Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

KISAH KECIL TENTANG KITA

KISAH KECIL TENTANG KITA

SAME KADE by SAME KADE
March 8, 2025
in Cinta Pertama
Reading Time: 20 mins read
KISAH KECIL TENTANG KITA

Daftar Isi

  • BAB 1 AWAL PERJUMPAAN
  • BAB  2 PERCAKAPAN YANG MENYENANGKAN
  • BAB  3 PERSAHABATAN  YANG  TRAHKIR
  • BAB 4 TANDA-TANDA CINTA
  • BAB 5 KESALAHPAHAMAN
  • BAB  6 MENGHADAPI RASA
  • BAB  7 LANGKAH  PERTAMA  BERSAMA

BAB 1 AWAL PERJUMPAAN

Mira berjalan perlahan menuju kantin sekolah, matanya memandang ke lantai dengan pikiran yang kosong. Hari ini terasa seperti hari biasa—banyak tugas yang harus dikerjakan, teman-teman yang ramai berbicara, dan suara riuh dari berbagai arah. Namun, ada sesuatu yang membuatnya sedikit tidak fokus. Beberapa hari terakhir, hatinya terasa sedikit berat, meski ia tak bisa menempatkan apa yang dirasakannya.

Mira adalah gadis yang sederhana. Tidak terlalu populer, namun memiliki teman-teman yang baik. Ia lebih suka menyendiri, sering kali ditemui di perpustakaan, tenggelam dalam dunia buku-buku yang menyenangkan. Ia tidak banyak bicara, tetapi ketika dia berbicara, orang-orang mendengarkannya. Bagi Mira, keheningan adalah teman yang paling nyaman. Namun, hari ini ada yang berbeda.

Saat ia melangkah ke dalam kantin, pandangannya langsung tertuju pada satu sosok. Ardi. Pemuda itu tampak sedang duduk bersama teman-temannya, tertawa keras dengan cerita yang mereka bagikan. Ardi—gadis-gadis di sekolah selalu berbicara tentang dia, dan meskipun Mira tidak ingin peduli, ia tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa ada sesuatu tentang Ardi yang membuatnya tertarik. Mungkin bukan hanya karena penampilannya yang tampan dan sikapnya yang percaya diri, tapi lebih karena sifatnya yang bisa membuat siapa saja merasa nyaman berada di dekatnya.

Ardi seringkali menjadi pusat perhatian. Ia selalu punya cara untuk membuat orang-orang di sekitarnya tertawa dan merasa hidup. Kepribadiannya yang ceria dan mudah bergaul membuatnya disukai oleh banyak orang. Namun, untuk Mira, Ardi hanyalah salah satu nama yang sering ia dengar dari teman-temannya. Ia tidak pernah benar-benar mengenalnya, dan sepertinya itu sudah cukup baginya. Namun entah mengapa, hari itu hatinya berdegup lebih kencang dari biasanya saat melihat Ardi.

Saat Mira melangkah maju untuk mengambil makanan, langkahnya tidak sengaja tersandung kursi yang diletakkan dengan ceroboh. Sebuah suara kecil terdengar, dan tanpa sengaja, tas yang ia bawa menabrak gelas es teh yang diletakkan di meja. Secepat kilat, cairan dingin itu menyiram baju Ardi yang sedang asyik berbicara.

Mira terpaku, dan rasa paniknya meluap begitu saja. Semua orang di meja langsung terdiam, dan perhatian tertuju pada mereka. Ardi menoleh ke arahnya, matanya terkejut sesaat, tetapi segera diikuti dengan senyuman lebar yang membuat Mira tertegun.

“Wah, saya rasa ini bukan cara yang baik untuk bertemu, ya?” Ardi berkata sambil tertawa ringan, mencoba meredakan suasana yang tiba-tiba canggung.

Mira hanya bisa terdiam, wajahnya memerah, malu setengah mati. “Ma—maaf… saya tidak sengaja,” jawabnya, suaranya hampir tenggelam dalam kebingungannya sendiri.

Ardi, yang melihat betapa paniknya Mira, langsung bangkit dari kursinya. “Tidak masalah, kok,” katanya. “Kejadian seperti ini pasti sering terjadi, kan? Hanya saja… baju saya jadi basah.” Ia tersenyum lagi, kali ini dengan nada bercanda, dan suasana kembali terasa lebih ringan.

Mira merasa sedikit lega mendengar respons Ardi yang begitu santai, meski rasa malunya tetap tak bisa hilang begitu saja. Ia mencoba untuk membersihkan sedikit sisa-sisa cairan di bajunya, tetapi Ardi menghalangi tangannya.

“Tidak usah khawatir, saya akan membersihkannya nanti,” kata Ardi sambil tertawa. “Lagipula, saya lebih suka basah sedikit daripada harus kering dengan suasana yang canggung.”

Mira hanya bisa tersenyum kikuk, tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia merasa sedikit lebih tenang, namun hatinya tetap berdebar kencang. Ia hanya berharap kejadian ini segera berakhir agar bisa kembali ke tempat duduknya dan melanjutkan hari yang membosankan. Namun, kehadiran Ardi, yang meskipun terdengar santai, seakan menyadarkan Mira bahwa hari ini mungkin tidak akan sama seperti hari-hari lainnya.

Setelah beberapa saat, teman-teman Ardi mulai tertawa dan kembali berbicara, sementara Mira berdiri di samping mereka, bingung. Ardi melihat ke arahnya, kemudian berkata, “Jangan khawatir, kita bisa pergi ke toilet bersama, kalau kamu mau. Saya rasa kita bisa membersihkan bajumu di sana.”

Mira tidak tahu harus berkata apa, tetapi ia tidak ingin terlalu lama berdiam diri dalam situasi yang aneh ini. “I—Iya, baiklah,” jawabnya pelan.

Di toilet, mereka berdua berdiri di depan wastafel, Mira mencoba membersihkan noda di bajunya, sementara Ardi membantu dengan sabun dan air. Tidak ada yang perlu dikatakan. Suasana terasa lebih santai dan tidak ada ketegangan. Ardi bahkan memberikan beberapa saran tentang cara membersihkan noda yang lebih efektif. Tanpa disadari, Mira mulai merasa lebih nyaman di dekatnya. Ardi bukan hanya tampan, tetapi juga perhatian.

