Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

DENDAM SEORANG KEKASIH

DENDAM SEORANG KEKASIH

SAME KADE by SAME KADE
March 24, 2025
in Dendam Cinta
Reading Time: 24 mins read
DENDAM SEORANG KEKASIH

 

Daftar Isi

  • BAB 1: Awal Kebahagiaan
  • BAB 2: Pengkhianatan yang Menyakitkan
  • BAB 3: Luka yang Tak Termaafkan
  • BAB 4: Kebangkitan Sang Kekasih
  • BAB 5: Permainan Berbahaya
  • BAB 6: Perang Dingin
  • BAB 7: Luka Lama yang Terungkap
  • BAB 8: Pilihan Akhir
  • BAB 9: Keberanian untuk Melepaskan
  • BAB 10: Cahaya Baru

BAB 1: Awal Kebahagiaan

Matahari pagi bersinar lembut menembus tirai kamar, memberikan sentuhan keemasan pada segala sesuatu yang disentuhnya. Aruna tersenyum tipis sambil menatap langit-langit kamarnya. Hari ini adalah hari yang istimewa—ulang tahun kelima hubungannya dengan Raka. Lima tahun penuh tawa, harapan, dan cinta, meski sesekali dihiasi pertengkaran kecil yang akhirnya membuat mereka semakin dekat.

Aruna adalah wanita sederhana yang tidak pernah meminta lebih dari kehidupan. Ia mencintai seni, dan pekerjaan di galeri seni kecil di pusat kota telah menjadi tempat di mana ia merasa hidupnya bermakna. Dalam dunia yang penuh warna dan kanvas, ia menemukan ketenangan yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Di sisi lain, Raka adalah sosok ambisius yang selalu berusaha mencapai lebih. Ia memulai kariernya dari nol hingga kini memiliki perusahaan startup teknologi yang sedang berkembang pesat.

Pagi itu, Aruna berdiri di depan cermin, memastikan setiap detail penampilannya sempurna. Gaun merah muda sederhana dengan renda halus ia pilih untuk momen spesial ini. Rambut hitamnya ia biarkan tergerai, dengan sedikit gelombang di ujungnya. Ia tahu Raka suka melihatnya tampil natural, tanpa terlalu banyak riasan.

“Aruna,” panggil suara dari pintu depan.

Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia mengenali suara itu—suara yang selalu membuat harinya lebih cerah. Ia segera berjalan menuju ruang tamu, dan di sana berdiri Raka dengan senyum khasnya. Pria itu mengenakan kemeja biru langit yang menggambarkan kepribadiannya yang ceria namun tegas.

“Pagi, sayang,” sapa Raka sambil mengangkat sekotak kue kecil berhiaskan lilin angka lima. “Selamat lima tahun bersama. Aku nggak pernah nyangka kita bisa sejauh ini.”

Aruna tersenyum lebar, menahan rasa haru yang tiba-tiba menyeruak di dadanya. Ia tahu Raka sibuk—sangat sibuk, bahkan—tetapi pria itu selalu menyempatkan diri untuk hal-hal kecil yang membuat hubungan mereka istimewa.

“Terima kasih, Raka,” jawab Aruna pelan. Ia mendekat dan memeluknya. “Aku juga nggak nyangka. Tapi aku bersyukur setiap hari aku punya kamu.”

Mereka duduk di sofa ruang tamu sambil menikmati kue sederhana itu. Suasananya hangat, seperti biasanya. Raka mulai menceritakan rencananya untuk mengembangkan bisnisnya lebih besar lagi, sesuatu yang sudah lama menjadi mimpinya.

“Kita akan membuat teknologi yang bisa mempermudah hidup banyak orang, Aruna. Aku yakin perusahaan ini bisa jadi besar,” kata Raka penuh semangat.

Aruna mendengarkan dengan seksama, seperti yang selalu ia lakukan. Ia tahu betapa pentingnya mimpi itu bagi Raka, dan meski kadang ia merasa tersisih oleh ambisi pria itu, ia selalu memilih untuk mendukungnya.

“Aku yakin kamu pasti bisa, Raka,” jawab Aruna sambil meraih tangan pria itu. “Tapi jangan lupa istirahat, ya? Aku nggak mau kamu kerja terlalu keras sampai lupa menjaga kesehatan.”

Raka terkekeh pelan. “Aku punya kamu untuk mengingatkan itu, kan?”

Setelah sarapan sederhana, Raka mengajak Aruna keluar. Ia tidak memberitahukan tujuan mereka, tetapi kejutan semacam ini sudah menjadi kebiasaan dalam hubungan mereka. Aruna hanya tersenyum dan mengikuti, merasa seperti gadis kecil yang diajak bermain oleh sahabatnya.

Mobil mereka melaju menuju pinggiran kota, ke sebuah bukit kecil yang pernah mereka kunjungi beberapa tahun lalu. Di tempat itulah Raka pertama kali mengungkapkan perasaannya kepada Aruna, dan setiap sudutnya masih tersimpan jelas dalam ingatan mereka.

Setibanya di sana, angin sejuk menyambut mereka. Di tengah bukit, Raka telah mempersiapkan sebuah meja kecil dengan dua kursi, lengkap dengan bunga mawar putih yang menjadi favorit Aruna.

“Apa ini?” tanya Aruna dengan mata berbinar.

“Ini makan siang spesial kita. Aku tahu akhir-akhir ini aku sibuk banget, dan aku nggak selalu ada untuk kamu. Tapi aku mau kamu tahu, kamu adalah bagian terpenting dalam hidupku.”

Aruna duduk, terharu dengan usaha Raka. Meski sederhana, ia bisa merasakan ketulusan pria itu. Di saat seperti ini, ia merasa bahwa cinta mereka cukup untuk menghadapi apa pun di masa depan.

Namun, di balik semua kebahagiaan itu, angin dingin tiba-tiba berhembus membawa firasat yang aneh. Aruna tidak menyadarinya, tetapi di kejauhan, sebuah mobil berhenti di dekat jalan setapak menuju bukit. Dari dalamnya, seorang wanita keluar, menatap pemandangan bahagia di depannya dengan senyum penuh misteri.

Wanita itu adalah Nadya—masa lalu Raka yang selama ini tidak pernah Aruna ketahui.*

BAB 2: Pengkhianatan yang Menyakitkan

 

Aruna masih bisa merasakan hangatnya genggaman tangan Raka di jemarinya saat mereka duduk di bukit kemarin. Senyum dan tatapan lembut pria itu seolah meyakinkannya bahwa cinta mereka akan selalu kuat, tak tergoyahkan oleh waktu maupun kesibukan.

Namun, semuanya berubah dalam sekejap.

Sore itu, Aruna baru saja pulang dari galeri. Langkahnya ringan, masih membawa sisa kebahagiaan dari kejutan manis yang Raka berikan kemarin. Pikirannya dipenuhi rencana-rencana kecil tentang masa depan mereka—mungkin sebuah perjalanan ke luar negeri, atau bahkan memikirkan langkah berikutnya dalam hubungan mereka.

Namun, kebahagiaan itu hancur begitu saja ketika ia melihat pemandangan di depan matanya.

Di seberang jalan, tepat di depan sebuah restoran mewah, Raka berdiri bersama seorang wanita. Bukan sekadar berdiri, melainkan saling berhadapan dengan begitu intim. Wanita itu tinggi, elegan, dengan rambut panjang berwarna cokelat gelap yang jatuh sempurna di bahunya. Senyum wanita itu penuh percaya diri, dan cara Raka menatapnya…

Tatapan itu.

