Daftar Isi
BAB 1 KENANGAN YANG TAK TERLUPAKAN
Langit senja itu tampak indah, dengan rona merah yang perlahan berubah menjadi ungu keemasan. Arumi berdiri di balkon kamarnya, menatap ke luar jendela. Angin yang berhembus pelan menyentuh rambutnya, namun pikirannya tidak bisa lepas dari bayangan masa lalu yang terus menghantui. Sesekali ia memejamkan mata, mencoba mengingat semuanya, namun kenangan yang datang justru membawa perasaan yang lebih menyakitkan.
“Aku tidak pernah membayangkan ini semua terjadi,” gumam Arumi, suaranya hampir tenggelam oleh desiran angin. Hatinya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang tertahan di sana, sesuatu yang tidak bisa ia lepaskan.
Dua tahun yang lalu, hidup Arumi begitu berbeda. Dia pernah merasakan betapa indahnya menjadi seseorang yang dicintai dengan tulus. Cinta pertama, yang datang begitu tiba-tiba, seolah-olah membawa kebahagiaan yang tak terhingga. Semua terasa sempurna, seperti dalam kisah-kisah romantis yang sering ia baca dalam buku. Rafli, lelaki dengan senyum yang hangat, mata yang selalu memancarkan perhatian, dan kata-kata manis yang bisa membuat hatinya berdebar-debar, adalah segalanya bagi Arumi. Mereka berdua saling melengkapi.
Arumi masih ingat bagaimana mereka bertemu di sebuah acara sekolah. Saat itu, Rafli baru saja pindah ke sekolah mereka dan duduk di bangku sebelahnya. Mereka mulai berbicara, dimulai dengan pertanyaan sederhana tentang pelajaran matematika yang sulit dipahami Arumi. Pembicaraan itu berlanjut tanpa terencana, seolah-olah mereka sudah lama saling mengenal. Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Arumi merasa dunia ini hanya miliknya dan Rafli. Mereka saling berbagi cerita, tertawa bersama, dan saling mendukung satu sama lain.
Arumi tidak pernah merasa sebahagia itu sebelumnya. Setiap kali bersama Rafli, rasanya seperti waktu berhenti, dan semua masalah dunia ini menjadi tidak berarti. Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sementara. Dalam satu malam yang tampaknya biasa saja, segalanya berubah.
Pada suatu malam, Arumi menerima pesan teks dari Rafli yang membuat dunia yang ia kenal hancur seketika. Rafli mengungkapkan bahwa dia merasa sudah tidak lagi mencintai Arumi. Alasan yang ia berikan terdengar sangat mudah, seperti alasan yang bisa diterima begitu saja. “Aku merasa kita sudah berubah, Arumi. Aku rasa kita tidak cocok lagi,” tulis Rafli dalam pesan singkat itu.
Arumi masih ingat bagaimana perasaannya saat membaca pesan tersebut. Hatinya hancur, seperti ada sesuatu yang patah dan tak bisa lagi diperbaiki. Mengapa Rafli mengatakannya begitu saja, tanpa ada peringatan sebelumnya? Mengapa perasaan yang selama ini ia jaga dengan hati-hati bisa dihancurkan begitu cepat? Arumi berusaha untuk mengerti, tetapi semakin ia berpikir, semakin ia merasa bahwa Rafli telah meninggalkannya tanpa alasan yang jelas.
Kenangan indah mereka berdua tiba-tiba berubah menjadi kenangan pahit yang menghantui setiap sudut hatinya. Arumi merasa seolah-olah seluruh dunia menertawakannya. Ia merasa bodoh, menganggap semua kebahagiaan yang ia rasakan bersama Rafli adalah kenyataan, padahal itu hanyalah ilusi semata. Semua kata-kata manis yang pernah diucapkan Rafli, semua janji-janji tentang masa depan, seolah-olah sudah terlupakan begitu saja.
Malam itu, Arumi berlari ke taman di belakang rumahnya. Ia duduk di bangku favorit mereka, tempat dimana Rafli dan ia sering menghabiskan waktu bersama. Di sanalah mereka berbicara tentang impian dan harapan masa depan, tentang bagaimana mereka akan melewati segala rintangan bersama. Tetapi malam itu, semuanya terasa hampa. Setiap sudut taman itu mengingatkan Arumi pada kebahagiaan yang kini telah pergi.
Di tengah-tengah pikirannya yang kacau, Arumi menerima panggilan telepon dari sahabatnya, Lila. Lila tahu bahwa ada yang tidak beres, karena selama seminggu terakhir, Arumi mulai menghindar. “Arumi, aku tahu kamu sedang terluka. Tapi kamu harus bicara. Jangan pendam semuanya sendirian,” kata Lila dengan suara yang lembut. Arumi tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ia akhirnya mengungkapkan semuanya kepada Lila. Betapa sakitnya hati ini, betapa hancurnya semua mimpi yang pernah mereka bangun bersama.
Lila pun mengingatkan Arumi, “Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik, Arumi. Cinta yang sejati tidak akan pernah membuatmu merasa terluka seperti ini. Jangan biarkan kenangan itu menguasaimu.”
