Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan di Titik Nol
Cerita dimulai dengan pertemuan pertama Hana dan Rayyan di sebuah kafe saat acara seminar tentang teknologi yang kebetulan dihadiri keduanya. Meskipun awalnya mereka tidak terlalu tertarik, obrolan mereka berlanjut dan berujung pada pertukaran nomor telepon.
Mereka mulai saling mengenal lebih dalam lewat pesan singkat dan telepon. Hana merasa ada sesuatu yang spesial, tetapi dia ragu karena hubungan ini masih sangat baru dan mereka tinggal di tempat yang sangat jauh.
Mengenalkan latar belakang masing-masing Hana seorang pekerja muda di perusahaan start-up, dan Rayyan adalah mahasiswa pascasarjana yang baru saja mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di luar negeri.
Rayyan akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan dan mereka mulai menjalani hubungan jarak jauh. Mereka berkomitmen untuk saling mendukung meskipun terpisah oleh lautan.
Pagi itu, seperti biasa, Hana bangun lebih pagi dari yang dibutuhkan. Ia mengatur jam alarm dengan setengah hati, karena hari itu tidak berbeda dengan hari-hari lainnya. Pekerjaan di perusahaan start-up tempatnya bekerja sudah menjadi rutinitas yang mengalir begitu saja, seperti aliran sungai yang mengalir tanpa ada kejutan. Tapi, entah mengapa, ada rasa yang berbeda pagi itu—sesuatu yang terasa seperti antisipasi yang tidak terucapkan.
Seperti biasa, Hana mengenakan blazer biru dongker kesayangannya, sebuah pilihan yang memberi kesan profesional, tapi tetap nyaman. Rambutnya yang tergerai disisir rapi, dan sedikit sentuhan lipstik merah muda membuat wajahnya tampak lebih segar. Ia menatap diri di cermin dan tersenyum tipis. “Hari ini pasti seperti hari lainnya,” pikirnya sambil meraih tas kerja.
Namun, semua berubah saat ia melangkah keluar dari gedung kantornya di pusat kota dan memasuki kafe yang sudah menjadi tempat favoritnya untuk bekerja dari luar kantor. Kafe itu cukup sederhana, dengan interior yang minimalis dan jendela besar yang memamerkan pemandangan jalanan yang sibuk. Hana memilih meja dekat jendela—tempat di mana ia bisa merenung sambil menikmati secangkir kopi hitam.
Saat ia duduk dan membuka laptopnya, matanya tak sengaja tertuju pada seseorang di seberang kafe. Seorang pria dengan rambut hitam ikal yang tampak agak kusut, mengenakan jaket kulit cokelat dan celana jins. Di tangannya, sebuah buku catatan terbuka, dan ia tampak tenggelam dalam pikirannya. Mungkin karena pria itu duduk sendirian, atau karena aura tenang yang dipancarkannya, Hana merasa tertarik tanpa alasan yang jelas.
Ia melanjutkan pekerjaannya, tetapi tak bisa mengalihkan pandangannya dari pria itu. Sesekali, pria itu mengangkat kepalanya, menyapu kafe dengan pandangan cepat, seolah mencari sesuatu, atau seseorang. Pandangannya kemudian berlabuh pada Hana. Ia tersenyum kecil, dan Hana merasa seperti ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka. Hanya senyuman kecil yang penuh arti, meskipun mereka belum saling berbicara.
Namun, Hana mengalihkan perhatian kembali ke laptopnya, berusaha tidak terlalu memikirkan pria itu. Ia sudah terlalu terbiasa dengan kehidupannya yang sederhana dan terorganisir, tidak membutuhkan gangguan baru.
Namun, tak lama kemudian, suara lembut seorang barista memanggilnya, “Pesanan Anda, Nona.”
Hana berdiri dan berjalan menuju meja kasir untuk mengambil kopinya. Begitu ia kembali ke mejanya, tanpa disangka, pria yang tadi menarik perhatian itu berdiri di samping meja, seakan-akan ingin berbicara.
“Maaf,” katanya dengan suara yang tenang namun hangat. “Apakah saya boleh duduk di sini? Semua meja lainnya penuh.”
Hana memandang sekeliling, dan memang benar, hanya meja tempatnya duduk yang kosong. Ia ragu sejenak, namun entah mengapa ia merasa tidak ada salahnya berbicara dengan pria ini.
“Silakan,” jawab Hana sambil sedikit tersenyum. Ia merasa sedikit canggung, tetapi juga merasa ada ketertarikan yang aneh—sebuah ketertarikan yang membuatnya merasa nyaman meskipun baru pertama kali bertemu.
Pria itu duduk di kursi seberang Hana dengan posisi yang agak condong ke depan, seolah sedang berusaha untuk lebih dekat. “Nama saya Rayyan,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. “Saya baru pindah ke kota ini, dan saya sering melihat kafe ini dari luar, jadi saya pikir saya akan mencobanya.”
Hana mengulurkan tangan, sedikit terkejut, tetapi merasa nyaman dengan kehadiran Rayyan. “Hana,” jawabnya. “Senang bertemu dengan Anda. Apa yang membuat Anda memilih kota ini?”
Rayyan tersenyum, matanya berbinar, seperti seseorang yang baru saja menemukan sesuatu yang menarik. “Sebenarnya saya baru datang untuk melanjutkan studi di sini. Saya kuliah di luar negeri, dan kali ini saya datang untuk mempersiapkan riset saya lebih lanjut.”
Hana mendengarkan dengan saksama, terpesona dengan cara Rayyan berbicara. Ada sesuatu tentang cara dia menyampaikan cerita yang membuatnya merasa seolah mereka sudah lama saling mengenal. Mungkin ini hanya kesan pertama, tetapi Hana merasa percakapan ini adalah sesuatu yang lebih dari sekedar pertemuan biasa.
Mereka berbicara lebih lanjut tentang berbagai topik—tentang kehidupan, pekerjaan, dan harapan-harapan mereka masing-masing. Rayyan, meskipun baru pertama kali bertemu, tidak merasa canggung. Sementara Hana, yang biasa mendekatkan diri dengan orang-orang secara perlahan, merasa nyaman berbicara dengan Rayyan.
Jam berlalu tanpa mereka sadari. Keheningan sesekali menyelimuti percakapan mereka, namun bukan keheningan yang canggung. Mereka berdua seperti menikmati kebersamaan ini, tanpa tekanan atau ekspektasi. Tanpa mereka tahu, pertemuan itu akan menjadi titik nol dari sebuah perjalanan panjang yang tak terduga.
Kafe itu mulai sepi menjelang sore, dan Hana merasa aneh karena waktu terasa begitu cepat berlalu. Rayyan melihat jam tangannya, menyadari bahwa sudah hampir waktunya untuk pergi.
“Saya rasa saya harus pergi sekarang,” kata Rayyan, berdiri dari kursinya. “Tapi, saya sangat senang bisa berbicara dengan Anda, Hana.”
“Begitu juga,” jawab Hana, meskipun ada rasa enggan untuk berpisah begitu saja. Mereka berdua tersenyum, dan Hana merasakan sedikit kehangatan di hati. Sesuatu yang jarang ia rasakan, bahkan dengan teman-temannya yang sudah lama ia kenal.
“Saya akan kembali ke sini besok pagi,” Rayyan melanjutkan, “dan mungkin kita bisa ngobrol lagi.”
Hana hanya mengangguk, merasa sedikit terkejut dengan tawaran itu. “Tentu. Saya juga sering datang ke sini.”
“Baiklah, sampai jumpa besok,” katanya sambil melambaikan tangan.
Hana mengawasi Rayyan berjalan keluar kafe, dan tiba-tiba ada perasaan aneh yang datang. Entah kenapa, ia merasa seperti pertemuan ini bukanlah kebetulan. Seperti sesuatu yang lebih besar sedang menunggu mereka berdua. Namun, Hana segera mengusir pikiran itu. Ia tak ingin terlalu terbawa perasaan. Setelah semua yang pernah ia alami, ia tahu bahwa tidak ada yang pasti dalam hidup ini, terutama soal perasaan.
Esoknya, Hana kembali ke kafe yang sama, seperti yang dijanjikan. Dan seperti yang diharapkan, Rayyan sudah ada di sana, duduk di meja yang sama, dengan laptop terbuka dan sebuah cangkir kopi di depannya. Senyum lebar menghiasi wajahnya ketika ia melihat Hana datang.
“Selamat pagi, Hana!” Rayyan menyapa dengan antusias.
“Selamat pagi, Rayyan,” jawab Hana, sedikit terkejut dengan kehangatan dalam suaranya.
Mereka duduk bersama lagi, dan percakapan mereka mengalir dengan sangat natural, seakan-akan mereka sudah lama saling mengenal. Mereka membicarakan topik-topik yang lebih dalam—mimpi-mimpi, harapan, dan kekhawatiran mereka tentang masa depan. Hana mulai merasa ada sesuatu yang lebih di balik pertemuan ini, namun ia berusaha tidak terlalu memikirkan hal itu.
Rayyan, di sisi lain, mulai menyadari bahwa pertemuan ini bukan sekedar kebetulan. Ada perasaan yang tumbuh dalam dirinya—perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mungkin itu adalah ketertarikan, atau mungkin lebih dari itu. Tetapi, satu hal yang pasti, ia merasa nyaman bersama Hana, jauh lebih nyaman dibandingkan dengan orang-orang yang selama ini ia kenal.
Sebelum mereka berpisah lagi, Rayyan menatap Hana dengan serius. “Saya senang bisa bertemu dengan Anda, Hana. Rasanya seperti sudah lama kita kenal.”
Hana hanya tersenyum, tetapi dalam hatinya, ia merasakan hal yang sama. Sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sebuah perasaan yang menghangatkan hatinya, meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Keesokan harinya, Hana kembali ke kafe itu. Hari ini terasa sedikit berbeda. Suasana di luar mulai memasuki musim gugur, dengan daun-daun yang jatuh perlahan menutupi trotoar. Aroma kopi yang menggoda menyambutnya begitu ia melangkah masuk. Seperti biasa, Hana memilih tempat duduk yang strategis, dekat dengan jendela besar yang menghadap ke jalan. Namun, kali ini, ia tidak sendirian seperti biasanya.
Rayyan sudah ada di sana, duduk di meja yang sama, dengan wajah yang tampak lebih santai dan penuh semangat. Ketika Hana masuk, mata mereka bertemu, dan sebuah senyum tersungging di wajah Rayyan. Senyum itu tidak bisa disembunyikan, senyum yang tampaknya membawa kehangatan dan sebuah pesan yang tidak perlu diucapkan.
“Hana!” Rayyan menyapa dengan semangat. “Selamat pagi! Senang akhirnya kita bisa duduk bersama lagi.”
Hana merasa sedikit gugup, meskipun sudah dua kali bertemu dengan pria ini. Mungkin karena ada sesuatu dalam diri Rayyan yang membuatnya merasa nyaman, tetapi juga sekaligus membuatnya ragu. Sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, namun terus muncul setiap kali ia bertemu dengannya. “Pagi, Rayyan,” jawab Hana dengan senyum tipis. “Senang bertemu lagi.”
