Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

SAAT CINTA TUMBUH

SAAT CINTA TUMBUH

SAME KADE by SAME KADE
March 19, 2025
in Cinta Pertama
Reading Time: 18 mins read
SAAT CINTA TUMBUH

Daftar Isi

  • BAB 1  AWAL YANG Tak TERDUGA
  • BAB 2 SEMAKIN DEKAT
  • BAB 3 DETAK  JANTUNG YANG BERBEDA
  • BAB 4 PENGAKUAN YANG  MENGUBAH  SEGALANYA
  • BAB 5 KEBAHAGIAAN DAN TANTANGAN
  • BAB 6  JARAK  YANG  MULAI  TERCIPTAKAN
  • BAB 7 KEPUTUSAN YANG  BERAT

BAB 1  AWAL YANG Tak TERDUGA

Pagi itu, suasana sekolah tampak seperti biasanya—ramai dengan suara langkah kaki siswa yang bergegas menuju kelas, derai tawa dari kelompok-kelompok kecil yang saling berbincang, dan suara bel yang terdengar nyaring. Namun, bagi Nia, ini adalah pagi yang biasa saja, tanpa sesuatu yang istimewa. Ia duduk di bangku taman sekolah sambil membaca novel kesukaannya. Angin pagi yang sejuk membuat rambut panjangnya sesekali tertiup lembut.

Nia, gadis kelas dua SMA itu, bukan tipe orang yang suka menjadi pusat perhatian. Ia lebih senang menyendiri, menikmati waktu dengan membaca buku atau menulis diari. Bagi Nia, dunia fiksi jauh lebih menarik dibandingkan dunia nyata yang penuh dengan tuntutan dan drama.

Namun, hari itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Ketika Nia sedang asyik membaca, sebuah suara langkah kaki tergesa-gesa mendekat. Sebelum ia sempat menyadarinya, seseorang menabraknya dari belakang. Buku di tangannya jatuh ke tanah, dan dirinya hampir kehilangan keseimbangan.

“Maaf! Aku benar-benar nggak sengaja,” kata seorang pria dengan suara sedikit panik.

Nia mendongak, menatap sosok yang baru saja menabraknya. Seorang siswa laki-laki dengan rambut acak-acakan dan seragam yang belum rapi berdiri di depannya. Wajahnya terlihat sedikit cemas, namun sorot matanya memancarkan sesuatu yang hangat.

“Tidak apa-apa,” jawab Nia, sambil memungut bukunya yang terjatuh.

Pria itu buru-buru membantu Nia mengambil buku yang berserakan di tanah. Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, ia tersenyum canggung. “Aku baru pindah ke sini, jadi masih agak bingung dengan tempat ini. Maaf banget kalau aku bikin kamu kaget.”

“Oh, kamu murid baru?” tanya Nia, mencoba menenangkan diri setelah kejadian tiba-tiba itu.

Pria itu mengangguk. “Iya, namaku Rian. Maaf ya sekali lagi. Aku benar-benar nggak sengaja.”

Nia hanya mengangguk pelan. “Tidak apa-apa, Rian. Aku Nia.”

Setelah perkenalan singkat itu, Rian pamit untuk segera menuju kelasnya. Nia kembali duduk di bangku taman, mencoba melanjutkan membaca bukunya. Tapi entah kenapa, kejadian barusan terus terbayang di benaknya. Tatapan mata Rian, senyumnya yang canggung, dan caranya meminta maaf dengan tulus meninggalkan kesan yang sulit dijelaskan.

Hari itu berlalu dengan biasa saja, tetapi bagi Nia, ada sesuatu yang berbeda. Ia tidak bisa berhenti memikirkan sosok Rian. Apakah ini hanya karena mereka baru bertemu, atau ada sesuatu yang lebih? Ia mencoba mengabaikan perasaannya dan fokus pada pelajaran di kelas.

Namun, takdir sepertinya punya rencana lain. Saat jam istirahat, Nia mendapati Rian sedang berjalan ke perpustakaan. Ia melihatnya dari kejauhan, terlihat sedikit bingung dengan arah yang hendak dituju. Tanpa berpikir panjang, Nia mendekatinya.

“Rian, kamu mau ke perpustakaan?” tanya Nia.

Rian, yang tampak kaget, menoleh dan tersenyum. “Iya, tapi aku nggak tahu perpustakaannya di mana.”

“Biar aku tunjukkan jalan,” kata Nia.

Sepanjang perjalanan menuju perpustakaan, mereka mengobrol santai. Rian bercerita bahwa ia baru pindah dari Bandung karena ayahnya mendapat pekerjaan baru di kota ini. Ia juga bercerita tentang kecintaannya pada olahraga basket dan bagaimana ia berharap bisa masuk ke tim basket sekolah. Nia mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menyisipkan komentar yang membuat Rian tertawa.

Sesampainya di perpustakaan, mereka berdua duduk di meja yang sama. Awalnya, Nia berniat meninggalkan Rian setelah menunjukkan jalan, tetapi Rian memintanya untuk tetap tinggal. “Aku nggak mau terlihat seperti anak hilang kalau sendirian di sini,” katanya sambil tersenyum.

Meskipun awalnya canggung, percakapan mereka mengalir dengan mudah. Nia terkejut betapa nyamannya berbicara dengan Rian, seseorang yang baru saja dikenalnya. Ada sesuatu dalam cara Rian berbicara yang membuatnya merasa dihargai dan diperhatikan.

Ketika bel tanda jam istirahat berakhir berbunyi, Rian menatap Nia dengan senyuman. “Terima kasih, Nia. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku masih tersesat di sekolah ini.”

Nia hanya tersenyum kecil. “Sama-sama. Kalau butuh bantuan lagi, jangan ragu untuk bertanya.”

