Daftar Isi
Bab 1: Di Antara Keinginan dan Harapan
Bab ini adalah pengenalan utama untuk karakter-karakter dan hubungan mereka. Maya dan Raka saling mengenal dalam sebuah situasi yang tidak terduga. Mereka mungkin bertemu melalui media sosial, aplikasi dating, atau mungkin dalam situasi profesional yang memaksa mereka untuk berkomunikasi meskipun mereka berasal dari dua dunia yang berbeda terpisah oleh jarak fisik yang sangat jauh.
Di bagian ini, kamu akan memulai dengan menampilkan kehidupan mereka masing-masing dan memberikan sedikit latar belakang yang mempengaruhi bagaimana mereka bisa sampai pada titik ini terhubung satu sama lain.
Maya adalah seorang wanita yang hidup dalam rutinitas kota besar, seorang pekerja keras yang selalu sibuk dengan kariernya. Setiap hari, dia berjuang dengan deadline pekerjaan dan kehidupan sosial yang terbatas. Namun, di balik semua kesibukan itu, ada rasa kesepian yang tak terungkapkan. Maya sering merasa kosong meski dikelilingi banyak orang. Hidupnya penuh dengan ambisi, tapi kadang dia merasa ada yang hilang dalam dirinya.
Maya pernah memiliki hubungan yang gagal, dan sejak saat itu dia lebih berhati-hati dalam membuka hati. Percaya pada cinta bukanlah hal yang mudah bagi Maya dia merasa hubungan jarak jauh adalah sesuatu yang mustahil. Namun, seiring berjalannya waktu, dia mulai membuka diri pada gagasan tentang kemungkinan cinta meskipun terpisah oleh jarak.
Raka adalah pria yang ambisius, bekerja di luar negeri untuk mengejar kariernya. Dia selalu merasa bahwa dia telah membuat keputusan besar dengan pergi jauh dari keluarga dan teman-temannya. Namun, meski kesuksesannya di luar negeri semakin besar, ada bagian dalam dirinya yang merindukan kehangatan hubungan yang nyata terutama hubungan cinta.
Raka pernah memiliki hubungan yang dekat, tetapi jarak dan kesibukannya membuatnya ragu untuk kembali berinvestasi dalam hubungan yang baru. Namun, setelah berbicara dengan Maya melalui berbagai platform komunikasi, dia mulai merasa ada sesuatu yang berbeda. Meskipun mereka belum bertemu langsung, percakapan mereka terasa begitu nyata dan membangkitkan harapan baru.
Cerita dimulai dengan percakapan pertama antara Maya dan Raka. Itu adalah sebuah kebetulan, mungkin mereka bertemu di sebuah forum online atau acara yang sama. Percakapan mereka dimulai dengan topik biasa cuaca, pekerjaan, atau mungkin film yang baru saja mereka tonton. Namun, semakin lama, percakapan itu menjadi lebih dalam.
Maya: Pekerja keras yang tertutup, meskipun ia cerdas dan memiliki banyak hal untuk dibicarakan, dia jarang membuka diri. Namun, ada sesuatu dalam cara Raka mendengarkan yang membuatnya merasa nyaman.
Raka: Pria yang sudah lama terbiasa hidup sendirian, jauh dari orang yang ia cintai. Awalnya ia hanya ingin berbicara dengan seseorang untuk mengisi waktu, tetapi sesuatu dalam percakapan mereka membuatnya merasa ada ikatan yang tidak bisa dijelaskan.
Percakapan mereka semakin lama semakin intens. Maya yang biasanya sangat menjaga emosinya mulai merasa bahwa berbicara dengan Raka membuat hatinya lebih ringan. Sementara itu, Raka merasa menemukan seseorang yang tidak hanya mengerti dirinya, tetapi juga mampu memberi semangat meski terpisah jarak yang jauh.
Kedekatan yang tumbuh dari komunikasi online ini mulai mengarah pada perasaan yang lebih dalam. Maya, yang awalnya hanya ingin mencari teman bicara, mulai merasakan getaran yang berbeda dalam dirinya. Begitu juga dengan Raka, yang merasa nyaman dan mulai menaruh harapan meski tahu mereka terpisah oleh lautan dan benua.
Di bagian ini, kamu bisa menggambarkan bagaimana keduanya mulai saling berbagi lebih banyak tentang kehidupan mereka—tentang masa lalu mereka, tentang ketakutan dan keraguan mereka. Ini adalah titik di mana mereka mulai menyadari bahwa apa yang mereka rasakan bukan sekadar percakapan biasa, tetapi ada sesuatu yang lebih kuat di antara mereka.
Namun, meskipun ketertarikan itu ada, mereka berdua mulai merasa bingung. Maya mulai bertanya-tanya apakah dia bisa mempercayai hubungan ini mengingat jarak yang begitu besar. Raka pun ragu apakah dia harus lebih melibatkan diri atau justru mundur karena dia merasa hubungan seperti ini bisa sulit untuk dipertahankan.
Saat hubungan mereka mulai berkembang, tantangan mulai muncul. Jarak yang memisahkan mereka bukan hanya soal fisik, tetapi juga waktu, kebiasaan, dan perbedaan kehidupan yang mereka jalani.
Maya mulai meragukan apakah hubungan jarak jauh bisa bertahan lama. Dia khawatir akan kehilangan Raka karena kesibukan masing-masing dan rasa sepi yang mulai menguasainya. Dia sering merasa bingung antara melanjutkan hubungan ini atau melupakan semuanya demi menjaga dirinya sendiri.
Raka, sementara itu, mulai merasa terbebani oleh ekspektasi hubungan jarak jauh. Meski ia merindukan Maya, ia juga merasa khawatir bahwa ia tidak bisa memenuhi kebutuhan emosional Maya. Pekerjaannya yang menuntut waktunya, serta kehidupan sosialnya yang sibuk, semakin membuatnya merasa terjepit di antara keinginan untuk menjaga hubungan ini dan rasa tanggung jawab terhadap kariernya.
Maya dan Raka memiliki keinginan untuk melanjutkan hubungan ini, tetapi mereka juga sadar bahwa hubungan ini membutuhkan komitmen yang besar. Mereka mulai berbicara tentang masa depan tentang kemungkinan untuk bertemu, tentang apa yang mereka inginkan dari hubungan ini, dan apa yang bisa mereka lakukan untuk mengatasi rintangan yang ada.
Pada titik ini, kamu bisa menggambarkan berbagai perasaan yang muncul dalam diri keduanya. Ada harapan yang muncul dari percakapan mereka, namun juga ada ketakutan yang menghalangi mereka untuk melangkah lebih jauh. Maya berharap bahwa suatu saat nanti mereka bisa bertemu dan hubungan ini menjadi nyata, sementara Raka berharap bisa memberikan Maya lebih dari sekadar percakapan yang hangat.
Di sini juga, keduanya bisa mulai mempertanyakan apakah mereka siap menghadapi jarak yang ada. Maya merasakan perasaan cinta yang mulai tumbuh, tetapi dia takut perasaan itu hanya akan menjadi kenangan yang tak terjangkau karena jarak yang tak bisa mereka atasi. Sementara Raka, meskipun ada rasa cinta yang mulai berkembang, masih merasa ragu apakah hubungan ini bisa bertahan lama.
Di bagian akhir bab ini, setelah melewati berbagai keraguan dan tantangan, Maya dan Raka mencapai keputusan awal. Mereka sepakat untuk memberi hubungan ini kesempatan, tetapi dengan pemahaman bahwa mereka tidak bisa memaksakan segala hal. Mereka akan terus berusaha menjaga komunikasi mereka, meskipun jarak dan waktu akan selalu menjadi tantangan.
Maya akhirnya berkata pada dirinya sendiri, “Jika ini adalah cinta sejati, maka kita akan bertahan. Sampai jumpa, cinta.”
Raka pun merespon dengan sebuah pesan yang menyentuh hati Maya, “Kita akan melaluinya bersama, sampai jumpa, cinta.”
Di dunia yang serba cepat dan penuh dengan ketidakpastian, kadang kita bertemu dengan seseorang yang mengubah segalanya. Begitulah perasaan Maya** dan Raka ketika mereka pertama kali bertemu. Maya, seorang wanita yang sibuk dan independen, berjuang dengan kesepian dalam hidupnya. Sementara itu, Raka, yang bekerja jauh dari tanah air, mulai merasakan kerinduan yang semakin dalam akan hal-hal yang lebih bermakna—terutama cinta yang nyata. Namun, saat mereka bertemu, keduanya tahu bahwa hubungan ini tidak akan mudah. Mereka terpisah oleh jarak yang tak terbayangkan sebelumnya. Meskipun demikian, sebuah perasaan yang kuat mulai tumbuh, meskipun penuh keraguan.
Maya, seorang wanita berusia 28 tahun, adalah seorang pekerja keras yang tinggal di Jakarta. Hidupnya penuh dengan aktivitas. Setiap pagi, ia terburu-buru mengejar kereta yang sering kali datang terlambat. Di tempat kerjanya, ia adalah salah satu manajer yang paling dipercaya. Namun, di balik pencapaiannya, ada kerinduan yang tidak bisa dihilangkan. Ia merindukan sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan dan rutinitas. Cinta
Maya pernah memiliki hubungan yang kandas. Setelah perpisahan itu, ia merasa bahwa cinta hanya akan membuatnya terluka. Jarak, waktu, dan perbedaan yang tak terhindarkan adalah alasan yang membuat Maya takut untuk jatuh cinta lagi. Namun, ia tahu bahwa hatinya masih mencari sesuatu sebuah harapan. Meski tidak terlalu terbuka dengan perasaan, ia sering merasakan kekosongan yang tak bisa diisi oleh apapun selain hubungan yang tulus.
