Daftar Isi
BAB 1 AWAL YANG TAK TERDUGA
Hari itu adalah hari pertama di semester baru, dan suasana di SMA Sumber Harapan tampak lebih sibuk dari biasanya. Alya, seorang gadis pendiam yang selalu menyendiri, menghela napas panjang saat memasuki gerbang sekolah. Pagi yang cerah ini terasa sedikit berbeda baginya, meskipun ia mencoba untuk tidak terlalu memperhatikannya. Hari-hari pertama selalu membuatnya merasa canggung, dan ia lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan atau duduk di sudut kelas daripada bergaul dengan teman-teman sekelas. Dunia Alya adalah dunia yang tenang, tanpa keramaian, tanpa keharusan untuk berbicara dengan orang lain.
Namun, hari itu, ada sesuatu yang terasa aneh. Setiap sudut sekolah terlihat begitu familiar, tetapi ada juga sesuatu yang baru, sesuatu yang menarik perhatian tanpa bisa dijelaskan. Mungkin karena ada siswa baru yang akan bergabung dengan kelasnya, meskipun Alya tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Baginya, orang-orang baru biasanya hanya lewat begitu saja, seperti angin yang datang dan pergi tanpa meninggalkan jejak.
Saat memasuki ruang kelas, Alya menemukan tempat duduknya di dekat jendela, tempat favoritnya untuk melamun dan melihat dunia di luar. Tak lama setelah itu, pintu kelas terbuka, dan seorang pria muda dengan rambut hitam legam dan mata yang tajam masuk. Suara obrolan di kelas mendadak berhenti sejenak, seperti ada yang menarik perhatian semua orang. Alya, yang biasanya tidak terlalu peduli dengan kedatangan orang baru, mendongak dan melihat siswa pindahan yang baru itu. Dimas. Nama yang kemudian akan menjadi bagian dari perjalanan hidupnya.
Dimas tampak tenang meskipun semua mata tertuju padanya. Dengan postur tubuh yang tegap, senyum tipis yang ia berikan kepada guru dan teman-teman sekelasnya membuat Alya sedikit terkejut. Dimas tidak tampak seperti siswa pindahan yang canggung. Ia bahkan merasa seperti sudah menjadi bagian dari sekolah ini sejak lama. Sebuah aura percaya diri yang tampaknya sudah melekat pada dirinya. Alya tidak bisa menahan rasa ingin tahunya, meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu memperhatikan.
“Ini Dimas,” kata Ibu Sari, guru kelas, sambil menunjuk ke arah Dimas yang baru saja memasuki kelas. “Dia akan duduk di tempat duduk kosong di depan Alya.”
Alya menatap Dimas dengan penuh rasa penasaran, merasa sedikit canggung karena duduknya begitu dekat. Biasanya, ia selalu duduk sendirian, menikmati ketenangan yang diberikan oleh keheningan kelas. Namun, kali ini, ada perasaan lain yang mulai muncul. Dimas meletakkan tasnya di meja dan duduk dengan santai. Mata mereka bertemu sejenak, dan Alya merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah.
Selama pelajaran berlangsung, Alya berusaha untuk fokus, tetapi pikirannya terus teralihkan pada Dimas. Ia tidak bisa menjelaskan mengapa ia begitu memperhatikannya. Setiap gerakan Dimas, setiap senyum kecil yang dilemparkan kepada teman-teman sekelas, seakan menarik perhatian Alya tanpa bisa dihentikan. Bahkan suara tawa yang terdengar dari Dimas ketika berbicara dengan teman-teman baru di kelas membuat hati Alya berdegup lebih cepat.
Namun, meskipun perasaan itu ada, Alya berusaha untuk tidak terlalu peduli. Ia tahu bahwa perasaan seperti itu hanyalah perasaan sesaat, yang akan segera berlalu begitu saja. Dimas adalah orang baru, dan seperti orang-orang baru lainnya, ia pasti akan cepat dilupakan begitu mereka berpisah. Cinta pertama, seperti yang sering ia dengar dari teman-temannya, adalah hal yang tidak perlu terlalu dipikirkan. Tetapi kenapa ia merasa berbeda? Kenapa ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam setiap kali Dimas ada di sekitarnya?
Hari itu berlalu begitu saja, tetapi sejak pertemuan pertama dengan Dimas, Alya merasakan ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan. Perasaan itu semakin kuat seiring berjalannya waktu. Setiap kali mereka bertemu di sekolah, meskipun hanya untuk beberapa detik, Alya merasa dunia menjadi lebih hidup, lebih berwarna. Ia mulai menantikan hari-hari berikutnya dengan rasa yang tidak bisa dijelaskan. Perasaan yang dulunya ia anggap sepele, kini mulai mengisi setiap sudut hatinya.
Beberapa hari kemudian, mereka mulai berbicara. Tidak ada percakapan yang luar biasa atau mendalam, tetapi setiap kata yang keluar dari mulut Dimas terdengar begitu menyenangkan. Alya merasa aneh, karena ia yang biasanya lebih suka menyendiri, kini merasa begitu nyaman berbicara dengannya. Meskipun Dimas tampak sangat populer dan mudah bergaul dengan siapa saja, ia selalu memperhatikan Alya dengan cara yang berbeda. Kadang-kadang, ketika mereka bertemu di koridor sekolah, Dimas akan memberikan senyum lebar, atau menyapa Alya dengan sapaan ramah yang membuat Alya merasa sedikit terhanyut.
Namun, meskipun kedekatan ini mulai tumbuh, Alya masih bingung dengan perasaannya sendiri. Apakah ini hanya perasaan kagum biasa, ataukah ada sesuatu yang lebih? Ia tidak bisa memungkiri bahwa ada sesuatu yang membuat hatinya berdebar setiap kali Dimas berada di dekatnya, tetapi ia juga merasa takut untuk menghadapinya. Dimas bukan hanya siswa pindahan, tetapi juga seseorang yang sepertinya memiliki banyak teman dan kehidupan yang begitu berbeda dari kehidupannya yang tenang.