Hari itu, Rian dan Nia mulai merasa ada sesuatu yang spesial dalam pertemuan mereka. Meski baru pertama kali bertemu, ada kenyamanan yang tumbuh di antara mereka. Nia mulai merasakan sesuatu yang tak biasa, meski ia belum bisa menjelaskan apa itu.

Saat pulang sekolah, Nia menuliskan kejadian itu di dalam diarinya. Ia menuliskan setiap detail tentang Rian—bagaimana mereka bertemu, bagaimana mereka mengobrol, hingga senyuman Rian yang terus terbayang di benaknya. Ia bertanya-tanya, apakah pertemuan ini hanyalah kebetulan biasa, ataukah ini awal dari sesuatu yang lebih besar?

Di sisi lain, Rian juga tidak bisa melupakan sosok Nia. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda tentang gadis itu—kesederhanaannya, kecerdasannya, dan cara dia berbicara dengan tulus. Meski baru sehari di sekolah baru, Rian merasa pertemuannya dengan Nia adalah salah satu hal terbaik yang terjadi dalam hidupnya.

Dan tanpa mereka sadari, pertemuan itu menjadi awal dari sebuah cerita yang akan mengubah hidup mereka selamanya—cerita tentang cinta pertama yang tumbuh perlahan, penuh rasa, dan tak terlupakan.*

BAB 2 SEMAKIN DEKAT

Hari-hari setelah pertemuan pertama itu terasa berbeda bagi Nia. Ia tak pernah membayangkan bahwa insiden kecil di taman sekolah bisa membuat pikirannya terus terjebak pada sosok Rian, siswa baru yang tanpa sengaja menabraknya. Wajahnya yang penuh senyum, suara beratnya yang terdengar hangat, dan tatapan matanya yang terasa jujur terus bermain di kepala Nia.

Namun, Nia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya rasa penasaran biasa. “Dia kan hanya murid baru. Tidak mungkin aku merasa lebih dari itu,” gumamnya pelan sembari menulis catatan di kelas. Tetapi, ketika suara Rian terdengar di pintu kelas, Nia merasakan sesuatu yang berbeda dalam hatinya.

Rian melangkah masuk ke kelas dengan santai, membawa sebuah buku besar di tangannya. “Permisi, ini buku untuk Bu Ratna,” katanya dengan senyum kecil. Semua perhatian langsung tertuju padanya, termasuk Nia yang menunduk, berusaha tidak terlalu mencolok. Namun, tanpa ia sadari, Rian melihatnya dan melempar senyum ke arahnya sebelum meninggalkan kelas. Hanya satu senyuman itu saja cukup membuat Nia terdiam sepanjang pelajaran berikutnya.

Beberapa hari kemudian, Nia tak sengaja bertemu Rian di perpustakaan. Ia sedang mencari buku untuk tugas Biologi ketika mendengar suara familiar dari rak sebelah. Rian sedang berbicara dengan seorang pustakawan, tampak kebingungan mencari buku yang ia butuhkan. Melihat situasi itu, Nia memberanikan diri untuk menyapa.

“Buku apa yang kamu cari?” tanya Nia dengan suara lembut.

Rian terkejut, tetapi kemudian tersenyum. “Oh, ini. Aku lagi cari buku tentang ekosistem hutan tropis, tapi kayaknya aku nggak terlalu paham sistem katalog di sini,” jawabnya sambil menggaruk belakang kepala.

Nia tersenyum kecil, merasa sedikit geli melihat sisi bingung dari Rian yang biasanya tampak percaya diri. Ia menunjukkan rak yang berisi buku-buku Biologi, membantu Rian menemukan buku yang ia butuhkan. Ketika buku itu ditemukan, Rian mengucapkan terima kasih dengan tulus.

“Sepertinya aku berhutang budi sama kamu sekarang,” kata Rian sambil terkekeh.

“Tidak perlu, itu kan hal kecil,” jawab Nia.

“Tapi kalau begitu, bolehkah aku mentraktirmu teh di kantin nanti? Sebagai ucapan terima kasih,” Rian menawarkan dengan nada santai.

Nia sedikit terkejut, tetapi akhirnya mengangguk. “Oke, kalau begitu.”

Mereka berdua duduk di kantin sekolah dengan secangkir teh manis di tangan masing-masing. Percakapan awal mereka terasa canggung, tetapi perlahan-lahan suasana menjadi lebih nyaman. Rian mulai bercerita tentang kota asalnya, mengapa ia pindah ke sekolah ini, dan mimpi-mimpinya untuk menjadi seorang penulis.

“Aku suka menulis. Bagiku, kata-kata adalah cara terbaik untuk menyampaikan perasaan yang sulit diungkapkan dengan suara,” kata Rian, matanya berbinar ketika ia berbicara tentang passion-nya.

Nia mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa kagum dengan caranya memandang dunia. “Aku tidak menyangka kamu suka menulis. Kamu terlihat seperti tipe yang lebih suka olahraga atau kegiatan luar ruangan,” komentar Nia sambil tersenyum.

“Orang-orang sering bilang begitu,” Rian terkekeh. “Tapi menulis adalah bagian dari diriku. Mungkin suatu hari nanti, aku bisa menulis sesuatu yang penting untuk dunia.”

Mendengar itu, Nia merasa ada sesuatu yang unik dalam diri Rian. Ia bukan hanya seorang murid baru yang karismatik, tetapi juga seseorang dengan mimpi besar dan pemikiran mendalam.

Mereka terus berbicara hingga bel berbunyi, menandakan waktu istirahat telah usai. Sebelum berpisah, Rian berkata, “Aku senang bisa mengobrol denganmu, Nia. Mungkin lain kali kita bisa duduk bersama lagi?”

