Daftar Isi
BAB 1 PERTEMUAN YANG TAK TERLUPAKAN
Pagi itu, angin musim semi berhembus lembut melalui jendela kelas, membawa aroma segar dari bunga-bunga yang baru mekar di luar. Alya duduk di bangkunya yang terletak di pojok dekat jendela, pandangannya terfokus pada daun-daun yang bergoyang pelan, namun pikirannya jauh. Ia masih belum bisa sepenuhnya melupakan kejadian kemarin yang membuat hatinya berdebar tak karuan.
Hari itu adalah hari pertama Dimas, siswa pindahan yang baru saja datang dari luar kota, masuk ke kelasnya. Alya tidak menyangka akan ada sesuatu yang berbeda dalam hari yang biasa-biasa saja itu. Sejak pertama kali melihatnya di depan pintu kelas, Alya merasakan ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Ada sesuatu dalam diri Dimas yang membuatnya tertarik, meskipun mereka belum saling mengenal.
Dimas berjalan dengan tenang, matanya menatap lurus ke depan dengan ekspresi serius, seolah tak peduli dengan pandangan teman-teman sekelas yang terfokus padanya. Sosoknya tinggi, dengan rambut hitam legam yang sedikit panjang dan diikat rapi. Pakaian seragam yang dikenakannya tampak sempurna, memberikan kesan bahwa ia adalah sosok yang terorganisir dan matang. Namun, ada sesuatu di balik tatapan matanya yang membuat Alya merasa, meski baru pertama kali bertemu, ia sudah mengenal pria ini seumur hidup.
Alya hanya bisa memandanginya dari jauh. Meskipun dia tidak terlalu menyukai perhatian berlebihan, ia tak bisa menahan rasa ingin tahunya terhadap Dimas. Begitu ia duduk di meja yang disediakan untuknya di depan kelas, suasana kelas tiba-tiba terasa berbeda. Tidak ada suara riuh rendah seperti biasanya. Semua mata tertuju pada Dimas yang tengah berbicara dengan guru.
Alya berusaha menenangkan pikirannya, tetapi bayangan wajah Dimas terus muncul, membayangi segala pikiran yang ada. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba mengalihkan perhatian dengan fokus pada catatan pelajaran di meja, namun tak berhasil. Matanya kembali mengarah ke sosok Dimas yang sedang duduk di kursi barisan depan, tampak seperti orang yang terlepas dari keramaian dunia sekitarnya. Saat itu, Alya mulai bertanya-tanya, apakah hanya dia yang merasakan ada sesuatu yang berbeda pada Dimas, ataukah itu juga dirasakan oleh yang lain?
Saat istirahat tiba, Alya duduk sendirian di kantin, mencoba menenangkan pikirannya. Teman-temannya sudah sibuk dengan obrolan mereka sendiri, tetapi hatinya tidak bisa tenang. Pikiran tentang Dimas terus mengusik, meskipun ia berusaha keras untuk mengabaikannya.
Alya mengangkat wajahnya ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Tanpa disangka, Dimas berjalan menuju meja yang terletak di seberang meja Alya. Alya menatapnya sekilas, merasa sedikit gugup meski mereka tidak saling berbicara. Namun, tanpa disangka, Dimas berhenti tepat di samping mejanya dan tersenyum.
“Hei,” Dimas memulai percakapan dengan suara yang hangat dan tidak terburu-buru. “Boleh duduk di sini?”
Alya terperangah sejenak. “Tentu,” jawabnya dengan suara sedikit ragu, meskipun ia ingin sekali mengucapkan sesuatu yang lebih banyak. Namun, ia merasa kata-katanya tiba-tiba terhambat oleh kegugupan yang tak bisa dijelaskan.
Dimas duduk, dan keduanya terdiam sejenak. Suasana menjadi agak canggung, dan Alya merasa matanya tak bisa lepas dari Dimas, meskipun ia berusaha untuk menjaga tatapannya tetap pada makanannya. Dimas membuka bekalnya dan menawarkan sepotong roti kepada Alya.
“Roti ini enak, coba deh,” kata Dimas dengan senyum tipis yang membuat Alya terkejut.
Alya merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “I-Iya, terima kasih,” jawabnya pelan, merasa sedikit kikuk.
Mereka melanjutkan makan dalam keheningan, dan meskipun percakapan mereka terbatas, Alya merasa ada ikatan halus yang mulai terbentuk di antara mereka. Sesekali, Dimas menoleh dan tersenyum, dan setiap kali itu terjadi, Alya merasa perasaan hangat menyelimuti dadanya.
Hari itu berlanjut tanpa perbincangan yang terlalu mendalam, namun Alya merasa ada perubahan kecil yang mulai meresap dalam dirinya. Setiap kali ia melihat Dimas, ia merasa ada sesuatu yang tak terdefinisikan di dalam hatinya. Dimas tidak perlu berkata banyak, namun sikap tenang dan senyum manisnya cukup membuatnya merasa bahwa pertemuan ini adalah sesuatu yang penting. Pertemuan yang tak akan bisa dilupakan.
Malam harinya, ketika Alya berbaring di tempat tidurnya, pikirannya kembali dipenuhi bayangan wajah Dimas. Senyum itu, matanya yang penuh ketenangan, dan cara berbicaranya yang lembut. Alya menutup matanya, berusaha untuk tidur, namun bayangan-bayangan itu terus mengganggu. Ia tahu, ini adalah perasaan pertama yang datang begitu tiba-tiba, dan ia tak bisa menepisnya begitu saja. Mungkin ini adalah cinta pertama, sebuah perasaan yang baru saja mulai tumbuh tanpa ia sadari.
“Apa yang terjadi padaku?” gumamnya pelan, sambil memandang langit yang mulai gelap di luar jendela. Cinta pertama, meskipun sederhana, adalah perasaan yang begitu kuat dan menggetarkan, dan Alya merasa bahwa pertemuan pertama dengan Dimas ini akan menjadi kenangan yang tak pernah bisa ia lupakan.