Tatapan yang selama ini hanya Aruna lihat dalam momen-momen spesial mereka. Tatapan penuh kelembutan, seolah hanya ada mereka berdua di dunia ini.

Jantung Aruna mencelos. Ia berdiri terpaku di trotoar, terlalu takut untuk melangkah lebih dekat, tapi juga terlalu sakit untuk berpaling. Tangannya gemetar, ponsel di dalam genggamannya terasa begitu berat.

Saat itulah ia melihat sesuatu yang lebih menghancurkan hatinya.

Raka meraih tangan wanita itu, menggenggamnya dengan erat, dan dalam hitungan detik, ia menariknya ke dalam pelukan.

Aruna mundur selangkah, merasa seperti kehilangan keseimbangan. Napasnya tercekat, dunia di sekitarnya seolah berputar. Ia berharap ini hanya kesalahpahaman. Mungkin Raka hanya bertemu dengan teman lama. Mungkin ini hanya cara mereka bercanda.

Namun, apa yang terjadi selanjutnya meruntuhkan semua harapannya.

Raka menunduk, menyentuh wajah wanita itu dengan lembut, lalu mengecup keningnya.

Aruna menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan isak yang hampir pecah. Sakitnya begitu nyata, seperti pisau yang menembus dadanya.

Lima tahun. Lima tahun ia mencintai Raka, mempercayainya sepenuh hati. Namun, di depan matanya, pria itu menunjukkan bahwa ia bukan satu-satunya.

Tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia ingin berlari, ingin menuntut penjelasan, ingin berteriak dan menampar pria yang selama ini ia anggap sebagai cinta sejatinya. Namun, kakinya terasa berat, seolah dunia sedang menahannya dalam lubang kesedihan yang dalam.

Aruna tidak tahu berapa lama ia berdiri di sana. Hingga akhirnya, ia melihat Raka dan wanita itu masuk ke dalam restoran, menghilang dari pandangannya.

Saat itulah Aruna tersadar.

Cinta yang selama ini ia pertahankan, ternyata hanya miliknya seorang.

Malam itu, Aruna duduk di kamarnya, menatap layar ponselnya yang menampilkan nama Raka. Ia ingin menghubunginya, ingin mendengar penjelasan. Namun, apa lagi yang bisa dijelaskan? Ia telah melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Pikirannya dipenuhi pertanyaan. Sejak kapan ini terjadi? Apakah wanita itu sudah lama hadir dalam hidup Raka? Apakah selama ini Aruna hanya menjadi seseorang yang digantung dengan harapan kosong?

Tangannya gemetar saat akhirnya ia membuka media sosial Raka. Ia tidak pernah berpikir untuk mencurigai pria itu sebelumnya, tetapi kini ia harus tahu.

Saat ia menggulir halaman, ia menemukan sesuatu yang membuatnya semakin yakin bahwa ia telah dikhianati.

Sebuah foto.

Raka dan wanita itu, dalam sebuah acara perusahaan, dengan tangan pria itu melingkar di pinggangnya. Keterangan di bawah foto itu tertulis:

“Tim yang sempurna, dan lebih dari itu.”

Aruna meletakkan ponselnya dengan napas tersengal. Hatinya sakit, marah, hancur dalam sekejap.

Ia merasa bodoh. Begitu bodoh karena mencintai seseorang yang bahkan tidak bisa setia padanya.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Nama Raka muncul di layar.

Aruna menatapnya tanpa ekspresi. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan—mengangkatnya dan meminta penjelasan, atau mengabaikannya seolah pria itu sudah tidak lagi berarti baginya.

Namun, sebelum ia sempat memutuskan, ponsel itu berhenti bergetar.

Dan saat itu, ia tahu satu hal:

Hatinya sudah tidak sama lagi.

Cinta yang selama ini ia jaga dengan sepenuh hati, kini berubah menjadi sesuatu yang berbeda.

Dendam.

Dendam seorang kekasih yang dikhianati.*

 

BAB 3: Luka yang Tak Termaafkan

Aruna menatap langit-langit kamar dengan mata sembab. Semalaman ia tidak bisa tidur. Setiap kali memejamkan mata, bayangan Raka dan wanita itu kembali muncul, menghantui pikirannya.

Seharusnya ini hanya mimpi buruk, bukan? Seharusnya ia bisa terbangun dan menemukan bahwa semua ini hanyalah ilusi, bukan kenyataan yang menamparnya begitu keras.

Namun, rasa sakit di dadanya nyata. Pengkhianatan itu nyata.

Ia masih bisa merasakan bagaimana hatinya hancur ketika melihat pria yang selama ini ia cintai mencintai orang lain. Bagaimana tangan yang dulu selalu menggenggamnya dengan penuh kasih, kini menggenggam tangan wanita lain. Bagaimana bibir yang dulu berjanji hanya untuknya, kini dengan mudah menyentuh orang lain.

Aruna menghapus air matanya dengan kasar. Ia benci dirinya yang lemah. Benci hatinya yang masih berharap bahwa semua ini hanyalah kesalahpahaman.

Namun, sesuatu dalam dirinya berubah.

Jika dulu ia selalu mencari alasan untuk memaafkan, kini ia tahu bahwa ada luka yang tidak bisa dimaafkan. Ada luka yang begitu dalam hingga tak ada obat yang bisa menyembuhkannya.

Dan luka itu baru saja ditorehkan oleh orang yang paling ia percaya.

Hari itu, Aruna memutuskan untuk tidak lagi menghindar. Jika Raka ingin bermain kotor, ia juga bisa. Ia mengenakan pakaian terbaiknya, gaun hitam yang menonjolkan sosoknya dengan sempurna. Ia ingin terlihat kuat.

Bukan lagi Aruna yang rapuh.

Ia melangkah keluar dari apartemennya dengan kepala tegak, meninggalkan jejak luka yang kini berubah menjadi amarah yang membara.

Tujuannya jelas.

Restoran tempat Raka dan wanita itu bertemu.

Aruna tidak tahu mengapa ia datang ke sana. Mungkin karena ingin melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ini bukan sekadar mimpi buruk. Mungkin karena ia ingin menguji dirinya sendiri—apakah ia masih memiliki hati untuk pria itu atau tidak.

Atau mungkin… karena ia ingin melihat seberapa besar sakit yang bisa ia tahan sebelum akhirnya menyerah pada dendam yang mulai menguasai hatinya.

Saat ia tiba, restoran itu masih ramai. Ia melangkah masuk dengan percaya diri, matanya menyapu ruangan, mencari seseorang yang dulu ia anggap sebagai miliknya.

Dan di sanalah mereka.

Di sudut ruangan, di meja yang biasanya menjadi tempat favorit mereka berdua, Raka duduk berhadapan dengan wanita itu.

Aruna merasakan dadanya sesak. Tidak ada lagi alasan untuk menyangkal. Tidak ada lagi harapan bahwa ini semua hanyalah kebohongan.

Namun, yang paling menyakitkan bukanlah melihat mereka bersama.

Melainkan melihat ekspresi Raka.

Pria itu terlihat bahagia. Jauh lebih bahagia dibandingkan saat terakhir kali mereka bertemu.

Aruna merasakan kemarahan mengalir dalam nadinya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, kukunya menekan telapak tangannya hingga hampir melukai dirinya sendiri.