Nia hanya mengangguk sambil tersenyum, merasa jantungnya berdebar.

Hari-hari berikutnya, interaksi mereka semakin intens. Mereka mulai sering bertukar pesan, membicarakan hal-hal sederhana seperti tugas sekolah, buku favorit, hingga mimpi-mimpi masa depan. Nia merasa nyaman berbicara dengan Rian, seolah ia telah mengenalnya selama bertahun-tahun meski sebenarnya baru beberapa minggu.

Namun, perasaan itu juga membuat Nia cemas. Ia mulai menyadari bahwa dirinya menunggu-nunggu pesan dari Rian setiap malam, dan merindukan suara tawanya setiap kali mereka berbicara di sekolah. Ada rasa hangat yang muncul setiap kali ia melihat Rian, tetapi Nia masih tidak yakin apakah Rian merasakan hal yang sama.

Di sisi lain, Rian juga merasakan perubahan. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda setiap kali berbicara dengan Nia. Nia bukan hanya seseorang yang membantunya di perpustakaan, tetapi juga seseorang yang menginspirasinya untuk menjadi lebih baik. Setiap kata-kata Nia, bahkan yang sederhana sekalipun, terasa berharga baginya.

Suatu sore, Rian mengajak Nia untuk duduk bersama di taman belakang sekolah. Matahari mulai terbenam, memberikan nuansa jingga yang hangat. Mereka berbicara seperti biasa, tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Rian memandang Nia.

“Nia,” Rian memanggilnya dengan nada lembut. “Aku ingin bilang sesuatu. Kamu adalah salah satu orang pertama di sekolah ini yang membuatku merasa diterima. Aku benar-benar berterima kasih untuk itu.”

Nia menatap Rian dengan mata yang berbinar. “Aku hanya menjadi diriku sendiri, Rian. Dan aku senang kita bisa berteman.”

Namun, dalam hati kecilnya, Nia tahu bahwa perasaannya kepada Rian lebih dari sekadar teman.

Sore itu, di bawah langit yang mulai gelap, Nia dan Rian merasa hubungan mereka semakin dekat. Meskipun belum ada kata-kata cinta yang terucap, keduanya tahu bahwa ada sesuatu yang sedang tumbuh di antara mereka, sesuatu yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.*

BAB 3 DETAK  JANTUNG YANG BERBEDA

Matahari bersinar hangat, tetapi hati Nia justru terasa lebih hangat. Siang itu, ia duduk di taman sekolah, buku catatannya terbuka di pangkuan, meskipun pikirannya melayang jauh. Bukan kepada soal matematika yang tertera di halaman buku itu, melainkan kepada sosok Rian.

Sejak Rian pindah ke sekolah ini beberapa minggu lalu, hidup Nia tak lagi terasa sama. Rian, dengan senyumnya yang hangat dan caranya berbicara yang santai, mampu menarik perhatian banyak orang, termasuk Nia. Namun, berbeda dengan teman-teman perempuan lainnya yang terang-terangan menyukai Rian, Nia lebih memilih diam. Baginya, perasaan ini adalah hal baru, sesuatu yang bahkan ia sendiri belum bisa pahami.

Hari itu, Rian tiba-tiba datang ke taman. Ia melihat Nia duduk sendiri, dan seperti biasa, ia menghampiri dengan langkah santai. “Hei, Nia. Lagi belajar?” sapanya sambil duduk di bangku yang sama tanpa meminta izin terlebih dahulu.

Nia terkejut, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Eh, iya. Lagi coba ngerjain soal ini,” jawabnya sambil menunjuk ke bukunya. Tapi yang terjadi selanjutnya justru membuat jantung Nia berdetak lebih cepat.

Rian mendekatkan dirinya untuk melihat buku catatan itu. Jarak mereka hanya beberapa inci, dan Nia bisa merasakan aroma segar dari tubuh Rian. “Oh, soal ini gampang kok. Aku juga baru ngerjain tadi pagi,” katanya sambil menunjuk salah satu rumus di buku itu.

Nia mengangguk, tetapi pikirannya sudah berantakan. Detak jantungnya semakin kencang, dan ia takut kalau Rian bisa mendengarnya. *Apa ini normal?* pikir Nia sambil berusaha mengendalikan dirinya.

Mereka menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit membahas soal itu, tetapi bagi Nia, rasanya seperti seumur hidup. Setiap kali Rian tertawa atau menatapnya, ada sesuatu yang bergejolak di dadanya. Ia belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.

Ketika akhirnya Rian pamit untuk kembali ke kelas, Nia hanya bisa mengangguk kaku. Begitu Rian pergi, Nia langsung menutup bukunya dan memegang dadanya sendiri. “Kenapa sih aku jadi aneh begini?” gumamnya.

Di malam harinya, Nia mencoba fokus belajar untuk ujian, tetapi bayangan Rian terus muncul di benaknya. Suaranya, senyumnya, dan caranya memperhatikan soal-soal tadi siang, semuanya terus berputar di kepala Nia. Ia bahkan sempat memandangi ponselnya, berharap ada pesan dari Rian, meskipun ia tahu itu mustahil.

Keesokan harinya, di sekolah, Nia mencoba bersikap biasa saja. Ia tidak ingin teman-temannya tahu bahwa ia mulai menyukai Rian. Namun, saat Rian muncul di koridor dan melambaikan tangan ke arahnya, wajah Nia langsung memerah.

“Apa itu Rian tadi? Dia nyapa kamu?” tanya Mira, sahabat Nia, dengan nada penasaran.

Nia mencoba mengabaikan rasa malunya. “Iya, kayaknya. Tapi mungkin cuma kebetulan aja,” jawabnya singkat, sambil pura-pura sibuk mencari sesuatu di tasnya.