Pria itu meletakkan bukunya yang masih terbuka dan menggeser kursinya agar lebih dekat dengan Hana. “Apa yang sedang kamu kerjakan?” tanyanya dengan nada yang sangat antusias, namun tetap hangat.
Hana memandang layar laptopnya, sedikit ragu, lalu menjawab, “Oh, hanya sedikit pekerjaan. Saya sedang menulis proposal untuk sebuah proyek baru di kantor. Cukup menantang, tapi menarik.”
Rayyan mengangguk, seolah bisa memahami betapa beratnya beban pekerjaan Hana. “Tentu saja, saya tahu bagaimana rasanya terjebak dalam dunia pekerjaan yang terus berjalan. Kadang, saya merasa sangat tertekan dengan tugas-tugas saya,” katanya sambil sedikit tertawa. “Tapi saya merasa beruntung bisa menemukan waktu untuk datang ke sini dan bertemu orang baru.”
Hana tersenyum mendengar candaannya. “Aku rasa kita semua butuh waktu untuk diri sendiri, ya? Waktu untuk berhenti sejenak dan menikmati hidup.”
Percakapan mereka mengalir begitu alami, seperti dua orang yang sudah lama saling mengenal. Mereka berbicara tentang pekerjaan, tentang kehidupan di kota ini, dan bahkan tentang hal-hal yang lebih pribadi, seperti impian dan ketakutan masing-masing. Hana mulai merasa seolah-olah dia sudah lama berbicara dengan Rayyan, meskipun kenyataannya baru beberapa hari sejak pertemuan pertama mereka.
Namun, ada satu hal yang mulai mengusik Hana. Setiap kali ia berbicara dengan Rayyan, ia merasa ada kehangatan yang lebih dari sekadar persahabatan biasa. Ada sesuatu yang lebih mendalam, yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Perasaan itu datang begitu saja, dan semakin sulit untuk diabaikan. Bahkan meskipun mereka baru mengenal satu sama lain, Hana merasa bahwa dirinya mulai membuka hati untuk seseorang yang mungkin bisa memengaruhi hidupnya lebih besar daripada yang ia perkirakan.
Rayyan, di sisi lain, merasakan hal yang sama. Meskipun dia datang dari kota yang jauh dan merasa sedikit asing di tempat ini, berbicara dengan Hana memberi rasa tenang yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ada sesuatu tentang cara dia tertawa, cara dia berbicara dengan penuh perhatian, yang membuatnya merasa seolah-olah mereka sudah berbicara selama bertahun-tahun. Ia merasa sangat nyaman berada di dekat Hana, dan semakin hari semakin sadar bahwa perasaan itu bukan sekadar kekaguman biasa.
Hana menyadari bahwa hari sudah mulai menjelang siang. Suasana kafe mulai lebih ramai dengan kedatangan beberapa pelanggan lain. Meskipun begitu, Hana merasa tidak ingin percakapan ini berakhir. Ada banyak hal yang ingin ia bicarakan, dan ia tahu Rayyan juga merasakannya. Tetapi, ia juga sadar bahwa hari itu mereka tidak memiliki banyak waktu.
“Aku rasa kita harus segera kembali ke pekerjaan kita,” Hana berkata dengan sedikit enggan, tetapi mencoba terdengar santai. “Tapi, aku senang bisa berbicara lebih banyak denganmu.”
Rayyan mengangguk, meskipun terlihat enggan berpisah. “Aku juga senang bisa mengenalmu lebih baik, Hana. Sepertinya kita punya banyak kesamaan.”
Hana tersenyum, merasakan perasaan hangat di dadanya. “Ya, sepertinya begitu. Mungkin kita bisa melanjutkan percakapan ini lagi di lain waktu?”
“Absolut! Saya akan kembali besok pagi,” jawab Rayyan, matanya bersinar dengan antusiasme. “Mungkin kita bisa bertemu lebih awal dan berbicara lebih banyak.”
Hana merasa sedikit terkejut, tetapi tidak bisa menahan senyum yang muncul di wajahnya. “Tentu, besok pagi. Sampai jumpa, Rayyan.”
“Sampeyan juga, Hana,” Rayyan mengangguk sambil tersenyum. Ia melambaikan tangan dan pergi meninggalkan kafe, meninggalkan Hana yang masih duduk dengan pikiran yang berkecamuk.
Setelah Rayyan pergi, Hana duduk diam sejenak, merenungkan percakapan mereka. Perasaan yang timbul begitu cepat ini membuatnya sedikit cemas. Ia tidak terbiasa merasa seperti ini—terbuka dan terhubung begitu cepat dengan seseorang yang baru dikenalnya. Meskipun ia menyukai pertemuan ini, dan bahkan merasa nyaman, Hana mulai meragukan perasaannya sendiri.
“Apa yang sedang aku rasakan?” bisiknya pada dirinya sendiri, berusaha mencari penjelasan. “Kenapa aku merasa begitu dekat dengannya meskipun baru bertemu dua kali?”
Pikirannya berlarian, tetapi di tengah kebingungannya, ia sadar bahwa perasaan itu tidak bisa ia abaikan begitu saja. Ada sesuatu yang berbeda dengan Rayyan. Sesuatu yang membuatnya ingin terus mengenalnya lebih dalam.
Sementara itu, di sisi lain kota, Rayyan juga merenung. Selama perjalanan pulang, ia tidak bisa berhenti memikirkan Hana. Senyumannya, cara bicaranya yang penuh perhatian, dan kehangatan yang datang begitu alami dari dirinya. Semua itu membuat Rayyan merasa seperti ia menemukan sesuatu yang langka—sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
“Apa yang terjadi denganku?” pikirnya dalam perjalanan menuju apartemennya. “Hana, sepertinya dia berbeda dari yang lain. Aku ingin mengenalnya lebih baik.”
Rayyan tahu bahwa perasaan ini bukanlah sesuatu yang bisa ia anggap remeh. Ia merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan fisik—ada kehangatan yang tulus dalam diri Hana, dan ia ingin lebih dekat dengannya. Tetapi, seperti Hana, ia pun merasa ragu. Apakah perasaan ini benar? Apakah ini hanya perasaan sementara, atau apakah mereka berdua memiliki sesuatu yang lebih dari itu?
Hari berikutnya, Hana kembali ke kafe yang sama. Meskipun ia sudah berusaha menenangkan dirinya, perasaan cemas itu masih ada—perasaan bahwa pertemuan ini mungkin akan mengubah hidupnya. Begitu ia masuk, Rayyan sudah menunggunya di meja yang biasa. Wajahnya tampak lebih cerah, dan senyumnya begitu tulus ketika melihat Hana datang.
“Selamat pagi, Hana!” sapa Rayyan, hampir dengan suara yang sedikit lebih tinggi dari biasanya, penuh semangat.
Hana membalas senyumannya. “Pagi, Rayyan. Terlihat lebih semangat hari ini.”
Rayyan tertawa kecil. “Mungkin karena aku tahu hari ini kita akan berbicara lebih banyak. Rasanya, dua kali bertemu itu belum cukup, kan?”
Hana tertawa kecil. “Ya, rasanya memang masih banyak yang ingin aku bicarakan.”
Percakapan mereka kembali mengalir begitu alami, seakan tidak ada jarak antara mereka. Mungkin ini yang dinamakan pertemuan tak terduga di mana dua orang yang belum lama saling mengenal, tapi merasa begitu dekat dalam waktu singkat.
Dan begitu percakapan itu berlanjut, Hana tahu bahwa ini adalah titik awal dari perjalanan panjang yang akan membawa mereka berdua ke arah yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.*
Bab 2: Cinta di Balik Layar
Hana merasa cemas dengan jarak yang semakin besar. Dia mulai meragukan apakah hubungan ini bisa bertahan lama atau tidak. Terlebih lagi, banyak godaan dalam pekerjaan dan pertemuan dengan pria lain yang mencoba mendekatinya.
Rayyan merasa kesulitan dengan tekanan studi di luar negeri dan rasa kehilangan karena tidak bisa bersama Hana. Namun, dia terus berusaha meyakinkan diri bahwa ini semua adalah untuk masa depan mereka.
Bab 3: Ketidakpastian di Tanah Lain
Rayyan menerima tawaran pekerjaan di luar negeri yang mengharuskan dia untuk tinggal lebih lama dari yang dijadwalkan semula. Ini membuat Hana merasa cemas, apakah hubungan ini akan berlanjut atau malah berakhir karena semakin panjangnya jarak mereka.
Hana mulai merasa bahwa hidupnya harus bergerak maju meskipun Rayyan jauh di sana. Dia dihadapkan pada keputusan sulit: apakah tetap menunggu atau mulai membuka diri untuk kemungkinan baru di kehidupan nyata. Dia juga mulai merasakan tekanan dari keluarganya untuk serius memikirkan masa depannya.
Rayyan merasa terjebak antara dua dunia dia ingin memenuhi impian kariernya, tetapi tidak ingin kehilangan Hana. Dia merasa tertekan dengan waktu yang semakin menjauhkan mereka, meskipun cintanya tetap besar untuk Hana.
Setelah beberapa kali komunikasi yang penuh keraguan, Hana memutuskan untuk memberi ruang bagi Rayyan untuk mengejar kariernya, sementara dia juga akan fokus pada hidupnya. Mereka sepakat untuk menjaga hubungan, tetapi dengan pemahaman bahwa mereka tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya
Hana tidak pernah mengira bahwa hari itu akan datang begitu cepat. Suatu pagi yang tampaknya biasa, dengan angin yang sedikit lebih dingin dari biasanya dan langit yang mendung, Hana merasakan ada sesuatu yang berbeda. Sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, seperti ada sesuatu yang mengendap dalam pikirannya. Ia berbalik ke meja kerjanya, menatap ponselnya yang bergetar. Sebuah pesan masuk dari Rayyan.
“Aku harus pergi minggu depan, Hana. Aku tidak tahu harus mulai dari mana.”
Kalimat itu seperti petir yang menyambar hatinya. Seminggu. Tidak lebih dari itu, dan Rayyan akan kembali ke negaranya, kembali ke hidup yang berbeda, meninggalkan segala kenangan yang telah mereka bangun bersama di kota ini. Hana merasa seperti dunia tiba-tiba berputar lebih cepat, menghantamnya dengan kenyataan yang tak terelakkan.
Ia memandangi pesan itu untuk beberapa detik yang terasa seperti seabad. Hana tahu bahwa mereka sudah sering membicarakan tentang perpisahan ini. Rayyan, dengan segala keberanian dan keteguhan hatinya, telah mengungkapkan bahwa waktunya di kota ini tidak akan lama. Namun, mengetahui bahwa perpisahan itu semakin dekat tetap membuat hatinya terasa sesak. Bahkan, kata-kata yang pernah ia anggap hanya sekedar kata-kata kini terasa sangat nyata.