Ia bisa saja berteriak, bisa saja menghampiri meja itu dan menampar pria itu di depan semua orang.

Tapi ia tidak mau memberikan kepuasan itu kepada mereka.

Ia tidak mau terlihat sebagai wanita yang kalah.

Dengan napas yang berat, Aruna membalikkan badan dan berjalan keluar dari restoran itu. Namun, baru beberapa langkah, suara yang begitu familiar menghentikannya.

“Aruna?”

Ia menutup matanya sesaat. Lalu, dengan kekuatan yang tersisa, ia berbalik.

Raka berdiri di depan meja, menatapnya dengan ekspresi terkejut. Seolah ia tidak menyangka bahwa Aruna akan ada di sana. Seolah ia adalah orang yang tidak bersalah dalam semua ini.

Aruna tersenyum sinis. “Raka.”

Wanita di meja itu menatap mereka bergantian dengan ekspresi bingung. “Siapa dia, Raka?” tanyanya dengan suara lembut.

Aruna tertawa pelan. Ada sesuatu yang begitu menyakitkan dalam pertanyaan itu. Wanita itu bahkan tidak tahu siapa dirinya.

Seberapa lama Raka menyembunyikannya? Seberapa sering pria itu berbohong?

“Saya hanya seseorang yang pernah percaya pada pria ini,” kata Aruna dingin, menatap Raka dengan penuh kebencian. “Seseorang yang pernah berpikir bahwa dia adalah dunia saya.”

Mata Raka melebar. “Aruna, biarkan aku menjelaskan.”

Aruna mengangkat tangannya, menghentikan pria itu sebelum ia sempat mengeluarkan kebohongan lain.

“Jangan repot-repot, Raka,” katanya dengan suara yang lebih tenang dari yang ia harapkan. “Aku sudah melihat cukup banyak. Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan.”

Ia menatap pria itu untuk terakhir kalinya, menghafal wajah seseorang yang pernah ia cintai, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah pergi.

Kali ini, ia tidak menangis.

Tidak ada air mata yang tersisa untuk pria itu.

Yang ada hanyalah luka.

Luka yang tak akan pernah bisa dimaafkan.

Dan untuk luka itu…

Akan ada balasannya.*

BAB 4: Kebangkitan Sang Kekasih

Dua bulan telah berlalu sejak malam itu. Malam di mana Aruna meninggalkan Raka dengan hati yang hancur, tapi kali ini tanpa air mata. Sejak saat itu, ia menghilang dari kehidupan pria itu. Tak ada pesan, tak ada panggilan, tak ada konfrontasi yang berlebihan.

Namun, luka itu tetap ada. Membekas.

Aruna bukan lagi wanita yang sama. Wanita yang mudah percaya, yang begitu naif dalam mencintai. Ia telah belajar bahwa cinta tidak selalu suci, dan terkadang orang yang paling kita percayai adalah yang pertama menusuk dari belakang.

Tapi jika Raka berpikir bahwa ia akan tenggelam dalam kesedihan selamanya, pria itu salah besar.

Aruna telah bangkit.

Pagi itu, ia menatap bayangannya di cermin dengan senyum tipis. Rambut panjangnya kini dipotong sebahu, memberi kesan lebih segar dan tajam. Matanya tidak lagi menunjukkan kelemahan, tapi ketegasan.

Ia mengenakan setelan elegan berwarna merah marun, menyesuaikan dengan perannya yang baru. Direktur baru di perusahaan tempat ia bekerja.

Aruna tak ingin lagi hanya menjadi wanita yang menunggu dan berharap. Ia memilih menjadi wanita yang berdiri di puncak, yang tak bisa dengan mudah dihancurkan oleh pengkhianatan seorang pria.

Hari itu adalah hari pertamanya sebagai pimpinan divisi keuangan di perusahaan yang sama dengan Raka.

Dan ini bukan kebetulan.

Ia tahu bahwa suatu saat ia akan bertemu lagi dengan pria itu, dan ia ingin memastikan bahwa ketika saat itu tiba, Raka akan melihatnya bukan sebagai wanita yang patah hati, tapi sebagai seseorang yang lebih kuat dari sebelumnya.

Ketika ia memasuki kantor, semua mata tertuju padanya. Ia melangkah dengan percaya diri, senyum tipis terukir di wajahnya. Beberapa rekan kerja yang mengenalnya tampak terkejut dengan perubahan drastis dalam dirinya.

Dan saat ia melewati ruangan Raka, Aruna bisa merasakan tatapan pria itu menembus dinding kaca kantornya.

Seketika, ia berhenti. Perlahan, ia berbalik dan menatap langsung ke mata pria itu.

Untuk pertama kalinya sejak malam di restoran itu, mereka bertatapan.

Raka tampak terkejut. Mungkin ia berpikir bahwa Aruna telah pergi selamanya. Bahwa wanita itu tak akan pernah kembali. Tapi kenyataan berkata lain.

Aruna tidak hanya kembali. Ia kembali dengan lebih kuat.

Dengan kepala tegak, ia memberi pria itu senyum sinis sebelum kembali melanjutkan langkahnya ke ruangannya sendiri.

Mulai hari ini, permainan baru saja dimulai.

Malam itu, Aruna duduk di balkon apartemennya, menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus lembut. Di tangannya, segelas anggur merah berputar perlahan.

Ia memikirkan apa langkah selanjutnya.

Bagi banyak orang, balas dendam berarti menghancurkan seseorang, menjatuhkan mereka hingga ke titik terendah. Tapi bagi Aruna, balas dendam tidak harus selalu brutal.

Ia ingin Raka merasakan sesuatu yang lebih menyakitkan.

Ia ingin pria itu menyesal.

Ia ingin pria itu merasakan kehilangan.

Bukan hanya kehilangan dirinya, tapi kehilangan sesuatu yang lebih besar—harga diri, rasa percaya diri, dan keyakinan bahwa ia tak tergantikan.

Dan Aruna tahu persis bagaimana caranya.

Ia akan membangun kembali dirinya, menjadi wanita yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia akan sukses, lebih bersinar, dan menunjukkan kepada Raka bahwa pria itu telah kehilangan sesuatu yang berharga.

Raka mungkin telah mengkhianatinya, tapi pria itu akan sadar bahwa tidak ada wanita lain yang bisa menggantikannya.

Senyum dingin muncul di wajahnya.

Dendam ini bukan sekadar membalas, tapi juga tentang membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar seorang kekasih yang dikhianati.

Ia adalah wanita yang tidak akan pernah bisa dilupakan.

Hari-hari berlalu, dan perubahan dalam diri Aruna semakin terlihat. Ia menjadi lebih aktif dalam pekerjaannya, lebih tajam dalam mengambil keputusan. Ia menjadi pusat perhatian di kantor, tidak hanya karena posisinya, tetapi juga karena auranya yang berbeda.

Ia bahkan mulai membuka diri kepada pria lain. Bukan karena ia ingin menggantikan Raka secepat itu, tapi karena ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia bisa hidup tanpa pria itu.

Dan tampaknya, itu berhasil.

Raka mulai gelisah. Pria itu tidak lagi bisa mengabaikan kehadiran Aruna. Setiap kali mereka bertemu dalam rapat atau acara kantor, Raka selalu mencari-cari cara untuk berbicara dengannya.

Namun, Aruna selalu bersikap profesional.

Dingin. Tak tersentuh.