Mira tersenyum penuh arti. “Nia, aku tahu kamu. Jangan bilang kamu mulai suka sama Rian.”

Pertanyaan itu membuat Nia langsung menggeleng cepat. “Enggak! Enggak mungkinlah. Dia cuma teman sekelas, enggak lebih,” ujarnya, meskipun nada suaranya terdengar kurang meyakinkan.

Namun, di dalam hati, Nia tahu bahwa Mira benar. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya sejak kehadiran Rian. Setiap kali mereka berbicara, meskipun hanya hal-hal sederhana, Nia merasa dunia menjadi lebih cerah.

Hari-hari berlalu, dan perasaan itu semakin kuat. Rian semakin sering berbicara dengannya, entah di kelas, di kantin, atau bahkan di taman sekolah. Hal-hal kecil yang dilakukan Rian, seperti meminjamkan pulpen atau membawakan buku tugas Nia yang tertinggal, semakin membuat Nia sulit mengabaikan perasaannya.

Namun, di balik kebahagiaan itu, ada juga rasa takut yang mengintai. Nia takut kalau perasaannya hanya sepihak. Bagaimana jika Rian hanya bersikap baik karena ia memang orang yang ramah? Bagaimana jika Nia salah menafsirkan semua perhatian kecil itu?

Suatu hari, di sore yang cerah, Nia menemukan dirinya berdiri di bawah pohon besar di halaman sekolah. Ia memandang Rian yang sedang bermain bola bersama teman-temannya. Ia tertawa lepas, terlihat begitu bebas dan bahagia. Melihat itu, Nia merasa sesuatu yang hangat memenuhi hatinya.

“Ini pasti cinta,” gumam Nia pelan. Kata-kata itu keluar tanpa sadar, tetapi begitu ia mengatakannya, semuanya terasa masuk akal. Detak jantung yang cepat, rasa canggung saat berbicara dengannya, dan kerinduan yang tak beralasan setiap kali Rian tidak ada di dekatnya—semua itu adalah tanda bahwa ia jatuh cinta.

Namun, di balik pengakuannya itu, Nia tahu bahwa cinta pertama tidak pernah mudah. Ia harus menghadapi perasaan ini dengan hati-hati, karena ia tidak ingin menghancurkan hubungan yang telah terjalin.

Dengan perasaan yang bercampur antara bahagia dan cemas, Nia memutuskan untuk menjaga perasaannya sendiri dulu. Ia tidak ingin terburu-buru. Ia ingin menikmati setiap momen dengan Rian, tanpa tekanan atau harapan yang berlebihan.

Hari itu, Nia pulang ke rumah dengan senyuman kecil di wajahnya. Meski belum tahu bagaimana akhir dari cerita ini, ia yakin bahwa detak jantungnya yang berbeda ini adalah awal dari sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang akan selalu ia kenang, bahkan jika suatu saat ia harus melepaskann*

BAB 4 PENGAKUAN YANG  MENGUBAH  SEGALANYA

Pagi itu, matahari menyinari lapangan sekolah dengan hangat, seolah mendukung suasana hati banyak siswa yang sibuk mempersiapkan acara festival seni tahunan. Riuh rendah suara obrolan dan tawa terdengar di setiap sudut. Nia berdiri di depan panggung utama, memeriksa dekorasi yang ia dan timnya susun sejak kemarin. Namun, pikirannya melayang jauh dari keramaian, terfokus pada seseorang yang akhir-akhir ini membuat jantungnya berdebar.

Rian, siswa baru yang selama ini sering berbagi momen bersamanya, terlihat di kejauhan sedang membantu teman-teman laki-laki mengangkat perlengkapan. Ia tampak santai, tetapi aura percaya dirinya tak pernah gagal menarik perhatian Nia. Setiap gerak-geriknya membuat hati Nia terasa tak karuan. Dan di hari itu, entah mengapa, Nia merasa bahwa ada sesuatu yang berbeda.

Saat istirahat tiba, Rian menghampiri Nia yang sedang duduk di bangku taman sekolah. Ia membawa dua gelas es teh yang dingin dan menyodorkannya kepada Nia dengan senyuman khasnya.

“Capek nggak? Kamu udah kerja keras banget dari pagi tadi,” kata Rian sambil menyerahkan salah satu gelas kepada Nia.

Nia tersenyum kecil, menerima minuman itu dengan senang hati. “Lumayan capek, sih, tapi aku senang semuanya berjalan lancar.”

Mereka duduk berdua di bangku itu, menikmati angin sepoi-sepoi yang mengusir panas siang hari. Untuk beberapa saat, hanya ada keheningan yang nyaman di antara mereka, hingga akhirnya Rian memecah suasana.

“Nia,” panggilnya pelan.

Nia menoleh, menatap wajah Rian yang tiba-tiba terlihat serius. “Ada apa?”

Rian menggigit bibir bawahnya, tampak sedang mengumpulkan keberanian. “Aku sudah lama ingin bilang sesuatu sama kamu,” katanya akhirnya, suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya.

Jantung Nia seakan berhenti berdetak. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Rian, tetapi firasatnya mengatakan bahwa ini adalah momen yang penting. Ia berusaha menenangkan diri, meskipun tangannya mulai gemetar.

“Aku tahu ini mungkin terdengar aneh,” lanjut Rian, “tapi… aku nggak bisa terus-terusan pura-pura biasa saja. Aku suka sama kamu, Nia. Dari awal aku pindah ke sekolah ini, kamu selalu jadi orang yang bikin hariku lebih baik.”

