Daftar Isi
BAB 1 AWAL YANG INDAH
Alina memandangi taman sekolah yang ramai dengan murid-murid yang berlalu lalang. Matahari sore menebarkan sinarnya yang hangat, membuat segala sesuatu di sekitarnya tampak lebih hidup. Ia duduk di bangku dekat pohon besar, sebuah tempat favoritnya untuk beristirahat setelah pelajaran selesai. Taman ini selalu memberikan rasa damai, seolah dunia di luar sana tidak ada. Tapi hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuat hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya.
Hari ini adalah hari pertama ia bertemu dengannya—Daniel.
Alina tidak pernah membayangkan bahwa sebuah pertemuan biasa bisa mengubah begitu banyak hal dalam hidupnya. Daniel, seorang pemuda tampan yang baru saja pindah ke sekolahnya, duduk di bangku yang tak jauh darinya. Alina mendengar suara tawa yang familiar, suara yang menandakan bahwa hari ini pasti akan berbeda.
Awalnya, ia tidak terlalu peduli pada kehadiran Daniel. Satu-satunya hal yang ia tahu tentangnya adalah bahwa ia adalah anak baru di kelasnya dan cukup terkenal di kalangan teman-temannya. Meski tidak terlalu dekat dengan banyak orang, Alina tidak merasa tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentangnya. Ia lebih suka fokus pada pelajaran dan kegiatan pribadinya. Namun, ada sesuatu dalam diri Daniel yang membuatnya tak bisa mengalihkan perhatian dari sosoknya.
Saat mata mereka bertemu untuk pertama kalinya, ada sesuatu yang tak terungkapkan. Mata Daniel yang tajam dan penuh percaya diri bertemu dengan matanya yang agak canggung, namun ada kilatan kebingungan dalam pandangannya. Alina merasa sesuatu yang aneh di dalam dadanya, perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mungkin ini hanya perasaan biasa, pikirnya. Namun, detik itu juga, perasaan itu mulai tumbuh lebih dalam.
Hari pertama bersama Daniel tidak terlalu istimewa. Mereka hanya bertemu beberapa kali di kelas dan di ruang makan, tetapi ada sesuatu yang menarik di setiap interaksi mereka. Daniel tidak pernah gagal untuk membuat Alina tertawa. Ia bisa membuatnya merasa nyaman dalam situasi apapun. Perhatian kecil seperti memberikan tempat duduk di bus atau menawarinya buku catatan saat ia lupa, mulai membuat Alina merasakan ketertarikan yang semakin besar.
“Alina,” suara Daniel memecah lamunannya. Alina menoleh dan melihatnya berdiri di depan pintu kelas, senyum lebar menghiasi wajahnya yang tampan. “Mau makan siang bareng? Aku lihat kamu sendirian, nggak enak kalau makan sendirian di kantin.”
Alina sedikit terkejut mendengar ajakan itu, tetapi senyuman Daniel yang tulus membuatnya tidak bisa menolak. Ia mengangguk dan berjalan menuju kantin bersama Daniel. Meskipun mereka baru beberapa kali berbicara, ada sesuatu dalam diri Daniel yang membuat Alina merasa nyaman. Selama makan siang, mereka berbicara tentang hal-hal sepele, tentang hobi, tentang rencana masa depan, dan banyak lagi. Alina merasa bahwa ia bisa berbicara apa saja tanpa ada rasa canggung.
Sejak saat itu, pertemuan mereka semakin sering. Tidak hanya di kelas atau di kantin, tetapi juga di luar sekolah. Daniel mulai mengajak Alina jalan-jalan di akhir pekan, menonton film bersama, bahkan pergi ke taman untuk sekadar berbicara. Mereka berbagi banyak hal, dan setiap percakapan terasa begitu alami. Alina merasa seperti telah mengenal Daniel sejak lama. Rasanya tidak ada yang menghalangi kedekatan mereka, bahkan perbedaan kecil di antara mereka terasa tidak berarti.
Pada suatu malam, ketika mereka duduk bersama di bangku taman, menikmati angin malam yang sejuk, Daniel menatap Alina dengan ekspresi serius yang jarang ia tunjukkan. “Alina, aku nggak tahu bagaimana aku bisa menjelaskan ini, tapi aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Kamu… kamu membuatku merasa lebih hidup. Aku nggak tahu, tapi setiap kali aku dekat denganmu, rasanya seperti dunia ini hanya milik kita berdua.”
Alina terdiam. Kata-kata Daniel seperti musik yang indah, tetapi ia merasa bingung. Apakah ini berarti apa yang ia pikirkan? Apakah Daniel benar-benar merasakannya juga? “Aku… aku merasa sama, Daniel,” jawab Alina dengan suara lembut, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Aku juga merasa nyaman bersamamu. Rasanya… aku nggak pernah merasa sebaik ini sebelumnya.”
Daniel tersenyum lebar, senyum yang membuat hati Alina berdegup kencang. “Kamu tahu, aku sering berpikir, mungkin kita bisa menjadi lebih dari sekedar teman. Aku ingin mencoba lebih jauh. Aku ingin mencoba bersama-sama.”
Perasaan hangat menjalar di hati Alina. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa perasaan itu bukan hanya milik satu orang, tetapi sesuatu yang bisa mereka bagi bersama. Cinta pertama, pikirnya. Mungkin ini yang dinamakan cinta pertama—sesuatu yang sederhana, tetapi sangat berarti.