Dan itu membuat Raka semakin frustrasi.

Malam itu, ketika Aruna hendak pulang, ia mendapati Raka sudah berdiri di dekat mobilnya, menunggunya.

“Aruna…” suara Raka terdengar penuh penyesalan. “Bisa kita bicara?”

Aruna menatapnya tanpa ekspresi. “Aku rasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.”

“Aruna, aku tahu aku salah. Aku…” Raka menghela napas, mencari kata-kata yang tepat. “Aku menyesal.”

Aruna hanya tersenyum tipis. Ia telah menunggu saat ini. Saat di mana pria itu akan datang dengan penyesalan. Tapi ia juga tahu bahwa penyesalan itu tidak cukup.

“Raka,” katanya pelan, namun tajam, “Kamu pikir aku akan kembali hanya karena kamu menyesal?”

Raka terdiam.

Aruna melangkah mendekat, menatapnya langsung. “Kamu mengkhianati aku. Dan kamu pikir permintaan maaf bisa mengubah semuanya?”

Mata Raka menunjukkan keputusasaan. “Aku akan melakukan apa pun untuk mendapatkanmu kembali.”

Aruna terkekeh pelan. “Sayangnya, Raka… aku bukan wanita yang sama seperti dulu.”

Ia melangkah melewati pria itu dan masuk ke dalam mobilnya, meninggalkan Raka yang masih berdiri di tempat, terlihat putus asa.

Saat mobilnya melaju, Aruna tersenyum puas.

Dendam ini belum selesai.

Ini baru permulaan.*

 

BAB 5: Permainan Berbahaya

Aruna tahu, ketika memutuskan untuk kembali ke kehidupan Raka, ia tidak hanya memasuki permainan biasa. Ini adalah permainan yang berbahaya. Sebuah permainan yang membutuhkan kecerdasan, kesabaran, dan strategi yang matang.

Raka, dengan semua pesonanya, adalah pria yang cerdas. Ia terbiasa memanipulasi situasi untuk keuntungannya. Tapi kali ini, Aruna tidak akan membiarkan dirinya jatuh dalam perangkap yang sama.

Setiap langkah yang ia ambil sudah diperhitungkan dengan matang. Ia tidak hanya ingin menyakiti Raka; ia ingin membuat pria itu menyadari kesalahan yang telah ia perbuat, hingga pria itu terjerat dalam perangkap yang ia ciptakan sendiri.

Sore itu, Aruna berdiri di depan jendela kantornya, memandangi kota yang mulai diterangi cahaya senja. Ia memegang ponselnya, membaca pesan singkat yang baru saja masuk dari Raka.

“Aruna, aku ingin bertemu lagi. Ada sesuatu yang harus aku bicarakan.”

Pesan itu singkat, tapi jelas mengandung nada putus asa. Aruna tersenyum kecil. Pesan-pesan seperti ini semakin sering datang sejak pertemuan mereka di parkiran beberapa hari lalu.

Raka yang dulu penuh percaya diri, kini terlihat goyah.

Namun, Aruna tidak akan membalas pesan itu. Ia biarkan pria itu menunggu, merasakan ketidakpastian yang dulu pernah ia rasakan.

“Biarkan dia belajar,” gumam Aruna pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Aruna tahu, kekuatan terbesar dalam permainan ini adalah membuat Raka kehilangan kendali. Jika ia terlihat terlalu mudah dijangkau, permainan ini akan berakhir sebelum dimulai.

Keesokan harinya, Raka mendatangi ruangannya tanpa peringatan. Ia masuk dengan langkah tergesa-gesa, meski sekretaris Aruna mencoba menghentikannya.

“Raka,” kata Aruna dingin, tanpa mengangkat pandangannya dari dokumen yang sedang ia baca. “Kamu tidak bisa masuk begitu saja tanpa janji.”

“Aruna, aku tidak peduli soal aturan sekarang,” jawab Raka cepat. Ia menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya. “Aku butuh bicara denganmu. Berdua saja.”

Aruna akhirnya menutup dokumennya dan menatap pria itu. “Baik. Katakan apa yang ingin kamu bicarakan.”

Raka menatapnya dengan ekspresi penuh rasa bersalah. “Aku tahu aku sudah menghancurkan semuanya. Aku tahu aku tidak pantas mendapatkan maafmu. Tapi aku ingin memperbaiki ini. Aku ingin kita kembali seperti dulu.”

Aruna tertawa kecil, suara tawanya dingin dan penuh sindiran. “Kembali seperti dulu? Raka, kamu benar-benar lucu. Kamu pikir aku masih wanita yang sama seperti dulu? Wanita yang bisa kamu sakiti dan kamu perdaya sesukamu?”

Raka terdiam. Untuk pertama kalinya, ia tidak tahu harus berkata apa.

“Dengar,” lanjut Aruna, berdiri dan berjalan mendekatinya. “Aku tidak punya waktu untuk permainan ini. Jika kamu benar-benar menyesal, buktikan. Tapi jangan harap aku akan membuat ini mudah untukmu.”

Raka terlihat semakin bingung, tapi ia hanya mengangguk pelan sebelum meninggalkan ruangan itu.

Hari-hari berikutnya, Aruna mulai menjalankan rencananya.

Ia tahu bahwa salah satu kelemahan terbesar Raka adalah egonya. Pria itu tidak bisa menerima kekalahan, terutama dari wanita yang pernah ia remehkan.

Aruna mulai membuat kehadirannya semakin terlihat. Ia tampil di berbagai acara perusahaan, berbicara dengan percaya diri, dan menarik perhatian banyak orang, termasuk para petinggi.

Ia juga tidak segan-segan menunjukkan bahwa ia mampu bekerja lebih baik daripada Raka. Setiap keputusan yang ia ambil di divisinya membawa hasil yang luar biasa, membuat namanya semakin diperhitungkan di perusahaan.

Dan Raka? Pria itu mulai merasa tertekan.

Setiap kali ia mencoba mendekati Aruna, wanita itu selalu bersikap dingin dan tak acuh. Setiap kali ia mencoba mengesankan para atasan, Aruna selalu berhasil mencuri perhatian lebih dulu.

Perlahan tapi pasti, posisi Raka di perusahaan mulai terancam.

Suatu malam, saat acara gala perusahaan berlangsung, Aruna tampil memukau dengan gaun hitam elegan yang mempertegas auranya yang kuat dan tak tergoyahkan.

Ia berdiri di tengah kerumunan, berbicara dengan salah satu direktur senior yang terlihat sangat terkesan dengan ide-idenya.

Dari kejauhan, Raka memperhatikan dengan rahang yang mengeras. Ia tidak suka melihat Aruna begitu dekat dengan pria lain, terutama ketika ia tahu bahwa ia tidak lagi memiliki kendali atasnya.

Raka akhirnya mendekati mereka, mencoba menyisipkan dirinya ke dalam percakapan.

“Aruna,” katanya, mencoba terdengar santai. “Boleh aku bicara sebentar?”

Aruna menatapnya sejenak sebelum tersenyum sopan kepada direktur senior. “Maaf, Pak. Sepertinya saya harus berbicara dengan rekan saya sebentar.”

Saat mereka berdua menjauh dari kerumunan, Raka langsung berbicara dengan nada penuh frustrasi.

“Kamu sedang bermain dengan api, Aruna.”

Aruna menatapnya dengan tatapan penuh tantangan. “Oh, benar? Aku rasa, kamu yang sedang terbakar, Raka.”