Namun, meski kata-kata Lila menenangkan, Arumi merasa terjebak dalam kenangan indah yang masih terpatri dalam hatinya. Rafli sudah pergi, tetapi rasa cinta yang pernah tumbuh begitu dalam masih membekas di sana. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Meski terluka, perasaan itu tidak bisa begitu saja hilang.
Keesokan harinya, Arumi memutuskan untuk mengubah rutinitasnya. Ia tidak ingin terus terjebak dalam kenangan yang tak pernah bisa ia lupakan. Ia bertekad untuk melupakan Rafli, meskipun itu terasa sangat sulit. Tapi hati Arumi tetap bertanya-tanya, apakah akan ada kesempatan bagi mereka untuk kembali? Atau apakah perasaan itu memang hanya tinggal kenangan yang tak pernah bisa kembali seperti dulu?
Aroma kenangan itu masih tercium di setiap sudut hatinya, dan meskipun Arumi berusaha untuk menepisnya, ia tahu bahwa kenangan itu akan selalu ada. Tidak peduli seberapa keras ia berusaha melupakan, masa lalu akan selalu kembali menghampiri.
Langit malam yang penuh bintang itu seakan menjadi saksi bisu dari setiap perasaan Arumi. Dendam dan cinta yang saling bertautan. Dan dalam setiap hembusan angin yang menyentuh wajahnya, Arumi tahu bahwa kenangan bersama Rafli akan tetap hidup dalam dirinya, meskipun ia tidak ingin mengakuinya.
Aroma dalam dendam cinta itu akan selalu ada, tak pernah benar-benar hilang.*
BAB 2 TAKDIR YANG MEMBAWA MEREKA BERTEMU
Hari itu, udara di sekitar Arumi terasa lebih panas dari biasanya. Matahari menyinari jalanan dengan terik, membuatnya merasa sedikit sesak. Ia baru saja keluar dari kantor tempatnya bekerja, sebuah perusahaan desain interior di pusat kota. Langkahnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang mengikat hati dan pikirannya. Sejak pagi tadi, pikirannya hanya dipenuhi dengan satu nama—Rafli. Nama yang selalu hadir dalam kenangannya, baik dalam kebahagiaan maupun dalam kepedihan.
Arumi selalu berusaha untuk menghindari perasaan itu. Ia telah berusaha mengubur segala kenangan tentang Rafli, namun tetap saja bayangan pria itu muncul, tak terelakkan. Ia tak pernah benar-benar bisa melupakan bagaimana perasaan itu dulu—perasaan yang begitu tulus dan murni, tetapi akhirnya berubah menjadi luka yang mendalam. Pengkhianatan yang begitu menyakitkan telah menghancurkan segalanya.
Namun, hari ini, takdir seolah memaksa Arumi untuk kembali bertemu dengan Rafli. Entah kenapa, ia merasa seperti ada sesuatu yang menarik dirinya ke tempat itu, ke sebuah kafe kecil yang dulu sering mereka kunjungi bersama. Saat itu, ia tak tahu apa yang membuatnya begitu nekat untuk datang ke sana. Ia merasa seolah ada sesuatu yang belum selesai antara dirinya dan Rafli, meskipun hatinya menolak untuk menghadapinya.
Sambil melangkah menuju kafe, Arumi berusaha menenangkan dirinya. “Ini hanya kebetulan,” bisiknya dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya. Namun, saat ia membuka pintu kafe dan melangkah masuk, seketika dunia seakan berhenti berputar. Di sudut ruangan, duduk seorang pria yang sedang menikmati secangkir kopi sambil membaca buku. Ia mengenakan jaket hitam yang dikenalnya dengan sangat baik. Tak salah lagi—itu Rafli.
Arumi terpaku sejenak, tubuhnya seakan beku di tempat. Rasa cemas, kebingungan, dan perasaan tak menentu menghampiri. Wajah Rafli yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupnya kini tampak begitu asing, tetapi di saat yang sama, begitu dekat. Arumi tahu bahwa ia harus segera pergi. Ia tak ingin bertemu dengan pria itu. Tapi entah kenapa, langkahnya seolah tidak bisa berhenti. Ia melangkah maju, dan tiba-tiba Rafli mengangkat wajahnya, seolah merasakan kehadirannya.
“Arumi…” Suara Rafli terdengar begitu dalam dan familiar, membuat hati Arumi berdebar kencang. Rafli berdiri dan melangkah mendekat, matanya memancarkan rasa terkejut dan haru.
Arumi terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Rasa marah dan kecewa yang selama ini terpendam mulai muncul kembali, namun ada sesuatu yang menghalangi kata-katanya. Sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, seolah pertemuan ini sudah ditentukan oleh takdir.
“Arumi, aku tidak tahu harus mulai dari mana,” kata Rafli pelan, suara yang sarat dengan penyesalan. “Aku tahu aku berutang banyak padamu… maafkan aku. Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu.”
Arumi menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia ingin menjauh, berlari pergi dan menghindari perasaan yang mulai merayap kembali, namun sesuatu dalam dirinya menghalanginya. “Apa yang kamu inginkan, Rafli?” akhirnya ia berkata, suaranya lebih tegas dari yang ia rasakan.
“Aku hanya ingin… kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Aku tidak ingin kamu membenciku selamanya,” kata Rafli dengan penuh harap, namun ada keraguan di dalam matanya. “Aku tahu aku tidak pantas mendapatkan maafmu, tapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyesal.”