“Apakah ini cinta pertama?” Alya sering bertanya pada dirinya sendiri. Tetapi saat ia mencoba menjawab, ia merasa kebingungan. Cinta pertama seharusnya terasa lebih jelas, lebih pasti. Tetapi, baginya, semua ini terasa seperti sebuah teka-teki yang belum bisa ia pecahkan. Apa yang harus ia lakukan dengan perasaan yang mulai bermekaran ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya, seiring dengan semakin seringnya ia bertemu Dimas. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti—pertemuan yang tak terduga ini telah membuka pintu bagi perjalanan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kenangan pertama mereka, meskipun sederhana, akan menjadi kenangan yang tak akan pernah bisa ia lupakan.
Alya tahu, mungkin ini baru permulaan dari sebuah kisah yang tak terduga, sebuah kisah yang akan penuh dengan kebingungan, tetapi juga dengan keindahan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang berani merasakannya.*
BAB 2 KEDEKATAN YANG TUMBUH
Alya selalu merasa ada sesuatu yang berbeda sejak Dimas datang ke sekolah. Dia bukan tipe orang yang mudah dekat dengan orang baru, apalagi dengan pria seperti Dimas yang begitu mudah bergaul dan memiliki banyak teman. Namun, entah mengapa, setiap kali melihat Dimas, hatinya berdebar. Bukan karena ia terpesona atau jatuh cinta pada pandangan pertama, tetapi ada perasaan aneh yang muncul setiap kali mereka bertemu.
Sejak pertama kali bertemu, Dimas selalu berusaha membuat Alya merasa nyaman. Di kelas, mereka sering bertemu di meja yang sama untuk tugas kelompok, dan meskipun Alya biasanya lebih suka mengerjakan tugas sendiri, ia tidak bisa menolak tawaran Dimas untuk bekerja bersama. Dimas selalu memberi senyuman hangat setiap kali berbicara dengannya, dan Alya mulai merasa senang bisa berbicara lebih banyak dengan Dimas. Meskipun obrolan mereka tidak selalu dalam topik yang berat, percakapan-percakapan ringan itu justru membuat Alya merasa dekat dengan Dimas.
Suatu hari, mereka berada di perpustakaan untuk mengerjakan tugas sejarah yang cukup rumit. Alya sedang fokus membaca buku ketika Dimas duduk di sebelahnya, membuka laptopnya untuk mencari materi. Meski awalnya Alya merasa sedikit canggung, Dimas membuatnya merasa tenang dengan kehadirannya. Tanpa disadari, mereka mulai berbicara tentang berbagai hal, mulai dari topik tugas hingga hobi mereka. Dimas ternyata suka menulis puisi, hal yang tidak pernah dibayangkan Alya sebelumnya. Alya pun bercerita bahwa ia suka menggambar, sebuah hobi yang sangat jarang ia bagi dengan orang lain.
“Jadi, kamu suka menggambar?” tanya Dimas dengan antusias, matanya yang biasanya tenang kini penuh rasa ingin tahu. “Apa yang biasanya kamu gambar?”
Alya merasa sedikit ragu untuk menjawab, tapi Dimas tampak begitu tulus dalam mendengarkan. “Aku biasanya menggambar pemandangan alam, atau kadang karakter-karakter imajiner yang aku buat sendiri. Itu membuatku merasa lebih bebas.”
Dimas tersenyum, senyum yang terasa begitu hangat di hati Alya. “Kedengarannya menarik. Mungkin aku bisa lihat hasil gambarmu suatu waktu?”
Alya merasa sedikit gugup, tetapi senyum Dimas membuatnya merasa lebih nyaman. “Tentu, aku akan menunjukkan padamu jika aku merasa cukup percaya diri.”
Momen itu terasa sederhana, namun sesuatu di dalam diri Alya mulai berubah. Setiap kali Dimas berbicara padanya, Alya merasa dihargai dan dipahami. Tidak ada paksaan, tidak ada permainan. Dimas hanya menjadi dirinya sendiri, dan itu membuat Alya merasa senang.
Seminggu kemudian, mereka bertemu lagi di ruang kelas saat istirahat. Dimas duduk di meja yang sama dengan Alya dan mulai mengajaknya berbicara tentang berbagai hal yang lebih pribadi. “Alya, kamu sering banget membaca buku tentang sejarah, ya? Ada nggak buku yang kamu rekomendasikan? Aku kayaknya perlu mulai baca lebih banyak buku,” kata Dimas sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
Alya terkekeh, merasa sedikit aneh dipanggil “Alya” begitu santai, meskipun mereka sudah semakin dekat. “Aku suka buku-buku sejarah yang agak berat, seperti yang tentang Perang Dunia Kedua. Tapi kalau kamu baru mulai, mungkin bisa coba buku yang lebih ringan dulu, kayak buku sejarah yang membahas peristiwa-peristiwa besar.”
Dimas mengangguk, terlihat serius, tetapi senyumnya tidak pernah hilang. “Mungkin aku bisa coba cari itu. Terima kasih, ya!”
Mereka kembali sibuk dengan obrolan ringan lainnya hingga bel berbunyi, menandakan waktu istirahat telah berakhir. Alya merasa, entah mengapa, hari-hari mereka semakin dipenuhi dengan percakapan-percakapan kecil seperti itu. Tanpa disadari, ia mulai menantikan waktu-waktu bersama Dimas, meskipun semuanya masih terasa sangat biasa.
Namun, pada suatu sore ketika mereka sedang bekerja bersama di proyek sejarah, Dimas tiba-tiba berkata, “Alya, aku senang banget bisa kerja bareng kamu. Kadang aku merasa susah untuk bisa nyambung dengan orang lain, tapi entah kenapa, dengan kamu, semuanya terasa lebih mudah.”
Alya menatap Dimas, sedikit terkejut dengan pernyataan itu. “Aku juga merasa hal yang sama,” jawabnya pelan, jujur. “Mungkin kita punya cara berpikir yang sama.”
