Daftar Isi
Bab 1 Pertemuan yang Tak Terduga
Hari pertama di tahun ajaran baru selalu membawa perasaan campur aduk. Bagi Alya, yang baru saja pindah ke sekolah baru di kota yang asing, perasaan cemas dan ketidakpastian menguasai dirinya. Ia melangkah ke sekolah dengan langkah hati-hati, berusaha untuk tidak terlihat terlalu cemas meskipun di dalam dirinya, gelombang kekhawatiran terus bergulir.
Alya adalah seorang gadis yang pendiam, suka membaca buku, dan lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan daripada bergaul dengan teman-temannya. Ia bukan tipe orang yang mudah bergaul, dan pindah ke sekolah baru membuatnya merasa seperti ikan yang terjebak dalam akuarium yang sempit. Semua serba baru, dan semuanya terasa asing.
Di pagi yang cerah itu, Alya berdiri di depan gerbang sekolah, menatap bangunan besar yang akan menjadi rumah barunya selama beberapa tahun ke depan. Dengan tas ransel yang menggantung di bahunya dan sepatu yang melangkah perlahan, ia melangkah memasuki halaman sekolah.
Begitu masuk, ia melihat kelompok-kelompok siswa yang tertawa dan berbicara dengan akrab. Mereka tampak sudah saling mengenal, saling berbagi cerita tentang liburan mereka. Alya merasa sedikit terasing, seperti orang luar yang hanya bisa mengamati tanpa bisa ikut serta dalam kebahagiaan mereka. Matanya menyapu sekeliling mencari tempat yang lebih sepi, dan akhirnya, ia memutuskan untuk menuju ke kantin, berharap menemukan sudut yang tenang.
Namun, langkahnya terhenti saat melihat seorang pemuda yang sedang berdiri di depan meja kantin. Pemuda itu tampak baru, dengan rambut hitam yang sedikit acak-acakan dan kacamata yang tergantung rendah di hidungnya. Dia sedang berbicara dengan beberapa teman sekelas, namun ada sesuatu yang berbeda tentang cara dia berdiri—tampak sedikit canggung, seperti orang yang tidak sepenuhnya nyaman di tempat baru.
Tanpa sengaja, pandangan mereka bertemu. Alya merasa jantungnya berdegup lebih kencang, namun ia cepat-cepat menundukkan kepala, menghindari tatapan yang tiba-tiba itu. Ia merasa malu dan sedikit panik. Ini bukan pertemuan yang direncanakan, dan Alya tidak tahu bagaimana harus meresponnya.
Pemuda itu, yang kemudian diketahui bernama Randy, menyadari ketegangan dalam tatapan Alya. Namun, ia hanya tersenyum kecil dan kembali berbicara dengan teman-temannya. Alya merasa sedikit lega, meskipun rasa canggung itu masih terasa dalam dirinya.
Setelah beberapa saat berlalu, Alya memutuskan untuk mencari tempat duduk yang lebih nyaman di bagian pojok kantin. Ia duduk sendirian, memandangi buku yang sudah dibawa sejak tadi, namun pikirannya masih melayang pada sosok Randy yang sempat menarik perhatiannya. Mungkin itu hanya kebetulan, pikirnya. Tapi mengapa perasaan itu terasa sedikit berbeda? Rasa itu seperti jejak yang mulai menorehkan sesuatu di hati, meskipun ia berusaha mengabaikannya.
Tak lama setelah itu, seseorang menghampiri mejanya.
“Boleh duduk?” Suara lembut namun penuh keyakinan itu terdengar di telinganya.
Alya menoleh dan mendapati Randy berdiri di samping meja. Ia tampak sedikit ragu, namun tidak terlalu cemas. Pandangannya langsung bertemu dengan mata Alya, dan Alya merasa sejenak seperti ada yang mengalir dalam dirinya.
“Eh… tentu,” jawab Alya, sedikit gugup.
Randy tersenyum tipis, lalu duduk di kursi yang ada di sebelah Alya. Kedua tangan Alya yang semula memegang buku dengan erat, kini sedikit kaku. Keheningan sesaat menyelimuti mereka, namun entah mengapa, keheningan itu terasa nyaman.
“Nama aku Randy,” akhirnya pemuda itu membuka percakapan. “Aku baru pindah ke sini beberapa hari yang lalu.”
Alya mengangguk pelan. “Aku juga baru pindah. Nama aku Alya.”
“Alya,” Randy mengulangi nama itu dengan lembut, seolah menikmati bunyi namanya. “Aku lihat kamu tadi sendirian. Sepertinya kita berdua di sini sama-sama orang baru, ya?”