Setelah beberapa menit, Mira akhirnya merasa bajunya sedikit lebih baik, meskipun tidak sepenuhnya bersih. Ardi tersenyum dengan riang. “Tidak apa-apa. Nanti kita bisa cari cara supaya kamu tetap merasa nyaman.”

Mira mengangguk, merasa bingung dengan perasaan yang tiba-tiba datang begitu saja. Sesuatu yang halus, tetapi kuat—sebuah ketertarikan yang tak bisa ia pungkiri. Ardi selalu bisa membuatnya merasa berbeda, meskipun baru saja bertemu dengan cara yang sangat canggung.

Di akhir percakapan itu, Mira hanya bisa tersenyum kikuk lagi. “Terima kasih,” ucapnya, dan tanpa sadar ia merasa ada sesuatu yang mulai tumbuh dalam dirinya, sebuah rasa penasaran yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Mereka berjalan kembali ke kantin, dan Mira duduk kembali di tempatnya dengan hati yang penuh kegembiraan dan keraguan. Apakah ini hanya perasaan sementara? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang mulai terbentuk di antara mereka berdua? Mira tidak tahu, tetapi satu hal yang pasti—pertemuan itu akan meninggalkan jejak dalam hidupnya, jejak yang akan terus ia kenang.

Itulah awal mula kisah mereka. Sebuah pertemuan yang sederhana, namun penuh makna, yang akhirnya akan mengubah hidup mereka selamanya.*

BAB  2 PERCAKAPAN YANG MENYENANGKAN

Setelah pertemuan canggung di hari itu, Mira dan Ardi tidak pernah lagi terpisah oleh jarak. Mereka mulai saling menyapa di setiap kesempatan, meskipun hanya lewat pesan singkat di ponsel. Namun, hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Sebuah acara sekolah yang kebetulan mempertemukan mereka berdua dalam satu kelompok, memberi kesempatan untuk lebih mengenal satu sama lain.

Pagi itu, ketika Mira tiba di sekolah, hatinya berdebar-debar. Hari itu terasa lebih istimewa dari biasanya. Sejak semalam, ia terus memikirkan Ardi dan percakapan singkat mereka yang penuh dengan kehangatan. Ardi yang selalu tampak ceria, dengan senyum khasnya, membuat Mira merasa seolah-olah dunia menjadi lebih ringan.

Setelah bel masuk, mereka pun berkumpul di ruang kelas untuk memulai tugas kelompok. Mira merasa sedikit canggung, tapi saat melihat Ardi duduk di sudut meja dengan ekspresi ramah, semua kecemasannya sedikit mereda. Ardi tersenyum padanya, memberikan senyuman yang seakan bisa mengusir semua keraguan yang ada di hati Mira.

“Hei, Mira! Kamu siap untuk kerja kelompok?” tanya Ardi dengan suara ceria.

Mira tersenyum kecil, mencoba mengurangi kecanggungannya. “Tentu, aku siap. Semoga tugasnya nggak terlalu berat,” jawabnya sambil duduk di samping Ardi.

Mereka mulai mendiskusikan topik tugas dengan serius, namun dalam suasana yang jauh lebih santai. Meskipun mereka berada dalam kelompok yang sama, percakapan mereka tidak hanya terbatas pada tugas sekolah. Entah bagaimana, percakapan mereka mulai beralih ke hal-hal yang lebih ringan dan menyenangkan.

“Eh, Mira, kamu suka baca buku nggak?” tanya Ardi, tiba-tiba mengalihkan perhatian dari tugas.

Mira terkejut, tapi kemudian mengangguk. “Iya, aku suka banget. Aku biasanya baca novel-novel fiksi. Kamu?”

Ardi tertawa ringan. “Wah, aku juga suka baca! Tapi aku lebih suka buku-buku petualangan atau yang berkaitan dengan misteri. Seru banget bisa terlibat dalam cerita yang nggak terduga.”

Mira merasa ada kecocokan dalam hal ini. “Aneh ya, kita punya selera yang mirip. Aku juga suka buku yang penuh dengan kejutan. Jadi, kamu lebih suka cerita dengan tokoh yang kuat atau gimana?” tanya Mira, mulai merasa lebih nyaman.

Ardi tersenyum penuh semangat. “Aku sih suka cerita dengan tokoh yang berkembang, yang nggak cuma jagoan, tapi juga punya kelemahan yang mereka hadapi. Itu yang bikin ceritanya lebih menarik, menurutku.”

Mira tersenyum kecil, merasakan ketertarikan yang sama dalam topik ini. “Aku juga suka karakter seperti itu. Karakter yang nggak sempurna, tapi berusaha menjadi lebih baik. Rasanya lebih nyata, kan?”

Percakapan mereka terus mengalir tanpa terasa. Dari buku favorit, mereka beralih ke film yang baru saja mereka tonton, kemudian ke hobi masing-masing. Mira akhirnya merasa bahwa Ardi bukan hanya teman sekelompok biasa, tetapi seseorang yang bisa dia ajak berbicara tentang banyak hal tanpa merasa canggung. Waktu seakan berjalan lebih cepat saat mereka berbicara dengan penuh semangat.

“Eh, Mira, kamu pernah ke pantai nggak?” tanya Ardi, menatap Mira dengan penuh rasa ingin tahu.

Mira mengangguk. “Pernah, kok. Tapi nggak sering. Pantai itu selalu bikin aku merasa tenang, tapi kadang juga sepi. Kenapa?”

Ardi tertawa, lalu melanjutkan, “Aku sih suka banget. Ada sesuatu yang misterius di sana. Lautnya yang luas, pasirnya yang halus… Rasanya kayak bisa melupakan semua masalah. Aku pernah duduk di sana lama banget, hanya menikmati suara ombak.”

Mira merasa dirinya semakin terhubung dengan Ardi. “Itu sounds so peaceful,” ucapnya. “Aku juga suka waktu malam di pantai. Kalau ada angin sepoi-sepoi, rasanya hidup ini lebih ringan.”

Ardi tersenyum lebar, senang melihat Mira mulai lebih terbuka. “Aku pengen ngajak kamu ke pantai suatu saat nanti, kalau kamu mau,” ujar Ardi dengan wajah serius, meski ada nada bercanda di ujung kalimatnya.