Arumi merasa seluruh tubuhnya tegang. Ia ingin menjerit, mengatakan bahwa ia tak pernah ingin bertemu lagi dengan pria ini. Namun, di dalam hatinya, ia juga tahu bahwa ada banyak hal yang belum terselesaikan. Dendam dan cinta pertama selalu meninggalkan jejak yang sulit untuk dihapuskan. Arumi menatap Rafli, mencoba mencari jawaban di matanya.
“Lalu kenapa sekarang, Rafli? Kenapa kamu datang sekarang setelah semuanya berlalu?” tanya Arumi dengan suara yang sedikit gemetar. Rasa kesal mulai bercampur dengan kebingungan. “Apa kamu pikir kamu bisa kembali setelah semua yang terjadi?”
Rafli terdiam sejenak, menatap Arumi dengan tatapan penuh penyesalan. “Aku tahu aku membuatmu merasa hancur, Arumi. Aku tidak bisa mengubah masa lalu, tapi aku ingin membuktikan kalau aku bisa berubah. Aku tidak ingin hidup dalam penyesalan lagi. Aku ingin mendapatkan kepercayaanmu kembali.”
Arumi merasa bingung. Di satu sisi, ia masih menyimpan dendam yang begitu mendalam terhadap Rafli. Bagaimana bisa ia begitu mudah melupakan pengkhianatan yang telah melukai hatinya? Namun, di sisi lain, ada bagian dari dirinya yang merasa iba melihat Rafli begitu menyesal dan ingin memperbaiki semuanya. Ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa begitu saja membuang pria ini dari hidupnya. Mungkin karena rasa cinta pertama itu masih ada, terpendam di dalam hatinya.
“Rafli…” Arumi mulai membuka suara, tetapi kata-kata itu terasa begitu berat. “Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu. Aku sudah berusaha untuk melupakan semuanya, untuk hidup tanpa kamu. Tapi kenyataannya, setiap kali aku mencoba melupakanmu, selalu ada sesuatu yang mengingatkanku. Kenangan kita, bau parfum yang dulu selalu kamu pakai, semua itu membuat aku merasa seperti aku tidak pernah benar-benar bisa melepaskanmu.”
Rafli terdiam, mendengarkan setiap kata Arumi dengan seksama. Ia tahu bahwa tidak ada kata-kata manis yang bisa menghapus semua kesalahan yang telah ia buat, tetapi ia bersyukur karena Arumi masih mau mendengarkan penjelasannya. “Aku tidak akan meminta kamu untuk memaafkan aku sekarang juga. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ingin memperbaiki semuanya, apapun yang terjadi.”
Aroma kenangan itu kembali hadir, namun kali ini, tidak hanya rasa dendam yang Arumi rasakan. Ada juga rasa kerinduan yang menggelora, perasaan yang selalu sulit untuk ia ungkapkan. Rafli dan Arumi masih berada dalam pertemuan yang penuh ketegangan, namun takdir sepertinya memang membawa mereka untuk bertemu lagi. Mungkin ini bukanlah akhir, tetapi sebuah awal baru yang penuh dengan pertanyaan dan kemungkinan.
Dunia mereka kini terhubung kembali, meski masih ada jarak yang besar, dan perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Yang pasti, pertemuan ini membawa mereka pada sebuah perjalanan yang lebih panjang. Sebuah perjalanan untuk mencari jawaban, mencari apakah cinta yang dulu ada masih bisa tumbuh kembali di tengah amarah dan pengkhianatan.*
BAB 3 DENDAM YANG MEMBARA
Arumi berjalan cepat menuju kafe tempat ia biasa duduk sendirian, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai kacau. Pagi itu, ia baru saja melihat Rafli di taman kampus. Seperti biasa, senyuman khasnya mengiringi pertemuan mereka yang tak diinginkan. Senyuman itu yang dulu selalu membuat hatinya berdebar-debar, kini hanya meninggalkan rasa kesal dan sakit. Setiap kali bertemu Rafli, kenangan masa lalu yang kelam kembali menghantui. Semua pengkhianatannya, semua janji yang pecah begitu saja—semuanya datang begitu saja, menyiramnya dengan kebencian yang mendalam.
Pagi tadi, saat ia berpapasan dengan Rafli, hampir saja ia menahan napas, mencoba menekan perasaan yang terus menderanya. Tapi, saat matanya bertemu mata Rafli, rasa itu muncul kembali. Ia mencoba menghindari tatapan itu, tapi tak bisa. Sepertinya, dalam setiap tatapan Rafli terdapat serpihan kenangan yang ia coba kubur. Kenangan yang selalu muncul dan menghantui.
Dendam itu tumbuh begitu besar dalam dirinya, membuatnya hampir tak bisa menghindari perasaan marah yang membakar dada. “Kenapa dia bisa begitu mudah melupakan semua yang telah dia lakukan padaku?” pikir Arumi, menggeram pelan. “Kenapa aku yang harus menanggung semuanya?”
Sejak perpisahan mereka dua tahun lalu, Arumi berusaha untuk tidak berpikir tentang Rafli. Ia mencoba melupakan semua yang telah terjadi—keputusan Rafli yang tiba-tiba pergi meninggalkannya demi perempuan lain. Semuanya datang begitu cepat, menghancurkan perasaan Arumi tanpa ampun. Rafli, yang dulu ia anggap sebagai cinta sejatinya, ternyata memilih untuk mengkhianatinya demi kepentingan pribadinya. Rasa sakit itu masih sangat segar dalam ingatannya.
