Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga
Alya: Seorang wanita muda yang berkarir sebagai desainer grafis. Cerdas, mandiri, namun cenderung terjaga dalam hubungan emosional. Mimpi besarnya adalah bisa hidup bebas dan merdeka, tetapi tetap menginginkan hubungan yang tulus.
Arka: Seorang pria yang bekerja sebagai arsitek di luar negeri. Seorang profesional yang tenang, ambisius, tetapi penuh dengan sisi sensitif yang jarang terlihat orang lain
Alya dan Arka bertemu dalam sebuah acara seminar internasional di Bali. Mereka tidak sengaja duduk berdampingan, dan percakapan yang dimulai dengan topik biasa seperti pekerjaan dan kehidupan menjadi lebih dalam seiring berjalannya waktu. Perasaan tertarik tumbuh begitu saja, tanpa ada niatan untuk mengarah ke hubungan serius. Namun, setelah beberapa kali pertemuan, mereka mulai merasa ada koneksi emosional yang lebih dalam, bahkan meski hanya lewat percakapan ringan
Setelah seminar selesai, Arka kembali ke luar negeri, sementara Alya melanjutkan hidupnya di Indonesia. Mereka mulai sering berkomunikasi lewat pesan teks dan panggilan video. Walaupun mereka merasa hubungan ini masih baru, rasa rindu dan perasaan cinta mulai tumbuh dengan cepat. Namun, baik Arka maupun Alya menyadari bahwa mereka harus menghadapi tantangan besar: jarak yang memisahkan mereka.
Sore itu, langit Bali tampak sedikit mendung, mengisyaratkan datangnya hujan. Di tengah suasana yang masih ramai oleh para peserta seminar internasional, Alya duduk sendiri di sebuah meja di dekat jendela kafe. Ia menatap ponselnya yang sepi, tanpa ada pesan dari siapa pun. Satu-satunya yang menyita perhatiannya hanyalah layar kosong yang kini tampak begitu besar. Beberapa hari terakhir, dia merasa terjebak dalam rutinitas yang tak ada habisnya. Tugas dari klien yang menumpuk, serta proyek pribadi yang belum selesai, membuatnya merasa semakin jauh dari kehidupan sosialnya.
Seminar ini adalah kesempatan langka, sebuah ajang yang seharusnya bisa memberikan inspirasi baru. Tetapi saat ini, inspirasi itu tampaknya jauh dari jangkauannya. Alya merasa lelah dan kesepian, meskipun di sekitarnya ada banyak orang yang sama-sama hadir untuk acara ini. Tidak ada yang benar-benar mengerti, tidak ada yang tahu betapa banyak pikiran yang sedang mengalir dalam kepalanya.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Satu pesan masuk, dan seperti biasa, dari teman lamanya, Nia. Hanya beberapa kalimat singkat yang menanyakan bagaimana Alya di seminar dan apakah dia sudah menikmati waktu di Bali. Meskipun merasa bersyukur ada seseorang yang peduli, Alya tidak bisa sepenuhnya menjawab pesan itu dengan antusias. Ia tahu, dalam beberapa jam ke depan, seminar ini akan selesai dan mereka semua akan kembali ke rutinitas masing-masing. Dan bagi Alya, itu berarti kembali ke dalam dunia yang terasa semakin jauh dari harapan dan impian.
Namun, tiba-tiba, sebuah suara yang lembut dan asing menyapanya.
“Maaf, apakah tempat ini masih kosong?”
Alya mendongak dan melihat seorang pria berdiri di hadapannya. Pria itu tampak sedikit ragu, seolah bingung dengan keberadaannya di antara keramaian. Dengan senyum yang tampak hangat, pria itu memegang sebuah gelas kopi di tangan kirinya.
“Ya, tentu,” jawab Alya, sedikit terkejut karena pria itu tampak seperti baru pertama kali berada di tempat ini. “Silakan duduk.”
Pria itu tersenyum kecil, lalu duduk di kursi seberang meja Alya. Tidak ada banyak percakapan pada awalnya. Masing-masing terjebak dalam kebisingan seminar yang terus berlangsung. Alya kembali memeriksa ponselnya, berharap ada berita atau pesan yang bisa membantunya keluar dari kebosanan.
Namun, beberapa saat kemudian, pria itu membuka percakapan.
“Aku pikir kita seharusnya memulai percakapan dengan sesuatu yang lebih menarik daripada ‘cuaca hari ini’. Jadi… apa yang membuatmu datang ke seminar ini?”
Alya tertawa kecil, sedikit terkejut dengan keakuratan pertanyaan itu. “Hmm, mungkin aku lebih tertarik pada materi yang akan dibahas daripada orang-orang yang hadir. Aku seorang desainer grafis, jadi aku ingin memperluas perspektifku tentang dunia desain dan kreativitas.”
“Desainer grafis?” pria itu mengangkat alisnya. “Itu pekerjaan yang sangat menarik. Bagaimana kamu bisa memilih jalur itu?”
Alya merasa nyaman dengan percakapan ini. Bukan karena pria itu luar biasa menarik—meskipun ia mengakui ada sesuatu yang menawan dari cara pria itu berbicara—tetapi karena cara mereka berbicara seperti dua orang yang sudah lama saling mengenal. Tidak ada ketegangan atau rasa canggung. Hanya obrolan yang mengalir begitu saja.
“Aku selalu suka seni,” jawab Alya. “Tapi aku juga suka berpikir praktis. Jadi desain grafis terasa seperti tempat yang sempurna untuk menggabungkan dua hal itu. Ada kreativitas, tapi juga kebutuhan untuk menghasilkan sesuatu yang fungsional.”
Pria itu mengangguk dengan penuh perhatian, lalu melanjutkan, “Aku seorang arsitek. Aku rasa, pekerjaan kita tidak terlalu berbeda. Sama-sama membentuk dunia di sekitar kita, hanya dengan cara yang berbeda.”
“Arsitek, ya?” Alya tersenyum, merasa percakapan semakin menarik. “Apa yang membawamu ke seminar ini, kalau boleh tahu?”
Pria itu tampak berpikir sejenak, lalu menjawab, “Aku tertarik untuk belajar lebih banyak tentang desain yang lebih berfokus pada manusia. Lebih kepada pengalaman pengguna, jika kamu mau tahu. Aku ingin melihat bagaimana seni dan arsitektur bisa lebih mengutamakan kenyamanan dan kepraktisan.”
Percakapan mereka berlanjut, bergerak dari topik ke topik dengan lancar. Tidak ada rasa canggung lagi. Waktu seolah berhenti saat mereka berbicara tentang pekerjaan, filosofi desain, hingga bagaimana pandangan mereka terhadap dunia ini. Setiap kata yang keluar dari mulut pria itu, seolah menyentuh sisi-sisi Alya yang selama ini terpendam—sisi yang penuh dengan rasa ingin tahu dan kekaguman terhadap dunia yang lebih luas.
Beberapa jam berlalu begitu cepat. Seminar yang tadinya terasa membosankan, kini menjadi latar yang sempurna untuk sebuah pertemuan tak terduga. Alya merasa seperti menemukan seseorang yang memahami dunia yang dia tinggali. Mungkin tidak banyak orang yang bisa berbicara dengan kehangatan dan kejelasan seperti pria ini. Mereka berbicara begitu dalam, membahas tentang desain, seni, dan bahkan tentang kehidupan pribadi mereka. Meskipun mereka baru bertemu, percakapan mereka terasa begitu alami dan mudah.
Saat seminar selesai, Alya dan pria itu berjalan keluar bersama, masih berbicara tentang topik-topik yang belum selesai mereka bahas.
“Jadi, apa rencanamu setelah ini?” tanya pria itu sambil tersenyum.
Alya sedikit terkejut. “Rencanaku? Hmm… Mungkin kembali ke hotel dan beristirahat. Aku masih merasa agak lelah.”
“Ah, aku mengerti. Tapi, bagaimana kalau kita melanjutkan percakapan kita di tempat lain? Aku tahu sebuah kafe yang cukup tenang, mungkin kamu ingin ikut?”
Alya mempertimbangkan tawaran itu. Meskipun ada sedikit rasa ragu, ada sesuatu dalam diri pria ini yang membuatnya merasa aman. Sesuatu yang membuatnya merasa nyaman untuk melanjutkan percakapan mereka lebih jauh.
“Baiklah,” jawab Alya akhirnya. “Aku ikut.”
Mereka berjalan bersama menuju kafe kecil yang terletak tidak jauh dari tempat seminar. Suasana di dalam kafe itu jauh lebih tenang dibandingkan dengan keramaian seminar yang baru saja mereka tinggalkan. Alya merasa aneh, namun juga senang. Rasanya, seperti ada sebuah pertemuan yang tak direncanakan, yang mengubah hari-harinya.
Saat duduk di meja kecil, mereka melanjutkan percakapan dengan lebih santai. Kali ini, percakapan mereka lebih ringan, tetapi tetap penuh dengan kedalaman. Mereka saling berbagi cerita tentang kehidupan mereka, tentang harapan dan ketakutan, tentang pekerjaan dan impian yang ingin mereka capai.
“Jadi, apakah kamu selalu datang ke seminar seperti ini?” tanya pria itu, memecah keheningan.
Alya tersenyum kecil. “Tidak selalu. Tapi aku merasa Bali menawarkan suasana yang berbeda. Aku bisa belajar banyak hal di sini. Bagaimana denganmu? Apa yang membuatmu memilih Bali sebagai tujuan seminar kali ini?”
Pria itu sedikit terdiam, seolah berpikir keras. “Aku… sebenarnya tidak begitu suka bepergian jauh. Tapi ada sesuatu tentang Bali yang menarik bagiku. Mungkin karena Bali memberi ruang bagi kita untuk berhenti sejenak, untuk merenung.”