Hana membalas pesan itu dengan hati yang bimbang. “Aku tahu, Rayyan. Tapi… aku tidak tahu harus bagaimana. Aku merasa sangat takut. Aku takut kehilanganmu.”
Beberapa detik kemudian, balasan dari Rayyan muncul. “Aku juga takut, Hana. Tapi aku tidak ingin kita terjebak dalam ketakutan itu. Aku ingin kita berbicara, kita mencari cara agar bisa tetap berhubungan. Kita bisa tetap saling mendukung meski jarak memisahkan kita.”
Hana tahu bahwa Rayyan berusaha meyakinkan dirinya, tetapi semakin lama semakin ia meragukan diri sendiri. Bagaimana mungkin mereka bisa bertahan dengan jarak yang begitu jauh? Hana merasa ada kesenjangan yang semakin besar, sebuah ketidakpastian yang semakin mencekam. Bahkan ketika mereka berbicara tentang kemungkinan pertemuan kembali atau perjalanan bersama, perasaan itu tetap saja menghantui: bagaimana jika semua itu hanya impian semata?
Pekerjaan Hana pun semakin menumpuk. Ia mencoba untuk tetap fokus pada tugas-tugasnya, tetapi rasa cemas itu tidak bisa dihindari. Setiap detik terasa seperti peringatan bahwa waktu mereka semakin habis. Rayyan akan kembali ke tanah kelahirannya, dan tidak ada yang bisa memastikan apakah hubungan ini bisa bertahan.
Minggu-minggu setelah pesan itu, hubungan mereka mulai terasa semakin berat. Meskipun mereka terus berbicara, setiap percakapan terasa lebih terputus-putus, seperti ada sesuatu yang tidak bisa mereka ungkapkan. Rayyan, meski mencoba sekuat tenaga untuk memberikan rasa aman kepada Hana, juga merasakan tekanan yang sama. Ia ingin memberikan kenyamanan, tetapi juga tidak ingin menutupi kenyataan bahwa hubungan jarak jauh ini penuh dengan ketidakpastian.
Rayyan sering menceritakan tentang kehidupan di negaranya, tentang keluarganya yang menanti, tentang pekerjaan dan masa depan yang menuntutnya untuk kembali. Hana pun mulai bercerita tentang kebingungannya, tentang bagaimana ia merasa terjebak di antara harapan dan ketakutan. Meskipun mereka selalu mencoba untuk saling memahami, perbedaan yang ada—baik budaya, kebiasaan, maupun harapan—semakin terasa.
Suatu malam, mereka berbicara lewat video call. Rayyan menceritakan rencananya untuk kembali ke negaranya dalam waktu dekat, dan Hana mendengar suara kesedihan di balik kata-katanya.
“Aku merasa seperti aku meninggalkan banyak hal yang belum selesai di sini, Hana,” kata Rayyan dengan wajah yang tampak lelah. “Tapi aku juga tahu, aku tidak bisa menunda kembali selamanya. Keluargaku membutuhkan aku. Aku tidak bisa mengabaikan mereka.”
Hana menundukkan kepala, mencoba menghindari tatapan Rayyan yang penuh harap. “Aku mengerti, Rayyan. Aku juga tahu bahwa kehidupanmu di sana berbeda dengan di sini. Tapi… aku takut kita akan terlalu berbeda jika kita berada di dua tempat yang jauh.”
Rayyan terdiam sejenak, memikirkan kata-katanya dengan hati-hati. “Kita memang berbeda, Hana. Tapi apakah perbedaan itu berarti kita tidak bisa bertahan? Aku percaya kita bisa. Jika kita berusaha untuk saling memahami, meskipun berada di tempat yang berbeda, aku yakin kita bisa menemukan jalan untuk tetap bersama.”
Hana merasakan kehangatan dalam suara Rayyan, tetapi di dalam hatinya, keraguan itu terus menggelayuti. Ia berpikir tentang kehidupannya sendiri yang begitu berbeda dengan kehidupan Rayyan—tentang pekerjaan yang tak pernah berhenti, tentang ambisi yang kadang membuatnya terjebak dalam rutinitas yang berat. Bagaimana mereka bisa menyeimbangkan semua itu jika perbedaan budaya, rutinitas, dan jarak terus menghalangi?
Malam terakhir mereka bersama sebelum Rayyan pergi ke negaranya akhirnya tiba. Hana memutuskan untuk menemuinya di sebuah kafe yang sudah menjadi tempat favorit mereka. Tempat itu memiliki kenangan indah, dan Hana ingin meninggalkan kenangan yang tidak akan terlupakan sebelum semuanya berubah. Mereka duduk berhadapan, memandangi satu sama lain dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ada perasaan cemas yang sama-sama mereka rasakan, tetapi mereka berusaha untuk tetap tegar.
Rayyan memulai percakapan dengan suara yang agak berat. “Aku ingin kita tetap berhubungan, Hana. Aku tahu ini sulit, dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah aku pergi, tapi aku ingin kita tetap berusaha. Aku tidak ingin semua yang telah kita bangun ini hilang begitu saja.”
Hana menatapnya dalam-dalam, mencoba menahan air matanya yang mulai menggenang. “Aku ingin kita berjuang juga, Rayyan. Tapi kadang aku merasa… aku merasa kita akan kehilangan satu sama lain. Ada begitu banyak hal yang berubah, begitu banyak ketidakpastian.”
Rayyan meraih tangannya dengan lembut, memberikan sedikit kenyamanan. “Aku tahu, Hana. Aku juga takut. Tapi aku percaya, jika kita saling mencintai, kita akan menemukan cara untuk tetap bersama, meskipun dengan jarak yang memisahkan.”
Ada keheningan di antara mereka. Hana tahu bahwa mereka tidak bisa menghindari kenyataan—suatu saat nanti mereka akan terpisah. Tetapi perasaan itu, perasaan cinta yang mengikat mereka, begitu kuat dan begitu nyata. Meskipun ketidakpastian selalu hadir, mereka ingin mencoba.
Setelah beberapa saat, Hana menarik napas dalam-dalam. “Aku akan merindukanmu, Rayyan. Aku tidak tahu bagaimana aku akan menjalani semuanya tanpa ada kamu di sini.”
Rayyan tersenyum kecil, mengusap rambut Hana dengan lembut. “Aku juga akan merindukanmu. Tetapi kita harus percaya bahwa cinta ini tidak akan berakhir hanya karena jarak.”
Mereka berdua duduk dalam keheningan, meresapi setiap detik yang tersisa bersama. Tak ada kata-kata lebih yang bisa mereka ucapkan, karena hati mereka sudah berbicara lebih banyak daripada yang bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Keesokan harinya, pagi itu datang dengan nuansa yang berbeda. Rayyan telah selesai mengemas barang-barangnya dan siap untuk pergi. Hana mengantar Rayyan ke bandara, meskipun hatinya terasa begitu berat. Ketika mereka sampai di bandara, suasana menjadi sangat hening. Tidak ada percakapan yang bisa mengurangi rasa sakit perpisahan yang mereka rasakan. Hanya ada tatapan kosong dan senyuman yang dipaksakan.
Rayyan menatap Hana dengan mata yang penuh harapan. “Aku akan kembali, Hana. Mungkin tidak dalam waktu dekat, tapi aku akan berusaha untuk kembali. Aku ingin kita terus berhubungan.”
Hana tersenyum kecil, meskipun air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku akan menunggumu, Rayyan. Meskipun aku tidak tahu berapa lama, aku akan mencoba untuk menunggumu.”
Mereka berpelukan erat, seolah tidak ingin melepaskan satu sama lain. Namun, akhirnya Rayyan harus melangkah menuju ruang keberangkatan, meninggalkan Hana di sana dengan seribu pertanyaan yang menggantung di hatinya.
Beberapa minggu setelah perpisahan itu, Hana merasakan kekosongan yang mendalam. Walaupun mereka terus berkomunikasi, ada banyak hal yang terasa berbeda. Kehidupan sehari-hari yang kini terasa lebih sunyi, dan meskipun ada pesan-pesan dan panggilan video, semua itu terasa jauh dari kenyataan yang sebenarnya.
Hana mencoba untuk tetap fokus pada pekerjaannya dan hidupnya sendiri. Namun, ada kekosongan yang tidak bisa ia isi. Ia merindukan Rayyan, merindukan kehadirannya di dekatnya, merindukan percakapan mereka yang penuh tawa dan cerita. Tetapi lebih dari itu, ia merindukan rasa pasti yang pernah ada dalam hubungan mereka.
Apakah mereka akan bertahan? Atau apakah jarak, waktu, dan perbedaan akan mengikis semuanya? Hana tidak tahu jawaban pasti, tetapi satu hal yang ia yakini adalah bahwa ia masih ingin berjuang untuk hubungan ini, meskipun semua itu penuh dengan ketidakpastian.
Beberapa hari setelah pesan malam itu, Hana merasa sedikit lebih tenang. Walaupun keraguan itu masih ada, setiap pesan dari Rayyan memberi semacam kenyamanan yang mengusir kecemasan di hatinya. Namun, di sisi lain, ia merasa semakin kesulitan untuk menanggapi perasaan ini. Apakah ini hanya perasaan sementara? Atau mungkin, seperti yang selalu dikhawatirkan, hubungan jarak jauh mereka hanya akan bertahan selama jarak itu masih dapat dijangkau?
Hana tidak tahu mengapa, tetapi semakin ia berpikir, semakin ia menyadari bahwa ia sangat ingin melanjutkan hubungan ini. Ada sesuatu yang membuatnya merasa ada ikatan yang lebih kuat dari sekadar pertemuan fisik. Meski mereka berbicara hanya lewat layar ponsel atau video call, ada perasaan yang sulit dijelaskan—sesuatu yang tumbuh lebih dari sekadar kenalan.
Rayyan pun merasakan hal yang sama. Semakin hari, ia semakin merasa terikat dengan Hana. Meskipun tidak ada jaminan mengenai masa depan mereka, ia merasa bahwa mereka memiliki sesuatu yang unik—sesuatu yang patut diperjuangkan. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasakan ketegangan dalam dirinya. Bagaimana mereka bisa menjaga hubungan ini saat perbedaan jarak, waktu, dan kehidupan yang masing-masing mereka jalani mulai menunjukkan dampaknya?
Hari-hari terus berlalu, dan hubungan mereka semakin intens. Setiap percakapan yang mereka lakukan bukan hanya tentang kegiatan sehari-hari, tetapi lebih dalam tentang harapan, ketakutan, dan impian masing-masing. Rayyan, yang dulu sangat tertutup tentang kehidupannya, mulai membuka diri lebih banyak kepada Hana. Begitu juga sebaliknya. Hana merasa nyaman berbicara tentang masa kecilnya, tentang keluarganya, dan tentang impian-impian yang ia miliki meskipun ia tidak yakin akan tercapai.
Pada suatu malam, ketika mereka berbicara via video call, Rayyan mengungkapkan sesuatu yang membuat Hana terdiam sejenak.