Di luar jendela, malam semakin larut, namun perasaan yang muncul dalam hati Alya tak kunjung padam. Bayangan Dimas masih terus mengisi pikirannya, seperti sebuah kenangan yang baru saja dimulai, yang mungkin akan bertahan lama.*
BAB 2 BAYANNGAN MU MULAI MENGISI HARI – HARI KU
Hari-hari Alya selalu dimulai dengan rutinitas yang sama: bangun pagi, berangkat ke sekolah, bertemu teman-temannya, dan menjalani kelas-kelas yang seolah tak pernah berakhir. Namun, ada satu hal yang berbeda sejak beberapa minggu terakhir. Setiap kali langkahnya menginjakkan kaki di halaman sekolah, atau saat ia duduk di kelas, ada perasaan yang menghantuinya. Perasaan itu datang tanpa permisi, tanpa bisa dihentikan.
Dimas. Nama itu kini seolah terukir dalam setiap pikiran Alya. Bahkan saat ia mencoba untuk fokus pada pelajaran, wajah Dimas tiba-tiba muncul di benaknya. Tertawa bersama teman-teman di depan kelas, atau mengingat saat pertama kali Dimas tersenyum padanya. Senyum itu—senyum yang begitu sederhana, namun bisa membuat dunia Alya seakan berhenti sejenak. Bayangannya hadir di setiap sudut pikirannya, membuat Alya merasa seolah tak bisa lepas darinya.
Pagi itu, seperti biasanya, Alya tiba di sekolah dengan langkah tergesa-gesa. Ia buru-buru menuju kelas, berusaha agar tidak terlambat. Namun, saat melintas di depan lapangan, matanya tak sengaja bertemu dengan Dimas yang sedang berdiri di dekat tiang bendera. Dimas terlihat sedang berbicara dengan beberapa teman laki-laki, tetapi matanya seolah melirik ke arah Alya. Alya terdiam sejenak, perasaan hangat menjalar ke dadanya. Kenapa Dimas selalu membuatnya merasa seperti ini? Bukankah mereka hanya teman biasa?
Alya segera mengalihkan pandangan, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Namun, dalam perjalanan menuju kelas, bayangan Dimas kembali hadir. Alya merasa seolah ada suara lembut yang bergema di dalam hatinya, memanggil namanya, meski tak ada suara nyata yang terdengar. Dimas… apa yang membuatnya begitu sulit untuk mengabaikan perasaan ini?
Di kelas, Alya duduk di tempatnya yang biasa, berusaha untuk fokus pada materi yang sedang diajarkan oleh guru. Namun, meskipun matanya mengarah pada papan tulis, pikirannya justru melayang jauh. Semua yang ia lihat tiba-tiba berubah menjadi bayangan wajah Dimas, wajah yang selalu tenang namun penuh dengan misteri. Alya mencoba mengusirnya, namun setiap kali ia menoleh ke luar jendela, bayangan itu kembali muncul—Dimas yang sedang berjalan di koridor, Dimas yang tertawa bersama teman-temannya, Dimas yang… mungkin tidak pernah tahu bagaimana perasaan Alya.
“Kenapa dia terus hadir di pikiranku?” Alya bergumam pelan, meski tidak ada yang mendengarnya.
Jam pelajaran berakhir dan Alya melangkah keluar kelas. Langit siang itu cerah, tetapi hatinya terasa gelisah. Ia melihat teman-temannya sudah berkumpul di kantin, berbicara tentang pelajaran yang baru saja selesai, tetapi Alya merasa asing di tengah keramaian itu. Semua obrolan terasa samar-samar, tidak begitu penting. Yang terpenting, pikirannya masih terfokus pada Dimas.
Seiring waktu berjalan, perasaan Alya semakin jelas. Bayangan Dimas tak hanya muncul saat di sekolah, tetapi juga saat ia pulang ke rumah. Bahkan saat ia sedang bersantai di kamarnya, menatap langit sore melalui jendela, bayangan Dimas tetap ada. Senyum itu, cara dia berbicara, bahkan aroma parfumnya yang samar seolah masih mengingatkannya. Segala hal kecil tentang Dimas kini mulai terpatri dalam ingatannya.
Satu hari, di akhir pekan, Alya memutuskan untuk pergi ke taman. Ia ingin melupakan sebentar semua pikiran tentang Dimas dan mencari kedamaian. Namun, saat ia berjalan di antara pepohonan rindang, matanya tak sengaja menangkap sosok yang sedang duduk di bangku taman, tampak sedang membaca buku. Alya tertegun sejenak. Itu Dimas. Dengan rambutnya yang sedikit berantakan dan mata yang fokus pada buku, Dimas terlihat begitu berbeda, begitu nyata, tetapi seakan terpisah dari dunia sekitarnya. Alya merasa jantungnya berdegup kencang. Mengapa ia bisa begitu terpengaruh oleh sosok ini?
Dimas melirik ke arah Alya, dan mereka saling bertatapan untuk sesaat. Alya merasa wajahnya memanas, dan segera menunduk, merasa canggung. Namun, Dimas tidak berkata apa-apa. Dia hanya tersenyum kecil, senyum yang sama seperti yang selalu membuat Alya merasa tersesat dalam perasaan yang tidak bisa ia pahami.
“Mau duduk?” tanya Dimas setelah beberapa detik keheningan.
Alya terkejut mendengar suara Dimas yang tiba-tiba mengisi ruang hening di sekitarnya. Dengan perlahan, ia mengangguk dan duduk di bangku taman itu. Mereka tidak langsung berbicara, tetapi ada sesuatu yang nyaman dalam kebisuan itu. Hanya ada suara angin yang berbisik di antara pepohonan, dan sesekali, suara tawa dari anak-anak yang bermain di dekat sana.
“Kenapa kamu terlihat agak jauh akhir-akhir ini?” tanya Dimas, memecah keheningan.
Alya terdiam, sedikit terkejut. “Aku… tidak tahu,” jawabnya dengan suara pelan. “Aku hanya merasa… bingung.”
“Kenapa bingung?” Dimas bertanya dengan nada lembut, meskipun matanya tetap tertuju pada Alya.