Alya terdiam, merenung. Mereka berbicara tentang banyak hal, tetapi tidak ada satu pun kata yang menghubungkan keduanya dengan begitu kuat selain kenyataan bahwa, di tengah dunia yang penuh dengan kesibukan dan kepadatan, mereka menemukan waktu untuk berhenti—untuk saling mendengarkan, saling mengenal, dan bahkan saling memahami.
Ketika akhirnya mereka berpisah malam itu, tidak ada janji untuk bertemu lagi. Namun, ada rasa saling penasaran yang masih menggelayuti di hati masing-masing. Sesuatu yang belum selesai, yang masih harus dijelajahi lebih jauh.
Dalam hubungan jarak jauh, komunikasi adalah segalanya. Setiap pagi, Alya dan Arka menyapa satu sama lain dengan pesan singkat yang menjadi ritual mereka. Kadang-kadang hanya sekadar menanyakan bagaimana hari mereka, namun terkadang mereka berbicara tentang mimpi dan harapan untuk masa depan. Meskipun tidak selalu mudah, keduanya berusaha menjaga komunikasi yang jujur dan terbuka.
Kehidupan profesional mereka masing-masing semakin menuntut, dan keduanya mulai merasakan ketegangan antara menjaga hubungan dan memenuhi kewajiban mereka. Alya mulai merasa kesepian, merasa bahwa waktu yang ia habiskan untuk bekerja semakin membuat jarak di antara mereka semakin lebar. Arka di sisi lain, mulai merasa cemas bahwa perasaan mereka mungkin hanya bertahan dalam bayangan komunikasi elektronik, bukan kenyataan.
Dalam sebuah percakapan malam yang panjang, Alya mengungkapkan keraguannya tentang hubungan mereka. Ia merasa semakin sulit untuk terus mempercayai bahwa mereka bisa bertahan, mengingat segala hambatan yang ada. Arka yang selama ini tenang mulai menunjukkan sisi rentannya. Dia takut hubungan ini berakhir, tetapi dia juga tidak tahu harus bagaimana.
Sore itu, langit Bali tampak mendung, seolah mempersiapkan dirinya untuk hujan. Suasana di sekitar seminar internasional di sebuah hotel mewah di Ubud begitu ramai, dengan peserta yang sibuk berdiskusi tentang topik desain dan arsitektur. Namun, di tengah keramaian itu, Alya merasa seolah dunia mengelilinginya begitu cepat, sementara dirinya berdiri diam, terjebak dalam kebingungan. Ia tidak tahu mengapa perasaan hampa itu semakin menggerogoti dirinya. Di tengah kegiatan ini yang seharusnya memberi inspirasi, Alya justru merasa semakin terasing.
Ia melangkah keluar dari ruang seminar, mencari ketenangan di sebuah kafe kecil yang terletak di pojok hotel. Meja di dekat jendela sudah terlihat kosong. Dengan langkah ringan, Alya duduk di sana, mengeluarkan laptop dari tasnya, berharap bisa melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Namun, seiring waktu, pikirannya melayang kembali pada seminar yang baru saja ia hadiri.
“Sepertinya aku terlalu serius,” gumam Alya pelan kepada dirinya sendiri.
Hidupnya beberapa bulan terakhir memang terasa semakin penuh dengan kesibukan yang monoton. Sejak ia mengambil proyek besar sebagai desainer grafis di perusahaan arsitektur ternama, kehidupannya seolah terpecah antara pekerjaan dan dunia pribadinya yang semakin lama terasa semakin jauh. Bali seharusnya menjadi tempat untuk menemukan kedamaian, namun kenyataan justru memperlihatkan betapa sulitnya untuk keluar dari rutinitas yang telah ia bentuk sendiri.
Di meja sebelah, terdengar suara tawa yang mengalir dari dua orang peserta seminar yang sedang berbicara. Alya menoleh sebentar, menatap mereka dengan rasa kagum. Betapa mereka tampak begitu hidup, berbicara dengan penuh semangat tentang ide-ide baru mereka. Keinginan untuk berbaur dengan mereka datang begitu saja, namun dia menahannya. Ia merasa lebih nyaman sendiri, terisolasi dalam dunia kecilnya yang penuh pekerjaan.
Tak lama setelah itu, seorang pria datang dan berdiri di samping meja tempat Alya duduk. Pria itu tampak sedikit ragu, melihat kursi kosong di depan Alya.
“Maaf, apakah tempat ini masih kosong?” tanya pria itu dengan suara rendah, seolah merasa sedikit canggung.
Alya mengangkat pandangannya dan melihat sosok pria itu. Memiliki wajah tampan dengan ekspresi serius yang sepertinya selalu berada dalam dunia pikirannya sendiri. Pria itu mengenakan jas hitam yang rapi, sepertinya baru saja menghadiri sesi seminar lain, dengan segelas kopi di tangannya. Dia tampak asing, seperti baru pertama kali berada di tempat ini, meskipun suasana seminar telah berlangsung selama beberapa hari.
“Ya, tentu. Silakan duduk,” jawab Alya, sedikit terkejut karena tidak ada lagi meja kosong di seluruh kafe ini.
Pria itu tersenyum kecil dan duduk di kursi seberang. Sekilas Alya melihat bahwa pria itu membawa laptop, dan mungkin sedang mencari tempat yang tenang untuk melanjutkan pekerjaannya. Namun, alih-alih menundukkan kepala dan melanjutkan pekerjaannya, pria itu malah memandang sekitar kafe dengan rasa keingintahuan yang sama seperti dirinya. Alya merasa ada sesuatu yang menarik dari pria ini, namun ia tak bisa menjelaskan dengan jelas.
Beberapa menit pertama dihabiskan dalam keheningan. Hanya suara gemerisik peralatan makan dan sesekali tawa orang lain di sekitar mereka yang memenuhi ruang. Alya kembali menatap laptopnya, berharap bisa kembali terfokus pada pekerjaan, namun pikirannya terus melayang.
Akhirnya, pria itu memecah kesunyian dengan suara lembutnya. “Aku rasa kita seharusnya memulai percakapan ini dengan sesuatu yang lebih menarik daripada cuaca, bukan?”
Alya tersenyum mendengar kalimat itu, merasa lega karena pria itu tampaknya ingin berbicara. Ia menatapnya sejenak sebelum menjawab. “Memang sepertinya itu pilihan yang lebih baik,” katanya. “Oke, kalau begitu, aku mulai. Apa yang membawamu ke seminar ini?”
Pria itu sedikit tersenyum dan meletakkan gelas kopinya di atas meja, lalu memandang Alya dengan lebih fokus. “Aku seorang arsitek. Datang ke seminar ini karena ingin mendalami bagaimana desain bisa lebih manusiawi, lebih fokus pada pengalaman pengguna. Jujur, meskipun aku sudah lama terjun di bidang ini, aku merasa banyak hal yang belum kutahu. Dan seminar ini rasanya cukup membuka perspektif baru.”
Alya mengangguk, merasa tertarik. “Aku seorang desainer grafis,” katanya. “Tapi aku tertarik dengan bagaimana desain itu dapat menyentuh emosi dan menggugah seseorang. Bagaimana desain bisa bercerita tanpa kata-kata. Dan seminar ini, meskipun banyak topik yang berbicara tentang teori, masih terasa terlalu teknis buatku.”
Pria itu tertawa kecil, seolah mengerti apa yang Alya rasakan. “Aku tahu maksudmu. Banyak orang yang menganggap arsitektur hanya tentang bangunan, tentang struktur, dan bahan. Padahal, arsitektur juga tentang perasaan, tentang bagaimana orang akan merasakan ruang itu, bagaimana mereka akan berinteraksi dengan tempat yang kita desain. Rasanya, banyak orang lupa bahwa kita menciptakan ruang untuk manusia, bukan hanya untuk benda.”
Percakapan mereka mulai mengalir dengan lancar. Dalam beberapa menit, topik berubah dari arsitektur ke desain grafis, lalu ke kehidupan pribadi mereka. Alya merasa aneh, namun nyaman. Sebelumnya, ia tidak pernah merasa mudah berbicara dengan orang asing seperti ini. Biasanya, ia lebih suka menghabiskan waktu sendirian atau hanya berbicara dengan teman-temannya. Namun, pria ini membuatnya merasa seolah percakapan ini telah berlangsung lama, seperti mereka sudah saling mengenal sebelumnya.
“Aku rasa kita tidak terlalu berbeda, meskipun profesi kita berbeda,” kata pria itu sambil menyeruput kopinya. “Desain dan arsitektur sama-sama membutuhkan rasa empati, kan? Kita harus bisa merasakan apa yang orang lain butuhkan, dan menciptakan sesuatu yang tak hanya memuaskan secara visual, tetapi juga emosional.”
Alya tersenyum, merasa perasaannya dimengerti. “Betul sekali. Mungkin itu sebabnya aku suka dengan desain. Karena aku merasa bisa membuat dunia sedikit lebih baik, meskipun dengan cara yang sederhana.”
Mereka berbicara lebih dalam tentang filosofi desain, tentang bagaimana seni bisa menyentuh kehidupan sehari-hari. Meskipun percakapan itu berfokus pada topik yang serius, ada rasa santai dan alami di dalamnya. Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat, dan keduanya hampir tidak sadar bahwa mereka sudah menghabiskan lebih dari satu jam berbicara.
“Sepertinya kita sudah menghabiskan banyak waktu di sini,” kata pria itu akhirnya. “Kalau kamu tidak keberatan, bagaimana kalau kita lanjutkan percakapan ini di luar kafe? Aku tahu tempat yang lebih tenang.”
Alya mengangguk, meskipun semula sedikit terkejut dengan tawaran tersebut. Namun, ada sesuatu dalam diri pria ini yang membuatnya merasa nyaman. Sesuatu yang membuatnya ingin mengenal lebih jauh.
“Baiklah, aku ikut,” jawab Alya.
