Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

CINTA SETENGAH MATI

SAME KADE by SAME KADE
January 29, 2025
in Bucin
Reading Time: 23 mins read
CINTA SETENGAH MATI

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan yang Mengubah Hidup
  • Bab 2: Awal Perjuangan Cinta
  • Bab 3: Ketulusan yang Teruji
  • Bab 4: Kehadiran Arga
  • Bab 5: Saat Raka Diuji
  • Bab 6: Pertarungan Hati
  • Bab 7: Keputusan Terberat
  • Bab 8: Akhir yang Mengubah Segalanya

Bab 1: Pertemuan yang Mengubah Hidup

Raka tidak pernah membayangkan bahwa harinya yang biasa akan berubah menjadi sesuatu yang tak terlupakan. Ia adalah seorang pria biasa, hidup dalam rutinitas yang monoton. Pagi-pagi, ia berangkat ke kampus dengan motor tua kesayangannya, melintasi jalan yang sama setiap hari. Raka adalah tipe pria yang tidak terlalu menonjol, baik dari segi penampilan maupun pergaulan. Namun, ia dikenal sebagai sosok yang ramah dan selalu siap membantu teman-temannya.

Hari itu dimulai seperti biasanya. Matahari pagi menyinari kota dengan kehangatan yang lembut, memberikan harapan baru bagi setiap orang. Raka sedang tergesa-gesa menuju perpustakaan untuk menyelesaikan tugas kelompok yang hampir tenggat. Dengan ransel usang di punggungnya, ia menyusuri lorong kampus yang ramai oleh mahasiswa.

Saat itulah, ia melihatnya. Seorang gadis berdiri di depan papan pengumuman dengan mata yang fokus membaca. Gadis itu mengenakan blouse putih sederhana dan celana jeans, tetapi aura elegannya begitu memikat. Rambutnya yang panjang tergerai dengan lembut, tertiup angin, seolah-olah dunia memperlambat waktu hanya untuk momen itu.

Raka tertegun. Ia tidak pernah percaya pada cinta pada pandangan pertama, tetapi hari itu pandangannya berubah. Hatinya berdebar kencang, dan ia merasa seperti kehilangan kata-kata. Raka tidak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis itu.

“Ayo, Raka! Fokus!” gumamnya pada diri sendiri sambil menggelengkan kepala, mencoba kembali ke dunia nyata.

Namun, keberuntungan tampaknya sedang berpihak pada Raka. Gadis itu berbalik dan berjalan ke arah yang sama dengan tujuan Raka. Ia memutuskan untuk mengikuti dari kejauhan, bukan karena niat buruk, tetapi lebih karena keinginannya untuk mengenalnya lebih jauh.

Di perpustakaan, Raka kembali melihat gadis itu duduk di meja pojok. Gadis itu sibuk dengan buku-buku tebal dan laptopnya, tenggelam dalam dunianya sendiri. Dalam hati, Raka terus bertanya-tanya, “Siapa dia? Apa namanya? Apakah dia satu jurusan denganku?”

Keberanian Raka muncul ketika seorang penjaga perpustakaan memanggil gadis itu untuk memperbaiki kartu anggotanya yang bermasalah. Dari percakapan singkat itu, Raka mengetahui namanya—Nara. Nama yang indah, seindah orangnya.

Takdir rupanya berpihak kepada Raka. Beberapa hari kemudian, ia kembali bertemu Nara di sebuah acara kampus. Kali ini, keberanian Raka meningkat. Ia memutuskan untuk menyapa Nara dengan alasan yang sederhana—menanyakan arah ke ruang seminar.

“Permisi, ini ruang seminar teknik, ya?” tanya Raka dengan nada sopan.

Nara tersenyum kecil sebelum menjawab, “Oh, bukan. Ini ruang seminar untuk jurusan komunikasi. Ruang teknik ada di gedung sebelah.”

Raka pura-pura bingung, meskipun sebenarnya ia tahu jawabannya. “Ah, terima kasih. Kebetulan saya jarang ke sini, jadi agak bingung,” katanya sambil tertawa kecil.

Percakapan sederhana itu menjadi awal dari hubungan mereka. Raka mulai mencari cara untuk lebih dekat dengan Nara. Ia menemukan bahwa Nara aktif di organisasi seni kampus. Tanpa ragu, Raka mendaftar sebagai anggota baru organisasi tersebut, meskipun ia sama sekali tidak memiliki bakat seni.

Hari demi hari, Raka semakin sering berinteraksi dengan Nara. Mereka mulai berbicara tentang hal-hal kecil—dari tugas kuliah hingga hobi masing-masing. Nara memiliki ketertarikan pada seni lukis, sementara Raka mencoba mengimbangi dengan pura-pura tertarik pada hal yang sama. Dalam hati, ia tahu bahwa perasaannya semakin dalam.

Namun, Raka menyadari bahwa Nara bukanlah tipe gadis yang mudah didekati. Meskipun ramah, Nara selalu menjaga jarak dengan lawan jenis. Ia tampak memiliki dunia sendiri, dunia yang sulit dijangkau oleh orang lain. Raka sering bertanya-tanya, “Apakah aku bisa menjadi bagian dari dunianya?”

Suatu hari, Raka mendapat kesempatan untuk lebih mengenal Nara. Organisasi seni mengadakan kegiatan melukis di alam terbuka, dan mereka dipasangkan dalam kelompok yang sama. Saat itu, Raka merasa sangat gugup, tetapi ia berusaha menunjukkan sisi terbaiknya.

“Jadi, kamu suka melukis sejak kapan?” tanya Raka mencoba memulai percakapan.

Nara tersenyum sebelum menjawab, “Sejak kecil. Melukis membuatku merasa bebas. Seperti ada dunia lain yang bisa kuciptakan sendiri.”

Jawaban itu membuat Raka semakin terpesona. Ia merasa bahwa Nara adalah sosok yang unik, seseorang yang berbeda dari kebanyakan orang. Di mata Raka, Nara adalah inspirasi hidup.

Hari itu menjadi salah satu hari terbaik dalam hidup Raka. Ia merasa semakin dekat dengan Nara, meskipun hubungan mereka masih sebatas teman. Namun, dalam hati, Raka bertekad untuk membuat Nara menyadari perasaannya.

Di penghujung hari, Raka mengamati Nara yang sedang melukis langit senja. Ia berpikir, “Apakah aku bisa menjadi bagian dari lukisan hidupnya? Apakah aku bisa menjadi warna yang melengkapi dunianya?”

Tanpa sadar, Raka telah jatuh cinta setengah mati pada Nara.*

Bab 2: Awal Perjuangan Cinta

Setelah pertemuan pertama dengan Nara, hidup Raka tak lagi sama. Ia merasa seolah ada semangat baru yang mengalir dalam dirinya. Meski Nara masih menganggapnya sebagai teman biasa, Raka memutuskan untuk memperjuangkan perasaannya, tak peduli seberapa sulit jalannya.