Pernah sekali, ia membuka aplikasi kencan bukan untuk mencari pasangan, tapi hanya untuk mengusir rasa bosan yang datang di tengah malam. Tidak ada harapan besar dalam dirinya untuk menemukan cinta sejati. Ia hanya ingin berbicara dengan seseorang, melupakan sejenak rasa lelah dan kesepian yang menumpuk.
Suatu malam, setelah beberapa kali mencoba aplikasi yang sama, ia menerima sebuah pesan yang berbeda dari yang lain.
Raka, pria 30 tahun yang kini bekerja di luar negeri, merasakan kepenatan yang luar biasa. Hidup di kota besar di Eropa yang penuh dengan kesibukan membuatnya merasa semakin terasing. Ia meninggalkan Indonesia lima tahun yang lalu demi mengejar karier di bidang teknologi. Walaupun ia menikmati pekerjaannya, ada rasa kesepian yang tidak bisa ia pungkiri.
Bertahun-tahun jauh dari keluarga, teman, dan orang-orang yang ia cintai, ia sering merindukan kehangatan hubungan yang nyata. Setiap kali ia kembali ke Indonesia untuk liburan, ia merasa hubungan yang dulu ia bangun mulai memudar. Hubungan jarak jauh selalu berakhir dengan ketegangan dan akhirnya berpisah, meninggalkan kesan mendalam.
Raka sudah lama tidak mempercayai hubungan jarak jauh. Ia merasa tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran fisik—kehangatan pelukan, tatapan mata yang penuh makna, canda tawa yang tidak bisa diterjemahkan dengan pesan teks atau panggilan video. Namun, suatu malam, ia tertarik untuk mencoba sesuatu yang berbeda berbicara dengan seseorang di aplikasi kencan.
Pada suatu malam yang cerah, saat Maya sedang mencari hiburan sejenak, ia membuka aplikasi kencan yang sudah lama ia lupakan. Ia tidak berharap banyak, tetapi ketika pesan dari Raka muncul, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Raka bukanlah tipe pria yang langsung membuka percakapan dengan kalimat-kalimat standar yang sering dijumpai di aplikasi tersebut. Ia membuka percakapan dengan humor ringan tentang cuaca yang tidak menentu di Eropasesuatu yang membuat Maya tertawa kecil. Sebuah pembicaraan yang terasa alami.
Percakapan mereka berlangsung ringan, namun terasa mendalam. Mereka berbicara tentang kehidupan mereka, tentang pekerjaan, tentang impian-impian yang belum tercapai, dan tentang masa lalu yang masing-masing ingin lupakan. Raka menceritakan bagaimana kesibukannya membuatnya merasa seperti asing di tanah kelahirannya, sementara Maya berbicara tentang bagaimana ia merasa terjebak dalam rutinitas dan mengejar pencapaian yang tidak membuatnya bahagia.
Namun, semakin lama mereka berbicara, keduanya merasa ada ikatan yang lebih dari sekadar pertemuan biasa. Maya merasa nyaman dengan Raka suatu hal yang jarang ia rasakan. Raka pun merasakan hal yang sama. Ada perasaan yang tak terjelaskan, seolah mereka sudah saling mengenal bertahun-tahun. Sebuah hubungan yang diawali dengan kata-kata dan akhirnya menyentuh hati.
Setiap malam, percakapan antara Maya dan Raka semakin intens. Mereka berbicara tentang hal-hal yang sebelumnya tak pernah mereka bagikan kepada siapa pun tentang ketakutan terbesar mereka, tentang kegagalan-kegagalan yang mengubah cara pandang hidup mereka, dan tentang harapan-harapan yang masih mereka simpan.
Maya mulai merasa bahwa percakapan ini tidak biasa. Ada rasa nyaman yang tumbuh setiap kali ia berbicara dengan Raka. Ketika dia mendengar suara Raka lewat panggilan video, ia merasa seolah-olah dunia menjadi lebih terang. Meski jarak yang memisahkan mereka begitu jauh, perasaan yang tumbuh di dalam hatinya sangat nyata.
Di sisi lain, Raka merasa hal yang sama. Meskipun ia sudah berhubungan dengan banyak orang sebelumnya, tidak ada yang seperti Maya. Maya memiliki kehangatan dan ketulusan yang jarang ia temui. Ia merasakan kenyamanan berbicara dengan Maya yang membuatnya merasa lebih hidup.
Namun, keduanya menyadari satu hal jarak. Setiap kali mereka berbicara, ada rasa takut yang tumbuh, rasa takut jika hubungan ini hanya akan berakhir seperti yang lainnya terhalang oleh jarak yang terlalu besar. Mereka tahu bahwa cinta membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata. Mereka membutuhkan waktu dan ruang untuk bertumbuh. Tetapi, di sisi lain, ada sebuah harapan yang perlahan mengisi hati mereka.
Seiring berjalannya waktu, ketegangan mulai muncul dalam hubungan mereka. Setiap kali mereka berbicara, Maya mulai merasa semakin bingung. Perasaan yang tumbuh dalam dirinya semakin kuat, namun keraguan juga semakin besar.
Maya bertanya-tanya, apakah hubungan ini bisa bertahan dalam jangka panjang? Apakah ia siap untuk menunggu sesuatu yang belum pasti? Ia takut bahwa apa yang mereka miliki hanyalah ilusi belaka. Raka, di sisi lain, merasa cemas dengan kenyataan bahwa ia harus terus bekerja keras di luar negeri. Walaupun ia ingin memperjuangkan hubungan ini, ia merasa bahwa setiap langkah yang ia ambil bisa menjauhkan mereka lebih jauh lagi.
Di sini, keduanya mulai menyadari bahwa meskipun ada rasa saling ketertarikan, ada banyak tantangan yang harus mereka hadapi. Kehidupan mereka begitu berbeda Maya dengan kesibukan pekerjaannya, Raka dengan tuntutan pekerjaannya yang mengharuskan ia tetap berada jauh dari rumah. Setiap kali mereka berkomunikasi, ada perasaan bahwa dunia mereka terlalu berbeda untuk disatukan.
Namun, meskipun keraguan itu muncul, mereka berdua tidak bisa mengabaikan perasaan yang sudah tumbuh di dalam hati. Ada sesuatu yang mengikat mereka lebih dari sekadar percakapan singkat. Mereka mulai berpikir bahwa meskipun jarak memisahkan, cinta ini masih layak untuk diperjuangkan.
Pada titik ini, Maya dan Raka mulai membicarakan masa depan mereka. Mereka berbicara tentang kemungkinan untuk bertemu, tentang bagaimana hubungan ini bisa berkembang meskipun terpisah oleh jarak yang begitu besar. Maya mulai membuka dirinya lebih dalam, berbicara tentang impian-impian yang selama ini ia pendam tentang ingin bertemu dengan Raka suatu hari nanti, tentang ingin merasakan cinta yang sejati.
Raka pun mengungkapkan harapannya bahwa suatu hari nanti, mereka akan bisa melewati segala rintangan ini dan bertemu dalam keadaan yang lebih baik. Mereka tahu bahwa jalan yang mereka pilih tidak akan mudah, namun mereka juga tahu bahwa mereka harus memperjuangkannya, meskipun jarak dan waktu akan selalu menjadi penghalang.
Bab 2: Kerinduan yang Menyiksa
Setelah percakapan pertama yang penuh harapan, hubungan Maya dan Raka berkembang meskipun mereka terpisah oleh jarak yang sangat jauh. Semakin lama, mereka semakin terikat dalam percakapan yang semakin intens. Namun, meskipun hubungan itu berkembang, kerinduan yang tak terhindarkan mulai menguasai perasaan mereka. Mereka mulai merasakan betapa beratnya menjaga sebuah hubungan yang hanya terjalin lewat pesan teks dan panggilan video.
Kerinduan ini tidak hanya datang dari harapan untuk bertemu, tetapi juga dari kebutuhan akan kehadiran fisik sentuhan, tatapan mata, dan kehangatan yang hanya bisa dirasakan dalam pertemuan langsung. Inilah bab yang akan menggali lebih dalam tentang bagaimana kerinduan ini menyiksa mereka berdua, dan bagaimana mereka berusaha bertahan dengan perasaan yang tak terucapkan ini.
Maya bangun pagi-pagi, seperti biasa, dengan rutinitas yang sudah sangat dikenal bertemu dengan hiruk-pikuk Jakarta, rapat yang tidak ada habisnya, dan pekerjaan yang terus menuntut. Namun, hari itu, ada sesuatu yang berbeda. Sebuah pesan dari Raka yang baru saja ia terima membuat hatinya berdebar. “Selamat pagi, Maya. Aku harap kamu punya hari yang baik,” kata Raka di pesan itu.