Alya hanya tersenyum kecil, merasa sedikit lega karena Randy tidak tampak menghakimi dirinya yang terasing. “Iya, sepertinya begitu,” jawabnya, mencoba untuk tidak terlalu cemas.
Randy menghela napas pelan, menatap meja di depannya. “Aku bukan tipe orang yang suka ikut-ikut ngobrol dengan banyak orang, sih. Jadi, kalau kamu butuh teman ngobrol atau merasa canggung, aku bisa menemanimu.”
Alya merasa sedikit terkejut dengan tawaran itu. Biasanya, orang-orang seperti Randy—yang tampaknya sangat mudah bergaul dengan orang lain—akan lebih memilih teman-teman yang sudah dikenalnya. Namun, ia merasa tersentuh dengan kehangatan yang ditawarkan Randy. Di mata Alya, sikap itu terasa tulus dan membuatnya merasa sedikit lebih diterima.
“Terima kasih,” jawab Alya, merasa senang sekaligus sedikit canggung.
Percakapan mereka berlanjut, meskipun dalam alur yang santai dan tidak terburu-buru. Mereka mulai berbicara tentang sekolah, tentang hobi, dan tentang hal-hal kecil yang sering kali terlupakan oleh orang lain. Alya merasa nyaman berbicara dengan Randy, seolah-olah mereka sudah saling mengenal lama, meskipun kenyataannya baru saja bertemu.
Seiring berjalannya waktu, Alya mulai merasa bahwa mungkin pertemuan yang tak terduga ini bukanlah kebetulan belaka. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai membuka sedikit demi sedikit, meskipun ia masih terlalu hati-hati untuk mengakuinya. Di saat yang sama, Randy juga tampak lebih nyaman berbicara dengan Alya. Kedekatan mereka, yang dimulai dengan percakapan ringan, perlahan mulai menguatkan ikatan yang tak terucapkan.
Alya tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun satu hal yang pasti—pertemuan ini telah meninggalkan jejak pertama di hatinya. Mungkin ini adalah awal dari sebuah kisah yang akan terus berkembang, meskipun belum sepenuhnya bisa ia pahami. Namun, di hari itu, pertemuan yang tak terduga ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya.*
Bab 2 Mengenal Lebih Dekat
Hari pertama setelah pertemuan mereka yang tak terduga, Alya merasa ada yang berbeda. Sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, namun jelas terasa di dalam hati. Randy, pemuda yang baru saja pindah ke kota ini, terus muncul dalam pikirannya. Wajahnya yang tampan, senyumnya yang tenang, dan cara dia berbicara—semuanya terasa meninggalkan jejak. Rasanya seperti ada magnet yang menariknya, membuat Alya ingin mengenal lebih jauh tentang dirinya.
Pada hari-hari berikutnya, tak sengaja Alya dan Randy sering bertemu di koridor sekolah atau di kantin. Mereka tak pernah benar-benar mengobrol lebih lama, hanya menyapa dengan senyum tipis atau sekadar berbicara tentang tugas sekolah. Namun, bagi Alya, pertemuan-pertemuan singkat itu sudah cukup membuatnya merasa lebih dekat dengan Randy, meski tak pernah ada kata-kata yang lebih dalam terucap.
Alya, yang selama ini lebih tertutup dan tidak terlalu suka bergaul, merasa canggung saat berada di dekat Randy. Ia tahu Randy memiliki banyak teman baru, dan beberapa dari mereka bahkan sering mengajaknya berbicara. Namun, bagi Alya, kehadiran Randy selalu mengundang perasaan aneh yang sulit ia pahami. Setiap kali Randy melambaikan tangan atau memberikan senyum kecil, hati Alya berdegup kencang. “Apa ini hanya perasaan biasa?” tanyanya dalam hati. “Atau ini lebih dari sekadar rasa tertarik?”
Suatu hari, setelah pelajaran matematika selesai, Alya berjalan keluar kelas menuju kantin, seperti biasa duduk sendiri dengan membawa buku. Tanpa diduga, Randy menghampirinya dengan langkah santai. Alya merasa jantungnya berpacu cepat. “Hai, Alya,” sapa Randy, senyumnya terukir lebar.
Alya sedikit terkejut. “Oh, hai, Randy,” jawabnya dengan suara agak gemetar. “Ada apa?”
“Tidak ada sih,” Randy tersenyum lagi. “Hanya ingin mengajak kamu duduk bareng. Aku baru saja pindah, jadi… ya, aku cuma ingin kenal lebih dekat saja.”
Alya merasa sedikit canggung, namun ada sesuatu dalam cara Randy berbicara yang membuatnya merasa nyaman. Ia mengangguk dan kemudian mengikuti Randy menuju meja kosong di sudut kantin. Mereka duduk berhadapan, di tengah keramaian yang tak terlalu mengganggu.