Setelah pernyataan itu, hubungan mereka mulai berkembang dengan cara yang alami. Tidak ada paksaan, hanya dua hati yang saling mengenal dan tumbuh bersama. Setiap kali mereka berbicara, ada perasaan kebahagiaan yang melimpah, dan Alina merasa bahwa ia tidak pernah ingin kehilangan momen-momen seperti itu. Daniel adalah orang yang membuat dunia ini terasa lebih indah, membuat setiap detik bersama terasa sangat berharga.
Namun, seperti halnya hubungan baru lainnya, Alina tahu bahwa mereka masih harus melewati banyak hal. Ada perasaan tidak pasti yang kadang muncul, namun ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Karena pada saat itu, saat itu saja, semua yang ia butuhkan adalah kebersamaan dengan Daniel, dan ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk merasakannya.
Mereka berdua tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, dan banyak tantangan yang mungkin akan datang. Namun, untuk saat ini, segala hal tampak sempurna. Dan itu sudah cukup.
Pada akhirnya, hari pertama bersama Daniel hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang indah dan penuh harapan. Sesuatu yang akan membentuk Alina dan Daniel menjadi lebih baik—bersama-sama.*
BAB 2 JATUH CINTA TANPA SYARAT
Alina duduk di bangku taman sekolah, memandangi matahari yang mulai tenggelam di balik gedung sekolah. Di sampingnya, Daniel duduk dengan tenang, sesekali tertawa kecil mendengarkan cerita Alina tentang kejadian lucu yang terjadi di kelas. Terkadang, hanya kebersamaan seperti ini yang membuat hati Alina terasa tenang dan nyaman.
Setiap detik yang mereka habiskan bersama seolah menjadi kenangan indah yang tak ingin ia lupakan. Alina merasa dunia berhenti berputar saat berada di dekat Daniel. Semua kegelisahan dan kekhawatirannya seolah lenyap begitu saja, tergantikan oleh senyuman Daniel yang hangat dan perhatian kecil yang ia tunjukkan. Ia merasa seperti berada dalam gelembung kebahagiaan, di mana hanya ada mereka berdua dan dunia terasa sempurna.
“Susah banget ya nyari tempat yang tenang di sekolah ini,” ujar Daniel sambil menoleh ke sekeliling mereka yang ramai dengan teman-teman lain.
Alina tersenyum. “Iya, semua orang kayaknya selalu bergerombol di mana-mana. Tapi, kalau di sini… rasanya beda. Aku suka.”
Daniel menatapnya dengan lembut. “Aku juga suka kalau bisa duduk sama kamu begini.”
Kalimat itu terasa begitu sederhana, namun dalam hati Alina, ia tahu bahwa kata-kata itu lebih dari sekadar ungkapan biasa. Ada sesuatu yang tulus, yang membuat perasaannya semakin terikat pada Daniel. Meskipun mereka baru saja mulai dekat beberapa minggu lalu, perasaan Alina terhadapnya tumbuh begitu cepat, melebihi apa yang pernah ia bayangkan tentang cinta pertama.
Sejak pertama kali mereka berbicara beberapa minggu yang lalu, Alina merasa ada sesuatu yang berbeda tentang Daniel. Meskipun dia adalah sosok yang populer dan sering dikelilingi banyak teman, Daniel selalu memperhatikannya dengan cara yang berbeda. Dia tidak pernah terburu-buru, selalu sabar mendengarkan cerita-cerita Alina, bahkan tentang hal-hal kecil yang mungkin tidak penting bagi orang lain. Itulah yang membuat Alina merasa istimewa setiap kali bersama Daniel.
Hari-hari yang mereka lewati bersama semakin membawa kedekatan di antara mereka. Alina merasa seperti telah menemukan seseorang yang benar-benar mengerti dirinya tanpa perlu banyak kata. Setiap pertemuan, baik di sekolah maupun di luar sekolah, selalu meninggalkan kenangan yang berharga. Daniel selalu ada untuknya, mendukungnya dalam setiap langkah hidupnya. Ia bahkan tahu kapan Alina sedang merasa cemas atau lelah tanpa Alina harus mengatakan apa pun.
Alina merasa hatinya semakin terikat pada Daniel. Bukan hanya karena penampilan fisiknya yang tampan, tetapi juga karena sikapnya yang penuh perhatian dan pengertian. Setiap senyuman Daniel seolah mampu menghapus segala rasa takut dan ragu dalam dirinya. Seiring waktu, ia mulai merasa bahwa mungkin inilah yang disebut dengan cinta pertama.
Mereka mulai berbicara lebih banyak tentang impian dan harapan masing-masing. Alina menceritakan tentang cita-citanya untuk menjadi seorang arsitek, sedangkan Daniel bercerita tentang keinginannya untuk berkeliling dunia dan mengeksplorasi berbagai budaya. Mereka memiliki impian yang berbeda, tetapi ada satu hal yang mereka sepakati: mereka ingin menjalani hidup dengan penuh kebahagiaan.
Suatu hari, saat mereka sedang berjalan pulang bersama setelah selesai latihan olahraga, Daniel menoleh padanya dengan senyum lebar. “Alina,” katanya dengan suara yang lembut, “aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menghargai setiap momen yang kita habiskan bersama. Rasanya, dunia ini menjadi lebih indah karena ada kamu di dalamnya.”