Dimas tersenyum, dan senyum itu menghangatkan hati Alya. Ada sesuatu dalam senyum itu yang membuat perasaannya semakin gelisah. Bagaimana mungkin dia bisa merasa begitu dekat dengan Dimas hanya dalam waktu singkat? Perasaan yang tidak bisa dijelaskan itu mulai tumbuh lebih dalam. Namun, ia juga merasa bingung, karena ia belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Ada kecanggungan yang mulai muncul, tetapi juga ada kedamaian ketika ia bersama Dimas.
Hari demi hari, kedekatan mereka semakin terjalin. Mereka sering menghabiskan waktu bersama setelah sekolah, bahkan kadang-kadang berjalan pulang bersama. Alya merasa semakin nyaman berada di dekat Dimas, meskipun perasaan yang baru tumbuh itu terasa begitu kuat namun belum bisa ia ungkapkan. Dimas tidak pernah menunjukkan tanda-tanda yang jelas apakah ia memiliki perasaan yang sama, namun kehadirannya selalu membuat Alya merasa spesial.
Suatu hari, setelah mereka selesai makan siang di kantin, Dimas bertanya, “Alya, kamu tahu nggak kenapa aku sering ngajak kamu ngobrol? Karena kamu orang yang paling nggak bikin aku canggung. Aku suka kalau kita bisa ngobrol tentang hal-hal apa aja.”
Alya terdiam, hatinya berdebar mendengar kata-kata Dimas. “Aku juga merasa nyaman kalau bisa ngobrol sama kamu,” jawabnya dengan suara pelan, berusaha menjaga ketenangannya.
Meskipun tidak ada kata-kata yang secara langsung mengungkapkan perasaan, namun dalam hati Alya, ia tahu bahwa sesuatu mulai tumbuh antara mereka. Itu adalah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tetapi yang pasti, kedekatan ini mulai memberikan arti yang lebih dalam bagi Alya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi satu hal yang pasti, Dimas sudah membuat hari-harinya lebih berwarna.
Hari itu, seperti biasa, Alya pulang dengan langkah ringan, memikirkan senyum Dimas yang selalu menenangkan hatinya. Entah kenapa, meskipun semuanya terasa belum jelas, perasaan ini terus berkembang dalam dirinya, seperti bunga yang mulai mekar perlahan.*
BAB 3 BAYANGAN YANG TERUS MENGETAHUI
Alya berjalan menyusuri lorong sekolah yang lengang, langkahnya terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati. Pikirannya terfokus pada satu hal: Dimas. Bayangan lelaki itu seolah menempel di setiap sudut kehidupannya, tak bisa dihindari, tak bisa dilupakan. Meskipun mereka hanya berinteraksi dalam beberapa kesempatan, perasaan yang tumbuh begitu mendalam dan tak terduga. Setiap kali Dimas ada di dekatnya, hatinya berdegup lebih cepat, tetapi saat Dimas menjauh, bayangan wajahnya tetap menghantui pikirannya.
Hari ini pun sama. Alya baru saja melewati percakapan singkat dengan Dimas di kantin, dan meskipun hanya beberapa kalimat sederhana, rasanya seperti dunia berhenti sejenak. Senyum Dimas, meski tidak terlalu lebar, tetap meninggalkan kesan mendalam di hati Alya. Rasanya, Alya ingin berlari mengejarnya dan mengungkapkan semua perasaan yang sudah lama terpendam. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang menahan langkahnya. Ketakutan.
Alya berhenti sejenak di tangga, mencoba menenangkan diri. Ia tahu bahwa perasaan yang ia rasakan bukanlah hal yang biasa. Ini bukan sekadar ketertarikan atau rasa kagum pada teman sekelas. Ini lebih dari itu. Sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit. Cinta, mungkin. Namun, kata itu terasa asing dan menakutkan bagi Alya. Cinta pertama selalu begitu, bukan? Perasaan yang tumbuh tanpa bisa dikendalikan, seperti benih yang disemai di dalam hati, tumbuh perlahan, namun begitu kuat, bahkan tanpa disadari.
“Kenapa aku harus merasa seperti ini?” Alya bergumam pelan, menatap bayangannya sendiri di kaca jendela yang terletak di ujung tangga. “Kenapa harus begitu canggung?”
Seketika, ingatan tentang Dimas kembali menghantui pikirannya. Senyuman tipisnya yang selalu membuat jantung Alya berdegup kencang, mata cokelatnya yang penuh dengan misteri, dan cara Dimas berbicara yang terkadang membuat Alya merasa ada sesuatu yang belum terungkap. Semua itu membentuk bayangan yang tidak bisa ia lepaskan begitu saja. Hanya dengan berpikir tentangnya, perasaan yang semula tenang pun kembali bergejolak.
Namun, bayangan-bayangan itu juga menyimpan kecemasan yang tidak bisa Alya hindari. Apa yang sebenarnya Dimas rasakan terhadapnya? Apakah senyuman itu hanya untuk teman, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam di balik tatapan itu? Apa yang harus Alya lakukan jika ia memang merasa lebih dari sekadar teman? Rasa takut itu, ketakutan akan penolakan, ketakutan akan merusak hubungan yang sudah terjalin, membuatnya terjebak dalam kebingungan.
Sore itu, Alya duduk di bangku taman sekolah, tempat yang selalu menjadi pelarian bagi dirinya ketika segala hal terasa membingungkan. Ia menatap langit yang mulai berubah oranye, mencoba mencari ketenangan. Namun, bayangan Dimas tetap saja ada, seakan tak bisa ia buang begitu saja. Ketika ia menutup mata sejenak, wajah Dimas yang tersenyum padanya kembali muncul dalam benaknya. Sejenak, ia merasa cemas. Sejenak, ia merasa takut untuk menghadapinya.
Alya tahu, ia sudah terlalu lama menyembunyikan perasaannya. Setiap kali mereka berbicara, ada perasaan yang tumbuh, tetapi ia tak pernah berani mengungkapkan. Rasa takut yang selalu hadir, rasa takut bahwa jika ia mengatakan apa yang ia rasakan, Dimas akan menjauh. Rasa takut bahwa hubungan mereka yang selama ini baik-baik saja akan berubah menjadi canggung dan aneh. Semua perasaan itu membuat Alya semakin terjebak dalam kebingungannya. Tidak hanya perasaan yang tumbuh, tetapi juga perasaan takut yang menghantui setiap langkahnya.
