Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

JARAK YANG MEMBANGUN RINDU

JARAK YANG MEMBANGUN RINDU

SAME KADE by SAME KADE
March 1, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 40 mins read
JARAK YANG MEMBANGUN RINDU

xr:d:DAFr8Frrx0o:126,j:8609033006619306130,t:23090900

Daftar Isi

  • Bab 1: Perpisahan yang Tak Terduga
  • Bab 2: Antara Bintang dan Keinginan Cinta yang Tumbuh
  • Bab 3: Ketakutan yang Muncul
  • Bab 4: Ketakutan yang Terungkap
  • Bab 5: Menghadapi Jarak dengan Harapan
  • Bab 6: Momen Tak Terlupakan dan Keputusan Besar

Bab 1: Perpisahan yang Tak Terduga

Langit sore itu tampak berwarna oranye keemasan, memantulkan cahaya matahari yang mulai meredup. Angin semilir mengusap perlahan wajah Alya yang duduk di bangku taman, tangan terlipat di pangkuan. Matanya menatap kosong ke depan, meskipun pandangannya jelas mengarah pada Raka yang sedang berdiri beberapa langkah di depannya. Rasanya dunia tiba-tiba terasa sunyi, meskipun orang-orang di sekitar masih sibuk dengan aktivitas mereka. Setiap detik yang berlalu terasa begitu lama, mengisi ruang kosong di hatinya yang tiba-tiba terasa begitu berat.

Raka menghela napas, seakan mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan apa yang sudah lama ia pendam. Keputusan besar yang sudah dipikirkannya selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, akhirnya harus ia ungkapkan pada saat yang sangat tidak tepat. Ia menatap Alya, gadis yang sudah lebih dari sekadar teman baginya. Mereka sudah berteman sejak kecil, berbagi tawa, kesedihan, dan mimpi. Namun kini, ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk tetap bersama—sesuatu yang tidak dapat mereka hindari.

“Alya,” kata Raka pelan, suaranya hampir tenggelam dalam hembusan angin yang menyapa wajah mereka.

Alya menoleh pelan, matanya yang biasanya penuh keceriaan kini dipenuhi kebingungan. “Ada apa, Raka?” tanyanya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang mulai merayapi hatinya.

Raka mengerutkan dahi, mencoba merangkai kalimat yang tidak ingin ia ucapkan, namun harus ia katakan. “Aku… aku harus pergi.” Kata-katanya terucap begitu saja, seperti sebuah keputusan yang tidak bisa ditarik kembali.

Alya terdiam sejenak. Kalimat itu terasa begitu berat, seperti petir yang menyambar di tengah hari yang cerah. “Pergi? Pergi ke mana?” tanyanya, mencoba mengontrol suara yang sedikit bergetar. Hatinya mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres, tapi ia tidak bisa membayangkan apa yang dimaksud Raka.

“Aku dapat tawaran kerja di luar kota… yang harus aku ambil.” Raka menunduk, menghindari tatapan Alya yang kini penuh tanya dan kekhawatiran. “Aku harus pergi, Alya. Ini kesempatan yang besar untuk masa depanku.” Ia berharap penjelasannya cukup sederhana dan bisa diterima begitu saja, meskipun dalam hatinya ada rasa yang sangat berat untuk mengucapkannya.

Alya terdiam, otaknya seperti diselimuti kabut. “Kapan?” tanya Alya, kali ini lebih pelan, seolah kata-kata itu tak ingin keluar. Ia berusaha menahan air mata yang tiba-tiba menggenang, namun rasa sesak di dada tak bisa ia tahan.

“Besok,” jawab Raka, singkat.

Seketika, dunia seperti berhenti berputar. Alya merasa seluruh tubuhnya seperti dipenuhi angin yang begitu dingin, menyusup ke dalam setiap sendi, merasuki hatinya yang sebelumnya penuh kehangatan. Raka—temannya yang selalu ada di setiap langkah hidupnya, yang selalu membuatnya merasa aman dan dicintai akan pergi. Tidak hanya pergi, tetapi pergi jauh. Jauh sekali.

“Tapi… Kenapa, Raka? Kenapa baru sekarang kamu bilang?” Alya akhirnya bisa mengeluarkan pertanyaan itu, meski dengan suara yang hampir tak terdengar. Ia ingin tahu lebih banyak, mengapa keputusan besar ini diambil begitu mendalam dan cepat. Apa alasan di balik keputusan Raka yang begitu tiba-tiba? Bukankah mereka sudah merencanakan banyak hal bersama?

Raka mengusap wajahnya, seakan merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. “Aku… aku nggak tahu harus gimana, Alya. Aku juga nggak siap. Tapi ini kesempatan yang nggak bisa aku lewatkan.” Raka mendekati Alya, namun tetap menjaga jarak. Hatinya terasa begitu sakit, seakan dunia yang dia kenal selama ini mulai runtuh di depan matanya. “Aku nggak ingin menyakitimu. Aku cuma… cuma ingin kamu ngerti.”

Alya menunduk, mencoba menahan agar air matanya tidak tumpah. Perasaannya kacau. Ada perasaan marah, ada rasa kehilangan yang sangat dalam, dan tentu saja ada rasa takut. Takut jika perpisahan ini adalah yang terakhir. Takut jika jarak yang memisahkan mereka nanti akan menghancurkan semua yang sudah mereka bangun bersama.

“Aku nggak siap, Raka… Aku nggak siap untuk kehilangan kamu,” akhirnya Alya berkata dengan suara gemetar, matanya kini penuh dengan air mata yang tak bisa lagi ia tahan. Ia menyadari betapa banyak perasaan yang sebenarnya ada di dalam hatinya, perasaan yang mungkin sudah ada sejak dulu, tapi baru sekarang ia bisa merasakannya dengan jelas.

Raka menggenggam tangan Alya dengan lembut, mencoba memberikan kenyamanan yang ia sendiri tidak bisa rasakan. “Aku juga nggak siap, Alya. Tapi ini pilihan yang harus aku ambil. Aku harus pergi untuk masa depanku, untuk keluarga. Aku… aku nggak tahu harus bagaimana lagi.” Raka menghela napas, seakan kata-katanya tak cukup untuk menjelaskan betapa berat keputusan ini baginya. “Tapi aku janji, kita masih bisa menjaga komunikasi. Kita bisa… kita bisa tetap menjadi teman.”

“Teman?” Alya tertawa kering, meskipun hatinya semakin sakit. “Kita nggak pernah cuma teman, Raka. Kita lebih dari itu.” Kata-kata itu keluar begitu saja, tanpa bisa ia tahan. Selama ini, Alya selalu merasa ada sesuatu yang lebih antara mereka berdua. Sesuatu yang tidak pernah diungkapkan, tapi selalu terasa di setiap tatapan, setiap kata yang diucapkan. Perasaan itu tidak bisa disebut hanya sebagai pertemanan.

Raka terdiam. Ia tahu apa yang Alya maksud. Selama ini, ia juga merasakan hal yang sama. Mereka berdua sudah lebih dari teman. Mereka sudah saling memahami, sudah saling memberi rasa nyaman. Tapi sekarang, perasaan itu seakan harus berhenti begitu saja, karena jarak akan memisahkan mereka. Dan perpisahan ini terasa begitu pahit, lebih dari yang ia kira.

“Alya, aku…” Raka mencoba berbicara, tapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Bagaimana menjelaskan perasaan yang begitu kompleks? Bagaimana menjelaskan bahwa meskipun ia merasa takut kehilangan Alya, ia juga tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil?

Alya menatapnya dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Ada perasaan tidak percaya, ada perasaan cemas, dan ada perasaan kehilangan yang begitu dalam. “Aku nggak tahu harus bilang apa, Raka,” jawab Alya perlahan. “Aku hanya tahu… aku nggak siap kalau kamu benar-benar pergi.”

Saat itu, suasana di sekitar mereka semakin sunyi. Hanya terdengar suara detak jam dan hembusan angin yang semakin kencang. Dunia seolah menjadi sangat sempit, hanya ada mereka berdua, dan kenyataan yang harus diterima. Perpisahan yang tak terduga ini terasa seperti sebuah ujian, namun mereka tak tahu apakah mereka akan bisa bertahan melewatinya.

Raka menatap Alya dengan penuh penyesalan, lalu perlahan melangkah mundur. “Aku… aku nggak tahu harus apa lagi, Alya. Aku ingin kamu tahu, meskipun jarak akan memisahkan kita, aku nggak akan pernah lupa sama kamu.” Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan. “Aku akan selalu ada untuk kamu, apapun yang terjadi.”

Alya hanya mengangguk, meskipun hatinya terasa hancur. Ia ingin berteriak, ingin memeluk Raka dan mengungkapkan perasaannya yang selama ini terpendam. Namun, kata-kata itu terasa begitu berat. Hanya air mata yang keluar, menggantikan kata-kata yang seharusnya ia ucapkan.

“Aku akan pergi sekarang,” kata Raka, sebelum akhirnya berjalan menjauh, meninggalkan Alya di bangku taman yang sepi. Langkah-langkahnya terasa berat, namun ia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil.

Alya menatap kepergian Raka, merasakan jantungnya berdebar kencang. Ini bukan hanya perpisahan biasa. Ini adalah perpisahan yang menghancurkan bagian dari dirinya yang selama ini ia sembunyikan perasaan yang ia rasa begitu kuat, tapi tak pernah ia ungkapkan. Dan sekarang, dengan perpisahan yang tak terduga ini, ia tahu bahwa cinta pertama mereka harus terpisah oleh jarak.

Namun, satu hal yang pasti. Jarak yang membangun rindu ini akan menguji sejauh mana perasaan mereka bisa bertahan.

Alya masih duduk di bangku taman yang sama, meskipun Raka sudah menjauh. Angin sore yang berhembus seakan membawa serta jejak langkah Raka yang kini hanya bisa ia kenang. Setiap langkah yang ia ambil semakin menjauhkan mereka, tetapi dalam pikirannya, Raka masih berdiri di hadapannya, mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak pernah ia bayangkan akan didengarnya.

Alya menatap ke arah jalan setapak yang kosong, matanya mulai memanas. Dia ingin berlari mengejar Raka, ingin menariknya kembali, memintanya untuk tinggal, tetapi tubuhnya terasa kaku. Ada rasa takut yang menguasai dirinya. Takut kehilangan seseorang yang telah begitu berarti dalam hidupnya. Seseorang yang selama ini selalu ada di setiap langkahnya.

“Kenapa sekarang?”pikirnya dalam hati, “Kenapa harus sekarang?”

Dia mengerutkan kening, berusaha untuk mengingat kembali semua kenangan yang mereka bagi bersama. Raka, sahabat masa kecilnya, yang selalu ada untuknya, yang selalu menjadi pelindungnya apakah ini yang dimaksudkan oleh takdir? Mungkinkah perpisahan ini memang sudah tertulis sejak dulu, meskipun mereka tak pernah menyadarinya?

Alya meremas ujung bajunya, merasakan tubuhnya dipenuhi dengan rasa sakit yang tajamBagaimana bisa Raka pergi begitu saja?** Bagaimana mungkin segala yang mereka bangun bersama selama bertahun-tahun bisa terpisah hanya karena jarak yang tak bisa mereka hindari? Hatinya bertanya-tanya, adakah yang salah dengan hubungan mereka? Apakah selama ini mereka tidak cukup berjuang?

Sebelum Raka pergi, saat ia masih menghadapinya, Alya merasakan sebuah ketegangan yang menggelayuti hati mereka berdua. Ada sesuatu yang belum terungkap perasaan yang selama ini tersembunyi dalam setiap tatapan, dalam setiap percakapan mereka. Alya tahu, begitu juga Raka. Meskipun tidak ada kata-kata yang pernah diucapkan, ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan yang mereka bagi.

Tapi sekarang, semuanya berubah dalam sekejap. Sebuah perpisahan yang tak terduga memaksa mereka untuk menghadapi kenyataan yang pahit. Perasaan Alya tidak bisa dibendung. Dia ingin berteriak, ingin memukul bumi agar Raka tahu betapa besar perasaan ini, betapa ia ingin segala sesuatunya tetap sama, tidak berubah. Tetapi kenyataan berkata lain.

