Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

DI BALIK JENDELA RINDU

DI BELIK JENDELA RINDU

SAME KADE by SAME KADE
March 11, 2025
in Cinta Pertama
Reading Time: 21 mins read
DI BALIK JENDELA RINDU

Daftar Isi

  • BAB  1 JENDELA YANG MEMBUKA HATI
  • BAB 2 RINDU YANG  TUMBUH DIAM-DIAM
  • BAB  3 JARAK YANG MENGUJI  PERASAAN
  • BAB 4 KEMBALI BERTEMU
  • BAB  5 MENGUNGKAP KAN PERASAAN
  • BAB  6 CINTA  YANG DI TRIMA
  • BAB  7 LANGKAH  BARU DALAM  CINTA

BAB  1 JENDELA YANG MEMBUKA HATI

Dina duduk di meja belajarnya, menatap lurus ke luar jendela kamar yang sudah cukup usang. Pemandangan kota yang terlihat dari jendela itu adalah hal yang selalu membuatnya merasa tenang. Di balik jendela, dunia tampak lebih luas, lebih bebas, dan lebih menenangkan dibandingkan dengan apa yang ada dalam hidupnya. Setiap kali ia merasa terjebak dalam rutinitas yang monoton, jendela itu menjadi tempat pelariannya. Tempat di mana ia bisa melepaskan segala beban di pikirannya, tanpa harus mengatakan sepatah kata pun pada siapapun.

Malam itu, seperti biasa, Dina memandangi langit yang mulai menggelap. Bintang-bintang perlahan muncul di langit yang mulai meredup, menyinari malam dengan cahaya kecil yang lembut. Dina membiarkan angin malam yang sejuk menyentuh wajahnya, mencoba menenangkan pikirannya yang dipenuhi keraguan dan kebingungannya.

Dia baru saja kembali dari sekolah. Hari itu berjalan seperti biasa, tidak ada yang istimewa. Namun, ada satu hal yang berbeda. Sejak pagi tadi, ada perasaan aneh yang menggelayuti hatinya. Sesuatu yang sulit ia jelaskan. Perasaan itu mulai tumbuh sejak pagi tadi ketika ia bertemu dengan Rian, teman sekelasnya yang baru saja ia kenal lebih dekat dalam beberapa bulan terakhir.

Rian, dengan senyumnya yang selalu ramah dan tatapan matanya yang penuh semangat, seolah-olah mampu membuat Dina merasa nyaman meskipun ia bukan tipe orang yang mudah berbicara dengan orang lain. Dina memang bukan tipe gadis yang banyak bicara. Ia lebih suka menyendiri, menikmati ketenangan, dan menghindari keramaian. Namun, ada sesuatu tentang Rian yang selalu menarik perhatiannya.

Pagi tadi, di kantin sekolah, Rian duduk di meja yang sama dengannya. Awalnya, Dina merasa canggung, karena biasanya ia makan sendirian. Namun, Rian, dengan kelincahannya, membuat Dina merasa lebih nyaman. Mereka mulai berbicara tentang tugas sekolah, tentang kegiatan ekstrakurikuler, dan tiba-tiba saja percakapan itu mengalir begitu saja. Dina merasa ringan dan tidak terbebani, seolah-olah pertemuan itu adalah hal yang sangat alami.

Tapi yang membuat Dina semakin bingung adalah perasaan yang mulai muncul. Setiap kali ia memikirkan Rian, hatinya berdebar sedikit lebih kencang. Setiap senyuman Rian terasa seperti membawa angin segar yang menenangkan hatinya. Dina tahu, perasaan seperti ini tidak muncul begitu saja. Ini adalah perasaan yang mulai tumbuh, meski ia tidak ingin mengakuinya. Cinta pertama, mungkin. Atau bisa jadi hanya perasaan kagum yang berlebihan. Tapi yang pasti, ia merasa ada sesuatu yang berbeda.

Saat duduk di depan jendela kamarnya, Dina memikirkan semua itu. Apa yang sebenarnya ia rasakan? Kenapa setiap kali melihat Rian, jantungnya seperti berdebar lebih kencang? Apakah itu cinta? Tetapi, bukankah itu terlalu cepat? Mereka baru saling mengenal, belum terlalu dekat. Mengapa perasaan ini bisa muncul begitu mendalam dan tak terduga?

Jendela itu, meskipun hanya selembar kaca yang terpasang di bingkai kayu, seperti menyimpan banyak makna bagi Dina. Jendela itu adalah tempat di mana ia bisa mengamati dunia dari kejauhan, tanpa harus terlibat langsung. Ia bisa melihat segalanya, tetapi tetap merasa terpisah. Sama seperti dirinya yang selalu menjaga jarak, tetapi tidak bisa menahan perasaan yang mulai tumbuh di dalam hati.

Ketika Dina menatap langit yang gelap, ia berpikir tentang bagaimana segala hal di dunia ini tampak begitu jauh, seperti bintang yang hanya bisa dilihat, namun tak bisa digapai. Begitu juga dengan perasaannya terhadap Rian. Itu adalah sesuatu yang indah, yang membuat hatinya berdebar, namun juga terasa jauh dan sulit dijangkau. Bagaimana jika perasaan itu hanya ada dalam khayalannya? Bagaimana jika Rian tidak merasakan hal yang sama?

Rindu itu mulai tumbuh dalam diam. Setiap kali ia bertemu Rian di sekolah, ada perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Rasa ingin dekat, rasa ingin selalu berada di dekatnya. Perasaan itu semakin kuat setiap kali Rian melontarkan senyuman atau memberi perhatian kecil yang tidak pernah Dina minta. Itu adalah hal-hal kecil yang membuat Dina merasa berbeda, namun ia tidak bisa mengungkapkan perasaannya.

Dina tahu, ia harus melakukan sesuatu. Setidaknya, ia ingin tahu apakah perasaan itu hanya khayalan belaka ataukah memang ada sesuatu yang lebih dalam antara dirinya dan Rian. Namun, setiap kali ia berpikir untuk mengungkapkan perasaannya, ada ketakutan yang muncul. Bagaimana jika Rian tidak merasa sama? Bagaimana jika ia malah menjauhkan diri?