“Kenapa aku harus takut?” Alya bergumam lagi, lebih keras kali ini. “Aku tidak bisa terus begini. Aku harus menghadapinya.”
Namun, meskipun ia tahu apa yang harus ia lakukan, langkah untuk mengungkapkan perasaan itu terasa begitu besar dan sulit. Setiap kali ia berpikir untuk memberanikan diri, bayangan Dimas yang tersenyum penuh perhatian itu kembali datang. Bayangan yang begitu memikat dan menenangkan, tetapi juga penuh dengan misteri. Seolah-olah Dimas tahu apa yang Alya rasakan, tapi tidak pernah menunjukkan tanda-tanda akan membalasnya. Apa yang harus Alya lakukan jika itu semua hanya ada dalam pikirannya? Jika perasaan itu tidak lebih dari sekadar angan-angan?
Saat itu, Alya merasa seolah ada suara yang datang dari dalam hatinya, mendorongnya untuk bertindak. Kenapa ia harus hidup dalam ketakutan? Kenapa ia tidak bisa berbicara langsung dengan Dimas? Hanya dengan mengungkapkan perasaan, entah diterima atau tidak, Alya akan merasa lebih ringan. Jika ia terus hidup dengan bayangan-bayangan yang tidak pernah jelas, ia tidak akan bisa melangkah maju. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi jika ia mencoba.
Dengan tekad yang semakin kuat, Alya akhirnya berdiri dari bangku taman dan melangkah ke arah kelas. Langkahnya lebih mantap dari sebelumnya, meskipun di dalam hatinya masih ada keraguan yang menggema. Bayangan Dimas mungkin akan terus menghantuinya, tetapi Alya tahu, suatu hari nanti ia harus berhenti menyembunyikan perasaannya. Setiap bayangan yang datang, setiap perasaan yang menghantui, itu semua hanya bisa dihadapi dengan satu cara—menghadapinya langsung.
Ketika pintu kelas terbuka, Alya melihat Dimas duduk di tempatnya. Mata mereka bertemu sejenak, dan senyuman tipis muncul di wajah Dimas. Alya merasa seakan seluruh dunia berhenti sejenak. Tetapi kali ini, ia tidak takut. Ia tahu, saatnya untuk mengungkapkan perasaannya sudah dekat.
Bayangan-bayangan itu akan berhenti menghantui, hanya jika Alya berani melangkah maju dan menghadapinya.*
BAB 4 KENANGAN PERTAMA YANG TAK TERLUPAKAN
Matahari senja itu menyinari taman sekolah dengan cahaya lembut yang menghangatkan hati. Alya duduk di bangku taman yang sering mereka kunjungi bersama. Dimas belum tiba, tetapi kehadirannya sudah terasa di setiap sudut pikirannya. Sejak pertemuan pertama mereka yang tak terlupakan, setiap momen bersama Dimas selalu terukir dalam ingatannya. Tidak ada hal yang lebih indah daripada saat-saat sederhana yang mereka habiskan bersama—percakapan singkat di koridor, tawa ringan di tengah keramaian, dan kini, duduk berdua di taman yang tenang ini.
Alya menggigit bibir bawahnya, merasakan kegugupan yang tak bisa disembunyikan. Meskipun mereka sudah saling mengenal lebih dekat, ada sesuatu yang belum pernah ia ungkapkan. Kenangan pertama kali mereka bertemu, pertama kali berbicara, dan pertama kali merasakan detak jantung yang berdebar kencang karena kehadiran Dimas, semuanya seperti berputar dalam pikirannya. Semua itu terasa begitu nyata, dan ia merasa seolah kenangan-kenangan itu kini mekar kembali dengan warna yang lebih terang.
“Alya,” suara Dimas yang memanggil namanya membuat Alya terbangun dari lamunannya. Ia menoleh, dan disana Dimas sudah berdiri dengan senyum yang familiar—senyum yang selalu membuat hatinya berdebar. Dimas duduk di sampingnya, dengan sikap santai seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya kali ini.
“Ada apa?” tanya Alya pelan, mencoba menyembunyikan perasaan yang menggebu-gebu. “Kenapa kamu telat?”
Dimas tersenyum malu, kemudian mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya. “Aku hanya ingin memberimu ini,” katanya seraya mengulurkan buku itu pada Alya.
Alya menatap buku tersebut, bingung. “Apa ini?” tanyanya, membuka buku itu perlahan. Di halaman pertama, tertulis sebuah puisi yang ditulis tangan, dengan tulisan yang rapih dan indah. Alya membaca puisi itu dengan penuh rasa ingin tahu.
“Di bawah langit yang sama,
Di antara bintang yang tak terhitung,
Aku menulis namamu dalam setiap doaku,
Meskipun kita tak pernah saling tahu,
Kau selalu ada dalam setiap detak jantungku.”
Alya terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Puisi itu terasa begitu pribadi, dan terasa seolah-olah Dimas menulisnya untuknya. Mungkin dia hanya menulisnya untuk latihan, atau mungkin itu hanya sebuah kebetulan. Namun, perasaan yang tumbuh dalam hatinya sangat nyata.
“Kau menulis ini?” tanyanya, suara yang bergetar.
Dimas hanya mengangguk, mata yang menatapnya penuh ketulusan. “Aku menulisnya untukmu. Tidak ada alasan lain selain ingin kau tahu bahwa aku merasakannya—bahwa aku merasa ada sesuatu yang berbeda sejak pertama kali kita bertemu.”
Alya terdiam, mulutnya terasa kering. Apa yang baru saja dikatakan Dimas benar-benar menggetarkan jiwanya. Kenangan pertama mereka yang sudah lama terlupakan, kenangan pertama kali mereka berbicara di kelas, berinteraksi dengan canggung namun penuh ketulusan, kini berubah menjadi sesuatu yang lebih mendalam, lebih berarti. Semua perasaan yang selama ini terpendam akhirnya terungkap.