“Apa yang kita miliki sekarang ini… rasanya begitu berbeda dari apa yang aku bayangkan sebelumnya. Aku tahu hubungan jarak jauh itu sulit. Aku tahu ada banyak hal yang bisa menghalangi kita, tapi aku ingin memperjuangkan ini, Hana. Aku ingin kita tetap saling terhubung meski jarak memisahkan.”
Hana menghela napas, merasa berat di dadanya. Perasaan itu datang begitu kuat, namun ia juga merasakan kecemasan yang mendalam. “Aku ingin kita bertahan, Rayyan. Tapi kadang aku takut… takut kalau kita hanya berpegang pada mimpi yang tak bisa kita capai. Aku takut, seiring berjalannya waktu, aku akan merasa semakin jauh darimu.”
Rayyan menatap layar dengan penuh perhatian. “Aku mengerti ketakutanmu, Hana. Aku juga merasakannya. Tapi aku percaya, jika kita berdua berusaha, kita bisa menjaga hubungan ini tetap hidup. Mungkin kita tidak bisa bertemu setiap hari, tapi kita bisa saling mendukung. Kita bisa berbagi impian dan harapan, meskipun hanya lewat layar.”
Hana tersenyum tipis, meskipun ada rasa haru yang tak bisa ia sembunyikan. “Aku ingin itu, Rayyan. Aku ingin tetap saling mendukung. Tapi kadang aku merasa, seiring berjalannya waktu, kita akan mulai melupakan satu sama lain.”
Rayyan menundukkan kepala sejenak, merenung. Kemudian, ia berkata dengan lembut, “Aku janji, Hana. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Mungkin kita akan melalui banyak ujian, tapi aku yakin, jika kita tetap berusaha dan menjaga kepercayaan ini, kita akan bisa melewati semuanya bersama.”
Hana merasakan getaran aneh di dalam hatinya. Kata-kata Rayyan begitu tulus, begitu penuh harapan, dan meskipun keraguan itu masih ada, ia merasa bahwa hubungan ini layak diperjuangkan. Bahkan jika mereka tidak tahu bagaimana masa depan akan berjalan, setidaknya mereka memiliki satu sama lain sekarang—di sini, di saat ini.
Beberapa minggu setelah percakapan itu, Hana kembali merasa cemas. Meskipun Rayyan selalu berusaha untuk memberikan dukungan, dan mereka masih sering berbicara, ada rasa jenuh yang mulai menyelinap ke dalam hati Hana. Terkadang, komunikasi mereka terasa seperti rutinitas yang tidak ada ujungnya. Pekerjaan yang semakin padat, kehidupan sehari-hari yang terus berjalan, dan jarak yang semakin lebar—semua itu mulai membebani pikirannya.
Hari-hari mereka kini dipenuhi dengan pesan-pesan yang lebih singkat, video call yang semakin jarang, dan keraguan yang semakin mengganggu. Hana tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya kepada Rayyan tanpa membuatnya merasa tidak dihargai atau tertekan. Ia merasa seolah-olah harus memilih antara mengejar mimpi profesionalnya dan mempertahankan hubungan ini. Keduanya sama-sama penting, namun keduanya juga sama-sama menguras tenaga.
Suatu sore, saat mereka berdua berbicara via video call, Hana merasa lebih lelah dari biasanya. Mata Rayyan yang biasanya penuh semangat terlihat sedikit lelah juga. Ada keheningan yang aneh di antara mereka, sebuah ketegangan yang tidak bisa dijelaskan. Rayyan akhirnya membuka suara.
“Hana, apakah kita baik-baik saja? Sepertinya belakangan ini ada yang mengganggu pikiranmu. Aku merasa kita semakin jauh, meskipun kita tetap berhubungan.”
Hana menghela napas, mengumpulkan keberanian. “Aku merasa seperti kita berdua sedang terjebak dalam rutinitas, Rayyan. Mungkin ini hanya perasaanku, tapi kadang aku merasa hubungan ini mulai terasa seperti beban. Aku tidak ingin begitu, tapi aku juga tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.”
Rayyan terdiam, menatap layar dengan ekspresi serius. “Aku juga merasakannya, Hana. Kadang aku merasa kita hanya hidup di dunia maya—berbicara lewat layar, tetapi tidak benar-benar merasakan apa yang kita bicarakan. Kita terus berusaha, tapi aku tahu, jika ini terus berlanjut, kita akan mulai merasa lelah.”
Kata-kata itu membuat Hana merasa cemas, tetapi di sisi lain, ia merasa lega karena akhirnya mereka berbicara tentang hal yang sama. “Aku takut, Rayyan. Aku takut kita akan terjebak dalam perasaan ini, yang mungkin tidak akan bisa bertahan lama.”
Rayyan menundukkan kepalanya sejenak, seolah merenung. “Aku tidak ingin itu, Hana. Aku tidak ingin kita berakhir hanya karena jarak yang memisahkan kita. Tapi aku juga mengerti bahwa kita perlu melakukan sesuatu untuk menjaga hubungan ini tetap hidup. Mungkin kita harus mencari cara untuk lebih sering bertemu. Mungkin kita harus lebih berani menghadapi kenyataan, meskipun itu tidak mudah.”
Hana merasakan hatinya berdebar. Kata-kata Rayyan begitu jujur dan mengena. “Apa kita bisa melakukannya, Rayyan? Apa kita benar-benar bisa bertahan?”
Rayyan menatapnya dengan penuh keyakinan. “Aku yakin, Hana. Kita bisa melakukannya. Selama kita berdua berusaha untuk saling mengerti dan mendukung satu sama lain, aku percaya kita bisa melewati semua tantangan ini.”
Hana merasa sedikit lega setelah mendengar kata-kata itu. Meskipun perasaan takut dan keraguan masih ada, ia tahu bahwa hubungan ini layak diperjuangkan. Mungkin mereka tidak memiliki banyak waktu bersama, tapi setidaknya mereka masih memiliki kesempatan untuk mencoba.
Seminggu kemudian, setelah berbicara panjang lebar tentang perasaan mereka, Hana dan Rayyan sepakat untuk mencoba mengubah cara mereka berkomunikasi. Mereka berjanji untuk lebih terbuka dan jujur satu sama lain, tidak hanya berbicara tentang hal-hal biasa, tetapi juga tentang apa yang ada di hati mereka. Mereka mulai merencanakan kunjungan ke tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi bersama, meskipun mereka tahu bahwa itu tidak akan mudah dilakukan.
Meskipun mereka tahu bahwa jarak akan selalu ada, mereka merasa sedikit lebih tenang setelah memutuskan untuk tidak menyerah begitu saja. Mereka mulai merencanakan masa depan yang lebih cerah, dengan lebih banyak usaha dari kedua pihak.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Hana,” kata Rayyan saat mereka berbicara pada malam hari. “Tapi aku tahu satu hal—aku tidak ingin kehilanganmu.”
“Aku merasa sama, Rayyan,” balas Hana, dengan suara yang lebih percaya diri. “Aku ingin kita terus berjuang bersama, meskipun itu tidak mudah.”
Mereka berdua tersenyum, meskipun ada banyak ketidakpastian di
Beberapa hari setelah pesan malam itu, Hana merasa sedikit lebih tenang. Walaupun keraguan itu masih ada, setiap pesan dari Rayyan memberi semacam kenyamanan yang mengusir kecemasan di hatinya. Namun, di sisi lain, ia merasa semakin kesulitan untuk menanggapi perasaan ini. Apakah ini hanya perasaan sementara? Atau mungkin, seperti yang selalu dikhawatirkan, hubungan jarak jauh mereka hanya akan bertahan selama jarak itu masih dapat dijangkau?
Hana tidak tahu mengapa, tetapi semakin ia berpikir, semakin ia menyadari bahwa ia sangat ingin melanjutkan hubungan ini. Ada sesuatu yang membuatnya merasa ada ikatan yang lebih kuat dari sekadar pertemuan fisik. Meski mereka berbicara hanya lewat layar ponsel atau video call, ada perasaan yang sulit dijelaskan—sesuatu yang tumbuh lebih dari sekadar kenalan.
Rayyan pun merasakan hal yang sama. Semakin hari, ia semakin merasa terikat dengan Hana. Meskipun tidak ada jaminan mengenai masa depan mereka, ia merasa bahwa mereka memiliki sesuatu yang unik—sesuatu yang patut diperjuangkan. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasakan ketegangan dalam dirinya. Bagaimana mereka bisa menjaga hubungan ini saat perbedaan jarak, waktu, dan kehidupan yang masing-masing mereka jalani mulai menunjukkan dampaknya?
Hari-hari terus berlalu, dan hubungan mereka semakin intens. Setiap percakapan yang mereka lakukan bukan hanya tentang kegiatan sehari-hari, tetapi lebih dalam tentang harapan, ketakutan, dan impian masing-masing. Rayyan, yang dulu sangat tertutup tentang kehidupannya, mulai membuka diri lebih banyak kepada Hana. Begitu juga sebaliknya. Hana merasa nyaman berbicara tentang masa kecilnya, tentang keluarganya, dan tentang impian-impian yang ia miliki meskipun ia tidak yakin akan tercapai.
Pada suatu malam, ketika mereka berbicara via video call, Rayyan mengungkapkan sesuatu yang membuat Hana terdiam sejenak.
“Apa yang kita miliki sekarang ini… rasanya begitu berbeda dari apa yang aku bayangkan sebelumnya. Aku tahu hubungan jarak jauh itu sulit. Aku tahu ada banyak hal yang bisa menghalangi kita, tapi aku ingin memperjuangkan ini, Hana. Aku ingin kita tetap saling terhubung meski jarak memisahkan.”
Hana menghela napas, merasa berat di dadanya. Perasaan itu datang begitu kuat, namun ia juga merasakan kecemasan yang mendalam. “Aku ingin kita bertahan, Rayyan. Tapi kadang aku takut… takut kalau kita hanya berpegang pada mimpi yang tak bisa kita capai. Aku takut, seiring berjalannya waktu, aku akan merasa semakin jauh darimu.”
Rayyan menatap layar dengan penuh perhatian. “Aku mengerti ketakutanmu, Hana. Aku juga merasakannya. Tapi aku percaya, jika kita berdua berusaha, kita bisa menjaga hubungan ini tetap hidup. Mungkin kita tidak bisa bertemu setiap hari, tapi kita bisa saling mendukung. Kita bisa berbagi impian dan harapan, meskipun hanya lewat layar.”
Hana tersenyum tipis, meskipun ada rasa haru yang tak bisa ia sembunyikan. “Aku ingin itu, Rayyan. Aku ingin tetap saling mendukung. Tapi kadang aku merasa, seiring berjalannya waktu, kita akan mulai melupakan satu sama lain.”
Rayyan menundukkan kepala sejenak, merenung. Kemudian, ia berkata dengan lembut, “Aku janji, Hana. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Mungkin kita akan melalui banyak ujian, tapi aku yakin, jika kita tetap berusaha dan menjaga kepercayaan ini, kita akan bisa melewati semuanya bersama.”