Di balik jendela kamarnya, Dina menyadari bahwa ia telah terjebak dalam perasaan yang sulit dipahami. Jendela itu, yang dulunya hanya tempat untuk melihat dunia dari kejauhan, kini menjadi simbol dari perasaannya yang tersembunyi. Ia ingin melangkah lebih dekat dengan perasaan itu, tetapi ia juga takut untuk membuka pintu hatinya.

Sore itu, Dina memutuskan untuk menutup jendela kamar. Angin malam yang semula sejuk kini terasa dingin di kulitnya. Tetapi meskipun jendela itu tertutup, perasaan yang tumbuh di dalam dirinya tidak bisa ditahan. Ia tahu bahwa perasaan ini adalah bagian dari perjalanan hidupnya. Cinta pertama memang selalu datang dengan kebingungannya, tetapi itu adalah sesuatu yang indah, sesuatu yang patut untuk dijalani.

Malam itu, saat Dina terlelap dalam tiduran, ia tahu bahwa besok adalah hari yang baru. Dan mungkin, hari itu akan membawa jawabannya. Perasaan yang tumbuh di balik jendela rindu ini akan membawa Dina untuk menemukan jawabannya, tentang apa yang sebenarnya ia rasakan terhadap Rian.*

BAB 2 RINDU YANG  TUMBUH DIAM-DIAM

Seiring berjalannya waktu, Dina dan Rian semakin sering berinteraksi. Meskipun keduanya memiliki kepribadian yang berbeda, ada sesuatu yang membuat mereka saling menarik. Dina, yang biasa tertutup dan pendiam, mulai merasa lebih terbuka di sekitar Rian. Rian, dengan senyum cerianya, selalu berhasil membuat Dina merasa nyaman. Namun, di balik senyum itu, ada perasaan yang tumbuh diam-diam dalam hati Dina. Rindu yang tidak bisa ia ungkapkan, tetapi semakin menguasai pikirannya.

Setiap kali Dina melihat Rian tertawa, entah itu di kelas atau di luar kelas, hatinya berdebar. Ada rasa hangat yang mengalir di dalam dirinya, tetapi ia tak tahu bagaimana cara menjelaskan perasaan itu. Dina tahu, perasaan ini bukan sekadar rasa kagum biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, meskipun ia tak ingin mengakuinya. Dalam diam, ia mulai mengingat Rian setiap kali ia menyendiri. Ketika malam datang dan Dina duduk di depan jendela kamarnya, pemandangan kota yang gelap membuat pikirannya melayang pada sosok Rian.

Rindu yang tumbuh itu bukanlah sesuatu yang bisa ia kendalikan. Setiap kali Rian melintas di depan kelas atau ketika mereka berbicara sebentar di koridor, Dina merasa ada getaran yang tak bisa ia pungkiri. Rian mungkin tidak tahu, tetapi Dina mulai merasakan ketergantungan pada kehadirannya. Hal itu membuatnya bingung, karena ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.

Hari demi hari berlalu, dan perasaan Dina semakin kuat. Ia sering kali merasa gelisah jika tidak melihat Rian seharian. Ia mulai mencari alasan untuk bisa bertemu dengannya, meskipun hanya untuk sekadar berbicara tentang tugas atau pelajaran. Setiap percakapan itu menjadi momen berharga, meskipun hanya beberapa menit. Namun, dalam setiap detik kebersamaan itu, Dina merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar obrolan biasa.

Kadang, Dina merasa malu mengakui perasaannya. Bagaimana mungkin seorang gadis seperti dirinya bisa jatuh cinta pada seorang pria seperti Rian? Rian selalu tampak begitu sempurna di mata Dina—terlalu ceria, terlalu percaya diri. Sementara itu, Dina merasa dirinya jauh dari sempurna. Ia adalah seorang gadis yang biasa saja, yang lebih suka menghabiskan waktu sendirian dengan buku-buku daripada bergaul dengan orang banyak. Namun, ada sesuatu dalam diri Rian yang membuatnya merasa penting, meskipun ia tidak pernah mengatakan apa-apa.

Di malam hari, saat Dina duduk di kamarnya dan menatap keluar jendela, ia berpikir tentang segala sesuatu yang telah terjadi. Jendela itu seolah menjadi tempat di mana perasaannya bisa bebas. Dina bisa menatap bintang-bintang, berpikir tentang Rian, dan merasakan rindu yang tak terucapkan. Setiap kali ia melamun tentang Rian, perasaan itu semakin kuat dan semakin sulit untuk diabaikan.

“Apa yang terjadi padaku?” Dina sering kali bertanya pada dirinya sendiri, namun jawabannya selalu sama: ia merasa rindu, dan itu sudah cukup mengganggu pikirannya. Setiap kali Rian berada di dekatnya, hatinya berdegup kencang, dan saat ia tak ada, Dina merasa hampa. Entah kenapa, perasaan itu datang begitu saja, seperti musim yang tak terduga.

Meski demikian, Dina berusaha menahan perasaan itu. Ia tahu bahwa mengungkapkan perasaan pada Rian bukanlah hal yang mudah. Bagaimana jika ia ditolak? Bagaimana jika Rian tidak merasakan hal yang sama? Semua pertanyaan itu terus menghantui Dina. Ia tidak ingin merusak hubungan pertemanan mereka yang sudah terjalin dengan baik hanya karena perasaan yang tak bisa dijelaskan.

Namun, di sisi lain, Dina juga merasa ada semacam dorongan untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya. Setiap kali mereka berbicara, setiap kali mereka tertawa bersama, ia merasa semakin dekat dengan Rian. Perasaan itu tumbuh begitu alami, tanpa ada yang bisa menghentikannya. Ia merasa seperti terjebak di antara perasaan takut dan keinginan untuk lebih dekat dengan Rian.

Di sekolah, Dina sering melihat Rian dikelilingi oleh teman-temannya. Mereka bercanda, tertawa, dan sepertinya menikmati kebersamaan mereka. Dina merasa senang melihat Rian bahagia, meskipun kadang ada perasaan cemburu yang datang begitu saja. Rian tampaknya selalu dikelilingi orang-orang, dan Dina hanya bisa menjadi penonton dari jauh. Meski demikian, setiap kali Rian melemparkan senyum padanya, perasaan itu kembali menyala.