Namun, mendekati Nara bukanlah hal yang mudah. Gadis itu memiliki sikap yang ramah, tetapi juga menjaga jarak. Seolah ada tembok tak kasat mata yang melindunginya dari siapapun yang ingin masuk lebih dalam ke dunianya. Tapi Raka tidak menyerah. Ia mulai mencari cara untuk bisa berada lebih dekat dengan Nara, dengan harapan suatu hari nanti ia bisa menyatakan perasaannya.

Ketertarikan Nara pada seni membuat Raka memutuskan untuk bergabung dengan organisasi seni kampus, meski ia sendiri tidak memiliki bakat dalam bidang tersebut. Raka bahkan rela mengorbankan waktu istirahatnya untuk mengikuti rapat dan kegiatan organisasi, hanya agar bisa lebih sering bertemu dengan Nara.

Pada awalnya, keberadaan Raka dalam organisasi itu tampak canggung. Ia sering merasa tidak percaya diri, terutama saat semua anggota lain menunjukkan kemampuan seni mereka. Tapi Raka tetap bertahan, karena baginya, keberadaan Nara lebih penting daripada rasa tidak nyamannya sendiri.

“Nara, ini lukisanmu?” tanya Raka suatu hari ketika ia melihat sebuah karya indah di studio seni. Lukisan itu menggambarkan pemandangan senja dengan warna-warna lembut yang berpadu harmonis.

Nara mengangguk sambil tersenyum. “Iya. Aku membuatnya minggu lalu. Senja selalu membuatku merasa tenang.”

Raka hanya bisa mengagumi hasil karya itu. Ia tidak tahu banyak tentang seni, tetapi ia tahu bahwa lukisan itu adalah cerminan dari kepribadian Nara—indah, tenang, tetapi penuh makna.

Hari demi hari, Raka mulai menunjukkan dedikasinya. Ia selalu ada setiap kali Nara membutuhkan bantuan, meski kadang hal itu berarti harus mengorbankan kebutuhannya sendiri.

Suatu malam, Raka menerima pesan dari Nara. “Raka, aku butuh bantuan untuk membawa kanvas besar ke pameran besok. Bisakah kamu membantuku?”

Tanpa ragu, Raka langsung setuju. Meskipun saat itu hujan deras dan ia harus menempuh perjalanan cukup jauh dengan motor, Raka tetap datang untuk membantu. Ketika ia tiba di rumah Nara, tubuhnya sudah basah kuyup, tetapi ia tetap tersenyum.

“Kamu nggak apa-apa, Raka? Basah banget,” kata Nara dengan nada khawatir.

Raka hanya mengangguk. “Aku nggak apa-apa. Yang penting aku bisa membantu kamu.”

Bagi Raka, melihat senyum Nara adalah bayaran yang cukup untuk semua pengorbanannya. Namun, ia mulai menyadari bahwa cinta sepihak ini tidak mudah. Kadang-kadang, ia merasa lelah, tetapi hatinya selalu berkata bahwa Nara adalah orang yang layak diperjuangkan.

Salah satu momen yang menguji Raka adalah ketika Nara mulai dekat dengan seorang pria lain di organisasi seni, Arga. Arga adalah sosok yang hampir sempurna—tampan, berbakat, dan percaya diri. Nara tampak nyaman berbicara dengan Arga, dan hal itu membuat Raka merasa kecil.

“Apa aku nggak cukup baik untuk dia?” pikir Raka dalam hati. Tapi ia tidak pernah menunjukkan perasaan itu di depan Nara. Sebaliknya, ia terus mendukung Nara, meskipun hatinya terasa hancur setiap kali melihat gadis itu tersenyum kepada Arga.

Raka mulai bertanya-tanya, apakah perjuangannya akan sia-sia. Tapi setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia mengingat kembali senyuman Nara dan semua momen kecil yang mereka bagikan.

Suatu hari, organisasi seni mengadakan perjalanan ke sebuah desa seni untuk belajar dan berlatih bersama. Dalam perjalanan itu, Raka dan Nara kebetulan duduk bersebelahan di bus. Awalnya, mereka hanya berbicara tentang kegiatan yang akan dilakukan, tetapi percakapan itu perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih personal.

“Kenapa kamu suka seni, Nara?” tanya Raka dengan nada ingin tahu.

Nara tersenyum tipis sebelum menjawab, “Karena seni adalah cara aku mengekspresikan diriku. Aku bisa menceritakan semua yang aku rasakan tanpa harus berbicara. Itu seperti terapi untukku.”

Jawaban itu membuat Raka semakin mengagumi Nara. Ia merasa bahwa di balik sikap tenangnya, Nara menyimpan banyak hal yang tidak pernah ia ungkapkan kepada orang lain.

Selama perjalanan itu, Raka juga menunjukkan sisi dirinya yang berbeda. Ia mencoba membuat Nara tertawa dengan cerita-cerita lucunya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa Nara benar-benar menikmati keberadaannya.

Ketika malam tiba dan mereka duduk bersama di bawah langit penuh bintang, Raka memberanikan diri untuk berkata, “Nara, aku senang bisa mengenalmu. Kamu membuat hari-hariku jadi lebih berarti.”

Nara hanya tersenyum dan tidak memberikan jawaban, tetapi bagi Raka, momen itu adalah langkah kecil menuju impian besarnya—menjadi bagian dari hidup Nara.

Meskipun perjalanan itu memberi Raka harapan baru, ia tahu bahwa perjuangannya masih panjang. Nara tetap sulit didekati, dan keberadaan Arga masih menjadi bayang-bayang yang mengancam. Tapi Raka tidak menyerah. Ia percaya bahwa cinta yang tulus akan menemukan jalannya.

Setiap malam, Raka merenungkan perasaannya. Ia tahu bahwa ia sudah jatuh cinta setengah mati pada Nara, dan meskipun perjuangannya penuh rintangan, ia tidak akan berhenti.

“Suatu hari nanti, aku akan membuatnya menyadari bahwa aku adalah orang yang tepat untuknya,” bisik Raka pada dirinya sendiri sebelum tertidur.*

Bab 3: Ketulusan yang Teruji

Ketulusan Raka terhadap Nara telah terlihat sejak awal. Tapi semakin ia mendekat, semakin besar pula tantangan yang harus dihadapinya. Pada titik ini, pengorbanannya mulai diuji oleh keadaan, oleh orang lain, bahkan oleh hatinya sendiri.

Setelah beberapa bulan menjadi anggota organkisasi seni, Raka sudah mulai terbiasa dengan ritme kegiatan yang melibatkan banyak tugas. Namun, satu hal yang tetap menjadi fokusnya adalah membantu Nara. Setiap kali ada kesempatan untuk meringankan beban gadis itu, Raka selalu melibatkan dirinya, bahkan ketika ia tahu bahwa tindakannya sering tidak dihargai sebagaimana mestinya.

Suatu hari, organisasi seni diundang untuk mengikuti pameran seni di kota tetangga. Nara dipercaya menjadi salah satu koordinator acara, dan tanggung jawab itu membuatnya sering terlihat stres. Raka, seperti biasa, tidak tega melihat Nara kewalahan.

“Kalau kamu butuh bantuan, jangan ragu bilang, ya,” kata Raka ketika mereka sedang berdiskusi di ruang organisasi.