Alina terdiam sejenak, kalimat itu begitu tulus dan menyentuh hatinya. Ia tidak bisa menahan senyum yang muncul di wajahnya. “Aku juga merasa begitu, Daniel. Aku merasa beruntung bisa mengenalmu.”
Saat itu, mereka berdua hanya saling menatap tanpa kata-kata lagi, tetapi perasaan yang mereka rasakan begitu kuat. Cinta pertama itu hadir tanpa syarat, begitu alami dan indah. Tidak ada alasan khusus mengapa mereka jatuh cinta, selain bahwa mereka merasa nyaman, aman, dan bahagia bersama. Cinta yang muncul tanpa paksaan, yang tumbuh begitu alami di tengah kebersamaan mereka.
Hari-hari berlalu dengan kebahagiaan yang semakin mendalam. Mereka tidak lagi hanya berbicara tentang hal-hal sepele, tetapi juga berbagi perasaan dan pikiran mereka yang lebih dalam. Alina mulai merasa bahwa ia bisa menjadi dirinya sendiri sepenuhnya di hadapan Daniel, tanpa takut dihakimi atau dipahami dengan cara yang salah. Daniel selalu membuatnya merasa diterima apa adanya.
Namun, meskipun Alina merasa begitu nyaman dengan Daniel, ada ketakutan kecil yang muncul dalam hatinya. Bagaimana jika perasaan ini hanya sementara? Bagaimana jika suatu hari nanti Daniel berubah atau meninggalkannya begitu saja? Tetapi, setiap kali rasa takut itu muncul, Daniel selalu mampu menghapusnya dengan cara yang sederhana—dengan kebersamaan mereka, dengan senyumannya yang menenangkan, dan dengan kata-kata manis yang membuat hatinya terasa hangat.
Alina tahu bahwa jatuh cinta tanpa syarat itu adalah hal yang indah, tetapi juga penuh kerentanannya. Cinta pertama selalu datang dengan rasa takut kehilangan, dengan ketidakpastian yang mengikutinya. Namun, ia merasa siap untuk menjalani perasaan ini, meskipun ada risiko di dalamnya. Karena, menurutnya, cinta pertama adalah pengalaman yang tak bisa dilupakan, sesuatu yang akan selalu menjadi bagian dari perjalanan hidupnya, apapun yang terjadi.
Malam itu, setelah pulang dari sekolah, Alina duduk di kamarnya, memandangi foto dirinya dan Daniel yang diambil beberapa hari lalu. Senyum mereka begitu tulus, menggambarkan kebahagiaan yang sederhana namun penuh makna. Alina merasa perasaan yang ia miliki untuk Daniel bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Cinta ini tumbuh begitu alami, tanpa syarat, dan itu membuatnya merasa hidup dengan cara yang berbeda.
Meskipun tidak ada jaminan apa yang akan terjadi di masa depan, Alina tahu satu hal: ia akan selalu mengingat saat-saat indah ini, saat cinta pertama tumbuh dengan cara yang paling murni, tanpa perlu alasan atau harapan. Cinta ini adalah bagian dari dirinya yang tak akan pernah pudar.*
BAB 3 KERAGUAN YANG MUNCUL
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan setiap kali Alina memandang Daniel, ia merasa seperti ada sesuatu yang berubah, meskipun ia tidak bisa memastikannya. Cinta pertama itu tampak begitu sempurna di awal—tawa bersama, berbagi cerita, dan rasa kebersamaan yang membuat hati mereka merasa penuh. Namun, belakangan ini, ada sesuatu yang terasa berbeda. Seperti ada tembok tak terlihat yang mulai dibangun antara mereka.
Alina duduk di bangku taman sekolah seperti biasanya, menunggu Daniel. Namun, hari ini ada sesuatu yang terasa ganjil. Pikirannya mulai berkeliaran, mempertanyakan banyak hal yang sebelumnya ia anggap remeh. Daniel yang dulu selalu penuh perhatian dan penuh kasih sayang kini tampak lebih sering menghindar. Ia jarang mengirim pesan, dan setiap kali bertemu, Daniel tampak tidak sepenuh hati. Alina mencoba menepis perasaan itu, berpikir bahwa mungkin dia hanya terlalu cemas. Namun, semakin hari, perasaan itu semakin menguat, dan keraguan mulai mengisi ruang dalam hatinya.
Hari itu, mereka berdua bertemu di taman sekolah, tempat favorit mereka. Seperti biasa, mereka duduk bersama, tetapi suasananya terasa berbeda. Alina merasa canggung, mencoba mencari topik pembicaraan yang ringan, tetapi Daniel tampak sibuk dengan ponselnya, matanya lebih sering menatap layar daripada memandangnya.
“Rian itu gimana?” tanya Alina, mencoba membuka percakapan.
Daniel hanya mengangguk, matanya masih tertuju pada layar ponselnya. “Dia baik-baik aja, kayak biasa,” jawabnya dengan suara datar.
Alina terdiam, merasa ada sesuatu yang salah. Tadi malam, mereka baru saja membicarakan tentang liburan sekolah yang akan datang, dan Daniel begitu antusias untuk merencanakan bersama. Tapi sekarang, ia hanya mengangguk dengan sambil menatap ponsel. Ada perasaan aneh yang mulai muncul dalam diri Alina—perasaan yang sebelumnya tak pernah ia rasakan, namun kini seakan menjadi bagian dari kesehariannya.