Rindu yang tumbuh ini, meskipun tidak diungkapkan, semakin mempengaruhi cara Dina melihat dunia di sekitarnya. Ia mulai menghargai setiap momen kecil yang ia bagikan bersama Rian, meskipun hanya sekadar saling bertukar pandang atau berbicara tentang pelajaran. Baginya, setiap detik bersama Rian adalah sebuah hadiah yang tidak bisa didapatkan dari siapa pun selain dirinya.

Pada suatu hari, saat mereka selesai mengikuti kelas seni, Rian menghampiri Dina yang sedang duduk sendirian di taman sekolah. Ia tersenyum dan bertanya, “Dina, lagi apa? Kok kelihatan serius banget?”

Dina terkejut, tapi kemudian tersenyum malu-malu. “Nggak, cuma mikirin tugas seni aja,” jawabnya.

Rian duduk di sebelahnya. “Tugas seni? Kalau kamu butuh bantuan, bisa tanya aku lho.”

Dina tersenyum, meskipun hatinya berdebar. Rian yang datang menghampirinya, walaupun hanya untuk menawarkan bantuan tentang tugas seni, sudah cukup membuat Dina merasa bahagia. Setiap kata yang diucapkan Rian terasa seperti angin segar yang menyentuh hatinya.

“Aku nggak tahu kenapa aku merasa senang setiap kali ngobrol sama kamu,” Dina berkata pelan, hampir seperti bisikan. Tanpa disadari, ia mengungkapkan perasaan yang telah lama ia simpan dalam hati. Rian menatapnya dengan penuh perhatian, seolah menunggu kelanjutan dari kalimat itu.

Namun, Dina tiba-tiba tersadar. “Ah, maksudku, aku cuma merasa nyaman,” katanya cepat, berusaha mengalihkan topik.

Rian tertawa ringan. “Aku juga merasa nyaman, Dina. Kamu orang yang enak diajak ngobrol.”

Namun, bagi Dina, kata-kata Rian itu seperti sebuah penghiburan. Meskipun Rian tidak langsung menyadari perasaan Dina, Dina merasa sedikit lega. Rindu yang tumbuh itu, meskipun diam-diam, mulai terungkap dengan cara yang lebih sederhana. Mungkin, cinta pertama memang tidak selalu harus diungkapkan dengan kata-kata, tetapi dengan setiap momen kecil yang mereka jalani bersama.

Dina tahu, perasaan ini akan terus tumbuh, perlahan dan diam-diam, di balik jendela hatinya.*

BAB  3 JARAK YANG MENGUJI  PERASAAN

Waktu terus berjalan, dan setiap detik yang berlalu membuat perasaan Dina semakin membingungkan. Cinta pertama itu tidak datang dengan cara yang mudah. Segala yang indah sering kali datang dengan ujian yang berat. Ujian terbesar dalam hubungan ini datang ketika Rian menerima kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar ke luar kota selama beberapa bulan.

Dina merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang ketika Rian berpamitan. Mereka berdua duduk di bangku taman yang biasa mereka kunjungi, menikmati senja yang mulai meredup. Dina mencoba untuk tampak tenang, meskipun hatinya dipenuhi dengan kecemasan. Kehilangan Rian, meskipun hanya sementara, terasa seperti sebuah beban yang tak mudah untuk dipikul.

“Aku nggak tahu harus gimana, Rian,” kata Dina, suaranya hampir berbisik, berusaha menahan air mata yang hampir saja menetes. “Aku nggak tahu apakah aku bisa bertahan tanpa kamu di sini.”

Rian mengangkat tangannya, mencoba menenangkan Dina. “Dina, ini cuma sementara. Aku nggak akan lama di sana. Kita tetap bisa komunikasi kok. Kamu nggak perlu khawatir.” Dia tersenyum, meskipun Dina bisa melihat sedikit kegugupan di matanya.

Namun, kata-kata itu tidak bisa mengurangi perasaan kosong yang mulai menguasai hati Dina. Ia merasa cemas tentang bagaimana mereka akan menghadapinya. Selama ini, hubungan mereka berjalan dengan penuh kebersamaan, setiap hari penuh dengan obrolan ringan dan tawa. Tapi sekarang, ada jarak yang menghalangi mereka, dan Dina tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.

Malam hari setelah kepergian Rian, Dina duduk di depan jendela kamarnya, menatap ke luar. Angin malam yang sejuk meniupkan daun-daun pohon di luar. Namun, rasa hampa tetap menguasai hatinya. Tidak ada lagi suara tawa Rian yang biasanya mengisi ruang hatinya. Tidak ada lagi pesan singkat yang datang setiap kali ia merasa kesepian. Semua itu terasa begitu jauh, seolah-olah dunia tiba-tiba berubah menjadi tempat yang lebih sunyi.

Hari-hari berlalu dengan lambat. Dina merasa waktu seperti berhenti saat Rian tidak ada di dekatnya. Mereka masih berhubungan melalui pesan singkat dan panggilan telepon, tetapi komunikasi itu tidak pernah sama. Setiap percakapan terasa lebih formal dan canggung. Dina merasa seperti ada dinding yang tak terlihat di antara mereka, meskipun mereka berusaha untuk tetap menjaga komunikasi. Tidak ada lagi tawa lepas atau candaan seperti dulu.

“Rian, aku merasa semuanya berbeda sekarang,” kata Dina dalam pesan yang ia kirimkan suatu malam. “Kenapa ya, semuanya jadi terasa begitu jauh?”

Rian membalas dengan cepat, tetapi jawabannya tidak memberikan kenyamanan yang Dina harapkan. “Aku tahu ini nggak mudah, Dina. Aku juga merasakannya. Tapi aku percaya kita bisa melewati ini.”

Namun, meskipun Rian berusaha meyakinkannya, Dina masih merasakan kekosongan yang semakin dalam. Jarak ini benar-benar menguji perasaannya. Apakah hubungan mereka hanya bisa bertahan selama mereka dekat? Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melewati jarak yang memisahkan?

Di tengah keraguannya, Dina menyadari bahwa dia mulai merindukan hal-hal kecil tentang Rian—suara tawa khasnya, cara Rian selalu membuatnya merasa lebih baik meskipun hari-hari terasa berat, bahkan hal-hal sederhana seperti tatapan mata Rian yang penuh perhatian. Semua itu hilang, dan Dina merasa sangat kehilangan.