Kata-kata itu seperti petir yang menyambar hati Nia. Ia terdiam, tidak tahu bagaimana harus merespons. Selama ini, ia menyimpan perasaan yang sama, tetapi tidak pernah membayangkan bahwa Rian juga merasakan hal serupa. Ia mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba menjadi tidak teratur.

“Kamu nggak perlu jawab sekarang,” tambah Rian cepat, mungkin salah mengartikan keheningan Nia. “Aku cuma pengen kamu tahu. Aku nggak mau ada penyesalan karena nggak pernah bilang ini ke kamu.”

Nia akhirnya menemukan suaranya, meskipun terdengar pelan. “Rian… aku nggak tahu harus bilang apa. Aku… aku juga suka sama kamu.”

Mata Rian melebar, jelas tidak menyangka mendengar jawaban itu. “Benarkah?” tanyanya, memastikan.

Nia mengangguk pelan, wajahnya memerah karena malu. “Aku juga nggak berani bilang sebelumnya. Aku takut kamu nggak punya perasaan yang sama.”

Mendengar itu, Rian tersenyum lebar, senyum yang membuat mata Nia terasa hangat. “Jadi… kita bisa mulai dari sini? Kita coba jalani hubungan ini?”

Nia tidak langsung menjawab, tetapi senyumnya mengungkapkan semua yang ingin ia katakan. Ia tahu bahwa menjalin hubungan tidak akan mudah, terutama dengan berbagai tanggung jawab dan harapan yang mereka miliki. Namun, saat ini, ia ingin percaya pada perasaan mereka dan memberi kesempatan untuk sesuatu yang bisa menjadi awal dari cinta pertama mereka.

Sore itu, setelah semua persiapan festival selesai, Nia berjalan pulang dengan perasaan yang sulit digambarkan. Di satu sisi, ia merasa bahagia karena akhirnya perasaan yang selama ini ia pendam menemukan balasannya. Namun, di sisi lain, ada sedikit ketakutan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Bagaimana jika hubungan ini tidak berjalan seperti yang ia harapkan? Bagaimana jika cinta pertama ini malah berakhir menyakitkan?

Namun, Nia segera menepis pikiran negatif itu. Ia ingin menikmati momen ini, momen di mana hatinya dipenuhi oleh perasaan yang begitu hangat. Untuk pertama kalinya, ia merasakan bagaimana cinta pertama bisa membuat dunia terlihat lebih cerah.

Di rumah, Nia menulis di buku hariannya, mencatat setiap detail tentang pengakuan Rian. Ia ingin mengabadikan momen ini, karena ia tahu bahwa tidak peduli apa yang terjadi di masa depan, hari ini adalah hari yang istimewa. Hari di mana cinta pertama mereka mulai tumbuh.*

BAB 5 KEBAHAGIAAN DAN TANTANGAN

Hari itu, langit cerah dan angin sepoi-sepoi menyapu wajah Nia ketika ia melangkah ke taman kota bersama Rian. Mereka berdua memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan bersama setelah beberapa minggu penuh dengan kesibukan sekolah. Rian membawa gitar kecilnya, sementara Nia membawa bekal yang ia siapkan dengan penuh semangat. Hari ini terasa sempurna—seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua.

“Jadi, apa kejutanmu hari ini?” tanya Nia sambil tersenyum penuh penasaran, matanya berbinar melihat Rian yang tengah membuka sarung gitarnya.

Rian balas tersenyum. “Sabar, Nia. Kamu pasti suka. Aku udah latihan lagu ini berhari-hari.” Ia mulai memetik senar gitar, memainkan melodi lembut yang membuat Nia terdiam. Tak lama, suara Rian mulai mengalun, menyanyikan lagu cinta yang seolah-olah ditulis khusus untuknya.

Nia merasakan pipinya memanas. Ia menunduk, menyembunyikan wajah yang memerah. Lagu itu sederhana, tapi cara Rian menyanyikannya membuat hati Nia terasa penuh. “Kamu tahu nggak?” ujar Nia setelah Rian selesai. “Aku nggak pernah sebahagia ini sebelumnya.”

Rian menatap Nia dengan penuh kelembutan. “Aku juga, Nia. Kamu bikin hari-hariku lebih berarti.”

Namun, kebahagiaan ini tidak selalu tanpa cela. Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka mulai diuji oleh berbagai tantangan kecil yang perlahan-lahan menjadi beban. Salah satu tantangan terbesar adalah rasa cemburu yang muncul tanpa diundang.

Hari berikutnya di sekolah, Nia melihat Rian tertawa bersama seorang teman perempuan di koridor. Teman perempuan itu, Anya, terkenal ramah dan mudah bergaul dengan siapa saja. Namun, entah kenapa, Nia merasa hatinya seperti diremas. Perasaan tidak nyaman itu terus membayanginya sepanjang hari, hingga akhirnya ia tidak tahan dan bertanya pada Rian saat mereka pulang bersama.

“Rian,” Nia membuka percakapan dengan nada ragu. “Kamu deket banget sama Anya, ya?”

Rian tertegun sejenak, lalu tertawa kecil. “Anya? Nggak ada apa-apa, kok. Kita cuma diskusi soal tugas kelompok.”

“Tapi kalian terlihat sangat akrab,” balas Nia, suaranya sedikit bergetar. “Aku… aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa nggak nyaman.”

Rian menghentikan langkahnya dan menatap Nia dengan serius. “Aku ngerti, Nia. Tapi kamu nggak perlu khawatir. Aku sama Anya cuma teman. Kamu yang ada di hati aku.”

Mendengar itu, Nia merasa lega, meskipun sedikit rasa ragu masih tertinggal di sudut hatinya. Ia tahu rasa cemburu ini tidak sehat, tapi ia juga tidak bisa mengendalikannya sepenuhnya.