Setelah beberapa saat, Daniel menaruh ponselnya dan melihat Alina dengan raut wajah serius. “Nia, ada sesuatu yang perlu aku bicarakan,” katanya dengan suara pelan, yang membuat jantung Alina berdegup lebih cepat. Perasaan cemas langsung menguasai dirinya. Apa yang akan dikatakan Daniel? Apakah ini tentang hubungan mereka?
Alina menatap Daniel, mencoba membaca ekspresi wajahnya. “Ada apa, Daniel?” tanyanya, suaranya hampir bergetar.
Daniel menarik napas dalam-dalam, lalu mengalihkan pandangannya. “Aku merasa… belakangan ini kita mulai jauh, Nia. Aku nggak tahu, tapi aku merasa hubungan kita nggak sama seperti dulu.”
Alina terpaku mendengar kalimat itu. Hatinya seperti tertimpa batu besar. Ia merasa terhimpit oleh kata-kata itu, seperti ada yang merobek hatinya perlahan-lahan. Bukankah mereka baru saja berbicara dengan begitu bahagia beberapa hari yang lalu? Kenapa tiba-tiba ada jarak seperti ini? Daniel—sosok yang selalu ada untuknya—sekarang mengatakan bahwa ada sesuatu yang berubah antara mereka.
“Jadi… maksud kamu?” Alina berusaha mengendalikan suaranya yang mulai serak.
Daniel mengusap wajahnya, terlihat frustasi. “Aku nggak tahu, Nia. Mungkin ini cuma perasaanku aja. Tapi aku merasa kita seperti saling menjauh, dan aku nggak tahu kenapa. Kamu nggak merasakannya?”
Alina terdiam, mencoba mengingat kembali semua momen yang mereka lalui. Ya, ada perubahan. Daniel yang dulu selalu memberi perhatian lebih kini mulai mengabaikan beberapa hal. Ia mulai merasa cemas, tapi enggan mengakuinya. Selama ini, ia terlalu takut untuk berpikir buruk tentang hubungannya dengan Daniel. Tapi sekarang, semua keraguan itu muncul begitu saja, menelusup masuk ke dalam hatinya.
“Kalau kamu merasa begitu… kenapa nggak kita bicara lebih banyak?” Alina berusaha memberi solusi, meskipun hatinya terasa sakit. “Kita bisa mencoba memperbaikinya, kan?”
Daniel menggeleng pelan, menatapnya dengan tatapan kosong. “Aku nggak tahu, Nia. Aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang, dan aku nggak bisa menemukan jawabannya. Mungkin kita butuh waktu untuk berpikir, masing-masing.”
Kata-kata itu menghantam hati Alina dengan keras. Waktu untuk berpikir? Apakah ini berarti mereka harus berpisah? Alina tidak bisa membayangkan hidup tanpa Daniel di sampingnya. Cinta pertama—cinta yang ia anggap sempurna—tiba-tiba terasa rapuh, seolah-olah bisa runtuh kapan saja.
Alina berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya hancur. “Jadi, kamu ingin kita… memberi jarak?” tanyanya, mengonfirmasi apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Daniel mengangguk, matanya tidak bisa menatap Alina dengan jelas. “Mungkin itu yang terbaik untuk sekarang. Aku nggak ingin kita saling menyakiti.”
Alina menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang hampir tumpah. Ia merasa kehilangan arah, seolah-olah dunia yang ia bangun bersama Daniel mulai runtuh begitu saja. Ia tidak tahu apakah ia bisa menghadapinya. Semua kenangan indah bersama Daniel, semua tawa yang mereka bagi, sekarang terasa seperti kebohongan besar.
“Kalau itu yang kamu inginkan…” kata Alina dengan suara pelan, “Aku akan memberimu waktu.” Meskipun rasa sakit menyelimuti hatinya, ia tahu bahwa jika itu yang bisa dilakukan untuk mempertahankan hubungan ini, ia akan memberikannya.
Daniel hanya mengangguk, tampak tidak tahu harus berkata apa lagi. Mereka berdua terdiam, dan suasana yang dulunya penuh dengan tawa dan kebahagiaan kini berubah menjadi hampa.
Setelah pertemuan itu, Alina pulang dengan perasaan kosong. Keraguan yang sebelumnya hanya menjadi bayang-bayang kini menjadi kenyataan yang harus dihadapi. Ia tidak tahu apakah hubungan ini bisa dipulihkan atau tidak, tetapi satu hal yang pasti: perasaan cinta yang dulu begitu kuat kini mulai tercabik oleh ketidakpastian.
Alina tahu bahwa perasaan ini, perasaan ragu dan takut kehilangan, adalah bagian dari perjalanan cinta pertamanya. Namun, ia tidak tahu bagaimana cara menghadapi kenyataan bahwa mungkin cinta pertama ini tidak akan bertahan lama seperti yang ia harapkan.*
BAB 4 PENGHKIANATAN YANG MENYAKITKAN
Alina berjalan menuju taman sekolah dengan langkah yang terasa lebih berat dari biasanya. Hari ini seharusnya menjadi hari yang cerah—hari di mana ia dan Daniel berencana untuk bertemu dan merayakan hari jadi mereka yang pertama. Namun, perasaan di dalam hatinya terasa berbeda. Ada sesuatu yang tidak beres. Semuanya dimulai sejak dua hari yang lalu, saat Daniel tiba-tiba menjadi lebih jarang menghubunginya. Pesan-pesan singkat mereka mulai terhenti, dan pertemuan mereka yang biasanya penuh tawa kini terhenti begitu saja.