“Jadi, kamu dari mana, Randy?” tanya Alya mencoba membuka percakapan.
“Oh, aku dari Bandung. Pindah kesini karena pekerjaan orang tua. Baru seminggu ini aku tinggal di sini, jadi masih banyak yang belum aku kenal,” jawab Randy sambil mengaduk minumannya. “Tapi, aku senang bisa ngobrol dengan kamu. Sepertinya kamu orang yang baik.”
Alya tersenyum kecil, sedikit terkejut dengan pujian itu. “Oh, tidak juga. Aku hanya orang biasa,” jawabnya dengan hati-hati.
“Biasa atau tidak, kamu tetap menarik. Aku sudah lama perhatikan kamu di kelas,” Randy melanjutkan. “Kamu pintar, kan? Aku lihat nilai-nilaimu bagus di papan pengumuman.”
Alya merasa wajahnya memanas. “Ah, itu hanya kebetulan. Aku… memang suka belajar,” jawabnya, menghindari tatapan Randy yang seolah mengamati dengan saksama.
Obrolan mereka terus berlanjut, meskipun kadang-kadang Alya merasa bingung harus mengatakan apa. Randy terlalu santai dan penuh perhatian, membuatnya semakin merasa canggung. Namun, ada sesuatu yang membuat Alya terus ingin mendengarkan, terus ingin berbicara. Setiap kalimat dari Randy seperti membuka pintu kecil yang mengarah ke dunia yang lebih luas yang belum pernah ia masuki sebelumnya.
Hari demi hari berlalu, dan mereka mulai sering berbicara. Kadang di sekolah, kadang lewat pesan singkat setelah jam pelajaran. Alya merasa hubungan mereka mulai tumbuh, meskipun tidak secara langsung. Randy mulai lebih sering menanyakan bagaimana hari-hari Alya, apa yang dia lakukan di luar sekolah, bahkan hal-hal kecil seperti hobi dan musik yang dia suka.
Malam itu, saat Alya pulang dari sekolah, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Randy masuk.
**Randy:** *“Kamu suka musik, kan? Aku baru beli album band favoritku. Kalau kamu ada waktu, kita bisa ngobrol lebih banyak tentang musik. Aku penasaran apa yang kamu dengar selama ini.”*
Alya tersenyum membaca pesan itu. Meskipun hanya percakapan ringan, tapi rasanya seperti sebuah jembatan kecil yang menghubungkan mereka. Ia membalas pesan itu dengan cepat.
**Alya:** *“Aku suka musik juga! Terutama lagu-lagu yang tenang. Coba kirimkan album yang kamu beli, aku penasaran.”*
Randy langsung membalas dengan kiriman tautan album yang dimaksud. Mereka terus berbicara tentang lagu-lagu favorit mereka, dan tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Alya merasa nyaman berbicara dengan Randy, lebih nyaman daripada yang ia rasakan sebelumnya dengan siapa pun.
Namun, di balik kebahagiaan sederhana itu, ada sesuatu yang mulai tumbuh dalam hati Alya. Rasa yang lebih dari sekadar pertemanan. Ia tahu, perasaan ini bukan hanya tentang berbagi lagu atau cerita sepele. Ini adalah sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dan meskipun ia merasa takut, Alya juga merasa tertarik untuk mengeksplorasi perasaan yang baru saja muncul ini.
Saat mereka berbicara lebih lama malam itu, Alya merasa dirinya berada di titik yang berbeda—di ambang perasaan yang belum pernah ia temui. Mungkin inilah yang disebut cinta pertama. Sebuah perasaan yang tak bisa dijelaskan, namun begitu jelas terasa. Randy bukan sekadar teman, dia lebih dari itu.*
Bab 3 Rasa Tertarik yang Semakin Dalam
Hari-hari berlalu dengan cepat sejak pertemuan pertama mereka. Alya dan Randy mulai sering berpapasan di lorong kampus, meskipun tak selalu dalam konteks yang besar. Mereka hanya saling melirik sekilas, saling bertukar senyum tipis, namun tidak ada yang berani membuka percakapan lebih dalam. Seiring berjalannya waktu, perasaan Alya mulai berkembang, namun ia memilih untuk menyembunyikannya.
Alya menghabiskan banyak waktu di perpustakaan kampus, tenggelam dalam buku-buku dan catatan kuliah. Meski banyak teman sekelasnya yang mengajaknya berbicara, pikirannya selalu terarah pada sosok Randy. Ada sesuatu tentang pemuda itu yang menarik perhatiannya. Randy bukanlah tipe pria yang berisik atau penuh perhatian. Ia lebih pendiam, lebih tertutup, tetapi ada ketenangan dalam sikapnya yang membuat Alya merasa nyaman berada di dekatnya.