Maya membalasnya dengan cepat, tetapi ada rasa hampa yang menghinggapi hatinya begitu ia menekan tombol kirim. Apa yang seharusnya menjadi sesuatu yang menyenangkan, malah terasa berbeda. Meskipun Raka sering menghubunginya dan mereka sering berbicara melalui panggilan video, ada perasaan kosong yang tak bisa ia pungkiri.
Ketika hari berjalan, kerinduan itu semakin menggerogoti pikirannya. Maya mulai merasa bahwa rutinitas yang padat dan pertemuan dengan banyak orang tidak mampu mengisi kekosongan yang ia rasakan. Ada saat-saat ketika ia ingin sekali melihat Raka, mendengar suaranya secara langsung, atau bahkan merasakan kehadirannya di sampingnya. Tetapi, meskipun mereka terhubung melalui layar, ada kekosongan emosional yang tak bisa dijembatani oleh teknologi.
Raka merasakan hal yang serupa. Pekerjaannya yang menuntut sering membuatnya merasa kelelahan, tetapi yang lebih melelahkan adalah perasaan kesepian yang menyertainya. Ia tinggal di sebuah kota besar di luar negeri, di mana kehidupannya dipenuhi oleh pekerjaan dan tanggung jawab, namun tidak ada satu pun yang bisa menggantikan perasaan yang ia rasakan saat berbicara dengan Maya.
Setiap kali mereka selesai berbicara, ia merasakan kekosongan yang tak terucapkan. Meskipun Maya ada di sana melalui teknologi, ia merindukan kehadiran nyata Maya tatapan matanya, suara tawanya, bahkan kehadirannya yang selalu membuatnya merasa tenang. Jarak ini, yang semula terasa seperti tantangan kecil, mulai menyiksa dirinya. Ia ingin sekali bisa terbang ke Indonesia, untuk sekadar melihat senyum Maya secara langsung, untuk merasakan kehangatan yang selama ini hanya bisa ia bayangkan.
Raka sering kali memejamkan mata dan membayangkan momen-momen sederhana bersama Maya. Mereka berjalan bersama di taman, duduk berdua di sebuah kafe sambil bercerita tentang impian dan harapan mereka. Namun, bayangan itu segera hilang begitu ia membuka matanya, dan kembali ke kenyataan bahwa mereka terpisah jauh di dua benua yang berbeda.
Maya dan Raka mulai semakin terbuka satu sama lain. Mereka berbagi kisah-kisah tentang masa kecil mereka, tentang impian yang mereka jaga di dalam hati, dan tentang cinta yang pernah mereka rasakan, meskipun itu telah berlalu. Setiap percakapan mengarah pada pengungkapan perasaan yang lebih dalam, namun di sisi lain, mereka juga merasa semakin terpisah. Keinginan mereka untuk saling mendekatkan diri seolah terbentur oleh kenyataan bahwa jarak yang ada tidak bisa dihapuskan begitu saja.
Kerinduan yang menyiksa ini bukan hanya soal jarak fisik, tetapi juga tentang bagaimana mereka berusaha untuk tetap terhubung secara emosional. Mereka tahu bahwa perasaan mereka semakin kuat, tetapi mereka tidak bisa merasakannya dengan cara yang mereka inginkan. Maya merindukan sentuhan, canda tawa yang terdengar di telinganya, dan Raka pun merasa kosong tanpa kehadiran fisik Maya yang seharusnya bisa memberinya ketenangan.
Pada malam hari, Maya merasakan kerinduan yang semakin tak tertahankan. Ia duduk di balkon apartemennya, menatap bintang-bintang yang tampak begitu jauh. Dalam kesunyian itu, pikirannya terisi oleh wajah Raka, suara tawanya, dan percakapan mereka yang selalu memberikan semangat. Namun, malam ini, ada rasa sepi yang begitu dalam, seolah-olah dia terjebak dalam ruang hampa.
Maya mencoba mencari pelarian dalam pekerjaan, tetapi ia tahu itu hanya sementara. Ketika ia kembali ke kamarnya, rasa kerinduan itu semakin mendalam. Ia menatap layar ponselnya, berharap ada pesan dari Raka, tetapi tidak ada. Saat itulah ia merasa betapa jarak ini mulai menggerogoti perasaannya. Bahkan meskipun ada teknologi yang memungkinkan mereka berbicara, tetap saja rasanya tidak cukup. “Mengapa kita harus terpisah seperti ini?” pikirnya.
Raka juga mengalami malam-malam panjang. Setiap kali ia selesai bekerja, ia merindukan suara Maya yang sering kali menghiburnya setelah hari yang panjang dan melelahkan. Ia ingin berbicara dengannya lebih lama, mendengar cerita-cerita kecil yang sering kali tidak ia dengar dari orang lain. Namun, meskipun ia ingin lebih sering berbicara, kerinduan itu justru semakin menyakitkan.
Suatu malam, ketika ia sedang duduk sendirian di kamar hotelnya, ia memutuskan untuk menghubungi Maya. Setelah beberapa menit, mereka pun mulai berbicara melalui panggilan video. Namun, walaupun mereka bisa melihat satu sama lain, Raka merasakan ada sesuatu yang kurang. Mereka berbicara tentang hari mereka, tetapi tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa mereka tidak dapat menyentuh satu sama lain. Raka ingin sekali meraih tangan Maya, untuk memberikan pelukan yang bisa melepaskan segala rasa rindu yang menguasainya. Namun, layar ponsel dan jarak yang tak terjangkau membuat segalanya terasa semakin sulit.
Maya dan Raka mulai memahami bahwa meskipun mereka berkomunikasi dengan intens, ada hal-hal yang tak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata. Rindu yang mereka rasakan semakin berat seiring berjalannya waktu. Maya mencoba untuk tetap positif, tetapi hatinya sering kali merasa tersakiti karena tidak bisa merasakan kedekatan dengan Raka.
Begitu juga dengan Raka. Walaupun ia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya dan menjaga hubungan ini tetap berjalan, rasa kesepian yang menggerogoti hatinya tak bisa dihindari. Ia sering kali menatap layar ponselnya dengan harapan ada kabar baru, tapi sering kali ia merasa seperti menunggu sesuatu yang tidak pasti.
Pada titik ini, Maya dan Raka mulai merasakan betapa besar dampak dari jarak yang ada. Kerinduan mereka semakin menghancurkan mereka dari dalam. Mereka tahu bahwa hubungan ini bukanlah hal yang mudah. Ada perasaan saling mencintai yang semakin kuat, tetapi kenyataan bahwa mereka tidak bisa berada di dekat satu sama lain membuat segala sesuatunya terasa berat. Mereka mencoba untuk tetap bertahan, tetapi kadang kerinduan itu seperti beban yang sangat berat.
Maya merasa terjepit antara harapan untuk bisa bersama Raka suatu hari nanti, dan rasa takut bahwa kerinduan ini akan membuat hubungan mereka hancur. Raka pun merasakan hal yang sama ia ingin memperjuangkan hubungan ini, tetapi ketidakpastian tentang masa depan mereka membuatnya ragu apakah mereka bisa bertahan.
Namun, meskipun kerinduan itu menghimpit mereka, ada satu hal yang mereka yakini: cinta ini layak untuk diperjuangkan. Mereka
hanya perlu bertahan sedikit lebih lama, hingga akhirnya bisa bertemu kembali dan mengurangi kerinduan yang menggerogoti hati mereka.
Setiap pagi Maya bangun lebih awal dari biasanya, seperti yang sudah menjadi kebiasaannya. Rutinitasnya di kantor selalu sama rapat yang tidak pernah habis, laporan yang harus dikerjakan, dan jadwal yang padat. Tetapi semakin hari, ia merasa bahwa sesuatu hilang. Di tengah kesibukannya, Maya merasa seperti ada bagian dari dirinya yang kosong. Sebelum tidur, ia selalu memeriksa ponselnya, mencari pesan dari Raka. Terkadang ia tidak menerima kabar secepat yang ia harapkan, dan setiap kali itulah rasa rindu yang berat itu datang menghantui.
Hari itu, seperti biasa, Maya menghadiri rapat yang panjang dan melelahkan. Namun, ia merasa matanya semakin berat, pikirannya melayang. Ia membayangkan senyum Raka, cara dia berbicara, dan suara lembutnya yang selalu menenangkan. Maya tahu betul bahwa jarak mereka tidak hanya dalam hal fisik, tetapi juga secara emosional, mereka mulai merasa terhalang oleh berbagai kesibukan masing-masing.
Maya mencoba untuk mengalihkan pikirannya dengan lebih fokus bekerja, namun setiap kali ia melirik ponselnya, perasaan rindu itu semakin mendalam. Di tengah kesibukannya, ia ingin sekali berada di tempat yang jauh dari pekerjaan hanya duduk bersama Raka di sebuah kafe, menikmati secangkir kopi, dan berbicara tentang hal-hal kecil. Namun, itu hanya sebuah impian yang semakin terasa tidak tercapai.
Di sisi lain, Raka juga merasakan hal yang sama. Meskipun ia berada di kota besar yang penuh dengan orang-orang, rasa kesepian yang ia rasakan seolah semakin dalam. Malam-malam panjang tanpa ada teman bicara yang bisa dipeluk, tanpa kehadiran seseorang yang bisa menenangkan pikirannya. Raka berusaha untuk tetap sibuk dengan pekerjaan, namun di setiap kesempatan luangnya, ia merasa seperti ada ruang kosong di dalam dirinya.