Alya menghela napas. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. “Aku… sering memikirkan hal-hal yang aneh. Perasaan yang tidak aku mengerti. Dan… aku merasa ini tidak bisa hilang.”
Dimas terdiam, menatap Alya dengan penuh perhatian. Hatinya mulai berpikir. Apakah mungkin perasaan yang sama ada di dalam dirinya juga? Mungkin, Alya sedang merasakan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar pertemanan mereka.
Bayangan Dimas kini bukan hanya muncul di kepala Alya, tetapi juga nyata di hadapannya. Dalam diam, dalam senyum yang tulus, dan dalam setiap detik yang mereka lewati bersama, bayangan Dimas semakin mengisi ruang-ruang yang sebelumnya kosong dalam hidup Alya.
Namun, perasaan itu masih sulit untuk diungkapkan. Alya tahu, meskipun bayangan itu terus menghantuinya, ia harus berani untuk menghadapi kenyataan. Apakah perasaan ini akan terus ada, ataukah bayangan Dimas akan tetap menjadi bayangan yang tak pernah bisa diraih*
BAB 3 MENGAPA TAKUT MENGUNGKAP KAN PERASAAN
Alya duduk di bangku taman, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang sibuk. Angin sore berhembus lembut, menggoyangkan rambut panjangnya yang tergerai. Pikirannya penuh, namun ada satu hal yang menguasai: Dimas. Sejak pertemuan pertama mereka, perasaan itu muncul tanpa bisa dia hindari. Setiap senyuman Dimas, setiap kata yang dia ucapkan, semuanya terasa berbeda. Alya tahu perasaannya sudah berubah, tapi satu hal yang tidak bisa dia atasi: ketakutannya untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya.
Sejak beberapa minggu terakhir, perasaan itu semakin kuat, semakin jelas. Setiap kali Dimas berada di dekatnya, dunia seakan berhenti berputar. Namun, semakin besar perasaan itu, semakin besar pula ketakutannya. Apa yang harus dia lakukan dengan perasaan ini? Bagaimana jika Dimas tidak merasakannya? Bagaimana jika itu hanya perasaan sepihak yang akan merusak segalanya? Ketakutan itu menekan dada Alya, membuatnya bingung antara ingin mengungkapkan perasaan atau tetap menyimpannya dalam diam.
Alya menghela napas panjang dan meremas tangan, mencoba menenangkan dirinya. Sejak kecil, dia selalu diajarkan untuk berhati-hati dalam memilih langkah. Dalam hal ini, perasaannya kepada Dimas bukanlah hal sepele. Itu adalah perasaan pertama yang begitu mendalam. Selama ini, dia hanya bisa menyaksikan Dimas dari jauh, mengikuti setiap gerak-geriknya tanpa bisa menyatakan apa yang ada dalam hatinya.
“Kenapa kamu selalu takut, Alya?” bisik Alya pada dirinya sendiri. “Kenapa kamu tidak bisa melangkah maju?”
Bayangan Dimas kembali terlintas di benaknya. Laki-laki dengan senyum hangat dan tatapan penuh perhatian itu selalu hadir di setiap ruang pikirannya. Meski kedekatan mereka hanya sebatas teman, Alya merasakan ada sesuatu yang lebih, ada ikatan yang lebih kuat daripada sekadar persahabatan. Tetapi ketakutannya untuk mengungkapkan perasaan itu tak kunjung hilang.
Di sekolah, Dimas sering memperhatikannya. Tidak ada yang istimewa, mungkin hanya kebetulan, tetapi bagi Alya, setiap perhatian kecil dari Dimas terasa seperti tanda bahwa perasaannya tidak salah. Namun, di sisi lain, ada rasa ragu yang mengganggu. Dimas mungkin hanya menganggapnya sebagai teman, bukan lebih dari itu. “Apa aku benar-benar siap untuk menerima penolakan?” pikir Alya.
Alya tahu bahwa perasaan cinta itu bukan hal yang bisa dianggap enteng. Jika dia mengungkapkan perasaannya dan Dimas tidak merasakannya, akan sulit untuk kembali ke hubungan yang biasa. Segalanya bisa berubah, dan itulah yang paling ditakutkan oleh Alya. Ia takut kehilangan teman yang selama ini dia percayai. Bagaimana jika, setelah semua itu, Dimas menjauh? Bagaimana jika perasaan itu hanya akan menghancurkan segalanya?
Selain itu, Alya juga merasa tidak cukup baik untuk Dimas. Dimas adalah orang yang penuh percaya diri, pintar, dan disukai banyak orang. Sementara dia, Alya, hanya gadis biasa dengan kehidupan yang sederhana. Selalu ada perasaan kurang dalam dirinya, seolah dia tidak layak mendapatkan perasaan seperti itu dari seseorang seistimewa Dimas. Takut akan penolakan itu datang bukan hanya karena Dimas bisa saja tidak merasa sama, tetapi juga karena Alya merasa dirinya tak cukup berharga.
Pikirannya terus berputar, mengarah pada berbagai kemungkinan yang membuatnya semakin terjebak dalam keraguannya. “Apa yang akan terjadi setelah itu? Apakah kita bisa tetap berteman? Atau, apakah kita akan merasa canggung dan tidak nyaman?” Alya merasakan ada jurang besar yang memisahkan dia dengan keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Jurang itu bernama ketakutan.
Alya pun teringat pada beberapa kali percakapan mereka yang ringan namun menyenangkan. Dimas sering mengajaknya berbicara tentang banyak hal, tertawa bersama, dan berbagi cerita. Semua itu membuat Alya semakin yakin bahwa ada kemungkinan untuk lebih. Tetapi, setiap kali ia berpikir untuk mengungkapkan perasaannya, ada suara kecil di dalam hatinya yang mengatakan, “Tunggu sebentar, mungkin saat ini bukan waktu yang tepat.”