Mira terkejut, namun ada rasa hangat yang mengalir di dadanya. “Ah, kamu ngajak ke pantai? Pasti seru! Tapi, kapan?”

“Ya, nanti kalau ada waktu. Kita bisa pergi bareng, kalau kamu nggak sibuk,” jawab Ardi dengan nada santai, meskipun matanya memancarkan ketulusan.

Mira tak bisa menahan senyumannya. “Tunggu dulu, aku nggak janji kalau aku bisa pergi. Tapi, pantai kedengarannya seru banget.”

Percakapan mereka semakin mengalir dengan lancar, dan waktu pun terasa cepat berlalu. Tugas kelompok yang awalnya terasa membosankan kini menjadi tidak terlalu penting dibandingkan dengan kebersamaan yang mereka rasakan. Setiap kata, setiap tawa, dan setiap pandangan yang mereka bagikan membawa mereka semakin dekat. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan yang terjalin—ada rasa saling memahami yang tumbuh perlahan di antara mereka.

Saat bel sekolah berbunyi, tanda bahwa jam pelajaran telah usai, Mira merasa berat untuk berpisah dari Ardi. Mereka masih duduk bersama di meja, menatap satu sama lain dengan senyum yang seakan tak pernah pudar.

“Jadi, kamu benar-benar suka buku misteri, ya?” tanya Mira, menutup percakapan mereka.

Ardi mengangguk dengan penuh semangat. “Iya, dan aku rasa kita bisa saling tukar buku suatu saat nanti. Kalau kamu suka, pasti kamu bakal suka juga.”

Mira tersenyum, merasa sedikit lebih dekat dengan Ardi. “Deal. Kita tukar buku setelah ujian nanti,” jawabnya, tanpa sadar memberikan janji yang lebih dari sekadar pertukaran buku.

Mereka berdua tertawa, dan saat mereka berpisah di depan kelas, ada perasaan hangat yang tersisa. Sebuah percakapan yang sederhana, namun penuh makna. Mungkin saja, percakapan ini hanya bagian kecil dari hubungan mereka yang sedang tumbuh, tapi Mira merasa, untuk pertama kalinya, ada sesuatu yang lebih—sesuatu yang lebih dari sekadar teman.

Ardi pun berjalan pergi dengan senyum di wajahnya, tahu bahwa hari ini, sebuah percakapan kecil telah membuat langkah mereka lebih dekat lagi.*

BAB  3 PERSAHABATAN  YANG  TRAHKIR

Hari-hari itu mulai terasa berbeda bagi Mira. Setelah pertemuan yang canggung di acara sekolah, hubungan dengan Ardi berkembang dengan cara yang tak terduga. Mereka mulai saling menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Sepertinya, tidak ada hal yang bisa menghalangi kedekatan mereka. Semua dimulai dengan percakapan-percakapan kecil, yang kemudian berkembang menjadi diskusi yang lebih mendalam tentang kehidupan, mimpi, dan harapan.

Pagi itu, seperti biasa, Ardi menunggu di depan sekolah untuk menjemput Mira. Di tangan kirinya tergenggam sebuah buku yang baru saja dia beli. Ardi selalu memiliki cara untuk membuat hari-hari Mira lebih cerah, bahkan dengan hal-hal sederhana yang dia lakukan.

“Ini buat kamu,” kata Ardi dengan senyum lebar, sambil menyerahkan buku itu. Mira menatap buku di tangannya, sebuah novel yang sangat ia sukai.

“Kenapa…?” Mira kebingungan. “Kenapa kamu memberikan buku ini?”

“Karena aku tahu kamu pasti suka,” jawab Ardi sambil terkekeh, “Dan juga karena aku ingin berbagi sesuatu yang aku tahu akan membuatmu senang.”

Mira hanya bisa tersenyum melihat perhatian Ardi yang sederhana namun tulus. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada menerima perhatian seperti itu dari seseorang yang mulai ia anggap lebih dari sekadar teman. Meskipun belum ada pengakuan verbal tentang perasaan mereka, Mira merasa seakan ada ikatan yang kuat tumbuh di antara mereka berdua.

Hari-hari berlalu, dan semakin sering Mira dan Ardi berbicara. Dari percakapan tentang buku yang mereka baca bersama, sampai cerita-cerita konyol yang hanya bisa mereka bagi satu sama lain. Setiap pagi mereka bertemu sebelum sekolah, menghabiskan waktu bersama di kantin, dan sering kali berjalan pulang bersama setelah sekolah berakhir. Kebersamaan itu tidak terasa membosankan. Justru, Mira merasa semakin dekat dengan Ardi, dan ia mulai mengenal Ardi lebih dari sekadar pemuda ceria yang selalu tersenyum.

Mira menyadari bahwa Ardi bukan hanya teman yang baik, dia juga pendengar yang sabar. Ketika Mira merasa stres dengan tugas sekolah atau masalah pribadi, Ardi selalu ada untuk mendengarkan tanpa menghakimi. Hal itu membuat Mira merasa nyaman dan aman.

Suatu sore, mereka duduk di bangku taman sekolah setelah latihan olahraga. Udara yang agak sejuk membuat mereka bersandar di kursi dengan santai. Mira sedang menceritakan kejadian lucu yang baru saja terjadi di kelas saat Ardi mengangkat bahu, “Tahu nggak, aku nggak pernah bosan dengerin kamu cerita. Cerita-cerita kamu selalu bikin hari aku lebih baik.”

Mira tertawa ringan. “Mungkin aku yang harus berterima kasih. Karena kalau nggak ada kamu, aku pasti akan sering kesepian.”

Ardi tersenyum, dan sesaat mereka terdiam, menikmati keheningan di antara mereka. Mira merasa sedikit canggung, namun di saat yang sama, ia merasa bahagia bisa duduk di sana bersama Ardi. Tidak ada perasaan terburu-buru, tidak ada tekanan. Mereka hanya menikmati kebersamaan itu seperti sahabat yang tak terpisahkan.

“Kamu tahu nggak, Ardi,” Mira memulai, “Aku dulu nggak pernah punya teman dekat seperti kamu. Selalu merasa canggung untuk berbagi hal-hal pribadi. Tapi sekarang, aku merasa nggak ada yang perlu disembunyikan lagi. Kamu benar-benar sahabat yang baik.”