Setiap kali panggilan video dengan Maya berakhir, ia merasakan kekosongan yang menyelimuti dirinya. Mereka berbicara tentang banyak hal, tetapi tetap saja ada batasan yang tidak bisa mereka lewati. Raka sering kali terbangun tengah malam, memikirkan Maya, dan berharap bisa melintasi jarak yang memisahkan mereka. Ia mencoba untuk tidur, tetapi pikirannya selalu kembali kepada Maya. “Bagaimana jika aku tidak bisa bertahan dengan kerinduan ini?” pikirnya.
Raka juga merasakan bahwa meskipun mereka berdua terhubung secara emosional, tidak ada yang bisa menggantikan kenyataan bahwa mereka sangat terpisah. Setiap percakapan mereka melalui layar hanyalah pengalih perhatian sementara. Ia ingin merasakan kehadiran Maya yang sesungguhnya duduk bersama, berbicara tanpa batasan waktu, merasakan sentuhan tangan yang membuatnya merasa lebih hidup. Namun, itu semua tampaknya terlalu jauh untuk dicapai.
Beberapa minggu berlalu, dan meskipun mereka terus berkomunikasi, kerinduan itu semakin menghimpit perasaan Maya dan Raka. Maya mulai merasa kesal dengan dirinya sendiri, merasa seolah-olah ia tak bisa mengontrol perasaannya. Ketika ia terbangun di tengah malam, ia melihat layar ponselnya yang gelap, berharap ada pesan yang muncul dari Raka. Namun, kenyataan bahwa tidak ada pesan membuat perasaan itu semakin menghimpit dada. Maya merasa kehilangan kendali—perasaan yang ia coba sembunyikan mulai meresap ke dalam kehidupannya.
Di sisi Raka, perasaan yang sama mulai tumbuh. Ia tidak pernah benar-benar merasakan betapa pentingnya kehadiran seseorang dalam hidupnya hingga ia bertemu dengan Maya. Ia merindukan banyak hal bukan hanya kata-kata yang diucapkan Maya, tetapi cara Maya membuatnya merasa hidup, bagaimana Maya mampu membuatnya tertawa meski jarak yang memisahkan mereka begitu jauh. Namun, setiap kali ia mencoba menghubungi Maya lebih sering, ada perasaan bersalah yang muncul. Apakah ia terlalu bergantung pada Maya? Apakah ia membuatnya merasa terbebani dengan perasaannya?
Kerinduan ini mulai mengubah cara mereka berinteraksi. Maya menjadi lebih sensitif terhadap pesan-pesan yang dikirim oleh Raka. Kadang-kadang, ketika Raka tidak membalas pesannya dengan cepat, ia merasa kecewa, meskipun ia tahu bahwa Raka juga sibuk. Raka pun merasakan hal yang sama. Ia merasa tidak ingin mengecewakan Maya, tetapi pada saat yang sama, ia juga merasa terbebani dengan kebutuhan untuk tetap menjalin komunikasi meskipun mereka tahu bahwa jarak ini tak akan pernah mudah untuk dihadapi.
Kerinduan ini tidak hanya menciptakan rasa kesepian, tetapi juga ketegangan emosional yang mulai muncul di antara keduanya. Maya merasa takut jika Raka mulai menjauh, dan ia takut perasaan ini akan berakhir seperti hubungan jarak jauh sebelumnya hancur oleh waktu dan ketidakmampuan untuk saling bertemu. Setiap kali mereka berbicara, Maya merasa ada kata-kata yang belum terucapkan, hal-hal yang tidak bisa mereka ungkapkan melalui teks atau panggilan video.
Di sisi lain, Raka merasa bingung. Ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan kerinduannya tanpa membuat Maya merasa terbebani. Ia mulai merasa terjebak dalam perasaan yang semakin membesar di satu sisi, ia ingin terus berbicara dengan Maya, tetapi di sisi lain, ia khawatir hubungan ini tidak akan bisa bertahan lama. Ada saat-saat ketika ia ingin menyerah, tetapi perasaan cinta yang begitu kuat menghalangi niat itu.
Maya dan Raka mulai berpikir tentang masa depan mereka apakah ada kemungkinan untuk mengatasi jarak yang memisahkan mereka? Mereka tahu bahwa tidak ada jawaban yang mudah. Rindu itu seperti api yang semakin membesar tanpa bisa dipadamkan. Meskipun mereka mencoba untuk tetap berkomunikasi, semakin lama mereka semakin merasa terhimpit oleh perasaan yang tak bisa diungkapkan.
Suatu malam, Maya dan Raka duduk di depan layar masing-masing, berbicara melalui panggilan video. Mereka berbicara tentang rencana-rencana masa depan mereka, tetapi topik itu mulai terasa sangat berat. Maya memutuskan untuk mengubah suasana percakapan. “Apa kabar cuaca di sana?” tanya Maya, berusaha mencairkan suasana. Raka tertawa, dan untuk sesaat, mereka melupakan kenyataan bahwa mereka terpisah ribuan kilometer.
Maya dan Raka memutuskan untuk berbicara tentang hal-hal kecil mengenai makanan yang mereka suka, buku yang mereka baca, atau hal-hal yang mereka rasakan sepanjang hari. Meskipun ini hanya percakapan ringan, ada kenyamanan yang mereka rasakan. Mungkin jarak itu tidak bisa dihapuskan, tetapi mereka bisa membuat jarak itu terasa lebih dekat dengan cara mereka berbicara satu sama lain. Kerinduan yang semakin menyiksa ini akhirnya menjadi sesuatu yang bisa mereka terima sesuatu yang mereka tahu akan selalu ada, tetapi tidak perlu menghalangi mereka untuk tetap saling mendukung.
Bab 3: Jarak yang Menguji Cinta
Maya duduk di bangku depan, menatap ponselnya dengan tangan gemetar. Raka, yang dulu selalu memberikan kabar pagi-pagi, sudah beberapa hari tidak menghubunginya. Itu bukan hal yang biasa. Maya tahu betul bahwa Raka selalu memiliki jadwal yang padat, namun beberapa hari tanpa kabar sedikit membuat hatinya gelisah. Ada kecemasan yang tiba-tiba muncul, keraguan yang merayapi dirinya, dan kerinduan yang semakin membengkak.
“Apakah dia masih peduli padaku?” pikirnya sambil menatap layar ponsel yang seakan tidak bergerak. Ia merasakan jarak yang semakin terasa di antara mereka. Apa yang dimulai sebagai hubungan yang penuh harapan, perlahan berubah menjadi ujian panjang yang menguji ketahanan emosional mereka.Di sisi lain, Raka merasa perasaan yang sama. Ia sedang sibuk di kota asing, terjebak dalam rutinitas kerja yang padat. Namun, di balik kesibukannya, ia tak bisa menahan pikiran tentang Maya. Setiap kali ia hendak mengirim pesan atau menghubungi Maya, ia merasakan beban yang lebih besar. Jarak ini bukan hanya tentang berapa jauh mereka berada, tetapi juga tentang bagaimana mereka masing-masing mulai meragukan apakah mereka cukup kuat untuk menghadapinya.
Raka merasa ada hal yang mengganjal dalam dirinya rasa khawatir yang tak bisa ia ungkapkan. Apakah Maya masih sama seperti dulu? Apakah dia mulai merasa jenuh dengan hubungan jarak jauh ini? Setiap kali ia mencoba untuk memulai percakapan, ia selalu terhenti dengan keraguan. “Bagaimana jika aku salah memberi harapan padanya?” pikirnya.Hari demi hari berlalu tanpa percakapan panjang seperti dulu. Maya mulai merasa terjebak dalam kebisuan yang tak dijelaskan. Sementara itu, Raka merasa cemas karena ia juga merasakan jarak yang semakin menguasai hatinya. Percakapan mereka menjadi lebih singkat dan terkesan terburu-buru, tidak seperti dulu yang selalu diisi dengan canda dan tawa.
Di setiap ujung pesan mereka, ada ketidakjelasan yang mengganjal. Maya selalu berusaha untuk memberi ruang, namun di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah Raka mulai menjauh. Setiap pesan balasan dari Raka terasa semakin jarang dan tidak sehangat dulu. Bahkan panggilan video yang dulu selalu mereka lakukan sebelum tidur, kini menjadi jarang sekali dilakukan.
Maya merasa seperti ada jurang yang memisahkan mereka sesuatu yang lebih dalam dari sekadar jarak fisik. Ada jarak emosional yang tumbuh perlahan-lahan, yang mulai merenggut kebahagiaan mereka.
Pada suatu malam, Maya memutuskan untuk mengirimkan pesan yang lebih terbuka. “Raka, kenapa kita mulai merasa begitu jauh? Aku merasa ada sesuatu yang berubah, dan aku takut ini tidak akan bertahan.” Terkadang, menulis pesan itu membuat Maya merasa lebih lega, meskipun ia tahu bahwa kata-katanya bisa menambah ketegangan di antara mereka. Tapi, di sisi lain, ia merasa bahwa tidak ada lagi yang bisa ia simpan di dalam hati. Ia takut kehilangan Raka, meskipun mereka hanya berkomunikasi melalui layar ponsel.