Nara tersenyum kecil, tapi ia tampak ragu. “Aku nggak mau merepotkan kamu, Raka. Ini tanggung jawabku.”

“Itu bukan masalah. Aku akan senang kalau bisa membantu,” jawab Raka dengan nada meyakinkan.

Akhirnya, Nara mulai mempercayakan beberapa tugas kepada Raka, seperti mengurus transportasi untuk peserta dan menyiapkan kebutuhan logistik. Meski tugas-tugas itu tidak mudah, Raka melakukannya dengan penuh semangat, karena baginya, kebahagiaan Nara adalah segalanya.

Namun, semakin banyak tugas yang ia ambil, semakin banyak pula waktu yang ia korbankan untuk hal-hal lain. Raka sering melewatkan waktu bersama teman-temannya, bahkan tugas kuliahnya mulai terabaikan. Teman-temannya mulai memperingatkan Raka.

“Lo sadar nggak sih, Ka? Lo tuh kayak budak cinta sekarang,” kata Adi, sahabatnya.

Raka hanya tersenyum kecil. “Gue cuma pengen bantu dia, Di. Lagian, nggak ada salahnya kan?”

“Tapi lo ngorbanin semuanya buat dia. Lo yakin dia bakal sadar sama semua yang lo lakuin?”

Pertanyaan itu membuat Raka terdiam. Dalam hatinya, ia tahu bahwa kemungkinan Nara tidak akan pernah menyadari usahanya. Tapi ia terus meyakinkan dirinya sendiri bahwa ketulusan adalah hal yang paling penting.

Keberadaan Arga di organisasi seni menjadi salah satu ujian terbesar bagi Raka. Arga adalah tipe pria yang karismatik dan percaya diri, dan Nara tampaknya nyaman berada di dekatnya. Hal itu membuat Raka sering merasa cemburu, meskipun ia tidak pernah menunjukkannya secara langsung.

Suatu ketika, mereka semua sedang sibuk menyiapkan pameran. Nara dan Arga terlihat bercanda di sudut ruangan, sementara Raka sibuk mengangkut barang-barang berat sendirian. Ia mencoba untuk tidak memedulikan mereka, tetapi hatinya terasa sakit setiap kali melihat Nara tersenyum kepada pria lain.

Namun, ada momen di mana Nara menunjukkan perhatiannya kepada Raka, meskipun dalam bentuk yang kecil. Ketika Raka kelelahan setelah seharian bekerja, Nara memberikannya sebotol air dan berkata, “Terima kasih, Raka. Aku nggak tahu apa jadinya acara ini tanpa bantuanmu.”

Kalimat itu, meskipun sederhana, menjadi bahan bakar baru bagi semangat Raka. Ia merasa bahwa usahanya tidak sepenuhnya sia-sia, meskipun ia tahu bahwa rasa terima kasih Nara belum tentu berarti cinta.

Suatu malam, menjelang pameran besar, Nara menghubungi Raka untuk meminta bantuan mendesak. Salah satu artis yang dijadwalkan tampil di acara itu tiba-tiba membatalkan keikutsertaannya, dan Nara panik mencari solusi.

“Raka, aku butuh bantuanmu,” kata Nara dengan nada cemas di telepon. “Kita butuh pengganti untuk penampilan besok. Kamu kenal siapa yang bisa kita ajak?”

Raka tahu bahwa itu adalah tugas yang hampir mustahil mengingat waktu yang sangat singkat. Tapi ia tidak ingin mengecewakan Nara. Setelah beberapa jam mencari kontak, menelepon beberapa teman, dan bahkan mengunjungi beberapa tempat seni di malam hari, Raka akhirnya menemukan seseorang yang bersedia tampil.

Ketika ia memberitahu Nara tentang kabar baik itu, gadis itu terdengar lega. “Kamu luar biasa, Raka. Aku benar-benar nggak tahu harus bagaimana tanpa kamu.”

Namun, saat hari pameran tiba, Arga justru yang mendapatkan pujian atas keberhasilan acara itu. Semua orang mengira bahwa Arga adalah orang yang mengatur segalanya, sementara Raka hanya berdiri di belakang layar, menyaksikan pujian itu diberikan kepada orang lain.

Meski merasa kecewa, Raka tidak mengatakan apa-apa. Baginya, melihat Nara tersenyum puas sudah cukup untuk menghapus rasa sakit di hatinya.

Malam itu, setelah pameran selesai, Raka duduk sendirian di taman kampus. Ia merenungkan semua yang telah ia lakukan selama ini. Di satu sisi, ia merasa bangga karena bisa membantu Nara. Tapi di sisi lain, ia mulai bertanya-tanya, apakah semua pengorbanan ini sepadan?

Sahabatnya, Adi, datang menghampirinya. “Ka, lo nggak capek, ya?”

Raka tersenyum pahit. “Capek, Di. Tapi gue nggak bisa berhenti. Gue nggak tahu kenapa.”

“Lo harus pikirin diri lo sendiri juga, Ka. Jangan sampai lo kehabisan energi cuma buat ngejar sesuatu yang nggak pasti.”

Kata-kata Adi membuat Raka semakin bimbang. Ia tahu bahwa apa yang ia lakukan mungkin terlihat bodoh bagi orang lain. Tapi hatinya tetap berkata bahwa Nara adalah seseorang yang layak diperjuangkan.

Suatu hari, setelah semua kesibukan pameran selesai, Nara mengajak Raka untuk minum kopi di sebuah kafe kecil dekat kampus. Itu adalah pertama kalinya Nara secara langsung menunjukkan perhatian kepada Raka.

“Raka, aku mau bilang makasih,” kata Nara dengan nada tulus. “Kamu udah banyak bantu aku selama ini. Aku nggak tahu harus gimana kalau nggak ada kamu.”

Raka terkejut mendengar ucapan itu. Selama ini, ia merasa bahwa semua yang ia lakukan tidak pernah benar-benar dihargai. Tapi mendengar Nara mengucapkan kata-kata itu membuatnya merasa bahwa semua usahanya tidak sia-sia.

Namun, Nara melanjutkan dengan berkata, “Tapi aku juga nggak mau kamu terlalu capek gara-gara aku. Aku tahu aku sering minta bantuan kamu, dan mungkin aku terlalu bergantung sama kamu. Aku minta maaf kalau aku bikin kamu merasa terbebani.”

Kata-kata itu membuat Raka terdiam. Ia menyadari bahwa Nara mungkin mulai memahami perjuangannya, tetapi ia juga sadar bahwa pengakuan itu tidak berarti Nara memiliki perasaan yang sama.

Ketulusan Raka telah diuji oleh banyak hal—oleh keadaan, oleh kehadiran orang lain, dan oleh keraguannya sendiri. Tapi ia tetap bertahan, karena ia percaya bahwa cinta yang tulus tidak pernah mengenal batas.*

Bab 4: Kehadiran Arga

Kehadiran Arga di kehidupan Nara menjadi babak baru dalam perjuangan cinta Raka. Arga adalah sosok yang tampak sempurna di mata banyak orang. Bukan hanya karismatik, ia juga berbakat dalam seni. Hubungannya dengan Nara yang semakin dekat menghadirkan tantangan yang tidak pernah Raka bayangkan sebelumnya.