Di kafe, Arumi duduk di pojok ruangan, memesan secangkir kopi hangat. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun, bayangan wajah Rafli kembali muncul di benaknya, menyusup ke dalam setiap sudut pikirannya. “Apa yang sebenarnya dia inginkan sekarang?” gumamnya dalam hati. “Kenapa sekarang dia datang lagi setelah semuanya berakhir?”
Arumi mengingat bagaimana dulu Rafli selalu ada di sisinya. Mereka berbagi tawa, berbagi impian tentang masa depan bersama. Namun, segala yang indah itu hancur begitu saja saat Rafli menghilang tanpa kabar. Tiga bulan tanpa penjelasan, tiga bulan penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Sampai akhirnya, Arumi tahu bahwa Rafli telah memilih perempuan lain. Betapa dalamnya luka yang ditinggalkan.
Setelah itu, Arumi menutup hatinya. Ia membangun tembok di sekelilingnya, menahan semua rasa cinta yang pernah ia rasakan untuk Rafli. Hatinya berubah keras, tak ingin ada ruang untuk rasa percaya lagi. Meskipun ia masih merasa sakit, ia tak pernah ingin menunjukkan itu pada orang lain. Semua orang melihat Arumi sebagai gadis yang tegar, yang bisa mengatasi semuanya. Namun, jauh di dalam hatinya, ia merasa terluka, marah, dan penuh dengan dendam.
Dendam itu seperti api yang tak pernah padam, selalu ada di dalam dirinya, membara setiap kali Rafli muncul. Arumi tahu bahwa ia harus melupakan masa lalu dan melanjutkan hidupnya, tetapi hatinya seakan tak bisa begitu saja melepaskan perasaan yang masih terpendam. Setiap kali Rafli muncul, perasaan itu muncul lagi—perasaan yang membuatnya bingung, marah, dan tidak tahu harus bagaimana.
Tiba-tiba, Arumi merasa seseorang duduk di hadapannya. Ia mendongak dan mendapati Rafli sudah duduk di seberang meja, menatapnya dengan tatapan serius.
“Arumi, kita perlu bicara,” kata Rafli dengan suara yang lembut.
Arumi menatapnya dengan tajam. Ia merasa kebencian mulai merembes keluar dari dirinya, meskipun ia berusaha menahannya. “Apa lagi yang mau kamu katakan, Rafli?” jawabnya dengan nada yang dingin. “Aku rasa sudah cukup jelas apa yang terjadi di antara kita. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.”
Rafli menunduk, seolah tertekan dengan kata-kata Arumi. “Aku tahu aku sudah banyak membuat kesalahan. Aku tahu aku tidak bisa mengubah masa lalu, dan aku juga tidak bisa menghapus rasa sakit yang aku buat. Tapi, aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menyesal, Arumi.”
Arumi merasa hatinya berdebar mendengar kata-kata itu. Walaupun ia ingin tetap keras dan membiarkan amarahnya menguasai, ada bagian dari dirinya yang tidak bisa menahan perasaan itu. “Kamu menyesal? Apakah itu bisa menghapus rasa sakit yang kamu buat? Apakah kata-kata itu bisa mengembalikan semuanya?” tanyanya dengan suara yang bergetar, meskipun ia berusaha keras untuk tidak menangis.
Rafli menggigit bibir, tampak sangat menyesal. “Aku tahu aku tidak pantas meminta maaf, Arumi. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah berniat untuk menyakitimu. Aku sangat bodoh dan ceroboh waktu itu. Aku… aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.”
Arumi menatap Rafli dengan penuh kebencian. “Kamu tidak tahu apa yang harus dilakukan? Kamu pikir itu alasan yang cukup untuk melukai perasaan orang lain? Kamu pikir bisa begitu saja datang dan meminta maaf setelah semua yang kamu lakukan?” Arumi berdiri, tidak tahan lagi. “Aku tidak butuh kata-kata maafmu, Rafli. Kamu sudah cukup membuat hidupku menderita.”
Dengan langkah cepat, Arumi meninggalkan kafe. Rafli hanya bisa diam, memandangi punggungnya yang menjauh, merasa sangat bersalah. Arumi tahu ia harus tetap berjalan maju, meskipun rasanya sangat sulit. Ia mencoba menahan air mata yang ingin tumpah. Dendam yang membara di dalam dirinya mungkin tidak akan pernah hilang, tetapi ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi membiarkan Rafli merusak hidupnya.
Dengan langkah yang tegas, Arumi melangkah pergi, berusaha untuk menutup lembaran lama dan membiarkan waktu menyembuhkan luka-lukanya.*
BAB 4 MENCARI PENEBUSAN
Hari itu, langit pagi cerah meskipun hati Arumi masih terasa mendung. Ia baru saja keluar dari ruang kelas setelah ujian yang melelahkan. Langkah kakinya terhenti sejenak ketika melihat sebuah buku yang terjatuh di depan pintu. Ia menundukkan kepala dan melihat nama Rafli tertulis di sampul buku itu. Tanpa sadar, ia menghela napas panjang. Masih ada rasa sesak di dada, rasa yang tak kunjung hilang meski sudah bertahun-tahun berlalu.