Dia mencoba untuk mengalihkan perhatiannya. Teman-teman di sekitarnya mulai sadar akan perubahan dalam sikapnya. Mereka bisa melihat bahwa Alya mulai lebih sering melamun, lebih sering tersenyum tanpa alasan jelas, dan kadang terlihat cemas ketika Dimas ada di dekatnya. Beberapa dari mereka bahkan mulai bertanya, “Alya, apa kamu suka sama Dimas?” Namun, Alya hanya bisa menggelengkan kepala, berusaha menutupi kebingungannya. Dia sendiri tidak tahu jawabannya dengan pasti. Perasaannya begitu rumit, begitu membingungkan, dan dia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.
Dalam hati Alya, ada dua suara yang terus berdebat. Satu suara mengatakan, “Jangan ragu, ungkapkan saja perasaanmu. Kalau kamu menunggu terlalu lama, kamu mungkin kehilangan kesempatan.” Sementara suara lainnya berkata, “Apa yang akan terjadi jika Dimas tidak merasakannya? Apa yang akan terjadi kalau dia hanya menganggapmu sebagai teman? Lebih baik diam dan jangan mengambil risiko.”
Malam itu, saat Alya berbaring di tempat tidur, perasaan itu semakin kuat. Ia tahu bahwa menahan perasaan ini semakin menyakitkan. Bayangan Dimas terus mengganggu pikirannya, tidak memberi ruang untuk beristirahat. Alya merasa seperti terjebak di dalam dilema besar—mengungkapkan atau diam? Keberanian untuk melangkah terasa begitu jauh, namun dalam hatinya, ada keyakinan bahwa mungkin ini saatnya untuk mengambil langkah pertama. Jika tidak sekarang, kapan lagi?
Dengan mata yang terpejam, Alya akhirnya memutuskan untuk memberikan diri kesempatan. Keberanian untuk mengungkapkan perasaan itu memang tidak datang dengan mudah, tetapi ia tahu bahwa perasaan ini sudah terlalu besar untuk disimpan sendiri. Ketakutan akan penolakan itu mungkin tidak akan pernah hilang, tetapi yang pasti, hidup ini terlalu singkat untuk membiarkan perasaan tetap terkunci dalam hati.
Alya pun berjanji pada dirinya sendiri, bahwa suatu hari nanti, ia akan melangkah—meskipun itu berarti menghadapi ketakutan terbesar dalam dirinya.*
BAB 4 SEBUAH TANDA YANG TAK BISA DIABAIKAN
Hari itu, Alya merasa ada yang berbeda. Udara terasa lebih segar, seolah-olah semesta memberikan sebuah sinyal bahwa sesuatu yang penting akan terjadi. Ia duduk di bangku sekolah, menunggu bel tanda istirahat berbunyi, namun pikirannya terus melayang pada Dimas. Sejak pertemuan pertama mereka, perasaan Alya hanya semakin dalam. Meskipun ia berusaha menyembunyikannya, bayangan Dimas selalu ada dalam pikirannya. Tak hanya saat dia melihatnya, tapi bahkan ketika dia sedang sendiri, bayangan itu hadir tanpa permisi. Ada sesuatu yang membuat hatinya berdebar setiap kali Dimas melintas.
Alya berusaha menenangkan dirinya, mencoba untuk fokus pada pelajaran. Namun, setiap kali dia melihat Dimas yang duduk di bangku sebelah, hatinya selalu berdegup kencang. Dimas adalah sosok yang berbeda. Dengan tatapan mata yang tajam, senyum yang tulus, dan caranya berbicara yang penuh perhatian, dia selalu membuat Alya merasa nyaman. Ada sebuah daya tarik yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, sesuatu yang lebih dari sekadar teman biasa. Alya sering merasa canggung, tapi di sisi lain, dia juga merasa sangat nyaman berada di dekat Dimas.
Saat bel istirahat berbunyi, Alya melangkah keluar menuju kantin. Ia duduk di sudut yang sama, tempat biasa ia duduk setiap hari. Namun hari ini, ada yang berbeda. Dimas datang lebih cepat, lalu duduk tepat di depan Alya. Tanpa sepatah kata pun, mereka saling bertukar pandang, dan Alya merasakan ketegangan yang aneh. Tidak seperti biasanya, Dimas tidak langsung mengambil ponselnya atau berbicara dengan teman-temannya. Dia menatap Alya dengan tatapan yang lebih intens, seolah-olah sedang menunggu sesuatu.
“Kenapa kamu menatapku seperti itu?” Alya akhirnya memecah keheningan dengan suara pelan.
Dimas tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepala. “Tidak ada. Hanya saja, kamu terlihat berbeda hari ini.”
Alya terkejut mendengarnya. “Berbeda bagaimana?”
“Aku tidak tahu, hanya saja… kamu terlihat lebih cerah. Seolah ada sesuatu yang membuatmu lebih… hidup.”
Alya merasa pipinya memerah mendengar pujian itu. Ia tidak tahu harus merespons apa, jadi dia hanya tersenyum malu-malu. Dalam hatinya, dia berpikir apakah Dimas benar-benar memperhatikan hal-hal kecil tentang dirinya, seperti cara dia berbicara, cara dia tersenyum, atau bahkan cara dia berjalan.
“Terima kasih,” jawab Alya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Dimas tertawa pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Aku selalu memperhatikan hal-hal seperti itu. Terutama kalau orang itu… menarik perhatian,” katanya dengan nada yang tidak bisa disalahartikan.
Kata-kata itu membuat Alya semakin bingung. Apakah Dimas sedang mengatakan bahwa dia tertarik padanya? Atau ini hanya sekadar basa-basi? Alya merasa hatinya berdebar semakin kencang, seolah ada sebuah kedamaian dan ketegangan yang bersamaan. Tidak ada kata-kata yang lebih kuat selain itu—bahwa Dimas juga merasakan ada sesuatu di antara mereka. Sesuatu yang membuatnya tidak bisa mengabaikan kehadiran Alya.
Namun, Dimas tiba-tiba mengubah topik pembicaraan. “Alya,” kata Dimas dengan suara serius, “Ada yang ingin kutanyakan. Kamu tahu kan, kita sudah cukup lama saling kenal, bukan?”
Alya mengangguk, perasaan cemas mulai muncul. “Iya, kita sudah lama berteman.”