Di sepanjang jalan menuju taman, pikiran Alina terus dipenuhi dengan perasaan gelisah. Ada sesuatu yang mengganggu hatinya, meski ia berusaha menepisnya. Terkadang, jika perasaan cemas sudah mulai menjalar, biasanya itu adalah pertanda bahwa ada yang tidak beres. Alina mencoba untuk berpikir positif, tetapi hatinya yang berat tidak bisa ditutup-tutupi.
Ketika sampai di taman, Alina melihat sosok Daniel sedang duduk di bangku yang biasa mereka duduki bersama. Namun, ada sesuatu yang aneh—ia duduk sendiri, dan wajahnya terlihat tidak seperti biasanya. Ada ekspresi yang sulit dijelaskan, namun jelas bahwa itu bukan ekspresi kegembiraan atau kebahagiaan. Alina merasa ada yang salah. Dengan hati berdebar, ia melangkah mendekat, dan saat itu juga ia melihat sesuatu yang membuat hatinya hancur.
Di sebelah Daniel, duduk Mia—teman dekat Alina. Mia adalah sahabatnya sejak kecil. Mereka telah berbagi begitu banyak kenangan bersama, dan Alina selalu merasa bahwa Mia adalah orang yang paling bisa diandalkan. Tetapi, hari ini, ada sesuatu yang sangat berbeda. Mia tersenyum pada Daniel dengan cara yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, dan Daniel membalasnya dengan senyum yang tampak penuh arti.
“Daniel?” Alina mencoba menyapa dengan suara yang bergetar, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang.
Daniel menoleh dengan sedikit terkejut, seolah-olah baru sadar akan kehadiran Alina. “Alina… aku… kita perlu bicara,” katanya dengan nada yang berat, tapi ada keraguan dalam suaranya.
Hati Alina mulai berdebar kencang. Ia merasa ada sesuatu yang buruk akan terjadi, namun ia berusaha menahan emosi yang mulai menguasai dirinya. “Ada apa, Daniel?” tanyanya pelan, tetapi suaranya terdengar keras di telinga sendiri.
Daniel berdiri perlahan, kemudian menghela napas panjang. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana, Alina. Tapi aku rasa aku harus jujur padamu,” katanya, suaranya penuh penyesalan. “Aku dan Mia… kami telah…”
Alina menatap Daniel dengan bingung. “Apa maksudmu?” tanya Alina, namun di dalam hatinya sudah mulai terbesit sebuah perasaan yang sangat tidak menyenangkan.
Mia yang duduk di samping Daniel mengalihkan pandangannya. Wajahnya yang biasanya ceria kini terlihat canggung, dan itu membuat Alina semakin bingung. “Mia?” Alina berkata dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu ada di sini?”
Mia membuka mulutnya, namun tidak kunjung berkata apa-apa. Matanya teralihkan, dan Alina bisa melihat bahwa Mia tampak sangat tidak nyaman. Alina bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang telah terjadi antara mereka—sesuatu yang sangat buruk.
Akhirnya, Daniel mengambil langkah maju, mendekati Alina dengan ekspresi penuh penyesalan. “Aku tidak ingin menyakitimu, Alina,” katanya, dengan nada yang perlahan. “Tapi aku dan Mia… kami… sudah menjalin hubungan. Maafkan aku, Alina.”
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar langsung ke hatinya. Alina merasa seolah-olah dunia di sekelilingnya berhenti sejenak. Suara burung yang berkicau di atas pohon terdengar samar, dan ia merasa seolah-olah tubuhnya beku di tempat. Rasa sakit yang tiba-tiba datang begitu kuat, membuatnya hampir tidak bisa bernapas.
“Apa… apa yang kamu katakan?” Alina bertanya dengan suara yang serak, berusaha memproses apa yang baru saja didengarnya.
Daniel menunduk, tidak bisa menatap mata Alina. “Aku minta maaf, Alina. Aku tidak tahu harus bagaimana. Tapi ini benar-benar terjadi, dan aku tidak bisa menyembunyikan ini lagi darimu.”
Alina merasa tubuhnya terhimpit oleh perasaan yang tak terlukiskan. Tidak mungkin! Bagaimana bisa Mia, sahabatnya, teman yang selalu ia percayai, melakukan ini padanya? Dan Daniel, kekasih yang selama ini ia anggap sebagai belahan jiwanya, ternyata menyembunyikan kenyataan ini darinya. Ia merasa seperti dunia yang selama ini ia bangun bersama Daniel dan Mia hancur seketika.
Sebelum ia bisa mengucapkan kata-kata lain, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia tidak bisa menahannya lagi. “Kenapa kamu lakukan ini, Daniel?” suaranya bergetar, penuh dengan tangisan yang tak terbendung. “Kenapa harus Mia? Kenapa sahabatku sendiri?”
Mia akhirnya membuka mulutnya, tetapi kata-katanya tak mampu meredakan rasa sakit yang sudah terlanjur menusuk hati Alina. “Aku… aku tidak bermaksud melukaimu, Alina. Aku benar-benar menyesal… tapi ini terjadi begitu saja,” kata Mia, suaranya juga dipenuhi penyesalan, namun itu tak bisa mengurangi rasa sakit yang dirasakan Alina.