Setiap malam, Dina duduk di depan jendela kamarnya, merenung. Jendela itu dulu adalah tempat di mana ia menghabiskan waktu dengan penuh harapan, membayangkan masa depan yang cerah bersama Rian. Namun sekarang, jendela itu seolah menjadi saksi bisu dari kebingungannya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan perasaannya. Ia merasa rindu, tetapi juga bingung tentang bagaimana melanjutkan hubungan ini tanpa kehadiran fisik Rian di dekatnya.

Hari-hari terus berjalan, dan Dina merasa semakin cemas. Dia mulai bertanya-tanya apakah Rian juga merasa kesulitan seperti yang dia rasakan. Apakah perasaan mereka masih sama? Apakah Rian benar-benar mencintainya ataukah jarak ini akan membuat perasaan mereka memudar?

Suatu malam, Dina akhirnya memutuskan untuk menulis surat untuk Rian. Surat yang tidak pernah ia kirimkan, tetapi hanya untuk dirinya sendiri. Ia menulis tentang rasa rindu yang tidak terungkapkan, tentang betapa kesepiannya ia tanpa kehadiran Rian, dan tentang ketakutannya akan perasaan yang mulai mengalir jauh darinya. Ketika Dina selesai menulis surat itu, ia merasa sedikit lebih lega. Menulisnya memberinya ruang untuk melepaskan perasaan yang selama ini ia pendam.

Beberapa hari kemudian, Dina mendapatkan pesan dari Rian. Pesan itu tidak seperti biasanya—lebih panjang, lebih terbuka. Rian berbicara tentang pengalamannya di luar kota, tentang kesulitan yang dia hadapi, dan betapa dia juga merindukan Dina. Ada kejujuran yang tidak pernah mereka ungkapkan sebelumnya. Rian mengakui bahwa meskipun dia jauh, dia tetap memikirkan Dina, dan perasaan mereka tetap kuat. Dia juga merasakan kesulitan dalam menjalani jarak ini, tetapi ia berusaha untuk tidak membiarkan hal itu mempengaruhi hubungan mereka.

“Maaf kalau aku belum bisa menjadi teman yang baik untuk kamu selama ini,” tulis Rian dalam pesan itu. “Aku cuma ingin kamu tahu, meskipun kita terpisah, aku tetap memikirkan kita. Aku yakin, kita bisa melewati semua ini.”

Dina merasa lega membaca pesan itu. Ketakutannya sedikit teredakan. Meskipun jarak masih memisahkan mereka, Dina mulai merasa bahwa hubungan mereka bisa bertahan. Cinta itu bukan hanya tentang kehadiran fisik, tetapi tentang bagaimana mereka saling mendukung dan terus menjaga komunikasi. Dina merasa lebih kuat setelah membaca pesan itu. Mungkin mereka akan menghadapi banyak ujian, tetapi mereka sudah memiliki dasar yang kuat untuk bertahan.

Dina tersenyum, memandangi jendela di kamarnya. Kali ini, dia tidak merasa sendirian. Cinta mereka masih ada, meskipun jarak yang menguji. Seiring waktu, Dina menyadari bahwa dalam setiap ujian, cinta yang sejati akan selalu menemukan jalannya, bahkan jika itu harus melewati rintangan yang besar.*

BAB 4 KEMBALI BERTEMU

Hari itu terasa berbeda bagi Dina. Setiap langkah yang ia ambil seakan membawa rasa haru yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sudah beberapa bulan berlalu sejak Rian pergi mengikuti program pertukaran pelajar ke luar kota. Waktu terasa lambat bagi Dina, dan hari-hari yang dilalui tanpa Rian mengisi hati dengan kerinduan yang mendalam. Meskipun mereka terus berkomunikasi melalui pesan singkat dan telepon, tetap ada jarak yang membuat Dina merasa sedikit kesepian. Namun, hari ini—hari yang dinantikan—akhirnya tiba. Rian akan kembali.

Dina tidak tahu pasti apa yang harus ia rasakan. Apakah kegembiraan? Ataukah kecemasan yang tiba-tiba menyelinap masuk ke dalam dirinya? Semua perasaan itu bercampur aduk di hatinya. Ia ingin bertemu dengan Rian, tapi di sisi lain, ia juga merasa takut. Takut jika perasaan mereka sudah berubah, takut jika ada hal yang tidak bisa dikembalikan lagi setelah waktu yang lama berlalu.

Ia menatap dirinya di cermin, mencoba menenangkan diri. Penampilannya terlihat biasa saja, dengan rambut yang sedikit acak-acakan dan pakaian yang sederhana. Namun, di dalam dirinya, ada perasaan yang lebih besar dari sekadar penampilan. Ada rasa harap yang tumbuh, berharap agar pertemuan ini bisa berjalan dengan baik dan mengembalikan kebersamaan yang dulu mereka rasakan.

Pukul empat sore, Dina sudah berdiri di depan gerbang sekolah. Ia melihat sekeliling, menanti kedatangan Rian. Ada rasa tidak sabar yang menggelora dalam dirinya, namun juga ada sedikit kecanggungan yang ia rasakan. Meskipun mereka sudah sering berkomunikasi selama beberapa bulan terakhir, pertemuan langsung selalu terasa berbeda.

Beberapa menit kemudian, Dina melihat seorang pria dengan postur tegap berjalan ke arahnya. Rian. Hatinya berdebar-debar begitu melihat sosok itu mendekat. Rian mengenakan jaket biru tua dan celana jeans yang kasual, membawa tas ransel di punggungnya. Ada senyum khas Rian yang menghiasi wajahnya, senyum yang selalu membuat Dina merasa hangat dan nyaman. Meskipun waktu telah membuatnya sedikit berubah—ada ekspresi kedewasaan yang lebih terlihat di wajahnya—Dina tetap bisa mengenali Rian yang dulu.

“Hey, Dina,” sapa Rian dengan suara yang lembut namun ceria, matanya berkilau seperti biasanya.

Dina merasa seperti waktu berhenti sejenak. Senyum Rian yang tulus menghapus semua kecemasannya. “Rian,” Dina menjawab, suara sedikit bergetar meski ia berusaha terlihat tenang. “Kamu akhirnya kembali.”

Rian tertawa pelan, menatap Dina dengan penuh perhatian. “Iya, setelah berbulan-bulan, akhirnya aku kembali. Aku kangen banget sama kamu.”