Raka mulai merasa ada jarak antara dirinya dan Nara sejak pameran seni terakhir. Meski ia terus membantu Nara dalam segala hal, perhatian Nara sepertinya lebih sering tertuju kepada Arga. Situasi itu membuat hati Raka semakin berat.

Suatu hari, Raka mendengar Nara dan Arga berbicara di sudut ruang organisasi seni. Mereka tampak bercanda dan tertawa bersama, sesuatu yang jarang Raka lihat saat ia berbicara dengan Nara.

“Arga memang lucu banget, ya,” kata Nara sambil tertawa.

Mendengar itu, Raka hanya bisa menghela napas. Ia tahu bahwa Arga memiliki kelebihan yang tidak ia miliki. Tapi ia juga tahu bahwa cintanya kepada Nara lebih dalam daripada sekadar kekaguman.

Arga adalah pria yang tahu bagaimana menarik perhatian. Dalam setiap kegiatan organisasi, ia selalu menjadi pusat perhatian. Kemampuannya dalam melukis sering kali membuat semua orang terpukau. Bahkan, beberapa anggota organisasi mulai menyebutnya sebagai “calon seniman besar.”

Raka, di sisi lain, merasa dirinya tenggelam dalam bayang-bayang Arga. Ia tidak memiliki bakat seni yang luar biasa, dan satu-satunya kelebihannya adalah ketulusannya membantu Nara.

“Raka, kamu oke?” tanya Adi suatu hari saat mereka sedang makan siang bersama.

Raka hanya mengangguk. “Gue nggak tahu, Di. Kayaknya Nara makin jauh sama gue.”

“Lo nggak bisa ngelawan Arga, Ka. Dia itu… beda level.”

Meski menyakitkan, kata-kata Adi ada benarnya. Arga memiliki segala hal yang diinginkan Nara—bakat, kepercayaan diri, dan pesona yang sulit ditandingi. Tapi Raka tidak mau menyerah begitu saja.

Keadaan semakin sulit bagi Raka ketika suatu hari Nara dan Arga diumumkan sebagai pasangan yang akan mewakili organisasi seni dalam sebuah kompetisi melukis nasional. Keputusan itu diambil oleh ketua organisasi, yang percaya bahwa mereka adalah kombinasi sempurna untuk mewakili nama organisasi.

“Selamat, Nara. Selamat, Arga,” kata Raka dengan senyum dipaksakan saat pengumuman itu selesai.

Nara menoleh kepadanya dan berkata, “Terima kasih, Raka. Aku harap kamu juga bisa ikut mendukung kami nanti.”

Raka hanya mengangguk, meskipun hatinya merasa seolah hancur berkeping-keping. Bagaimana ia bisa mendukung dengan sepenuh hati, sementara kolaborasi antara Nara dan Arga menjadi penghalang terbesarnya?

Suatu malam, Raka memutuskan untuk berbicara dengan Arga. Ia ingin tahu lebih banyak tentang pria itu, tentang apa yang membuatnya begitu menarik di mata Nara.

“Arga, gue bisa ngomong sebentar?” tanya Raka saat mereka berdua kebetulan sedang berada di ruang organisasi.

“Tentu, ada apa?” jawab Arga dengan senyum ramah.

Raka ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Lo suka sama Nara?”

Pertanyaan itu membuat Arga terdiam. Setelah beberapa detik, ia menjawab, “Gue nggak tahu, Ka. Tapi Nara itu orang yang spesial. Gue suka bekerja sama dengannya.”

Jawaban itu, meskipun tidak langsung menyatakan perasaan Arga, cukup membuat Raka merasa terancam. Ia tahu bahwa jika Arga memutuskan untuk mendekati Nara, peluangnya akan semakin kecil.

Dalam beberapa minggu berikutnya, Nara dan Arga sering terlihat bersama, baik di kampus maupun di luar kegiatan organisasi. Mereka terlihat begitu serasi, hingga banyak anggota organisasi mulai menggoda mereka sebagai “pasangan ideal.”

Raka berusaha keras menahan rasa cemburunya. Ia terus mendukung Nara dalam segala hal, meskipun ia merasa bahwa keberadaannya semakin tidak berarti.

Pada suatu malam, saat Raka sedang membantu menyiapkan perlengkapan untuk kompetisi, Nara tiba-tiba menghampirinya.

“Raka, aku mau minta maaf kalau aku bikin kamu nggak nyaman belakangan ini,” kata Nara dengan nada serius.

Raka menatapnya dengan bingung. “Kenapa kamu bilang begitu?”

“Aku tahu kamu udah banyak bantu aku, tapi aku merasa aku nggak pernah benar-benar menghargai semua yang kamu lakukan. Aku cuma mau bilang terima kasih,” ujar Nara.

Ucapan itu membuat Raka merasa terharu sekaligus bingung. Apakah itu berarti Nara mulai menyadari perasaannya? Atau hanya ungkapan terima kasih biasa?

Beberapa hari sebelum kompetisi, Raka dan Arga bertemu lagi di ruang organisasi. Kali ini, suasana di antara mereka terasa lebih tegang.

“Lo bener-bener serius sama Nara, ya?” tanya Arga tiba-tiba.

Raka terkejut dengan pertanyaan itu. “Kenapa lo nanya kayak gitu?”

“Karena gue bisa lihat cara lo ngeliat dia. Lo suka dia, kan?”

Raka terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Iya, gue suka sama dia. Gue udah lama suka sama dia.”

Arga tersenyum tipis. “Gue bisa ngerti kenapa. Dia emang gadis yang luar biasa. Tapi lo harus tahu, Ka, kadang ketulusan aja nggak cukup buat dapetin seseorang.”

Kata-kata itu menusuk hati Raka, tapi ia tahu bahwa ada kebenaran di dalamnya.

Setelah malam itu, Raka mengambil keputusan besar. Ia tidak akan menyerah, meskipun peluangnya semakin kecil. Baginya, cinta adalah tentang perjuangan, dan ia tidak ingin menyesal di kemudian hari karena berhenti berusaha.

Ketika kompetisi tiba, Raka hadir sebagai salah satu pendukung. Ia menyaksikan Nara dan Arga bekerja sama dengan sempurna, menciptakan karya seni yang luar biasa. Meski hatinya terasa berat, ia tetap memberikan dukungannya sepenuh hati.

Saat acara selesai, Nara menghampirinya dan berkata, “Raka, makasih udah datang. Dukungan kamu berarti banget buat aku.”

Raka hanya tersenyum. “Aku selalu ada buat kamu, Nara.”

Dalam hatinya, ia tahu bahwa perjuangannya belum berakhir. Kehadiran Arga mungkin menjadi tantangan besar, tapi Raka percaya bahwa ketulusan akan selalu menemukan jalannya.*

Bab 5: Saat Raka Diuji

Raka selalu percaya bahwa cinta sejati akan mampu bertahan dari segala ujian. Namun, semakin besar cintanya kepada Nara, semakin besar pula ujian yang harus ia hadapi. Pada bab ini, Raka dihadapkan pada situasi yang menguji batas ketulusan, kesabaran, dan keyakinannya terhadap cinta yang ia perjuangkan.