Ardi menoleh ke arah Mira, matanya sedikit berbinar. “Aku juga merasa hal yang sama. Ada banyak hal yang bisa aku bagi, dan kamu nggak pernah menghakimi. Itu buat aku merasa lebih diterima.”

Saat itu, Mira merasakan kehangatan yang meluap dalam dadanya. Ardi bukan hanya teman baik, tapi juga orang yang bisa ia percayai. Mereka berdua mulai berbagi lebih banyak cerita pribadi, tidak hanya tentang kehidupan sehari-hari, tetapi juga tentang impian dan ketakutan mereka. Mira menceritakan bagaimana dia selalu merasa kurang percaya diri, bagaimana dia sering merasa terjebak dalam ekspektasi orang lain, sementara Ardi berbagi tentang bagaimana dia sering merasa tertekan oleh harapan orang tua yang menginginkan dia menjadi orang yang sukses dalam segala hal.

Ardi selalu membuat Mira merasa lebih ringan. Saat Mira merasa terlalu banyak berpikir tentang masa depan, Ardi selalu berhasil membawa pembicaraan kembali ke hal-hal sederhana dan menyenangkan, seperti rencana-rencana liburan kecil atau ide-ide konyol yang hanya mereka berdua bisa tertawa bersama.

Namun, meskipun hubungan mereka semakin dekat, ada sesuatu dalam diri Mira yang belum ia ungkapkan. Setiap kali ia bersama Ardi, hatinya berdebar lebih cepat dari yang seharusnya. Kadang, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara mereka. Tetapi, ia juga takut mengakui perasaannya, karena tidak ingin merusak apa yang sudah mereka bangun. Apakah Ardi merasakan hal yang sama?

Sore itu, mereka sedang duduk di bangku taman yang sama. Cuaca semakin dingin, dan Ardi memberikan jaketnya kepada Mira. “Kamu pasti kedinginan,” katanya dengan lembut. Mira menerimanya dengan senyum, tapi hatinya semakin berdebar.

“Makasih,” ujar Mira, menyembunyikan perasaan yang mulai tumbuh. “Tapi kamu tidak merasa kedinginan?”

Ardi tersenyum, “Nggak apa-apa. Aku lebih suka kamu merasa nyaman.”

Ketika mendengar kata-kata itu, Mira merasa sebuah kehangatan menjalar di seluruh tubuhnya. Tanpa disadari, senyumannya semakin lebar, dan dia menyadari bahwa mungkin perasaan yang ia simpan sudah mulai muncul ke permukaan. Tapi, apakah itu cinta? Ataukah hanya ketertarikan biasa yang tumbuh karena kedekatan mereka?

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Namun, keheningan itu tidak lagi terasa canggung. Ini adalah keheningan yang penuh dengan kenyamanan dan kedamaian—keheningan yang menunjukkan betapa dalamnya hubungan persahabatan mereka. Ardi dan Mira mungkin belum siap untuk mengungkapkan perasaan mereka, tetapi mereka tahu satu hal: mereka saling membutuhkan, dan persahabatan yang terjalin di antara mereka adalah sesuatu yang sangat berharga.

Hari itu, Mira tahu bahwa apa pun yang terjadi nanti, dia telah menemukan seseorang yang benar-benar bisa membuat hidupnya lebih bermakna. Seperti halnya Ardi yang mulai menyadari bahwa ada lebih dari sekadar persahabatan di dalam hatinya.

Dan kisah mereka, dimulai dengan sebuah persahabatan yang sederhana, mulai mengarah ke perjalanan yang tak terduga.*

BAB 4 TANDA-TANDA CINTA

Mira berjalan sendirian di koridor sekolah yang lengang. Jam istirahat sudah selesai, dan kelas kembali sesak dengan para siswa yang sibuk mengerjakan tugas atau mengobrol di antara mereka. Namun, Mira merasa ada sesuatu yang kurang. Kehangatan yang biasa ia rasakan ketika bersama Ardi kini terasa hilang, seakan ada jarak yang tak terjangkau antara mereka berdua.

Beberapa hari terakhir, Ardi tampak lebih pendiam dari biasanya. Ia yang biasanya ceria dan selalu mengajak Mira untuk berbicara kini lebih sering menghindar. Ketika mereka bertemu, Ardi hanya tersenyum tipis dan lebih memilih untuk sibuk dengan ponselnya atau berbicara dengan teman-temannya daripada mengajaknya berbincang seperti dulu. Mira merasa bingung dan sedikit terluka. Apa yang salah? Apa yang telah berubah?

Selama beberapa minggu terakhir, Mira merasa semakin terikat dengan Ardi. Setiap detik yang mereka habiskan bersama rasanya begitu berharga, penuh dengan tawa, cerita, dan kenangan kecil yang membuat hati Mira berdebar. Tetapi sekarang, rasa itu berubah menjadi kegelisahan. Ia tidak bisa lagi merasakan kedekatan yang sama. Semua itu membuatnya bertanya-tanya: apakah perasaan yang ia rasakan benar-benar cinta? Dan apakah Ardi merasakannya juga?

Pada suatu siang, setelah pelajaran olahraga, Mira duduk sendirian di taman sekolah. Ia melihat Ardi sedang berbicara dengan teman-temannya di kejauhan, tertawa lepas seperti biasa, namun tidak seperti dulu, ia tidak merasa seolah dirinya ada di antara mereka. Mira merasakan perasaan aneh yang tidak bisa ia jelaskan. Ada kekosongan yang mengganggunya, seolah ada bagian dari dirinya yang hilang. Ia mengalihkan pandangannya ke langit, mencoba menenangkan pikiran yang kacau.

Tiba-tiba, suara tawa Ardi terdengar lebih jelas. Mira menoleh dan melihat Ardi sedang berjalan menuju arah tempat ia duduk. Mata Ardi langsung bertemu dengan mata Mira, dan senyum tipisnya muncul, seakan mencoba menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, senyuman itu tidak membuat Mira merasa lebih baik. Malah, semakin ia menatap wajah Ardi, semakin ia merasa ada yang aneh dengan hubungan mereka.

“Hei, Mira,” sapa Ardi dengan suara ceria, meskipun tampaknya ada sedikit kecanggungan di antara mereka. “Lagi ngapain? Sendirian saja?”

Mira tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Iya, cuma lagi mikir aja,” jawabnya pelan.