Dina merasakan kehangatan dalam kata-kata itu. Rindu yang mereka rasakan selama ini akhirnya terjawab. Meskipun mereka tidak bisa merasakan kebersamaan setiap hari seperti dulu, Dina tahu bahwa perasaan itu tidak pernah benar-benar hilang. Ada sesuatu yang tetap bertahan, meskipun jarak telah memisahkan mereka.

Mereka mulai berjalan bersama menuju taman dekat sekolah, tempat yang dulu sering mereka kunjungi saat waktu senggang. Suasana sekitar terlihat lebih cerah, seolah-olah ikut merayakan kembalinya Rian. Mereka berjalan dengan langkah yang santai, kadang saling tertawa, kadang terdiam dalam keheningan yang nyaman. Dina merasa seakan-akan tidak ada waktu yang terbuang. Rian masih Rian yang ia kenal—penuh keceriaan dan perhatian, tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Dina merasakannya.

“Tentu saja aku kangen. Tapi ada yang berubah, ya?” tanya Dina, tiba-tiba merasa penasaran.

Rian menoleh ke Dina, menatapnya sejenak, lalu tertawa pelan. “Apa maksudmu, berubah bagaimana?”

“Seperti ada sesuatu yang berbeda. Kamu terlihat… lebih dewasa, lebih tenang,” jawab Dina, sedikit bingung dengan perasaannya sendiri.

Rian tersenyum dan mengangguk. “Iya, mungkin. Waktu di luar kota memberi banyak pelajaran baru. Aku jadi lebih banyak berpikir. Tentang hidup, tentang apa yang penting. Dan salah satu yang paling penting bagiku adalah… kamu.” Ia berhenti sejenak, menatap Dina dengan mata yang penuh makna.

Dina merasa pipinya memanas, dan ia menunduk sejenak untuk menghindari tatapan itu. Perasaan yang sudah lama tertahan kini mulai muncul kembali, dan ia merasa tak sanggup menahan kegembiraannya. “Aku juga merasa banyak hal berubah,” jawabnya, suara yang sedikit bergetar. “Tapi aku senang kamu kembali. Itu yang paling penting bagiku.”

Mereka duduk di bangku taman yang biasa mereka duduki, menikmati angin sore yang berhembus. Suasana ini terasa begitu familiar, seperti kembalinya segala kenangan indah yang pernah mereka alami. Dina merasakan kedamaian di hatinya, dan meskipun ada perasaan yang belum terungkap, ia tahu bahwa kebersamaan ini adalah sesuatu yang sangat berharga.

Rian menoleh ke Dina dan berkata dengan serius, “Dina, selama aku di sana, aku banyak berpikir tentang kita. Tentang kamu. Aku tahu kita masih muda, dan mungkin banyak hal yang harus kita pelajari. Tapi aku ingin kamu tahu, aku sangat menghargai setiap momen yang kita lewatkan bersama. Aku ingin lebih banyak waktu denganmu. Kalau kamu mau, tentu saja.”

Dina terdiam sejenak, hatinya dipenuhi dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Rasa rindu, kegembiraan, dan harapan bercampur aduk di dalam dirinya. “Aku juga merasa hal yang sama, Rian,” jawab Dina, akhirnya mengungkapkan perasaannya. “Aku rindu, aku senang kamu kembali, dan aku ingin kita bisa melanjutkan ini, kalau kita siap.”

Rian tersenyum, senyum yang Dina kenal begitu baik. “Kita sudah siap, Dina. Kita bisa melangkah bersama.”

Mereka duduk bersama, menikmati kebersamaan yang sederhana, namun penuh makna. Dina tahu bahwa meskipun ada banyak hal yang masih perlu mereka pahami, cinta mereka sudah cukup kuat untuk menghadapi apapun. Di balik pertemuan yang sederhana ini, ada banyak harapan yang tumbuh, dan mereka siap untuk menjalani perjalanan itu bersama-sama.

Saat matahari terbenam, Dina merasa bahwa segala yang terjadi selama ini—jarak yang memisahkan, waktu yang berjalan—semuanya membawa mereka ke titik ini, di mana mereka bisa kembali menemukan satu sama lain, dengan hati yang lebih terbuka dan penuh harapan.*

BAB  5 MENGUNGKAP KAN PERASAAN

Malam itu terasa lebih sepi dari biasanya. Dina duduk di meja belajarnya, menatap keluar jendela yang terbuka lebar. Angin malam yang lembut menyentuh pipinya, namun hatinya justru terasa panas. Sejak pengakuan Rian di taman dua minggu lalu, segala sesuatunya terasa berubah. Dina merasa ada ketegangan yang menggelayuti hari-harinya, seperti ada beban yang terus mengganjal di hatinya. Sebuah perasaan yang sulit untuk didefinisikan. Perasaan yang tidak lagi bisa disembunyikan.

Seperti biasa, Dina menatap pemandangan malam kota dari jendela kamar. Lampu-lampu jalanan yang berkilauan memberikan ketenangan tersendiri, namun perasaan dalam hatinya justru semakin membingungkan. Dia tidak bisa lagi menutup-nutupi apa yang telah tumbuh di dalam dirinya. Cinta. Perasaan yang datang begitu tiba-tiba dan melibatkan banyak kebingungan. Dina sudah tidak bisa lagi mengabaikan perasaan itu. Dia tahu harus ada sesuatu yang perlu diungkapkan, meskipun itu membuatnya takut dan ragu.

Akhirnya, malam itu, Dina memutuskan untuk menghubungi Rian. Ia sudah terlalu lama mempertahankan rasa ini sendiri. Pikirannya mulai bercabang, antara keinginan untuk tetap menjaga jarak atau akhirnya mengungkapkan apa yang dirasakannya. Tangannya mulai gemetar saat mengetik pesan di ponselnya. Kalimat itu tak kunjung selesai, seolah-olah ia takut jika kata-kata itu salah. Namun, akhirnya ia menekan tombol kirim.

“Rian, bisa ketemu? Ada yang ingin aku bicarakan.”

Dina memejamkan mata dan menunggu beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam. Tidak lama, pesan balasan dari Rian muncul di layar ponselnya.

“Sure, aku tunggu. Kapan?”