Tantangan lain datang dari ekspektasi orang tua mereka. Ibu Nia, yang sangat memperhatikan prestasi akademik putrinya, mulai merasa bahwa hubungan Nia dengan Rian mengganggu fokus belajarnya. Suatu malam, ibu Nia memanggilnya ke ruang tamu untuk bicara serius.

“Nia, Ibu nggak mau kamu terlalu banyak menghabiskan waktu dengan Rian. Kamu harus ingat, pendidikan itu yang utama. Kalau kamu terlalu sibuk pacaran, bagaimana dengan masa depanmu?” ucap sang ibu dengan nada tegas.

Nia terdiam, merasa terjebak di antara cinta dan kewajibannya. Ia tahu ibunya hanya menginginkan yang terbaik untuknya, tetapi ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Rian di sisinya.

Di sisi lain, Rian juga menghadapi tekanan dari keluarganya. Ayah Rian berharap putranya fokus pada persiapan lomba musik yang akan menentukan beasiswa kuliahnya. Rian, yang merasa terbagi antara cintanya pada Nia dan impian musikalnya, mulai merasa stres. Ia tidak ingin mengecewakan Nia, tetapi ia juga tidak ingin mengabaikan mimpinya.

“Kamu kelihatan capek akhir-akhir ini,” kata Nia suatu hari ketika mereka sedang duduk di taman sekolah. “Apa ada yang bisa aku bantu?”

Rian menggeleng dan tersenyum tipis. “Aku cuma lagi banyak pikiran. Tapi aku nggak mau kamu khawatir, Nia.”

“Tapi aku peduli, Rian. Kalau kamu ada masalah, aku ingin kita bisa menghadapi semuanya bersama.”

Mendengar itu, Rian merasa hatinya hangat. Ia tahu bahwa meskipun hubungan mereka tidak selalu mulus, Nia selalu ada untuknya. “Terima kasih, Nia. Kamu memang yang terbaik.”

Kebahagiaan dan tantangan dalam hubungan mereka seperti dua sisi mata uang—tak terpisahkan, tetapi saling melengkapi. Di balik setiap senyuman dan tawa, ada pelajaran berharga yang membuat cinta mereka semakin dewasa. Nia dan Rian menyadari bahwa cinta pertama bukan hanya tentang momen indah, tetapi juga tentang belajar menerima kekurangan, menghadapi masalah bersama, dan tetap saling percaya meski keadaan tidak selalu mendukung.

Malam itu, Nia menatap langit dari jendela kamarnya, memikirkan semua yang telah mereka lalui. Ia tahu perjalanan mereka masih panjang dan penuh liku, tetapi ia percaya bahwa cinta pertama ini adalah sesuatu yang patut diperjuangkan. Dengan senyum kecil di wajahnya, ia mengirimkan pesan singkat kepada Rian: *“Aku percaya sama kita. Apapun yang terjadi, kita pasti bisa.”*

Rian membalas pesan itu beberapa menit kemudian: *“Aku juga percaya. Kamu adalah alasan aku terus berjuang, Nia.”*

Dalam keheningan malam, hati mereka kembali dipenuhi oleh keyakinan bahwa meskipun tantangan datang silih berganti, cinta mereka akan terus tumbuh, seperti bunga yang mekar perlahan, namun kokoh menghadapi angin.*

BAB 6  JARAK  YANG  MULAI  TERCIPTAKAN

Hari-hari yang biasanya penuh tawa dan canda kini terasa berbeda bagi Nia. Hubungan yang dulu begitu dekat antara dirinya dan Rian kini mulai terasa renggang. Tidak ada lagi pesan-pesan singkat yang datang setiap pagi atau telepon panjang sebelum tidur. Semuanya seakan berubah perlahan namun pasti, seperti embun yang menguap di bawah terik matahari.

Nia duduk di meja belajarnya, menatap layar ponsel yang sepi notifikasi. Sudah hampir tiga hari Rian tidak mengirim pesan apa pun. Ia mencoba menenangkan diri, berpikir bahwa mungkin Rian sedang sibuk dengan tugas sekolah atau latihan basketnya, tetapi tetap saja, ada rasa cemas yang sulit ia abaikan. Dalam hati kecilnya, Nia tahu bahwa sesuatu telah berubah.

Sementara itu, Rian berada di lapangan basket, mencoba melarikan diri dari pikirannya. Ia merasa terbebani oleh begitu banyak hal—tuntutan akademik, tekanan dari keluarganya, dan juga perasaan bahwa ia mungkin tidak bisa memberikan perhatian yang cukup untuk Nia. Meskipun ia mencintai Nia, Rian mulai merasa bahwa ia tidak bisa menjadi pasangan yang baik di tengah semua kekacauan dalam hidupnya.

Malam itu, setelah selesai bermain basket, Rian akhirnya memberanikan diri untuk mengirim pesan kepada Nia. Namun, bukannya pesan mesra seperti dulu, pesan itu hanya berupa kata-kata singkat: *”Maaf, aku sibuk akhir-akhir ini.”*

Nia membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Ia ingin membalas dengan mengungkapkan semua kekhawatirannya, tetapi ia takut akan membuat Rian semakin tertekan. Jadi, ia hanya membalas dengan singkat: *”Tidak apa-apa, aku mengerti.”* Namun, dalam hatinya, ia tidak benar-benar mengerti. Bagaimana bisa ia memahami sesuatu yang bahkan tidak dijelaskan oleh Rian?

Hari-hari berlalu, dan komunikasi di antara mereka semakin jarang. Nia mencoba untuk menyibukkan diri dengan tugas sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler, tetapi rasa kehilangan itu tetap mengintai di setiap sudut pikirannya. Ia merindukan tawa Rian, perhatian kecilnya, dan cara Rian selalu membuatnya merasa istimewa. Namun, semua itu kini terasa seperti kenangan yang perlahan memudar.