Raka merasa perasaan yang sama. Ketika pesan dari Maya itu muncul di layarnya, hatinya berdebar. Ia tahu bahwa Maya sedang berjuang dengan perasaan kerinduan yang semakin besar, dan ia juga merasa cemas dengan hubungan mereka. Namun, ketika ia mulai mengetik balasan, ia merasa kata-katanya tidak cukup untuk meyakinkan Maya bahwa ia masih berkomitmen pada hubungan ini.
“Aku juga merasakan hal yang sama, Maya,” tulis Raka akhirnya, meskipun ia tidak yakin apakah itu cukup untuk meyakinkan Maya. “Aku hanya merasa kesulitan untuk menyeimbangkan semuanya—pekerjaan, waktu, dan kamu.”
Namun, meskipun mereka berdua berusaha membuka hati, ada sebuah kenyataan yang semakin jelas jarak ini semakin menambah tekanan emosional pada mereka. Meskipun kata-kata baik terus mengalir, ketegangan itu tidak bisa begitu saja dihapuskan.
Maya merasa bahwa keraguan itu semakin besar. Ia khawatir hubungan ini tidak akan bertahan, bahwa perasaan mereka akan menghilang seiring berjalannya waktu. Ia tahu bahwa Raka mencoba sebaik mungkin, tetapi ada bagian dalam dirinya yang merasa ditinggalkan. Ada rasa takut bahwa, meskipun mereka berdua mencintai satu sama lain, jarak ini terlalu besar untuk mereka atasi.
Ia memikirkan kembali masa-masa ketika mereka pertama kali bertemu, betapa mudahnya mereka berbicara, betapa eratnya ikatan yang mereka rasakan. Namun, sekarang setiap percakapan terasa seperti upaya untuk mempertahankan apa yang sudah mereka miliki, bukan untuk memperkuatnya.
Pada saat yang sama, Raka juga merasa terjepit oleh rasa takut yang sama. Ia mencoba untuk tidak menunjukkan kelemahannya, tetapi kenyataannya, ia merasa cemas akan masa depan hubungan ini. Mungkin ia tidak bisa berada di sisi Maya saat dia membutuhkan seseorang, mungkin dia tidak cukup berusaha untuk mengatasi jarak ini.
Ketika mereka berbicara lagi, mereka menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak bisa mereka paksakan. Maya mencoba untuk lebih menerima kenyataan bahwa hubungan jarak jauh memang memiliki tantangan besar. Meskipun mereka terus berkomunikasi, mereka juga menyadari bahwa keduanya perlu lebih realistis tentang apa yang dapat mereka capai.
tidak bisa selalu berada di dekat satu sama lain, tetapi itu tidak berarti aku tidak peduli padamu.”
Maya menatap wajah Raka di layar, melihat ketulusan dalam matanya, dan untuk sesaat, kerinduan itu seolah-olah sedikit terobati. Mereka berdua sepakat untuk mencoba lebih banyak berbicara tentang perasaan mereka, meskipun itu berarti membuka lebih banyak keraguan dan ketakutan.
Namun, seiring berjalannya waktu, keduanya mulai belajar untuk menerima bahwa cinta mereka memang teruji oleh jarak, tetapi itu bukan berarti mereka harus menyerah. Mungkin jarak itu menguji kekuatan cinta mereka, tetapi di dalam hati mereka, mereka merasa bahwa meskipun terpisah jauh, cinta ini masih hidup.
Meskipun ketegangan emosional dan keraguan mulai meresap ke dalam hubungan mereka, Maya dan Raka tetap berusaha mempertahankan harapan. Mereka sadar bahwa hubungan mereka tidak akan pernah mudah. Ada banyak hal yang harus dihadapi—terutama kerinduan yang kian mendalam. Namun, mereka juga menyadari bahwa cinta mereka layak untuk diperjuangkan.
Maya akhirnya mulai belajar untuk lebih menghargai setiap pesan dan percakapan dengan Raka, meskipun itu hanya sebentar. Setiap kali mereka berbicara, ia merasa bahwa meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka bisa selalu bersama, setiap momen itu sangat berharga.
Raka juga merasa hal yang sama. Ia tahu bahwa meskipun mereka terpisah oleh jarak dan waktu, mereka masih memiliki satu hal yang sama—keinginan untuk menjaga cinta ini tetap hidup.
Maya menghela napas panjang saat memandang layar ponselnya. Pagi itu, dia menemukan pesan dari Raka, tetapi itu hanya ucapan selamat pagi yang singkat tanpa ada lanjutannya. Tidak seperti biasanya, yang penuh dengan candaan atau pembicaraan hangat tentang kehidupan sehari-hari mereka. Maya merasa ada yang berbeda, meskipun Raka sudah berusaha memberi penjelasan tentang betapa sibuknya dia dengan pekerjaan.
Aku merasa ada yang hilang,” pikir Maya, menyentuh layar ponselnya dengan jari yang terasa berat. Ia ingin sekali berbicara lebih banyak, namun entah kenapa kata-katanya selalu terjebak di dalam hati. “Apakah Raka merasakan hal yang sama?” pikirnya. Perasaan itu mulai menggerogoti hati Maya keraguan tentang apakah cinta ini masih cukup kuat untuk bertahan atau tidak.
Setiap malam, sebelum tidur, Maya masih selalu memeriksa ponselnya, berharap ada pesan yang datang dari Raka, bahkan hanya sekadar sapaan singkat. Tapi semakin hari, harapan itu semakin berkurang. Dia mulai merasa seolah-olah hubungan mereka tergantung pada satu hal pesan yang tertunda dan ketidakpastian yang tidak bisa mereka hindari.
Raka juga merasa kebingungan yang sama. Setiap hari ia berusaha tetap fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya selalu kembali pada Maya. Setiap kali dia mencoba menelepon atau mengirim pesan, ia merasa seakan-akan ada sesuatu yang menahan dirinya. Ada rasa tidak yakin yang terus membayangi. “Apakah Maya merasa yang sama? Apakah aku sudah terlalu banyak berharap?” Ia terus bertanya pada dirinya sendiri.
Ada kalanya, Raka mencoba menelepon lebih dulu, berharap bisa mendengar suara Maya yang menghangatkan hatinya. Namun, ketika suara Maya terdengar di ujung telepon, ada ketegangan yang aneh di antara mereka. Maya terdengar berbeda, lebih kaku, lebih berhati-hati dalam berbicara. Mereka mulai merasakan ada celah yang membentang di antara percakapan mereka, seakan jarak ini semakin nyata. Raka mulai bertanya-tanya, apakah komunikasi mereka mulai terbentur oleh kenyataan bahwa mereka semakin jauh.
Mereka berdua mulai menghindari topik-topik besar yang biasanya mereka bicarakan mereka tidak lagi membicarakan masa depan bersama atau rencana untuk bertemu. Karena keduanya tahu, pembicaraan tentang masa depan itu terasa semakin berat. Mereka tidak ingin membicarakan hal-hal yang belum pasti, namun dalam diam, mereka merasa ketakutan bahwa hubungan mereka mungkin akan berakhir dengan cara yang tak terduga.
Ketegangan semakin terasa saat Maya mulai merasa perasaan yang tak terucapkan semakin kuat perasaan terabaikan. Ia tahu Raka sibuk, tetapi setiap kali ia mengirim pesan atau bertanya kabar, jawaban yang diterimanya terasa lebih singkat dan terkesan terburu-buru. “Apa yang sebenarnya terjadi, Raka?” Maya bertanya-tanya dalam hati. Ia takut, takut bahwa perasaan mereka semakin pudar. Meskipun mereka terus berkomunikasi, ada jarak emosional yang semakin besar, seolah-olah mereka berdua berusaha bertahan dalam sesuatu yang semakin sulit dipertahankan.
Terkadang, Maya berusaha untuk memahami situasi Raka, berpikir bahwa pekerjaan dan tanggung jawabnya membuatnya sulit untuk memberi perhatian penuh pada hubungan mereka. Namun, di sisi lain, Maya merasa seperti ia sedang berjuang sendirian. Ia merindukan saat-saat ketika mereka bisa berbicara tanpa henti, ketika mereka saling mendukung dan berbagi setiap kegelisahan. Sekarang, percakapan mereka terasa lebih datar, lebih kering, dan semakin jarang.
Maya berusaha bersikap sabar, tetapi dalam hatinya, ia tak bisa menahan perasaan bahwa sesuatu yang indah mulai luntur. Cinta mereka mulai diuji oleh jarak, dan semakin lama, Maya merasa semakin sulit untuk menghadapinya.
Raka merasa tertekan dengan perasaan yang sama. Walaupun ia terus mencoba untuk mengirim pesan dan menelepon Maya, ia merasa ada jarak yang semakin besar. Ia merasa takut jika terlalu terbuka, karena ia tidak ingin membuat Maya merasa cemas atau merasa bahwa ia tidak cukup berusaha. Namun, di sisi lain, ia juga merasa bahwa dirinya terbebani oleh banyak hal pekerjaan yang menuntut perhatian penuh, jarak yang semakin jauh, dan kerinduan yang semakin menyiksa.
“Apakah aku sedang mengabaikan Maya? Apakah hubungan ini akan berakhir seperti yang aku takutkan?” Raka merenung sendiri di malam hari, memikirkan perasaan Maya yang semakin kesepian. Ia tahu bahwa komunikasi mereka tidak seperti dulu lagi, tetapi ia tidak tahu bagaimana harus mengatasinya.