Raka pergi.

Alya memejamkan matanya, berusaha menenangkan diri. Tapi semakin ia mencoba menghalau perasaan itu, semakin dalam ia merasa terluka. Apakah dia tidak cukup berarti untuk Raka? Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Tetapi, dari cara Raka berbicara tadi, dia tahu jawabannya tidak demikian. Raka pergi bukan karena tidak peduli, tapi karena itulah yang harus dia lakukan untuk masa depannya.

Namun, kenyataan ini tetap saja sangat sulit diterima.

Alya menghembuskan napas panjang, membiarkan angin yang berhembus menenangkan dirinya. Ia tahu, tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menerima kenyataan itu. Tetapi, perasaan rindu itu sudah mulai tumbuh dalam hatinya. Bahkan meskipun Raka belum benar-benar pergi, rasa kehilangan itu sudah mulai mengisi ruang-ruang kosong di dalam dirinya. Rindu yang begitu dalam, meskipun mereka baru saja berpisah beberapa menit yang lalu.

pulang ke Rumah, Semua Terasa Sepi

Alya akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Langkahnya terasa berat, seolah bumi mendesak lebih keras ke bawah. Setiap langkah terasa semakin jauh dari kenyataan yang ada. Ia tahu, saat ia melangkah lebih jauh dari taman itu, dia akan kembali ke dalam kesepian yang begitu mencekam. Rumahnya yang biasanya ramai dengan suara tawa adiknya kini terasa begitu sunyi. Tanpa Raka, ada sebuah kekosongan yang tidak bisa ia penuhi dengan apapun.

Sesampainya di rumah, Alya langsung berjalan ke kamarnya tanpa berkata sepatah kata pun pada orang tuanya. Pintu kamar ditutup perlahan, dan ia terjatuh ke tempat tidur, meringkuk dengan perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Semua yang ada di sekitarnya terasa kabur, tidak jelas. Sebuah kekosongan menghantuinya, dan ia merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” pikirnya, masih terbaring dengan tatapan kosong ke langit-langit kamar. Matanya berkelana ke sekeliling, mengamati semua benda yang familiar. Namun semuanya terasa begitu jauh, seperti ia berada di dunia yang berbeda.

Selama ini, Raka adalah tempat ia berbagi cerita, tempat ia menemukan kenyamanan. Mereka selalu saling memberi semangat, dan meskipun tidak mengungkapkan perasaan yang sebenarnya, Alya selalu merasa Raka adalah seseorang yang lebih dari sekadar teman baginya. Semua percakapan mereka, setiap tawa, setiap perhatian semuanya terasa seperti kenangan indah yang kini mengubah menjadi sebuah luka. Luka yang akan sulit sembuh, karena jarak yang terpisah begitu jauh.

Alya menggerakkan tubuhnya, duduk di pinggir ranjang. Ia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan membuka layar, berharap ada pesan dari Raka. Tapi tidak ada. Hanya ada pesan-pesan lama yang kini terasa semakin asing.

Kenapa harus begini?

Tiba-tiba teleponnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Alya langsung membuka layar ponselnya dengan cepat, berharap itu adalah pesan dari Raka. Tapi yang ia terima bukanlah pesan yang ia harapkan.

Itu hanya pesan singkat dari temannya, Lia, yang memberitahukan tentang acara reuni sekolah yang akan datang. Namun, Alya tidak bisa lagi fokus pada pesan tersebut. Pikirannya kembali teralihkan kepada Raka, kepada kenangan yang mereka buat bersama. Ada sesuatu yang terasa begitu kosong.

Ia membuka kembali aplikasi pesan di ponselnya, mencari nama Raka, berharap ia bisa menulis sesuatu sesuatu untuk melampiaskan perasaannya. Namun, ketika jari-jarinya hendak mengetik pesan, ia terhenti. Apa yang harus ia katakan?

Alya menghapus pesan yang baru saja ditulisnya dan menatap layar kosong, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Namun hatinya yang berat tidak membiarkan kata-kata itu keluar. Tidak ada yang bisa mengungkapkan betapa dalam perasaannya saat ini, betapa ia merindukan Raka meskipun baru beberapa jam berlalu sejak perpisahan mereka.

Ia akhirnya meletakkan ponselnya dan memejamkan mata, mencoba untuk menenangkan pikirannya yang berlarian kemana-mana. Tiba-tiba, sebuah ingatan muncul di benaknya, tentang tawa Raka yang selalu bisa membuatnya merasa nyaman. Tentang bagaimana Raka selalu hadir ketika ia membutuhkan seseorang untuk diajak bicara. Tentang segala hal kecil yang membuat hubungan mereka lebih dari sekadar pertemanan.

Tapi sekarang, semua itu hanya tinggal kenangan. Sesuatu yang sudah terlewat, dan tidak bisa diulang kembali.

“Aku benar-benar akan merindukanmu, Raka.”

Alya berbisik pelan, meskipun hanya ia sendiri yang bisa mendengarnya. Namun, perasaan rindu yang terpendam begitu dalam, lebih dari yang bisa ia bayangkan.

Di luar sana, di tempat yang jauh, Raka juga merasakan hal yang sama.

Namun, untuk saat ini, mereka hanya bisa terpisah oleh jarak yang memisahkan mereka. Jarak yang membangun rindu. Dan rindu ini, meskipun menyakitkan, akan menjadi ujian pertama bagi hubungan mereka yang sudah lebih dari sekadar teman.*

Bab 2: Antara Bintang dan Keinginan Cinta yang Tumbuh

Alya duduk di balkon rumahnya, menatap langit malam yang dipenuhi ribuan bintang. Malam itu, langit terasa lebih gelap dari biasanya, seolah-olah mencerminkan perasaan hatinya yang hampa setelah kepergian Raka. Ia meraih secangkir teh hangat yang masih terdiam di sampingnya, namun tangan yang menggenggam cangkir itu terasa berat. Pikiran dan perasaan yang kacau dalam dirinya membuat segalanya terasa lambat dan terdistorsi, seperti langit malam yang seolah berputar.

Bintang-bintang di atas sana, yang seharusnya terlihat begitu indah dan penuh harapan, kini terasa jauh dan tidak terjangkau. Alya menatapnya lebih lama, membiarkan ketenangan malam menyelimuti dirinya, meskipun hati kecilnya masih terus berteriak dalam kebisuan. Jarak yang memisahkan mereka semakin terasa nyata, dan setiap detik yang berlalu semakin menambah beban perasaan yang tidak bisa ia lepaskan.

Di satu sisi, ia tahu kepergian Raka adalah sesuatu yang harus diterima. Raka harus pergi untuk mengejar cita-citanya, dan Alya tidak bisa menghalangi itu. Tetapi, di sisi lain, ia merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya yang selama ini menemani hari-harinya. Raka bukan sekadar sahabat. Selama ini, mereka sudah begitu dekat, berbagi begitu banyak hal tawa, cerita, bahkan rahasia yang tak bisa diungkapkan pada orang lain. Kehilangan Raka membuat Alya merasa seperti kehilangan arah.

“Raka…” Alya berbisik pelan, meskipun tahu Raka tidak bisa mendengarnya. Sejak hari perpisahan itu, tak ada satu hari pun ia bisa menghilangkan bayangan Raka dari pikirannya. Setiap sudut kamarnya, setiap tempat yang pernah mereka lewati bersama, kini terasa penuh dengan kenangan. Kenangan yang semakin sulit ia lepaskan.

Alya menyandarkan punggungnya pada dinding balkon, menutup matanya sejenak. Tiba-tiba, telepon genggamnya bergetar. Dengan ragu, ia mengambil ponsel yang ada di sampingnya, berharap itu adalah pesan dari Raka. Namun yang muncul adalah nama Lia, sahabatnya yang paling dekat setelah Raka. Dengan sedikit rasa kecewa, ia membuka pesan tersebut.

Lia: “Gimana kabarnya? Aku harap kamu baik-baik aja, ya. Kalau butuh teman curhat, aku selalu ada.”

Alya tersenyum tipis membaca pesan itu. Lia memang selalu tahu cara membuatnya merasa sedikit lebih baik, meski tidak bisa menghilangkan perasaan rindu yang begitu dalam. Dengan perlahan, Alya membalas pesan Lia.

Alya: “Aku baik-baik aja, kok. Cuma lagi… kangen sama Raka.”

Beberapa detik setelah pesan dikirim, Lia langsung membalas dengan emoji peluk.

Lia: “Aku tahu. Aku juga tahu kamu pasti merasa kehilangan banget. Tapi coba ingat, dia nggak pergi selamanya kok. Dia pergi untuk masa depannya, dan itu berarti dia sedang berjuang untuk kalian berdua.”

Pesan itu membuat hati Alya sedikit lebih tenang, meskipun perasaan rindu itu tetap ada. Lia benar, Raka pergi untuk mengejar impian. Itulah yang Alya yakini, meskipun sulit untuk menerima kenyataan tersebut. Namun, ada satu hal yang tidak bisa ia hindari: perasaan yang tumbuh di dalam hatinya.

Sejak kecil, Alya dan Raka selalu bersama. Mereka tumbuh besar bersama, berbagi segala suka dan duka, dan meskipun perasaan mereka tidak pernah diungkapkan, Alya selalu merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan di antara mereka. Rasanya tidak mungkin itu hanya sebuah kebetulan. Ada banyak momen kecil yang membuatnya merasa ada sesuatu yang lebih.

Tetapi kenapa harus sekarang?batin Alya. Kenapa perasaan ini baru benar-benar terasa saat Raka pergi?

Alya menatap langit malam lagi. Bintang-bintang itu tampak seperti ratusan titik cahaya yang jauh di luar jangkauan, namun begitu memikat. Ia teringat dengan apa yang pernah dikatakan Raka beberapa waktu lalu ketika mereka sedang duduk bersama di taman. “Bintang itu seperti harapan, kan? Meskipun jauh, kita tetap bisa melihatnya.”

“Apakah ini harapan, Raka?” Alya berbicara kepada langit, berharap ia bisa mendapat jawaban. Namun yang ada hanya keheningan.

Dia menghembuskan napas panjang, merasa ada sesuatu yang terus mengusik pikirannya. Raka telah pergi, dan sekarang ia harus belajar menjalani hidup tanpa kehadirannya. Namun, dalam hati Alya, keinginan itu tak pernah padam. Keinginan untuk tetap bersama Raka, meskipun jarak memisahkan mereka, tetap tumbuh dalam setiap detak jantungnya.

Ia tahu, meskipun mereka terpisah oleh jarak yang jauh, hati mereka masih saling terhubung. Itu adalah keinginan yang harus ia pertahankan, keinginan untuk memperjuangkan hubungan ini meskipun tantangan terbesar mereka adalah jarak.

Malam yang Gelap, Cahaya yang Menunggu

Seiring berjalannya waktu, Alya semakin terbiasa dengan kesendirian yang datang setelah perpisahan itu. Setiap pagi, ia bangun dengan rasa sepi yang mengisi ruang di hatinya. Setiap malam, ia menatap bintang-bintang di langit, berharap bisa merasakan kehadiran Raka meskipun hanya dalam bayangan.

Alya tidak bisa menahan diri untuk tidak merindukan Raka. Ia ingin mendengar suaranya, tertawa bersama, berbicara tentang segala hal seperti dulu. Tetapi semakin ia menginginkannya, semakin ia merasa bahwa semuanya semakin jauh. Raka berada di tempat yang sangat jauh, di dunia yang berbeda, mengejar impiannya. Dan Alya, meskipun tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, merasa harus menerima kenyataan itu.

Namun, di balik semua rasa rindu yang menghantui, ada sesuatu yang membuatnya terus berharap. Keinginan itu untuk tetap terhubung, untuk mempertahankan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan terus berkembang. Ia mulai menulis pesan-pesan singkat untuk Raka, berbagi hal-hal kecil yang terjadi dalam hidupnya. Meskipun jarak memisahkan mereka, Alya ingin agar Raka tahu bahwa ia selalu ada di sana, menunggu.