“Dimas…” suara Alya serak, matanya terasa panas. “Aku tidak tahu harus berkata apa.”
“Alya,” kata Dimas, mengulurkan tangan untuk meraih tangan Alya, “Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku tidak bisa menahan perasaan ini lagi. Aku suka kamu. Aku suka cara kamu tertawa, cara kamu bicara, dan cara kamu membuat setiap hari terasa lebih baik hanya dengan berada di dekatmu. Aku sudah lama merasakan hal ini, tapi aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya.”
Alya merasakan hatinya berdebar semakin kencang. Semua perasaan yang selama ini disembunyikan akhirnya terungkap. Ada kebahagiaan, ada kekhawatiran, dan ada keraguan yang mengisi setiap ruang di dalam hatinya. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang pasti—perasaan ini adalah perasaan yang nyata, perasaan yang datang dengan keindahan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
“Aku juga merasa hal yang sama, Dimas,” akhirnya Alya berkata, matanya menatap dalam ke mata Dimas. “Aku juga suka kamu. Sejak pertama kali kita bertemu, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Aku tidak tahu apakah itu cinta atau hanya perasaan kagum, tapi aku tahu aku ingin lebih dekat denganmu.”
Dimas tersenyum lebar, senyum yang membuat hati Alya semakin bergetar. “Kita akan menjalani ini bersama-sama, Alya. Tidak ada yang perlu ditakutkan.”
Saat itu, Alya merasa seperti dunia berhenti berputar. Semua keraguan yang ia rasakan, semua ketakutan yang menghalanginya, akhirnya menghilang begitu saja. Dalam momen itu, hanya ada mereka berdua—dua hati yang baru saja menemukan jalan menuju kebahagiaan bersama.
Waktu terasa melambat, dan Alya merasa seolah-olah kenangan pertama mereka berdua sedang mekar menjadi sesuatu yang lebih indah. Dimas yang duduk di sampingnya, senyum yang tak pernah pudar, dan puisi yang ditulis dengan penuh perasaan, semua itu membentuk kenangan yang akan selalu ia ingat. Kenangan yang akan selalu bermekaran di hatinya, seiring berjalannya waktu.
Ketika mereka berdua duduk bersama di bawah langit yang mulai gelap, Alya merasa bahwa inilah awal dari perjalanan mereka yang baru. Mereka akan melalui banyak hal bersama, akan belajar banyak tentang satu sama lain, dan yang terpenting, mereka akan mengukir kenangan-kenangan baru yang akan semakin bermekaran seiring berjalannya waktu. Kenangan pertama mereka adalah kenangan yang akan selalu ada, berakar dalam hati, dan tidak akan pernah terlupakan.*
BAB 5 KATA KATA YANG TAK TERUCAPKAN
Alya berjalan menyusuri lorong sekolah dengan langkah yang terasa lebih berat dari biasanya. Pikirannya terombang-ambing antara keraguan dan harapan yang tak terucapkan. Hari itu adalah hari yang terasa penuh dengan ketegangan, terutama karena Dimas ada di pikirannya—dalam setiap detik yang berlalu, wajahnya hadir tanpa diminta. Namun, ada yang berbeda. Dimas sudah beberapa kali memperlakukannya dengan cara yang lebih dari sekadar teman, dan Alya tahu bahwa perasaan ini bukan hanya sekedar obsesi atau kekaguman biasa. Ini lebih dalam, lebih rumit, dan lebih mengguncang hatinya.
Alya tahu, perasaan ini adalah cinta. Cinta pertama yang datang begitu mendalam, meskipun ia enggan mengakui sepenuhnya. Dimas telah memberikan tanda-tanda yang cukup jelas—senyumannya yang hangat, tatapan mata yang penuh perhatian, dan sikapnya yang membuat Alya merasa istimewa setiap kali mereka bertemu. Namun, meskipun semua itu, ada sesuatu yang membuatnya takut untuk mengungkapkan perasaannya. Takut jika itu hanya akan merusak semuanya. Takut jika perasaan ini tidak terbalas dan hubungan mereka akan hancur.
Sebelum pulang, Alya bertemu dengan Dimas di taman sekolah. Dimas sedang duduk di bangku, seolah menunggunya. Alya merasakan jantungnya berdetak lebih cepat begitu melihatnya. Semua kata-kata yang ingin ia katakan terasa menghilang, tak ada yang mampu keluar dari bibirnya. Ia hanya bisa berdiri di sana, membiarkan keheningan menyelimuti mereka berdua. Dimas melihatnya, senyum tipis mengembang di wajahnya.
“Alya, kenapa kelihatan tegang?” tanya Dimas dengan nada yang lembut, mencoba membuka percakapan.
Alya tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. “Aku… hanya sedikit capek,” jawabnya pelan, berusaha menghindari tatapan Dimas yang tajam. Namun, hatinya seakan berteriak untuk mengatakan sesuatu yang lebih, untuk mengungkapkan perasaan yang sudah lama terpendam. “Dimas,” ia akhirnya memulai, meski kata-kata itu terasa sulit keluar dari mulutnya. “Kamu selalu baik padaku.”
Dimas tersenyum lagi, kali ini senyuman yang lebih tulus. “Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan teman, kan?”
“Ya,” jawab Alya, tetapi perasaan itu semakin menekan dadanya. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman di antara mereka, dan Alya tahu itu. Dimas mungkin tidak mengatakannya, tetapi senyumannya, cara ia memperlakukannya, semuanya terasa berbeda. Setiap pertemuan dengan Dimas selalu meninggalkan kesan yang lebih mendalam, seperti ada sesuatu yang lebih penting yang tersembunyi di balik hubungan mereka yang sederhana. Namun, Alya tak bisa mengungkapkan itu. Kata-kata yang ia ingin ucapkan terasa seperti terjebak di tenggorokannya, tidak bisa keluar, tidak bisa diberi bentuk yang tepat.
Dimas menyadari ada yang berbeda dalam sikap Alya, dan itu membuatnya merasa bingung. “Ada yang ingin kamu katakan?” tanya Dimas, suaranya kini lebih serius, lebih penuh perhatian.