Dimas memandangnya sejenak, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat. “Kenapa kamu selalu terlihat ragu ketika aku berbicara denganmu? Seperti ada sesuatu yang menghalangi kita untuk lebih dekat.”
Alya menelan ludahnya. Pertanyaan itu membuat dadanya terasa sesak. Dia tahu apa yang dimaksud Dimas. Setiap kali mereka berbicara, selalu ada perasaan ragu yang menghambatnya. Dia merasa takut, takut untuk mengungkapkan perasaan yang sudah lama tumbuh dalam hatinya. Dia merasa tidak berani, bahkan untuk menunjukkan bahwa dia tertarik pada Dimas.
“Ragu? Tidak… maksudku, aku hanya…” Alya mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi semuanya terasa sulit untuk dijelaskan.
Dimas tersenyum, namun kali ini senyumannya tampak penuh makna. “Alya, aku tahu kamu tidak bisa terus seperti ini. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan di antara kita, bukan?”
Alya terdiam, matanya menatap Dimas dengan kebingungan yang mendalam. Tiba-tiba, dia merasa ada sebuah ikatan yang lebih kuat dari sekadar kata-kata. Apakah ini mungkin? Apakah perasaan yang selama ini terpendam akhirnya bisa diungkapkan?
“Aku tahu kamu merasakannya, Alya. Aku bisa melihatnya dalam cara kamu menatapku. Ada perasaan yang tidak bisa kamu sembunyikan lagi,” kata Dimas dengan lembut.
Alya merasa seluruh tubuhnya bergetar. Ia ingin sekali mengakui perasaannya, tetapi keraguan dan ketakutan menghalanginya. Ia takut, takut jika Dimas tidak merasa hal yang sama. Takut jika semuanya menjadi canggung setelahnya. Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tidak bisa diabaikan. Tanda-tanda yang diberikan Dimas tidak bisa lagi disembunyikan.
“Ya,” akhirnya Alya mengucapkan kata itu, perlahan namun pasti. “Aku merasakannya, Dimas. Tapi aku takut jika aku salah… aku takut jika perasaan ini merusak semuanya.”
Dimas mengangguk, matanya penuh dengan pengertian. “Aku juga takut, Alya. Tapi kita tidak bisa terus hidup dalam ketakutan. Kadang, kita harus berani mengambil langkah meskipun kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”
Alya menatap Dimas, merasakan beban yang perlahan menghilang. Tanda-tanda yang tak bisa diabaikan ini akhirnya mengarah pada sebuah pengakuan yang tidak lagi bisa ditunda. Bayangan Dimas dalam hidupnya kini semakin nyata, dan perasaan itu pun tak bisa lagi disembunyikan.
Ketika mereka saling berpandangan, Alya tahu bahwa ini bukanlah akhir, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar. Sebuah tanda yang tak bisa diabaikan, sebuah perasaan yang tidak bisa lagi disangkal.*
BAB 5 KEKUATAN DARI SEBUAH PENGAKUAN
Alya berdiri di depan cermin, menatap refleksinya dengan cemas. Rambutnya yang sedikit acak-acakan jatuh di bahu, dan matanya tampak sedikit bengkak akibat malam yang penuh dengan kegelisahan. Hari ini adalah hari yang sangat penting baginya. Hari di mana dia harus mengungkapkan perasaannya, bukan hanya pada dirinya sendiri, tetapi pada Dimas. Perasaan yang telah lama terkubur dalam-dalam, yang selalu membuat jantungnya berdegup lebih cepat setiap kali Dimas melintas di hadapannya, akhirnya harus keluar.
“Kenapa terasa sesulit ini?” bisiknya pada dirinya sendiri. Alya menyadari bahwa sudah berbulan-bulan dia berusaha menghindar dari kenyataan bahwa perasaannya terhadap Dimas bukan sekadar perasaan biasa. Cinta pertama selalu datang dengan kegelisahan dan keraguan, dan perasaan yang tumbuh begitu dalam membuatnya takut kehilangan hal yang paling berharga—persahabatan mereka. Namun, dia tahu dia tidak bisa terus bersembunyi dari perasaannya. Tidak ada lagi jalan mundur. Dia harus melangkah maju.
Alya mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia merapikan bajunya sekali lagi, menyisir rambutnya dengan tangan, dan berusaha untuk terlihat biasa. Namun, hatinya tak bisa berbohong. Ketegangan itu ada di sana, menggulung di dalam dada. Alya tahu bahwa mengungkapkan perasaan bukanlah hal yang mudah, terutama ketika itu melibatkan seseorang yang sangat penting dalam hidupnya.
“Ini bukan hanya tentang aku,” pikir Alya, “Ini tentang kita.”
Mereka telah bersama selama hampir setahun, berbagi tawa, cerita, dan bahkan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan bersama. Dimas, dengan segala kesederhanaannya, telah menjadi seseorang yang sangat berarti baginya. Tapi apakah perasaannya itu cukup kuat untuk mengubah hubungan mereka? Alya mengingat kembali setiap momen bersama Dimas—setiap senyuman yang diberikan, setiap tatapan yang kadang membuatnya merasa seperti satu-satunya orang di dunia ini. Tetapi, apakah itu cukup? Akankah Dimas merasa hal yang sama?
Langkah Alya terasa berat saat dia melangkah menuju tempat yang biasa mereka temui di taman belakang sekolah. Pohon besar dengan ranting yang menjuntai seakan menjadi saksi dari semua pertemuan mereka. Alya sudah mempersiapkan segala sesuatu dalam pikirannya. Dia ingin berbicara dengan Dimas, ingin mengungkapkan perasaannya secara jujur, tetapi rasa takut terus mengganggu.
Saat ia tiba, Dimas sudah ada di sana, duduk di bawah pohon sambil memandangi langit senja yang mulai berubah warna. Senyum tipis muncul di wajahnya saat melihat Alya datang. Senyuman itu, yang selalu membuat hati Alya berdebar, kini membawa kebingungan yang lebih dalam.