Satu bulan berlalu sejak Raka pergi. Hari-hari berlalu dengan lambat, dan Alya merasakan setiap detiknya seolah membawa beban yang semakin berat. Rindu itu seperti beban yang tak terangkat. Namun, ada satu hal yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang: pesan-pesan singkat dari Raka yang datang setiap beberapa hari sekali. Tidak banyak yang Raka tulis, tetapi cukup untuk membuat hatinya sedikit lebih lega. Raka juga merindukannya. Meskipun hanya sebaris kata-kata, itu sudah cukup untuk membuat Alya merasa bahwa hubungan mereka masih tetap hidup.

Aku selalu ada di sini, meskipun jarak memisahkan kita, Alya.

Pesan itu membuat perasaan Alya semakin kuat. Rindu yang semakin besar, keinginan untuk berada di samping Raka semakin kuat. Ia merasa, meskipun dunia mereka berbeda, ada sesuatu yang tak bisa dihancurkan oleh jarak. Ada perasaan yang lebih besar dari sekadar kata-kata, yang hanya bisa mereka rasakan.

Alya tersenyum tipis saat membaca pesan terakhir Raka. Ia tahu, keinginan mereka untuk tetap menjaga hubungan ini masih ada. Dan meskipun terpisah jauh, bintang-bintang itu tetap mengingatkan mereka akan cinta yang mereka miliki cinta yang masih tumbuh, meskipun dikelilingi oleh jarak yang membatasi.

Alya menghela napas panjang dan menatap layar ponselnya, membaca kembali pesan singkat dari Raka yang baru saja ia terima. Pesan itu tidak banyak, hanya beberapa kata, namun cukup memberi rasa tenang di dalam hatinya yang tengah dilanda badai rindu. Meskipun pesannya singkat, Alya merasakan kehadiran Raka dalam setiap kata yang ia tulis. Dan itu sudah cukup untuk membuatnya merasa sedikit lebih baik.

Raka: “Aku kangen. Jangan lupa makan ya, dan jaga diri kamu. Aku selalu ada di sini, meskipun jarak memisahkan kita.”

Pikiran Alya melayang jauh, kembali ke malam-malam ketika Raka masih ada di dekatnya. Dulu, mereka bisa berbicara seharian penuh tanpa merasa jenuh. Mereka akan berjalan-jalan bersama di taman, berbagi cerita tentang hal-hal sepele yang kadang-kadang terdengar konyol, namun entah kenapa membuat kedekatan mereka terasa begitu dalam. Raka selalu bisa membuatnya tertawa, bisa membuatnya merasa tenang meskipun dunia sekitarnya terasa kacau.

Namun, sekarang semuanya berbeda. Alya tak bisa lagi merasakan kehadiran Raka secara langsung. Setiap percakapan yang mereka lakukan hanya bisa terjalin melalui pesan singkat atau telepon yang kadang-kadang terasa lebih seperti ritus formal daripada percakapan biasa. Meskipun begitu, Alya tahu bahwa mereka tidak akan pernah benar-benar terpisah. Ada ikatan yang lebih kuat daripada jarak yang memisahkan mereka.

Malam yang Sunyi, Bintang yang Tak Terjangkau

Alya duduk di kursi jendelanya, menatap bintang-bintang yang tersebar di langit malam. Wajahnya lelah, namun pikirannya terus berputar, mencari-cari jawaban yang seakan tak pernah ia temukan. Raka sudah pergi hampir dua bulan, dan setiap hari, perasaan rindu itu semakin mendalam. Setiap malam, ia menatap langit yang sama dengan Raka ntang yang sama, harapan yang sama. Tetapi, meskipun mereka melihat hal yang sama, kenyataannya mereka berada di tempat yang sangat berbeda.

Apakah ini cara yang benar untuk menjalani hubungan, meskipun terpisah jauh?

Pertanyaan itu kembali muncul dalam benaknya, semakin mengganggu. Alya mulai merasa cemas, bukan hanya karena jarak yang memisahkan mereka, tetapi juga karena apa yang terjadi setelah itu. Apakah cinta mereka akan bertahan? Apakah rasa ini akan tetap kuat meskipun terhalang oleh ribuan kilometer?

Sementara itu, di sisi lain dunia, Raka juga tengah bergulat dengan perasaan yang serupa. Sejak ia meninggalkan kota tempat ia dan Alya dibesarkan, ada kekosongan yang mengisi hari-harinya. Ia selalu merasa ada yang hilang, seolah-olah ia meninggalkan sebagian dari dirinya di belakang. Setiap kali ia berjalan melewati tempat-tempat yang familiar tempat yang dulu sering mereka kunjungi bersama—ada rasa kehilangan yang menusuk.

Namun, Raka tahu bahwa ia harus tetap kuat. Ia harus fokus pada impian dan cita-citanya yang kini lebih jelas di depan mata. Alya sudah cukup dewasa untuk mengerti hal itu, tetapi apakah ia benar-benar bisa menghadapinya? Raka sendiri tidak yakin.

Setiap malam, ketika ia menatap langit malam yang penuh dengan bintang, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang menghubungkan mereka berdua. Sebuah ikatan yang lebih kuat daripada jarak. Ia tahu, meskipun Alya berada jauh di sana, dalam hati mereka, mereka tetap dekat.

Pesan yang Menunggu Jawaban

Hari demi hari, komunikasi mereka tetap terjalin meskipun tidak seintens dahulu. Mereka berdua masih saling mengirim pesan singkat, berbicara melalui telepon, berbagi cerita tentang kehidupan mereka masing-masing. Namun, di balik semua itu, ada sebuah ketegangan yang tidak bisa mereka hindari. Keinginan untuk bertemu, untuk merasakan kehadiran satu sama lain, semakin tumbuh setiap harinya.

Alya tahu, meskipun Raka berusaha untuk memberi ruang bagi impian dan kariernya, mereka tetap terhubung dalam cara yang berbeda. Setiap pesan, setiap telepon, selalu diakhiri dengan kata-kata yang menghangatkan hati. “Aku kangen kamu.”Kalimat sederhana yang kini menjadi saksi betapa besar kerinduan yang mereka rasakan.

Namun, meskipun begitu, Alya tidak bisa menghilangkan rasa takutnya. Apakah Raka masih merasakan hal yang sama?** Apakah ia masih mencintainya meskipun jarak memisahkan mereka?

Beberapa kali, Alya mencoba untuk lebih terbuka, untuk mengungkapkan perasaannya yang semakin kuat. Tetapi, kata-kata itu seakan tersangkut di tenggorokannya. Bagaimana ia bisa mengungkapkan rasa rindu yang begitu dalam? Bagaimana ia bisa berkata bahwa hatinya hanya milik Raka, meskipun jarak memisahkan mereka?

Terkadang, di tengah kesunyian malam, Alya memejamkan mata dan membayangkan bagaimana rasanya bertemu Raka lagi, bagaimana rasanya bisa berada di dekatnya. Dalam bayangannya, mereka berjalan bersama di bawah langit malam, berbicara tentang impian mereka, tentang masa depan mereka—tanpa ada jarak yang menghalangi. Raka akan menggenggam tangannya, dan mereka akan tertawa bersama, seperti dulu. Tidak ada yang menghalangi mereka. Tidak ada perpisahan, tidak ada jarak.

Namun kenyataannya, hal itu masih jauh dari jangkauan.

Membangun Harapan dari Jarak yang Tak Terjangkau

Seminggu setelah pesan singkat terakhir dari Raka, Alya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia mengambil keputusan untuk mengirimkan sebuah surat, surat yang lebih dari sekadar kata-kata. Sebuah surat yang penuh dengan perasaan yang ingin ia ungkapkan, perasaan yang tak bisa ia sampaikan dalam pesan singkat atau percakapan telepon.

Alya duduk di meja tulisnya, menulis kata demi kata dengan hati-hati. Ia tahu, kata-kata ini bukan hanya tentang mengungkapkan rasa rindu, tetapi juga tentang menyampaikan sesuatu yang lebih dalam tentang harapan, tentang cinta yang tidak bisa mati meskipun terhalang oleh jarak.

“Raka,

Aku tak tahu bagaimana harus memulai surat ini, karena setiap kali aku mencoba, kata-kata itu terasa begitu sulit keluar. Namun, ada satu hal yang ingin aku katakan, dan itu adalah, aku merindukanmu. Aku merindukanmu lebih dari yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Setiap malam, aku menatap langit dan berharap kamu juga sedang melakukan hal yang sama, memandang bintang yang sama.

Aku tahu kita terpisah, dan aku tahu ini bukanlah hal yang mudah. Kita harus melalui jarak yang sangat jauh, dan kadang, aku merasa seperti kita berdua berada di dua dunia yang berbeda. Namun, ada satu hal yang selalu aku yakini, Raka. Jarak tidak akan pernah menghalangi perasaan kita, tidak akan menghalangi cintaku untukmu.

Aku ingin kamu tahu, meskipun jarak memisahkan kita, hatiku selalu untukmu. Dan aku berharap kita akan menemukan jalan untuk tetap bersama, meskipun tidak ada yang tahu bagaimana masa depan kita nanti. Tetapi untuk saat ini, aku akan terus berjuang, berjuang untuk kita, untuk cinta ini, karena aku percaya kita bisa melewati semua ini.

Dengan segenap cintaku,

Alya”

Alya menulis surat itu dengan penuh perasaan, seolah-olah setiap kata yang ia tulis adalah ungkapan hati yang selama ini terpendam. Setelah selesai menulis, ia membaca kembali surat itu, merasa ada sesuatu yang lebih ringan dalam dirinya. Untuk pertama kalinya setelah perpisahan itu, ia merasa sedikit lebih tenang. Meskipun Raka tidak bisa membacanya segera, Alya tahu, pesan ini akan sampai kepadanya dalam bentuk lain—dalam bentuk keinginan untuk tetap berjuang, untuk tetap menjaga hubungan mereka.*

Bab 3: Ketakutan yang Muncul

Malam itu, Alya duduk di meja belajarnya, menatap layar ponsel yang masih tampak gelap. Ia menunggu pesan dari Raka, seperti biasa. Setiap malam, seiring berlalunya waktu, ia selalu berharap ada percakapan yang mengalir seperti dulu. Namun belakangan, sesuatu yang lain mulai mengganggu pikirannya—sesuatu yang ia takuti untuk diakui, bahkan pada dirinya sendiri.

Setelah dua bulan menjalani hubungan jarak jauh, ketakutan yang selama ini ia sembunyikan mulai muncul dengan sendirinya. Alya merasa seolah-olah ada sesuatu yang perlahan mengikis hubungan mereka. Dulu, percakapan dengan Raka selalu mengalir begitu mudah, penuh tawa dan canda. Namun kini, mereka berdua semakin jarang berbicara, dan meskipun pesan singkat dari Raka datang, rasanya tidak seperti dulu lagi.

Apakah hubungan ini bisa bertahan?

Pertanyaan itu muncul kembali, berulang kali, di dalam benak Alya. Ketakutan itu terasa semakin nyata. Setiap kali pesan dari Raka datang, ia merasa cemas apakah ia sudah menjadi terlalu jauh, apakah dia masih bisa merasakan kedekatan yang sama. Ada jarak fisik yang tak bisa mereka hindari, tetapi kini, ada jarak emosional yang semakin besar. Raka mulai sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan di tempat barunya, sementara Alya merasa semakin kesepian, kehilangan bagian dari dirinya yang selama ini ada di dalam dirinya, yang selama ini ada dalam Raka.

Setiap malam, ketika ia duduk sendirian di kamarnya, perasaan cemas itu muncul. Ia merindukan tawa Raka, suaranya yang penuh kehangatan, dan setiap kisah yang selalu ia bagikan. Namun semakin lama, semakin banyak hal yang tidak ia ketahui tentang Raka. Dulu, mereka berbagi segalanya. Kini, ia merasa seperti ada sesuatu yang tertutup, ada dinding yang semakin tinggi di antara mereka.