Hana merasakan getaran aneh di dalam hatinya. Kata-kata Rayyan begitu tulus, begitu penuh harapan, dan meskipun keraguan itu masih ada, ia merasa bahwa hubungan ini layak diperjuangkan. Bahkan jika mereka tidak tahu bagaimana masa depan akan berjalan, setidaknya mereka memiliki satu sama lain sekarang—di sini, di saat ini.
Beberapa minggu setelah percakapan itu, Hana kembali merasa cemas. Meskipun Rayyan selalu berusaha untuk memberikan dukungan, dan mereka masih sering berbicara, ada rasa jenuh yang mulai menyelinap ke dalam hati Hana. Terkadang, komunikasi mereka terasa seperti rutinitas yang tidak ada ujungnya. Pekerjaan yang semakin padat, kehidupan sehari-hari yang terus berjalan, dan jarak yang semakin lebar—semua itu mulai membebani pikirannya.
Hari-hari mereka kini dipenuhi dengan pesan-pesan yang lebih singkat, video call yang semakin jarang, dan keraguan yang semakin mengganggu. Hana tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya kepada Rayyan tanpa membuatnya merasa tidak dihargai atau tertekan. Ia merasa seolah-olah harus memilih antara mengejar mimpi profesionalnya dan mempertahankan hubungan ini. Keduanya sama-sama penting, namun keduanya juga sama-sama menguras tenaga.
Suatu sore, saat mereka berdua berbicara via video call, Hana merasa lebih lelah dari biasanya. Mata Rayyan yang biasanya penuh semangat terlihat sedikit lelah juga. Ada keheningan yang aneh di antara mereka, sebuah ketegangan yang tidak bisa dijelaskan. Rayyan akhirnya membuka suara.
“Hana, apakah kita baik-baik saja? Sepertinya belakangan ini ada yang mengganggu pikiranmu. Aku merasa kita semakin jauh, meskipun kita tetap berhubungan.”
Hana menghela napas, mengumpulkan keberanian. “Aku merasa seperti kita berdua sedang terjebak dalam rutinitas, Rayyan. Mungkin ini hanya perasaanku, tapi kadang aku merasa hubungan ini mulai terasa seperti beban. Aku tidak ingin begitu, tapi aku juga tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.”
Rayyan terdiam, menatap layar dengan ekspresi serius. “Aku juga merasakannya, Hana. Kadang aku merasa kita hanya hidup di dunia maya—berbicara lewat layar, tetapi tidak benar-benar merasakan apa yang kita bicarakan. Kita terus berusaha, tapi aku tahu, jika ini terus berlanjut, kita akan mulai merasa lelah.”
Kata-kata itu membuat Hana merasa cemas, tetapi di sisi lain, ia merasa lega karena akhirnya mereka berbicara tentang hal yang sama. “Aku takut, Rayyan. Aku takut kita akan terjebak dalam perasaan ini, yang mungkin tidak akan bisa bertahan lama.”
Rayyan menundukkan kepalanya sejenak, seolah merenung. “Aku tidak ingin itu, Hana. Aku tidak ingin kita berakhir hanya karena jarak yang memisahkan kita. Tapi aku juga mengerti bahwa kita perlu melakukan sesuatu untuk menjaga hubungan ini tetap hidup. Mungkin kita harus mencari cara untuk lebih sering bertemu. Mungkin kita harus lebih berani menghadapi kenyataan, meskipun itu tidak mudah.”
Hana merasakan hatinya berdebar. Kata-kata Rayyan begitu jujur dan mengena. “Apa kita bisa melakukannya, Rayyan? Apa kita benar-benar bisa bertahan?”
Rayyan menatapnya dengan penuh keyakinan. “Aku yakin, Hana. Kita bisa melakukannya. Selama kita berdua berusaha untuk saling mengerti dan mendukung satu sama lain, aku percaya kita bisa melewati semua tantangan ini.”
Hana merasa sedikit lega setelah mendengar kata-kata itu. Meskipun perasaan takut dan keraguan masih ada, ia tahu bahwa hubungan ini layak diperjuangkan. Mungkin mereka tidak memiliki banyak waktu bersama, tapi setidaknya mereka masih memiliki kesempatan untuk mencoba.
Seminggu kemudian, setelah berbicara panjang lebar tentang perasaan mereka, Hana dan Rayyan sepakat untuk mencoba mengubah cara mereka berkomunikasi. Mereka berjanji untuk lebih terbuka dan jujur satu sama lain, tidak hanya berbicara tentang hal-hal biasa, tetapi juga tentang apa yang ada di hati mereka. Mereka mulai merencanakan kunjungan ke tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi bersama, meskipun mereka tahu bahwa itu tidak akan mudah dilakukan.
Meskipun mereka tahu bahwa jarak akan selalu ada, mereka merasa sedikit lebih tenang setelah memutuskan untuk tidak menyerah begitu saja. Mereka mulai merencanakan masa depan yang lebih cerah, dengan lebih banyak usaha dari kedua pihak.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Hana,” kata Rayyan saat mereka berbicara pada malam hari. “Tapi aku tahu satu hal—aku tidak ingin kehilanganmu.”
“Aku merasa sama, Rayyan,” balas Hana, dengan suara yang lebih percaya diri. “Aku ingin kita terus berjuang bersama, meskipun itu tidak mudah.”
Mereka berdua tersenyum, meskipun ada banyak ketidakpastian di
Hana duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang kosong. Ia sudah menyelesaikan sebagian besar tugasnya, tetapi pikirannya tak henti-hentinya berputar, membayangkan wajah Rayyan, meskipun mereka hanya berbicara melalui layar. Waktu seolah berjalan begitu lambat. Ia merindukan tawa Rayyan yang selalu membuatnya merasa lebih hidup. Ia merindukan percakapan mereka yang tak pernah benar-benar selesai, selalu ada topik baru yang mereka bicarakan, selalu ada cerita yang ingin mereka bagi.
Namun, sekarang, setiap pesan terasa seperti mengisi ruang kosong, namun tak sepenuhnya mengisi hati. Rindu itu tetap ada, bahkan semakin membesar seiring berjalannya waktu.
Malam itu, mereka melakukan panggilan video. Wajah Rayyan muncul di layar ponsel Hana dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Ada keheningan sejenak, sebelum Rayyan mulai berbicara.
“Aku tahu kita mulai merasa seperti terpisah jauh, Hana. Aku merasa kita tidak bisa lagi berbicara seperti dulu,” kata Rayyan dengan suara pelan.
Hana menatapnya, merasa cemas. “Aku merasa hal yang sama. Meskipun kita masih saling menghubungi, aku merasa seperti ada jarak yang tak hanya fisik. Ada semacam kekosongan di antara kita.”
Rayyan menghela napas, seolah merasa berat dengan kenyataan itu. “Aku ingin kita bisa lebih sering berbicara, lebih terbuka. Tapi terkadang, aku merasa kita hanya berbicara untuk menjaga hubungan ini tetap hidup, bukan karena kita benar-benar merasa ada. Apa kamu merasa seperti itu juga, Hana?”
Perkataan Rayyan membuat Hana terdiam. Ia merenungkan setiap kata yang baru saja didengar. Apakah memang benar seperti itu? Apakah hubungan mereka hanya dijalani dengan harapan, bukan dengan perasaan yang tulus dan murni?
“Aku takut,” jawab Hana akhirnya. “Aku takut kita mulai saling kehilangan. Aku takut jika kita terus begini, kita hanya akan menjadi dua orang yang saling menyapa melalui layar, tanpa benar-benar merasa ada.”
Rayyan menundukkan kepalanya, mengusap wajahnya dengan tangan. “Aku mengerti, Hana. Aku juga merasa semakin sulit untuk mempertahankan semuanya. Setiap percakapan kita terasa semakin kering. Mungkin karena kita tidak bisa lagi bertemu, tidak bisa merasakan kehadiran satu sama lain.”
“Aku ingin semuanya kembali seperti dulu, Rayyan,” Hana mengucapkan kata-kata itu dengan suara yang nyaris pecah. “Aku ingin kita kembali seperti dulu, tanpa ada keraguan, tanpa ada jarak yang membebani kita.”
Rayyan menatap layar dengan ekspresi yang penuh pergulatan batin. “Aku ingin itu juga, Hana. Tapi aku tahu, jika kita terus berada di sini, di tempat ini, dengan waktu yang terus berputar, mungkin kita harus menerima kenyataan bahwa kita tak bisa kembali seperti dulu. Ini bukan hanya soal jarak, ini soal bagaimana kita menyikapinya.”
Hana merasakan sakit di dadanya. Ia ingin Rayyan untuk tetap ada, ia ingin mereka berdua bisa bertahan. Tetapi bagaimana mereka bisa bertahan jika kenyataan yang mereka hadapi begitu keras?
Beberapa minggu setelah percakapan itu, Hana mulai berusaha menerima kenyataan. Jarak yang semakin lebar, waktu yang semakin sulit untuk disesuaikan, dan kesibukan masing-masing membuat kedekatan yang dulu mereka rasakan mulai terkikis. Meskipun mereka berdua berusaha mempertahankan hubungan itu dengan semangat yang sama, kenyataan bahwa mereka berada di dua tempat yang sangat berbeda semakin membebani.
Hana mencoba mencari kedamaian dalam kesendirian. Ia kembali fokus pada pekerjaannya, bertemu dengan teman-teman, dan merencanakan kegiatan yang akan membuatnya tetap sibuk. Namun, meskipun ia mencoba mengalihkan perhatian, bayangan Rayyan selalu muncul dalam setiap sudut pikirannya. Ia mulai mempertanyakan, apakah ini benar-benar yang ia inginkan? Apakah hubungan ini akan berlanjut ataukah ini hanya fase sementara yang akhirnya akan berakhir dengan keletihan dan kehilangan?
Rayyan juga merasakan kebingungan yang sama. Meskipun ia mencoba untuk menenangkan dirinya dengan pekerjaan dan kegiatan lainnya, hatinya tak bisa lepas dari Hana. Setiap kali mereka berbicara, rasa rindu itu kembali menghantui. Tetapi ia juga tahu, bahwa jarak yang begitu jauh membuat mereka semakin terpisah, dan tidak ada jaminan bahwa hubungan ini akan bertahan.
Suatu malam, setelah beberapa minggu tidak ada percakapan yang benar-benar mendalam, Rayyan menghubungi Hana dengan pesan singkat yang cukup mendalam.
“Apa kamu merasa kita sudah terlalu jauh, Hana? Aku ingin mendengar pendapatmu tentang kita.”
Pesan itu membuat Hana berhenti sejenak. Ia merasakan sebuah pertanyaan besar yang tidak bisa ia hindari. “Apakah kita masih bisa bertahan?” pertanyaan itu terngiang di dalam pikirannya. Akankah mereka terus saling berusaha meski tanpa ada kepastian? Ataukah ini saatnya untuk melepaskan?
Hana membalas pesan Rayyan dengan hati-hati. “Aku merasa kita sudah berubah, Rayyan. Mungkin ini bukan tentang kita yang tidak saling mencintai, tetapi tentang bagaimana kita menghadapi kenyataan ini. Aku merasa semakin sulit untuk mempertahankan semuanya seperti dulu.”