Sejak pertemuan pertama mereka setelah sekian lama, perasaan Arumi seolah terombang-ambing antara kebencian dan kerinduan. Ia mengingat betul bagaimana dulu Rafli mengkhianatinya, menghancurkan segala harapan yang mereka bangun bersama. Namun, setiap kali melihat Rafli, ada rasa yang sulit dijelaskan. Sesuatu yang mengingatkan pada masa lalu mereka yang indah—kenangan yang sekarang terasa seperti luka lama yang tak bisa sembuh sepenuhnya.
Sambil memegang buku itu, Arumi melangkah menuju kantin. Di sana, Rafli duduk sendirian, terlihat merenung dengan ekspresi wajah yang penuh penyesalan. Arumi menghela napas dan menghampirinya. Sejak pertama kali mereka bertemu kembali, Rafli selalu berusaha menunjukkan perubahannya, berusaha menebus semua kesalahan yang telah ia perbuat. Namun, Arumi tak mudah mempercayainya. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin ia bisa membuka kembali hati yang telah terlanjur terkunci rapat oleh pengkhianatan?
“Buku ini milikmu?” Arumi bertanya, mencoba membuka percakapan dengan nada yang tidak sepenuhnya ramah.
Rafli mengangkat kepalanya dan menatap Arumi. Ada tatapan cemas yang menyiratkan kekhawatiran. “Iya… itu buku yang pernah kamu pinjam. Aku… aku ingin meminta maaf lagi,” jawabnya dengan suara rendah.
Arumi terdiam, memandang Rafli dengan tajam. Dulu, ketika mereka masih bersama, Rafli selalu tahu bagaimana membuatnya merasa nyaman dengan setiap kata-katanya. Tapi sekarang, setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya terasa seperti sebuah pengingat akan luka yang pernah tergores dalam hatinya.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Arumi, mencoba menghindari topik yang semakin menyakitkan.
“Aku hanya ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja,” jawab Rafli pelan, matanya menatap buku yang ada di tangan Arumi. “Aku tahu aku banyak salah, Arumi. Dan aku tahu aku tidak bisa menghapus semuanya. Tapi, aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin menebus semua yang telah aku buat, kalau kamu beri kesempatan.”
Arumi menggigit bibirnya, merasakan campuran antara kebencian dan kerinduan yang begitu kuat. Dendam itu masih ada, namun ada bagian dari dirinya yang ingin mempercayai kata-kata Rafli. Dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri—meskipun perasaan itu menyakitkan, ada bagian dari hatinya yang masih menginginkan Rafli. Tapi, apakah ini benar? Apakah Rafli benar-benar berubah?
“Rafli,” Arumi mulai berbicara dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Kamu tahu betul apa yang kamu lakukan padaku dulu. Aku merasa dihancurkan. Semua yang kita bangun, semua harapan kita… tiba-tiba saja hilang begitu saja. Bagaimana kamu bisa meminta maaf begitu saja?”
Rafli menundukkan kepala, merasa terhimpit oleh rasa bersalah. “Aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Aku tahu aku telah mengkhianatimu, Arumi. Aku tahu aku tidak pantas untuk mendapatkan maafmu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku menyesal. Setiap hari aku menyesal.”
Arumi merasakan air mata mulai menggenang di matanya, namun ia menahan diri untuk tidak menangis. Perasaan yang selama ini ia pendam kini mulai menggelora kembali. Rasa kecewa yang begitu dalam, yang telah mengendap bertahun-tahun, dan kerinduan yang tak bisa ia tutupi. Ia ingin berteriak, melepaskan semua perasaan yang selama ini ia simpan, tetapi ia tahu, itu hanya akan semakin melukai dirinya.
“Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu, Rafli,” kata Arumi akhirnya, suaranya penuh kebingungan. “Aku benar-benar tidak tahu. Dendam ini… terasa begitu berat untuk dilepaskan.”
Rafli mengangguk pelan, merasakan betapa beratnya kata-kata yang keluar dari bibir Arumi. “Aku tidak bisa memaksamu untuk memaafkanku, Arumi. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar menyesal. Dan aku siap menunggu, apapun yang terjadi. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa berubah.”
Tiba-tiba, Arumi merasakan getaran yang tak bisa ia jelaskan. Ada sesuatu dalam diri Rafli yang membuatnya terhentak, sesuatu yang berbeda. Ini bukan Rafli yang dulu—ini adalah Rafli yang kini penuh penyesalan dan kesadaran akan kesalahannya. Mungkin, inilah yang dimaksud dengan penebusan—bukan hanya sekedar kata-kata, tetapi tindakan nyata yang bisa memperbaiki kesalahan masa lalu.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan untuk membuktikan itu?” tanya Arumi, suara hatinya mulai melunak.
Rafli mengangkat wajahnya, matanya penuh tekad. “Aku akan melakukan apapun, Arumi. Aku akan menunjukkan padamu bahwa aku bisa menjadi orang yang pantas untukmu. Aku tidak ingin hanya menjadi bayangan dari masa lalumu yang kelam. Aku ingin menjadi bagian dari masa depanmu, apapun itu.”