Suatu hari, Alya mendapati dirinya berada di sebuah ruang belajar bersama teman-teman sekelasnya. Ketika ia membuka pintu dan melangkah masuk, ia terkejut melihat Randy sedang duduk di pojok ruangan, membaca buku dengan serius. Itu bukan pertama kalinya mereka berada di tempat yang sama, tetapi kali ini, Alya merasa seolah-olah dunia mereka tiba-tiba menyempit menjadi hanya berdua. Wajah Randy yang tampak fokus pada bacaan, serta aura tenang yang ia miliki, membuat hati Alya berdebar lebih cepat dari biasanya.
Alya berusaha menyembunyikan perasaan itu, memilih duduk jauh darinya. Namun, tak lama setelah itu, Randy menoleh dan menyapanya dengan suara lembut yang tidak biasa. “Alya, kamu sedang belajar untuk ujian akhir, ya?” tanyanya, seolah tidak ada yang aneh.
Alya merasa tubuhnya kaku mendengar namanya disebut dengan begitu tulus. “Iya, aku sedang belajar untuk psikologi,” jawabnya, berusaha terdengar biasa saja meski hatinya berdegup kencang.
“Oh, aku juga mengambil mata kuliah itu,” kata Randy sambil tersenyum. Senyum itu tidak lebar, hanya sedikit, tetapi cukup membuat Alya merasa dunia berhenti berputar sejenak.
“Apa kamu butuh bantuan?” lanjut Randy, seolah-olah dia tidak melihat betapa gugupnya Alya saat itu.
Alya merasa dirinya berada di ambang keputusasaan, berusaha menyembunyikan perasaan yang semakin sulit untuk diabaikan. “Mungkin… Aku rasa aku bisa mengerjakannya sendiri,” jawab Alya dengan suara yang sedikit gemetar.
Randy mengangguk, lalu kembali fokus pada bukunya. Alya pun berusaha kembali menatap buku psikologinya, namun pikirannya melayang-layang. Senyum Randy, tatapan matanya yang lembut, dan cara dia menyapa dengan begitu santai membuat Alya terjebak dalam perasaan yang semakin sulit untuk dipahami.
Setelah beberapa menit, tanpa sadar, Alya merasa semakin tidak bisa fokus pada apa yang ia pelajari. Matanya tak bisa lepas dari sosok Randy di sudut ruangan. Ia menyadari bahwa, meskipun mereka baru saling mengenal, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Perasaan yang sering ia rasakan ketika bertemu Randy bukan sekadar ketertarikan fisik. Itu adalah sesuatu yang lebih dalam. Ada sesuatu yang menenangkan dan menyentuh hatinya setiap kali ia melihatnya.
Pada akhirnya, Alya tak bisa menahan diri lagi. Ia memutuskan untuk berbicara kepada Randy, meskipun hanya untuk sekadar mencari alasan untuk mendekat. Dengan langkah pelan, ia mendekat dan duduk di meja yang berada tak jauh dari Randy.
“Randy,” kata Alya, suaranya terdengar lebih lembut dari yang ia inginkan. “Aku… aku dengar kamu suka bermain gitar ya?”
Randy menoleh, matanya sedikit terkejut, namun senyumnya kembali hadir. “Oh, iya, aku memang suka bermain gitar. Tapi aku lebih suka bermain untuk diri sendiri.”
Alya merasa sedikit malu mendengar jawabannya. “Aku… aku ingin belajar. Aku ingin belajar bermain gitar,” katanya, sedikit ragu-ragu.
Randy menatapnya sejenak, lalu tersenyum. “Kamu bisa belajar dariku, kalau mau,” jawabnya dengan rendah hati. “Gitar itu cukup sederhana, asal kita mau berusaha.”
Alya merasakan hatinya berbunga mendengar kata-kata Randy. Mereka mengobrol lebih lama tentang musik, tentang gitar, dan hal-hal lainnya yang membuat Alya merasa semakin dekat dengan Randy. Setiap kata yang keluar dari mulut Randy seolah menenangkan gelisah di dalam hatinya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Alya merasa perasaannya bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan.
Namun, meskipun mereka semakin sering berbicara, Alya masih merasa kesulitan untuk mengungkapkan perasaan sesungguhnya. Perasaan ini, yang mulai tumbuh begitu dalam di hatinya, terasa begitu rapuh dan mudah patah. Rasa takut akan penolakan dan ketidakpastian masa depan menghalangi langkahnya.