Rayyan membaca pesan itu dengan hati yang berat. “Aku juga merasa begitu. Tapi aku tidak ingin kita mengakhiri ini dengan penyesalan. Aku ingin kita menemukan cara agar bisa bertahan, meskipun itu tak mudah.”
Hana merasa ada kehangatan dalam kata-kata Rayyan, meskipun rasa cemas dan keraguan masih ada. Ia tahu bahwa apapun yang terjadi, ia harus membuat keputusan. Ia tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian ini, namun juga tidak ingin kehilangan segala yang telah mereka bangun bersama.
Setelah berpikir panjang, Hana akhirnya menghubungi Rayyan. “Rayyan, aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan. Aku takut kita tidak bisa terus seperti ini. Tapi, aku juga tidak ingin kehilanganmu.”
Rayyan menjawab dengan suara yang pelan namun penuh tekad, “Kita akan mencari cara, Hana. Mungkin kita tidak bisa terus seperti ini, tapi kita bisa mencari jalan baru. Kita bisa terus berjuang meski banyak yang menghalangi.”
Hana mengangguk meski ia tahu, jalan yang mereka pilih tidak akan mudah. Tetapi satu hal yang pasti, meskipun ketidakpastian itu menyelimuti mereka, keduanya masih ingin berusaha. Mereka masih saling peduli, masih ingin berbagi harapan meski dunia mereka seakan berada di ujung yang berbeda.
Hari-hari setelah percakapan itu terasa penuh dengan refleksi dan introspeksi. Hana dan Rayyan mulai menyadari bahwa mereka tidak bisa terus berada dalam hubungan yang terjebak dalam ketidakpastian. Mereka tahu bahwa hubungan mereka harus melalui ujian yang lebih berat lagi. Setiap kali berbicara, ada perasaan yang sulit dijelaskan—antara keinginan untuk tetap bertahan dan rasa takut akan apa yang akan datang.
Hana mulai bertanya-tanya, apakah mereka benar-benar bisa bertahan tanpa tahu apa yang akan terjadi ke depannya? Apakah cinta mereka cukup kuat untuk mengatasi jarak, waktu, dan perbedaan yang semakin besar?
Rayyan pun merasa hal yang sama. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus menggantungkan harapan tanpa ada kepastian. Meskipun ia ingin mempertahankan hubungan ini, ia juga tidak ingin menahan Hana dalam ketidakpastian yang membuat mereka semakin terpisah.
Hana dan Rayyan berdua akhirnya sepakat untuk memberi satu sama lain ruang untuk berpikir. Mereka tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak bisa terus hidup dalam kebimbangan ini.
Beberapa hari kemudian, mereka memutuskan untuk berbicara lagi, dengan keputusan yang lebih jelas di tangan mereka.
“Apa yang kita punya sekarang ini, mungkin harus berubah,” kata Rayyan, suara penuh pengertian. “Aku tahu kita tak bisa terus seperti ini. Tapi aku percaya, kita akan menemukan jalan. Kalau bukan dengan cara ini, mungkin dengan cara lain.”
Hana mengangguk, merasa berat, namun pada saat yang sama, ada kelegaan dalam hatinya. “Aku percaya kita bisa melaluinya, Rayyan. Entah apapun yang akan terjadi.”
Perasaan mereka mungkin masih penuh dengan ketidakpastian, tetapi satu hal yang mereka tahu: mereka masih ingin mencoba.*
Bab 4: Langkah Berbeda, Hati yang Sama
Hubungan mereka diuji lebih lanjut ketika Rayyan menerima tawaran pekerjaan yang mengharuskannya tinggal lebih lama di luar negeri. Hana merasa sangat kesepian dan mulai bertanya-tanya apakah ini semua ada gunanya. Konflik batin Hana semakin besar ketika dia bertemu dengan seseorang yang baru di tempat kerjanya.
Hana mulai menyadari bahwa dia juga perlu mengejar impian dan tujuannya sendiri tanpa terlalu bergantung pada Rayyan. Dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri, sebuah keputusan besar yang akan mengubah hidupnya.
Rayyan merasa terkejut dan bingung ketika mendengar keputusan Hana. Mereka harus berdiskusi panjang lebar tentang masa depan mereka. Di sisi lain, Hana merasa bahwa ini adalah keputusan yang harus dia ambil untuk dirinya sendiri, terlepas dari hubungan mereka.
Mereka memutuskan untuk memberi ruang bagi satu sama lain. Meskipun terpisah lebih jauh, mereka menyadari bahwa cinta yang mereka miliki tidak akan pernah benar-benar hilang, tetapi mereka juga harus menemukan cara untuk mandiri dan mengejar impian masing-masing.
Hana berdiri di depan jendela apartemennya, memandangi langit yang mulai gelap. Di luar, suasana kota masih hidup, namun ada kekosongan dalam dirinya yang tidak bisa ia pungkiri. Setelah percakapan panjang dengan Rayyan, ia tahu bahwa hubungan mereka harus berubah. Tidak ada lagi percakapan manis tentang masa depan bersama, tidak ada lagi janji-janji tentang pertemuan yang akan datang. Mereka memilih untuk mengambil langkah yang berbeda—dengan alasan yang sama: untuk memberi ruang bagi diri mereka masing-masing. Namun, walaupun keputusan itu tampaknya rasional, hati Hana masih terasa berat.
Beberapa hari setelah percakapan itu, Hana mulai merasakan ketegangan yang semakin besar antara dirinya dan pekerjaan. Semua rutinitas yang sebelumnya ia nikmati kini terasa semakin membosankan. Ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang, seolah-olah hidupnya kehilangan arah meskipun segala hal di sekitarnya tetap berjalan normal. Setiap kali ia mencoba melibatkan diri dalam pekerjaannya, pikiran tentang Rayyan kembali menghantuinya. Meskipun mereka sepakat untuk memberi ruang, itu bukan berarti perasaan mereka bisa hilang begitu saja.
Hana sering kali menatap pesan-pesan yang belum terkirim, hanya untuk merasa bingung tentang apa yang harus ditulis. Mereka berdua sepakat untuk tidak terlalu sering berkomunikasi, untuk memberi ruang bagi masing-masing dalam menentukan langkah selanjutnya. Tetapi seiring berjalannya waktu, Hana mulai merasakan kesulitan. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan kepada Rayyan—tentang pekerjaannya, tentang teman-temannya, bahkan tentang keinginan-keinginannya yang baru mulai muncul. Namun, ia merasa seolah-olah terlalu banyak hal yang belum bisa ia sampaikan, terlalu banyak kata yang terpendam.
Di sisi lain, Rayyan juga merasakan hal yang sama. Sejak kembali ke negaranya, ia sibuk dengan pekerjaannya yang baru, yang menuntut perhatian penuh. Setiap hari ia bangun lebih pagi dan pulang larut malam, mencoba untuk menutupi rasa kesepian yang menghantuinya. Meski di luar tampaknya hidupnya berjalan dengan lancar, ia merasakan adanya ketidakseimbangan dalam dirinya. Ia merindukan Hana. Ia merindukan kedekatan yang mereka punya. Namun, ia juga tahu bahwa ia perlu memberi ruang untuk mereka berdua tumbuh, meskipun jarak di antara mereka semakin jauh.
Namun, di balik segala kerumitan yang mereka rasakan, ada satu hal yang pasti: mereka tetap memiliki hati yang sama. Mereka masih saling mencintai, meskipun langkah yang mereka ambil berbeda.
Minggu-minggu berlalu, dan meskipun mereka tidak lagi berkomunikasi secara intens, Hana mulai merasakan ada perubahan dalam dirinya. Ia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, tetapi ia juga mulai mengeksplorasi minat baru yang dulu tidak sempat ia lakukan. Ia mulai meluangkan waktu untuk menulis, untuk melibatkan dirinya dalam kegiatan yang memberi kebebasan untuk berekspresi. Seperti sebuah perjalanan menuju jati diri, Hana perlahan-lahan menyadari bahwa ia juga harus menemukan keseimbangan dalam hidupnya tanpa bergantung pada siapa pun, bahkan pada Rayyan.
Salah satu hal yang ia mulai pelajari adalah bagaimana mengatasi rasa kesepian yang kerap datang. Dulu, ia selalu mengandalkan Rayyan untuk mengisi kekosongan itu, tetapi kini ia menyadari bahwa ia harus belajar untuk menghadapinya sendiri. Ia mulai mengeksplorasi hal-hal kecil yang membuatnya merasa bahagia—seperti berjalan-jalan di taman, mencoba resep masakan baru, atau mengunjungi kafe-kafe baru yang belum pernah ia coba. Semua itu membantunya menemukan kebahagiaan dalam dirinya sendiri, meskipun perasaan terhadap Rayyan tidak pernah hilang.
Sementara itu, Rayyan juga mengalami perubahan serupa. Kehidupan di tanah kelahirannya membawa tantangan baru yang membuatnya lebih merenung. Ia mulai kembali mengunjungi keluarganya lebih sering, berinteraksi dengan teman-teman lama, dan berusaha untuk mencari kedamaian dalam kehidupannya. Namun, meskipun ia sibuk dengan berbagai hal, ia merasa bahwa ada satu bagian dari dirinya yang belum lengkap—yaitu Hana. Meskipun mereka sudah sepakat untuk memberi ruang, ia tahu bahwa ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang ada.
Suatu hari, setelah beberapa minggu tidak ada komunikasi yang berarti, Rayyan mengirim pesan kepada Hana.
“Hana, aku ingin tahu bagaimana kabarmu. Aku berharap kamu baik-baik saja.”
Pesan itu sederhana, namun bagi Hana, itu terasa seperti pesan yang ditunggu-tunggu. Meskipun mereka sepakat untuk tidak berkomunikasi terlalu sering, Hana tidak bisa menahan diri untuk membalas.
“Aku baik-baik saja, Rayyan. Aku mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan baru ini. Bagaimana denganmu?”
Rayyan tersenyum saat membaca balasan Hana. Meskipun mereka tidak berbicara tentang perasaan secara langsung, percakapan itu sudah cukup untuk membuatnya merasa lega. Ia menyadari bahwa meskipun langkah mereka berbeda, mereka masih memiliki hati yang sama perasaan yang tak bisa digantikan oleh apapun.
mereka bagi, dan setiap tawa yang mereka keluarkan, semuanya masih tersimpan rapat di dalam hati mereka.
Hana terkadang masih teringat akan momen-momen ketika mereka berbicara tentang masa depan, tentang impian-impian yang mereka miliki, dan tentang harapan-harapan yang mereka simpan bersama. Kini, momen-momen itu terasa jauh, namun tetap hidup dalam setiap sudut pikirannya. Terkadang ia duduk sendiri dan merenung, membayangkan apa yang akan terjadi jika waktu bisa kembali. Apakah mereka akan membuat keputusan yang sama? Apakah mereka akan terus berjuang bersama? Ataukah mereka sudah berada di jalan yang berbeda?