Alya menunduk, jarinya mulai memainkan ujung lengan bajunya yang sedikit kusut. “Aku… aku tidak tahu harus bagaimana.” Ada rasa cemas yang menggelayuti hatinya, dan ia merasakan ketegangan yang semakin membebani. “Aku takut jika aku mengatakannya, semuanya akan berubah. Aku takut jika aku terlalu berharap.”
Dimas menghela napas, lalu bangkit dari bangku tempat ia duduk. “Alya,” katanya lembut, “apa yang kamu takuti?”
Alya menatap Dimas, matanya penuh keraguan. “Aku takut jika kamu tidak merasa hal yang sama. Aku takut kalau aku mengungkapkan perasaanku, itu hanya akan membuat kita merasa canggung satu sama lain. Aku tidak ingin itu terjadi, Dimas. Aku tidak ingin kehilangan kamu, bahkan jika hanya sebagai teman.”
Dimas diam, seolah terkejut dengan pengakuan Alya. Selama ini, ia tidak pernah benar-benar tahu betapa dalam perasaan Alya terhadapnya. Memang, ia sudah mulai merasakan hal yang sama—ada sesuatu yang lebih antara mereka, sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Namun, ia juga ragu untuk mengungkapkannya. Dimas tidak ingin merusak hubungan mereka dengan harapan yang belum tentu terbalas. Bagaimana jika perasaan itu hanya sementara? Bagaimana jika mereka tidak mampu menjaga hubungan itu tetap seperti sedia kala?
“Jadi kamu… kamu benar-benar merasa seperti itu?” tanya Dimas, suaranya sedikit gemetar, tetapi penuh dengan kejujuran.
Alya mengangguk, merasa bahwa hatinya semakin terbuka, meskipun ada rasa takut yang besar. “Ya, aku… aku merasa seperti itu. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa cemas, bingung, dan aku merasa sangat takut kehilanganmu.”
Dimas terdiam untuk beberapa saat, berusaha mengatur perasaan yang mulai kacau di dalam hatinya. Ia tahu bahwa apa yang dirasakan Alya adalah cinta pertama, dan ia juga merasakan hal yang sama. Namun, ia juga sadar bahwa kata-kata yang tak terucapkan ini adalah sesuatu yang harus dihadapi. Mereka harus berani untuk saling terbuka, untuk berani mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam.
“Alya,” akhirnya Dimas berbicara, suaranya terdengar lebih tenang dan penuh keyakinan. “Aku juga merasakan hal yang sama. Aku takut kalau kita terlalu terburu-buru atau kalau aku mengungkapkannya, semuanya akan jadi aneh. Tapi aku tidak ingin kita terus hidup dalam kebingungan seperti ini.”
Alya merasa ada beban yang terangkat dari hatinya. Dimas juga merasakan keraguan yang sama, tetapi mereka tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Mereka berdua tahu bahwa perasaan ini lebih dari sekadar kebingungan, itu adalah kenyataan yang harus mereka hadapi.
“Dimas…” Alya mencoba menguatkan dirinya. “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi aku rasa kita harus mencoba, jangan hanya membiarkan kata-kata kita terpendam terus-menerus. Kita perlu tahu apakah perasaan ini nyata atau hanya perasaan sesaat.”
Dimas mengangguk pelan. “Aku setuju, Alya. Kita harus berani untuk melangkah, meskipun itu menakutkan.”
Alya merasakan sebuah kedamaian yang luar biasa setelah perbincangan itu. Kata-kata yang tak terucapkan akhirnya keluar, meskipun sedikit terlambat. Namun, perasaan yang mereka miliki kini sudah semakin jelas. Keberanian untuk mengungkapkan perasaan, meskipun dengan ragu, adalah langkah pertama untuk memulai perjalanan cinta yang lebih nyata.
Malam itu, mereka berdua tahu bahwa ini bukan akhir dari kebingungan mereka, tetapi awal dari sebuah cerita yang akan lebih berkembang. Kata-kata yang tak terucapkan kini telah memberi ruang untuk perasaan yang tumbuh lebih kuat. Dan meskipun jalan mereka masih panjang, mereka tahu bahwa mereka telah membuat langkah yang penting dalam perjalanan cinta pertama mereka.*
BAB 6 MENGHADAPI KETAKUTAN
Hari itu, langit mendung menyelimuti kota, menciptakan suasana yang seakan mencerminkan kegelisahan dalam hati Alya. Sejak pagi, perasaan cemasnya tak kunjung reda. Ia tahu, hari ini adalah hari yang berbeda. Hari ini adalah hari yang akan menentukan masa depan hubungannya dengan Dimas, meskipun mereka belum secara jelas mengartikulasikan apa yang mereka rasakan satu sama lain. Namun, perasaan itu ada, dan Alya merasakannya begitu kuat, tak bisa lagi diabaikan.
Alya duduk di pojok ruang kelas, tangannya menggenggam erat sebuah buku catatan, meskipun sebenarnya ia tidak membaca satu kata pun dari halaman yang terbuka di depannya. Pikirannya melayang jauh, memikirkan pertemuan yang sudah direncanakan dengan Dimas setelah sekolah. Mereka sepakat untuk bertemu di taman kota, tempat yang biasa mereka kunjungi bersama. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Kali ini, mereka akan berbicara tentang perasaan mereka, yang selama ini terpendam begitu lama, tidak terungkapkan.
Alya menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Sejak beberapa hari lalu, perasaan cemas dan keraguan selalu mengikutinya. Ia bertanya-tanya apakah ia siap untuk mengungkapkan perasaannya pada Dimas. Selama ini, mereka selalu berbicara tentang banyak hal, berbagi tawa dan cerita, namun perasaan yang lebih dalam itu belum pernah dibahas. Alya takut jika perasaan itu akhirnya mengubah segalanya, membuat segalanya menjadi rumit. Apakah Dimas juga merasakan hal yang sama? Apakah mereka bisa tetap menjadi teman setelah itu, ataukah semuanya akan berakhir jika ia mengungkapkan apa yang ia rasakan?