Mereka berdua berjalan keluar dari kafe, menikmati udara sore yang mulai sejuk. Pria itu memimpin, dan Alya mengikuti dengan langkah ringan. Tidak ada kata-kata canggung lagi antara mereka. Mereka terus berbicara tentang kehidupan, tentang pengalaman mereka di dunia desain, tentang apa yang mereka harapkan di masa depan. Seiring berjalan, Alya merasa semakin dekat dengan pria ini, seolah dia sudah lama mengenalnya.
Sesampainya di tempat yang lebih tenang, mereka duduk di sebuah bangku taman. Angin sore bertiup lembut, dan Alya merasa suasana itu begitu damai. Meskipun jaraknya cukup jauh dari keramaian hotel, tempat ini menawarkan ketenangan yang ia cari.
“Aku senang bisa berbicara denganmu,” kata pria itu dengan nada tulus.
Alya tersenyum. “Aku juga. Aku rasa ini pertemuan yang cukup tak terduga, ya?”
Pria itu tertawa. “Benar, aku tidak menyangka bisa menemukan percakapan seperti ini di tengah seminar yang penuh teori dan diskusi. Rasanya menyenangkan bisa berbicara tentang hal-hal yang lebih personal, lebih mendalam.”
Mereka duduk bersama, tidak ada percakapan berat atau canggung, hanya rasa nyaman yang mengalir begitu alami. Perasaan itu aneh, seperti menemukan sesuatu yang hilang tanpa sengaja, sebuah koneksi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Namun, saat matahari mulai terbenam, Alya merasa sebuah rasa rindu yang aneh muncul—rindu untuk lebih mengenal pria ini, dan mungkin, lebih dari itu. Sesuatu yang tampaknya sangat sederhana, tetapi bisa mengubah arah hidup mereka.*
Bab 2: Pesan di Setiap Pagi
Dalam hubungan jarak jauh, komunikasi adalah segalanya. Setiap pagi, Alya dan Arka menyapa satu sama lain dengan pesan singkat yang menjadi ritual mereka. Kadang-kadang hanya sekadar menanyakan bagaimana hari mereka, namun terkadang mereka berbicara tentang mimpi dan harapan untuk masa depan. Meskipun tidak selalu mudah, keduanya berusaha menjaga komunikasi yang jujur dan terbuka.
Kehidupan profesional mereka masing-masing semakin menuntut, dan keduanya mulai merasakan ketegangan antara menjaga hubungan dan memenuhi kewajiban mereka. Alya mulai merasa kesepian, merasa bahwa waktu yang ia habiskan untuk bekerja semakin membuat jarak di antara mereka semakin lebar. Arka di sisi lain, mulai merasa cemas bahwa perasaan mereka mungkin hanya bertahan dalam bayangan komunikasi elektronik, bukan kenyataan.
Dalam sebuah percakapan malam yang panjang, Alya mengungkapkan keraguannya tentang hubungan mereka. Ia merasa semakin sulit untuk terus mempercayai bahwa mereka bisa bertahan, mengingat segala hambatan yang ada. Arka yang selama ini tenang mulai menunjukkan sisi rentannya. Dia takut hubungan ini berakhir, tetapi dia juga tidak tahu harus bagaimana.
Setelah pertemuan yang tak terduga di kafe Bali beberapa hari yang lalu, Alya dan Arka kembali melanjutkan hidup mereka, masing-masing dengan rutinitas dan pekerjaan yang menuntut perhatian penuh. Namun, ada sesuatu yang berbeda sejak percakapan mereka sore itu. Sesuatu yang tidak bisa Alya jelaskan, tetapi ia merasakannya dalam setiap detiknya. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang belum selesai, meskipun mereka berdua sudah berpisah tanpa janji akan bertemu lagi.
Pagi-pagi setelah pertemuan itu, saat Alya membuka matanya, ia melihat sebuah pesan singkat yang masuk ke ponselnya. Pesan yang terkesan sederhana, namun menyentuhnya lebih dalam dari yang ia kira.
Arka:
Selamat pagi, Alya. Semoga harimu menyenangkan, seperti percakapan kita kemarin. Semoga kita bisa berbicara lagi suatu saat nanti.
Alya terkejut melihat pesan itu. Sejak pertemuan mereka, dia tidak pernah mengira bahwa pria itu akan mengirim pesan di pagi hari. Alya memandangi pesan tersebut beberapa saat, membiarkan perasaan yang aneh mengisi hatinya. Ada semacam kehangatan yang menyebar, meskipun hanya melalui kata-kata yang tercetak di layar.
Tangan Alya terhenti sebentar saat hendak membalas pesan itu. Apakah ini hanya kebetulan? Atau mungkin Arka benar-benar tertarik untuk menjaga komunikasi lebih lanjut? Tetapi, meskipun sedikit ragu, Alya merasa ada sesuatu yang tulus dalam pesan singkat itu. Tanpa banyak berpikir, ia akhirnya mengetik balasan.
Alya:
Selamat pagi, Arka. Terima kasih atas pesannya. Aku juga menikmati percakapan kita kemarin. Sepertinya kita memang memiliki banyak hal yang bisa dibicarakan.
Ketika ia menekan tombol kirim, Alya merasa sedikit canggung. Ia jarang membuka diri seperti ini dengan orang yang baru dikenalnya. Tetapi, ada sesuatu tentang Arka yang membuatnya merasa nyaman. Tanpa sadar, ia mulai menantikan pesan-pesan yang akan datang setiap pagi, meskipun pertemuan mereka hanya terjadi sekali.
Hari demi hari berlalu, dan setiap pagi Arka selalu mengirimkan pesan. Awalnya pesan itu sederhana—sekedar menanyakan bagaimana hari Alya berjalan, apakah seminar yang diikutinya bermanfaat, atau bagaimana proyek desainnya berjalan. Alya mulai merasa ada kedekatan yang tumbuh meski jarak di antara mereka begitu jauh. Mereka tidak bertemu lagi sejak pertemuan pertama itu, namun melalui pesan-pesan yang saling mengalir, seolah-olah dunia mereka semakin dekat.
Arka:
Selamat pagi, Alya. Aku berharap kamu baik-baik saja. Ada ide baru yang ingin aku bagikan tentang proyekku. Mungkin kita bisa berbicara tentang itu nanti?
Alya:
Selamat pagi, Arka. Tentu, aku selalu senang mendengarkan ide baru. Aku juga ada beberapa hal yang ingin kutanyakan, tentang filosofi desainmu. Mungkin kita bisa bertukar pikiran lagi.
Setiap pagi, percakapan mereka menjadi sedikit lebih pribadi, sedikit lebih mendalam. Mereka berbicara lebih dari sekadar pekerjaan atau desain. Arka mulai membagikan ceritanya—tentang bagaimana ia memilih jalur arsitektur, tentang masa kecilnya yang sederhana di sebuah kota kecil, dan bagaimana ia memutuskan untuk merantau jauh ke luar negeri demi mengejar mimpinya. Alya juga mulai terbuka, berbagi lebih banyak tentang kehidupannya. Meskipun jarak fisik di antara mereka begitu jauh, Alya merasa seperti semakin dekat dengan Arka.
Suatu pagi, saat Alya sedang duduk di teras rumahnya yang sejuk, menikmati secangkir kopi sambil memeriksa pesan-pesan masuk di ponselnya, ia menemukan sebuah pesan yang berbeda dari biasanya. Pesan itu datang dari Arka, tetapi kali ini ada nada yang lebih serius.
Arka:
Alya, aku merasa aneh akhir-akhir ini. Seperti ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiranku. Aku mulai berpikir tentang pertemuan kita yang singkat itu, tentang bagaimana kita berbicara dengan mudah tentang segala hal. Mungkin ini terdengar terlalu cepat, tapi aku merasa ingin mengenalmu lebih jauh. Apa kamu merasa hal yang sama?
Alya membaca pesan itu berulang kali. Ada ketegangan dalam kata-kata Arka, seperti ia ragu untuk mengungkapkan perasaan sesungguhnya. Alya terdiam beberapa saat, merasa cemas. Apakah ini terlalu cepat untuk berbicara tentang perasaan seperti ini? Mereka hanya bertemu satu kali, meskipun percakapan mereka terasa begitu alami. Apakah itu cukup untuk membuatnya merasa terhubung?
Namun, meskipun ada rasa cemas yang mengisi hatinya, Alya tahu bahwa ada sebuah dorongan kuat untuk membalas pesan itu, untuk menjawab kejujuran yang Arka sampaikan. Tanpa berpikir panjang, ia mengetik balasan.
Alya:
Arka, aku juga merasa aneh. Sejak pertemuan itu, aku sering memikirkanmu. Aku tidak tahu apakah ini terlalu cepat, tapi aku merasa seperti kita sudah saling mengenal lebih lama daripada yang sebenarnya. Aku juga ingin mengenalmu lebih jauh. Aku rasa kita punya banyak hal yang bisa dibagikan.
Pesan itu keluar dari jari-jarinya dengan begitu mudah. Hati Alya berdebar, cemas dengan reaksi Arka setelah membacanya. Ia belum siap untuk menjelaskan semuanya, tetapi ada perasaan yang tidak bisa ia sembunyikan lagi. Mereka berdua terpisah oleh jarak, namun pesan-pesan pagi itu mengikat mereka dalam cara yang tak terduga.
Tidak lama setelah ia mengirimkan pesan itu, Arka membalas dengan cepat. Ada kebahagiaan yang terasa jelas dalam setiap kata-kata yang ia kirimkan.
Arka:
Aku merasa sangat lega mendengar itu, Alya. Aku rasa kita berdua sedang berada di jalur yang sama, meskipun terpisah oleh jarak. Aku ingin melanjutkan percakapan ini lebih jauh, lebih sering, jika kamu juga menginginkannya.
Alya:
Aku juga ingin itu, Arka. Mungkin ini aneh, tapi aku merasa kita bisa berbicara tentang apapun, tanpa takut dihakimi atau dianggap aneh. Aku rasa ini awal yang baik.