Jarak yang Mengubah Segalanya

Alya mengangkat telepon dan memandang nama Raka di layar. Ia tahu, pesan ini sangat penting. Beberapa hari terakhir, komunikasi mereka semakin renggang. Terkadang, Raka hanya membalas pesan singkat dengan “Aku sibuk, nanti aku hubungi lagi.” Alya tahu Raka sibuk mengejar impiannya, tetapi di balik rasa bangga itu, ada rasa takut yang mulai menghantui hatinya.

Apakah Raka masih mencintainya? Apakah ia masih memikirkan mereka berdua, ataukah ia mulai melupakan mereka dan terlalu fokus pada dunia barunya?

Alya meremas ponselnya, merasakan perasaan takut yang semakin tumbuh. Rasanya seperti sebuah benang tipis yang mulai terputus, satu demi satu. Ada keraguan yang muncul, meskipun ia berusaha untuk tidak membiarkannya menguasai dirinya. Namun, semakin ia berusaha mengabaikan perasaan itu, semakin jelas ketakutan itu hadir di hadapannya.

Ketakutan ini tidak hanya tentang Raka. Alya juga takut pada dirinya sendiri—takut kalau ia tidak cukup kuat untuk mempertahankan hubungan ini. Setiap malam ia bertanya-tanya, apakah dirinya cukup baik untuk mempertahankan cinta mereka? Apakah ia cukup sabar untuk melewati masa-masa sulit ini? Dengan setiap pesan yang terlambat, dengan setiap percakapan yang terasa canggung, ia merasa seperti ada yang hilang, dan itu membuat ketakutan itu semakin besar.

Keheningan yang Menghantui

Alya duduk di balkon rumahnya, menatap bintang-bintang di langit yang seolah-olah menghiburnya, tetapi tidak cukup untuk menghilangkan kegelisahan di hatinya. Di antara bintang yang jauh, ia merasa ada jarak yang lebih besar daripada yang terlihat oleh mata. Ia memejamkan mata, berusaha mengusir pikiran-pikiran yang menghantui. Namun, perasaan itu tetap ada—perasaan takut bahwa hubungan mereka akan berakhir, bahwa mereka akan berubah menjadi dua orang yang hanya mengenang masa lalu, bukannya menjadi dua orang yang saling berjalan bersama menuju masa depan.

Setiap malam tanpa pesan dari Raka terasa lebih lama. Ada rasa kekosongan yang semakin besar. Rindu yang memenuhi hatinya tidak cukup untuk mengisi kekosongan yang ia rasakan. Rindu itu malah memperparah perasaan takutnya. Ia takut akan kehilangan Raka, takut jika mereka semakin menjauh karena jarak, bahkan mungkin karena ketidakhadirannya.

Alya pernah mendengar orang-orang mengatakan bahwa dalam hubungan jarak jauh, kepercayaan adalah kunci. Tapi bagaimana jika kepercayaan itu mulai retak? Bagaimana jika apa yang dia percayai tentang Raka tidak lagi sama? Jika dulu mereka saling terbuka, berbagi segalanya tanpa ada yang ditutupi, kini Alya merasa bahwa Raka mulai menutup diri. Setiap kali mereka berbicara, ada jarak yang tak terucapkan, dan itu terasa lebih kuat daripada jarak fisik yang memisahkan mereka.

Menghadapi Ketakutan

Beberapa hari setelah percakapan terakhir mereka yang terasa canggung, Alya memutuskan untuk menghubungi Raka. Ini adalah langkah yang berat, karena ia tahu, jika percakapan itu kembali terasa hampa, ia akan semakin merasa takut. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa untuk mengatasi ketakutan ini, ia harus menghadapi kenyataan dan mengungkapkan perasaannya.

Dengan hati yang berdebar-debar, Alya mengirimkan pesan kepada Raka.

Alya: “Raka, aku ingin bicara. Aku merasa ada sesuatu yang berubah di antara kita. Aku tahu kita terpisah jauh, tapi aku merasa ada jarak yang semakin besar di antara kita, bukan hanya fisik, tapi juga emosional. Aku merasa kita semakin jauh, dan aku takut jika kita terus seperti ini.”

Pesan itu terkirim, dan Alya hanya bisa menatap layar ponselnya, menunggu balasan. Ketakutan menyelimuti dirinya, takut jika Raka tidak membalasnya, takut jika ia mengabaikan perasaannya, takut jika hubungan mereka berakhir begitu saja tanpa penjelasan. Tak ada yang lebih menakutkan bagi Alya selain kehilangan Raka, dan perasaan itu semakin menggerogoti hatinya.

Tidak lama kemudian, ponsel Alya bergetar. Sebuah pesan dari Raka muncul di layar.

Raka: “Aku tahu, Alya. Aku juga merasa begitu. Aku juga takut jika kita semakin menjauh, tetapi aku terlalu sibuk dengan pekerjaan dan banyak hal lainnya. Aku tidak ingin kamu merasa diabaikan. Aku merindukanmu, dan aku ingin kita tetap bersama, meskipun kita terpisah jauh.”

Alya merasa ada beban yang sedikit terangkat setelah membaca pesan itu. Namun, ketakutan itu belum sepenuhnya hilang. Raka mengaku merindukannya, tetapi apakah itu cukup untuk mengatasi jarak yang begitu jauh? Apakah kata-kata itu cukup untuk mengembalikan kedekatan yang mereka miliki dulu?

Alya memikirkan jawabannya sejenak, kemudian membalas pesan Raka.

Alya: “Aku merindukanmu juga, Raka. Tapi aku takut, jika kita terus seperti ini, kita akan semakin terpisah. Kita tidak bisa hanya saling merindukan tanpa melakukan apa-apa. Aku ingin kita berjuang bersama.”

Pesan itu terasa berat, tetapi juga melegakan. Alya tahu, ini adalah langkah pertama untuk mengatasi ketakutannya, untuk berbicara terbuka dan jujur dengan Raka tentang apa yang ia rasakan. Tidak ada lagi yang bisa disembunyikan. Ia harus menghadapi ketakutan itu dan berusaha untuk menjaga hubungan ini, meskipun ada jarak yang tak bisa dihindari.

Penuh Keraguan, Namun Ada Harapan

Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, dan meskipun tidak ada jawaban langsung, Alya merasa sedikit lebih tenang. Raka akhirnya menyadari apa yang ia rasakan, dan itu memberinya harapan. Tetapi di sisi lain, keraguan masih mengisi hatinya.

Apakah ini benar-benar bisa bertahan? Akankah jarak ini menguji mereka lebih jauh lagi? Akankah rasa takut ini menggerogoti hubungan mereka sampai akhirnya mereka saling terpisah?

Ketakutan itu belum sepenuhnya hilang, tetapi Alya merasa ada sedikit cahaya yang mulai menyinari kegelapan hatinya. Mereka berdua telah berbicara tentang apa yang mereka rasakan, dan meskipun masa depan masih penuh ketidakpastian, ada satu hal yang Alya yakiniba hwa untuk mempertahankan cinta ini, mereka harus berjuang bersama. Tidak ada yang lebih menakutkan daripada membiarkan rasa takut mengendalikan hidup mereka.

Rindu yang Terpendam

Hari-hari berlalu, namun ketakutan yang dirasakan Alya tidak juga hilang. Setiap kali ia membuka pesan dari Raka, ia merasa senang sekaligus cemas. Meskipun Raka mengirimkan kata-kata manis dan menunjukkan bahwa ia masih merindukannya, Alya tidak bisa menepis perasaan cemas yang mengganggu pikirannya. Setiap kali percakapan mereka berakhir, ada keheningan yang panjang, yang terasa semakin menekan. Rasa cemas itu selalu datang kembali—apakah mereka masih bisa mempertahankan hubungan ini? Apakah ada harapan bagi mereka untuk melewati jarak yang begitu jauh?

Malam itu, Alya duduk di sofa, memandang jendela yang terbuka. Langit malam tampak cerah, dihiasi bintang-bintang yang jauh. Dalam kesunyian itu, pikirannya melayang kembali pada kenangan-kenangan indah bersama Raka—kenangan ketika mereka masih sering menghabiskan waktu bersama, berbicara tanpa henti, merencanakan masa depan mereka yang penuh harapan. Namun kini, semuanya terasa seperti kenangan yang terpisah oleh jarak yang tak bisa mereka singkirkan. Perasaan takut dan cemas semakin mendalam, dan Alya merasa bingung harus bagaimana.

Keheningan dan Keraguan

Ketika Raka baru-baru ini membalas pesan singkat Alya, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Raka yang dulu selalu terbuka dan ceria kini terasa lebih tertutup. Seolah ada jarak yang semakin besar antara mereka berdua, meskipun mereka berbicara melalui pesan. Mungkin Raka terlalu sibuk dengan pekerjaannya, atau mungkin dia hanya merasa semakin jauh dari Alya, bahkan tanpa mengungkapkannya secara langsung.

Alya mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, tetapi ketakutan itu semakin berkembang. Ia takut jika jarak ini akan merusak mereka, merusak kepercayaan dan cinta yang mereka bangun selama ini. Bahkan, kadang-kadang, Alya merasa seperti ia hanyalah kenangan dalam hidup Raka, sesuatu yang perlahan mengabur. Tidak ada jaminan bahwa mereka akan bertahan. Raka tidak pernah mengatakan hal-hal seperti itu secara langsung, tetapi ketidakpastian itu cukup untuk membuat Alya gelisah.

Suatu malam, setelah menerima pesan singkat dari Raka, Alya merasa hatinya semakin gundah. Pesan itu seperti sekadar formalitas—“Aku sibuk, nanti kita bicara lagi”dan itu semakin membuatnya terasing. Setiap kali mereka berbicara, semakin sedikit yang dibagikan, semakin kurang perasaan yang tersisa. Mereka berbicara tentang pekerjaan, tentang kegiatan sehari-hari, tetapi tidak ada lagi cerita-cerita kecil yang dulu membuat mereka tertawa bersama. Tidak ada lagi cerita tentang hal-hal yang membuat mereka saling mengenal lebih dalam.

Alya merasa seolah-olah Raka sedang menghindari sesuatu. Ketakutannya semakin menjadi-jadi. Apa yang terjadi pada hubungan mereka? Apakah mereka mulai saling menjauh? Apa yang akan terjadi jika komunikasi ini terus berlanjut seperti ini?

kecemasan yang Semakin Membesar

Hari-hari berikutnya, Alya berusaha mengalihkan perhatian dari perasaan cemas yang terus menghantuinya. Ia berusaha sibuk dengan pekerjaan, berkumpul dengan teman-teman, bahkan mencoba untuk menikmati waktu sendirian dengan menulis atau membaca buku. Namun, meskipun ia berusaha mengalihkan perasaan itu, ketakutan akan kehilangan Raka selalu datang kembali.

Setiap kali ada notifikasi pesan masuk, jantungnya berdegup kencang. Harapannya hanya satu—pesan dari Raka. Namun, setiap kali membaca pesan itu, perasaan kecewa dan cemas kembali menghantui. Itu bukan karena Raka tidak peduli padanya, tetapi karena percakapan mereka terasa semakin formal dan terpisah. Tak ada lagi kehangatan seperti dulu. Tak ada lagi candaan yang membuat mereka merasa seperti dua sahabat yang saling mengerti.

Ketika mereka berbicara, topik pembicaraan selalu berkisar pada pekerjaan dan kegiatan masing-masing, dan ketika mereka mencoba berbicara tentang perasaan, selalu ada jeda yang panjang. Alya merasa seperti Raka mulai menahan dirinya, tidak lagi terbuka seperti dulu. Setiap kata yang ditulis Raka terasa berat, seolah-olah dia takut menyampaikan sesuatu yang lebih dalam.

Alya mulai bertanya-tanya, apakah Raka merasa seperti ini juga? Apakah dia juga merasa takut bahwa hubungan ini akan berakhir karena jarak yang semakin lebar?

Ia mencoba untuk memberi ruang bagi Raka, mencoba untuk tidak terlalu memaksakan dirinya untuk berbicara. Tapi ketika ruang itu mulai terasa terlalu besar, perasaan cemas semakin menguasai diri. Alya merasa seperti ia sedang berjuang sendirian, berusaha keras untuk menjaga agar hubungan ini tetap utuh, sementara Raka seperti mundur perlahan.