Alina tidak bisa lagi mendengarkan mereka. Semua kata-kata itu terasa kosong dan tidak berarti. Dengan wajah yang basah oleh air mata, ia berbalik dan berlari meninggalkan mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia tahu, pada saat itu, bahwa hubungan mereka sudah berakhir. Semuanya sudah hancur. Cinta pertama yang ia percayai, yang ia banggakan, kini telah berubah menjadi pengkhianatan yang mendalam.
Di sepanjang jalan menuju rumah, Alina merasa seolah-olah seluruh dunia telah berubah. Setiap langkah terasa berat, dan setiap pikiran hanya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Mengapa ini harus terjadi padanya? Apa yang salah dengan dirinya? Mengapa sahabatnya sendiri bisa berkhianat?
Namun satu hal yang pasti, rasa sakit ini tidak akan mudah dilupakan. Dendam mulai merayap dalam hatinya, dan ia tahu bahwa ia harus menghadapi kenyataan pahit ini dengan cara apapun, meskipun hatinya terluka.*
BAB 5 RASA DENDAM YANG MEMBAKAR
Hari itu, Alina tidak tahu lagi harus berbuat apa. Pagi yang tadinya cerah kini terasa kelam, seolah seluruh dunia menurunkan tirai kelam di atas kepalanya. Sebelumnya, dia tidak pernah membayangkan bahwa kebahagiaan yang telah ia bangun bersama Daniel akan hancur hanya dalam semalam. Tetapi kenyataannya memang seperti itu. Cinta yang tulus, kenangan indah, dan janji-janji masa depan seketika lenyap, tergantikan oleh pengkhianatan yang menusuk jauh ke dalam hatinya.
Alina berlari menuju kamar tidurnya, menutup pintu dengan keras, dan melemparkan dirinya ke ranjang. Tak ada air mata yang keluar. Dia terlalu marah untuk menangis. Rasa sakit yang ia rasakan bukan hanya karena Daniel berselingkuh dengan Mia, sahabat terbaiknya, tetapi juga karena perasaan dihianati oleh orang yang selama ini ia percayai sepenuhnya. Semua rasa sakit itu bergabung menjadi satu, menyatu dalam api dendam yang membakar di dalam dadanya.
“Kenapa kamu bisa begitu, Daniel?” gumamnya dalam hati, matanya terpejam dengan rapat, mencoba menahan gejolak emosi yang datang begitu mendalam. “Kenapa kamu memilih Mia? Apa aku tidak cukup baik untukmu?”
Hatinya seperti terbakar. Setiap pikiran tentang Daniel dan Mia yang berdua, tertawa bersama, menggenggam tangan satu sama lain, hanya menambah amarah dalam dirinya. Rasa pengkhianatan ini sangat berat. Mereka berdua, orang yang sangat ia percayai, kini telah menghancurkan segala yang ia bangun dengan penuh kasih.
Namun, yang lebih mengganggu Alina adalah pikirannya tentang bagaimana balas dendam. Ia ingin mereka merasakan apa yang ia rasakan. Ia ingin Daniel dan Mia tahu betapa sakitnya disakiti oleh orang yang kita cintai. Ia ingin membalas perbuatan mereka dengan cara yang membuat mereka menyesal seumur hidup.
Rasa dendam itu menguasai pikirannya. Berhari-hari, ia tidak bisa tidur dengan tenang, terus memikirkan bagaimana caranya menghancurkan Daniel dan Mia. Alina merasa seperti seorang pahlawan dalam cerita yang ingin membalas kejahatan, tetapi ia tahu bahwa jalan itu bisa membuatnya semakin terjerumus dalam kebencian yang tidak berujung.
Suatu sore, Alina bertemu dengan teman-teman sekolah yang dulu sering menghabiskan waktu bersama Daniel dan Mia. Mereka berbicara tentang apa yang terjadi, dan setiap kali nama Daniel disebut, Alina merasa dirinya semakin terseret dalam pusaran kebencian. Ia mendengar dari teman-temannya bahwa Daniel dan Mia sebenarnya sudah menjalin hubungan lebih lama daripada yang ia ketahui, dan itu semakin menambah luka di hatinya.
“Dia… dia memang tidak pantas untuk kamu, Alina,” kata Andra, salah satu teman Alina yang selama ini diam, tetapi kali ini dia berbicara lebih terbuka. “Dia sudah sering memperlakukan Mia seperti itu. Kamu hanya tidak tahu saja.”
Mendengar hal itu, perasaan Alina semakin membara. “Kenapa tidak ada yang memberitahuku lebih dulu?” tanyanya pada Andra, suara Alina bergetar.
Andra hanya menggelengkan kepala, seolah memahami bahwa tak ada kata-kata yang bisa menghibur rasa sakitnya. Namun, Alina tidak bisa mengalihkan pikirannya dari Daniel dan Mia. Setiap kali ia bertemu dengan mereka, ia merasa dirinya seperti boneka yang dihancurkan. Saat-saat indah yang mereka lewati bersama kini terasa seperti kebohongan besar.