Ardi duduk di sebelahnya, dan untuk beberapa detik mereka hanya terdiam. Udara siang itu terasa panas, tetapi Mira merasakan sesuatu yang lebih hangat di dalam hatinya. Ia ingin sekali bertanya pada Ardi, ingin tahu apa yang sedang terjadi. Namun, ada sesuatu yang menghalanginya. Mungkin ia takut jika pertanyaannya akan terdengar terlalu jelas, terlalu memaksa, atau bahkan terlalu bodoh.

“Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Ardi, tampaknya bisa merasakan ketegangan yang menguar dari Mira.

Mira menghela napas, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku… aku cuma merasa kita agak jauh belakangan ini,” ungkapnya perlahan. “Kamu berubah, Ardi. Aku merasa seperti ada jarak yang tak terjangkau antara kita. Apa aku yang salah? Apa ada yang terjadi?”

Ardi terdiam sejenak. Pandangannya menunduk, lalu kembali menatap Mira. “Aku nggak tahu. Mungkin aku cuma… sibuk dengan beberapa hal. Terkadang aku merasa bingung juga, Mira.” Ardi mengusap lehernya dengan gelisah, sesuatu yang jarang ia lakukan.

Mira merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ada sesuatu dalam cara Ardi berbicara yang membuatnya merasa semakin cemas. “Kamu merasa bingung tentang apa?”

Ardi menatap Mira, matanya penuh keraguan. “Aku… aku merasa ada perasaan yang lebih dari sekedar teman, Mira. Tapi aku takut kalau itu hanya perasaanku saja. Aku takut kalau aku terlalu berharap lebih, sementara kamu tidak merasa hal yang sama.”

Mira terdiam. Hatinya berdegup kencang, dan sebuah rasa hangat memenuhi dadanya. Tanda-tanda cinta yang selama ini ia rasakan akhirnya mulai terungkap. Ardi juga merasakan hal yang sama. Selama ini, perasaan itu ada di antara mereka, meskipun mereka berdua tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Perasaan itu tumbuh perlahan, tanpa mereka sadari, seperti benih yang mulai bertunas.

“Aku… aku juga merasakannya, Ardi,” jawab Mira dengan suara pelan, namun tegas. “Aku juga merasa ada yang berbeda. Aku selalu merasa nyaman denganmu, lebih dari teman biasa. Aku selalu merasa senang ketika kita bersama. Dan aku takut jika perasaan itu hanya ada dalam pikiranku saja, dan aku tidak tahu bagaimana menghadapinya.”

Ardi tersenyum lega. “Jadi, kita berdua merasa hal yang sama, ya?” Ia menggenggam tangan Mira dengan lembut. “Aku takut kamu tidak akan mengerti perasaanku. Tapi sekarang aku tahu, kita bisa menghadapinya bersama.”

Mira merasa beban di hatinya menghilang seketika. Semua kekhawatirannya tentang perasaan Ardi yang berubah mulai sirna, dan digantikan dengan rasa lega yang mendalam. Tanda-tanda cinta itu kini semakin jelas di antara mereka, dan untuk pertama kalinya, Mira merasa bahwa ia tidak perlu lagi menyembunyikan perasaannya.

“Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Mira, dengan senyum yang akhirnya mengembang di wajahnya.

“Kita mulai dengan langkah kecil,” jawab Ardi dengan penuh keyakinan. “Kita jalani ini bersama, pelan-pelan. Tidak ada yang perlu dipaksakan.”

Mira mengangguk, dan dalam diam, mereka berdua menyadari bahwa langkah kecil yang mereka ambil bersama ini akan menjadi awal dari perjalanan panjang cinta pertama mereka. Mereka tidak tahu apa yang akan datang, tetapi mereka tahu satu hal: mereka siap melangkah bersama, menghadapi semua yang datang dengan cinta yang semakin tumbuh di hati mereka.*

BAB 5 KESALAHPAHAMAN

Pagi itu, Mira duduk di bangku taman sekolah dengan pikiran yang gelisah. Tadi pagi, Ardi tiba-tiba menghindarinya. Sejak kemarin, sikap Ardi terasa berbeda. Ia yang biasanya selalu tersenyum ceria dan berbicara dengan penuh semangat, kini tampak dingin dan menjauh. Mira merasa ada yang salah, tapi entah apa yang telah terjadi.

Mira memandang ke sekeliling, berharap Ardi akan datang menghampirinya seperti biasanya. Namun, hingga bel tanda istirahat berbunyi, Ardi tak kunjung muncul. Mira merasa semakin bingung. Ada apa dengan Ardi? Apakah ia melakukan sesuatu yang membuatnya marah? Apa yang salah?

Pikiran-pikiran itu terus mengganggu Mira. Ia mencoba menghubungi Ardi lewat pesan singkat, tetapi pesan yang dikirimkan hanya dibaca tanpa ada balasan. Hatinya semakin cemas. Ia pun memutuskan untuk menunggu di tempat yang biasa mereka lewati bersama setelah pelajaran selesai. Mungkin Ardi hanya sedang sibuk atau ada sesuatu yang ia sembunyikan.

Akhirnya, saat lonceng berdering tanda jam pelajaran selesai, Mira melihat sosok Ardi berjalan menuju kelasnya tanpa melihat ke arahnya. Mira merasa sakit hati, tetapi dia berusaha untuk tetap tenang. Dengan langkah yang ragu, Mira mengejar Ardi.

“Ardi!” panggil Mira, suaranya sedikit gemetar.

Ardi berhenti dan menoleh, namun ekspresinya kosong. “Ada apa, Mira?” tanya Ardi dengan nada yang tidak seperti biasanya—terdengar datar dan tidak begitu peduli.

Mira merasakan dadanya sesak. “Kau kenapa? Mengapa kau bersikap seperti ini padaku?” tanya Mira, hampir tak bisa menahan air mata yang ingin tumpah. “Apa yang salah? Apa aku melakukan sesuatu yang membuatmu marah?”

Ardi menarik napas panjang, lalu menunduk sejenak. “Aku hanya butuh waktu sendiri,” jawabnya singkat, lalu melangkah pergi tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.

Mira terdiam di tempat itu, merasa dunia seolah berhenti berputar. Kata-kata Ardi begitu tajam, seperti pisau yang menusuk hati. Ia mencoba mengerti, mencoba memahami, namun hatinya tetap diliputi kebingungan. Apakah ini akhir dari semuanya?