“Hey,” sapa Dimas, suara hangatnya membuat Alya merasa sedikit lebih tenang.
“Hi,” jawab Alya, mencoba terlihat biasa meskipun hatinya hampir meledak.
Ada keheningan sejenak antara mereka. Dimas memandangnya dengan mata yang penuh perhatian, seakan menunggu Alya untuk mengatakan sesuatu. Alya merasa seluruh dunia hanya ada di antara mereka berdua saat itu. Dia membuka mulutnya, tetapi kata-kata seolah terjebak di tenggorokannya. Tidak mudah untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini disembunyikan begitu dalam.
“Alya,” Dimas akhirnya membuka percakapan. “Aku bisa merasakan ada yang berbeda darimu akhir-akhir ini. Kamu tampak seperti ingin mengatakan sesuatu.”
Alya menundukkan kepalanya, menatap tangan yang gelisah di pangkuannya. Kata-kata itu, yang sudah lama ia persiapkan, tiba-tiba terasa begitu berat. Dimas menunggunya dengan sabar, memberi ruang untuk Alya berbicara. Alya tahu ini adalah saat yang tepat, meskipun ketakutannya hampir membuatnya mundur.
“Aku… aku ingin berbicara tentang sesuatu yang penting,” ucap Alya dengan suara yang sedikit bergetar. “Tentang aku, tentang perasaanku.”
Dimas terdiam, memandangnya dengan tatapan penuh perhatian. Alya bisa melihat bahwa Dimas benar-benar mendengarkan. Itulah yang membuatnya sedikit lebih tenang.
“Apa yang kamu rasakan, Alya?” tanya Dimas, suaranya lembut namun penuh makna.
Alya mengangkat wajahnya dan menatap mata Dimas dengan penuh tekad. Ini adalah momen yang telah lama ia tunggu, dan dia tahu dia tidak bisa mundur lagi.
“Dimas,” kata Alya, “Aku tidak bisa menyangkalnya lagi. Perasaan ini sudah tumbuh begitu besar di dalam hatiku, dan aku tahu aku tidak bisa terus menghindarinya. Aku… aku suka padamu. Lebih dari sekadar teman. Aku tidak tahu sejak kapan, tapi aku tahu ini nyata.”
Hening sejenak. Alya merasa detak jantungnya berdetak lebih keras. Setiap detik terasa begitu panjang, dan dia mulai merasa cemas. “Mungkin aku telah salah. Mungkin kita akan merasa canggung setelah ini, tapi aku tidak bisa terus bersembunyi.”
Dimas tetap diam, dan Alya mulai merasa sedikit panik. Namun, sebelum dia bisa mengatakan lebih banyak, Dimas akhirnya berbicara.
“Alya,” katanya dengan suara yang penuh kehangatan. “Aku juga merasakan hal yang sama. Aku hanya tidak tahu bagaimana mengatakannya. Aku takut jika aku mengungkapkannya, semuanya akan berubah—akan ada jarak di antara kita.”
Alya terkejut mendengar kata-kata itu. Selama ini dia pikir Dimas tidak merasakan hal yang sama. Bayangan ketakutannya yang tak terungkap akhirnya menghilang dalam sekejap.
“Kita sama,” lanjut Dimas, “Kita sama-sama takut. Tapi aku sadar, aku tidak bisa terus hidup dalam ketakutan ini. Aku suka padamu, Alya. Lebih dari yang aku kira.”
Alya tidak bisa menahan senyum yang muncul di wajahnya. Perasaan lega mengalir dalam dirinya, seolah sebuah beban besar telah terlepas dari pundaknya. Cinta pertama memang penuh ketakutan dan keraguan, tetapi keberanian untuk mengungkapkannya membawa kelegaan yang luar biasa.
“Aku senang kamu merasa sama,” jawab Alya dengan suara lembut. “Aku takut… kalau aku kehilangan kamu, kalau kita tidak bisa kembali seperti dulu. Tapi ternyata, kita bisa melangkah bersama.”
Dimas tersenyum dan menggenggam tangan Alya dengan lembut. “Kita akan melangkah bersama. Jangan pernah ragu tentang itu.”
Di bawah pohon besar itu, di tengah senja yang memudar, Alya dan Dimas merasa bahwa pengakuan itu adalah awal dari sesuatu yang baru—sesuatu yang lebih indah dari sebelumnya. Keberanian untuk mengungkapkan perasaan tidak hanya membawa kelegaan, tetapi juga membuka jalan untuk masa depan yang lebih cerah bersama.*
BAB 6 BAYANGAN MASI MENGHANTUI
Alya duduk di bangku taman sekolah, memandangi sekelilingnya tanpa benar-benar melihat apa pun. Angin sore yang seharusnya membawa kesejukan malah terasa menekan dadanya. Pikiran-pikiran yang berputar dalam benaknya mengunci seluruh ruang di hatinya. Kejadian tadi pagi masih terngiang jelas. Perasaan yang penuh dengan harapan, yang hancur seketika begitu saja.
Semalam, setelah dia mengungkapkan perasaannya kepada Dimas, ada jeda yang begitu panjang, yang membuat Alya hampir kehilangan harapan. Dimas hanya diam, tidak menjawab apapun, bahkan tidak ada tanda-tanda bahwa ia mendengarnya. Saat itu, Alya bisa merasakan seluruh dunia seolah berhenti berputar. Kata-kata yang sudah terucap terhanyut begitu saja dalam hening yang menggigit.
Pagi ini, ketika Alya datang ke sekolah, Dimas tidak terlihat. Tidak ada lagi senyum khasnya yang biasanya menyapa dari kejauhan. Tidak ada lagi sapaan ringan yang membuat hari-hari Alya terasa lebih berarti. Dimas menghindari matanya, dan meskipun keduanya masih berpapasan di lorong, seolah ada jarak yang tak terlihat yang menghalangi mereka.