Keputusan yang Sulit

Alya tahu, jika dia tidak mengungkapkan perasaannya, hubungan ini mungkin akan semakin jauh. Tapi, bagaimana mengungkapkan ketakutan itu tanpa membuat Raka merasa terbebani? Dia takut jika perasaan cemasnya ini hanya akan memperburuk keadaan. Alya sadar bahwa ketakutan ini bukan hanya datang dari dirinya, tetapi juga dari Raka. Mereka berdua merasa terpisah oleh jarak yang tak bisa dijembatani. Namun, pada saat yang sama, mereka tidak bisa menahan perasaan mereka begitu saja.

Pada akhirnya, Alya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Setelah beberapa hari penuh kecemasan dan keraguan, ia akhirnya memberanikan diri untuk menelepon Raka. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi satu hal yang pasti—ia tidak bisa terus hidup dengan ketakutan yang menggerogoti hatinya.

Ketika telepon itu akhirnya tersambung, Alya bisa mendengar suara Raka di ujung sana. Suaranya terdengar sedikit lebih rendah dari biasanya, dan itu membuat Alya semakin cemas. Namun, ia mencoba untuk tetap tenang.

“Alya,” suara Raka terdengar ragu. “Maaf kalau aku nggak banyak menghubungi belakangan ini. Aku cuma… agak sibuk dengan beberapa hal.”

Alya menggigit bibirnya. “Aku ngerti, Raka. Tapi kenapa kita jadi semakin jarang bicara? Aku merasa seperti ada yang berubah antara kita.”

Raka terdiam sejenak, dan Alya merasa semakin cemas. Apakah ini saatnya untuk mendengar apa yang sebenarnya terjadi?

“Alya…” Raka mulai, suaranya terdengar berat. “Aku juga merasakannya. Aku merasa kita semakin menjauh, dan itu membuat aku takut. Aku takut kalau kita terus seperti ini, hubungan ini akan hilang begitu saja. Aku nggak mau itu terjadi. Tapi aku juga nggak tahu bagaimana caranya supaya kita bisa kembali seperti dulu.”

Ketakutan yang Terungkap

Alya terdiam mendengar kata-kata Raka. Ketakutan yang selama ini mereka rasakan ternyata sama. Mereka berdua merasa terjebak dalam hubungan yang terpisah oleh jarak dan waktu, dan keduanya merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah keadaan.

“Aku… aku juga takut, Raka. Takut kalau kita semakin jauh, takut kalau kita nggak bisa bertahan. Tapi aku nggak mau menyerah begitu saja. Aku mau kita berjuang untuk ini. Aku nggak mau kehilangan kamu.”

Raka menghela napas panjang di ujung telepon. “Aku juga nggak mau kehilangan kamu, Alya. Kita harus mencari cara, entah bagaimana, untuk menjaga hubungan ini. Kita harus terus berusaha, meskipun berat.”

Alya merasa seolah-olah beban yang menekan dirinya sedikit berkurang. Meskipun masih ada banyak keraguan, setidaknya sekarang mereka berdua tahu bahwa mereka merasa hal yang sama. Mereka takut, tetapi mereka tidak ingin menyerah.*

Bab 4: Ketakutan yang Terungkap

Awal Mula Keheningan

Hari itu, Alya merasa hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya. Beberapa hari setelah percakapan panjang dengan Raka melalui telepon, perasaan takut yang selama ini mengganggunya mulai sedikit mereda. Mereka sudah saling mengungkapkan ketakutan mereka tentang hubungan yang semakin jauh, dan itu sedikit meringankan beban yang terasa di hatinya. Namun, meskipun percakapan itu memberikan kelegaan, Alya masih merasakan ada sesuatu yang belum terselesaikan sepenuhnya.

Pagi itu, setelah berbulan-bulan menjauh, Alya memutuskan untuk menulis sebuah surat. Surat yang tidak hanya akan dikirimkan ke Raka, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Dalam surat itu, ia ingin menggali lebih dalam tentang apa yang dirasakannya, tentang segala ketakutan yang sempat ia simpan rapat-rapat di dalam hati. Ia ingin memastikan bahwa Raka bisa benar-benar mengerti apa yang ada di dalam dirinya.

“Aku takut, Raka. Aku takut kita akan semakin menjauh. Aku takut kehilanganmu karena jarak yang memisahkan kita. Aku takut jika suatu hari nanti, kita akan menjadi orang asing dalam hidup satu sama lain. Itu yang aku rasakan setiap kali kita berbicara, dan itu menakutkan.”

Alya menulis kalimat tersebut dengan hati yang berat, tetapi juga dengan harapan. Ia tahu bahwa ia harus mengungkapkan ketakutannya, karena itu adalah satu-satunya cara agar mereka bisa maju bersama, bukan hanya terjebak dalam ketakutan dan kecemasan yang tidak terucapkan.

Menyusun Kata-Kata

Setelah menulis kalimat itu, Alya menatap surat yang tergeletak di meja belajarnya. Tidak ada yang lebih sulit dari menulis perasaan yang begitu dalam dan rumit, tetapi ia tahu, jika ia ingin hubungan ini bertahan, ia harus melakukannya. Kadang-kadang, kata-kata yang tidak diucapkan bisa lebih berat daripada apa yang sebenarnya ingin disampaikan.

Ia memutuskan untuk melanjutkan menulis.

“Aku tahu kita terpisah oleh jarak yang jauh, dan aku tahu kita berdua sibuk dengan kehidupan kita masing-masing. Tapi aku merasa ada yang hilang dari diri kita. Ketika kita berbicara, aku merasa seperti ada dinding yang memisahkan kita, sebuah jarak yang tidak hanya fisik, tetapi emosional. Aku ingin kita kembali seperti dulu, berbicara tentang segala hal tanpa ada yang disembunyikan. Tapi aku takut jika aku terlalu banyak berharap.”

Alya merasa matanya mulai basah. Dalam surat itu, ia mencoba menumpahkan perasaan yang selama ini ia simpan. Perasaan takut akan kehilangan, perasaan kesepian yang datang begitu mendalam setiap kali mereka terpisah. Namun, meskipun ia merasa cemas, ia juga merasakan ada sedikit harapan di dalam hatinya. Harapan bahwa dengan mengungkapkan semua ini, Raka bisa merasakan hal yang sama.

Namun, ia juga tahu bahwa menulis surat ini bukanlah sebuah solusi ajaib. Mungkin Raka tidak akan langsung membalasnya dengan jawaban yang ia harapkan. Mungkin Raka akan merasa terbebani. Mungkin surat ini tidak akan mengubah apa pun. Tapi di sisi lain, Alya tahu bahwa dia perlu mengungkapkan perasaannya dengan cara ini, karena tidak ada cara lain untuk mengetahui apakah Raka masih merasa hal yang sama.

Raka Membaca Suratnya

Setelah menyelesaikan surat tersebut, Alya merasa sedikit lebih lega. Ia tahu bahwa itu adalah langkah besar untuk dirinya sendiri. Kemudian, ia mengirimkan surat itu ke Raka, berharap bahwa apa yang ia tulis bisa sampai ke hati pria yang selama ini sangat ia cintai.

Beberapa jam kemudian, ketika matahari sudah mulai terbenam dan langit berwarna oranye, Alya menerima pesan dari Raka.

Raka:”Alya, aku baru saja membaca suratmu. Aku tidak tahu harus berkata apa, karena ini adalah hal yang sama yang aku rasakan. Aku merasa kita semakin menjauh, tapi aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Aku juga takut kehilanganmu. Aku takut jika jarak ini akan merenggut semua yang kita bangun bersama. Aku merasa sangat bingung dan cemas. Aku merasa aku tidak cukup berusaha untuk membuatmu merasa lebih dekat.”

Alya terdiam di tempatnya membaca pesan tersebut. Rasa cemas dan ketakutan yang selama ini ia pendam ternyata juga dirasakan oleh Raka. Rasa itu tak hanya datang dari dirinya sendiri, tetapi juga dari orang yang selama ini selalu menjadi tempatnya berpegang. Ini adalah momen yang Alya tunggu-tunggu, tetapi sekaligus membuatnya cemas.

Ketakutan yang Terungkap

Setelah membalas pesan singkat itu, Alya memutuskan untuk menghubungi Raka. Ia merasa bahwa percakapan mereka akan lebih baik jika dilakukan secara langsung. Raka menjawab teleponnya setelah beberapa detik berdering, dan suara di ujung sana terdengar lelah, namun tetap penuh dengan kehangatan yang selalu Alya rindukan.

“Alya,” suara Raka terdengar dalam, “Aku sudah membaca suratmu, dan aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga merasa terjebak dalam ketakutan yang sama. Aku takut kalau kita terus seperti ini, kita akan semakin jauh, bahkan lebih jauh dari sebelumnya. Aku tidak tahu bagaimana caranya agar kita bisa tetap bersama, terutama dengan segala keterbatasan yang ada.”

“Aku juga takut, Raka,” jawab Alya dengan suara gemetar. “Aku takut kita tidak akan pernah bisa kembali seperti dulu. Aku takut kalau kita semakin terpisah karena jarak ini, dan akhirnya kita hanya menjadi kenangan satu sama lain.”

Mendengar suara Raka yang bergetar di ujung telepon, Alya merasa hatinya semakin terikat dengan pria itu. Mereka berdua memiliki ketakutan yang sama, tetapi mungkin karena mereka tidak pernah mengungkapkannya secara langsung, perasaan itu mulai tumbuh menjadi sebuah penghalang antara mereka. Namun, sekarang semuanya terbuka. Semua ketakutan yang selama ini mereka simpan terungkap dengan kata-kata yang penuh kejujuran.

“Aku juga takut kehilanganmu, Alya,” ujar Raka dengan suara yang terdengar berat. “Tapi aku juga tahu, kita tidak bisa hanya saling merindukan tanpa ada usaha untuk menjaga hubungan ini. Aku tahu aku belum cukup berusaha untuk membuatmu merasa dekat. Aku ingin memperbaikinya, tapi aku juga takut kalau itu tidak cukup.”

Alya merasa sedikit lebih lega setelah mendengar kata-kata Raka. Mereka kini bisa berbicara dengan terbuka tentang ketakutan mereka, tentang semua hal yang selama ini mengganggu pikiran mereka. Meskipun belum ada jawaban pasti tentang apa yang harus mereka lakukan, setidaknya mereka tahu bahwa mereka berdua saling merasakan hal yang sama. Tidak ada lagi kebohongan atau ketakutan yang disembunyikan.

Menghadapi Ketakutan Bersama

Percakapan itu berlangsung cukup lama, dan meskipun tidak ada kesimpulan yang pasti tentang apa yang harus mereka lakukan, Alya merasa ada harapan baru. Mereka berdua masih saling mencintai, dan itu adalah hal yang paling penting. Meskipun jarak dan ketakutan semakin besar, mereka bisa berusaha untuk menghadapinya bersama-sama.

“Alya,” kata Raka perlahan, “Aku tahu ini tidak akan mudah, dan mungkin kita masih akan merasa takut atau cemas di masa depan. Tapi aku janji, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak membuatmu merasa sendirian. Kita akan menghadapi ini bersama, bahkan jika itu sulit. Aku tidak akan membiarkan ketakutan ini merenggut kita.”

Alya menutup matanya dan menghela napas panjang. Kata-kata itu memberi kekuatan baru pada dirinya. Mereka tidak perlu menyelesaikan semua masalah sekaligus. Yang terpenting adalah mereka sudah mengungkapkan ketakutan mereka, dan itu sudah cukup untuk menunjukkan bahwa mereka masih peduli dan ingin berjuang bersama.

“Aku janji, Raka,” jawab Alya, “Aku akan berusaha, kita akan berusaha bersama. Meskipun ada jarak, kita masih bisa menjaga cinta ini. Aku percaya kita bisa melewati semuanya.”

Akhir yang Penuh Harapan

Setelah percakapan panjang itu, Alya merasa lebih tenang. Ketakutan yang selama ini menggerogoti dirinya perlahan menghilang, digantikan oleh harapan bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, mereka bisa tetap menjaga hubungan ini. Mereka kini lebih memahami satu sama lain—mereka lebih terbuka, lebih jujur, dan lebih siap untuk menghadapi masa depan bersama.