Di sisi lain, Rian juga merasa bersalah. Ia tahu bahwa ia telah mengecewakan Nia, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengatasinya. Ia merasa terjebak dalam lingkaran kesibukan dan tekanan yang membuatnya sulit untuk memberi waktu bagi hubungannya dengan Nia. Dalam hatinya, ia terus bertanya-tanya apakah ini semua akan berakhir dengan perpisahan.

Suatu hari, setelah hampir dua minggu berlalu dengan komunikasi yang minim, Nia memutuskan untuk menghadapi Rian. Ia tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian ini. Setelah jam sekolah usai, Nia menunggu Rian di depan gerbang sekolah. Ketika Rian akhirnya keluar, ia tampak terkejut melihat Nia berdiri di sana.

“Nia? Kamu kenapa ada di sini?” tanya Rian, suaranya terdengar canggung.

“Aku perlu bicara,” jawab Nia dengan nada serius. “Kita nggak bisa terus begini, Rian. Aku merasa ada jarak di antara kita, dan aku nggak tahu kenapa. Kalau kamu sibuk atau ada masalah, aku ingin tahu. Aku nggak bisa terus bertanya-tanya sendirian.”

Rian menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Kamu benar. Aku memang sibuk, Nia. Tapi bukan cuma itu. Aku juga merasa… aku nggak cukup baik buat kamu sekarang. Aku merasa aku terus mengecewakanmu, dan itu bikin aku takut.”

Mendengar kata-kata Rian, hati Nia mencelos. “Kamu pikir aku butuh kamu untuk jadi sempurna? Aku cuma butuh kamu ada, Rian. Aku nggak peduli seberapa sibuk kamu, aku cuma ingin kamu jujur sama aku, biar aku bisa ngerti apa yang kamu rasain.”

Rian menunduk, menyadari betapa ia telah membiarkan ketakutannya merusak hubungan mereka. “Aku minta maaf, Nia. Aku cuma nggak tahu harus gimana. Aku takut kalau aku cerita, kamu bakal ngerasa aku nggak peduli sama kamu.”

Nia menggelengkan kepala. “Justru dengan kamu nggak cerita, aku jadi merasa sendirian. Kita ini tim, Rian. Kalau ada masalah, kita harus hadapi bareng-bareng.”

Mendengar itu, Rian merasa beban di dadanya sedikit berkurang. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia merasa ada harapan untuk memperbaiki semuanya. Ia menatap Nia dengan mata yang penuh penyesalan. “Aku janji akan coba lebih baik, Nia. Aku nggak mau kehilangan kamu.”

Nia tersenyum tipis, meskipun hatinya masih diliputi kekhawatiran. “Aku juga nggak mau kehilangan kamu, Rian. Tapi hubungan ini nggak bisa jalan kalau kita nggak saling terbuka. Aku cuma minta satu hal: jangan pernah biarkan jarak ini jadi lebih besar lagi.”

Rian mengangguk, merasa lega sekaligus bersalah. Ia tahu bahwa memperbaiki hubungan mereka tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa Nia adalah seseorang yang ingin ia perjuangkan. Dengan tekad baru, Rian berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membiarkan kesibukan dan tekanan menghalangi cintanya pada Nia.

Malam itu, ketika Nia pulang ke rumah, ia merasa sedikit lebih tenang. Meskipun jarak di antara mereka masih ada, percakapan mereka tadi memberinya harapan. Nia tahu bahwa cinta pertama tidak selalu mudah, tetapi ia percaya bahwa selama mereka berdua mau berusaha, cinta itu bisa tumbuh kembali, lebih kuat dari sebelumnya.

Dan dengan harapan itu, Nia memandang langit malam yang berbintang, membayangkan masa depan di mana mereka berdua bisa melewati semua ini bersama.*

BAB 7 KEPUTUSAN YANG  BERAT

Pagi itu, Nia duduk di bangku taman sekolah, di tempat yang biasa ia dan Rian jadikan tempat berbincang. Namun, kali ini ia sendirian, memandangi bunga-bunga yang bergoyang ditiup angin. Kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran yang bercampur aduk. Semalam, percakapan dengan Rian masih terngiang-ngiang di benaknya, membuat hatinya terasa berat.

“Nia, aku rasa… kita perlu waktu untuk berpikir,” kata Rian dengan nada yang terdengar ragu semalam.

Kata-kata itu seperti palu yang menghantam hati Nia. Apa artinya “waktu untuk berpikir”? Apakah ini akhir dari hubungan mereka? Nia mencoba untuk tetap tenang saat mendengarnya, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa yang perlahan merayap dalam dirinya. Selama ini, meskipun ada tantangan, ia selalu berpikir bahwa mereka akan mampu melewati semuanya. Namun, Rian sekarang tampaknya mulai meragukan itu.

“Kamu merasa hubungan kita sudah tidak baik?” tanya Nia, mencoba mengendalikan emosinya.

“Bukan begitu,” jawab Rian. “Aku hanya merasa… mungkin kita terlalu memaksakan diri. Aku tahu kita saling menyayangi, tapi akhir-akhir ini rasanya seperti ada jarak di antara kita. Dan aku nggak tahu bagaimana cara memperbaikinya.”

Kalimat itu terus terulang dalam pikiran Nia, membuat dadanya terasa sesak. Ia tahu bahwa hubungan mereka memang tidak semudah yang dibayangkan. Jadwal sekolah yang padat, ekspektasi keluarga, dan tekanan untuk selalu saling hadir membuat mereka sering kelelahan. Tapi, apakah semua itu cukup untuk membuat mereka menyerah?