Setelah kompetisi seni berakhir, Nara tampak semakin sibuk. Kesibukannya tidak hanya disebabkan oleh tugas-tugas organisasi, tetapi juga karena banyaknya acara yang melibatkan dirinya dan Arga sebagai perwakilan kampus. Mereka sering diundang ke berbagai acara seni, dan setiap kali hal itu terjadi, Raka merasa semakin jauh dari Nara.

Suatu sore, Raka mencoba menghubungi Nara untuk mengajak bertemu. Ia ingin berbicara tentang banyak hal, termasuk perasaannya yang selama ini ia pendam.

“Nara, kamu ada waktu sore ini? Aku mau ngobrol,” tanya Raka melalui telepon.

Namun, Nara menjawab dengan nada terburu-buru. “Maaf, Raka. Aku lagi sibuk banget hari ini. Mungkin lain kali, ya.”

Raka hanya bisa menghela napas. Kata “lain kali” itu terasa seperti penundaan tanpa batas waktu. Tapi ia tetap berusaha berpikir positif, meyakinkan dirinya sendiri bahwa Nara memang sedang sibuk, bukan sengaja menjauhinya.

Keadaan semakin berat bagi Raka ketika ia mulai merasa bahwa segala usahanya tidak dihargai. Dalam berbagai kesempatan, ia melihat Nara lebih sering bersama Arga, baik di acara formal maupun saat santai. Bahkan, ada beberapa teman yang mulai menyarankan Raka untuk melepaskan Nara.

“Ka, lo udah berjuang cukup lama. Mungkin sekarang waktunya buat lo mikirin diri sendiri,” kata Adi, sahabatnya, suatu malam.

“Gue nggak bisa, Di. Gue nggak mau nyerah,” jawab Raka dengan suara lirih.

“Tapi lo juga harus sadar, nggak semua hal bisa lo paksain. Kalau Nara emang lebih nyaman sama Arga, lo harus bisa terima kenyataan.”

Kata-kata itu menghantam hati Raka seperti petir. Ia tahu bahwa ada kemungkinan besar Nara lebih memilih Arga, tapi ia tidak ingin menyerah tanpa memberikan semua yang ia miliki.

Momen yang Menghancurkan Hati

Puncak dari rasa sakit Raka terjadi ketika ia secara tidak sengaja mendengar percakapan antara Nara dan Arga di ruang organisasi seni. Saat itu, Raka sedang mencari beberapa berkas untuk keperluan tugas, namun langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara Nara.

“Arga, aku senang banget bisa kerja bareng kamu. Kamu selalu bikin semuanya terasa lebih mudah,” kata Nara dengan nada ceria.

“Gue juga senang, Na. Lo itu partner terbaik yang pernah gue punya,” jawab Arga dengan senyum.

Mendengar percakapan itu, Raka merasa seperti terhantam ribuan jarum. Ia ingin masuk ke ruangan itu dan berbicara langsung dengan Nara, tapi ia tahu bahwa itu hanya akan memperburuk keadaan.

Malam itu, Raka menghabiskan waktu sendirian di taman kampus. Ia merenungkan semua yang telah ia lalui, semua pengorbanan yang telah ia lakukan, dan semua harapan yang perlahan mulai sirna.

Di tengah kegalauan Raka, sebuah kesempatan tiba-tiba datang. Ketua organisasi seni mengumumkan bahwa akan ada program pelatihan seni di luar kota, dan mereka membutuhkan seseorang untuk menjadi koordinator logistik. Tanpa berpikir panjang, Raka mendaftarkan diri.

Keputusan itu diambil bukan hanya untuk membuktikan bahwa ia masih berkontribusi, tetapi juga untuk mengalihkan pikirannya dari Nara.

Program pelatihan itu berlangsung selama satu minggu, dan selama waktu itu, Raka mencoba fokus pada tugasnya. Ia berusaha melupakan rasa sakit yang ia rasakan dan mencoba membangun kembali kepercayaan dirinya.

Namun, di hari terakhir pelatihan, Raka menerima pesan dari Nara.

“Raka, kamu di mana? Aku butuh bicara sama kamu.”

Pesan itu membuat hati Raka berdebar. Ia tidak tahu apa yang ingin Nara bicarakan, tetapi ia merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk memperjelas semua perasaan yang selama ini ia pendam.

Konfrontasi yang Mengubah Segalanya

Ketika Raka kembali ke kampus, ia segera menemui Nara. Mereka bertemu di kafe kecil tempat mereka biasa berbincang.

“Maaf aku baru hubungi kamu sekarang, Raka,” kata Nara membuka percakapan. “Aku tahu aku udah banyak nyusahin kamu selama ini.”

“Bukan masalah, Na. Aku selalu senang bantu kamu,” jawab Raka dengan nada tulus.

“Tapi aku merasa bersalah, Raka. Aku tahu kamu udah banyak berkorban buat aku, tapi aku takut aku nggak bisa kasih apa yang kamu harapkan,” kata Nara sambil menunduk.

Raka terdiam. Ia tahu bahwa ini adalah saat yang ia tunggu-tunggu, tetapi ia juga takut mendengar apa yang akan Nara katakan selanjutnya.

“Aku nggak mau kehilangan kamu, Raka. Kamu itu orang yang penting buat aku. Tapi aku juga nggak mau kamu terluka karena aku,” lanjut Nara dengan suara gemetar.

Mendengar itu, Raka merasa campur aduk. Di satu sisi, ia merasa senang karena Nara mengakui pentingnya dirinya. Tapi di sisi lain, ia sadar bahwa perasaan Nara mungkin tidak sekuat perasaannya.

“Nara, aku cuma mau kamu tahu satu hal. Aku tulus sayang sama kamu, dan aku nggak pernah mengharapkan apa-apa sebagai balasan. Aku cuma mau lihat kamu bahagia, apapun itu,” kata Raka dengan suara penuh emosi.

Nara terdiam, dan air mata mulai mengalir di pipinya. “Terima kasih, Raka. Kamu adalah salah satu hal terbaik yang pernah aku punya.”

Setelah pertemuan itu, Raka merasa lega karena akhirnya ia bisa mengungkapkan perasaannya. Namun, ia juga menyadari bahwa cinta tidak selalu berarti memiliki.

Ia memutuskan untuk memberi ruang kepada Nara, membiarkannya menemukan kebahagiaannya sendiri, meskipun itu berarti ia harus melepaskan gadis yang ia cintai.

Raka tahu bahwa ujian ini bukan hanya tentang membuktikan cintanya kepada Nara, tetapi juga tentang membuktikan bahwa ia bisa mencintai tanpa mengharapkan balasan.

Bab 6: Pertarungan Hati

Setelah percakapan emosional antara Raka dan Nara, kehidupan Raka berubah menjadi arena pertarungan batin yang terus menerus. Ia berada di persimpangan antara melanjutkan perjuangannya atau merelakan Nara untuk menemukan kebahagiaannya sendiri. Namun, semakin ia mencoba mencari jawaban, semakin sulit baginya untuk menentukan pilihan.