Dina merasa napasnya sedikit lebih ringan. Ada rasa lega, tetapi juga ada kekhawatiran yang semakin menyesakkan dadanya. Ia tahu pertemuan itu bisa mengubah segalanya. Keputusan ini, untuk mengungkapkan perasaan yang sudah lama ia pendam, bisa membawa mereka lebih dekat, atau justru menjauhkan mereka. Tapi satu hal yang pasti, Dina tidak bisa terus hidup dalam kebingungan seperti ini.

Malam itu, mereka bertemu di taman yang sama tempat mereka pertama kali menghabiskan waktu bersama beberapa minggu lalu. Dina duduk di bangku yang sama, menunggu Rian. Suasana malam yang tenang dan lampu-lampu taman yang berkelip memberikan nuansa yang penuh dengan harapan. Dina menarik napas panjang dan mencoba menenangkan pikirannya. Jantungnya berdegup kencang, seolah tahu bahwa malam ini akan menjadi titik balik dalam hidupnya.

Beberapa menit kemudian, Rian datang. Senyumnya tetap sama, namun Dina bisa melihat ketegangan di wajahnya. Mungkin ia merasakan ada sesuatu yang berbeda malam ini, seperti yang dirasakannya. Rian duduk di samping Dina, dan keduanya terdiam sejenak. Hanya suara desiran angin dan gemerisik daun yang terdengar.

“Dina, kamu terlihat serius malam ini,” kata Rian pelan, matanya menatap lurus ke depan, bukan langsung ke mata Dina. “Ada apa?”

Dina menoleh padanya, lalu menunduk. “Rian…” Suaranya terdengar agak pecah, namun ia berusaha keras untuk tetap tenang. “Aku… aku sudah memikirkan ini lama sekali. Tapi aku takut, takut kalau aku salah.”

Rian mengangkat alis, matanya penuh rasa penasaran. “Apa maksudmu? Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, kamu bisa ceritakan padaku.”

Dina merasakan tangannya mulai berkeringat, namun ia tahu saatnya sudah tiba untuk berbicara. Ia menatap mata Rian, berusaha mengumpulkan keberanian. “Aku… aku merasa ada sesuatu yang tumbuh di antara kita, Rian. Aku tidak bisa mengabaikannya lagi. Setiap kali kita bersama, aku merasa ada perasaan yang lebih dari sekadar teman.”

Rian terdiam, seolah-olah kata-kata Dina menyentuh hatinya. Namun, Dina bisa melihat ada sedikit kebingungan di mata Rian. “Dina, aku… aku nggak tahu harus bilang apa.”

Dina menunduk, wajahnya terasa memanas. “Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, dan aku nggak ingin membuatmu merasa tidak nyaman. Tapi, aku merasa harus mengatakan ini.” Dina menarik napas dalam-dalam. “Aku suka padamu, Rian. Aku lebih dari sekadar teman. Aku nggak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi… aku suka padamu.”

Suasana menjadi hening. Dina bisa merasakan ketegangan di udara. Semua kata-kata yang telah lama dia simpan akhirnya keluar. Jantungnya berdebar kencang, dan ia menunggu jawaban dari Rian. Waktu seakan berhenti, dan segala rasa takutnya terasa begitu nyata.

Rian memandang Dina dengan tatapan serius. “Dina…” Ia berhenti sejenak, seolah memikirkan kata-kata yang tepat. “Aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga merasa ada sesuatu yang berbeda di antara kita. Sejak kita mulai lebih sering ngobrol, ada perasaan yang sulit aku jelaskan. Tapi aku takut, takut kalau perasaan ini hanya sesaat.”

Dina menatapnya dalam-dalam. “Aku mengerti, Rian. Aku juga tidak tahu bagaimana perasaanmu sebenarnya. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa perasaan ini sudah lama ada, dan aku tak bisa menahannya lagi.”

Rian tersenyum lembut. “Aku senang kamu mengungkapkan perasaanmu. Aku juga tidak ingin membuatmu ragu. Aku tidak bisa janji kalau aku tahu bagaimana ini akan berakhir, tapi aku ingin kita coba, Dina. Kita bisa saling mengerti, kan?”

Dina merasa ada beban yang menghilang begitu saja. Senyuman terukir di wajahnya, dan hatinya mulai tenang. Mungkin ini bukan akhir dari cerita mereka, tapi ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang akan mereka jalani bersama, meskipun masih banyak ketidakpastian di depan. Tapi untuk saat ini, yang penting adalah mereka berani mengungkapkan perasaan mereka.

Di bawah bintang yang bersinar terang, Dina dan Rian duduk berdampingan, berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang ada di depan mereka. Tidak ada kata-kata besar yang perlu diucapkan. Cinta pertama mereka tumbuh dengan cara yang sederhana, namun penuh makna.

Semuanya terasa lebih ringan malam itu. Ada harapan di dalam hati mereka, dan itu adalah langkah pertama menuju sebuah perjalanan baru yang akan mereka jalani bersama.*

BAB  6 CINTA  YANG DI TRIMA

Setelah pengakuan yang tak terduga di taman itu, suasana di antara Dina dan Rian berubah begitu cepat. Dina merasa seperti beban berat yang selama ini mengendap di hatinya telah terlepas begitu saja, meski hatinya masih berdebar-debar dan penuh kebingungan. Cinta pertama memang selalu datang dengan segala keajaibannya, namun juga dengan segala keraguannya. Bagaimanapun, pengakuan itu telah membuka babak baru dalam hubungan mereka.

Setelah Rian mengungkapkan perasaannya, mereka berdua terdiam sejenak, mencerna apa yang baru saja terjadi. Dina tidak tahu harus berkata apa lagi. Rasanya, kata-kata yang selama ini terpendam begitu sulit keluar, dan ketika mereka akhirnya keluar, semuanya terasa begitu nyata, begitu hangat, dan pada saat yang sama juga terasa begitu baru. Tidak ada lagi keraguan yang menghantui Dina. Dia bisa merasakan bagaimana perasaan Rian yang sebenarnya.

“Aku nggak tahu harus berkata apa,” kata Dina akhirnya, suaranya tergetar, namun ada senyum bahagia yang menghiasi wajahnya. “Tapi aku… senang, Rian. Aku senang mendengarnya.”

Rian tersenyum lebar, senyuman yang penuh kelegaan dan kebahagiaan. “Aku juga, Dina. Aku takut, awalnya. Takut kamu nggak merasakannya. Tapi sekarang, aku merasa lebih ringan.”