Bayangan Dimas terus hadir dalam setiap sudut pikirannya. Alya tahu bahwa ia telah mengungkapkan perasaannya dengan tulus. Tidak ada yang dia sembunyikan, tidak ada yang dia tutup-tutupi. Namun, sekarang ia merasa terjebak dalam rasa kesepian yang tak terhingga. Mengapa Dimas tidak merespon? Apakah dia merasa tidak nyaman? Ataukah ia hanya tidak merasa hal yang sama? Semua pertanyaan itu berputar-putar dalam kepala Alya, menciptakan kekosongan yang semakin dalam.
Langkah Alya berat, seolah kaki-kakinya menahan beban yang sangat besar. Setiap kali ia mengingat Dimas, bayangan wajahnya muncul begitu jelas—senyum tipisnya, tatapan matanya yang hangat. Kenangan itu adalah campuran antara kebahagiaan yang indah dan ketakutan yang tak bisa dihindari. Kenapa harus seperti ini? Kenapa setelah dia memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan, justru semuanya terasa semakin rumit?
Setelah beberapa jam berusaha mengalihkan pikirannya, akhirnya Alya memutuskan untuk pergi ke tempat yang biasanya bisa menenangkannya—tepi danau yang terletak tak jauh dari sekolah. Ia berharap bisa menemukan sedikit kedamaian, sedikit ruang untuk bernafas tanpa gangguan perasaan yang menyesakkan ini.
Saat duduk di tepi danau, Alya menatap air yang tenang. Setiap gelombang kecil yang memantul di permukaan danau terasa seperti gambaran dari hatinya sendiri—terus bergerak meski tidak jelas ke arah mana. Beberapa kali, ia merasa ingin menangis, tetapi air matanya seolah enggan jatuh. Semua perasaan ini terasa terlalu rumit, dan Alya merasa kesepian dalam kebingungannya. Ia tidak tahu harus berbuat apa, kecuali menunggu sesuatu yang tak pasti.
Tiba-tiba, langkah seseorang terdengar mendekat. Alya menoleh, dan matanya langsung bertemu dengan mata Dimas. Jantungnya berdegup kencang, dan dalam sekejap, semua rasa takut, marah, dan bingung kembali menghantui. Dimas berdiri beberapa langkah di depannya, terlihat sedikit ragu.
“Kenapa kamu di sini?” tanya Dimas dengan suara yang rendah, hampir terdengar canggung.
Alya menunduk, berusaha menyembunyikan perasaan yang bergejolak dalam dirinya. “Aku… hanya butuh waktu untuk berpikir,” jawabnya pelan.
Dimas mengangguk, lalu duduk di samping Alya. Selama beberapa detik, mereka hanya terdiam, menikmati keheningan yang memadatkan udara di sekitar mereka. Alya bisa merasakan ada sesuatu yang belum diungkapkan, sesuatu yang menggantung di antara mereka, tetapi Dimas tampaknya bingung untuk memulai.
“Alya,” akhirnya Dimas berbicara, suaranya terdengar agak canggung. “Aku… aku minta maaf. Aku tidak tahu harus bagaimana setelah apa yang kamu katakan semalam.”
Alya menoleh ke arah Dimas, matanya menatap penuh pertanyaan. “Kenapa? Kenapa kamu tidak bilang apa-apa? Kenapa kamu menghindar dariku?”
Dimas menghela napas panjang. “Aku takut. Aku takut kalau aku salah mengambil langkah, kalau aku salah menjawab, aku bisa merusak semuanya. Aku takut kalau kamu akan berubah setelah ini. Aku merasa bingung, Alya, karena aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.”
Mendengar pengakuan itu, Alya terdiam. Semua perasaan kesal yang ia pendam mulai meluruh sedikit demi sedikit. Dimas juga merasa bingung, sama seperti dirinya. Ini bukan hanya tentang perasaan yang tumbuh, tetapi juga tentang ketakutan akan perubahan yang datang bersama perasaan itu. Mereka berdua merasa takut akan kehilangan sesuatu yang sudah ada, meski keduanya tahu bahwa perasaan ini tidak bisa diabaikan begitu saja.
“Aku juga takut,” kata Alya, suaranya hampir tak terdengar. “Aku takut kalau aku mengungkapkan semuanya, aku bisa kehilanganmu, Dimas. Aku takut kalau kita tidak bisa kembali seperti dulu, seperti saat kita masih hanya teman.”
Dimas menatapnya dengan lembut. “Aku tidak mau kehilanganmu, Alya. Aku hanya… tidak tahu bagaimana cara melangkah lebih jauh. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk itu.”
Alya merasakan sebuah kehangatan yang perlahan muncul di dadanya. Keheningan itu terasa lebih nyaman sekarang, karena mereka berdua akhirnya mengungkapkan ketakutan yang sama. Bayangan-bayangan yang selama ini menghantui pikiran mereka perlahan memudar, digantikan oleh pemahaman bahwa mereka berdua hanya perlu waktu untuk menerima perasaan ini.
“Aku tidak akan memaksamu,” kata Alya akhirnya, suaranya lebih tenang. “Kita bisa melalui ini bersama-sama, dengan perlahan. Tidak ada yang perlu terburu-buru.”
Dimas tersenyum, senyum yang kali ini tulus dan penuh kelegaan. “Terima kasih, Alya. Aku senang kamu mengerti.”
Hari itu, di tepi danau yang sunyi, Alya dan Dimas duduk bersama, tidak lagi terbelenggu oleh bayangan ketakutan dan kebingungan. Mereka tahu, meski perjalanan ini penuh dengan ketidakpastian, mereka berdua siap untuk melangkah ke depan, bersama.*
BAB 7 KEPUTUSAN YANG MEMBAWA PERUBAHAN
Hari itu terasa berbeda bagi Alya. Sejak pagi, hatinya penuh dengan berbagai perasaan yang datang dan pergi begitu cepat. Ada kegembiraan, ada kecemasan, dan ada pula harapan yang semakin besar. Semua berawal dari percakapan dengan Dimas yang terjadi beberapa hari yang lalu. Saat itu, mereka duduk bersama di bawah pohon besar di taman sekolah, berbicara tentang hal-hal yang selama ini tersembunyi dalam hati mereka. Setelah pengakuan perasaan Alya yang tulus, Dimas menghilang dari kehidupannya untuk beberapa waktu. Tindakannya membuat Alya merasa bingung, namun di balik itu semua, ia tahu bahwa Dimas membutuhkan waktu untuk berpikir.