Hari-hari setelah pertemuan mereka di kafe dipenuhi dengan kebingungan dan rasa tidak menentu. Raka masih berusaha mendekati Nara, tetapi ia melakukannya dengan cara yang lebih hati-hati, mencoba tidak terlalu menekan gadis itu. Namun, setiap kali ia melihat Nara bersama Arga, rasa cemburu yang ia coba redam kembali mengemuka.

Pada suatu sore, Raka duduk di taman kampus bersama Adi. Mereka berbicara tentang banyak hal, tetapi topik tentang Nara selalu mendominasi.

“Ka, gue ngerti lo sayang banget sama Nara. Tapi lo nggak capek?” tanya Adi sambil menyeruput kopinya.

“Capek, Di,” jawab Raka sambil menatap langit. “Tapi gimana gue bisa berhenti? Gue udah terlalu jauh masuk ke dalam ini semua.”

Adi menghela napas. “Lo harus tanya sama diri lo sendiri, Ka. Apa yang sebenarnya lo cari? Lo mau Nara bahagia, atau lo mau dia sama lo?”

Pertanyaan itu membuat Raka terdiam. Ia tahu bahwa apa yang ia inginkan adalah kebahagiaan Nara. Namun, ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ia juga ingin menjadi alasan di balik kebahagiaan itu.

Semakin hari, hubungan antara Nara dan Arga tampak semakin dekat. Mereka tidak pernah secara terbuka menyatakan bahwa mereka memiliki hubungan spesial, tetapi kebersamaan mereka cukup untuk membuat orang-orang di sekitar mereka berasumsi.

“Arga itu orang yang luar biasa, ya, Ka?” kata Nara suatu hari saat mereka sedang berbincang ringan.

Raka tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa berat. “Iya, dia memang hebat.”

Nara tidak menyadari perubahan nada suara Raka. Ia terus berbicara tentang Arga dengan antusias, menggambarkan betapa berbakat dan menyenangkannya pria itu.

Bagi Raka, setiap kata yang keluar dari mulut Nara terasa seperti pisau yang menusuk hati. Namun, ia tidak ingin menunjukkan rasa sakitnya. Ia memilih untuk tersenyum dan mendengarkan, meskipun hatinya berteriak ingin menghentikan pembicaraan itu.

Beberapa hari kemudian, Raka menerima sebuah surat dari Nara. Surat itu ditempelkan di lokernya, tanpa nama pengirim, tetapi ia tahu bahwa tulisan tangan itu adalah milik Nara.

“Raka,

Aku tahu aku telah banyak menyakitimu, meskipun aku tidak pernah berniat melakukannya. Aku tahu kamu adalah orang yang selalu ada untukku, bahkan saat aku tidak sadar betapa pentingnya kehadiranmu.

Tapi ada sesuatu yang ingin aku jujur kepadamu. Aku merasa bahwa aku mulai melihat Arga sebagai lebih dari sekadar teman. Aku tidak tahu bagaimana perasaan ini muncul, tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri.

Aku harap kamu bisa mengerti. Aku tidak ingin kehilangan kamu sebagai teman, tetapi aku juga tidak ingin menyakitimu lebih jauh.

Terima kasih untuk semuanya, Raka. Kamu adalah orang yang luar biasa, dan aku berharap kamu bisa menemukan kebahagiaanmu sendiri.

Nara”

Raka membaca surat itu berulang kali. Setiap kata dalam surat itu seperti menambah luka di hatinya. Ia tahu bahwa ini adalah kenyataan yang harus ia hadapi, tetapi menerimanya tidak semudah yang ia bayangkan.

Malam itu, Raka mengunci dirinya di kamar. Ia merenungkan setiap momen yang telah ia lalui bersama Nara, setiap usaha yang ia lakukan untuk mendekati gadis itu, dan setiap harapan yang kini terasa hancur.

“Apa gue harus menyerah?” pikir Raka dalam hati.

Ia merasa terjebak dalam konflik antara logika dan perasaan. Logikanya mengatakan bahwa ia harus merelakan Nara, bahwa tidak ada gunanya mempertahankan sesuatu yang tidak mungkin. Namun, hatinya masih ingin berjuang, meskipun ia tahu bahwa perjuangan itu mungkin sia-sia.

Keesokan harinya, Adi datang ke kamar Raka. Ia tahu bahwa sahabatnya sedang dalam kondisi yang tidak baik, dan ia ingin memberikan dukungannya.

“Ka, gue tahu lo lagi berat banget sekarang. Tapi lo harus ingat, hidup lo nggak cuma tentang Nara,” kata Adi dengan nada tegas.

Raka mengangguk pelan. “Gue tahu, Di. Tapi rasanya sulit banget buat gue ngelepasin dia.”

“Lo harus kasih waktu buat diri lo sendiri, Ka. Kadang, yang terbaik buat kita adalah berhenti berusaha dan mulai menerima kenyataan.”

Kata-kata Adi membuat Raka mulai berpikir. Mungkin benar bahwa ia membutuhkan waktu untuk menyembuhkan dirinya sendiri, untuk melepaskan beban yang selama ini ia pikul.

Beberapa hari kemudian, Raka memutuskan untuk bertemu dengan Nara. Ia ingin berbicara untuk terakhir kalinya sebelum memutuskan apa yang harus ia lakukan.

Mereka bertemu di taman kampus, tempat yang sering menjadi saksi bisu kebersamaan mereka.

“Nara, aku cuma mau bilang satu hal,” kata Raka dengan suara tenang. “Aku sayang sama kamu, dan aku selalu ingin yang terbaik buat kamu. Kalau Arga adalah orang yang bisa bikin kamu bahagia, aku akan terima itu.”

Nara terkejut mendengar kata-kata itu. “Raka, aku nggak mau kehilangan kamu.”

“Kamu nggak akan kehilangan aku, Nara. Aku akan selalu ada buat kamu, sebagai teman. Tapi aku juga harus belajar untuk merelakan,” ujar Raka dengan senyum tipis.

Percakapan itu berakhir dengan pelukan singkat antara mereka. Raka merasa bahwa itu adalah akhir dari perjuangannya, tetapi juga awal dari perjalanan baru untuk menemukan kebahagiaan yang lain.

Bab 7: Keputusan Terberat

Setelah percakapan terakhirnya dengan Nara, Raka tahu bahwa ia sedang berada di titik balik hidupnya. Perasaannya tidak hanya tentang mencintai Nara, tetapi juga tentang menerima kenyataan dan menentukan arah hidupnya. Namun, keputusan untuk melangkah maju ternyata tidak sesederhana yang ia bayangkan.

Pagi itu, Raka berjalan menyusuri koridor kampus dengan langkah berat. Ia merasa kosong, seolah-olah sebagian dari dirinya telah hilang setelah mengungkapkan perasaannya dan menerima kenyataan bahwa Nara tidak akan pernah menjadi miliknya.

Namun, kehidupan terus berjalan. Nara dan Arga semakin dekat, dan hubungan mereka tampaknya mulai menjadi perbincangan di kalangan mahasiswa. Raka berusaha untuk tidak peduli, tetapi setiap kali ia melihat mereka bersama, hatinya terasa remuk.