Malam itu, mereka berbicara panjang lebar. Mereka saling berbagi cerita tentang segala hal yang telah mereka alami. Dina merasa bahwa dirinya tidak pernah merasa sedekat ini dengan seseorang sebelumnya. Mungkin itu adalah salah satu dari banyak keajaiban cinta pertama, yang datang begitu tak terduga, tetapi begitu membahagiakan. Mereka tidak membutuhkan kata-kata yang rumit atau janji-janji besar. Hanya dengan kehadiran satu sama lain, semuanya terasa lebih berarti.

Minggu-minggu berikutnya adalah masa yang penuh dengan kebahagiaan yang sederhana. Dina dan Rian semakin sering menghabiskan waktu bersama, lebih sering berbicara, tertawa, dan saling mendukung. Setiap pagi, Dina merasa ada kebahagiaan kecil yang mengisi hatinya ketika Rian mengirimkan pesan singkat, memberi semangat untuk menjalani hari. Pada sore hari, mereka bertemu di taman atau di kafe kecil yang sering mereka kunjungi, menghabiskan waktu bersama, bercerita tentang apapun, dari hal-hal ringan hingga impian dan harapan mereka di masa depan.

Dina merasa, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, cinta itu tidak terburu-buru. Cinta mereka tidak seperti kisah-kisah yang sering dia dengar tentang cinta yang penuh drama atau kejutan besar. Cinta mereka sederhana. Cinta mereka adalah tentang menerima segala kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Rian tidak pernah berusaha mengubah Dina. Dia menerima Dina apa adanya, dengan segala kecemasannya, dengan segala keraguannya. Dan Dina, untuk pertama kalinya, merasa diterima tanpa syarat.

Namun, di balik kebahagiaan itu, Dina juga mulai merasa adanya tanggung jawab yang baru. Dia mulai berpikir, bagaimana hubungan mereka ke depannya? Apakah mereka akan selalu bersama? Bagaimana jika ada hal-hal yang menguji cinta mereka? Semua pertanyaan itu mulai muncul dalam benaknya. Tetapi, dia tidak ingin terburu-buru. Dia ingin menikmati setiap detik kebersamaan dengan Rian tanpa terlalu banyak berpikir tentang apa yang akan datang.

Rian pun merasakan hal yang sama. Dia menyadari bahwa cinta yang tumbuh di antara mereka tidak datang dengan janji-janji kosong. Cinta mereka adalah tentang saling memberi ruang, saling memahami, dan membangun kepercayaan satu sama lain. Dia tidak pernah memaksakan Dina untuk menjadi seseorang yang berbeda. Dia tahu bahwa dalam cinta pertama, ada banyak ketidakpastian. Namun, dia juga tahu bahwa mereka bisa saling menghadapinya bersama.

Pada suatu malam, mereka duduk bersama di taman yang biasa mereka kunjungi. Bintang-bintang di langit seolah menjadi saksi bisu dari perasaan mereka yang baru saja berkembang. Dina dan Rian duduk berdekatan, saling berbagi cerita tentang masa depan, meskipun masa depan itu terasa begitu jauh dan penuh ketidakpastian.

“Apa yang kamu pikirkan tentang kita, Dina?” tanya Rian, suaranya lembut. “Maksudku, tentang hubungan ini.”

Dina menatap langit, merenung sejenak. “Aku tidak tahu, Rian. Tapi satu hal yang aku yakini, aku merasa lebih baik sekarang. Aku tidak lagi merasa sendirian. Dan aku ingin kita terus berjalan bersama, tanpa memikirkan terlalu jauh apa yang akan terjadi nanti.”

Rian mengangguk, lalu menggenggam tangan Dina dengan lembut. “Aku juga, Dina. Aku nggak ingin kita terburu-buru. Aku ingin kita menikmati perjalanan ini bersama. Aku ingin kita tumbuh bersama, dan melihat kemana perasaan ini akan membawa kita.”

Malam itu, mereka berbicara lebih banyak lagi tentang segala hal. Mereka tidak membicarakan tentang masa depan yang pasti, tetapi mereka berbicara tentang hal-hal kecil yang membuat mereka bahagia, hal-hal yang mungkin terlihat sepele bagi orang lain, tetapi bagi mereka, itu adalah bagian dari perjalanan cinta yang indah. Mereka berbicara tentang impian mereka, tentang bagaimana mereka ingin menjadi lebih baik, tentang bagaimana mereka ingin selalu ada untuk satu sama lain, apapun yang terjadi.

Hari demi hari berlalu, dan hubungan mereka semakin kuat. Tidak ada lagi keraguan di hati Dina. Dia tahu bahwa dia telah menemukan seseorang yang benar-benar memahami dirinya, yang bisa menerima dirinya apa adanya. Cinta yang diterima itu bukan hanya tentang perasaan, tetapi tentang pengertian yang dalam, tentang bagaimana kedua orang itu bisa saling mendukung dalam segala kondisi.

Mereka masih memiliki banyak hal yang harus dilalui. Namun, dengan cinta yang telah diterima oleh kedua belah pihak, mereka yakin bahwa apapun yang akan datang, mereka akan menghadapinya bersama. Karena cinta pertama mereka bukanlah sebuah kebetulan. Itu adalah sebuah perjalanan yang dimulai dari hati yang tulus, dan akan terus tumbuh, selamanya.*

BAB  7 LANGKAH  BARU DALAM  CINTA

Dina berdiri di depan jendela kamar yang selama ini menjadi saksi bisu perjalanan perasaannya. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Ia memandangi bintang-bintang yang bertaburan di langit, dan untuk pertama kalinya, perasaan rindu yang dulu begitu tajam, kini terasa lebih tenang, seolah-olah semuanya sudah berada pada tempat yang semestinya. Rian—orang yang selama ini ia pikir hanya ada dalam mimpinya, kini telah menjadi bagian dari kenyataan hidupnya.

Setelah mengungkapkan perasaan mereka beberapa waktu lalu, banyak hal yang berubah. Tidak ada lagi keraguan yang menghantui Dina setiap kali ia melihat Rian. Cinta mereka telah berkembang dengan cara yang sangat alami, seperti pohon yang tumbuh perlahan dari biji yang kecil namun kuat. Meskipun banyak yang masih harus mereka pelajari bersama, Dina merasa yakin bahwa ini adalah langkah pertama yang benar dalam perjalanan mereka.