Namun, meskipun kenangan itu selalu hadir, Hana mulai menyadari bahwa ia tidak bisa terjebak dalam masa lalu. Kehidupannya sekarang harus berjalan maju, meskipun Rayyan bukan lagi bagian dari hari-harinya. Ia mulai membuka diri untuk pengalaman baru, untuk belajar dari hubungan ini dan tumbuh sebagai pribadi yang lebih kuat. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu, meskipun itu adalah kenangan yang sangat berharga.
Rayyan pun merasakan hal yang sama. Ia sering kali mengingat kembali momen-momen indah bersama Hana momen ketika mereka tertawa bersama tanpa beban, ketika mereka berbicara tentang impian dan harapan mereka tanpa rasa takut. Semua itu terasa seperti mimpi indah yang tidak bisa ia raih. Namun, meskipun ia rindu dengan segala kenangan itu, ia tahu bahwa ia juga harus menerima kenyataan. Mereka telah mengambil langkah yang berbeda, dan mungkin itu adalah yang terbaik untuk keduanya.
Suatu hari, Rayyan menulis sebuah surat panjang untuk Hana. Surat itu berisi semua perasaannya yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata biasa. Ia menulis tentang perasaannya yang tak pernah berubah, meskipun jarak memisahkan mereka. Ia menulis tentang rasa rindu yang tak pernah hilang, dan tentang bagaimana ia berharap suatu saat nanti, meskipun dengan jalan yang berbeda, mereka bisa bertemu kembali.
Hana menerima surat itu beberapa hari kemudian. Saat membacanya, ia merasakan ada kehangatan yang kembali meresap dalam dirinya. Ia tahu bahwa meskipun jalan mereka terpisah, perasaan itu tetap ada. Mereka mungkin tidak bisa berada di jalan yang sama, tetapi hati mereka tetap saling mengingatkan akan cinta yang pernah ada.
Setelah beberapa bulan berlalu, kehidupan mereka berdua mulai menemukan ritmenya masing-masing. Hana semakin fokus pada pekerjaan dan kegiatan pribadinya, sementara Rayyan juga semakin nyaman dengan kehidupannya di tanah kelahirannya. Namun, meskipun mereka tidak lagi berhubungan setiap hari, mereka berdua tahu bahwa mereka telah berubah. Mereka telah belajar banyak dari hubungan ini—tentang diri mereka sendiri, tentang cinta, dan tentang bagaimana menerima kenyataan.
Suatu malam, Hana duduk di teras apartemennya, menatap bintang-bintang yang bersinar di langit. Ia merasa damai, meskipun ada sedikit rasa rindu yang masih tersisa di dalam hatinya. Ia tahu bahwa mereka telah mengambil langkah berbeda, tetapi ia juga tahu bahwa hati mereka tetap sama. Meski jarak memisahkan mereka, meskipun waktu telah berlalu, perasaan mereka tetap hidup—berbeda, tetapi tetap saling mengingatkan.
Di sisi lain, Rayyan juga merasa hal yang sama. Ia duduk di sebuah kafe kecil, menatap cangkir kopi yang sudah hampir habis. Ia merasa lega, meskipun ada bagian dari dirinya yang masih merindukan Hana. Namun, ia tahu bahwa langkah yang mereka pilih sudah tepat. Mereka mungkin tidak bersama sekarang, tetapi mereka telah tumbuh bersama dalam cara yang berbeda. Dan itu sudah cukup.
Meskipun perjalanan mereka kini berjalan di dua jalur yang berbeda, satu hal yang mereka tahu pasti: langkah mereka memang berbeda, namun hati mereka tetap sama.
Bab 5: Melangkah ke Depan
Hana akhirnya mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di luar negeri, sementara Rayyan telah menemukan kestabilan dalam pekerjaan dan kehidupannya di tanah asing. Mereka menghadapi kenyataan bahwa cinta mereka tidak akan pernah sama seperti dulu, tetapi mereka berusaha untuk tetap terhubung meski dengan cara yang berbeda.
Meskipun hubungan mereka tidak lagi seperti dulu, Hana dan Rayyan belajar menerima kenyataan bahwa cinta jarak jauh adalah perjalanan panjang yang penuh dengan pengorbanan, kompromi, dan kepercayaan.
Keduanya berkembang sebagai individu yang lebih mandiri. Mereka tidak lagi saling mengandalkan, tetapi tetap mendukung dalam cara yang berbeda. Mereka mulai menyadari bahwa meskipun mereka mungkin terpisah oleh jarak, hati mereka tetap satu.
Hana tidak pernah tahu bahwa menerima kenyataan bisa terasa begitu sulit. Setelah perpisahan yang terjadi beberapa bulan yang lalu, hidupnya seperti berada di tengah-tengah kebingungan dan perasaan yang terus bergelora. Dia tahu keputusan yang diambil bersama Rayyan adalah yang terbaik untuk mereka berdua. Namun, meskipun dirinya mencoba untuk tetap tegar, kenyataan bahwa hubungan mereka berakhir tetap membuat hatinya terasa kosong.
Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, Hana duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan fokus yang kerap hilang. Di luar jendela, hujan mulai turun, dan suara tetesan air hujan yang jatuh ke atap gedung menciptakan irama yang menenangkan. Namun, ada kesedihan yang menyelubungi dirinya—sebuah kesedihan yang ia coba sembunyikan di balik senyumnya dan rutinitas hariannya.
Dulu, saat pagi tiba, Rayyan adalah orang pertama yang mengirimkan pesan singkat untuk menyapa, untuk memberinya semangat. Kini, pesan-pesan itu sudah lama berhenti. Kehidupan mereka sudah berjalan di jalur yang berbeda, dan meskipun perasaan itu masih ada, tidak ada lagi kata-kata yang bisa mengungkapkan betapa beratnya perasaan itu.
Namun, Hana mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Meskipun rasa sakit itu masih ada, perlahan-lahan ia belajar untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua hubungan berakhir dengan kebersamaan. Ada kalanya dua orang harus memilih untuk berjalan sendiri, untuk menemukan kebahagiaan mereka masing-masing. Menerima kenyataan ini bukanlah hal yang mudah, tetapi Hana tahu bahwa jika ia ingin benar-benar melangkah ke depan, ia harus melepaskan masa lalu.
Hari itu, setelah bekerja seharian, Hana memutuskan untuk pergi keluar. Ia ingin melupakan sejenak dunia kerjanya, melupakan semua beban yang ia rasakan, dan hanya menikmati waktu sendirian. Ia berjalan kaki menyusuri trotoar, menikmati udara segar, sambil merenung tentang perjalanan hidupnya. Dalam pikirannya, ia mencoba mengingat kembali setiap langkah yang telah diambilnya sejak ia bertemu dengan Rayyan—setiap momen indah yang pernah ada, dan setiap kenangan yang kini menjadi bagian dari dirinya.
Namun, Hana tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam kenangan itu. Ia harus melangkah ke depan, meskipun itu tidak mudah.
Kehidupan Hana mulai menemukan keseimbangan baru. Ia mulai fokus pada pekerjaannya dengan semangat yang lebih tinggi, melibatkan dirinya dalam proyek-proyek baru, dan mengeksplorasi hobi-hobi yang dulu ia tinggalkan. Menulis, yang dulu sempat menjadi impian yang tertunda, kini menjadi aktivitas yang menyenangkan dan memberi ketenangan batin. Hana mulai merencanakan untuk menulis buku pertamanya, sebuah perjalanan emosional yang mungkin bisa membantunya melepaskan perasaan yang selama ini ia pendam.
Hana juga mulai lebih aktif bersosialisasi. Ia mulai bertemu dengan teman-teman lama, menghabiskan waktu bersama mereka, dan menjalani kehidupan yang lebih penuh. Meskipun perasaan terhadap Rayyan masih ada, ia merasa semakin kuat dan lebih mandiri. Ia mulai menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang menunggu kebahagiaan datang, tetapi tentang menciptakan kebahagiaan itu sendiri. Ia tidak bisa terus menunggu waktu yang tepat atau berharap keadaan berubah. Hana menyadari bahwa jika ia ingin menemukan kebahagiaan sejati, ia harus menciptakan kebahagiaan itu dari dalam dirinya sendiri.
Namun, meskipun ada banyak hal positif dalam hidupnya, Hana tidak bisa memungkiri bahwa perasaan terhadap Rayyan masih ada. Meskipun mereka tidak berkomunikasi lagi, ada bagian dari dirinya yang selalu merindukan kebersamaan mereka. Terkadang, ia teringat bagaimana dulu mereka berbicara tentang masa depan, tentang bagaimana mereka akan saling mendukung dalam setiap langkah kehidupan mereka. Kini, masa depan itu sudah tidak ada lagi, dan Hana merasa bingung tentang apa yang harus ia harapkan.
Sementara itu, di sisi lain dunia, Rayyan juga berusaha melangkah ke depan. Ia memutuskan untuk kembali fokus pada kariernya, yang sempat terhenti karena hubungan mereka. Dalam beberapa bulan terakhir, ia mendapatkan tawaran pekerjaan baru yang menantang dan memungkinkannya untuk berkembang lebih jauh. Ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkan masa lalu, meskipun setiap kali ia kembali ke tanah kelahirannya, kenangan tentang Hana kembali menghantui pikirannya.
Suatu malam, setelah pulang dari pekerjaan, Rayyan duduk di balkon apartemennya. Ia menatap langit malam yang cerah, memandangi bintang-bintang yang bersinar. Ada ketenangan yang ia rasakan, namun ada juga kesepian yang menyelimuti hatinya. Kenangan tentang Hana masih ada—seperti bayang-bayang yang tak bisa ia lepaskan. Terkadang, ia merasa seperti berada di persimpangan jalan, bingung tentang bagaimana melangkah ke depan tanpa dirinya di sampingnya.
Rayyan tahu bahwa ia harus bisa menerima kenyataan bahwa mereka tidak bisa kembali bersama. Namun, ia juga tahu bahwa perasaan itu tidak bisa diabaikan begitu saja. Terkadang ia merasa bersalah karena tidak cukup berjuang untuk hubungan mereka, tetapi di saat yang sama, ia juga tahu bahwa mereka berdua memiliki alasan yang kuat untuk memilih jalan masing-masing.
Dalam kesendirian itu, Rayyan mulai menulis jurnal untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini ia pendam. Setiap kata yang ia tulis adalah cara untuk melepaskan perasaan yang terus mengganjal. Ia menulis tentang semua kenangan indah bersama Hana, tentang masa-masa ketika mereka tertawa bersama tanpa beban, dan tentang bagaimana ia merindukan kebersamaan itu. Namun, ia juga menulis tentang penerimaan, tentang bagaimana ia mulai belajar untuk melepaskan, dan bagaimana ia harus menerima kenyataan bahwa hidup harus terus berjalan.