Setiap pagi setelah itu, pesan-pesan mereka tidak lagi hanya tentang pekerjaan atau desain. Mereka mulai berbicara lebih banyak tentang kehidupan pribadi, harapan, ketakutan, dan impian mereka. Seiring berjalannya waktu, percakapan mereka semakin intim, semakin dalam. Meskipun tidak bertemu secara langsung, mereka merasa semakin terhubung.
Pagi demi pagi, pesan-pesan itu menjadi bagian dari rutinitas mereka. Setiap kali Alya membuka matanya, ia tahu akan ada pesan dari Arka yang menantinya. Pesan yang membawa kehangatan, yang membuat dunia terasa sedikit lebih dekat, meskipun kenyataannya mereka berdua berada di tempat yang sangat jauh satu sama lain.
Terkadang, mereka juga mengirimkan gambar atau video singkat tentang kehidupan sehari-hari mereka. Arka mengirimkan foto bangunan yang sedang ia kerjakan, atau potret langit senja yang ia ambil saat sedang berjalan-jalan. Alya membalas dengan foto desain yang sedang ia kerjakan, atau gambar secangkir kopi yang ia nikmati di pagi hari. Meskipun hanya gambar sederhana, itu memberi mereka kesempatan untuk berbagi dunia mereka, memberi mereka jendela kecil untuk melihat kehidupan satu sama lain.
Namun, ada satu pagi yang berbeda. Alya membuka matanya dan melihat pesan dari Arka yang belum pernah ia terima sebelumnya. Pesan itu singkat, namun penuh makna.
Arka:
Alya, aku tahu kita terpisah oleh jarak yang sangat jauh, tetapi aku merasa kita bisa melewatinya. Aku ingin kamu tahu, meskipun kita belum bertemu lagi, aku merasa semakin dekat denganmu setiap harinya. Aku ingin ini terus berlanjut. Apapun yang terjadi, aku ingin kita tetap berbicara, tetap terhubung.
Alya merasa perasaan hangat menyebar di dadanya saat membaca pesan itu. Ada semacam harapan yang tumbuh dalam dirinya, harapan yang dulu ia pikir tidak mungkin terjadi, tetapi kini, dengan setiap pesan yang datang, ia merasa bahwa mungkin saja, ada sesuatu yang lebih besar yang sedang berkembang antara mereka. Sesuatu yang melampaui jarak dan waktu.
Alya:
Aku juga merasa hal yang sama, Arka. Mungkin ini tidak mudah, tetapi aku percaya kita bisa menjalani ini. Aku ingin tetap berhubungan denganmu, tetap berbicara,
Seiring berjalannya waktu, pesan-pesan pagi yang datang dari Arka menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas Alya. Setiap hari, sebelum bahkan membuka matanya sepenuhnya, tangan Alya sudah terarah ke ponsel di meja samping tempat tidur, mencari pesan dari Arka. Meskipun jarak yang memisahkan mereka begitu jauh, komunikasi yang mereka jalin melalui pesan-pesan itu semakin mendalam, dan Alya merasa ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan tumbuh di antara mereka—sebuah koneksi yang lebih kuat dari yang ia harapkan.
Pagi itu, seperti biasa, Alya terbangun dengan rasa kantuk yang masih menggelayuti matanya. Namun, ada rasa senang yang menyelinap masuk begitu ia meraih ponselnya. Sudah menjadi kebiasaannya untuk memeriksa pesan Arka setiap kali membuka mata.
Selamat pagi, Alya. Pagi ini aku berpikir tentang bagaimana kita bisa membuat dunia ini sedikit lebih indah, meskipun jarak memisahkan kita. Aku berharap suatu hari nanti kita bisa berbicara langsung, tanpa batasan.
Alya memandangi pesan itu untuk beberapa detik, meresapi setiap kata yang tertulis. Ada sesuatu yang sangat tulus dalam kata-kata Arka. Kalimat itu begitu sederhana, tetapi bagi Alya, pesan itu lebih dari sekadar ucapan selamat pagi biasa. Itu adalah pengingat bahwa meskipun dunia mereka terpisah ribuan kilometer, mereka masih bisa berbicara, tetap terhubung dengan cara mereka sendiri.
Alya tersenyum, merasakan kehangatan yang perlahan tumbuh di dalam dirinya. Tanpa pikir panjang, ia membalas pesan itu.
Selamat pagi, Arka. Aku sering berpikir tentang hal yang sama. Sepertinya kita berbicara lebih banyak melalui pesan ini daripada yang kita sadari. Aku juga berharap suatu saat nanti kita bisa berbicara langsung—sebenarnya lebih dari itu, mungkin kita bisa bertemu langsung.
Dengan hati yang sedikit berdebar, Alya menekan tombol kirim. Ia tak tahu mengapa kalimat itu keluar begitu saja. Mungkin karena percakapan mereka yang sudah semakin dalam, atau karena hatinya yang perlahan mulai merasakan adanya sesuatu yang lebih kuat daripada sekadar percakapan biasa. Di sisi lain, meskipun ada kekhawatiran bahwa Arka mungkin tidak merasakan hal yang sama, Alya tak bisa menghindari perasaan itu. Ia ingin bertemu, ingin lebih mengenal pria yang mulai mengisi hari-harinya dengan pesan-pesan yang penuh makna.
Tak lama setelah pesan itu terkirim, ponselnya bergetar lagi, dan pesan dari Arka kembali muncul di layar.
Aku juga berharap bisa bertemu denganmu, Alya. Tapi aku sadar, pertemuan kita mungkin masih jauh di depan sana. Untuk saat ini, aku bersyukur kita masih bisa berkomunikasi setiap hari. Ada sesuatu yang membuatku merasa nyaman setiap kali kita berbicara. Sepertinya kita mulai saling memahami meskipun kita terpisah oleh jarak.
Alya membaca pesan itu dengan hati yang terasa penuh. Ia tak pernah merasa demikian terhubung dengan seseorang yang baru ia kenal. Ada perasaan yang berbeda, perasaan yang sulit dijelaskan hanya dengan kata-kata. Ia membalas pesan Arka, dan kali ini, ia lebih jujur pada dirinya sendiri.
Aku juga merasa begitu, Arka. Rasanya aneh, tapi aku merasa seperti kita sudah saling mengenal lebih lama daripada yang kita kira. Setiap kali kita berbicara, aku merasa lebih dekat denganmu. Mungkin ini aneh, tetapi aku menikmati setiap percakapan kita.
Alya menyandarkan tubuhnya ke kepala tempat tidur, membiarkan perasaan yang datang dengan pesan-pesan itu melingkupi dirinya. Ia tahu, hubungan mereka baru saja dimulai, tetapi semakin ia berbicara dengan Arka, semakin ia merasa bahwa ini bukan hanya sekedar percakapan biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuatnya merasa seolah-olah mereka sudah saling mengenal sejak lama.
Setelah beberapa menit, ponselnya kembali bergetar. Pesan dari Arka kembali datang.
Aku merasa beruntung bisa mengenalmu, Alya. Kadang, kehidupan ini membawa kita ke tempat yang tidak kita duga, dan aku tidak pernah mengira kita akan terhubung seperti ini. Mungkin suatu saat nanti, kita akan lebih dari sekadar kata-kata di layar ponsel.
Alya merasa ada rasa hangat yang menyebar di dadanya ketika membaca pesan itu. Ia merasa seolah kata-kata itu datang dari hati Arka, bukan hanya sebuah ungkapan basa-basi. Ada kejujuran yang mengalir begitu nyata dalam pesan-pesan yang mereka kirimkan. Alya terdiam sejenak, merenung, sebelum akhirnya mengetik balasan.
Aku juga merasa begitu, Arka. Mungkin ini belum waktunya, tetapi aku percaya waktu akan membawa kita ke titik yang kita inginkan. Semoga saja, kita bisa bertemu lebih cepat dari yang kita bayangkan.
Alya menekan tombol kirim dan meletakkan ponselnya. Ia menatap langit pagi yang cerah dari jendela kamarnya, meresapi suasana tenang yang ada. Ada harapan di dalam dirinya, harapan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Meskipun dunia mereka begitu jauh terpisah, ia merasa seolah-olah mereka sudah berada pada jalur yang sama. Hanya waktu yang akan menjawab apakah perasaan ini akan berlanjut atau berhenti begitu saja.
Hari-hari terus berlalu, dan percakapan mereka semakin dalam. Setiap pagi, Alya menunggu pesan dari Arka. Mereka berbicara lebih banyak tentang hidup, tentang masa lalu, dan harapan-harapan yang ada di masa depan. Namun, ada satu hal yang terus mengganggu pikiran Alya. Meskipun mereka semakin dekat, mereka belum pernah bertemu lagi sejak pertemuan pertama mereka di Bali. Pertemuan itu kini menjadi kenangan manis yang terukir di hati Alya, tetapi ia mulai merasa bahwa pertemuan itu masih belum cukup. Ia ingin lebih. Ia ingin melanjutkan percakapan itu dalam dunia nyata.
Suatu pagi, setelah beberapa hari tak ada komunikasi, Alya menerima pesan dari Arka yang sedikit berbeda dari biasanya. Kali ini, Arka sepertinya merasa sedikit cemas.
Alya, aku merasa ada yang aneh belakangan ini. Aku tidak tahu mengapa, tapi aku merasa kita mungkin telah terlalu larut dalam percakapan ini tanpa benar-benar tahu satu sama lain dengan lebih baik. Aku ingin mengajakmu bertemu, tapi aku takut ini terlalu cepat, atau terlalu terburu-buru. Apa pendapatmu?
Alya menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Bagaimana jika ini hanya perasaan sementara? Apa yang terjadi jika pertemuan itu tidak sesuai dengan harapan mereka? Namun, meskipun ragu, Alya merasa perlu untuk memberi jawaban yang jujur. Ia mengetik balasan, tanpa ragu lagi.