Raka mendekat, suaranya merendah tapi penuh emosi. “Apa sebenarnya yang kamu inginkan dariku?”

Aruna tersenyum, senyum yang dingin dan tajam. “Aku ingin kamu merasakan apa yang aku rasakan, Raka. Rasa sakit, pengkhianatan, dan kehancuran. Aku ingin kamu tahu bagaimana rasanya kehilangan segalanya.”

Untuk pertama kalinya, Raka terlihat benar-benar ketakutan. Ia mulai menyadari bahwa Aruna bukan hanya bermain-main. Ini adalah permainan berbahaya yang bisa menghancurkannya.

Dan di tengah keramaian itu, Aruna tahu bahwa ia telah mengambil alih kendali.*

BAB 6: Perang Dingin

Dunia Aruna dan Raka kini telah berubah menjadi medan perang yang sunyi. Tidak ada lagi kata-kata manis atau tatapan penuh kerinduan, yang tersisa hanyalah ketegangan yang menggantung di udara setiap kali mereka berada di tempat yang sama.

Sejak malam gala itu, Raka mulai memahami bahwa Aruna bukan lagi wanita yang bisa ia kendalikan. Jika sebelumnya ia berpikir bahwa Aruna hanya ingin membuatnya menyesal, kini ia menyadari bahwa wanita itu sedang memainkan sesuatu yang lebih besar.

Aruna tidak sekadar ingin menyakiti. Ia ingin menghancurkan.

Dan Raka, yang terbiasa mengendalikan segalanya, tidak akan tinggal diam.

Pagi itu, suasana kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Para karyawan bisa merasakan ketegangan di antara dua sosok yang pernah menjadi pasangan sempurna.

Aruna duduk di ruangannya, membaca laporan keuangan dengan tenang. Namun, pikirannya tidak benar-benar tertuju pada angka-angka itu. Ia tahu, cepat atau lambat, Raka akan mulai bergerak.

Dan dugaannya terbukti benar.

Pintu ruangannya diketuk, lalu sekretarisnya masuk dengan ekspresi ragu. “Bu Aruna, Pak Raka ingin bertemu dengan Anda.”

Aruna mengangkat alis, tapi tidak menunjukkan ekspresi terkejut. “Suruh dia masuk.”

Beberapa detik kemudian, Raka masuk dengan langkah tenang, mengenakan jas abu-abu yang selalu membuatnya tampak berwibawa. Ia menutup pintu di belakangnya dan berdiri di hadapan Aruna tanpa basa-basi.

“Aku rasa, kita perlu bicara.”

Aruna menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap pria itu dengan ekspresi netral. “Kalau ini soal pekerjaan, aku harap kamu langsung ke intinya.”

Raka tertawa kecil, meskipun tidak ada tanda-tanda humor di matanya. “Jadi sekarang kita hanya akan berbicara soal pekerjaan?”

“Bukankah itu yang terbaik?” Aruna balas dengan nada ringan. “Bukankah itu yang kamu inginkan dulu? Memisahkan urusan pribadi dari profesional?”

Raka menatapnya dengan tajam. “Aku tahu apa yang sedang kamu lakukan, Aruna.”

“Oh?” Aruna mengangkat alisnya. “Dan apa yang aku lakukan?”

“Kamu sedang mencoba menjatuhkanku.” Suara Raka terdengar lebih rendah, lebih berbahaya. “Aku tidak tahu apa tujuan akhirnya, tapi aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”

Aruna tersenyum tipis. “Lucu sekali, Raka. Kamu baru menyadarinya sekarang?”

Sejenak, Raka tampak kehilangan kata-kata. Lalu, ia mendekat, menempatkan kedua tangannya di meja, menatap Aruna lekat-lekat. “Kalau kamu ingin perang, aku tidak akan mundur.”

Aruna menatapnya tanpa gentar. “Bagus. Aku juga tidak pernah takut.”

Dan dengan itu, perang dingin pun resmi dimulai.

Dalam beberapa minggu berikutnya, suasana di kantor berubah drastis. Tidak ada lagi percakapan santai atau interaksi yang akrab antara Aruna dan Raka. Setiap pertemuan mereka di ruang rapat penuh dengan ketegangan, setiap keputusan bisnis berubah menjadi ajang unjuk kekuatan.

Raka mulai menggunakan pengaruhnya untuk menekan Aruna secara profesional. Ia mengalihkan proyek-proyek besar dari divisi Aruna, mencoba menghambat perkembangannya. Ia bahkan mulai menyebarkan rumor bahwa Aruna hanya mendapatkan posisinya karena belas kasihan direksi, bukan karena kemampuannya.

Namun, Aruna bukan wanita yang mudah dijatuhkan.

Ia melawan dengan cara yang lebih halus tapi mematikan. Ia menggunakan strategi yang cerdas, membangun hubungan dengan orang-orang berpengaruh di perusahaan. Ia memastikan bahwa setiap proyek yang ia tangani berjalan sempurna, membuktikan bahwa dirinya memang layak berada di posisi itu.

Bahkan, ia mulai mendekati pemegang saham utama, meyakinkan mereka bahwa perubahan di perusahaan hanya akan menguntungkan jika dilakukan dengan strategi yang lebih segar—tanpa kehadiran sosok seperti Raka.

Setiap langkah Raka, Aruna selalu punya jawaban.

Setiap pukulan yang dilancarkan, Aruna membalas dengan lebih tajam.

Dan itu membuat Raka semakin frustrasi.

Suatu malam, ketika Aruna baru saja keluar dari gedung kantor, ia menemukan Raka sudah menunggunya di parkiran.

Pria itu berdiri di samping mobilnya, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung, tampak lelah tapi tetap penuh tekad.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Aruna tanpa ekspresi.

“Kita harus bicara,” jawab Raka.

“Aku rasa kita sudah terlalu banyak bicara.”

Raka menghela napas, lalu berjalan mendekat, berdiri tepat di depan Aruna. “Kenapa kamu melakukan ini?”

Aruna menatapnya tanpa emosi. “Melakukan apa?”

“Menjadikan aku musuhmu.”

Aruna tersenyum tipis, senyum yang penuh dengan rasa puas. “Aku tidak menjadikanmu musuh, Raka. Kamu sendiri yang membiarkan dirimu jatuh ke dalam perangkap ini.”

Raka terdiam. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa seperti pion dalam permainan yang tidak bisa ia kendalikan.

Aruna menepuk pundaknya dengan ringan sebelum berjalan melewatinya menuju mobilnya. “Jaga diri, Raka. Perang ini masih panjang.”

Dan dengan itu, ia masuk ke dalam mobilnya dan melaju pergi, meninggalkan Raka yang berdiri di sana dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Perang dingin mereka baru saja dimulai, dan Aruna tahu bahwa ini baru permulaan.

Namun, dalam perang ini, hanya akan ada satu pemenang.

Dan Aruna tidak akan membiarkan dirinya kalah.*

BAB 7: Luka Lama yang Terungkap

Hidup Aruna belakangan ini penuh dengan rencana dan strategi. Namun, di balik semua itu, ada luka yang ia coba sembunyikan, luka yang membuat dirinya menjadi seseorang yang dingin dan tak tergoyahkan.

Tapi seperti kata pepatah, kebenaran selalu menemukan jalannya. Dan malam itu, kebenaran menghantam Aruna dengan cara yang tidak pernah ia duga.