Arumi menatapnya lama, merasa seolah dunia ini berhenti sejenak. Kata-kata Rafli menggema di hatinya, tetapi keraguan masih ada. Mampukah ia benar-benar membuka hati untuk seseorang yang telah mengkhianatinya?
Namun, entah mengapa, ada rasa harapan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Mungkin, penebusan bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Mungkin itu adalah perjalanan panjang yang harus dilalui bersama.
“Aku tidak bisa janji akan mudah, Rafli,” kata Arumi akhirnya, meskipun hatinya penuh keraguan. “Tapi aku ingin melihat, apakah kamu benar-benar bisa berubah. Aku butuh waktu.”
Rafli tersenyum kecil, meskipun ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah. “Aku akan menunggu, Arumi. Aku akan terus berusaha, dan aku tidak akan menyerah.”
Mereka berdua duduk dalam keheningan, masing-masing memikirkan kata-kata yang baru saja terucap. Arumi tahu, ini bukanlah akhir dari perjalanan mereka, tetapi mungkin ini adalah awal dari penebusan yang akan mengubah segalanya.
Dan meskipun hatinya masih penuh dengan luka, ia mulai merasakan sesuatu yang baru—sesuatu yang mungkin saja bisa tumbuh menjadi sebuah kesempatan untuk cinta yang lebih baik, sebuah peluang untuk memaafkan dan melupakan.*
BAB 5 KETIKA HATI MULAI LEMBUT
Arumi duduk di bangku taman, menatap daun-daun yang berguguran di bawah pohon besar. Angin sore itu terasa sejuk, namun hatinya tetap terasa panas. Sebulan terakhir, perasaan yang ia sembunyikan dalam-dalam perlahan mulai muncul ke permukaan. Itu adalah perasaan yang sudah lama ia pendam: perasaan yang berhubungan dengan Rafli, cinta pertama yang kini hadir kembali dalam hidupnya.
Rafli, dengan segala upaya dan perhatian kecil yang ia tunjukkan, mulai membuat hati Arumi goyah. Setiap kali mereka berbicara, meskipun dengan topik ringan, Arumi merasakan kehangatan yang tak pernah ia rasakan sejak perpisahan mereka. Ada sesuatu dalam diri Rafli yang telah berubah—sesuatu yang membuat Arumi, meskipun masih terkejut, merasa bahwa dia mungkin bisa memaafkan semuanya.
Sejak pertama kali mereka bertemu lagi di reuni teman-teman lama, perasaan Arumi benar-benar kacau. Ia merasa benci, marah, dan terluka karena kenangan masa lalu. Namun, setiap kali melihat Rafli berusaha dengan tulus untuk menebus kesalahannya, ia mulai merasakan keraguan dalam dirinya. Kenapa harus begini? Mengapa perasaan ini tidak kunjung hilang? Arumi tahu bahwa di balik semua kemarahan dan rasa sakit, ada bagian dari dirinya yang masih merindukan Rafli. Tetapi, rasa takut dan kekecewaan selalu menghentikan langkahnya untuk membuka hati kembali.
Beberapa hari setelah pertemuan di reuni itu, Rafli menghubungi Arumi. Meski awalnya ragu, Arumi akhirnya menerima ajakan Rafli untuk bertemu. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang sudah lama menjadi tempat favorit mereka sejak sekolah dulu. Rafli terlihat cemas, seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan, tetapi ragu untuk mengungkapkannya.
“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” kata Rafli, memulai percakapan dengan nada gugup.
Arumi mengangguk pelan, menatap wajah Rafli yang penuh penyesalan. “Kamu nggak perlu khawatir. Aku bukan orang yang akan menghakimi masa lalumu, Rafli.”
Rafli terdiam sejenak, lalu ia menghela napas panjang. “Aku tahu aku salah. Aku tahu aku telah melukaimu, dan aku nggak bisa memaafkan diri sendiri karena itu. Aku menyesal, Arumi. Aku benar-benar menyesal.”
Arumi menunduk, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Kenapa kamu baru datang sekarang? Setelah semuanya berlalu begitu lama?”
“Aku nggak bisa terus melanjutkan hidupku tanpa mengakui kesalahanku,” jawab Rafli, tatapannya penuh dengan kesungguhan. “Aku tahu aku nggak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tapi aku ingin memperbaiki semuanya. Kalau kamu bisa memberi aku kesempatan, aku akan berusaha untuk menjadi orang yang pantas buat kamu.”
Arumi menggigit bibirnya, menahan gejolak perasaan yang semakin membesar. Sebelumnya, ia selalu merasa bahwa Rafli tidak pernah menyesal dan hanya mengejar kenyamanan dirinya sendiri setelah mengkhianatinya. Tapi kini, ada sesuatu dalam cara Rafli berbicara, dalam mata yang memancarkan penyesalan yang dalam, yang membuat Arumi merasa ada sesuatu yang berbeda. Rafli bukanlah sosok yang sama lagi. Ia telah berubah.
Setelah beberapa pertemuan berikutnya, Arumi mulai melihat sisi lain dari Rafli. Ia bukan lagi pemuda yang ceroboh dan egois seperti dulu, tetapi seorang lelaki yang berusaha untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Rafli mulai melakukan hal-hal kecil yang menunjukkan bahwa ia benar-benar berusaha untuk memperbaiki dirinya. Ia sering menawarkan bantuan tanpa diminta, bahkan mengajak Arumi untuk berbicara tentang hal-hal yang selama ini ia hindari.