Terkadang, Raka merasa bahwa meskipun ia bekerja keras untuk membuktikan cintanya, ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa jarak ini terus menghimpit. Setiap kali ia menghubungi Maya, ada rasa bersalah yang menyelimutinya. Ia takut tidak cukup memberi, tidak cukup hadir untuk Maya. Dalam setiap obrolan singkat mereka, ia merasa tidak ada cukup ruang untuk berbicara tentang apa yang mereka rasakan. Semua topik terasa mengarah pada ketegangan dan kecemasan yang tidak dapat dihindari.
Sebuah kejadian kecil membuat Maya akhirnya memutuskan untuk membuka hati dan berbicara secara terbuka dengan Raka. Pada suatu malam yang tenang, ketika mereka berbicara melalui pesan teks, Maya memutuskan untuk mengungkapkan apa yang selama ini terpendam. “Raka, aku rasa kita perlu bicara tentang bagaimana perasaan kita sekarang. Aku merasa ada yang berubah, dan aku tak tahu bagaimana harus menghadapinya.”
Raka membaca pesan itu dengan hati yang berdebar. Ia tahu ini adalah percakapan yang sulit, tetapi ia juga menyadari bahwa mereka tidak bisa terus menghindari kenyataan bahwa hubungan ini sedang diuji. Mereka berdua merasakan perasaan yang sama, tetapi selama ini tidak ada yang cukup berani untuk mengungkapkannya.
“Aku juga merasakan hal yang sama, Maya,” balas Raka setelah beberapa detik. “Aku terlalu fokus pada pekerjaan, dan aku merasa semakin jauh darimu. Aku takut jika kita tidak bisa bertahan, tapi aku tidak ingin kehilanganmu.”
Percakapan itu membuka jalan bagi keduanya untuk lebih terbuka tentang perasaan mereka. Mereka berbicara dengan jujur tentang rasa rindu yang menggerogoti mereka, ketakutan akan kehilangan satu sama lain, dan keraguan yang semakin besar. Namun, dalam percakapan itu juga ada kesepakatan yang muncul bahwa meskipun jarak ini menguji cinta mereka, mereka tidak akan menyerah begitu saja.
Setelah percakapan itu, Maya dan Raka merasa sedikit lega. Mereka menyadari bahwa meskipun jarak ini menguji mereka, mereka tidak perlu menghadapinya sendirian. Mereka berjanji untuk lebih terbuka satu sama lain, untuk saling memberi ruang dan memahami bahwa hubungan ini akan memerlukan usaha yang lebih besar dari sebelumnya. Meskipun mereka berdua tahu bahwa tantangan ini belum berakhir, mereka mulai merasa lebih kuat, karena mereka tahu bahwa mereka masih berjuang bersama.
“Maya, kita akan menemukan cara untuk menghadapinya. Aku janji aku akan berusaha lebih keras,” kata Raka dengan suara penuh keyakinan.
“Aku juga, Raka. Aku akan bertahan untuk kita.” jawab Maya dengan penuh harapan.
Bab 4: Sampai Jumpa, Cinta
Maya duduk di balkon apartemennya, memandangi malam yang sunyi. Lampu-lampu kota berkelip jauh di bawah sana, namun hatinya terasa gelap. Raka akan pergi ke luar negeri, untuk sebuah proyek yang akan memakan waktu lama. Seminggu lagi, dan mereka akan berpisah. Perpisahan yang sudah mereka bicarakan selama berbulan-bulan, tapi tidak pernah terasa begitu nyata sampai saat ini.
“Apakah ini memang saatnya?” Maya bertanya pada dirinya sendiri, menatap layar ponsel yang kosong. Raka belum menghubunginya hari itu, dan ada semacam kekosongan yang mulai merayapi dirinya. Biasanya, mereka saling mengirim pesan di malam hari, berbagi cerita tentang hari-hari mereka, atau sekadar merencanakan pertemuan di masa depan. Tetapi kini, seolah-olah ada jarak yang semakin besar, lebih besar dari sekadar fisik. Ada ruang yang semakin terpisah, yang tak bisa diisi dengan kata-kata lagi.
Dia tahu bahwa mereka sudah mencoba bertahan, tetapi ada sesuatu yang tak bisa dipungkiri perpisahan ini seakan menjadi titik akhir yang tak terelakkan. “Apakah cinta kami cukup kuat untuk bertahan?” Maya bertanya lagi, dan meskipun hatinya ingin percaya bahwa cinta itu bisa mengalahkan segalanya, ada keraguan yang terus menghantui dirinya.
Raka menghubungi Maya pada sore hari itu, mengajak untuk bertemu di tempat yang mereka biasa pergi. Tempat yang penuh kenangan kafe kecil di pinggir kota yang selalu mereka kunjungi setiap kali ada waktu luang. Maya merasa cemas dan bersemangat pada saat yang bersamaan. Mereka telah berbicara tentang perpisahan ini sebelumnya, tetapi ini adalah pertama kalinya mereka benar-benar berbicara tentang apa yang akan terjadi setelah itu. Apa yang akan mereka lakukan setelah Raka pergi? Apakah hubungan mereka akan bertahan, atau ini hanya bagian dari perjalanan yang harus mereka hadapi?
Saat Maya tiba di kafe, Raka sudah duduk di meja yang biasa mereka pilih, dengan tatapan yang tampak lebih serius daripada biasanya. Ada sedikit senyum di wajahnya, tetapi ada juga kesedihan yang terpendam di balik mata itu. Maya merasa jantungnya berdegup kencang saat mendekat, merasa takut untuk membuka percakapan ini. Mereka berdua tahu bahwa tidak ada yang bisa diubah lagi.
“Aku tahu kamu merasa cemas, Maya,” kata Raka saat Maya duduk di depannya. “Aku juga merasa hal yang sama.”
Maya hanya mengangguk, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. “Aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Rasanya… berat.”
Mereka terdiam sejenak, hanya saling memandang, seperti mencoba mengingat setiap detik yang ada. Kenangan indah yang pernah mereka buat bersama terasa semakin dekat, tetapi juga semakin jauh, seiring waktu yang terus berjalan.
Ketegangan yang mereka rasakan semakin kuat. Mereka mencoba berbicara tentang masa depan, tetapi kata-kata terasa begitu sulit diucapkan. Mereka berdua tahu bahwa mereka tidak bisa terus mengabaikan kenyataan bahwa Raka akan pergi jauh, dan mereka tidak tahu apakah hubungan ini akan bisa bertahan atau tidak.
“Aku ingin kita bertemu lagi. Aku ingin kita bisa bertahan, Raka,” kata Maya, suaranya bergetar. “Tapi aku juga tidak tahu apakah itu mungkin.”
Raka memandang Maya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku tidak ingin membuatmu merasa terbebani. Aku juga ingin kita bisa bersama, tetapi aku tahu ini tidak mudah.”Raka terdiam sejenak, menundukkan kepalanya. “Aku takut, Maya. Aku takut kita akan kehilangan semuanya.”
Maya merasakan perasaan yang sama. Namun, di dalam dirinya, ada sesuatu yang lebih besar rasa cinta yang sangat kuat, yang mungkin sulit untuk dijelaskan. Meskipun begitu, dia tahu bahwa mereka harus siap dengan kenyataan. “Raka, aku takut juga,”jawabnya dengan suara pelan. “Tapi mungkin… mungkin kita harus memberi diri kita waktu. Waktu untuk merasakan apa yang terbaik untuk kita.”
Perpisahan semakin dekat, dan mereka berdua merasa semakin terjebak dalam ketidakpastian. Ada rasa cinta yang begitu besar, tetapi ada juga kenyataan yang tak bisa mereka hindari. Maya mulai merasa bahwa meskipun mereka sangat mencintai satu sama lain, kadang-kadang, cinta saja tidak cukup untuk mengatasi jarak yang begitu besar.
“Apa yang akan terjadi setelah kamu pergi?”tanya Maya, berusaha menahan air mata. “Apakah kita akan berusaha untuk tetap terhubung? Atau kita akan benar-benar berpisah?”
Raka menggenggam tangan Maya dengan lembut, mencoba menenangkan perasaannya.”Aku ingin tetap berjuang, Maya. Aku ingin kita tetap berhubungan, tetapi aku tahu bahwa kita juga harus realistis. Waktu akan memberi jawabannya.”
Namun, meskipun mereka mencoba untuk saling meyakinkan, ada sesuatu yang terasa semakin berat. Jarak ini, meskipun tidak terukur secara fisik, sudah begitu dalam menggerogoti hubungan mereka. Setiap kata yang mereka ucapkan terasa semakin terhambat, seolah-olah ada dinding tak kasat mata yang mulai terbentuk di antara mereka.
Hari-hari berlalu, dan perpisahan semakin mendekat. Maya merasakan keinginan untuk tetap dekat dengan Raka, tetapi ia juga tahu bahwa ada batas waktu yang tidak bisa mereka ubah. Meskipun mereka berusaha untuk terus berkomunikasi, jarak ini mulai menggerogoti rasa percayaan mereka. Setiap kali Raka meluangkan waktu untuk berbicara, Maya merasa cemas apakah itu cukup. Cemas apakah mereka masih bisa bertahan.