Hari-hari berlalu, dan meskipun mereka mulai menghabiskan waktu bersama—bermain gitar, berbicara tentang banyak hal, dan saling berbagi tawa—Alya masih merasa ada jarak yang tak terlihat di antara mereka. Mungkin ini hanya perasaan sementara, pikirnya. Mungkin ini hanya sekadar ketertarikan yang biasa terjadi pada setiap orang yang baru bertemu.
Namun, setiap kali ia melihat Randy, setiap kali mereka berbicara, hatinya semakin yakin bahwa perasaan ini lebih dari sekadar ketertarikan biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang menghubungkan mereka berdua, meski mereka belum sepenuhnya bisa menyadari atau mengungkapkan hal itu.
Sementara itu, Randy juga mulai merasakan hal yang sama. Setiap kali Alya tersenyum atau tertawa, ia merasa dunia menjadi lebih indah. Setiap percakapan dengan Alya, meskipun sederhana, membuatnya merasa seperti menemukan bagian dari dirinya yang selama ini hilang. Namun, seperti halnya Alya, Randy juga tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan perasaannya ini.
Namun, satu hal yang pasti: hubungan mereka yang semakin dalam ini, mulai membawa jejak pertama yang tak terlupakan di hati mereka.*
Bab 4 Kesalahpahaman yang Membingungkan
Hari itu seharusnya menjadi hari yang biasa bagi Alya, tetapi kenyataannya berbeda. Sejak pagi, hatinya terasa gelisah. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. Entah mengapa, perasaan itu semakin kuat setelah ia menerima pesan dari teman sekelasnya yang bernama Maya.
“Alya, aku lihat Randy tadi ngobrol sama Rina di kantin. Mereka tampak akrab banget, loh. Apa kamu nggak cemburu?” pesan itu tiba-tiba muncul di layar ponselnya.
Alya menatap pesan itu dengan bingung. Randy, lelaki yang belakangan ini membuat hatinya berdebar setiap kali mereka bertemu, kini disebut-sebut sedang dekat dengan Rina? Alya mengenal Rina dengan baik. Rina adalah teman sekelas mereka yang ceria dan seringkali berbicara dengan siapapun, namun Alya tidak pernah melihat ada kedekatan khusus antara mereka. Tapi mengapa Maya berkata begitu?
Alya mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, tetapi pikiran itu terus berputar-putar. Perasaan cemas mulai merayap, membuat dirinya ragu akan segalanya. Apakah mungkin Randy menyukai Rina? Atau mungkin dia hanya bersikap ramah seperti biasa? Sungguh, Alya tidak tahu harus bagaimana.
Saat istirahat tiba, Alya berjalan ke kantin, berharap bisa menemukan jawaban atas kebingungannya. Ia mencari-cari sosok Randy di antara kerumunan teman-teman yang sedang menikmati makanan mereka. Dan kemudian, matanya menemukan sosok Randy yang sedang duduk bersama Rina. Mereka tertawa bersama, seakan dunia hanya milik mereka berdua.
Jantung Alya berdegup kencang. Ada rasa sakit yang tiba-tiba muncul di dadanya, seolah-olah ada yang menekannya dengan kuat. Tanpa berpikir panjang, Alya berbalik dan berjalan cepat ke luar kantin, mencoba menghindari perasaan yang tidak dapat ia atasi. Ia tak tahu mengapa, tetapi saat itu ia merasa sangat terluka. Apa benar Randy menyukai Rina? Atau akankah hal itu menjadi akhir dari kisah cinta pertama yang baru saja ia rasakan?
Di luar kantin, Alya memutuskan untuk berjalan menuju taman kecil di belakang sekolah. Ia duduk di bangku yang biasanya ia duduki saat merasa bingung. Angin sore yang lembut seakan menemani, namun hatinya tetap terasa sesak. Bagaimana jika ia salah? Bagaimana jika itu hanya perasaan cemburu yang tidak berdasar?
Beberapa menit berlalu, dan tiba-tiba ada seseorang yang duduk di sampingnya. Alya menoleh, dan melihat Randy yang tersenyum canggung. “Alya, kenapa kamu terlihat begitu cemas?” tanyanya pelan, menatap wajah Alya yang terlihat sedikit murung.
Alya tidak bisa menahan diri. “Aku lihat kamu tadi di kantin, ngobrol bareng Rina. Aku cuma… aku cuma nggak tahu kalau kalian dekat, gitu. Maya bilang kalian kelihatan akrab, jadi aku… aku nggak tahu harus gimana. Apakah kamu… menyukai Rina?” suara Alya terdengar serak, meski ia berusaha menjaga keseimbangan emosi.
Randy terdiam sejenak, seolah mencerna apa yang baru saja Alya katakan. Wajahnya tampak terkejut, dan kemudian ia menggelengkan kepalanya. “Alya, tunggu dulu. Itu semua salah paham,” ujarnya dengan suara yang terdengar serius namun lembut.