Rayyan juga mulai mencari cara untuk mengisi kesepian dalam hidupnya. Ia mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman, berusaha membuka diri untuk pengalaman baru, dan bahkan mulai berkenalan dengan orang-orang baru. Tetapi meskipun ia mencoba untuk melupakan, perasaan terhadap Hana tetap ada seperti sebuah luka yang belum sembuh sepenuhnya. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi lagi.
Hana dan Rayyan masing-masing mulai menemukan jalan mereka menuju kedamaian. Mereka berdua menyadari bahwa meskipun jalan mereka terpisah, perasaan itu tetap ada—perasaan yang mereka bawa dalam setiap langkah hidup mereka. Meskipun mereka tidak bersama, mereka tetap saling menghargai dan mendoakan kebahagiaan satu sama lain.
Suatu hari, Hana memutuskan untuk menulis sebuah surat untuk Rayyan. Surat itu bukan untuk mengungkapkan perasaan yang terpendam, tetapi untuk memberinya pesan tentang penerimaan dan pengertian. Hana menulis bahwa ia menghargai setiap momen yang mereka lalui bersama, dan meskipun hidup mereka kini berjalan terpisah, ia tetap berharap yang terbaik untuk Rayyan. Ia menulis tentang bagaimana ia mulai menemukan kebahagiaan dalam dirinya sendiri, dan bagaimana ia akan terus melangkah ke depan, membawa kenangan itu dalam hatinya.
Rayyan menerima surat itu beberapa hari kemudian. Saat membacanya, ia merasakan kelegaan yang luar biasa. Surat itu memberinya rasa damai yang ia cari selama ini. Meskipun mereka tidak lagi bersama, ia merasa bahwa Hana telah memberinya izin untuk melanjutkan hidupnya dengan kedamaian. Ia membalas surat itu dengan kata-kata yang penuh penghargaan, mengatakan bahwa ia juga akan melangkah ke depan, dengan kenangan dan perasaan yang tetap ada di dalam hatinya.
Mereka tidak lagi berhubungan secara langsung setelah itu, tetapi surat-surat itu menjadi pengingat bahwa meskipun hubungan mereka berakhir, mereka tetap saling menghargai dan mencintai dalam cara yang berbeda. Mereka tahu bahwa melangkah ke depan bukan berarti menghapus kenangan indah yang pernah ada, tetapi berarti memberi diri mereka kesempatan untuk menemukan kebahagiaan dalam perjalanan hidup masing-masing.
Hana melangkah dengan mantap menuju masa depannya. Setiap langkah yang ia ambil kini lebih yakin, lebih kuat. Ia tahu bahwa kehidupan ini penuh dengan perubahan, dan meskipun perasaan terhadap Rayyan masih ada, ia tidak akan membiarkan perasaan itu menghalangi langkahnya. Ia memiliki impian yang ingin ia capai, dan ia bertekad untuk terus bergerak maju.
Rayyan, di sisi lain, juga mulai menemukan kedamaian dalam hidupnya. Ia belajar untuk mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu, untuk menghargai setiap momen yang ada, dan untuk menerima bahwa kehidupan tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan.
Keduanya mungkin telah memilih jalan yang berbeda, tetapi mereka tahu bahwa hati mereka tetap sama. Mereka akan terus melangkah ke depan, membawa kenangan yang pernah ada sebagai bagian dari diri mereka, dan memberi kesempatan untuk menemukan kebahagiaan yang baru.
Meskipun perjalanan mereka kini berjarak jauh, baik Hana maupun Rayyan mulai merasakan sebuah kelegaan yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Mereka telah belajar untuk menerima kenyataan, untuk tidak lagi terjebak dalam masa lalu. Namun, hal itu bukan berarti perasaan yang dulu ada begitu saja menghilang.
Hana merasa bahwa saat-saat bersama Rayyan akan selalu menjadi bagian dari dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia lupakan. Meskipun mereka kini tidak lagi bersama, kenangan itu tetap menjadi bagian dari prosesnya untuk menjadi lebih kuat dan lebih mandiri. Ada banyak hal yang ia pelajari—tentang cinta, tentang bagaimana menghargai diri sendiri, dan tentang bagaimana melangkah maju meskipun rasa sakit itu tetap ada.
Ia mulai berfokus pada hal-hal yang dulu ia tinggalkan. Menulis menjadi pelarian yang menyenangkan, dan ia merasa bahwa setiap kata yang ia tulis adalah cara untuk melepaskan semua emosi yang pernah ia pendam. Dalam cerita-cerita yang ia ciptakan, Hana menemukan kedamaian. Ia bahkan mulai berpikir untuk membuat karya pertama yang mengisahkan perjalanan cinta dan kehilangan, sebuah karya yang terinspirasi dari kisah hidupnya sendiri. Meski tidak secara eksplisit menulis tentang Rayyan, namun setiap kalimatnya mengandung pengalaman dan perasaan yang mendalam, yang hanya bisa dimengerti oleh dirinya sendiri.
Di sisi lain, Rayyan juga menemukan cara untuk mengisi kekosongan yang ia rasakan. Ia menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga, sesuatu yang dulu sering ia abaikan saat sibuk dengan pekerjaan dan hubungan jarak jauh. Keluarga memberikan rasa aman dan nyaman, membuatnya merasa diterima tanpa syarat. Ia juga mulai menjalin pertemanan baru, memperluas jaringan sosialnya, dan merasa lebih bebas daripada sebelumnya.
Namun, ada sesuatu yang Rayyan temui di dalam dirinya—bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa ditemukan hanya dengan mengejar ambisi atau mencari hiburan di luar. Kebahagiaan sejati datang dari kedamaian batin, dari menerima diri sendiri dan menerima kenyataan bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian. Melalui waktu yang ia habiskan untuk refleksi diri, Rayyan belajar untuk mencintai dirinya sendiri dengan cara yang belum pernah ia coba sebelumnya.
Setiap langkah yang mereka ambil memberi mereka pelajaran baru tentang hidup. Hana belajar bahwa keberanian bukan hanya tentang bertahan dalam hubungan atau memaksa seseorang untuk tetap berada di sisinya, tetapi tentang berani melepaskan. Keberanian itu datang saat ia memutuskan untuk memprioritaskan kebahagiaan dan kesehatan mentalnya, meskipun itu berarti berpisah dengan orang yang sangat ia cintai. Ia menyadari bahwa cinta yang tulus adalah cinta yang memberi kebebasan, bukan yang mengikat. Dengan keputusan untuk melangkah ke depan, Hana akhirnya menyadari bahwa ia harus mencintai dirinya terlebih dahulu sebelum mencintai orang lain.
Rayyan pun mengalami proses yang serupa. Ia sering merenung tentang kesalahan dan kegagalannya. Ia merasa bahwa selama ini ia selalu berusaha untuk membuat semuanya sempurna, tetapi kadang-kadang, kebahagiaan tidak datang dengan cara yang kita inginkan. Melalui pengalamannya bersama Hana, Rayyan belajar bahwa mencintai seseorang bukan berarti memiliki mereka selamanya, tetapi tentang memberi ruang untuk tumbuh bersama atau bahkan terpisah jika itu yang terbaik. Keberanian terbesar dalam cinta, menurut Rayyan, adalah memberi izin untuk satu sama lain melanjutkan hidup masing-masing meskipun itu terasa sangat berat.
Dalam proses ini, Rayyan juga mulai belajar tentang pengampunan—baik pengampunan untuk dirinya sendiri maupun untuk Hana. Ia tidak lagi menyesali keputusan yang telah mereka buat bersama. Sebaliknya, ia memandangnya sebagai pelajaran hidup yang berharga, yang membantunya menjadi versi dirinya yang lebih baik. Sama seperti Hana, ia juga memutuskan untuk tidak terjebak dalam rasa bersalah atau penyesalan yang tak ada habisnya. Pengampunan, bagi Rayyan, adalah kunci untuk melangkah ke depan.
Hari demi hari, mereka berdua semakin menemukan kenyamanan dalam kehidupan baru mereka. Hana semakin yakin bahwa meskipun ia belum sepenuhnya bebas dari kenangan tentang Rayyan, ia telah berkembang menjadi seseorang yang lebih mandiri dan lebih tahu apa yang ia inginkan dalam hidup. Ia mulai merencanakan perjalanan ke luar negeri, sesuatu yang selalu ia impikan, untuk menemui penulis-penulis besar dan memperdalam ilmunya. Perjalanan itu akan menjadi simbol dari perjalanan pribadinya—sebuah langkah menuju kebebasan dan pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya.
Sementara itu, Rayyan juga mulai merencanakan hal-hal baru dalam hidupnya. Ia tidak lagi menunggu momen yang tepat untuk bertemu dengan seseorang atau berharap cinta akan datang begitu saja. Ia belajar untuk menikmati proses hidup—untuk fokus pada pekerjaan, kesehatan, dan mencari hal-hal yang memberinya kepuasan pribadi. Meski tidak menutup kemungkinan untuk membuka hati kepada seseorang di masa depan, ia tidak lagi merasa terburu-buru. Ia tahu bahwa hidup ini penuh dengan kemungkinan, dan mungkin suatu hari nanti, takdir akan mempertemukan mereka kembali, entah dalam bentuk apa.
Namun, meskipun mereka telah memilih jalan yang berbeda, keduanya merasa lebih kuat dan lebih siap untuk menghadapi dunia. Mereka belajar bahwa melangkah ke depan tidak selalu berarti meninggalkan segalanya, tetapi tentang membawa bagian-bagian yang berharga dari masa lalu dan menciptakan sesuatu yang lebih indah di masa depan. Mereka berdua tahu, meskipun mereka tidak lagi saling bersama, mereka tetap akan terus melangkah dengan semangat yang baru, mencari kebahagiaan dan kedamaian dalam cara mereka masing-masing.
Beberapa tahun berlalu sejak perpisahan itu, dan Hana serta Rayyan masing-masing telah menemukan kebahagiaan mereka sendiri. Mereka tidak lagi terjebak dalam perasaan atau kenangan yang membuat mereka ragu. Mereka saling mendoakan yang terbaik, meskipun tak ada lagi komunikasi langsung di antara mereka. Mereka belajar bahwa terkadang, melepaskan bukan berarti menghilangkan, tetapi memberikan kesempatan untuk pertumbuhan.
Hana, dengan karya bukunya yang telah diterbitkan dan dihargai oleh banyak orang, merasa bahwa ia telah menemukan tempatnya dalam dunia ini. Ia seringkali teringat Rayyan, tetapi lebih dari itu, ia merasa bersyukur pernah mengenalnya. Begitu pula dengan Rayyan, yang kini menjadi pribadi yang lebih matang dan lebih sadar akan nilai-nilai hidup yang sesungguhnya. Ketika ia teringat Hana, ia tersenyum bukan dengan penyesalan, tetapi dengan rasa terima kasih.
Keduanya telah melangkah ke depan, tanpa melupakan langkah-langkah yang telah mereka ambil bersama. Mungkin mereka tidak lagi berjalan di jalan yang sama, tetapi mereka tahu bahwa perjalanan masing-masing telah mengubah mereka menjadi orang yang lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.***
———-THE END———-