Namun, di tengah kecemasan itu, Maya menyadari bahwa cinta mereka tidak hanya tergantung pada pertemuan fisik. Cinta mereka bisa tetap hidup meskipun terpisah, meskipun penuh dengan keraguan dan ketakutan. “Cinta tidak selalu harus berada dalam jarak yang dekat,” pikirnya. “Kadang-kadang, cinta justru tumbuh lebih kuat saat kita diberi jarak untuk merindukannya.”
Raka juga merasakan hal yang sama. Meski perpisahan ini membuatnya takut, ia tahu bahwa Maya adalah orang yang tidak bisa dia lupakan. “Aku ingin kamu tahu bahwa meskipun aku pergi, aku akan selalu mengingatmu, Maya,” kata Raka suatu malam lewat pesan suara. “Aku tidak tahu bagaimana ke depan, tetapi aku berharap kita bisa bertemu lagi.”
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tiba. Raka harus pergi, meninggalkan Maya dengan perasaan yang sulit digambarkan. Mereka berdiri di bandara, memandang satu sama lain dengan mata yang penuh dengan air mata. Maya berusaha tersenyum, meskipun hatinya terasa sangat sakit. Raka, dengan wajah yang tegang, mencoba menahan emosi yang hampir meledak.
“Aku akan merindukanmu,” kata Maya, suaranya serak.”Aku benar-benar akan merindukanmu.”
Raka memeluk Maya dengan erat, mencoba menenangkan dirinya dan Maya. “Aku juga, Maya. Tapi ini bukan akhir. Ini hanya awal dari sesuatu yang baru.” Meskipun kata-kata itu terdengar optimis, mereka tahu bahwa perpisahan ini akan mengubah segalanya.
Saat Raka berjalan menuju gerbang keberangkatan, Maya merasa ada sebuah bagian dari dirinya yang hilang. Dia tahu bahwa jarak ini akan menguji mereka lebih jauh, tetapi ada harapan yang masih tertinggal di hatinya. “Sampai jumpa, Cinta,” bisiknya dalam hati.
Setelah perpisahan itu, Maya merasa dunia seakan menjadi lebih sepi. Setiap harinya terasa lebih panjang, dan komunikasi dengan Raka semakin terbatas. Mereka berdua mencoba untuk tetap terhubung melalui pesan-pesan singkat, tetapi kenyataan bahwa Raka tidak ada di sampingnya membuat semuanya terasa lebih sulit. Maya berusaha menerima kenyataan, bahwa mungkin ini adalah jalan yang harus mereka tempuh untuk tumbuh dan
mencari arah masing-masing. Namun, di dalam dirinya, ada perasaan campur aduk antara harapan dan rasa kehilangan yang tidak bisa dihindari.
Maya mulai berusaha menerima bahwa cinta mereka, meskipun sangat kuat, tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa keduanya sedang berada di jalur yang berbeda. Raka di luar negeri, mengejar karir dan impian yang lebih besar, sementara Maya tetap di sini, mencoba menemukan jalannya sendiri. Tetapi meskipun jarak itu semakin lebar, ada keyakinan dalam hatinya bahwa perpisahan ini bukanlah akhir dari segalanya.
Bulan-bulan berlalu sejak perpisahan mereka. Maya masih terjebak dalam rutinitas sehari-hari yang monoton. Pekerjaan di kantor terasa lebih menantang, dan terkadang ia merasa sangat lelah. Namun, di tengah segala keramaian dan kesibukan, pikirannya sering kembali pada Raka. Entah itu melalui lagu-lagu yang mereka pernah dengar bersama, atau tempat-tempat yang dulu mereka kunjungi. Semua kenangan itu masih hidup dalam dirinya, meskipun perasaan itu mulai terasa lebih jauh seiring waktu.
Setiap kali ada pesan dari Raka, hati Maya berdegup kencang. Mereka saling memberi kabar tentang kehidupan masing-masing, tetapi semakin hari, percakapan itu terasa semakin terputus. Tidak ada lagi rencana-rencana untuk bertemu, atau perbincangan tentang masa depan. Semuanya hanya berputar pada keseharian, tentang kesibukan mereka yang masing-masing, dan tentang bagaimana mereka berdua berusaha bertahan dalam kesendirian mereka.
Namun, ada satu malam, ketika Maya sedang duduk sendirian di apartemennya, bahwa ia menyadari sesuatu yang penting. “Aku tidak bisa hidup hanya dengan kenangan,” pikirnya. “Aku harus terus berjalan maju.”Perpisahan ini memang menyakitkan, tetapi itu bukanlah alasan untuk menghentikan hidupnya. Cinta itu penting, tetapi dirinya sendiri juga tidak kalah pentingnya.
Di sisi lain dunia, Raka juga merasakan kesepian yang tak terkatakan. Pekerjaan dan tanggung jawab yang begitu besar kadang membuatnya lupa akan apa yang sebenarnya ia inginkan. Ketika ia berada di luar negeri, jauh dari Maya, ia merasa terasing. Ada begitu banyak hal yang ia capai, tetapi kadang-kadang ia merasa sepi. Tidak ada yang bisa ia ajak berbicara tentang hal-hal kecil, tentang harapan atau kekhawatirannya. Maya, yang dulu selalu ada untuknya, kini hanya tinggal kenangan.
Raka mencoba untuk tetap sibuk dengan pekerjaannya, tetapi setiap kali dia melewati tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi, kenangan tentang Maya datang begitu saja. Ada saat-saat ketika ia merasa ingin menyerah dan kembali ke Indonesia, hanya untuk menghabiskan waktu bersama Maya, tetapi ia tahu bahwa ia harus menyelesaikan tugas ini dulu. Ada rasa bersalah yang besar dalam dirinya, merasa seperti mengabaikan perasaan Maya demi mengejar ambisi pribadinya.
Raka tahu bahwa apa yang ia alami bukanlah sesuatu yang mudah. Tetapi ia juga tahu bahwa meskipun hubungan mereka harus terpisah oleh jarak yang begitu besar, itu tidak berarti cinta mereka sudah berakhir. Cinta ini berbeda tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tetapi bisa dirasakan dalam setiap detik yang berlalu.
Maya mencoba untuk bergerak maju. Ia mulai lebih fokus pada pekerjaannya, berusaha mengisi waktunya dengan kegiatan yang menyibukkan. Namun, meskipun ia tampak bahagia di luar, ada kekosongan yang tak bisa ia tutupi. Ia merindukan Raka merindukan cara mereka saling mendukung, merindukan suara Raka di ujung telepon, merindukan cara mereka saling berbagi setiap detik kehidupan. Tapi Maya tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus hidup di masa lalu.
Suatu hari, saat sedang berjalan-jalan di taman, Maya bertemu dengan seorang teman lama yang mengajaknya berbicara tentang hubungan dan kehidupan. Percakapan itu membuka matanya bahwa meskipun ia merindukan Raka, ia juga harus belajar untuk mencintai dirinya sendiri, untuk menghargai hidup yang telah ia bangun selama ini. “Cinta itu penting, tetapi kamu juga harus mencintai dirimu sendiri, Maya,”kata temannya.
Kata-kata itu menggema dalam pikirannya. Mungkin perpisahan ini adalah ujian untuk keduanya, tetapi juga kesempatan untuk tumbuh dan menjadi lebih baik. Ia mulai belajar bahwa meskipun Raka bukanlah satu-satunya orang yang membuat hidupnya bermakna, ia tetap memiliki banyak hal yang bisa ia banggakan dan nikmati. Maya mulai kembali ke dunia sosialnya, menghabiskan waktu dengan teman-temannya, dan mulai berani mengejar impian-impian yang dulu sempat tertunda.
Namun, meskipun ia menemukan kedamaian dalam dirinya, Maya juga tahu bahwa rasa cinta itu tidak pernah benar-benar hilang. Itu hanya berubah bentuk sekarang ia belajar untuk mencintai Raka dari jauh, tanpa harus selalu bersama.
Suatu malam, setelah berbulan-bulan tanpa komunikasi yang intens, Maya menerima sebuah pesan suara dari Raka. Suaranya terdengar lebih tenang dan penuh perasaan, meskipun ada keheningan di belakangnya, seperti suasana malam yang sepi.”Maya, aku tahu sudah lama aku tidak memberi kabar. Maafkan aku, aku terlalu sibuk dengan segala hal di sini. Tetapi aku ingin kamu tahu, bahwa setiap hari aku berpikir tentang kita. Aku tahu aku harus pergi, dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menghargai segala yang kita miliki. Aku berharap suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi.”
Maya mematikan ponselnya dan duduk terdiam sejenak. Air mata perlahan mengalir di pipinya, tetapi ada rasa lega yang mengalir dalam dirinya. “Aku juga akan selalu merindukanmu, Raka,” bisiknya, seolah menjawab pesannya meskipun ia tahu bahwa mereka tidak perlu berbicara lebih banyak lagi.
Hari-hari berlalu dengan perasaan yang lebih tenang, meskipun tak pernah sepenuhnya bebas dari kerinduan. Maya dan Raka tetap saling mengirim pesan sekali-sekali, tetapi mereka sudah tidak lagi terikat pada rutinitas yang dulu mereka jalani bersama. Maya mulai merasa bahwa ia tidak perlu terus bergantung pada Raka untuk merasa lengkap. Cinta mereka sudah mencapai titik di mana mereka harus belajar untuk hidup terpisah, tetapi dengan hati yang tetap terhubung.