Alya bingung. “Salah paham? Apa maksudmu?”
Randy menarik napas panjang dan menatap Alya dengan tatapan yang dalam. “Aku nggak ada hubungan apapun dengan Rina, Alya. Kami cuma teman sekelas dan sedang membahas tugas. Itu semua hanya obrolan biasa, nggak lebih dari itu. Rina nggak lebih dari teman, dan kamu—” Randy terdiam sejenak, seakan berat untuk melanjutkan, namun akhirnya ia melanjutkan, “Kamu yang aku suka. Kamu yang ada di pikiranku.”
Alya terpaku, rasa kaget dan kebingungannya bercampur aduk. “Tapi… kamu tadi tampak begitu dekat dengannya. Aku kira—”
“Alya, aku paham kenapa kamu merasa cemas. Tapi aku minta kamu percayalah, kamu tidak perlu merasa seperti itu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa apa yang kamu lihat itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Rina adalah teman, bukan lebih dari itu,” Randy menjelaskan dengan sabar.
Alya masih merasa bingung, tapi perlahan rasa cemasnya mulai mereda. “Kenapa kamu tidak memberitahuku dari awal? Kenapa kamu tidak menjelaskan?”
Randy tersenyum lemah. “Aku tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman. Aku tidak ingin membuatmu cemas kalau aku tidak benar-benar tahu apakah perasaan ini diterima atau tidak. Aku nggak mau terburu-buru.”
Alya menundukkan kepala, merasa sedikit malu dengan sikapnya yang terburu-buru menilai tanpa memeriksa lebih dalam. Namun, dalam hatinya ada rasa lega yang perlahan datang, menggantikan kekhawatiran yang sempat menguasainya. Ia menatap Randy dengan tatapan yang lebih lembut.
“Aku… aku terlalu cemas. Maaf kalau aku salah paham,” kata Alya dengan pelan, matanya mulai berkaca-kaca.
Randy mengangguk, lalu tersenyum lembut. “Tidak apa-apa. Aku mengerti. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu tidak perlu merasa seperti itu. Aku serius dengan apa yang aku rasakan padamu, Alya.”
Alya mengangguk pelan, merasa ada sesuatu yang baru tumbuh dalam hatinya. Perasaan itu tidak lagi terikat oleh keraguan atau kebingungannya, namun lebih kepada kepercayaan. Kepercayaan pada Randy, kepercayaan pada perasaan yang mulai berkembang di antara mereka.
Setelah beberapa detik hening, Alya akhirnya berbicara dengan suara yang lebih tenang. “Terima kasih, Randy. Aku merasa jauh lebih baik sekarang.”
“Tidak masalah,” jawab Randy, matanya berbinar. “Aku senang kalau kamu bisa merasa lebih baik. Aku akan selalu ada di sini, Alya.”
Mereka duduk bersama di bangku taman itu, menikmati kebersamaan yang sederhana namun penuh makna. Rasa cemas yang sempat menguasai Alya perlahan menghilang, dan yang tersisa hanyalah ketenangan yang berasal dari pemahaman satu sama lain.
Mereka berdua tahu bahwa meskipun ada kesalahpahaman yang membingungkan, mereka bisa menghadapinya dengan lebih dewasa. Cinta pertama mereka mungkin masih baru, tapi dengan komunikasi dan saling percaya, mereka yakin bisa melewati segala tantangan yang akan datang.*
Bab 5 Mengungkapkan Perasaan
Alya duduk di bangku taman yang terletak di sudut ruang kampus. Matanya menatap kosong ke depan, meskipun sekelilingnya dipenuhi suara tawa dan hiruk-pikuk mahasiswa yang berlalu lalang. Hatinya bergejolak, penuh kebingungan. Selama ini, ia berusaha mengabaikan perasaannya kepada Randy. Namun, semakin ia mencoba untuk menjauh, semakin ia merasa perasaan itu semakin kuat, semakin tidak bisa diabaikan.
Hari ini, ia sudah memutuskan. Semua keraguan yang selama ini menghalangi dirinya untuk mengungkapkan perasaan harus dihentikan. “Aku tidak bisa terus seperti ini,” pikirnya. “Aku tidak bisa terus memendam rasa yang sudah lama mengendap dalam hatiku.”
Namun, meski tekad itu sudah ada, hatinya masih saja berdebar tak menentu. Alya tahu bahwa perasaan ini bukanlah hal yang mudah untuk diungkapkan. Ini bukan hanya tentang sekadar berbicara tentang rasa suka biasa, ini adalah cinta pertama yang selama ini ia pendam, sesuatu yang begitu besar dan berarti baginya.