Malam itu, Aruna berada di apartemennya, menatap layar laptop sambil memeriksa laporan terbaru dari salah satu proyeknya. Kopi di cangkirnya sudah dingin, tapi ia tidak peduli. Pikirannya penuh dengan target dan taktik, seperti biasa.

Namun, ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Ia melirik jam dinding. Hampir pukul sepuluh malam. Siapa yang datang pada jam seperti ini?

Dengan ragu, ia berjalan menuju pintu dan membukanya.

Raka.

Pria itu berdiri di sana, dengan wajah lelah tapi penuh tekad, seperti seseorang yang sudah lama memikirkan sesuatu dan akhirnya memutuskan untuk melakukannya.

“Aku tidak sedang ingin tamu,” kata Aruna dingin.

“Tapi aku harus bicara,” balas Raka dengan nada rendah. “Tolong, Aruna. Lima menit saja.”

Ada sesuatu di nada suaranya yang membuat Aruna ragu untuk menutup pintu. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka pintu lebih lebar.

“Masuk.”

Raka melangkah masuk, mengamati apartemen itu dengan cepat. Tempat itu mencerminkan kepribadian Aruna yang sekarang—elegan, rapi, dan tanpa cela. Tidak ada tanda-tanda kekacauan atau emosi.

“Katakan apa yang ingin kamu katakan,” kata Aruna, duduk di sofa dan melipat tangannya di depan dada.

Raka duduk di sofa di seberangnya, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Aku tahu kenapa kamu melakukan semua ini.”

Aruna mengangkat alis. “Semua apa?”

“Permainanmu. Dendammu.”

Aruna tersenyum tipis, tapi matanya tetap dingin. “Dan apa yang kamu pikir kamu tahu, Raka?”

“Ini bukan hanya tentang aku, bukan?” Raka mencondongkan tubuh ke depan. “Ini tentang masa lalu. Tentang apa yang terjadi dengan keluargamu.”

Kata-kata itu membuat Aruna terdiam. Seketika, udara di ruangan itu terasa lebih berat.

“Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan,” kata Aruna akhirnya, meskipun suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.

“Jangan bohong padaku, Aruna.” Nada suara Raka melembut, tapi ada ketegasan di dalamnya. “Aku tahu soal keluargamu. Soal bagaimana bisnis ayahmu dihancurkan. Soal bagaimana keluargamu kehilangan segalanya.”

Aruna mengepalkan tangannya di pangkuan, mencoba mengendalikan emosinya. Tapi kata-kata Raka terus menusuk seperti belati.

“Ayahmu kehilangan perusahaan karena permainan kotor. Dan aku…” Raka berhenti, suaranya terdengar penuh rasa bersalah. “Aku tahu bahwa ayahku punya andil di dalamnya.”

Aruna menatapnya dengan mata yang melebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Kamu tahu?” bisiknya.

Raka mengangguk pelan. “Aku baru tahu beberapa bulan yang lalu. Aku tidak pernah terlibat, Aruna. Aku bahkan tidak tahu apa yang ayahku lakukan dulu. Tapi ketika aku tahu, aku mulai mengerti kenapa kamu membenciku.”

Aruna merasa dunia di sekitarnya berputar. Selama bertahun-tahun, ia menyimpan rasa sakit itu sendirian. Kehilangan keluarganya, kehancuran yang mereka alami, dan rasa bersalah yang tak pernah ia bagi pada siapa pun. Dan sekarang, pria yang menjadi bagian dari luka itu duduk di depannya, mengakui kebenaran yang selalu ia coba lupakan.

“Kamu pikir dengan mengakui ini, semuanya akan baik-baik saja?” Aruna berkata, suaranya gemetar. “Kamu pikir aku akan memaafkan?”

“Aku tidak meminta maaf, Aruna,” kata Raka. “Aku tahu itu tidak akan cukup. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku mengerti sekarang. Aku mengerti kenapa kamu ingin menghancurkanku.”

Aruna berdiri, membelakangi Raka. Ia tidak ingin pria itu melihat air mata yang mulai menggenang di matanya.

“Ini tidak mengubah apa pun,” katanya dengan suara yang hampir berbisik. “Aku tetap akan melanjutkan rencanaku.”

Raka berdiri, menatap punggung Aruna dengan ekspresi penuh rasa bersalah. “Aku tahu. Dan aku tidak akan menghentikanmu. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal.”

Aruna berbalik, menatapnya dengan mata yang penuh emosi. “Apa?”

“Aku mencintaimu.”

Kata-kata itu menghantam Aruna seperti gelombang besar. Ia ingin tertawa, ingin marah, ingin mengatakan bahwa itu bohong. Tapi ia tahu, dari cara Raka mengatakannya, bahwa itu adalah kebenaran.

Namun, kebenaran itu tidak cukup.

“Cinta tidak bisa memperbaiki semuanya, Raka,” katanya pelan. “Terlalu banyak yang sudah rusak.”

Raka menatapnya untuk beberapa saat, lalu mengangguk. “Aku tahu.”

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia berbalik dan meninggalkan apartemen itu, meninggalkan Aruna sendirian dengan luka lamanya yang kembali menganga.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Aruna menangis.*

BAB 8: Pilihan Akhir

Malam terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin dingin berembus melalui jendela yang terbuka, membawa aroma hujan yang masih tersisa di udara. Aruna duduk di kursi dekat jendela apartemennya, menatap ke luar dengan pikiran yang penuh gejolak.

Setelah pertemuannya dengan Raka, pikirannya terus-menerus dihantui oleh kata-kata pria itu.

“Aku tahu kenapa kamu ingin menghancurkanku.”
“Aku mencintaimu.”

Dua kalimat yang bertolak belakang, tetapi sama-sama mengoyak pertahanan hatinya.

Sejak awal, Aruna telah bersumpah bahwa ia akan membalas semua rasa sakit yang telah ia alami. Ia ingin mereka yang bertanggung jawab merasakan penderitaan yang sama, termasuk Raka. Tetapi kini, setelah mengetahui bahwa Raka tidak bersalah atas apa yang terjadi, ia mulai mempertanyakan semuanya.

Apakah dendam benar-benar bisa membawa kelegaan? Atau justru hanya membuat luka itu semakin dalam?

Aruna meraih secangkir teh yang telah dingin di meja, menyesapnya perlahan. Namun, rasanya hambar di lidahnya—sama seperti perasaan kosong yang kini menggerogoti hatinya.

Ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan masuk. Dari Raka.

“Aku akan menunggumu di Dermaga Utara, jam 10 malam. Jika kamu masih ingin menyelesaikan ini dengan cara yang kamu inginkan, aku tidak akan menghindar. Tapi jika kamu memilih hal lain, aku akan tetap di sana. Aku hanya ingin tahu apa pilihanmu.”

Jantung Aruna berdegup kencang. Ia tahu apa maksud Raka. Ini adalah titik akhir. Apakah ia akan tetap melanjutkan dendamnya atau memilih jalan yang berbeda?

Ia menutup matanya, menarik napas dalam-dalam. Ini adalah keputusan yang harus ia buat sendiri.

Dermaga Utara selalu terasa sunyi di malam hari, hanya diterangi oleh lampu jalan yang redup dan suara ombak yang berdebur pelan di bawah dermaga kayu tua itu.

Raka berdiri di ujung dermaga, menatap laut yang gelap. Ia mengenakan jaket hitam, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin.