Pada suatu malam, ketika langit penuh bintang, Maya berdiri di balkon apartemennya, menatap ke langit yang luas. “Sampai jumpa, cinta,” bisiknya, mengenang perjalanan mereka, dan menyadari bahwa cinta mereka tidak pernah benar-benar berakhir. Itu hanya berubah bentuk, tumbuh dalam kenangan dan harapan yang akan selalu ada, meskipun jarak memisahkan mereka.
Bab 5: Mencari Jadi Diri Sendiri
Setelah perpisahan yang terasa berat dengan Raka, Maya merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya yang dulu selalu ada. Kepergian Raka mengubah hampir seluruh aspek hidupnya—rutinitas harian yang penuh kebersamaan, percakapan yang tidak pernah selesai, dan kebahagiaan kecil yang mereka bagi setiap hari. Semua itu kini hanya tinggal kenangan yang kerap menghantui pikirannya.
Hari-hari berjalan, dan Maya mulai merasakan adanya kekosongan dalam hidupnya. Suasana di kantornya tidak lagi ceria seperti dulu, dan interaksi sosial dengan teman-teman semakin berkurang. Setiap kali membuka ponsel, hatinya terasa sesak, tak bisa menghindar dari kenangan tentang Raka yang semakin meredup.
Namun, di dalam kehampaan itu, Maya mulai menyadari satu hal bahwa hidupnya tidak bisa terus terhenti hanya karena perpisahan ini. Ia tidak bisa terus berada dalam bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan. “Aku harus bergerak maju,”pikirnya. “Aku tidak bisa terus hidup dengan kenangan ini.”
Maya mulai merasakan kebingungan dalam dirinya. Apa yang harus dia lakukan? Ia ingin menemukan kembali dirinya menjadi pribadi yang lebih kuat dan lebih mandiri. Tapi, bagaimana caranya? Apakah itu berarti melupakan Raka dan melanjutkan hidup tanpa melihat ke belakang?
Maya teringat bahwa dulu, sebelum ia mengenal Raka, ia memiliki banyak hobi yang membuatnya merasa hidup. Melukis, menulis, dan berkebun adalah beberapa kegiatan yang dulu ia lakukan untuk mengisi waktu senggangnya. Namun, sejak bersama Raka, ia merasa bahwa banyak dari hobinya itu terabaikan. Hobi-hobi tersebut tertutup oleh rutinitas bersama Raka waktu yang mereka habiskan berdua seolah menjadi alasan bagi Maya untuk melupakan hal-hal yang ia cintai.
Maya pun memutuskan untuk kembali ke hobi lamanya. Setiap pagi setelah bangun, ia mulai meluangkan waktu untuk menulis di jurnalnya. Tulisan-tulisan kecil itu, meskipun kadang hanya berisi keluhan tentang perasaannya, menjadi media untuk Maya melepaskan segala beban yang ada di hatinya. Menulis menjadi cara Maya untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri, untuk mengenal lebih dalam tentang perasaannya.
Pada akhir pekan, Maya mulai berkebun di halaman rumahnya. Meski tidak memiliki banyak waktu untuk itu, ia merasa ada kepuasan yang luar biasa saat melihat tanaman-tanaman yang ia rawat mulai tumbuh dan berkembang. Setiap daun yang hijau dan bunga yang mekar adalah simbol kecil dari dirinya yang juga sedang berusaha untuk tumbuh, meskipun di tengah kesedihan dan kehilangan.
Maya sadar bahwa meskipun ia mulai menemukan sedikit kedamaian dalam hobinya, ada hal lain yang perlu ia lakukan untuk benar-benar bangkit. Ia mulai merasa bahwa ada kekosongan sosial yang harus ia isi. Di masa lalu, ia banyak menghabiskan waktu dengan Raka, hingga pertemanannya dengan orang lain mulai terabaikan. Maya menyadari bahwa ia tidak bisa terus mengandalkan satu orang untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya.
Maya mulai menghadiri beberapa acara komunitas dan kegiatan sosial. Ia bergabung dengan sebuah kelompok yoga, mengikuti kelas memasak, dan bahkan mulai bergabung dengan klub buku di kota. Pada awalnya, ia merasa canggung, merasa seperti orang asing yang tidak tahu harus mulai dari mana. Namun, seiring waktu, Maya mulai merasa lebih nyaman berada di antara orang-orang yang memiliki minat yang sama. Ia mulai menemukan teman-teman baru, dan perlahan-lahan ia mulai merasa seperti dirinya kembali.
Suatu kali, setelah menghadiri kelas yoga, Maya berbicara dengan seorang wanita bernama Rina yang sangat ramah. Mereka berbicara tentang berbagai haldari kegiatan yoga, pekerjaan, hingga pengalaman hidup masing-masing. Rina mengungkapkan bahwa ia juga pernah mengalami perpisahan yang berat, dan bagaimana ia belajar untuk menemukan kebahagiaan dengan dirinya sendiri.
“Aku belajar bahwa aku harus mencintai diriku sendiri dulu, Maya,” kata Rina dengan senyum lembut. “Jangan biarkan dirimu terperangkap dalam kenangan masa lalu. Kamu berhak bahagia, meskipun tanpa orang lain.”
Kata-kata itu menggema dalam hati Maya.”Aku harus mencintai diriku sendiri dulu,”pikirnya. Ia mulai memahami bahwa kebahagiaan tidak datang dari luar, melainkan dari dalam dirinya sendiri.
Malam itu, Maya duduk di depan cermin, menatap dirinya sendiri dengan penuh perasaan. “Siapa aku tanpa Raka?” pikirnya. “Siapa aku ketika aku tidak lagi menjadi bagian dari kisah kami berdua?”
Untuk pertama kalinya, Maya merasa seperti dirinya sendiri tanpa peran yang ditentukan oleh hubungan, tanpa ekspektasi dari orang lain. Ia melihat ke dalam matanya, mencoba mencari tahu siapa dia sebenarnya, tanpa segala keraguan yang mungkin ada.
Maya menyadari bahwa meskipun ia merasa kosong dan terpecah saat perpisahan itu terjadi, ia tetap memiliki kekuatan untuk bangkit. Raka mungkin telah meninggalkan dirinya, tetapi ia tidak akan pernah bisa kehilangan dirinya sendiri. Maya adalah dirinya sendiri, dan itu cukup.
Suatu hari, Maya menerima pesan dari Raka setelah berbulan-bulan mereka tidak saling berkomunikasi. Awalnya, ia merasa cemas dan terkejut, tetapi ia memutuskan untuk membacanya. Pesan itu sangat sederhana, hanya bertanya tentang bagaimana kabar Maya dan apa yang terjadi dalam hidupnya. Namun, di balik pesan itu, Maya merasa ada perasaan yang tidak dapat disembunyikan rindu, penyesalan, dan harapan.
Dengan hati yang campur aduk, Maya memutuskan untuk membalas pesan itu. Mereka berbicara panjang lebar, mengungkapkan apa yang masing-masing rasakan setelah perpisahan. Raka berkata bahwa ia masih merindukan Maya, meskipun ia tidak bisa kembali. Maya pun berkata bahwa meskipun ia masih mencintainya, ia kini belajar untuk mencintai dirinya sendiri lebih dulu.
“Aku akan selalu menghargai waktu yang kita habiskan bersama, Raka,”kata Maya, “Tapi aku juga tahu aku harus melangkah sendiri sekarang.”
Percakapan itu memberi Maya kedamaian. Meskipun cinta mereka tidak lagi bisa bertahan, Maya menyadari bahwa perasaan itu akan selalu ada dalam dirinya. Namun, kini ia tahu bahwa ia harus fokus pada dirinya sendiri, belajar untuk bahagia dengan siapa dirinya sebenarnya tanpa bergantung pada orang lain.
Seiring waktu, Maya mulai merasa lebih hidup daripada sebelumnya. Ia merasa lebih kuat dan lebih mandiri. Cinta untuk dirinya sendiri mulai tumbuh, dan ia menyadari bahwa ia tidak perlu menunggu seseorang untuk membuat hidupnya lengkap. Maya belajar untuk menikmati setiap detik hidup, meskipun terkadang ada rasa rindu yang datang begitu saja.
Maya mulai lebih percaya diri dalam menghadapi tantangan baru baik dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Ia juga merasa bahwa dirinya kini lebih siap untuk membuka hati, tetapi tidak lagi dengan cara yang tergantung pada orang lain. “Aku bisa bahagia tanpa harus bergantung pada siapa pun,” pikirnya. “Aku bisa menciptakan kebahagiaanku sendiri.”
Hari-hari berlalu, dan Maya merasa lebih siap untuk menghadapi masa depan. Ia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang, dan meskipun perpisahan dengan Raka meninggalkan luka, itu juga memberinya kekuatan untuk melangkah lebih jauh. Maya kini tahu bahwa kebahagiaan tidak terletak pada satu orang atau hubungan tertentumelainkan pada bagaimana ia melihat dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya.
Suatu pagi, saat ia sedang duduk di kafe kecil yang baru ia temukan, Maya tersenyum pada dirinya sendiri. Ia merasa damai, merasa bahwa ia telah menemukan jalan yang tepat. “Aku siap untuk masa depan ini,” pikirnya. “Aku siap menjalani hidupku dengan penuh keberanian.”***
————THE END————