Tiba-tiba, suara Randy memecah pikirannya. “Alya, kamu di sini?” tanyanya, wajahnya tampak bingung saat melihat Alya yang duduk sendirian.
Alya menoleh, dan jantungnya seakan berhenti sejenak. Randy berdiri di depannya, dengan senyum khas yang selalu membuatnya merasa canggung. Ia ingin berkata sesuatu, tapi kata-kata itu terasa tersekat di tenggorokannya.
“Alya?” Randy bertanya lagi, melangkah mendekat. “Apa kamu baik-baik saja?”
Alya mengangguk perlahan, berusaha menutupi kegugupan di wajahnya. “Aku baik-baik saja, Randy. Hanya… sedikit merenung saja.”
Randy duduk di sebelahnya, mengambil posisi dengan hati-hati, seperti dia tahu bahwa ada sesuatu yang mengganjal di hati Alya. “Kamu terlihat seperti ada sesuatu yang ingin kamu katakan,” katanya dengan lembut, matanya penuh perhatian.
Alya menelan ludah, perasaan cemas itu semakin menguasai dirinya. “Sebenarnya… ada sesuatu yang harus aku katakan, Randy,” ujar Alya, suaranya terdengar lebih rendah dari yang ia harapkan. “Sudah lama aku merasa seperti ada yang mengganjal di dalam hati aku. Dan aku rasa, aku tidak bisa terus memendamnya lagi.”
Randy memandang Alya dengan pandangan yang penuh rasa ingin tahu. “Apa itu, Alya? Kamu tahu kalau aku selalu ada untuk mendengarkanmu,” ujarnya, matanya penuh perhatian.
Alya menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Aku… Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” kata Alya, menatap tanah di depannya. “Tapi, perasaan ini… rasanya semakin sulit untuk aku sembunyikan. Aku merasa sangat cemas dan takut, tapi aku tidak bisa terus berpura-pura tidak merasakannya.”
Randy terdiam sejenak, seperti mencoba mencerna kata-kata Alya. Lalu, dengan suara lembut, ia bertanya, “Perasaan apa, Alya?”
Alya menatap Randy, matanya sedikit berkaca-kaca. “Aku… aku suka padamu, Randy. Sejak pertama kali kita bertemu, rasanya ada sesuatu yang berbeda dalam diriku. Perasaan ini semakin besar seiring berjalannya waktu. Dan aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa takut, karena aku tidak tahu apakah kamu merasakannya juga.”
Alya menunduk, mencoba menghindari tatapan Randy. Ia takut, takut jika Randy tidak merasakan hal yang sama, takut jika ia akan ditertawakan atau bahkan dijauhkan. Itu adalah rasa takut yang mendalam, rasa takut kehilangan sesuatu yang sudah begitu berharga baginya.
Tapi, tidak ada suara yang datang dari Randy. Alya mulai merasakan kegelisahan yang lebih dalam. “Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, dan aku tidak ingin kamu merasa tertekan. Aku hanya—“
Tiba-tiba, Randy menyentuh tangan Alya dengan lembut, membuat kalimatnya terhenti. “Alya,” katanya, suara Randy terdengar lebih serius dari biasanya, “Aku juga merasa hal yang sama.”
Alya terdiam, matanya melebar. “Apa… apa maksudmu?”
Randy tersenyum, senyum yang sama yang selalu membuat hati Alya berdebar. “Aku sudah merasa seperti ini sejak lama. Sejak pertama kali kita bertemu, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan dirimu. Tapi aku juga takut, takut untuk mengungkapkannya. Takut kalau kamu tidak merasakannya juga. Aku khawatir itu akan merusak hubungan kita yang sudah terjalin, bahkan mungkin membuat kita menjauh.”
Alya merasa seolah seluruh dunia berhenti sejenak. Hatinya berdegup kencang, dan ada perasaan lega yang mengalir begitu saja. “Jadi, kamu… kamu juga suka padaku?” tanyanya, hampir tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja ia dengar.
Randy mengangguk, masih memegang tangan Alya dengan lembut. “Iya, Alya. Aku sudah lama merasa seperti itu, tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Dan aku tahu, ini tidak mudah bagi kita berdua. Tapi, aku ingin kita bisa menjalani ini bersama-sama.”
Alya menatap mata Randy, merasakan sesuatu yang kuat mengalir di dalam dirinya. Ternyata, perasaan itu bukan hanya miliknya, tetapi juga milik Randy. Mereka berdua telah saling memendam rasa yang sama, dan kini, akhirnya semuanya terungkap. Rasa cemas dan takut yang sempat menguasai Alya seketika lenyap, digantikan dengan kebahagiaan yang tak terkira.