Alya meletakkan teleponnya, merasa lega dan penuh dengan keyakinan baru. Mungkin jalan mereka masih panjang, dan mungkin mereka akan menghadapi banyak tantangan. Namun, satu hal yang jelas mereka berdua tidak akan pernah menyerah. Cinta mereka lebih kuat daripada ketakutan yang menghalangi mereka.

Tindaak Lanjut Ketakutan yang Terungkap

Setelah malam itu, percakapan yang jujur antara Alya dan Raka menjadi titik balik dalam hubungan mereka. Ketakutan yang selama ini terkunci rapat kini menjadi sesuatu yang mereka hadapi bersama. Namun, meskipun ada pengakuan dan penyesalan, tidak ada jaminan bahwa hubungan ini akan langsung pulih begitu saja. Ada banyak ketidakpastian yang masih harus mereka atasi.

Alya merasa seolah-olah beban yang selama ini mengganggu dirinya telah sedikit berkurang setelah percakapan itu. Ia bisa bernafas lega, namun itu bukan berarti perasaan cemas dan takut akan hilang begitu saja. Ada banyak hal yang masih harus mereka jalani. Meski demikian, ada satu hal yang pasti: mereka kini lebih terbuka, lebih peka terhadap perasaan masing-masing. Mereka tahu bahwa cinta itu bukan hanya tentang kata-kata manis, tetapi juga tentang keberanian untuk saling mengungkapkan ketakutan, keraguan, dan harapan.

Jeda yang Menyembuhkan

Hari-hari setelah percakapan itu berjalan dengan perlahan. Alya dan Raka semakin jarang berbicara, namun ada perubahan yang terasa pada keduanya. Meskipun percakapan mereka lebih terbatas karena kesibukan masing-masing, mereka tetap menjaga komunikasi yang lebih hangat dan penuh pengertian. Tidak ada lagi keheningan yang mencekam, karena mereka sudah membicarakan hal-hal yang sebelumnya mereka takuti.

Alya menyadari bahwa ketakutan yang ia rasakan selama ini bukanlah hal yang bisa dihindari. Rasa cemas dan keraguan adalah bagian dari hubungan jarak jauh, dan itu wajar. Tetapi, yang membuat perbedaan adalah bagaimana mereka memilih untuk menghadapinya. Alya sadar, meski jarak memisahkan, mereka tetap memiliki kesempatan untuk merawat hubungan mereka, asalkan mereka bersedia menghadapi ketakutan itu, bukan menghindarinya.

Seiring waktu, Alya mulai merasa sedikit lebih bebas. Beberapa kali, ia dan Raka berbicara tentang hal-hal kecil yang menyenangkan, bahkan tanpa tujuan besar. Mereka mulai lebih banyak bertukar cerita tentang kehidupan sehari-hari, tentang pekerjaan yang kadang membuat stres, tentang teman-teman yang memberi mereka tawa. Ada kebahagiaan dalam setiap kata yang mereka bagi, meski keduanya tahu bahwa mereka masih terpisah oleh jarak yang tak bisa disangkal.

Percakapan yang Menyembuhkan

Suatu hari, saat Alya sedang menikmati secangkir kopi di balkon apartemennya, ponselnya berdering. Itu adalah pesan dari Raka. Alya tersenyum membaca pesan singkat itu.

Raka: “Kamu apa kabar hari ini?”

Meskipun ini terlihat seperti pertanyaan biasa, bagi Alya, ini adalah sebuah tanda bahwa Raka mulai kembali berbicara dengan lebih santai dan natural, tanpa beban. Tidak ada lagi perasaan canggung atau kekhawatiran yang tersembunyi di balik kata-kata. Mereka benar-benar saling mendengarkan, tanpa ada hal yang harus ditutupi.

Alya membalas pesan itu dengan senyum kecil di bibirnya.

Alya: “Baik, cuma sedikit lelah. Banyak deadline kerjaan yang harus dikejar. Tapi akhirnya bisa duduk santai sebentar.”

Raka membalas dengan cepat, kali ini nada pesannya terdengar lebih ringan, lebih hidup. Seolah-olah mereka kembali ke titik awal, saat keduanya mulai saling mengenal tanpa ada beban besar yang mengikutinya.

Raka: “Haha, aku juga lagi sibuk banget, nih. Cuma malam ini, aku ada sedikit waktu. Mungkin bisa ngobrol lebih lama?”

Alya tersenyum lagi. Ada sesuatu yang menyentuh hatinya setiap kali Raka menunjukkan perhatian seperti ini. Tidak ada lagi rasa cemas yang melingkupi percakapan mereka. Mereka berbicara seperti dulu, meskipun dalam kondisi yang jauh lebih berbeda.

Malam itu, mereka kembali mengobrol tentang banyak hal, mulai dari pekerjaan masing-masing hingga hal-hal kecil yang membuat mereka tertawa. Tidak ada lagi rasa terasing di antara mereka. Mereka merasa lebih dekat meskipun masih terpisah oleh ribuan kilometer.

Membangun Kepercayaan yang Kembali

Namun, meskipun ada banyak momen indah yang terjadi setelah percakapan itu, Alya tahu bahwa mereka masih harus menghadapi banyak tantangan. Jarak tidak akan pernah menjadi hal yang mudah untuk dihadapi, dan meskipun mereka telah mengungkapkan ketakutan mereka, rasa cemas itu tetap muncul dari waktu ke waktu. Tetapi kali ini, mereka mulai menghadapinya dengan cara yang berbeda. Alih-alih membiarkan rasa takut itu mempengaruhi hubungan mereka, mereka belajar untuk lebih percaya pada diri sendiri dan satu sama lain.

Alya memutuskan untuk mulai lebih percaya pada Raka. Meskipun dia tidak dapat selalu mendampinginya secara fisik, dia bisa berada di sana untuknya dalam cara yang berbeda—dengan memberi dukungan, mendengarkan keluh kesahnya, dan berbagi cerita tentang hidup mereka masing-masing. Ia tahu, hubungan jarak jauh hanya akan berhasil jika keduanya memiliki kepercayaan yang kuat.

Pada saat yang sama, Raka pun berusaha untuk lebih terbuka. Dia mulai berbicara lebih banyak tentang perasaannya, mengungkapkan apa yang mengganggu pikirannya, dan tidak lagi membiarkan ketakutannya menghalangi hubungan mereka. Raka sadar, untuk mempertahankan hubungan ini, dia harus lebih banyak memberi dan berbagi.

Pada suatu malam, setelah beberapa hari mereka tidak berbicara secara intens, Raka mengirimkan pesan kepada Alya. Kali ini, pesan itu sedikit berbeda dari biasanya.

Raka:”Alya, aku tahu kita masih jauh, dan mungkin ada banyak ketakutan yang masih mengintai, tapi aku merasa lebih kuat dengan kita berdua saling berusaha. Aku janji, aku nggak akan biarkan jarak ini menghancurkan kita. Aku ingin berjuang untuk kita.”

Membaca pesan itu, Alya merasa hatinya hangat. Tidak ada lagi kata-kata yang terasa kosong. Ada keberanian yang tulus di balik setiap kalimat yang Raka tuliskan. Alya tahu, meskipun perjalanan ini tidak mudah, mereka berdua siap untuk melangkah bersama.

Malam yang Tenang

Malam itu, setelah beberapa hari penuh ketegangan, Alya merasa tenang. Ponselnya tidak berdering, tetapi pikirannya penuh dengan percakapan yang telah mereka lakukan. Rasa takut yang sempat menguasai dirinya kini terasa lebih ringan. Dia tahu bahwa meskipun jarak itu ada, mereka masih bisa bertahan bersama. Mereka tidak harus menyelesaikan semua masalah sekaligus, tetapi dengan komunikasi yang lebih terbuka dan penuh pengertian, mereka bisa membangun kembali apa yang telah mereka mulai.

Alya menatap langit malam dari balkon apartemennya. Bintang-bintang yang berkelip di langit tampak jauh, namun mereka tetap terlihat terang. Pikirannya melayang pada percakapan yang baru saja dilakukan bersama Raka. Dalam hati, Alya berdoa, berharap agar hubungan ini bisa terus berkembang meskipun ada rintangan yang menghadang.

Sebuah Harapan Baru

Hari-hari berlalu, dan meskipun ketakutan tetap ada di dalam diri mereka, Alya dan Raka mulai merasa lebih kuat. Ketakutan yang mereka ungkapkan satu sama lain memberi mereka pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan mereka. Mereka tahu, untuk mempertahankan hubungan jarak jauh, mereka harus tetap mempercayai satu sama lain, tetap terbuka, dan terus berusaha.

Alya tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi satu hal yang ia yakini hubungan ini layak untuk diperjuangkan. Cinta tidak selalu mudah, terutama ketika jarak menguji setiap perasaan. Namun, dengan keberanian untuk mengungkapkan ketakutan dan keraguan, mereka tahu bahwa mereka bisa melewati apapun bersama. Meskipun tidak ada jaminan, mereka sudah menemukan keberanian untuk berjalan di jalan yang penuh ketidakpastian ini—bersama.*

Bab 5: Menghadapi Jarak dengan Harapan

Ketika Hari-hari Menjadi Lebih Lama

Alya bangun di pagi hari dengan perasaan campur aduk. Sinar matahari yang menyelinap melalui tirai jendela apartemennya terasa lebih cerah daripada biasanya, namun hatinya tetap terasa berat. Dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa seperti terjebak dalam rutinitas yang tidak pernah berubah. Hari-hari berjalan dengan lambat, penuh dengan kekosongan yang ia coba isi dengan pekerjaan, teman-teman, dan segala hal lainnya. Tapi di dalam hatinya, ada satu hal yang tidak bisa ia hindari rindu yang semakin mendalam kepada Raka.

Setiap pagi, dia menatap layar ponselnya dengan harapan untuk menerima pesan darinya, tetapi tidak ada yang pernah datang di waktu yang pasti. Mereka berdua sama-sama sibuk, menjalani kehidupan masing-masing yang penuh dengan kegiatan. Namun, meskipun begitu, ada perasaan tak terucap yang selalu mengikat mereka perasaan yang tetap ada meskipun jarak membentang begitu jauh.

Alya menyadari, semakin lama mereka terpisah, semakin besar rindu yang menghimpit hatinya. Namun, pada saat yang sama, ada harapan yang juga tumbuh di dalam dirinya. Harapan bahwa suatu hari nanti, meskipun jarak itu tak pernah benar-benar hilang, mereka bisa belajar untuk menghadapinya bersama.

Harapan yang Tak Pernah Padam

Meskipun jarak memisahkan mereka, Alya mulai belajar untuk tidak hanya bergantung pada waktu dan tempat untuk merasa dekat dengan Raka. Ada hal-hal yang lebih dalam, yang tidak bisa diukur dengan fisik atau seberapa sering mereka berbicara. Ada perasaan yang tumbuh perlahan, tumbuh menjadi harapan yang kuat. Mungkin mereka tidak bisa bertemu setiap hari, tapi mereka bisa belajar untuk menjaga perasaan ini dengan cara yang berbeda.

Setiap kali Raka mengirimkan pesan singkat atau menelepon, Alya merasa ada semangat baru yang tumbuh dalam dirinya. Meskipun hanya beberapa kalimat atau sekadar mendengar suara Raka di ujung telepon, itu sudah cukup untuk menghilangkan rasa sepi yang melanda hatinya. Ada kekuatan yang hadir ketika mereka berbicara sebuah kekuatan yang tumbuh dari rasa saling percaya dan harapan bahwa suatu hari nanti mereka akan bertemu kembali, lebih dekat dari sebelumnya.

Alya tahu, hubungan jarak jauh memang sulit. Ada banyak tantangan yang harus mereka hadapi. Namun, meskipun itu sulit, ada sesuatu yang lebih besar yang mereka perjuangkan cinta mereka. Dan cinta itu, meskipun terkadang terhalang oleh jarak, tetap ada. Itu adalah api kecil yang tetap menyala meskipun diterpa angin.