Alya memandang ke luar jendela, berharap udara segar akan sedikit mengurangi ketegangan yang ada di dalam dirinya. Tak lama, bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi. Ia tahu, waktu untuk bertemu dengan Dimas semakin dekat. Dalam perjalanan pulang menuju taman, setiap langkahnya terasa semakin berat. Ia ingin sekali berhenti dan berbalik, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang terus mendorongnya untuk melangkah maju.
Setibanya di taman, Alya melihat Dimas sudah duduk di bangku dekat pohon besar, seperti yang biasa mereka lakukan. Ia duduk dengan punggung yang tegak, matanya tertunduk, seolah sedang menunggu sesuatu. Alya bisa merasakan bahwa Dimas juga sedang diliputi perasaan yang sama. Mereka sudah saling mengenal cukup lama, namun saat ini, keduanya berdiri di ambang batas yang tidak bisa dihindari.
“Dimas…” Alya memanggil dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. Ia mencoba tersenyum, meski hatinya berdebar kencang.
Dimas menoleh dan tersenyum tipis. “Alya, kamu datang juga. Aku pikir, kita perlu bicara.”
Alya mengangguk, berusaha menenangkan napasnya yang terengah-engah. Ia duduk di sebelah Dimas, merasakan ketegangan yang begitu kuat di antara mereka. Tidak ada suara yang terdengar selain desiran angin yang menyapu dedaunan. Mereka berdua hanya duduk, masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri, seakan enggan memulai percakapan yang bisa mengubah segalanya.
Alya merasa seperti waktu berhenti. Ia bisa merasakan ketakutannya menggelayuti setiap sisi dirinya, menghalangi kata-kata untuk keluar. Namun, ia tahu bahwa ini adalah momen yang tidak bisa dihindari lagi. Ini adalah kesempatan untuk menghadapi ketakutan yang selama ini menghalanginya untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan.
Alya menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan seluruh keberanian yang ada. “Dimas, ada sesuatu yang ingin aku katakan. Sesuatu yang sudah lama aku simpan dalam hati.”
Dimas menatapnya dengan penuh perhatian, matanya tampak lebih lembut dari biasanya. “Kamu bisa bilang apa saja, Alya. Aku di sini.”
Alya menundukkan kepala, memikirkan bagaimana ia akan mulai. Semua kata yang sudah disiapkan terasa seperti ratusan batu yang menghalangi tenggorokannya. Ia takut jika kata-kata itu tidak diterima, takut jika perasaannya akan menghancurkan apa yang sudah mereka miliki. Tapi dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa ketakutan ini harus dihadapi.
“Dimas,” katanya akhirnya, suaranya bergetar. “Aku tidak tahu bagaimana harus memulainya, tapi aku merasa kita sudah cukup dekat, dan aku mulai merasa sesuatu yang lebih dari sekadar teman kepadamu. Aku merasa cemas, karena aku tidak tahu apakah perasaan ini juga ada di dirimu, atau apakah kita akan tetap sama setelah aku mengatakannya. Tapi aku tidak bisa terus-terusan menahannya. Aku merasa, aku harus mengungkapkannya…”
Dimas terdiam sesaat, mendengarkan dengan seksama. Alya bisa melihat matanya yang penuh kebingungan, namun juga ketulusan. Dia tahu Dimas sedang memikirkan kata-katanya dengan hati-hati. Ada sesuatu yang terasa begitu nyata di antara mereka, sesuatu yang tidak bisa dipungkiri lagi.
“Alya,” akhirnya Dimas membuka mulut, suaranya pelan namun pasti. “Aku juga merasakan hal yang sama. Aku takut. Takut jika kita saling mengungkapkan perasaan ini, semuanya akan berubah. Aku takut kita akan kehilangan apa yang kita miliki sekarang. Tapi, aku juga tidak ingin terus menyembunyikan apa yang ada di hati.”
Alya terkejut. Ia merasa lega, namun pada saat yang sama, cemas. Perasaan yang selama ini ia simpan ternyata tidak sia-sia. Dimas juga merasakannya. Tetapi, ini adalah awal dari perubahan besar dalam hidup mereka, dan keduanya harus siap menghadapi ketakutan tersebut bersama.
Dimas melanjutkan, “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, Alya. Tetapi aku tahu, aku tidak ingin menyesal karena tidak mengatakannya. Kita harus menjalani ini bersama, menghadapi ketakutan kita bersama.”
Alya tersenyum, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku juga tidak ingin menyesal, Dimas. Aku ingin kita menjalani ini bersama, meskipun kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku ingin mencoba, karena aku merasa, ini adalah langkah yang tepat.”
Dengan kata-kata itu, sebuah beban besar terasa terangkat dari hati keduanya. Mereka tidak tahu apa yang akan datang, tetapi mereka siap untuk menghadapinya. Mereka tahu, ketakutan itu hanya bisa dihadapi jika mereka bersama, saling mendukung dan berani melangkah ke depan.
Malam itu, di bawah cahaya rembulan yang lembut, Alya dan Dimas tahu bahwa perasaan mereka tidak hanya sekadar kenangan yang tertinggal, tetapi sebuah langkah baru yang akan mereka jalani bersama. Ketakutan mereka telah menjadi kenyataan, tetapi kenyataan itu justru membuka jalan untuk cinta yang lebih besar, yang tidak lagi tersembunyi.*
BAB 7 KENANGAN YANG BERMEKARAN
Hari itu terasa cerah, seolah matahari ikut bersinar lebih terang hanya untuk mereka. Alya duduk di bangku taman, memandangi langit yang biru tanpa awan, namun hatinya dipenuhi ribuan perasaan yang bercampur aduk. Ia bisa merasakan detak jantungnya yang lebih cepat dari biasanya, seolah waktu berjalan lebih lambat, hanya untuk memberikan ruang bagi perasaan yang terus berkembang dalam dirinya. Di hadapannya, Dimas duduk dengan senyum yang tak pernah gagal membuat hatinya berdegup kencang.