Kembali ke rumah, Alina mengurung dirinya di kamar, menatap gambar-gambar yang ia simpan bersama Daniel di ponselnya. Setiap foto, setiap kenangan, kini hanya menjadi sebuah pengingat akan pengkhianatan itu. Ia mulai menulis sebuah pesan kepada Daniel, kalimat demi kalimat penuh emosi yang terpaksa ia keluarkan. “Kamu pikir kamu bisa menyakitiku dan semuanya akan baik-baik saja? Kamu dan Mia akan tahu apa artinya rasa sakit ini!” tulisnya, namun ketika hampir mengirimkannya, Alina berhenti sejenak.
Apakah benar ini yang ia inginkan? Membalas dendam seperti ini hanya akan membuatnya semakin terperosok dalam kebencian. Namun, perasaan dendam itu begitu kuat, seakan-akan itu adalah satu-satunya cara untuk mengurangi rasa sakit yang ada. Tidak ada yang bisa mengerti betapa terluka dan terhianati dirinya. Cinta pertama, yang ia kira akan menjadi yang terakhir, sekarang telah hancur lebur.
Hari demi hari berlalu, dan dendam itu semakin menyiksa. Alina mulai menjauhi teman-temannya, merasa bahwa mereka tidak akan pernah bisa mengerti apa yang ia rasakan. Bahkan Mia, sahabat yang dulu sangat dekat, kini menjadi musuh besar dalam hidupnya. Perasaan kebencian kepada Mia semakin hari semakin mendalam. Bagaimana bisa Mia, yang ia anggap sahabat, bisa begitu mengkhianatinya?
Suatu malam, ketika Alina tengah berada di kedai kopi favoritnya, ia melihat Daniel bersama Mia. Mereka tertawa bersama, tampak bahagia, seperti tidak ada yang terjadi. Rasa marah Alina meledak. Tanpa bisa mengendalikan dirinya, ia bangkit dari kursinya dan mendekati mereka.
“Jadi, kamu memang sudah puas dengan apa yang kamu lakukan, Daniel?” kata Alina dengan suara keras, membuat Daniel dan Mia terkejut. “Kamu pikir kamu bisa begitu saja mendapatkan maafku? Tidak ada lagi kesempatan untuk itu!”
Mia terkejut dan terlihat malu, sementara Daniel hanya terdiam, tampaknya tidak tahu harus berkata apa. Namun, Alina tidak peduli lagi. Ia ingin mereka merasakan apa yang ia rasakan. Rasa sakit dan kehancuran yang dia rasakan.
Namun, begitu ia melihat reaksi Daniel yang lebih terpuruk, dan melihat Mia yang terlihat menyesal, Alina mendadak merasa hampa. Apakah benar ini yang ia inginkan? Balas dendam seperti ini? Ia tiba-tiba merasa lelah, dan sadar bahwa kebencian ini hanya membuat dirinya semakin jauh dari kedamaian.
Alina berjalan pergi, meninggalkan kedai itu dengan perasaan bercampur aduk. Dendam itu memang membakar hatinya, tetapi dia tahu bahwa untuk menyembuhkan lukanya, ia harus berhenti membiarkan kebencian itu menguasainya. Memaafkan mungkin bukan hal yang mudah, tetapi terus hidup dalam perasaan dendam hanya akan membuatnya terperosok lebih dalam.
Pada akhirnya, Alina tahu bahwa hanya dengan melepaskan perasaan dendam itulah ia bisa mulai sembuh, meskipun jalan menuju pemulihan itu tidak mudah.*
BAB 6 KEKUATAN CINTA YNG TERLUKA
Alina duduk di tepi jendela kamarnya, menatap hujan yang turun dengan deras di luar. Suara rintikannya mengisi ruang, namun tidak cukup untuk meredakan kegelisahan yang mengendap dalam hatinya. Sudah beberapa minggu sejak pertemuan terakhirnya dengan Daniel. Hari-hari berlalu, dan meski ia berusaha sekuat tenaga untuk terus melangkah maju, perasaan itu tak kunjung hilang.
Hati Alina masih penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Bagaimana bisa seseorang yang pernah begitu ia cintai, yang seharusnya menjadi pelindung hatinya, dengan mudah menghancurkan segalanya? Ia mengingat kembali saat-saat indah bersama Daniel—tertawa bersama, berbagi mimpi, saling menjaga satu sama lain. Semua kenangan itu kini terasa pahit dan menyesakkan dada. Rasanya, setiap langkah yang ia ambil seakan membawa beban yang terlalu berat untuk dipikul sendirian.
Namun, meskipun hati Alina terasa remuk, ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa menepis perasaan lain yang mulai muncul. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa sakit dan dendam—sesuatu yang bahkan ia sendiri tak ingin akui: **cinta**.
Alina sudah mencoba untuk membenci Daniel. Ia berusaha sekuat hati untuk menghilangkan perasaan itu, untuk membiarkan rasa sakit yang dialaminya mengalir begitu saja tanpa menyisakan sedikit pun ruang untuk perasaan lain. Namun, kenyataannya tidak semudah itu. Cinta pertama selalu berbeda. Meski hati ini terluka, entah bagaimana, ia masih tidak bisa menyingkirkan bayangan Daniel dari pikirannya. Ada bagian dari dirinya yang ingin percaya bahwa mungkin saja, di luar sana, ada cara untuk mengembalikan segalanya seperti semula. Tapi, apakah itu mungkin?
Ia menutup mata, merasakan setiap tetes air hujan yang menetes di luar sana. Setiap tetes itu terasa seperti potongan kenangan yang jatuh dari langit—sedikit demi sedikit mengingatkan pada semua yang telah hilang. Seiring dengan itu, perasaan marah kembali menyentak. Mengapa hidupnya harus dihancurkan oleh seseorang yang seharusnya paling ia percayai? Mengapa dia harus merasakan ini, merasakan penghianatan yang begitu dalam?