Arumi merasa bingung. Di satu sisi, hatinya masih menyimpan rasa sakit yang mendalam. Namun, di sisi lain, ia merasa ada kedamaian yang mulai mengalir setiap kali bersama Rafli. Rafli, dengan segala usahanya, telah berhasil membuka hati Arumi sedikit demi sedikit. Meskipun Arumi belum sepenuhnya bisa melupakan masa lalu mereka, ia mulai merasa bahwa ada peluang untuk memperbaiki hubungan ini.
Pada suatu malam, setelah makan malam bersama, mereka berjalan menyusuri trotoar yang sepi. Suasana malam yang tenang membuat hati Arumi lebih terbuka. Rafli berjalan di sampingnya, diam, seakan menunggu momen yang tepat untuk berbicara. Akhirnya, Rafli memutuskan untuk berkata, “Aku tahu kita punya banyak kenangan buruk, Arumi. Tapi aku ingin kita punya kenangan indah bersama. Aku nggak ingin kamu hanya mengingatku sebagai orang yang menyakitimu.”
Arumi menatap wajah Rafli, melihat kehangatan dalam matanya. Ia merasakan getaran lembut dalam hatinya, perasaan yang dulu hanya ia simpan rapat-rapat. “Aku ingin mencoba, Rafli,” kata Arumi perlahan, suaranya bergetar. “Tapi aku takut, takut kalau ini hanya akan berakhir seperti dulu lagi.”
“Tidak, Arumi,” Rafli berkata penuh keyakinan. “Aku nggak akan pernah membuatmu merasa terluka lagi. Aku akan membuktikan itu dengan tindakan, bukan hanya kata-kata.”
Perlahan, Arumi mulai merasa bahwa dirinya bisa membuka hati kembali. Mungkin itu adalah bagian dari proses penyembuhan, membiarkan diri merasakan cinta lagi meskipun ada rasa takut yang mengintai. Cinta pertama mereka memang penuh dengan kenangan pahit, tetapi dalam diri Rafli yang baru, Arumi melihat potensi untuk membangun sesuatu yang lebih baik.
Arumi tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah. Ada banyak hal yang harus mereka hadapi bersama, dan masih ada keraguan yang harus dihadapi. Namun, untuk pertama kalinya sejak perpisahan mereka, Arumi merasa ada harapan. Ada rasa cinta yang kembali tumbuh, walau sedikit demi sedikit, namun cukup untuk membuatnya percaya bahwa mungkin, cinta pertama mereka bisa menjadi sesuatu yang lebih indah daripada sebelumnya.
Di balik setiap pertemuan, di balik setiap kata-kata yang diucapkan dengan penuh hati-hati, Arumi merasakan bahwa hati yang keras bisa mulai lembut lagi. Mungkin, hanya waktu yang akan menunjukkan apakah mereka bisa melewati semua rintangan dan akhirnya menemukan kebahagiaan bersama, atau apakah perasaan ini akan terluka sekali lagi. Namun, satu hal yang pasti: Arumi mulai melihat secercah cahaya di ujung terowongan, dan itu adalah awal yang baru dalam hidupnya.*
BAB 6 AROMA CINTA YANG TUMBUH
Pagi itu, udara terasa lebih segar dari biasanya. Arumi melangkah keluar dari rumah, memandangi langit yang cerah tanpa sedikit pun awan gelap. Meski hatinya masih terasa berat, ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh di dalam dirinya—perasaan yang tidak bisa ia hindari lagi, meskipun ia sudah berusaha keras untuk menolaknya.
Rafli—laki-laki yang pernah mengkhianatinya, yang dulu pernah menghancurkan hatinya—sekarang sedang berusaha memperbaiki semua kesalahan masa lalu. Seiring berjalannya waktu, Arumi mulai menyadari perubahan itu, dan meskipun hatinya sempat keras, ia tidak bisa lagi menutup mata terhadap kenyataan bahwa cinta pertamanya mulai tumbuh kembali.
“Arumi,” suara Rafli menyapanya dengan lembut saat mereka bertemu di kafe yang biasa mereka kunjungi. Mata Arumi bertemu dengan mata Rafli, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasakan kedamaian dalam tatapan itu. Tidak ada lagi penyesalan, tidak ada lagi rasa bersalah, hanya kedalaman yang penuh dengan harapan.
“Rian,” Arumi menyebut nama itu dengan ragu. Panggilan itu terasa aneh setelah sekian lama, namun hatinya tidak bisa menyangkal bahwa ia merindukan cara Rafli menyebut namanya dengan penuh kehangatan. “Kamu… baik-baik saja?” tanya Arumi, mencoba untuk bersikap biasa meskipun perasaan dalam dirinya bergejolak.
Rafli tersenyum, meskipun masih ada kesedihan di matanya. “Aku baik-baik saja. Aku ingin kita bicara. Tentang kita,” katanya, dengan suara yang tenang namun penuh arti.