Malam itu, Mira duduk sendirian di kamarnya. Ia mengingat kembali setiap detik kebersamaan mereka, mencoba menemukan apa yang salah. Mereka tidak pernah bertengkar, mereka tidak pernah punya masalah besar sebelumnya. Namun, kenapa semuanya menjadi seperti ini? Apa yang menyebabkan Ardi tiba-tiba menjauh?

Esok harinya, Mira memutuskan untuk mencari tahu. Ia bertanya kepada teman-temannya, namun tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi antara mereka. Semua seolah-olah biasa saja. Hingga saat istirahat, Mira melihat Ardi duduk sendiri di sudut taman, memandangi ponselnya dengan wajah yang tampak lelah dan murung.

Tanpa berpikir panjang, Mira mendekat. “Ardi,” panggil Mira dengan suara pelan. Ardi menoleh dengan ragu, dan Mira langsung duduk di sampingnya. “Aku butuh penjelasan. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Ardi memejamkan mata sejenak, lalu menghembuskan napas panjang. “Aku merasa… aku membuatmu terganggu, Mira. Aku merasa kamu tidak benar-benar membutuhkan aku di sisi kamu. Kamu punya teman-teman yang lebih baik dariku, orang-orang yang lebih bisa mengerti kamu,” ujar Ardi dengan suara penuh penyesalan.

Mira terkejut mendengar pengakuan itu. “Apa maksudmu? Ardi, kamu tidak pernah membuat aku merasa terganggu. Justru aku selalu merasa lebih baik kalau ada kamu di dekatku. Kenapa kamu berpikir seperti itu?”

Ardi menatap Mira dengan tatapan yang penuh kecemasan. “Aku tidak ingin mengganggu kehidupanmu, Mira. Aku merasa ada jarak yang semakin besar antara kita. Mungkin kamu tidak menyadari, tapi aku merasa semakin terasing. Aku takut kalau kamu akan semakin menjauh dariku.”

Mira merasa hatinya tercekat. “Jadi, selama ini kamu menjauh dariku hanya karena perasaan seperti itu? Kenapa tidak memberitahuku lebih awal?” tanya Mira dengan suara penuh emosi.

Ardi menunduk, malu dengan perasaan yang telah dipendam terlalu lama. “Aku takut, Mira. Aku takut kalau aku mengungkapkan perasaan ini, kamu akan menjauh lebih jauh lagi. Aku… aku tidak ingin kehilanganmu.”

Mira merasa perasaan yang bergejolak dalam dadanya berubah menjadi kelegaan. Semua kebingungannya selama ini mulai terjawab. “Ardi, aku juga merasa ada sesuatu yang aneh akhir-akhir ini. Aku pikir aku salah melakukan sesuatu yang membuatmu marah. Tapi ternyata kita berdua sama-sama takut akan sesuatu yang tidak perlu kita takuti. Aku juga takut kehilanganmu,” ujar Mira, matanya mulai berkaca-kaca.

Ardi akhirnya menoleh dan menatap Mira. “Jadi… kita berdua salah paham?”

“Ya,” jawab Mira dengan tegas. “Kita berdua terlalu takut untuk saling berbicara dan akhirnya menciptakan jarak yang tidak perlu ada.”

Mereka berdua terdiam sejenak, merasakan ketegangan yang perlahan menghilang. Ardi akhirnya mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Mira dengan lembut. “Aku minta maaf, Mira. Aku tidak akan menjauh lagi. Aku akan lebih terbuka padamu, aku janji.”

Mira tersenyum, dan untuk pertama kalinya setelah berhari-hari merasa cemas, hatinya merasa tenang. “Aku juga minta maaf. Kita seharusnya tidak membiarkan rasa takut menghalangi kita,” jawab Mira.

Mereka saling berpandangan, dan meskipun ada banyak hal yang harus diselesaikan dalam hubungan mereka, kini mereka tahu bahwa komunikasi adalah kunci. Tidak ada lagi kesalahpahaman yang bisa merusak hubungan mereka. Mereka akan terus berjalan bersama, belajar untuk lebih saling memahami, dan menjaga satu sama lain.

Malam itu, saat mereka berjalan berdua di bawah bintang-bintang, mereka tahu bahwa cinta mereka lebih kuat dari sekadar kesalahpahaman yang sempat menghalangi mereka.*

BAB  6 MENGHADAPI RASA

Keheningan yang mengisi ruang antara mereka terasa semakin berat. Mira duduk di bangku taman, tangannya memeluk tas di pangkuannya. Ardi berdiri di depannya, sedikit menunduk, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Keduanya tahu bahwa mereka berada di persimpangan jalan yang tak bisa dihindari, dan kini saatnya untuk menghadapi perasaan yang telah lama tersembunyi.

“Mira,” suara Ardi terdengar lembut, meski ada sedikit kegugupan yang tergantung di setiap kata yang ia ucapkan. “Aku tahu, aku telah membuatmu bingung, dan itu salahku.”

Mira menatapnya, matanya yang penuh pertanyaan masih mencoba mencari penjelasan yang tepat. Perasaannya bergejolak, antara rindu, kesal, dan takut akan apa yang akan terjadi setelah ini. “Apa maksudmu?” suaranya terdengar serak, mencoba menahan air mata yang hampir saja jatuh.

Ardi menghela napas panjang, merasakan beratnya situasi ini. “Aku… aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya, Mira. Aku takut, takut akan perasaan ini. Aku takut, jika aku terlalu dekat denganmu, aku akan melukai perasaanmu. Dan itu yang paling aku takuti.”

Mira terdiam. Perasaan yang ada dalam hatinya terasa seperti puzzle yang belum lengkap, seperti ada bagian yang hilang, dan sekarang dia mulai menemukan potongan-potongan itu. “Tapi kenapa harus pergi begitu saja? Kenapa tidak memberi tahu aku? Aku… aku merasa dikhianati, Ardi.”

Ardi menundukkan kepalanya. “Aku tahu, aku salah. Aku hanya… merasa tidak cukup baik untukmu. Aku takut kalau aku membuatmu terlalu berharap, aku takut aku tidak bisa memenuhi harapanmu.”