Saat langkah kaki terdengar mendekat, ia tidak perlu berbalik untuk tahu siapa yang datang.

“Aruna.”

Suara itu menggetarkan dada Aruna, tapi ia tetap melangkah dengan tenang, berdiri di samping Raka.

“Kau datang,” kata Raka dengan suara lembut.

Aruna menatap laut, lalu beralih menatap Raka. “Kau benar,” katanya akhirnya. “Semua ini bukan hanya tentang kamu. Ini tentang masa lalu yang tidak bisa kulupakan. Tentang luka yang sudah terlalu lama kusimpan.”

Raka mengangguk pelan. “Dan sekarang?”

Aruna terdiam. Angin laut menerpa wajahnya, membuat helai rambutnya menari di udara. Selama ini, ia pikir bahwa membalas dendam akan menjadi akhir yang sempurna. Tetapi setelah semua yang terjadi, setelah mengetahui bahwa Raka tidak bersalah, ia menyadari satu hal: ia tidak pernah benar-benar ingin menghancurkan pria ini.

Ia hanya ingin seseorang mengerti rasa sakitnya.

“Aku lelah, Raka,” bisiknya akhirnya. “Lelah menyimpan dendam, lelah membangun benteng di sekeliling hatiku.”

Raka menoleh padanya. “Kamu bisa melepaskan semuanya, Aruna. Kamu tidak harus melanjutkan ini.”

Aruna tersenyum miris. “Dan bagaimana jika aku tidak bisa?”

“Kamu bisa,” kata Raka mantap. “Kamu hanya harus memilih.”

Pilihan.

Selama ini, ia merasa hidupnya hanya memiliki satu arah—membalas semua yang telah hilang darinya. Namun, kini ada jalan lain. Sebuah jalan yang bisa membawanya keluar dari lingkaran kebencian.

Hatinya berdebar. Ia ingin percaya bahwa ada cara lain. Tetapi bisakah ia benar-benar meninggalkan semuanya?

Ia menatap Raka dalam-dalam, mencari jawaban di mata pria itu. Dan untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang berbeda. Bukan rasa bersalah, bukan ketakutan. Tetapi harapan.

Aruna menarik napas panjang, lalu perlahan mengangguk.

“Aku memilih untuk berhenti.”

Raka menatapnya dengan mata yang berbinar. “Kamu yakin?”

Aruna tersenyum kecil. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku ingin mencoba. Aku ingin hidup tanpa terbebani oleh masa lalu.”

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Aruna merasa dadanya lebih ringan.

Dan ketika Raka mengulurkan tangannya, Aruna tidak menolak. Ia menggenggamnya dengan erat, seolah memegang sebuah awal yang baru.

Di bawah langit malam, di atas dermaga tua yang sepi, dua hati yang terluka akhirnya menemukan jalan pulang.*

BAB 9: Keberanian untuk Melepaskan

Aruna menatap pantulan dirinya di cermin kamar apartemennya. Mata yang dulu penuh dengan kebencian dan dendam kini mulai kehilangan kilatnya. Ia melihat sosok yang berbeda—seseorang yang selama ini terjebak di dalam masa lalu, seseorang yang tak pernah benar-benar memberi dirinya kesempatan untuk sembuh.

Ia mengulurkan tangannya, menyentuh permukaan cermin dengan ujung jemarinya. Seolah-olah ingin menyentuh dirinya yang dulu, ingin mengucapkan selamat tinggal pada wanita yang penuh luka dan amarah.

Di balik dirinya yang kuat dan penuh perhitungan, ada seorang Aruna yang rapuh, seorang wanita yang selama ini hanya ingin menemukan kedamaian.

Malam itu di dermaga, ia telah membuat keputusan untuk melepaskan dendamnya. Namun, keputusan itu tidak serta-merta menghapus rasa sakit yang masih mengakar dalam dirinya. Ia sadar bahwa melepaskan bukanlah perkara mudah. Melepaskan butuh keberanian, dan ia harus benar-benar siap menghadapi segala konsekuensinya.

Pagi itu, Aruna berjalan di trotoar sebuah taman kota yang rindang. Angin sepoi-sepoi menerbangkan beberapa helai rambutnya, dan langkahnya terasa lebih ringan dari sebelumnya.

Ia menunggu seseorang—seseorang yang juga harus ia lepaskan.

Tak lama kemudian, suara langkah kaki mendekat. Aruna menoleh dan melihat Raka datang dengan senyum yang samar. Pria itu terlihat lebih tenang, meskipun ada bayang-bayang kecemasan di matanya.

“Kamu kelihatan lebih baik,” ujar Raka, mengamati wajah Aruna.

Aruna tersenyum kecil. “Aku belajar menerima kenyataan.”

Mereka duduk di bangku taman, membiarkan keheningan menyelimuti mereka sejenak. Hanya suara burung dan gemerisik dedaunan yang menemani.

“Kemarin, aku berpikir tentang semua yang telah terjadi di antara kita,” kata Aruna akhirnya. “Dendam, rasa sakit, dan juga… cinta.”

Raka menatapnya dalam diam, membiarkan Aruna menyelesaikan kalimatnya.

“Aku menyadari bahwa aku tidak bisa terus hidup dalam masa lalu,” lanjut Aruna, suaranya sedikit bergetar. “Aku harus melangkah maju. Dan untuk itu, aku harus benar-benar melepaskan semuanya… termasuk kamu.”

Ekspresi Raka berubah. Ada kesedihan yang jelas terpancar dari matanya, tetapi ia tidak terkejut. Seakan-akan, jauh di lubuk hatinya, ia telah menduga bahwa ini akan terjadi.

“Jadi… ini keputusanmu?” tanyanya pelan.

Aruna mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. “Aku butuh waktu untuk menemukan diriku sendiri. Selama ini, aku hidup dengan kebencian dan dendam. Sekarang, aku ingin tahu seperti apa hidup tanpa semua itu.”

Raka tersenyum pahit, tetapi tetap mencoba memahami. “Aku mengerti.”

Aruna menggenggam tangannya sendiri di pangkuannya, mencoba menenangkan debaran jantungnya. “Aku tidak tahu apakah kita akan bertemu lagi sebagai orang yang sama. Tapi aku berharap, kalau takdir mempertemukan kita lagi, kita sudah menjadi versi terbaik dari diri kita masing-masing.”

Raka menatapnya dengan mata yang sedikit berkabut. “Aku selalu percaya bahwa kamu lebih kuat dari yang kamu kira, Aruna.”

Keheningan kembali menyelimuti mereka, kali ini terasa lebih damai. Tidak ada kebencian, tidak ada penyesalan—hanya dua orang yang akhirnya belajar menerima kenyataan.

Aruna menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya bangkit dari bangku. Ia menatap Raka untuk terakhir kalinya, mencoba menghafal setiap detail wajah pria yang pernah begitu ia cintai, sekaligus begitu ia benci.

“Terima kasih, Raka,” bisiknya.

Raka tersenyum tipis, meskipun matanya menyiratkan sejuta emosi. “Terima kasih juga, Aruna.”

Tanpa menunggu lebih lama, Aruna berbalik dan mulai melangkah pergi. Setiap langkah terasa berat, tetapi juga penuh keyakinan. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar berjalan menuju masa depan yang baru, tanpa bayang-bayang masa lalu yang membebani.