Arumi merasakan dadanya berdegup kencang, namun ia mencoba untuk tetap tenang. Seiring waktu, ia telah mencoba melupakan semuanya, mencoba untuk mengubur rasa sakit yang ditinggalkan oleh Rafli. Namun, ada satu hal yang selalu mengganggunya: perasaan yang tak bisa ia tutup rapat-rapat. Perasaan yang terus muncul meskipun ia ingin menghindarinya.
Selama beberapa minggu terakhir, mereka mulai sering bertemu. Awalnya, Arumi berusaha untuk menjaga jarak, tetapi entah mengapa, ketika berada di dekat Rafli, hatinya mulai melunak. Perlahan, ia mulai melihat perubahan dalam diri Rafli. Bukan hanya dalam kata-kata atau perbuatan, tetapi dalam setiap tindakannya. Rafli tidak lagi tampak seperti sosok yang dulu, yang penuh dengan kebohongan dan ketidakpedulian. Kini, ia tampak lebih dewasa, lebih bertanggung jawab atas perbuatannya, dan lebih penuh perhatian.
Rafli mulai menunjukkan perhatian yang tulus. Ia membantu Arumi dalam berbagai hal, seperti saat ia kesulitan dalam pekerjaannya atau ketika ia merasa tertekan dengan kehidupan sosial yang sibuk. Hal-hal kecil seperti itu mulai memecah tembok kebekuan dalam hati Arumi. Di sisi lain, meskipun ia merasa nyaman dan terhibur oleh kehadiran Rafli, masih ada keraguan yang membayangi dirinya. “Apakah ini benar? Apakah ini cinta atau hanya sekadar pengaruh masa lalu?” Arumi sering bertanya pada dirinya sendiri.
Hari itu, mereka duduk berdua di taman dekat kafe, tempat di mana mereka pertama kali berbicara setelah lama tidak bertemu. Angin sore yang sejuk menyapa wajah mereka, dan suasana terasa begitu damai. Arumi memandang Rafli, yang kini duduk di sampingnya, memandang ke depan dengan tatapan yang dalam.
“Kamu tahu, Arumi, aku tidak bisa memaksa hatimu untuk langsung memaafkan aku,” kata Rafli dengan suara yang pelan namun penuh penyesalan. “Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah melupakanmu. Aku telah banyak belajar dari kesalahan masa lalu, dan aku ingin memperbaikinya. Aku ingin kita memulai lagi, meski aku tahu itu tidak mudah.”
Arumi memandangnya dengan tatapan yang lembut, meskipun di dalam hatinya masih ada rasa sakit yang tersembunyi. “Aku tahu kamu ingin memperbaiki semuanya, Rafli. Tapi, aku juga merasa takut. Takut jika aku membuka hatiku lagi, aku akan terluka seperti dulu,” jawab Arumi, suara tegang tapi penuh kejujuran.
Rafli menunduk, lalu mengambil tangan Arumi dengan lembut. “Aku tidak akan menyakitimu lagi, Arumi. Aku berjanji. Aku tidak akan membuatmu merasa terluka atau terkhianati lagi. Aku sudah berubah, dan aku akan berjuang untuk mendapatkan kepercayaanmu kembali.”
Arumi bisa merasakan kehangatan tangan Rafli, dan untuk sesaat, semua rasa takut dan ragu itu seolah menghilang. Namun, ia tahu bahwa tidak bisa begitu saja membuka hati sepenuhnya. Ia harus menjaga diri dan melindungi perasaan yang mungkin kembali terluka jika ia terlalu mudah mempercayakan hatinya pada Rafli. Tetapi, meskipun ia mencoba menahan perasaan itu, ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa cinta pertamanya sedang tumbuh kembali, dengan segala kompleksitas dan keraguan yang datang bersamanya.
Seiring berjalannya waktu, Arumi mulai merasakan bahwa hubungan mereka bukan hanya tentang perasaan lama yang tersisa. Ini adalah tentang bagaimana mereka berdua belajar untuk saling memahami dan memberi kesempatan kedua. Setiap pertemuan dengan Rafli memberi Arumi lebih banyak alasan untuk membuka hati, meskipun ia masih merasakan ketakutan yang mengganjal.
“Aku ingin melangkah lebih jauh, Arumi. Tapi aku ingin tahu apakah kamu juga merasakannya,” kata Rafli suatu malam, saat mereka duduk di taman yang tenang.
Arumi menatapnya, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. “Aku tidak tahu, Rafli. Aku masih membutuhkan waktu. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengetahui apakah perasaan ini bisa tumbuh menjadi sesuatu yang lebih indah.”
Rafli tersenyum, dan meskipun mereka belum sepenuhnya memutuskan apa yang akan terjadi selanjutnya, ada sebuah harapan baru yang mulai berkembang di antara mereka. Cinta pertama itu, meski penuh dengan rasa sakit dan kenangan kelam, kini mulai tumbuh kembali, membawa kehangatan dan harapan yang baru. Aroma cinta yang dulu hilang kini perlahan-lahan tercium kembali, meskipun dalam bentuk yang berbeda—lebih matang, lebih bijaksana, dan lebih penuh pengertian.
Mereka berdua tahu bahwa jalan yang akan mereka lalui tidak akan mudah, tetapi mereka siap untuk menjalani setiap langkah bersama, membangun cinta mereka dari dasar yang lebih kuat, dan tak lagi takut untuk merasakan kehangatan yang selama ini mereka cari.***
————–THE END—————-