Ini adalah momen yang mereka tunggu-tunggu, momen di mana keduanya akhirnya mengungkapkan perasaan yang sudah lama terpendam. Perasaan yang selama ini membara, namun tak pernah berani untuk keluar, karena ketakutan dan keraguan yang terus menghalangi. Namun hari ini, semua itu berubah.
Dimas menyandarkan tubuhnya ke kursi taman dengan santai, namun matanya tetap fokus pada Alya. Seolah menunggu, menanti momen di mana mereka bisa berbicara tentang apa yang telah lama mereka rasakan. Alya merasa tak sabar, namun sekaligus cemas. Apa yang akan Dimas katakan? Apakah ia juga merasa seperti yang Alya rasakan?
“Alya…” suara Dimas memecah keheningan. “Aku… aku pikir kita sudah cukup lama berdiam diri, memendam perasaan ini, kan? Aku tahu ini bukan hal yang mudah untuk diungkapkan, tapi aku rasa, kita sudah cukup dewasa untuk menghadapinya.”
Alya hanya menatap Dimas, merasakan kata-kata itu mulai meresap dalam hatinya. Setiap kata yang keluar dari bibir Dimas terasa seperti jawaban dari semua pertanyaan yang selama ini menghantuinya. Dimas, yang selama ini ia kagumi, ternyata juga merasakan hal yang sama.
“Dimas…” Alya akhirnya membuka suara, suaranya sedikit bergetar. “Aku… aku takut, takut kalau ini hanya perasaan sementara. Aku takut kalau aku mengungkapkan ini, semuanya akan berubah dan kita akan kehilangan apa yang sudah kita punya sekarang. Aku takut kalau aku salah berharap…”
Dimas tersenyum, senyum yang begitu menenangkan, seolah segala ketakutan Alya bisa hilang hanya dengan senyuman itu. Ia meraih tangan Alya dan menggenggamnya dengan lembut.
“Alya, aku pun sama. Aku juga merasa takut. Takut kalau perasaan ini tidak akan bertahan, takut kalau kita tidak siap menghadapi apa yang datang setelah ini. Tapi satu hal yang aku tahu, kita tidak bisa hidup selamanya dengan keraguan. Cinta itu, meskipun datang dengan banyak ketakutan, juga datang dengan kebahagiaan yang tak ternilai. Aku tidak ingin kita menyesal karena tidak berani mengungkapkan apa yang kita rasakan.”
Alya menatap tangan Dimas yang menggenggam tangannya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa damai. Cinta pertama itu ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Terkadang, ada rasa takut yang harus dihadapi, ada keraguan yang harus diterima. Namun, ketika dua hati mulai saling mengerti, segala perasaan itu mulai terasa lebih mudah. Cinta pertama mereka tidak hanya tentang kebahagiaan yang datang begitu cepat, tetapi tentang bagaimana mereka saling berjuang untuk memahami satu sama lain.
“Aku ingin kita mencoba, Dimas,” kata Alya dengan suara yang lebih tenang, meskipun hati yang berdebar-debar. “Aku ingin kita berani melangkah bersama, walaupun aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Aku tidak ingin membiarkan kenangan ini hanya tinggal sebagai bayangan di masa lalu.”
Dimas mengangguk, matanya bersinar. “Aku pun merasa sama, Alya. Aku ingin kita membuat kenangan yang akan selalu kita ingat. Aku ingin kita menghadapinya bersama-sama, meskipun mungkin perjalanan ini tidak mudah. Tapi aku yakin, selama kita saling mendukung, kita akan bisa melewati semuanya.”
Mereka berdua duduk dalam keheningan yang nyaman, menikmati momen tersebut tanpa kata-kata yang perlu diucapkan lagi. Cinta pertama memang tidak selalu datang dengan cara yang mudah, namun ketika perasaan itu mulai bermekaran, semua keraguan dan ketakutan seolah menguap begitu saja.
Dalam keheningan itu, Alya merasa ada sesuatu yang mulai tumbuh dalam dirinya, sesuatu yang lebih dari sekadar perasaan biasa. Perasaan ini adalah tentang keberanian, tentang memberi kesempatan untuk hal-hal indah yang belum terungkap. Cinta pertama mereka kini mulai bermekaran, seperti bunga yang mekar di musim semi, indah dan penuh harapan.
Dimas kemudian mengalihkan pandangannya, menatap langit yang cerah. “Aku tahu kita akan menghadapi banyak tantangan di depan, Alya. Tapi yang penting adalah, kita sudah memulai langkah ini bersama. Setiap kenangan yang kita buat, akan menjadi bagian dari perjalanan kita. Dan aku yakin, kenangan-kenangan itu akan membawa kita menuju sesuatu yang lebih indah.”
Alya merasakan kebahagiaan yang luar biasa mendalam. Semua rasa takut yang pernah menghantuinya mulai lenyap. Dia tahu, perjalanan mereka tidak akan selalu mulus, namun ia siap untuk menjalani semuanya bersama Dimas. Mereka sudah saling membuka hati, dan itu adalah langkah pertama untuk menciptakan kenangan-kenangan yang akan selalu mereka ingat, tak peduli apa yang terjadi nanti.
“Aku siap, Dimas,” jawab Alya, matanya bersinar penuh harapan. “Aku siap untuk membuat kenangan bersama, untuk menjalani perjalanan ini bersama. Tidak ada lagi keraguan, hanya ada kita.”
Dimas tersenyum, senyum yang begitu tulus dan penuh arti. “Aku juga siap, Alya. Bersama kita, semua kenangan ini akan bermekaran indah.”
Mereka berdiri dan berjalan bersama, tangan mereka saling menggenggam erat, seolah tidak ada lagi yang bisa memisahkan mereka. Kenangan pertama yang mereka ciptakan bersama kini mulai bermekaran, menjadi bunga yang indah dalam perjalanan cinta mereka. Mereka tahu, apa pun yang terjadi, cinta pertama ini akan selalu menjadi bagian dari diri mereka, kenangan yang tak akan pernah pudar.
Dengan langkah yang penuh keyakinan, Alya dan Dimas memulai perjalanan baru mereka, meninggalkan segala keraguan di belakang, dan membawa kenangan yang bermekaran dalam hati mereka.***
————-THE END————–