Aku juga merasa hal yang sama, Arka. Aku rasa kita memang sudah cukup lama berbicara, dan mungkin ini saatnya kita bertemu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku ingin melanjutkan ini. Kita mungkin sudah terhubung melalui kata-kata, tapi aku ingin tahu lebih banyak tentang siapa kita sebenarnya. Aku setuju untuk bertemu.
Alya menekan tombol kirim dan merasa sedikit cemas, tetapi juga senang. Ia tahu pertemuan mereka mungkin akan mengubah banyak hal, tetapi ia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Bagaimanapun, perasaan yang tumbuh di antara mereka sudah cukup kuat untuk membuatnya mengambil langkah ini.
Tak lama setelah itu, Arka membalas.
Alya, aku senang mendengar itu. Aku juga tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi aku percaya ini adalah langkah yang benar. Kita tidak akan pernah tahu kecuali kita mencobanya, bukan?
Alya tersenyum sambil menatap layar ponselnya. Mereka mungkin belum tahu apa yang akan terjadi setelah pertemuan mereka, tetapi satu hal yang pasti: pesan-pesan mereka yang datang setiap pagi sudah mengikat mereka lebih dari yang mereka kira.
Dengan setiap pesan yang mereka kirimkan, mereka melangkah lebih dekat pada sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang melampaui batasan waktu dan jarak. Mereka belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi mereka siap untuk menghadapinya bersama.*
Bab 3: Kehilangan dalam Waktu yang Terpaut
Konflik mulai merembet ke berbagai aspek kehidupan mereka. Alya merasa cemas karena Arka semakin sibuk dengan pekerjaannya, sementara Arka merasa Alya tidak sepenuhnya memahami beban yang ia tanggung. Mereka mulai merasa bahwa waktu yang mereka habiskan bersama hanya sebatas ilusi, tidak ada kedalaman nyata.Pada titik tertentu, mereka membuat keputusan untuk tidak berkomunikasi selama beberapa hari, memberi ruang bagi masing-masing untuk berpikir. Selama waktu itu, keduanya merasakan rasa kehilangan yang mendalam, yang membuat mereka mulai menyadari bahwa meskipun jarak memisahkan, perasaan mereka belum pernah hilang. Ini adalah momen kunci yang membuat mereka sadar bahwa meskipun berjarak ribuan mil, mereka masih saling membutuhkan.
Setelah beberapa hari berpisah tanpa komunikasi, Alya dan Arka akhirnya berbicara lagi. Mereka mulai lebih jujur satu sama lain tentang ketakutan dan harapan mereka. Arka mengungkapkan bahwa meskipun dia tidak bisa selalu ada, dia ingin Alya tahu bahwa ia berusaha untuk tidak pernah memberi jarak di hati mereka. Alya, dengan penuh harapan, mulai memahami bahwa cinta tidak selalu tentang kebersamaan fisik, tetapi tentang bagaimana mereka saling mendukung meskipun terpisah oleh waktu dan tempat.
Dengan komunikasi yang lebih terbuka, mereka berdua mulai mencari cara-cara kreatif untuk tetap menjaga hubungan mereka. Mereka merencanakan untuk bertemu setiap beberapa bulan sekali dan bahkan berbicara tentang kemungkinan masa depan bersama, meskipun mereka tahu itu bukan sesuatu yang bisa terjadi dalam waktu dekat.
Alya terbangun di pagi hari dengan perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Meski tubuhnya terbaring di ranjang yang nyaman, pikirannya terbang jauh, menuju satu titik yang kini begitu jauh—Arka. Sejak percakapan terakhir mereka, Alya merasa seolah-olah ada dinding tak kasat mata yang menghalangi mereka untuk benar-benar kembali ke titik semula, saat mereka berbicara dengan penuh harapan dan kehangatan. Namun, ada satu hal yang masih bertahan di dalam dirinya—perasaan bahwa mereka bisa menemukan titik temu, meskipun harus melalui banyak cobaan.
Setelah menatap layar ponselnya yang sepi, Alya memutuskan untuk menulis pesan singkat kepada Arka. Kali ini, ia tidak ingin berbicara tentang keraguan atau kekhawatiran. Ia ingin berbicara dengan harapan, karena itu yang ia butuhkan—harapan untuk hubungan yang masih bisa bertahan, meskipun begitu banyak waktu dan jarak yang memisahkan mereka.
Arka, aku tahu kita berdua sedang berusaha mencari jalan keluar dari kebingungan ini. Aku merasa kita sudah semakin jauh, tapi aku ingin memberi kesempatan untuk mencoba sesuatu yang baru. Mungkin kita bisa mencari cara yang berbeda untuk tetap terhubung, agar kita bisa menemukan titik temu meskipun jarak terus memisahkan. Apa pendapatmu?
Alya menatap layar ponselnya sejenak sebelum akhirnya menekan tombol kirim. Ia tahu ini bukanlah hal yang mudah untuk dibicarakan. Mereka sudah melewati banyak fase dalam hubungan ini, tetapi kali ini terasa berbeda. Ada keraguan yang lebih dalam, tetapi di sisi lain, ada rasa yang kuat bahwa mereka berdua masih ingin berjuang. Harapan itu masih ada, meskipun kadang sulit untuk diungkapkan.
Beberapa menit kemudian, ponsel Alya bergetar. Arka membalas pesannya. Setiap detik yang berlalu membuatnya semakin cemas, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang.
Alya, aku sudah banyak berpikir tentang kita. Aku tahu kita sudah merasa terpisah, tetapi aku juga merasa kita belum benar-benar mencoba untuk berkomunikasi dengan cara yang lebih terbuka dan jujur. Mungkin kita bisa mulai dengan saling berbagi lebih banyak tentang apa yang kita rasakan, bukan hanya tentang keadaan kita saat ini. Aku ingin kita menemukan kembali perasaan itu, meskipun kita harus melakukannya dengan cara yang berbeda.
Alya merasa sedikit lega membaca pesan itu. Arka tidak menyerah, meskipun mereka berdua tahu bahwa hubungan ini tidak mudah. Namun, dalam kata-kata Arka, Alya merasakan sebuah niat yang tulus untuk memperbaiki semuanya. Itu adalah titik terang yang ia butuhkan.
Aku setuju, Arka. Mungkin kita terlalu fokus pada apa yang tidak bisa kita lakukan, sampai-sampai kita lupa bahwa ada banyak hal yang bisa kita coba. Aku ingin lebih terbuka, lebih jujur, dan lebih memberi ruang untuk kita saling mengerti. Mungkin ini akan menjadi awal baru untuk kita.
Alya menekan tombol kirim dengan harapan. Mereka telah sepakat untuk mencoba sesuatu yang baru, dan itu adalah langkah pertama menuju titik temu yang selama ini mereka cari.
Hari demi hari berlalu, dan mereka berdua mulai menemukan cara-cara baru untuk saling terhubung. Tidak lagi hanya sekedar pesan singkat yang penuh dengan formalitas, melainkan percakapan yang lebih mendalam. Alya mulai merasa bahwa mereka mulai kembali menemukan jalur yang sempat hilang. Mereka mulai berbicara lebih terbuka, berbagi perasaan dan ketakutan mereka, dan memberi ruang bagi satu sama lain untuk tidak merasa terjebak dalam rutinitas yang menekan.
Arka mengirimkan sebuah pesan di suatu malam, yang membuat Alya terdiam lama. Dalam pesan itu, Arka mengungkapkan sebuah hal yang selama ini ia simpan dalam diam—rasa rindu yang semakin mendalam.
Alya, aku merasa setiap hari semakin rindu padamu. Entah mengapa, meskipun kita sudah banyak berbicara, aku tetap merasa bahwa aku ingin lebih dekat denganmu. Rasanya, jarak ini semakin sulit untuk diterima. Aku rindu tawa kita bersama, rindu saat-saat kita hanya duduk dan bicara tanpa harus berpikir tentang waktu atau tempat. Aku ingin kita bisa bersama lagi, meskipun aku tahu itu belum bisa terjadi.
Alya terdiam sejenak setelah membaca pesan itu. Arka, pria yang selalu kuat di hadapannya, kini mengungkapkan kerentanannya. Itu adalah pesan yang penuh dengan kerinduan, dan Alya merasa hangat di dalam hatinya. Terkadang, ketika jarak begitu besar, hal-hal yang paling sederhana seperti rasa rindu bisa menjadi pemicu untuk menemukan titik temu yang selama ini hilang.
Alya membalas dengan penuh perasaan.
Aku juga merindukanmu, Arka. Setiap hari, aku merasa semakin jauh dari semuanya. Tapi aku percaya, meskipun kita tidak bisa bersama, ada cara kita untuk tetap merasa dekat. Rindu ini mungkin adalah hal yang paling nyata antara kita. Aku ingin kita terus menjaga itu, karena itulah yang membuat kita tetap memiliki ikatan ini. Aku janji, aku tidak akan menyerah pada perasaan ini.
Setelah mengirimkan pesan itu, Alya merasakan kedamaian yang aneh. Seperti ada suatu kelegaan yang mengalir begitu saja, karena mereka berdua sudah mulai mengungkapkan hal-hal yang sebelumnya tidak bisa mereka ucapkan. Rindu, ketakutan, kebimbangan—semuanya terungkap dalam kata-kata yang tulus. Dan melalui itu, mereka mulai menemukan titik temu yang tidak hanya fisik, tetapi juga emosional.
Pada suatu malam yang tenang, Arka mengirimkan pesan yang sedikit berbeda dari biasanya. Ia mengajak Alya untuk berbicara lebih dalam, tanpa terikat oleh waktu atau batasan.
Alya, aku ingin kita coba satu hal. Aku ingin kita berbicara tanpa ada keraguan, tanpa ada rasa takut. Aku ingin tahu apa yang kamu pikirkan tentang masa depan kita. Apakah kita masih punya tempat untuk satu sama lain, meskipun dunia kita sangat berbeda? Aku tahu ini tidak mudah, tetapi aku merasa kita sudah cukup berjuang untuk tidak membiarkan hal ini berakhir begitu saja.