Meskipun demikian, ada sesuatu yang berubah dalam diri Alya. Dia merasa lebih dewasa, lebih mampu untuk menghadapi kenyataan bahwa cinta pertama bukanlah hal yang mudah, dan kadang kala, keputusan besar datang dengan banyak pertimbangan. Dimas tidak kembali begitu saja, namun setiap detik yang dilalui seakan membawa mereka lebih dekat pada keputusan yang tak terelakkan.
Alya berdiri di depan cermin, mencoba merapikan rambutnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Hari ini adalah hari yang penting. Dimas telah mengirimkan pesan singkat tadi pagi, meminta untuk bertemu. Alya tahu bahwa pertemuan kali ini bukan hanya tentang berbicara biasa, melainkan tentang masa depan mereka. Itu adalah momen yang sangat menentukan, yang akan membawa perubahan besar dalam hidup mereka.
Saat Alya tiba di tempat yang disepakati, sebuah kafe kecil di sudut kota, ia melihat Dimas sudah duduk menunggu di meja dekat jendela. Pria itu terlihat tenang, meskipun mata yang memandangnya menunjukkan ketegangan yang jelas. Alya duduk di hadapannya, mencoba untuk tersenyum meski hatinya sedang diliputi perasaan cemas.
“Alya,” kata Dimas pelan, suaranya terdengar lebih dalam dari biasanya. “Aku minta maaf jika aku mengecewakanmu dengan sikapku beberapa hari terakhir. Aku cuma butuh waktu untuk memikirkan semuanya dengan jernih.”
Alya mengangguk, mencoba untuk memahami bahwa terkadang, waktu memang diperlukan untuk mengambil keputusan besar. “Aku mengerti, Dimas. Aku tahu ini tidak mudah, dan aku tidak ingin memaksamu untuk memberikan jawaban sekarang juga. Tapi, aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak akan menyesal jika aku mengungkapkan perasaanku kepadamu.”
Dimas terdiam sejenak, menatap Alya dengan penuh perhatian. “Aku tahu perasaanmu. Aku juga merasa sama. Tapi, aku tidak ingin hal ini merusak apa yang sudah kita jalani sejauh ini. Aku takut jika kita mulai berpacaran, semuanya akan berubah, dan kita mungkin akan kehilangan hal-hal yang sudah baik antara kita.”
Alya bisa merasakan kegelisahan yang ada di dalam diri Dimas. Itulah yang membuatnya semakin mengerti bahwa cinta pertama memang selalu penuh dengan keraguan. Namun, meskipun perasaan itu rumit dan penuh dengan ketidakpastian, Alya tahu bahwa mereka harus menghadapi kenyataan itu bersama-sama.
“Dimas,” Alya mulai, suara yang sedikit bergetar namun penuh keyakinan. “Aku tidak menginginkan semuanya berubah menjadi buruk. Aku hanya ingin kita bisa lebih dekat, lebih memahami satu sama lain. Mungkin kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi bukankah kita tidak bisa hidup selamanya dalam ketakutan? Kalau kita selalu menunda-nunda keputusan ini, kita tidak akan pernah tahu apakah kita bisa bersama atau tidak.”
Dimas menatap Alya dengan mata yang lebih lembut, seolah mencari kepastian dalam kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Tapi bagaimana jika perasaan kita ini hanya sementara? Apa yang akan kita lakukan jika suatu saat nanti kita menyadari bahwa kita sudah salah jalan?”
Alya tersenyum, mencoba menghilangkan keraguan yang melanda. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, Dimas. Tapi aku yakin, kalau kita tidak mencoba, kita akan menyesal. Cinta bukan tentang menemukan jalan yang sempurna, tetapi tentang berani menjalani perjalanan bersama. Kita akan belajar bersama, menghadapi kesalahan bersama, dan tumbuh bersama. Jika kita benar-benar ingin menjalani ini, kita harus berani melangkah.”
Ada keheningan sejenak di antara mereka. Alya bisa merasakan betapa berat keputusan ini bagi Dimas, namun juga menyadari bahwa inilah saat yang tepat. Mereka sudah terlalu lama menghindari perasaan mereka, dan sekarang adalah waktu untuk mengambil keputusan besar.
Dimas akhirnya menghela napas, lalu berkata dengan pelan namun penuh keyakinan, “Kamu benar, Alya. Aku juga tidak ingin menunda lagi. Aku merasa kita sudah cukup dewasa untuk mengambil langkah ini. Kita mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku ingin mencoba. Aku ingin mencoba bersamamu.”
Alya merasa hati ini menghangat, perasaan lega yang luar biasa mengalir dalam dirinya. Sebuah keputusan yang selama ini mereka hindari akhirnya terungkap juga. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan ini tidak akan selalu mulus, tetapi ada kebersamaan yang membuat mereka merasa kuat. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi penyesalan.
“Aku juga ingin mencoba, Dimas,” jawab Alya dengan senyum yang tulus. “Mari kita jalani ini bersama-sama.”
Dimas tersenyum kembali, senyum yang penuh dengan harapan dan kebahagiaan. “Aku senang mendengarnya, Alya.”
Hari itu menjadi titik balik bagi keduanya. Mereka memutuskan untuk melangkah bersama, tidak lagi terjebak dalam bayangan-bayangan keraguan, tetapi bergerak maju dengan keberanian dan keyakinan bahwa apapun yang terjadi, mereka akan menghadapinya bersama. Tidak ada lagi ketakutan yang menghalangi, hanya ada keputusan yang membawa perubahan besar dalam hidup mereka.
Dengan tangan yang saling menggenggam, Alya dan Dimas memulai babak baru dalam hubungan mereka, sebuah perjalanan yang penuh dengan tantangan dan harapan. Keputusan untuk bersama adalah awal dari perubahan besar, dan mereka berdua siap untuk menjalani semua itu, selangkah demi selangkah.***
————–THE END—————–