Mira menahan nafasnya. Kata-kata Ardi itu membuatnya semakin bingung. Ia tak pernah berpikir bahwa Ardi memiliki ketakutan sebesar itu. “Aku tidak ingin harapan yang tidak realistis, Ardi. Aku hanya ingin kita bersama, seperti yang sudah kita rasakan selama ini. Kenapa harus ada jarak, kenapa kita tidak bisa bersama tanpa rasa takut?”

Ardi menatap Mira dengan penuh penyesalan. “Aku takut jika perasaan ini berkembang lebih dalam, aku tidak akan tahu bagaimana cara menjaganya. Aku tidak ingin menyakitimu, Mira. Itu yang membuatku pergi. Itu yang membuatku menjauh tanpa alasan yang jelas. Aku pikir, dengan pergi, aku bisa membuat semua perasaan ini hilang.”

“Jadi kau pergi tanpa memberi tahu aku?” Mira bertanya dengan suara bergetar. “Aku menunggu, Ardi. Aku menunggu kepastian, aku menunggu kamu untuk mengatakan sesuatu. Tapi kamu justru memilih diam dan menghindar.”

Ardi menyesali setiap pilihan yang diambilnya. Dia merasa seperti bodoh, tapi dia tidak bisa lagi menghindar dari kenyataan bahwa dia telah membuat kesalahan besar. “Aku takut, Mira. Aku takut untuk membuka hati ini, aku takut untuk mencintaimu dengan sepenuh hati. Aku takut kalau aku tidak bisa menjadi orang yang kamu harapkan.”

Mira memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Rasa sakit itu terasa seperti pedang yang menusuk langsung ke dalam hati. Namun, di sisi lain, ada rasa lega yang mengalir. Akhirnya, dia mendengar alasan di balik segala sikap aneh Ardi selama ini.

“Mira,” suara Ardi terdengar lebih lembut, “aku… aku sudah terlalu lama menghindar. Aku harus berhenti melarikan diri dari perasaan ini. Aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini, jadi aku kembali. Aku kembali untukmu, untuk kita.”

Mira membuka matanya dan menatap Ardi. Ada keraguan yang masih menghiasi wajahnya, namun di balik itu, ada harapan yang mulai tumbuh. “Aku… aku tidak tahu apakah kita bisa kembali seperti dulu. Aku tidak tahu apakah perasaan ini bisa kembali seperti semula.”

“Tidak ada yang bisa kembali seperti semula, Mira,” Ardi menjawab dengan suara penuh keyakinan. “Tapi aku berjanji, aku akan berusaha untuk tidak lagi takut. Aku akan berusaha untuk menjadi orang yang bisa kamu andalkan, yang bisa mencintaimu dengan sepenuh hati.”

Mira terdiam. Kata-kata Ardi menggetarkan hatinya, membuatnya merasakan kehangatan yang telah lama hilang. Namun, masih ada rasa ragu yang menggelayuti pikirannya. “Aku ingin percaya padamu, Ardi. Tapi aku juga tidak ingin terluka lagi. Aku takut, aku takut kalau ini hanya akan berakhir seperti sebelumnya.”

Ardi mengangguk. “Aku mengerti, Mira. Aku tahu aku tidak bisa langsung meminta kamu untuk percaya padaku begitu saja. Tapi aku ingin mencoba. Aku ingin kita bersama, mencoba lagi, tanpa ada rasa takut.”

Mira menghela napas panjang, mencoba meresapi setiap kata yang diucapkan Ardi. Dia tahu bahwa perasaan ini tidak mudah, bahwa setiap langkah mereka ke depan akan dipenuhi dengan keraguan dan ketakutan. Namun, dia juga tahu bahwa jika mereka tidak mencoba, mereka akan selamanya terjebak dalam kebisuan yang menyiksa.

“Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa, Ardi,” ujar Mira, suara lembut namun tegas. “Tapi aku ingin kita coba lagi. Aku ingin kita beri kesempatan pada cinta kita, kesempatan untuk berkembang tanpa ada ketakutan yang menghalangi.”

Ardi tersenyum, meski masih ada kekhawatiran di matanya. “Aku siap, Mira. Aku siap menghadapi semuanya bersamamu. Tidak ada lagi ketakutan, tidak ada lagi kebingungan. Hanya ada kita.”

Mira tersenyum kecil, merasakan sedikit kelegaan di hatinya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, dia merasa ada harapan. Mereka mungkin tidak bisa langsung melupakan semua yang terjadi, tapi setidaknya mereka memiliki kesempatan untuk memulai lagi, untuk menghadapi perasaan ini dengan lebih jujur dan terbuka.

Di bawah langit yang semakin gelap, mereka duduk berdua, saling berbicara, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka merasa seakan dunia hanya milik mereka berdua. Rasanya seperti awal baru, seperti langkah pertama menuju sebuah perjalanan panjang yang penuh ketidakpastian. Namun, di dalam hati mereka, mereka tahu bahwa selama mereka tetap bersama, mereka akan bisa menghadapinya.

Hari itu, mereka tidak hanya mengungkapkan perasaan, tetapi juga memutuskan untuk tidak lagi takut menghadapi apa yang ada di depan mereka—karena cinta pertama mereka telah menunjukkan mereka bagaimana untuk terus berjalan, meskipun jalan itu penuh dengan liku.*

BAB  7 LANGKAH  PERTAMA  BERSAMA

Setelah pertemuan yang penuh emosi di taman itu, Mira dan Ardi mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kebersamaan biasa. Mereka menyadari bahwa mereka telah memasuki babak baru dalam hubungan mereka, suatu hubungan yang tidak hanya penuh dengan rasa ingin tahu, tetapi juga dengan keinginan untuk saling memahami lebih dalam. Setiap langkah mereka bersama kini terasa berbeda, lebih berarti.

Malam itu, setelah pulang dari taman, Mira merasa ada kedamaian yang menyelimuti hatinya. Ardi, yang sebelumnya tampak canggung dan terjebak dalam ketakutannya sendiri, kini terlihat lebih tenang. Dia mulai lebih sering mengirim pesan, menanyakan bagaimana harinya, atau hanya sekadar berbicara tentang hal-hal kecil yang mereka nikmati bersama. Mira merasa ada perubahan dalam cara Ardi memperlakukannya—lebih perhatian, lebih peduli, dan lebih terbuka.