Alya membaca pesan itu dengan hati yang berdebar. Masa depan. Itu adalah topik yang jarang mereka bicarakan, karena setiap kali membicarakan masa depan, selalu ada ketidakpastian yang mengikuti. Namun kali ini, Alya merasa bahwa mungkin, ini adalah saat yang tepat untuk berbicara tentang itu. Mereka sudah melewati banyak hal bersama, dan mungkin sudah waktunya mereka menghadapi kenyataan—apakah mereka masih ingin melangkah bersama meskipun segalanya tidak sempurna.
Alya membalas dengan hati-hati.
Arka, aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tetapi aku rasa kita sudah cukup melewati banyak hal untuk tahu bahwa kita masih peduli satu sama lain. Masa depan memang terasa penuh ketidakpastian, tetapi aku ingin percaya bahwa kita bisa melangkah bersama. Aku tidak tahu apa yang akan datang, tapi aku siap untuk mencari tahu itu bersama kamu.
Ketika pesan itu terkirim, Alya merasa ada sesuatu yang berubah. Seperti ada titik terang yang tiba-tiba muncul di tengah kegelapan yang mereka rasakan. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi setidaknya, mereka sudah menemukan cara untuk saling mengerti, untuk saling berbicara dengan lebih terbuka.
Malam itu, mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara tentang banyak hal—tentang impian mereka, tentang ketakutan mereka, tentang apa yang ingin mereka capai di masa depan. Meskipun mereka masih terpisah oleh jarak, mereka merasa lebih dekat daripada sebelumnya. Mereka tahu, meskipun dunia mereka berbeda, mereka bisa menemukan cara untuk tetap bersama.
Hari-hari berikutnya, mereka mulai lebih sering berkomunikasi, tidak hanya melalui pesan teks, tetapi juga melalui panggilan video yang lebih intens. Mereka berbicara tentang apa yang mereka inginkan dalam hidup, tentang kesulitan yang mereka hadapi, dan tentang bagaimana mereka bisa saling mendukung meskipun terpisah jarak.
Alya mulai merasa bahwa meskipun mereka tidak bisa bertemu sekarang, mereka sudah menemukan titik temu. Mereka sudah memutuskan untuk terus berjalan bersama, untuk melangkah maju, tidak hanya sebagai dua orang yang saling mencintai, tetapi sebagai dua individu yang berjuang bersama untuk mencapai kebahagiaan mereka—meskipun waktu dan jarak terus menguji.
Namun, perjalanan mereka baru dimulai. Dan meskipun ada banyak ketidakpastian di depan, mereka tahu satu
Malam itu, setelah beberapa jam mereka berbicara tentang segala hal yang ada di dalam hati, Alya merasa sedikit lega. Sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan—sebuah rasa ketenangan yang datang dari pemahaman bersama, meskipun hanya melalui layar ponsel dan suara yang terdengar dari panggilan video.
“Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Arka, suara lembutnya terdengar penuh harap, meskipun terhalang oleh layar.
Alya menyandarkan punggungnya pada dinding kamar dan menatap layar ponselnya, merasakan kesenangan yang sama yang selalu ia rasakan setiap kali mereka berbicara. Meskipun rasanya ada sesuatu yang kurang tanpa kehadiran fisik Arka, namun dalam percakapan ini, dia merasa lebih dekat dari sebelumnya. Ada sesuatu yang hangat dalam pembicaraan mereka yang mulai mengisi kekosongan yang sebelumnya hanya dipenuhi keraguan.
“Aku rasa kita mulai mengerti satu sama lain lagi,” jawab Alya. “Aku merasa lebih baik ketika kita bisa berbicara seperti ini. Meskipun rasanya aneh, aku bisa merasakan kehadiranmu, walaupun hanya dari layar ponsel.”
Arka tersenyum, meskipun Alya tidak bisa melihat ekspresinya secara langsung. Namun, dia bisa mendengarnya melalui suara yang penuh dengan kehangatan. “Aku juga merasa begitu, Alya. Kita mungkin tidak bisa bertemu sekarang, tapi setidaknya kita bisa mencari cara untuk tetap merasa dekat.”
Malam itu, mereka berbicara lebih lama dari biasanya. Mereka membicarakan masa depan, meskipun masih terasa sangat jauh dan kabur. Masa depan mereka masih penuh dengan ketidakpastian—bagaimana mereka bisa bertemu di tengah kesibukan masing-masing, bagaimana mereka akan menghadapi kenyataan ketika salah satu dari mereka harus membuat pilihan besar, dan apakah hubungan ini bisa bertahan. Namun, ada satu hal yang mereka sepakati—mereka tidak akan menyerah pada perasaan ini.
Arka akhirnya mengungkapkan sebuah hal yang selama ini ia pendam. “Alya, aku merasa waktu dan jarak ini semakin menguji kita. Tapi aku juga merasa, meskipun begitu, kita berdua sudah menjalani banyak hal. Aku ingin percaya bahwa ini bukan hanya tentang kita berdua yang berjuang untuk tetap bersama, tapi juga tentang apa yang bisa kita capai bersama nanti.”
Alya menelan ludah, merasakan kehangatan dari kata-kata Arka. Rasanya, setelah sekian lama, akhirnya ada titik terang yang muncul. “Aku juga merasa begitu, Arka. Mungkin kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok atau lusa, tetapi yang jelas, aku ingin kita tetap berjuang. Aku ingin kita bisa menemukan cara untuk membuat hubungan ini lebih berarti, meskipun kita terpisah.”
Mereka berdua menghabiskan malam itu dengan percakapan yang begitu mendalam, berbicara tentang hal-hal yang tak pernah mereka bicarakan sebelumnya. Mereka saling bertanya tentang impian dan ketakutan yang selama ini tersembunyi, tentang masa depan mereka yang semakin kabur, dan bagaimana cara mereka bisa tetap mempertahankan ikatan yang sudah terjalin meski jarak dan waktu terus menguji.
Hari-hari berikutnya tidak jauh berbeda. Alya dan Arka mulai menemukan cara-cara baru untuk berkomunikasi. Mereka mencoba lebih sering berbicara melalui panggilan video, tidak hanya sekedar untuk mendengar suara satu sama lain, tetapi juga untuk melihat ekspresi wajah, untuk merasakan kedekatan yang sering kali sulit ditemukan dalam hubungan jarak jauh. Mereka mulai berbagi lebih banyak tentang kehidupan mereka, tentang hal-hal kecil yang terjadi setiap hari, tentang rutinitas mereka yang biasa, namun kini terasa lebih berarti.
Namun, meskipun komunikasi mereka semakin intens, Alya merasa ada satu hal yang masih mengganjal di hatinya. Meskipun mereka sudah banyak berbicara tentang perasaan masing-masing, meskipun mereka berdua sudah mencoba untuk saling mengerti, ada rasa takut yang terus membayangi—apakah mereka bisa terus bertahan? Apa yang akan terjadi jika waktu dan jarak kembali memisahkan mereka?
Suatu hari, Alya duduk di balkon apartemennya sambil memikirkan banyak hal. Ia melihat langit yang perlahan mulai gelap, suasana sepi yang menenangkan, namun juga penuh dengan pertanyaan yang tidak bisa ia jawab. Ia merindukan Arka—merindukan tawa, percakapan, dan kebersamaan yang mereka miliki saat mereka pertama kali bertemu. Namun, semakin ia mencoba untuk mengingat kenangan itu, semakin ia merasa bahwa kenangan itu semakin pudar seiring berjalannya waktu.
Ketika ponselnya bergetar, Alya terkejut mendapati pesan dari Arka.
Alya, aku ingin kita bicara. Aku merasa kita sudah cukup lama terjebak dalam keraguan ini. Mungkin aku terlalu sering mempertanyakan apa yang kita jalani, tapi aku rasa aku sudah mulai mengerti. Aku ingin kita bisa membuat keputusan yang lebih jelas. Aku ingin kita menemukan titik temu yang sebenarnya—yang tidak hanya mengandalkan harapan, tetapi juga rencana yang nyata. Aku ingin kita berdua merasa lebih pasti tentang apa yang kita inginkan.
Pesan itu membuat Alya terdiam. Ia tahu bahwa ini adalah titik balik bagi hubungan mereka. Arka, yang selama ini merasa ragu dan penuh dengan kebimbangan, akhirnya mengungkapkan keinginannya untuk mencari kepastian. Namun, apakah mereka bisa benar-benar menemukan titik temu yang mereka inginkan?
Alya membalas pesan itu dengan penuh perasaan, mencoba untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan.
Arka, aku rasa kamu benar. Kita sudah lama terjebak dalam keraguan, dan aku merasa kita perlu membuat keputusan yang lebih jelas. Aku tidak ingin terus berjalan tanpa tahu ke mana arah kita. Aku ingin kita mencari tahu bersama-sama. Mungkin kita tidak punya semua jawaban sekarang, tetapi aku percaya kita bisa menemukan jalan keluar jika kita terus berusaha.
Setelah pesan itu terkirim, Alya merasakan beban yang sedikit terangkat. Mungkin, ini adalah langkah pertama mereka menuju titik temu yang mereka cari. Mereka tidak lagi terjebak dalam kebimbangan yang sama. Mereka mulai berbicara tentang masa depan dengan cara yang lebih terbuka, mencoba untuk menggali lebih dalam tentang apa yang benar-benar mereka inginkan. Meskipun mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, mereka mulai merasa bahwa mereka bisa membuat keputusan yang lebih baik jika mereka terus berjuang bersama.
Malam itu, Alya memikirkan kembali semua percakapan mereka. Ia menyadari bahwa, meskipun hubungan mereka tidak sempurna dan penuh dengan ketidakpastian, ada satu hal yang tetap teguh—perasaan mereka satu sama lain. Mereka berdua saling mencintai, meskipun tidak selalu mudah untuk menunjukkan atau mengungkapkannya. Tetapi kini, mereka tahu bahwa mereka tidak akan menyerah. Mereka akan terus berjuang, tidak hanya untuk mempertahankan hubungan ini, tetapi juga untuk mencapai titik temu yang lebih pasti.