Adi, sahabatnya, terus berada di sisinya, memberikan dukungan yang tak pernah habis. “Ka, lo udah ambil keputusan yang benar. Lo harus kasih waktu buat diri lo sendiri. Jangan terlalu keras sama diri lo,” katanya suatu malam.

Raka hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Ia tahu bahwa Adi benar, tetapi perasaan kehilangan itu terlalu sulit untuk diabaikan.

Meski Raka berusaha mengalihkan pikirannya, kenangan tentang Nara terus menghantuinya. Setiap sudut kampus mengingatkannya pada momen-momen mereka bersama—tertawa, bercanda, dan berbicara tentang mimpi-mimpi mereka.

Suatu hari, Raka memutuskan untuk berjalan ke taman kampus, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Ia duduk di bangku yang biasa mereka tempati, menatap pepohonan yang bergoyang ditiup angin.

Ia teringat ketika Nara pertama kali bercerita tentang mimpinya menjadi seniman besar. “Aku pengen bikin karya yang bisa bikin orang merasa terinspirasi,” kata Nara dengan mata berbinar.

Raka tersenyum kecil mengingat itu, tetapi senyum itu segera menghilang, digantikan oleh rasa sakit di hatinya. Ia tahu bahwa ia harus melepaskan semua kenangan itu jika ingin melangkah maju.

Sore itu, ketika Raka sedang duduk di perpustakaan, Arga tiba-tiba menghampirinya. Raka terkejut dengan kedatangan pria itu, karena mereka jarang berbicara secara langsung.

“Raka, gue boleh ngomong sebentar?” tanya Arga dengan nada serius.

Raka mengangguk, meskipun ia merasa canggung.

Arga duduk di hadapannya dan menghela napas. “Gue tahu lo udah banyak berkorban buat Nara. Gue juga tahu perasaan lo ke dia. Gue nggak di sini buat bikin lo merasa kalah atau apapun.”

Raka menatap Arga dengan mata tajam, tetapi ia memilih untuk tetap diam.

“Gue cuma mau bilang, gue ngerti gimana beratnya posisi lo. Tapi gue janji, gue akan jaga Nara sebaik mungkin. Gue nggak akan bikin dia kecewa,” lanjut Arga.

Mendengar itu, Raka merasa marah sekaligus lega. Marah karena Arga tampaknya begitu yakin bahwa Nara memilihnya, tetapi lega karena setidaknya pria itu menghargai perasaannya.

“Gue nggak minta apa-apa, Ga. Kalau lo bisa bikin dia bahagia, itu udah cukup buat gue,” jawab Raka akhirnya.

Percakapan itu berakhir dengan anggukan saling pengertian, tetapi hati Raka tetap terasa berat.

Ketika rasa sedihnya semakin sulit ditahan, Raka memutuskan untuk pulang ke rumah dan menghabiskan waktu bersama keluarganya. Ibunya, yang selalu peka terhadap perasaan anaknya, segera menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

“Kamu kenapa, Nak? Kelihatannya kamu lagi ada masalah,” tanya ibunya dengan lembut.

Raka akhirnya menceritakan semuanya—tentang cintanya pada Nara, perjuangannya, dan keputusan berat yang harus ia ambil.

Ibunya tersenyum dan menggenggam tangannya. “Nak, cinta itu bukan tentang memiliki. Kadang, mencintai berarti merelakan orang yang kita sayangi untuk menemukan kebahagiaan mereka sendiri. Tapi itu bukan berarti kamu harus berhenti hidup. Kamu masih punya banyak hal yang bisa kamu capai.”

Kata-kata itu memberikan kekuatan baru bagi Raka. Ia menyadari bahwa hidupnya tidak boleh berhenti hanya karena satu cinta yang tidak terbalas.

Setelah kembali ke kampus, Raka memutuskan untuk fokus pada dirinya sendiri. Ia mulai aktif dalam berbagai kegiatan organisasi, mengikuti pelatihan, dan bahkan mulai mencari peluang untuk mengembangkan dirinya di luar kampus.

Di saat yang sama, ia mulai menjaga jarak dari Nara. Bukan karena ia membencinya, tetapi karena ia tahu bahwa itu adalah cara terbaik untuk menyembuhkan dirinya sendiri.

Nara menyadari perubahan sikap Raka dan merasa kehilangan teman terbaiknya. Suatu hari, ia mengirim pesan kepada Raka.

“Raka, kenapa kamu menjauh? Aku merasa kita jadi asing sekarang.”

Raka membaca pesan itu dengan hati yang berat, tetapi ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang harus ia ambil. Ia tidak langsung membalas pesan itu, karena ia tahu bahwa kata-kata tidak akan cukup untuk menjelaskan perasaannya.

Waktu terus berlalu, dan lambat laun, Raka mulai menerima kenyataan. Ia masih mencintai Nara, tetapi cinta itu tidak lagi menyakitinya. Ia mulai melihatnya sebagai bagian dari perjalanan hidup yang telah membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih kuat.

Dalam suatu acara kampus, Raka berdiri di depan panggung, menerima penghargaan atas kontribusinya di bidang organisasi. Di tengah tepuk tangan yang meriah, ia melihat Nara di antara penonton. Gadis itu tersenyum bangga, dan Raka membalas senyum itu dengan tulus.

Untuk pertama kalinya, Raka merasa damai. Ia tahu bahwa ia telah mengambil keputusan yang benar, meskipun itu adalah keputusan terberat dalam hidupnya.*

Bab 8: Akhir yang Mengubah Segalanya

Waktu berlalu, membawa Raka pada sebuah akhir yang tak pernah ia duga. Perjalanan yang penuh emosi, perjuangan, dan pengorbanan akhirnya mencapai titik di mana segalanya akan berubah. Namun, ia tidak pernah membayangkan bahwa akhir ini bukan hanya tentang dirinya, melainkan juga tentang orang-orang di sekitarnya.

Suatu pagi, Raka sedang berjalan menuju perpustakaan untuk mempersiapkan proyek akhir studinya. Di tengah perjalanan, ia melihat seseorang yang tidak asing sedang duduk sendirian di taman kampus. Itu Nara, tetapi wajahnya tidak terlihat ceria seperti biasanya.

Raka ragu untuk menghampirinya. Ia sudah berusaha menjaga jarak selama berbulan-bulan, tetapi melihat Nara tampak murung membuat hatinya tergerak. Akhirnya, ia memutuskan untuk mendekati gadis itu.

“Nara? Kamu nggak apa-apa?” tanyanya dengan nada pelan.

Nara mendongak, terkejut melihat Raka. Namun, ia segera tersenyum, meskipun senyumnya terlihat dipaksakan. “Raka… Aku nggak nyangka kamu bakal nyapa aku.”

“Kamu kelihatan nggak baik. Ada yang mau kamu ceritain?”

Setelah beberapa saat terdiam, Nara mulai bercerita. Ternyata, hubungannya dengan Arga tidak berjalan seperti yang ia harapkan. Di balik sikap hangat dan perhatian Arga, ada sisi lain yang selama ini ia sembunyikan. Arga menjadi terlalu posesif, sering mengontrol kehidupannya, bahkan melarangnya untuk bergaul dengan teman-temannya.