Rindu yang Terpendam

Satu hal yang paling sulit bagi Alya adalah ketidakpastian. Ketika ia merindukan Raka, ia ingin lebih dari sekadar kata-kata atau pesan. Ia ingin merasakannya di dekatnya, mendengar suara tawa Raka yang khas, merasakan pelukan yang selama ini hanya ada dalam imajinasi. Tapi, sayangnya, itu tidak mungkin.

Rindu itu tumbuh begitu dalam, menyesakkan dada. Kadang-kadang, Alya merasa seperti waktu berjalan lebih lambat hanya karena ia menunggu kabar darinya. Dia ingin mendengar tentang bagaimana hari-hari Raka berlalu, bagaimana suasana di tempat kerjanya, atau sekadar mendengarkan suara Raka bercerita tentang hal-hal kecil yang terjadi dalam hidupnya. Tapi, saat itu semua tidak terjadi, ia merasa ada bagian dari dirinya yang hilang. Bagian yang hanya bisa diisi oleh kehadiran Raka.

Meskipun begitu, Alya berusaha untuk tidak terlalu terlarut dalam perasaan itu. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa meskipun mereka terpisah, cinta mereka tetap ada. Tidak ada yang bisa mengubah itu, bahkan jarak yang begitu jauh sekalipun.

Membangun Kepercayaan Lewat Waktu

Pada suatu malam, setelah beberapa hari tidak ada komunikasi yang cukup intens, Raka akhirnya menghubungi Alya. Pesannya sederhana, namun memiliki makna yang dalam.

Raka: “Alya, aku tahu kita jarang komunikasi belakangan ini. Aku ingin kamu tahu kalau aku tetap memikirkanmu setiap hari. Meskipun aku sibuk, aku tetap ingin menjaga hubungan ini. Aku percaya kita bisa melalui semua ini.”

Alya tersenyum membaca pesan itu. Ada kekuatan dalam kata-kata itu, sesuatu yang membuatnya merasa bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, Raka masih memikirkan mereka. Dan itu sudah cukup untuk menenangkan hatinya. Kepercayaan itu penting percaya bahwa meskipun mereka tidak bisa selalu bersama, mereka tetap ada satu sama lain.

Alya membalas pesan itu dengan penuh kehangatan.

Alya:”Aku tahu, Raka. Aku juga merasakannya. Setiap hari aku memikirkanmu. Meskipun jarak memisahkan kita, aku percaya kita bisa melewati semua ini. Kita hanya perlu percaya satu sama lain, dan berusaha untuk tetap dekat, meskipun kita jauh.”

Mereka berdua menyadari bahwa cinta mereka tidak bisa hanya bertahan dengan kata-kata. Mereka harus berusaha, meskipun terkadang itu berarti berjuang melawan perasaan cemas dan ketakutan. Tetapi, mereka juga tahu bahwa mereka tidak akan menyerah begitu saja. Mereka saling percaya, dan itu adalah dasar yang kuat untuk mempertahankan hubungan ini.

encana untuk Bertemu

Setelah beberapa waktu, Alya merasa bahwa mereka telah melalui tahap yang paling sulit. Mereka telah mengungkapkan ketakutan mereka, membangun kepercayaan satu sama lain, dan saling memberi harapan. Namun, meskipun mereka berdua merasa lebih dekat dari sebelumnya, kenyataan bahwa mereka masih terpisah begitu jauh tetap menghantui mereka. Alya ingin lebih dari sekadar kata-kata. Dia ingin merasakan kehadiran Raka, bertemu dengannya, dan merasakan kehangatan yang selama ini hanya ada dalam obrolan mereka.

Alya mulai merencanakan sesuatu dalam pikirannya. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang harapan tanpa melakukan apa-apa. Suatu hari nanti, mereka harus bertemu. Suatu hari nanti, jarak ini harus ada akhir. Mungkin itu tidak akan mudah, dan mungkin itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat, tetapi itu adalah harapan yang harus mereka perjuangkan.

Ia mulai mencari tiket pesawat, mencoba merencanakan perjalanan untuk bisa bertemu dengan Raka di suatu tempat, mungkin tempat yang tidak biasa, yang akan memberi mereka kenangan yang tak terlupakan. Ia tahu itu tidak akan murah, tetapi rasa ingin bertemu dengan Raka lebih besar daripada segala hal lain.

Menerima Ketidakpastian

Namun, semakin ia merencanakan pertemuan itu, semakin ia merasa cemas. Bagaimana jika pertemuan itu tidak seperti yang ia bayangkan? Bagaimana jika kenyataan tidak seindah harapan? Mungkin perasaan mereka akan berubah setelah bertemu secara langsung, atau mungkin mereka akan merasa canggung, seperti orang asing.

Alya mencoba untuk menenangkan dirinya. Mungkin, memang ada ketidakpastian dalam setiap pertemuan. Namun, hal yang penting adalah mereka telah berusaha. Mereka tidak akan tahu apa yang akan terjadi jika mereka tidak pernah mencoba. Bahkan jika pertemuan itu tidak sempurna, mereka masih bisa belajar dan tumbuh bersama. Yang paling penting adalah mereka saling mencintai dan berusaha untuk menjaga hubungan ini.

Alya akhirnya merasa tenang setelah memutuskan untuk menyerahkan segalanya pada waktu. Ia tidak bisa mengendalikan apa yang akan terjadi, tetapi ia bisa mengontrol usahanya untuk menjaga harapan dan kepercayaan. Ini adalah perjalanan mereka bersama, dan mereka akan menghadapi apa pun yang datang dengan tangan terbuka.

Harapan yang Terus Tumbuh

Waktu berlalu, dan meskipun mereka belum bertemu, Alya merasa lebih kuat dari sebelumnya. Ia tahu bahwa cinta itu bukan hanya tentang bertemu setiap hari atau selalu bersama fisik. Cinta itu tentang bagaimana dua orang saling memahami, saling mendukung, dan berusaha untuk tetap ada meskipun jarak menguji segalanya.

Harapan itu terus tumbuh dalam hatinya, seperti benih yang tumbuh perlahan-lahan. Dan meskipun tidak ada jaminan tentang masa depan, Alya tahu satu hal: selama mereka saling mencintai dan berusaha menjaga hubungan ini, jarak tidak akan pernah bisa menghalangi mereka.

Menghadapi Jarak dengan Harapan – Lanjutan

Melangkah Perlahan Menuju Masa Depan

Alya duduk di balkon apartemennya, menatap keluar jendela. Matahari terbenam di ufuk barat, menciptakan langit yang dipenuhi dengan warna merah dan jingga yang menenangkan. Ada ketenangan dalam pemandangan itu, tetapi hatinya tetap gelisah. Rindu pada Raka mengalir begitu deras. Setiap hari ia menunggu kabar darinya, setiap pagi dan malam, seperti ritual yang menenangkan hati, meskipun tak selalu berhasil.

Namun, meskipun rindu itu terus ada, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Rasa takut dan cemas yang sering menghinggapinya tentang hubungan jarak jauh itu perlahan mulai tergerus oleh sesuatu yang lebih besar: harapan. Ia tahu, meskipun jarak masih memisahkan mereka, mereka kini lebih kuat dari sebelumnya. Setiap percakapan, setiap pesan singkat, setiap telepon yang mereka lakukan kini terasa lebih berarti. Mereka tidak lagi hanya mengisi kekosongan, tetapi berusaha membangun sesuatu yang lebih dalam sesuatu yang bisa bertahan meski dilanda badai.

Keberanian Menghadapi Ketidakpastian

Salah satu hal yang Alya sadari adalah bahwa hubungan ini tak akan pernah berjalan mulus tanpa adanya keberanian untuk menghadapinya. Tidak ada jaminan bahwa segala sesuatunya akan berjalan seperti yang mereka harapkan. Mereka tidak bisa mengontrol waktu, jarak, atau bahkan perasaan mereka sendiri. Semua itu adalah ketidakpastian yang harus diterima dengan penuh kesabaran.

Hari-hari berlalu begitu saja. Kadang mereka berbicara selama berjam-jam di telepon, saling bercerita tentang kehidupan masing-masing, saling mengingat kenangan indah yang mereka bagi sebelum berpisah. Namun, ada kalanya mereka juga hanya bertukar pesan singkat, kadang seolah-olah berbicara hanya untuk mengisi waktu, bukan karena benar-benar ada sesuatu yang ingin mereka katakan. Tapi Alya tahu, meskipun terkadang percakapan mereka terasa kosong, mereka tetap berusaha untuk menjaga ikatan itu tetap hidup.

Alya mulai menyadari bahwa dia tidak bisa terlalu bergantung pada harapan-harapan yang tidak pasti. Jika mereka ingin hubungan ini bertahan, mereka harus bisa menghadapi kenyataan bahwa banyak hal yang di luar kendali mereka. Namun, ada satu hal yang mereka miliki bersama—keinginan untuk berjuang. Keinginan itu yang menjadi bahan bakar bagi perjalanan mereka, meskipun kadang-kadang harapan itu terasa sangat jauh, seakan tak terjangkau.

Hari-hari yang Terkadang Sepi

Ada kalanya, meskipun percakapan mereka berjalan lancar, Alya merasa kesepian. Ada malam-malam ketika ia ingin sekali berbagi sesuatu dengan Raka, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa menghubunginya karena perbedaan zona waktu yang membuat keduanya terpisah begitu jauh. Ada kalanya, ia ingin mendengar suara tawa Raka, merasakan canda tawa mereka berdua, namun yang ia terima hanya diam.

Namun, di balik kesepian itu, Alya belajar untuk menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri. Jarak ini tidak hanya menguji hubungan mereka, tetapi juga menguji dirinya sendiri. Ia harus belajar untuk menjadi lebih mandiri, lebih kuat, dan lebih sabar. Kadang-kadang ia merasa putus asa, merasa seperti berada di tepi jurang, tapi setiap kali itu terjadi, ia ingat apa yang mereka perjuangkan bersama cinta dan harapan. Mereka harus bisa bertahan, tidak hanya untuk satu sama lain, tetapi untuk diri mereka sendiri.

Malam itu, setelah seharian bekerja, Alya duduk di tempat tidurnya, menatap layar ponsel dengan harapan melihat pesan dari Raka. Seperti biasa, ia merindukan suara Raka. Ia merindukan setiap momen kecil bersama, dari mulai berbicara soal rencana masa depan hingga sekadar membicarakan hal-hal ringan. Ketika pesan itu akhirnya datang, Alya merasa seolah-olah hatinya kembali terisi.

Raka: “Aku tahu kita sedang menjalani banyak hal, dan terkadang rasanya jauh, tapi aku cuma ingin kamu tahu bahwa aku terus berusaha untuk membuat kita bertahan. Aku percaya kita bisa menghadapi semua ini.”

Alya merasa hangat membaca pesan itu. Ada rasa lega dan juga kebahagiaan karena Raka masih berusaha untuk menjaga hubungan mereka tetap hidup. Meski seringkali mereka tidak bisa berbicara dalam waktu yang lama, ada keyakinan dalam kata-kata Raka yang membuatnya merasa lebih kuat.

Alya: “Aku juga merasa begitu, Raka. Kadang aku merasa lelah dengan jarak ini, tapi setiap kali kita berbicara, aku merasa sedikit lebih baik. Aku percaya kita bisa menghadapinya.”

Mereka berdua tahu bahwa cinta mereka bukan hanya tentang bertemu setiap saat atau berbicara sepanjang waktu. Cinta mereka adalah tentang saling mendukung, berusaha untuk menjaga hubungan ini tetap hidup meskipun ada banyak tantangan. Dan meskipun mereka masih terpisah jauh, mereka tetap bisa merasa dekat, saling memberi kekuatan satu sama lain.

Mimpi yang Terus Hidup

Pada suatu malam, setelah beberapa minggu berjalan tanpa ada kemajuan besar, Alya mulai memikirkan masa depan. Ia mulai bertanya-tanya kapan mereka bisa akhirnya bertemu lagi, dan apakah pertemuan itu akan benar-benar memenuhi semua harapan mereka. Ia tahu bahwa bertemu Raka bukanlah akhir dari semua masalah, melainkan hanya babak baru dalam hubungan mereka.