Pagi berikutnya, Alya duduk di meja kerjanya, menatap layar ponselnya. Ia mulai merencanakan apa yang bisa mereka lakukan bersama, meskipun mereka masih terpisah oleh jarak. Mereka sudah saling berjanji untuk lebih terbuka, untuk lebih jujur, dan untuk lebih mendalami apa yang mereka rasakan.
Pesan dari Arka tiba-tiba muncul di layar.
Alya, aku pikir aku sudah tahu apa yang kita butuhkan. Aku ingin kita merencanakan pertemuan, mungkin tidak sekarang, tapi setidaknya kita bisa mulai memikirkan kapan dan bagaimana kita bisa bertemu. Aku tahu itu tidak mudah, tetapi aku rasa itu bisa menjadi langkah besar untuk kita.
Mendapatkan pesan itu, hati Alya berdebar. Arka ingin bertemu—itu adalah langkah nyata menuju titik temu yang selama ini mereka inginkan. Meskipun mereka masih terpisah ribuan kilometer, namun perasaan mereka kini lebih kuat daripada sebelumnya. Mereka tidak lagi hanya menunggu waktu berlalu, tetapi mulai merencanakan masa depan mereka bersama.
Dengan penuh keyakinan, Alya mulai merencanakan apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan impian mereka bersama. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak lagi terjebak dalam kebimbangan. Mereka telah menemukan titik temu—dan itu adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.*
Bab 5: Pesan yang Terakhir
Waktu terus berlalu. Keputusan Arka untuk pulang ke Indonesia sementara Alya menyelesaikan proyek besar di kota lain menjadi titik balik. Mereka merencanakan untuk bertemu dan melihat apakah hubungan mereka bisa berjalan dengan lebih nyata lagi.
Setelah pertemuan yang penuh emosi dan refleksi, mereka menyadari bahwa meskipun hidup memisahkan mereka untuk sementara, perasaan yang tumbuh dari komunikasi mereka selama ini adalah fondasi yang kuat. Mereka belajar untuk merayakan setiap momen yang mereka habiskan bersama, bahkan meskipun itu hanya dalam bentuk pesan atau panggilan video.
Akhir cerita ini adalah akhir yang penuh harapan, meskipun tidak memberikan jawaban pasti apakah mereka akan selalu bersama atau tidak. Alih-alih berfokus pada kesimpulan yang terburu-buru, cerita ini menekankan bahwa cinta jarak jauh membutuhkan pengorbanan dan pemahaman yang lebih dalam, dan terkadang, waktu adalah guru terbaik dalam mengajari kita arti kesetiaan dan kebersamaan.
Alya duduk di tepi jendela kamarnya, memandangi hujan yang turun perlahan, membasahi kaca. Hujan yang selalu memberi ketenangan ini seolah menjadi saksi bisu bagi setiap pergolakan hati yang ia rasakan. Matanya sedikit berkunang, seperti ada beban yang menggelayuti perasaannya. Ia sudah menunggu pesan itu—pesan yang sepertinya akan datang, meski ia ingin sekali menolaknya. Pesan yang akan mengubah semuanya, yang mungkin akhirnya akan memberikan jawaban atas keraguan dan kebimbangan yang terus menerus menghantuinya.
Pesan dari Arka.
Sejak percakapan terakhir mereka, Alya merasa ada jarak yang semakin besar meskipun mereka terus berusaha untuk saling berkomunikasi. Ada suatu perubahan yang tak bisa dijelaskan. Arka yang dulu selalu berbicara dengan penuh semangat kini lebih sering terdiam. Ada rasa canggung yang mengganggu setiap percakapan mereka. Kadang Alya merasa Arka menghindar, meskipun mereka masih berbicara setiap hari. Entah mengapa, perasaan itu datang begitu saja. Alya tahu, ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi.
Dia menggenggam ponselnya, merasakan beratnya ketakutan yang menyelimuti hatinya. Di dalam hatinya, ia sudah tahu bahwa pesan itu bukanlah pesan yang akan membawa harapan baru. Sebaliknya, itu mungkin adalah akhir dari segala yang telah mereka bangun. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, seberapapun ia berusaha, hatinya tetap berdebar.
Alya, aku rasa ini saatnya kita berbicara dengan lebih jujur tentang keadaan kita. Aku sudah banyak berpikir, dan aku merasa kita sudah sampai pada titik yang tidak bisa kita hindari. Aku minta maaf jika ini terasa terlalu mendalam, tetapi aku rasa kita sudah terlalu lama bertahan pada ketidakpastian. Aku tidak ingin terus memberikan harapan jika aku tahu aku tidak bisa memenuhi janji-janji yang kita buat. Aku merasa kita sudah terlalu jauh untuk bisa melangkah bersama, meskipun kita masih saling mencintai. Mungkin ini saatnya untuk mengakhirinya, meskipun itu sangat sulit untuk aku katakan.
Alya menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Hatinya seolah terhenti. Ada rasa sakit yang mendalam menyelimuti seluruh tubuhnya. Seperti ada bagian dari dirinya yang tercabik-cabik begitu saja. Meskipun ia sudah lama merasakan perubahan ini, ia tidak pernah membayangkan bahwa akhirnya Arka akan mengatakannya dengan begitu langsung.
Arka, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Aku sudah tahu ini akan datang, tapi tidak pernah membayangkan akan sesakit ini. Aku masih mencintaimu, dan aku tidak tahu bagaimana caranya melepaskanmu. Aku pikir kita sudah melalui banyak hal bersama, dan rasanya begitu sulit untuk percaya bahwa kita sudah sampai pada titik ini. Tapi jika ini keputusanmu, aku tidak bisa memaksakan diriku. Terima kasih untuk semuanya, Arka. Terima kasih sudah menjadi bagian dari hidupku. Aku akan selalu menghargai setiap kenangan yang kita ciptakan, meskipun itu tidak cukup untuk bertahan lebih lama.
Setelah mengirimkan pesan itu, Alya merasa tubuhnya lemas. Tangan yang semula menggenggam erat ponsel kini terkulai begitu saja. Semua kata-kata itu keluar begitu saja, meskipun ia merasa ada bagian dari dirinya yang tertahan. Ada rasa tidak percaya yang menggerogoti setiap sel tubuhnya, seolah ia baru saja menerima kenyataan yang begitu pahit. Apa yang selama ini mereka perjuangkan, apa yang selama ini mereka coba jaga, ternyata memang tak cukup kuat untuk bertahan.
Hujan di luar semakin deras, seperti menggambarkan perasaan Alya yang tengah pecah. Ia ingin menangis, tetapi ada suatu keheningan yang menyelubungi dirinya. Keheningan yang datang setelah badai perasaan yang begitu hebat. Perasaan yang telah memuncak dan kini harus dibiarkan pergi.
Tiga hari setelah itu, Alya tidak mendengar kabar lagi dari Arka. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan, dan tidak ada apapun yang menghubungkan mereka seperti dulu. Alya mencoba untuk tetap kuat, tetapi hatinya terasa kosong. Ia merasa kehilangan—kehilangan seseorang yang sangat berarti baginya, meskipun mereka tak pernah benar-benar bersama. Rasanya seperti sebuah kehilangan yang lebih dalam dari sekadar perpisahan biasa.
Pada malam kelima, setelah hari-hari penuh dengan kesunyian dan penantian yang tidak jelas, akhirnya sebuah pesan dari Arka kembali muncul.
Alya, aku tahu kita sudah sepakat untuk berpisah, tapi aku merasa tidak bisa membiarkan semuanya begitu saja tanpa penutupan yang lebih baik. Aku tidak ingin kita berakhir dengan begitu banyak ketidakjelasan. Aku minta maaf kalau keputusan ini menyakitkan, tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu menghargai waktu yang kita habiskan bersama. Aku mungkin tidak bisa menjadi orang yang kamu inginkan, dan aku minta maaf kalau aku tidak bisa memenuhi harapanmu. Aku berharap kamu bisa menemukan kebahagiaan yang kamu cari.
Alya membaca pesan itu dengan hati yang sudah mulai tenggelam. Kata-kata Arka terasa begitu berat, begitu tulus, dan begitu penuh dengan penyesalan. Meskipun ia tahu bahwa keputusan itu adalah yang terbaik untuk mereka, perasaan kehilangan itu masih saja mengganggu. Ada bagian dari dirinya yang merasa seolah-olah ia masih bisa memperbaiki segalanya, tetapi semakin ia berpikir, semakin ia menyadari bahwa mereka memang sudah mencapai titik yang tak bisa lagi diperbaiki.
Arka, aku akan selalu menghargai dirimu dan apa yang kita punya. Mungkin ini bukanlah akhir yang kita inginkan, tetapi aku tahu ini adalah yang terbaik untuk kita berdua. Aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu menghargai kenangan yang kita ciptakan bersama. Terima kasih untuk setiap momen yang kita lewati. Aku berharap kamu juga bisa menemukan kebahagiaanmu. Aku akan merindukanmu, Arka. Semoga kita bisa menemukan jalan masing-masing.
Alya menatap pesan terakhir itu dengan perasaan yang campur aduk. Ia ingin menangis, tetapi entah mengapa, air mata itu tak kunjung datang. Mungkin, ia sudah terlalu lelah untuk menangis, atau mungkin ia sudah menerima kenyataan bahwa hubungan mereka sudah berakhir. Perasaan cinta itu tetap ada, namun ia tahu bahwa terkadang cinta saja tidak cukup untuk mempertahankan sesuatu yang sudah rusak.
Di luar sana, hujan masih turun. Alya menatap jendela yang basah, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasa sedikit lebih tenang. Mungkin ini adalah awal dari perjalanan baru, perjalanan yang harus ditempuh sendirian. Meskipun itu sulit, ia tahu bahwa ia harus melangkah maju.