Namun, meskipun ada banyak perasaan positif yang muncul, ada juga rasa takut yang belum sepenuhnya hilang. Mira tahu, hubungan ini bukanlah sesuatu yang mudah. Mereka baru saja mengungkapkan perasaan mereka, dan meskipun itu adalah langkah besar, masih banyak hal yang harus mereka pelajari satu sama lain. Setiap kata yang diucapkan, setiap pertemuan yang mereka hadapi, seolah menjadi ujian baru bagi mereka berdua.

Pada suatu sore, ketika mereka sedang berjalan bersama di taman yang sama, Ardi menghentikan langkahnya sejenak. “Mira, aku ingin kita serius dengan ini. Aku ingin kita berjalan bersama, tapi bukan hanya sekarang, bukan hanya untuk sementara. Aku ingin kita memulai langkah pertama, untuk menuju masa depan bersama. Apapun yang akan terjadi nanti, aku ingin kita saling mendukung,” ucap Ardi dengan suara penuh keyakinan.

Mira menatap Ardi dengan mata yang berbinar. Rasa hangat mengalir dalam dirinya, namun ada sedikit kecemasan. “Tapi… kita belum tahu apa yang akan datang. Aku takut kalau kita tidak bisa bertahan. Bagaimana kalau ada yang salah di tengah jalan?” Mira bertanya dengan suara pelan, menyimpan keraguan yang masih ada dalam hatinya.

Ardi menggapai tangan Mira, menggenggamnya dengan lembut. “Tidak ada yang bisa kita prediksi, Mira. Tapi yang aku tahu, aku ingin kita mencoba. Kita sudah melewati banyak hal bersama, dan aku yakin kita bisa melewati lebih banyak lagi. Yang penting adalah kita berjalan bersama, satu langkah pada satu waktu,” jawab Ardi dengan penuh keyakinan.

Mira menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar. “Aku ingin itu juga, Ardi. Aku ingin kita berjalan bersama, tapi aku juga ingin kita bisa menghadapinya dengan kepala dingin, bukan terburu-buru,” katanya dengan tulus.

Dengan langkah kecil yang hati-hati, mereka mulai menjalani hubungan ini dengan cara yang berbeda. Mereka mulai merencanakan waktu-waktu yang lebih spesial bersama, tidak hanya sekadar bertemu di sekolah atau di taman. Mereka pergi ke kafe bersama, menikmati kopi sambil berbicara tentang mimpi dan harapan masing-masing. Mereka mendaki bukit untuk menikmati matahari terbenam, berbicara tentang hal-hal yang mungkin hanya mereka berdua yang mengerti.

Namun, meskipun mereka mulai merasa lebih dekat, tidak semuanya berjalan mulus. Terkadang, Mira merasakan kekhawatiran yang kembali muncul. Ardi yang kadang tampak lebih sibuk dengan kegiatan sekolahnya, atau saat Mira merasa tidak cukup dihargai ketika Ardi terfokus pada hal-hal lain. Namun, Ardi selalu berhasil meyakinkannya, melalui kata-kata lembut dan perhatiannya yang tulus.

“Sabar, Mira. Kita sedang belajar untuk menjadi lebih baik bersama,” ucap Ardi suatu malam setelah mereka melewati ketegangan kecil yang terjadi. “Aku mungkin tidak selalu sempurna, tapi aku berjanji akan selalu berusaha membuatmu merasa dihargai. Aku ingin kita saling mengerti, dan itu butuh waktu.”

Mira tersenyum, hati yang semula cemas mulai terasa lebih lega. “Aku tahu, Ardi. Aku juga tidak sempurna. Aku hanya ingin kita bisa melewati semuanya bersama, tanpa rasa takut.”

Hari-hari berlalu, dan keduanya mulai belajar untuk mengatasi perbedaan yang ada. Mereka menemukan cara untuk berkomunikasi lebih baik, berbicara terbuka tentang perasaan mereka tanpa takut dihakimi. Kadang, perbedaan pendapat muncul, tetapi mereka belajar untuk menyelesaikannya dengan bijaksana. Mereka menyadari bahwa dalam sebuah hubungan, tidak selalu ada jawaban yang mudah, tetapi dengan saling mendukung, mereka bisa menghadapi segala rintangan yang datang.

Pada suatu malam, saat mereka duduk di bangku taman yang dulu menjadi tempat pertama kali mereka berbicara, Ardi meraih tangan Mira dan berkata, “Kita sudah mengambil langkah pertama bersama, Mira. Dan aku ingin melangkah lebih jauh bersama kamu. Aku tahu kita belum tahu apa yang akan terjadi di depan, tapi selama kita terus berjalan bersama, aku yakin kita bisa menghadapinya.”

Mira menatap Ardi dengan mata yang penuh harapan, “Aku juga merasa seperti itu, Ardi. Aku ingin kita terus berjalan bersama, tak peduli apapun yang terjadi.”

Di bawah cahaya rembulan yang tenang, mereka berdua merasa lebih yakin dari sebelumnya. Mereka tahu bahwa langkah pertama mereka hanyalah awal dari perjalanan panjang yang akan terus mereka jalani bersama, penuh dengan tantangan, kebahagiaan, dan cinta yang semakin kuat. Mereka menghadapinya, tidak dengan keraguan, tetapi dengan keyakinan bahwa mereka telah membuat pilihan yang tepat—untuk bersama, melangkah maju bersama, sebagai dua hati yang saling melengkapi.

Dengan itu, Mira dan Ardi melangkah maju, menyusun langkah-langkah kecil mereka menuju masa depan yang penuh harapan, menyadari bahwa cinta pertama mereka adalah kisah yang masih akan terus berkembang, selamanya.***

—————THE END————-

Source: DELA SAYFA
Tags: #LangkahPertama #CintaYangTumbuh #HubunganSejati #KomunikasiCinta #Kepercayaan
Previous Post

DISELA WAKTU YANG TERPISAH

Next Post

SAMPAI MENEMUI SENJA

Related Posts

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

April 30, 2025
DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

April 29, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 28, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 27, 2025
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

April 26, 2025
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

April 25, 2025
Next Post
SAMPAI MENEMUI SENJA

SAMPAI MENEMUI SENJA

KETIKA CINTA BELUM SELESAI

KETIKA CINTA BELUM SELESAI

CINTA TAK TERBATAS

CINTA TAK TERBATAS

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id