagi adalah komitmen mereka untuk tetap saling mendukung dan percaya satu sama lain.
Beberapa hari setelah percakapan itu, Rani dan Dimas mulai lebih sering berbicara tentang masa depan. Mereka mulai menyusun rencana konkret, meskipun mereka tahu bahwa jalan ke depan tidak selalu mulus. Dimas mulai mempertimbangkan untuk mencari pekerjaan di kota Rani, sementara Rani juga berpikir untuk mencari peluang di kota tempat Dimas bekerja. Namun, untuk saat ini, mereka tahu bahwa mereka harus membuat keputusan yang tepat agar hubungan mereka tetap berjalan.
Rani mulai merenung tentang hidupnya sendiri. Meskipun dia merasa nyaman dengan pekerjaannya, dia juga tahu bahwa cinta adalah bagian besar dari hidupnya. Rani ingin memiliki kehidupan yang lebih dekat dengan Dimas. Akan tetapi, dia juga merasa khawatir, apakah langkah besar ini akan merubah hidupnya terlalu banyak.
“Sampai kapan kita harus terpisah, Dim?” tanya Rani dalam sebuah pesan, beberapa minggu setelah percakapan penting mereka.
Dimas membalas dengan cepat. “Selama kita masih bisa berjuang, Ran, aku percaya kita akan menemukan jalan. Ini bukan soal waktu, ini soal bagaimana kita melihat masa depan.”
Pesan itu menyentuh hati Rani. Kadang-kadang, ia merasa cemas akan masa depan, tapi kata-kata Dimas mengingatkannya bahwa mereka tidak perlu terlalu terburu-buru. Mereka bisa menjalani perjalanan ini dengan sabar, selangkah demi selangkah.
Suatu hari, beberapa bulan setelah keputusan untuk lebih dekat secara fisik, Dimas menghubungi Rani dengan kabar yang menggembirakan.
“Aku dapat tawaran pekerjaan di sini, Ran! Ini bisa jadi kesempatan besar buat aku, dan kita bisa lebih dekat. Tapi aku juga butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Aku nggak mau buru-buru, tapi aku merasa ini adalah langkah pertama menuju masa depan kita.”
Rani terkejut dan sekaligus terharu. Tawaran pekerjaan itu adalah keputusan besar yang akan memengaruhi banyak hal, tetapi yang lebih penting adalah langkah besar menuju kehidupan bersama. Mereka berdua tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan panjang mereka.
“Saya yakin kamu akan membuat keputusan terbaik, Dim. Ini langkah besar untuk kita, tapi aku percaya kita bisa menjalani ini bersama.” Rani menulis dengan hati-hati, mencoba untuk tidak terlalu terbawa emosi.
Bagi Rani, tawaran itu adalah ujian lain. Tetapi lebih dari itu, ini adalah langkah pertama menuju masa depan mereka. Mereka akan memulai babak baru, berani menatap ketidakpastian, dan bersama-sama berkomitmen untuk mewujudkan impian mereka.
Akhirnya, setelah berbulan-bulan melalui perjalanan yang penuh dengan komunikasi yang intens, rencana, dan harapan, Rani dan Dimas memutuskan untuk menyusun janji. Sebuah janji yang akan mereka pegang dalam perjalanan panjang menuju masa depan yang belum mereka ketahui sepenuhnya.
Pada malam yang tenang di rumah Dimas, mereka duduk bersama di balkon yang dulu mereka gunakan untuk berbicara tentang segala hal. Angin malam berhembus lembut, dan mereka merasa kedamaian itu akan menjadi bagian dari hidup mereka yang baru.
“Ran,” kata Dimas, “Aku janji, meskipun hidup kita nggak akan selal
Bab 5: Cinta yang Diuji oleh Jarak
Rani dan Dimas kembali menjalani rutinitas mereka masing-masing, namun kini mereka tahu bahwa mereka bisa saling mengandalkan dalam setiap keadaan.
Mungkin salah satu dari mereka harus menghadapi tantangan besar, seperti pekerjaan yang membutuhkan lebih banyak waktu, atau masalah keluarga yang membuat mereka merasa kesepian.
Gambarkan bagaimana meskipun perasaan rindu semakin besar, mereka tetap berusaha menjaga komunikasi dengan saling memberi dukungan emosional. Mereka berbicara tentang kekuatan yang mereka dapatkan dari cinta satu sama lain.
Pada titik ini, baik Rani maupun Dimas merasa lebih mantap dengan keputusan mereka untuk tetap bertahan dalam hubungan ini. Mereka tahu bahwa meskipun jarak masih memisahkan, mereka berdua sudah cukup kuat untuk menghadapinya.