Dan Raka, meskipun hatinya perih, hanya bisa menatap punggung wanita yang dicintainya semakin menjauh. Ia tahu bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki, tetapi tentang merelakan.

Di tengah angin pagi yang sejuk, dua hati yang pernah terikat dalam dendam akhirnya menemukan keberanian untuk melepaskan.*

 

BAB 10: Cahaya Baru

Pagi itu, Aruna terbangun dengan perasaan yang tidak seperti biasanya. Biasanya, setelah bangun tidur, hatinya akan diselimuti kecemasan, pikiran yang berputar tentang masa lalu, dan segala beban yang harus ia tanggung. Namun hari ini, seolah ada kelegaan yang menyelimuti dirinya, seperti cahaya matahari yang perlahan menyinari ruang kamarnya, menembus tirai jendela yang sedikit terbuka.

Aruna memandang sekeliling. Kamar yang sepi ini sekarang terasa berbeda. Tak ada lagi perasaan terkurung, tak ada lagi rasa terikat oleh sesuatu yang tidak bisa ia ubah. Semua itu seperti bayangan yang perlahan memudar, dan meninggalkan ruang yang lebih luas di hatinya.

Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. Menatap keluar, ia melihat dunia yang begitu hidup di luar sana. Angin berhembus lembut, daun-daun bergoyang, dan sinar matahari memancar hangat. Entah mengapa, dunia ini seolah memberi harapan baru.

Setelah berhari-hari, bahkan berminggu-minggu penuh pergulatan batin, akhirnya Aruna merasa bisa bernapas lega. Keputusan yang ia buat di taman beberapa waktu lalu, keputusan untuk melepaskan semuanya—termasuk perasaan yang telah lama ia pendam—akhirnya membawa kedamaian dalam dirinya.

Aruna melangkah ke ruang tamu dan duduk di sofa. Ia memandangi ponselnya yang terletak di meja, mencoba untuk menghubungi beberapa orang yang sudah lama tidak ia hubungi. Dalam perjalanan mencari kedamaian, ia sempat melupakan hal-hal penting dalam hidupnya, termasuk hubungan dengan teman-temannya yang kini terasa semakin jauh. Namun, hari ini, ia merasa memiliki keberanian untuk membuka kembali pintu yang telah ia tutup rapat-rapat.

Pesan pertama yang ia kirimkan adalah kepada Nina, sahabatnya yang sudah lama ia abaikan.

“Nina, maafkan aku. Aku ingin mulai lagi. Aku harap kita bisa berbicara segera.”

Tak lama setelahnya, Nina membalas pesan itu dengan cepat, dan dalam hitungan menit, mereka sudah kembali terhubung, berbicara tentang segala hal yang telah terjadi dalam hidup mereka. Aruna merasakan sebuah ikatan yang hilang seiring berjalannya waktu kini kembali terjalin. Ia merasa, meskipun masa lalu tak bisa diubah, ada kesempatan untuk memperbaiki apa yang hilang.

Setelah beberapa hari, Aruna merasa hidupnya mulai kembali seimbang. Ia kembali bekerja dengan penuh semangat. Di kantor, ia semakin dikenal sebagai sosok yang tidak hanya profesional, tetapi juga lebih terbuka terhadap rekan-rekannya. Bahkan ia mulai mengajak beberapa orang untuk makan siang bersama, memperkenalkan diri dengan cara yang baru, tanpa terbungkus oleh rasa kesal atau ketakutan akan penolakan.

Tapi yang paling penting, Aruna merasa bisa kembali tersenyum tanpa ada rasa terpaksa. Tertawa, tanpa ada beban di hatinya.

Suatu hari, Raka menghubunginya lagi. Kali ini, dengan nada yang lebih ringan, tanpa adanya kecanggungan yang sebelumnya menghantui komunikasi mereka.

“Aruna, aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku ingin tahu bagaimana kabarmu.”

Pesan itu membuat jantung Aruna berdebar. Tak ada rasa canggung kali ini, hanya keinginan untuk berbicara dengan seseorang yang telah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Mereka berbicara, dan meskipun mereka tidak berbicara tentang masa lalu atau masa depan, percakapan itu terasa lebih tulus. Seperti dua teman yang mencoba menemukan kembali jalan mereka.

Raka akhirnya berkata, “Aku senang melihatmu bisa bahagia. Aku harap kamu menemukan apa yang kamu cari.”

Aruna hanya tersenyum. “Terima kasih, Raka. Aku harap begitu juga untukmu.”

Meskipun keduanya kini berada di jalur yang berbeda, Aruna merasa, dalam sebuah cara yang tak terduga, mereka sudah menemukan kedamaian masing-masing. Mereka tidak lagi terperangkap dalam kenangan atau rasa sakit, melainkan membiarkan masa lalu tetap menjadi bagian dari cerita, bukan penghalang di masa depan.

Hari demi hari berlalu, dan Aruna semakin merasakan kedamaian dalam dirinya. Ia mulai mengejar mimpi-mimpinya yang sempat tertunda. Ia mendaftar untuk kursus desain grafis, yang sejak lama ia minati, tetapi selalu terbengkalai karena terlalu fokus pada hidup yang penuh amarah dan kebencian.

Semakin ia menggali potensinya, semakin ia merasa hidupnya tidak sia-sia. Ada rasa bangga yang tumbuh, sebuah pencapaian yang hanya bisa ia rasakan setelah melepaskan beban berat di bahunya.

Pada suatu sore, saat ia duduk di taman setelah kelas desain, Aruna menatap langit biru yang cerah dan merasa bahwa ia telah mencapai titik yang ia impikan. Tak ada lagi perasaan terjebak, tak ada lagi keinginan untuk membalas dendam. Yang ada hanya rasa syukur, rasa damai yang kini memenuhi dirinya.

Keberanian untuk melepaskan bukanlah hal yang mudah, tetapi Aruna akhirnya berhasil mencapainya. Ia tidak hanya melepaskan masa lalu, tetapi juga melepaskan diri dari segala ketakutan yang menahannya.

Dan di sinilah ia sekarang, berdiri di ambang cahaya baru yang menyinari hidupnya—cahaya yang selama ini ia cari, tanpa menyadari bahwa kunci untuk menemukannya sudah ada di dalam dirinya sendiri.

Dengan langkah yang lebih mantap, Aruna melangkah ke depan, siap menghadapi masa depan yang penuh dengan kemungkinan. Tidak lagi diliputi rasa takut, tidak lagi terjebak dalam bayang-bayang masa lalu, ia kini benar-benar bebas. Dan yang lebih penting, ia tahu bahwa ia telah menemukan diri sejati—sebuah diri yang tidak terikat oleh apapun, selain harapan dan kesempatan baru yang terbuka di depannya.***

——————THE END——————-

 

Source: DELA SAYFA
Tags: #Penyembuhan #HubunganEmosional #MengalahkanMasaLalu #CintaYangTulus #PerjalananCinta
Previous Post

TIGA BENUA SATU CINTA

Next Post

DARI JAUH AKU BERHARAP

Related Posts

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

May 14, 2025
SAAT LUKA MENJADI CINTA

SAAT LUKA MENJADI CINTA

May 13, 2025
JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

May 12, 2025
Next Post
DARI JAUH AKU BERHARAP

DARI JAUH AKU BERHARAP

CINTA DALAM API KEBENCIAN

TANGISAN DALAM PELUKAN MUSUH

RINDU YANG TAK PERNAH MATI

RINDU YANG TAK PERNAH MATI

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id