Namun, di tengah kemarahan itu, ada suara lain dalam dirinya yang mulai berbicara. Suara yang lebih lembut, yang mengatakan bahwa dendam tidak akan menyembuhkan luka, bahwa kebencian hanya akan memperpanjang kesakitan. “Aku tidak bisa terus hidup dalam kebencian,” bisik Alina pada dirinya sendiri. Ia tahu, meskipun begitu dalam perasaan sakitnya, jika ia terus berlarut-larut dalam kebencian, ia akan kehilangan dirinya sendiri.
Tapi, bagaimana bisa ia melepaskan semua ini? Bagaimana bisa ia memaafkan seseorang yang telah mengkhianatinya? Alina merasakan ketegangan dalam hatinya. Ia masih belum siap untuk memaafkan Daniel. Tidak begitu saja. Tapi, ada satu hal yang ia ketahui dengan pasti—ia tidak bisa terus hidup dengan luka ini. Itu akan menghancurkannya lebih jauh lagi.
Alina memutuskan untuk pergi ke tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama Daniel. Tempat itu, sebuah taman kecil yang terletak di pinggiran kota, memiliki kenangan indah bagi mereka berdua. Di sana, mereka sering berbicara tentang impian-impian mereka, tentang masa depan yang tampaknya cerah dan penuh kemungkinan. Namun, sekarang taman itu terasa sunyi, sepi, dan penuh dengan kesedihan. Alina duduk di bangku favorit mereka, memandang pohon besar yang berdiri kokoh di hadapannya.
Di sinilah tempatnya sering kali berbicara dengan Daniel tentang segala hal. Dan di sini pula, di bawah pohon ini, kenangan tentang cinta mereka yang dulu begitu hangat, kini terasa membeku. Alina menyandarkan kepala pada sandaran bangku dan menatap langit yang mulai gelap. Angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya, seolah mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, meskipun luka di hatinya tak kunjung sembuh.
Tiba-tiba, sebuah suara memecah keheningan. “Alina…”
Suara itu membuat jantungnya berdegup kencang. Alina menoleh dan melihat Daniel berdiri di hadapannya. Wajahnya tampak murung, matanya penuh penyesalan. Tanpa berkata apa-apa, Daniel duduk di sebelah Alina, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk memulai percakapan.
“Aku tahu aku telah membuat kesalahan besar, Alina,” kata Daniel dengan suara yang terbata-bata. “Aku menyesal. Aku tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana aku telah menghancurkan kepercayaanmu. Aku tahu apa yang aku lakukan tidak bisa diubah, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar menyesal.”
Alina terdiam. Rasa dendam yang ia pelihara selama ini terasa memudar seiring dengan penyesalan yang terlihat di wajah Daniel. Namun, itu tidak cukup untuk menyembuhkan luka yang dalam di hatinya. Ia ingin marah. Ia ingin mengatakan semua yang tersimpan di dalam dadanya. Tapi, ketika ia menatap mata Daniel yang penuh penyesalan, ada sesuatu yang menghentikannya.
“Kenapa kamu datang, Daniel? Kenapa sekarang?” tanya Alina pelan, suaranya serak, mencoba menahan air mata yang sudah di ujung mata.
“Aku datang untuk meminta maaf, Alina. Aku tidak bisa hidup dengan beban ini. Aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar mencintaimu, dan aku ingin mencoba memperbaiki semuanya, jika kamu memberiku kesempatan.” Daniel menggenggam tangan Alina dengan lembut.
Alina merasakan getaran halus di dalam hatinya. Cinta itu, meskipun terluka, masih ada. Namun, ia juga tahu bahwa maaf bukanlah sesuatu yang bisa diberikan dengan mudah. Cinta memang kuat, tetapi ia juga telah mengajarkan Alina untuk berhati-hati, untuk tidak kembali pada sesuatu yang bisa melukainya lagi.
“Aku masih bingung, Daniel. Aku ingin memaafkanmu, tetapi aku juga takut jika aku memberikanmu kesempatan lagi, aku akan terluka lagi,” jawab Alina dengan suara yang penuh keraguan.
Daniel mengangguk dengan penuh penyesalan. “Aku mengerti. Aku akan menunggumu, Alina. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sangat menyesal dan aku ingin memperbaiki semuanya.”
Alina menatapnya dalam-dalam, merasakan konflik yang ada di dalam dirinya. Di satu sisi, ia ingin melupakan semuanya, melepaskan rasa sakit dan kebencian itu. Tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa untuk benar-benar sembuh, ia harus memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk memaafkan—dan mungkin, suatu saat nanti, belajar untuk mencintai lagi.
Saat itu, Alina sadar bahwa meskipun hatinya terluka, cinta itu masih memiliki kekuatan yang luar biasa. Memaafkan tidak berarti melupakan, tetapi lebih kepada melepaskan dan memberi kesempatan untuk tumbuh lagi, meskipun dengan cara yang berbeda. Dan mungkin, pada akhirnya, cinta pertama ini bukan tentang balas dendam atau penyesalan, tetapi tentang bagaimana menerima kenyataan dan belajar untuk melangkah maju.***
——————-THE END——————-