Hari itu, mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di sebuah kafe kecil yang mereka temui beberapa minggu sebelumnya. Kafe itu sederhana, dengan dinding berwarna kuning pucat dan dekorasi vintage yang memberi kesan hangat. Di sana, mereka bisa berbicara tanpa ada gangguan dari dunia luar. Setiap kata yang keluar dari mulut Rian terasa begitu berarti, dan setiap senyuman yang Dina berikan terasa penuh makna.

Mereka duduk berhadapan, dengan cangkir kopi yang masih mengepul di meja. Rian tersenyum lebar, matanya bersinar penuh semangat. “Aku nggak pernah merasa seberuntung ini, Dina. Sejak kita memulai ini bersama, rasanya hidupku lebih lengkap. Aku merasa lebih kuat ketika kita bersama.”

Dina merasa jantungnya berdebar. Kalimat itu seperti sinar matahari yang menembus kegelapan hatinya, menghangatkan setiap sudut perasaan yang selama ini tertutup. Rian benar—hidup mereka kini sudah berbeda. Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebersamaan, ada ikatan yang kuat antara mereka. Mereka sudah melewati banyak hal bersama, dan setiap pengalaman itu semakin mempererat hubungan mereka.

“Aku juga merasa begitu, Rian,” jawab Dina dengan suara lembut. “Aku nggak pernah bayangkan kita bisa sampai di sini. Rasanya, setiap langkah yang kita ambil, semakin membuat aku yakin kalau kita memang ditakdirkan untuk saling menemani.”

Rian menyandarkan tubuhnya pada kursi, memandang Dina dengan penuh perhatian. “Jadi, apa yang kita lakukan sekarang, Dina? Apa langkah kita selanjutnya?”

Dina terdiam sejenak, memikirkan pertanyaan Rian. Selama ini, hubungan mereka berkembang begitu alami, tanpa banyak perencanaan. Namun, seiring berjalannya waktu, Dina merasa perlu untuk memastikan bahwa langkah mereka ke depan tidak hanya berdasarkan perasaan semata, tetapi juga komitmen yang lebih dalam. Meskipun cinta pertama sering kali penuh dengan keraguan dan kebingungan, mereka kini sudah dewasa dalam menjalani hubungan ini.

“Aku rasa kita harus mulai merencanakan masa depan, Rian,” jawab Dina dengan hati-hati. “Kita nggak bisa hanya mengandalkan perasaan kita saja. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya kita inginkan, dan bagaimana kita bisa mencapai itu bersama.”

Rian mengangguk, matanya berbinar dengan pengertian. “Aku setuju, Dina. Aku ingin memastikan kita berjalan di jalur yang sama. Aku nggak mau kita hanya terjebak dalam euforia cinta pertama ini, tanpa tahu apa yang akan datang selanjutnya.”

Mereka berdua saling bertukar pandang, seolah-olah menyadari bahwa meskipun perasaan mereka begitu kuat, perjalanan mereka belum selesai. Ada banyak hal yang harus mereka diskusikan, banyak langkah yang harus mereka ambil untuk memastikan hubungan ini tetap kuat di masa depan. Namun, yang lebih penting adalah mereka siap untuk melangkah bersama, menyusun mimpi bersama, dan menghadapi segala tantangan yang akan datang.

Setelah beberapa saat berbicara, Dina dan Rian sepakat untuk mulai merencanakan masa depan mereka. Mereka ingin menjelajahi dunia bersama, mengejar impian masing-masing, dan mendukung satu sama lain dalam setiap langkah hidup. Ini bukan hanya tentang cinta yang mereka miliki, tetapi tentang bagaimana mereka bisa menjadi pasangan yang saling mendukung dan berkembang bersama.

Di luar kafe, hujan mulai turun dengan deras. Dina dan Rian keluar bersama, berjalan di bawah hujan yang seakan menjadi simbol dari langkah baru mereka. Meskipun hujan turun begitu lebat, mereka tidak merasa terhalang. Justru, hujan itu membuat mereka semakin dekat. Setiap tetes air yang jatuh dari langit seperti menjadi saksi bisu perjalanan baru yang sedang mereka mulai.

Mereka berjalan beriringan, berbicara tentang segala hal yang ingin mereka capai. Dina ingin melanjutkan pendidikan ke luar negeri, sementara Rian ingin memulai bisnis kecil yang ia impikan selama ini. Mereka saling mendukung impian satu sama lain, berjanji untuk tetap bersama meskipun jalur yang mereka pilih bisa berbeda.

Dina tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan selalu mudah. Ada banyak tantangan yang harus mereka hadapi, baik dalam hubungan mereka maupun dalam hidup mereka masing-masing. Tetapi satu hal yang pasti—mereka sudah memulai langkah baru yang lebih nyata dan berkomitmen. Mereka siap untuk menghadapi dunia, tidak lagi hanya berdua di belakang jendela, tetapi berjalan bersama, berbagi mimpi dan cinta yang lebih besar.

“Apa pun yang terjadi, aku akan selalu di sini, Dina,” kata Rian, menggenggam tangan Dina erat.

Dina tersenyum, merasakan kehangatan dalam setiap kata yang Rian ucapkan. “Aku juga, Rian. Kita akan melalui semuanya bersama.”

Dan pada saat itu, Dina tahu bahwa langkah baru dalam cinta mereka bukan hanya tentang perasaan yang mereka miliki saat itu, tetapi tentang perjalanan panjang yang siap mereka jalani bersama, penuh dengan harapan dan impian yang akan terus berkembang seiring waktu.***

————THE END———-

Source: DELA SAYFA
Tags: #PerjalananCinta #HarapanDanImpian #KomitmenDalamCinta #PasanganSejati #CintaYangBerarti
Previous Post

JARAK YANG TAK TERHITUNG

Next Post

CINTA YANG TERPENDAM DIANTARA BENUA

Related Posts

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

April 30, 2025
DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

April 29, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 28, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 27, 2025
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

April 26, 2025
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

April 25, 2025
Next Post
CINTA YANG TERPENDAM DIANTARA BENUA

CINTA YANG TERPENDAM DIANTARA BENUA

KISAH YANG HANYA MILIK KITA

KISAH YANG HANYA MILIK KITA

SAAT NAMA MU MENJADI PUISI

SAAT NAMA MU MENJADI PUISI

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id