Hari itu, Nia tidak bisa fokus pada pelajaran. Ia merasa tubuhnya ada di kelas, tetapi pikirannya melayang-layang, mengembara pada kenangan bersama Rian. Tawa Rian, caranya memberikan perhatian kecil, bahkan cara dia menyebut namanya dengan lembut—semua itu adalah hal-hal yang membuat Nia merasa istimewa. Namun sekarang, semua kenangan itu terasa seperti duri, menyakitinya perlahan.

Sementara itu, di sisi lain, Rian pun merasakan hal yang sama. Ia duduk di mejanya, menatap layar ponsel yang memamerkan pesan terakhir dari Nia semalam: *“Kalau ini keputusanmu, aku akan mencoba mengerti.”* Kalimat itu penuh ketulusan, tetapi juga menyiratkan rasa sakit yang tak mampu disembunyikan. Rian meremas rambutnya, merasa bersalah. Ia tahu bahwa meminta waktu seperti ini akan melukai Nia, tetapi ia juga merasa bahwa terus melanjutkan hubungan tanpa kejelasan hanya akan membuat mereka berdua semakin menderita.

Rian memikirkan semua hal yang selama ini membuatnya ragu. Ia mencintai Nia, itu pasti, tetapi ia tidak yakin apakah mereka bisa terus bertahan di tengah semua tekanan ini. Apakah perasaan cinta cukup untuk menghadapi semua kesulitan yang datang?

Di taman, sore itu, Nia akhirnya memberanikan diri mengirim pesan kepada Rian. Ia tahu bahwa mereka harus berbicara, bukan hanya saling diam dan memendam rasa. “Bisa ketemu di taman biasa? Aku ingin kita bicara,” tulis Nia.

Tak lama kemudian, Rian datang. Ia tampak gugup, tetapi berusaha menyembunyikannya. Nia tersenyum tipis, mencoba menguatkan dirinya.

“Aku nggak mau menyalahkan kamu, Rian. Kalau kamu merasa kita perlu waktu untuk berpikir, aku akan menghormati keputusanmu,” kata Nia, membuka pembicaraan.

Rian menunduk, menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku nggak ingin menyakiti kamu, Nia. Aku hanya… aku nggak tahu apa yang terbaik untuk kita sekarang. Aku merasa ada jarak yang semakin besar, dan aku nggak tahu gimana caranya memperbaiki itu.”

“Jarak itu ada karena kita berdua terlalu sibuk, terlalu banyak hal yang harus kita pikirkan. Tapi, bukankah kita bisa mencari cara untuk melewati ini bersama?” tanya Nia dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Aku nggak pernah berpikir kalau hubungan ini mudah, Rian. Tapi aku selalu percaya, kalau kita berusaha, kita bisa bertahan.”

Rian terdiam. Kata-kata Nia menyentuh hatinya, tetapi ia masih dihantui oleh keraguan. “Aku takut, Nia. Takut kalau aku nggak bisa jadi orang yang cukup baik untuk kamu. Takut kalau aku gagal menjaga hubungan ini. Dan aku nggak mau melihat kamu terluka karena aku.”

Nia menggeleng, air mata akhirnya jatuh membasahi pipinya. “Aku nggak butuh kamu menjadi sempurna, Rian. Aku hanya butuh kamu ada di sisiku, apa pun yang terjadi.”

Hening sejenak. Hanya suara angin yang terdengar di antara mereka. Rian mengangkat wajahnya, menatap Nia dengan penuh penyesalan. “Aku butuh waktu, Nia. Bukan karena aku nggak mencintai kamu, tapi karena aku ingin memastikan bahwa aku bisa memberi yang terbaik untuk kamu, bukan hanya sekarang, tapi juga nanti.”

Setelah pembicaraan itu, mereka memutuskan untuk memberi ruang satu sama lain. Nia merasa hatinya seperti hancur, tetapi ia tahu bahwa ia harus menghormati keputusan Rian. Meski berat, ia mencoba fokus pada dirinya sendiri, berharap bahwa keputusan ini akan membawa jawaban yang lebih jelas bagi mereka berdua.

Rian pun menjalani hari-harinya dengan perasaan campur aduk. Ia merindukan Nia, tetapi ia yakin bahwa mengambil jeda adalah keputusan yang tepat. Ia ingin memastikan bahwa ketika mereka kembali bersama, itu bukan karena keterpaksaan, melainkan karena cinta yang telah tumbuh lebih kuat.

Hari-hari berlalu dengan perlahan. Dalam masa itu, baik Nia maupun Rian belajar banyak tentang diri mereka. Mereka menyadari bahwa cinta bukan hanya tentang kebahagiaan, tetapi juga tentang keberanian untuk menghadapi kesulitan dan keraguan bersama. Meski belum tahu bagaimana akhir dari hubungan mereka, Nia dan Rian tahu satu hal: cinta pertama mereka adalah sesuatu yang berharga, dan apa pun keputusan akhirnya, cinta itu akan selalu menjadi bagian dari mereka.***

—————THE END—————–

 

Source: DELA SAYFA
Tags: #CintaPertama #KeputusanBerat #PerjuanganCinta #RuangDalamHubungan #HubunganYangDiuji
Previous Post

RINDU YANG TAK TERUKUR

Next Post

CINTA YANG TERTUNDA

Related Posts

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

April 30, 2025
DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

April 29, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 28, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 27, 2025
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

April 26, 2025
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

April 25, 2025
Next Post
CINTA YANG TERTUNDA

CINTA YANG TERTUNDA

DENDAM DALAM HATI YANG TERLUKA

DENDAM DALAM HATI YANG TERLUKA

SALING MENUNGGU, SALING MENCINTAI

SALING MENUNGGU, SALING MENCINTAI

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id