“Aku merasa terjebak, Ra. Aku pikir dia orang yang tepat, tapi ternyata aku salah,” kata Nara dengan mata berkaca-kaca.

Raka mendengarkan dengan penuh perhatian. Meski hatinya sakit mendengar penderitaan Nara, ia tidak ingin menyalahkan keadaan.

“Kalau kamu merasa nggak bahagia, kamu punya hak untuk keluar dari situasi itu, Na. Jangan biarkan dirimu terjebak hanya karena kamu takut menyakiti orang lain,” ujar Raka dengan tulus.

Nara mengangguk pelan, tetapi Raka tahu bahwa keputusan itu tidak akan mudah bagi Nara.

Beberapa hari kemudian, kabar tentang hubungan Nara dan Arga yang mulai retak menyebar di kalangan teman-teman mereka. Arga, yang merasa bahwa Nara mulai menjauh, menjadi semakin keras dan menekan. Suatu malam, Raka menerima pesan dari Nara.

“Raka, aku butuh bantuanmu. Bisa ketemu sekarang?”

Tanpa berpikir dua kali, Raka langsung setuju. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil dekat kampus, tempat yang jauh dari keramaian. Nara terlihat gugup, dan Raka bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang serius sedang terjadi.

“Aku udah bilang ke Arga kalau aku mau putus,” kata Nara dengan suara gemetar. “Tapi dia nggak terima. Dia bilang dia nggak akan membiarkan aku pergi begitu saja.”

Raka mengepalkan tangannya. Ia merasa marah, tetapi ia tahu bahwa ia harus tetap tenang untuk membantu Nara.

“Na, kamu nggak sendiri. Kalau dia terus mengganggumu, kamu harus bilang ke pihak kampus atau bahkan polisi. Gue juga akan bantu lo sebisa gue,” kata Raka dengan tegas.

Nara tersenyum lemah. “Terima kasih, Raka. Aku nggak tahu apa jadinya kalau kamu nggak ada.”

Keesokan harinya, Raka mendengar bahwa Arga mencarinya. Rupanya, Arga tahu bahwa Raka bertemu dengan Nara, dan ia merasa bahwa Raka mencoba mencampuri urusannya.

“Raka!” panggil Arga dengan nada tinggi saat ia menemui Raka di depan perpustakaan.

Raka menoleh, melihat Arga mendekat dengan wajah marah. “Ada apa, Ga?” tanyanya tenang.

“Lo pikir lo siapa, ikut campur urusan gue sama Nara?”

“Gue cuma bantu Nara. Dia yang minta bantuan gue,” jawab Raka dengan tegas.

“Dia itu cewek gue! Lo nggak ada hak buat deketin dia lagi!” bentak Arga.

Raka menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya. “Ga, kalau lo sayang sama Nara, lo harusnya ngerti apa yang dia butuhin. Kalau dia nggak bahagia sama lo, lo harus terima itu.”

Pertengkaran mereka menarik perhatian banyak orang, tetapi akhirnya Arga memilih pergi dengan kemarahan yang belum mereda.

Setelah kejadian itu, Nara akhirnya berhasil memutuskan hubungan dengan Arga. Meskipun prosesnya sulit, Nara merasa lega karena ia akhirnya bisa keluar dari hubungan yang membuatnya tidak bahagia.

Di sisi lain, Raka mulai merasa bahwa perasaannya terhadap Nara sudah tidak lagi sama. Ia masih peduli padanya, tetapi rasa cinta yang dulu begitu kuat kini telah berubah menjadi rasa sayang sebagai teman.

Mereka mulai kembali berbicara seperti dulu, tetapi kali ini tanpa harapan yang menggantung di hati Raka. Ia merasa bebas, dan untuk pertama kalinya, ia merasa damai dengan dirinya sendiri.

Dengan semua masalahnya yang perlahan selesai, Raka memutuskan untuk fokus pada impian dan masa depannya. Ia mulai mengejar kesempatan untuk melanjutkan studi ke luar negeri, sesuatu yang dulu hanya ia anggap sebagai angan-angan.

Saat ia mengurus semua persyaratan, Nara memberinya dukungan penuh. “Aku bangga sama kamu, Ra. Kamu udah melalui banyak hal, dan sekarang kamu ada di jalur yang tepat,” kata Nara suatu hari.

Raka tersenyum. “Terima kasih, Na. Kamu juga harus mulai mengejar mimpimu. Jangan biarkan apa yang terjadi kemarin menghalangi langkahmu.”

Mereka saling tersenyum, menyadari bahwa meskipun perjalanan mereka tidak berakhir seperti yang mereka bayangkan, mereka tetap memiliki tempat khusus di hati masing-masing.

Beberapa bulan kemudian, Raka berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Pada hari keberangkatannya, Nara datang ke bandara untuk mengucapkan selamat tinggal.

“Raka, aku mau bilang terima kasih untuk semuanya. Kamu udah jadi bagian penting dalam hidupku, dan aku nggak akan pernah lupa itu,” kata Nara dengan mata yang berkaca-kaca.

Raka tersenyum, menahan emosinya. “Aku juga, Na. Kamu udah ngajarin aku banyak hal. Aku harap kamu selalu bahagia.”

Mereka berpelukan untuk terakhir kalinya sebelum Raka melangkah pergi, membawa semua kenangan dan pelajaran yang ia dapatkan selama perjalanan panjangnya.

Di dalam pesawat, Raka melihat keluar jendela, menyadari bahwa ia telah melewati banyak hal yang membentuk dirinya. Akhir ini bukan hanya tentang meninggalkan Nara, tetapi juga tentang menemukan dirinya sendiri,***

                                         —THE END—

Source: Muhammad Reyhan Sandafa
Tags: berubah karena akhirhidup berubah setelah pertemuantulus yang sedang di uji
Previous Post

RAHASIA CINTA YANG TERLARANG

Next Post

KISAH CINTA YANG TERTUNDA

Related Posts

AKU TUNGGU KAMU KEMBALI

AKU TUNGGU KAMU KEMBALI

May 13, 2025
JODOHKU, SEMOGA BUKAN PHP

JODOHKU, SEMOGA BUKAN PHP

May 4, 2025
AKU CINTA, KAMU CUEK

AKU CINTA, KAMU CUEK

May 1, 2025
BUCIN TAK KENAL AKAL SEHAT

BUCIN TAK KENAL AKAL SEHAT

April 30, 2025
PERTEMUAN VIRTUAL YANG TAK TERDUGA

PERTEMUAN VIRTUAL YANG TAK TERDUGA

April 29, 2025
CINTA ATAU MIE INSTAN?

CINTA ATAU MIE INSTAN?

April 28, 2025
Next Post
KISAH CINTA YANG TERTUNDA

KISAH CINTA YANG TERTUNDA

JARAK YANG MEMBAWA RINDU

JARAK YANG MEMBAWA RINDU

MENCINTAI TANPA PILIHAN

MENCINTAI TANPA PILIHAN

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id