Alya berbaring di tempat tidur, menatap langit malam lewat jendela. Ada banyak hal yang belum mereka selesaikan. Ada begitu banyak impian yang mereka ingin capai bersama. Namun, meskipun mereka berada di tempat yang berbeda, mereka berdua memiliki satu tujuan yang sama: untuk terus berjuang demi masa depan yang lebih baik bersama.

Dalam keheningan malam, Alya merasa bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, mereka sudah lebih dari cukup mereka sudah saling memberi, saling mendukung, dan saling mencintai dengan cara yang sangat kuat. Apa pun yang terjadi, Alya tahu bahwa mereka akan selalu memiliki harapan, dan harapan itu adalah alasan mereka untuk terus berjalan.

Melangkah Maju dengan Kepercayaan

Beberapa bulan kemudian, percakapan antara Alya dan Raka semakin berkembang. Mereka berbicara lebih banyak tentang rencana masa depan mereka, tentang bagaimana mereka ingin menjalani hidup setelah jarak ini tidak lagi menjadi penghalang. Raka mulai merencanakan kunjungan ke kota tempat tinggal Alya, dan meskipun keduanya masih terpisah oleh ribuan kilometer, ada rasa optimisme yang menguatkan hati mereka.

Alya merasa sedikit cemas ketika membicarakan rencana itu. Apa yang akan terjadi ketika mereka akhirnya bertemu lagi? Apakah semuanya akan berjalan lancar? Namun, rasa cemas itu tidak menghalanginya untuk berharap. Mereka telah melalui begitu banyak hal bersama, dan meskipun ketidakpastian masih ada, mereka sudah siap untuk menghadapi apa pun yang datang.

Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Mereka tahu bahwa ada banyak rintangan yang harus mereka lewati, tetapi mereka juga tahu satu hal: mereka memiliki satu sama lain. Mereka memiliki cinta, harapan, dan keinginan untuk tetap bersama. Tidak ada jarak yang terlalu jauh untuk mereka hadapi, selama mereka saling mencintai dan saling berjuang bersama.

enerima Ketidakpastian dengan Harapan

Seiring berjalannya waktu, Alya mulai menerima bahwa cinta jarak jauh bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi juga bukan sesuatu yang tak mungkin. Ada banyak hal yang harus mereka perjuangkan, dan banyak kesabaran yang diperlukan. Namun, setiap kali mereka berbicara, setiap kali mereka saling memberi dukungan, Alya merasa semakin yakin bahwa hubungan ini adalah sesuatu yang layak diperjuangkan.

Alya dan Raka sudah melewati banyak hal bersama, dan meskipun jarak masih memisahkan mereka, mereka tahu bahwa mereka sudah menjadi lebih kuat karena itu. Mereka telah belajar untuk menghargai setiap momen bersama, dan mereka sudah siap untuk langkah selanjutnya langkah yang akan membawa mereka lebih dekat satu sama lain, meskipun masih ada banyak hal yang belum mereka ketahui.

Dan meskipun jarak itu masih ada, Alya tahu bahwa apa yang mereka miliki lebih besar daripada sekadar jarak fisik. Apa yang mereka miliki adalah cinta, kepercayaan, dan harapan. Dan dengan itu, mereka bisa menghadapi apa pun yang datang di masa depan.*

Bab 6: Momen Tak Terlupakan dan Keputusan Besar

Alya terjaga di tengah malam, matanya terbuka lebar seiring dengungan alarm ponsel yang menandakan waktu tepat pukul dua pagi di sana, waktu yang sudah menjadi bagian dari rutinitasnya. Meskipun jam tidur seharusnya sudah berlalu jauh, namun ada satu hal yang lebih kuat dari sekadar rasa kantuk: kerinduan pada Raka. Seminggu telah berlalu sejak percakapan terakhir mereka yang intens dan penuh perasaan.

Tidak ada pesan masuk dari Raka. Tidak ada kabar. Tidak ada kata-kata penghibur. Alya merasa cemas, namun ia mencoba menenangkan diri, berpikir bahwa mungkin Raka sedang sibuk dengan pekerjaan atau sesuatu yang penting lainnya.

Namun, pada malam itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Alya mendapatkan panggilan telepon dari Raka.

“Alya, kamu tidur?” Suara Raka terdengar tegas namun penuh kehangatan.

Alya yang terkejut sesaat, langsung duduk dan menyenderkan tubuhnya di tempat tidur. “Aku baru saja bangun. Kenapa? Apa ada yang terjadi?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibirnya. Di satu sisi, ia merasa cemas, tapi di sisi lain, mendengar suara Raka selalu bisa menenangkan hatinya.

“Ada sesuatu yang harus kita bicarakan.”Suara Raka terdengar lebih berat daripada biasanya. Ada ketegangan yang bisa Alya rasakan meski hanya melalui kata-kata itu.

Alya menghela napas panjang. Jantungnya mulai berdegup kencang. Apa yang akan Raka bicarakan? Apakah hubungan mereka akan diuji sekali lagiMengingat betapa kuatnya cinta yang mereka bina, rasa takut menyelimuti diri Alya. Ia berharap itu bukan hal yang buruk.

“Apa yang terjadi, Raka?” tanya Alya, suara yang dipenuhi kekhawatiran.

“Alya… Aku sudah memutuskan sesuatu.” Ada jeda panjang, seolah-olah Raka sedang mempertimbangkan kata-katanya. “Aku ingin kita bertemu. Aku ingin menyelesaikan semua ini. Aku tidak tahan lagi dengan jarak yang memisahkan kita. Aku ingin kita berbicara langsung, bertemu, dan menghadapi semuanya bersama.”

Rasa lega langsung meresap dalam diri Alya, namun sekaligus ada perasaan cemas yang tak bisa ditutupi. “Tapi, Raka… kita kan belum siap. Ini keputusan besar. Kalau kita bertemu, itu akan mengubah segalanya. Apa kamu yakin?” tanya Alya, berusaha menahan getaran yang mulai terasa di suaranya.

“Alya,” jawab Raka dengan suara yang terdengar lebih lembut namun penuh keyakinan. “Aku yakin. Kita tidak akan pernah tahu apakah kita siap atau tidak jika tidak mencobanya. Kita sudah berjuang begitu lama, kenapa kita tidak mencoba mengambil langkah besar bersama?”

Alya terdiam, perasaan yang campur aduk memenuhi dirinya. Momen itu terasa begitu intens. Ia ingin percaya pada Raka, ingin percaya pada hubungan mereka. Tapi ini bukanlah keputusan kecil. Pertemuan mereka bukan hanya tentang bersatu dalam jarak dekat, tetapi tentang menghadapi realitas yang lebih besar: apakah mereka benar-benar bisa hidup bersama dengan segala tantangan yang datang?Momen yang Tak Terlupakan

Keesokan harinya, Alya merasa

dunia di sekelilingnya tampak berbeda. Dia merasa seperti terjebak dalam keadaan di antara dua dunia yang saling tarik-menarik. Di satu sisi, ada ketegangan yang masih terasa dalam dirinya, tetapi di sisi lain, ada perasaan bahagia yang menyelimutinya.

Namun, keputusan yang mereka ambil masih belum jelas. Akankah mereka benar-benar bertemu, dan bagaimana kehidupan setelah itu? Satu hal yang Alya tahu pasti: pertemuan itu akan mengubah hidup mereka selamanya. Tidak ada lagi jalan mundur. Tidak ada lagi ruang untuk meragukan keputusan itu.

Namun, semakin ia berpikir, semakin ia merasa keputusan ini adalah hal yang tepat. “Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” pikir Alya dalam hati. Ia harus berani untuk menghadapi kenyataan itu, berani untuk melangkah bersama Raka, meski tak ada jaminan tentang apa yang akan terjadi di masa depan.

Alya pun mulai menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pertemuan itu. Tiket pesawat telah dibeli, rencana perjalanan pun mulai disusun. Tapi, di luar segala persiapan logistik, ada satu hal yang lebih besar dari semuanya: emosi yang membuncah di dada Alya. Cinta mereka sudah melewati banyak rintangan, dan kali ini mereka akan menghadapi ujian yang lebih besar benarkah cinta mereka cukup kuat untuk bertahan menghadapi realitas?

Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Alya sudah berada di bandara, berdiri dengan gugup di depan gerbang keberangkatan. Perasaannya campur aduk—antara kegembiraan dan kecemasan. Ia melihat layar informasi penerbangan, dan pesawat yang akan membawanya menuju kota Raka hampir siap untuk lepas landas.

Ketika pesan terakhir dari Raka masuk, Alya memandangnya dengan haru. “Aku menunggumu, Alya. Aku yakin ini adalah keputusan yang tepat.”** Tentu saja, Alya tahu bahwa Raka juga memiliki perasaan yang sama: berani untuk bertindak meski penuh ketidakpastian.

Pesawat itu akhirnya mendarat di bandara kota tempat tinggal Raka. Hatinya berdegup kencang. Segera setelah keluar dari terminal, ia melihat sosok yang telah lama dirindukan Raka, dengan wajah yang tidak lagi asing, meskipun jarak dan waktu telah membuatnya begitu jauh.

Raka berjalan menuju Alya dengan langkah cepat. Senyumnya yang lebar menghiasi wajahnya, seakan menghapus semua keraguan yang ada di dalam hati Alya. Mereka berdiri saling berhadapan. Untuk beberapa detik, keduanya hanya saling memandang, menyerap semua kenyataan yang ada. Tidak ada kata yang keluar, hanya pandangan yang penuh dengan ribuan perasaan yang tak terucap.

Alya merasakan sesuatu yang mendalam. Sesuatu yang lebih dari sekadar rasa rindu atau cinta. Ini adalah momen yang akan membekas dalam ingatannya selamanya momen yang menandai langkah besar dalam perjalanan hidup mereka.

Alya mengulurkan tangannya, dan Raka meraihnya dengan erat. “Aku tahu ini bukan hal yang mudah, tetapi aku ingin kita berjuang bersama, Raka.” Kata-kata itu keluar begitu saja dari bibirnya, penuh keyakinan.

Raka menariknya dalam pelukan yang hangat dan penuh cinta. “Aku sudah memutuskan, Alya. Kita akan bersama. Tidak ada lagi yang bisa memisahkan kita.”

Mereka berdua tahu bahwa pertemuan ini bukanlah akhir dari perjalanan mereka, melainkan awal dari perjalanan baru yang lebih besar, lebih penuh tantangan, tetapi juga lebih penuh harapan.

Langkah Menuju Masa Depan

Hari-hari yang mereka habiskan bersama di kota Raka penuh dengan kebahagiaan dan juga kesedihan yang mengarah pada kesadaran baru. Meskipun mereka menikmati kebersamaan mereka, namun ada realitas baru yang harus dihadapi. Bagaimana mereka akan menyatukan kehidupan yang berbeda setelah begitu lama terpisah? Bagaimana mereka akan mengatasi masalah yang timbul setelah pertemuan ini?

Keputusan besar itu telah menciptakan momen yang tak terlupakan, dan meskipun perjalanan mereka belum selesai, keduanya yakin bahwa mereka akan menghadapinya bersama. Tidak ada lagi rasa takut atau keraguan. Mereka siap untuk berjuang demi cinta yang telah mereka bangun, meskipun jalan ke depan tidak selalu jelas.

Dan yang lebih penting, mereka tahu bahwa momen ini akan selalu dikenang sebagai titik balik dalam hubungan mereka momen yang menguatkan mereka untuk menghadapi segala tantangan yang mungkin datang.***

———–THE END———–

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintajarakjauh#cintapertama#KeputusanBesar#PertemuanTakTerduga#rindu
Previous Post

DUA HATI SATU CERITA

Next Post

JEJAK PERTAMA DI HATI

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
JEJAK PERTAMA DI HATI

JEJAK PERTAMA DI HATI

DIBALIK LAYAR

DIBALIK LAYAR

SAAT HUJAN MENGINGATKAN MU

SAAT HUJAN MENGINGATKAN MU

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id