Keesokan harinya, Alya bangun lebih pagi dari biasanya. Pagi itu terasa sepi, sepi yang berbeda dari sebelumnya. Sebelumnya, pagi-pagi seperti ini diisi dengan pesan-pesan manis dari Arka, cerita-cerita tentang apa yang terjadi sepanjang hari, rencana-rencana kecil yang mereka buat untuk bertemu lagi. Namun sekarang, semuanya terasa hampa.
Namun, ada sesuatu yang membuat Alya sadar ia tidak bisa terus terjebak dalam kenangan. Ia harus melanjutkan hidupnya, meskipun itu berarti harus melepaskan sebagian dari dirinya. Mungkin suatu saat nanti, Arka dan Alya akan bertemu kembali di suatu tempat yang berbeda tempat di mana mereka bisa menyapa satu sama lain dengan senyuman tanpa ada penyesalan. Tapi untuk sekarang, Alya tahu, ia harus berfokus pada dirinya sendiri.
Sambil menatap ponselnya yang sunyi, Alya mengambil keputusan untuk melangkah ke depan, dengan hati yang mungkin masih terluka, tetapi penuh dengan harapan baru. Ia memutuskan untuk tidak lagi menunggu pesan-pesan itu, untuk tidak lagi berharap pada sesuatu yang tak pasti. Saat ini, waktunya untuk menulis cerita baru cerita yang lebih besar, lebih indah, dan lebih bermakna.
Alya terjaga lebih pagi dari biasanya. Hujan yang turun di luar jendela kamar mengiringi perasaan yang terperangkap dalam kesunyian. Ia duduk di tempat tidur, ponselnya masih tergeletak di samping bantal. Sejak malam itu, setelah pesan terakhir dari Arka, ia merasa terombang-ambing. Hujan yang tak kunjung reda seakan menjadi metafora bagi perasaannya yang masih belum bisa tenang, meskipun ia tahu harus melangkah ke depan.
Alya sudah sering berpikir tentang bagaimana hidup mereka akan berlanjut. Jika sebelumnya perasaan ragu dan takut yang menghantui dirinya, sekarang ia merasa kosong—seperti ada bagian dari dirinya yang hilang. Ia memandang keluar jendela, di mana awan gelap menyelimuti langit, dan menciptakan suasana yang begitu hening, seolah dunia pun ikut merasakan kesedihannya. Setiap tetes hujan yang jatuh seolah mewakili air mata yang tak mampu ia lepaskan.
“Aku harus kuat,” gumamnya dalam hati.
Ia menatap ponselnya, yang seakan menunggu untuk membuka pesan yang baru saja ia terima dari Arka. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, ia merasa cemas saat melihat nama Arka muncul di layar. Ia sudah tahu apa yang akan dibaca. Namun, meskipun begitu, ia tetap merasa berat untuk menyentuhnya.
Setelah beberapa detik ragu, akhirnya Alya membuka pesan itu.
Alya, aku tahu kita sudah sepakat untuk berpisah, tapi aku rasa aku perlu mengatakan ini dengan lebih jelas. Aku merasa kita sudah terlalu lama berlarut-larut dalam ketidakpastian. Aku ingin kamu tahu bahwa meskipun aku mengambil keputusan ini, bukan berarti aku tidak mencintaimu. Aku sangat mencintaimu, tapi hubungan kita tidak lagi bisa dilanjutkan dengan cara seperti ini. Jarak, waktu, dan perbedaan yang semakin besar membuat kita kehilangan arah. Aku berharap kamu bisa memahami dan menerima keputusan ini. Aku tidak ingin ada perasaan bersalah yang menggangguku, tapi aku rasa ini adalah keputusan terbaik bagi kita berdua.
Alya merasakan dadanya sesak. Rasanya, setiap kata yang dikirimkan Arka seperti pisau tajam yang menyayat hatinya. Perpisahan ini bukan hal yang mudah untuk diterima, tetapi ia tahu bahwa hubungan ini telah menemui titik akhirnya. Ada perasaan hampa yang membalut seluruh dirinya. Ia ingin menutup matanya dan melupakan semuanya, tetapi kenyataan itu begitu keras dan tak bisa dielakkan.
Namun, di dalam hatinya, ada satu perasaan yang datang—penyesalan. Penyesalan karena mereka tidak bisa bertahan lebih lama, penyesalan karena mereka tidak bisa lebih kuat lagi. Perasaan itu begitu mengganggu, tapi Alya mencoba menghalauinya. Apa yang bisa ia lakukan jika memang sudah seperti ini? Apa lagi yang bisa ia harapkan?
Alya terdiam beberapa saat setelah membaca pesan itu. Ia tahu, meskipun Arka mengatakan bahwa ia masih mencintainya, keputusan untuk berpisah sudah diambil. Tidak ada yang bisa mengubahnya. Kadang, cinta memang tidak cukup untuk membuat segala sesuatunya berjalan lancar. Bahkan, meskipun dua orang saling mencintai, ada kalanya perpisahan menjadi pilihan yang lebih baik.
Arka, aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu mencintaimu. Aku juga merasa hal yang sama, bahwa meskipun kita mencintai satu sama lain, hubungan kita tidak lagi berjalan dengan baik. Aku tidak ingin terus berharap pada sesuatu yang tidak bisa kita capai bersama. Aku rasa ini adalah keputusan yang sulit, tapi mungkin ini yang terbaik. Aku akan selalu menghargai setiap kenangan yang kita ciptakan bersama. Meskipun kita harus berpisah, aku berharap kamu bisa menemukan kebahagiaan yang pantas untukmu, sama seperti aku yang harus menemukan jalan kebahagiaanku sendiri.
Setelah mengirimkan pesan itu, Alya meletakkan ponselnya di samping tempat tidur. Sesaat, ia menutup mata dan membiarkan dirinya tenggelam dalam kesunyian. Ada banyak perasaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Perasaan takut, marah, dan terluka bercampur aduk. Ia ingin mengerti apa yang terjadi, mengapa segala yang indah harus berakhir seperti ini. Namun, jawabannya masih belum datang.
Hari-hari berlalu, dan kesunyian terus merajai hidup Alya. Ia mencoba untuk tetap sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari. Ia tahu, jika ia terus terlarut dalam kesedihan, ia tidak akan bisa melanjutkan hidup. Namun, setiap kali ia teringat Arka, perasaan itu kembali datang—perasaan yang tidak bisa ia hindari. Ia ingin melupakan, tetapi kenangan mereka terus mengisi ruang hatinya.
Setiap malam, sebelum tidur, ia membuka ponselnya, berharap untuk menemukan pesan dari Arka. Tetapi tidak ada. Semua yang ia dapatkan hanyalah kesendirian dan kehampaan. Hanya beberapa pesan terakhir yang mengisi layar ponselnya, tetapi Alya tahu bahwa itu adalah bagian dari masa lalu yang harus ia tinggalkan.
Di sisi lain, Arka juga mulai merasakan kesepian yang sama. Meskipun ia sudah membuat keputusan untuk berpisah, ia tetap merasa berat untuk benar-benar melepaskan Alya. Ada banyak kenangan yang terukir bersama, dan meskipun hubungan mereka tidak sempurna, ia tahu bahwa Alya adalah bagian penting dalam hidupnya.
Namun, Arka tahu bahwa perpisahan ini adalah yang terbaik. Mereka berdua membutuhkan ruang untuk tumbuh, untuk mengejar impian mereka masing-masing tanpa ada beban dari hubungan yang tidak bisa mereka lanjutkan. Dan meskipun ia merasa kehilangan, ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini adalah jalan yang benar.
Malam kelima setelah perpisahan itu, Alya kembali duduk di tepi jendela kamarnya, menatap hujan yang masih mengguyur bumi. Pikirannya kembali melayang pada Arka, pada segala yang telah mereka lewati bersama. Mungkin memang benar, cinta saja tidak cukup untuk membuat segala sesuatunya bertahan. Terkadang, keputusan yang berat memang harus diambil untuk kebahagiaan masing-masing.
Alya menatap ponselnya, yang kini hanya berisi pesan-pesan yang mengingatkan pada perpisahan mereka. Ia tahu, ia harus mengakhirinya—mengakhiri masa lalu dan membuka lembaran baru dalam hidupnya. Ia sudah cukup lama terperangkap dalam kenangan, dan saatnya untuk melangkah maju.
Dengan perlahan, Alya membuka pesan terakhir yang dikirim oleh Arka.
Alya, aku ingin kita mengakhiri semuanya dengan baik. Aku tidak ingin kita saling menyalahkan atas apa yang terjadi. Aku akan selalu menghargai waktu yang kita habiskan bersama, meskipun aku tahu ini bukan akhir yang sempurna. Aku berharap kita bisa saling mendoakan kebahagiaan satu sama lain. Aku percaya, meskipun kita terpisah, kenangan indah itu akan tetap ada di hati kita masing-masing.
Pesan itu seperti penutup dari segala rasa yang selama ini terpendam. Alya menatap layar ponselnya dan merasakan kelegaan yang aneh. Meski perpisahan ini begitu sulit, ia tahu bahwa keputusan ini sudah tepat. Tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain menerima kenyataan. Mereka berdua sudah berusaha, dan mungkin sudah waktunya untuk masing-masing mencari jalan kebahagiaan mereka.
Dengan air mata yang tak tertahankan, Alya membalas pesan Arka, sekali lagi.
Arka, terima kasih untuk segala kenangan indah yang kita ciptakan bersama. Aku akan selalu mengingatmu, dan aku berharap kamu menemukan kebahagiaan yang pantas untukmu. Mungkin kita tidak berjodoh, tetapi kita pernah saling mencintai. Itu sudah cukup untuk aku. Aku akan selalu mendoakanmu, dan semoga hidup kita masing-masing membawa kita ke tempat yang lebih baik.***
————THE END————