“Terima kasih, Randy,” ujar Alya dengan suara yang hampir bergetar. “Aku merasa seperti beban yang selama ini aku bawa akhirnya hilang. Aku tidak perlu lagi takut.”
Randy tersenyum lebar, matanya berkilau dengan kebahagiaan. “Aku juga merasa lega, Alya. Aku senang kita bisa saling terbuka. Ini bukan akhir dari perjalanan kita, tapi justru awal dari sesuatu yang lebih indah.”
Mereka duduk di sana, berdua, dalam diam yang penuh makna. Mereka tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang besar, perjalanan bersama yang penuh dengan tantangan dan kebahagiaan. Dan meskipun perjalanan mereka baru dimulai, Alya merasa yakin bahwa perasaan pertama ini akan menjadi jejak yang tak akan pernah terlupakan di hatinya.*
Bab 6 Bahagia dalam Kesederhanaan
Setelah mengungkapkan perasaan mereka, Alya dan Randy mulai menjalani hubungan yang penuh dengan harapan dan kegembiraan. Meskipun perasaan cinta itu terasa begitu besar, keduanya sadar bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari momen yang spektakuler atau mewah. Sebaliknya, mereka menemukan bahwa kebahagiaan sejati bisa datang dari hal-hal kecil yang sederhana, yang mereka jalani bersama.
Hari itu, mereka duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat yang sering mereka kunjungi setiap kali ingin meluangkan waktu bersama. Kafe itu sederhana, dengan dekorasi yang tidak mencolok, tetapi memiliki suasana yang hangat. Ada aroma kopi yang sedap di udara dan suara mesin kopi yang berdengung lembut. Alya menatap Randy dengan senyuman kecil di wajahnya, merasa tenang dan bahagia hanya dengan duduk bersama di sana.
“Aku masih ingat pertama kali kita datang ke sini,” kata Randy, mengenang. “Waktu itu kita sama sekali nggak kenal, kan? Aku cuma datang karena penasaran, dan kamu juga terlihat seperti orang yang ingin menikmati ketenangan.”
Alya tertawa, mengangguk. “Iya, waktu itu aku cuma ingin mencari tempat yang tenang untuk melarikan diri dari rutinitas. Ternyata, aku malah bertemu dengan kamu.”
Randy tersenyum, senyuman yang tulus dan hangat. “Dan sekarang, setiap kali kita datang ke sini, rasanya seperti pulang. Rasanya nggak ada yang lebih menyenangkan selain duduk bersamamu di tempat yang sederhana ini.”
Alya merasa hatinya berdebar mendengar kata-kata Randy. Begitu banyak hal yang telah mereka lewati, namun pada akhirnya, semua itu terasa tidak penting dibandingkan dengan kebahagiaan yang mereka rasakan saat bersama. Cinta pertama mereka bukanlah kisah yang penuh dengan drama atau peristiwa besar, tetapi justru penuh dengan momen-momen kecil yang menyentuh hati.
Seiring berjalannya waktu, Alya dan Randy mulai menyadari bahwa hubungan mereka tidak perlu mewah atau penuh dengan hadiah mahal untuk merasa bahagia. Mereka merasa cukup dengan kebersamaan, meskipun hanya berjalan-jalan di taman, menonton film bersama, atau bahkan hanya berbicara tentang hal-hal sederhana yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Suatu sore, mereka memutuskan untuk pergi ke taman dekat rumah. Tak ada agenda khusus, hanya ingin menikmati udara segar dan berbicara tanpa ada gangguan. Randy menggenggam tangan Alya dengan lembut, sementara Alya merasa seolah-olah dunia di sekitar mereka berhenti sejenak. Hanya ada mereka berdua, berjalan di antara pepohonan yang rindang, menikmati keheningan yang nyaman.
“Kadang aku berpikir, apa yang membuat hubungan kita begitu kuat,” kata Alya, membuka pembicaraan.
Randy tersenyum, menatap Alya dengan mata yang penuh makna. “Mungkin karena kita nggak terbebani dengan harapan yang terlalu besar. Kita tahu, kebahagiaan itu nggak selalu datang dari hal-hal besar. Kita menemukan kebahagiaan dalam setiap momen kecil yang kita lewati bersama.”
Alya mengangguk, menyetujui. “Benar. Aku merasa, kalau kita bisa bahagia dengan hal-hal sederhana, itu artinya kita sudah memiliki segalanya.”
Randy berhenti sejenak, menatap wajah Alya dengan penuh kasih sayang. “Aku juga merasa begitu. Kamu tahu, saat pertama kali kita bertemu, aku nggak pernah membayangkan kita akan sampai di titik ini. Tapi sekarang, aku merasa, nggak ada yang lebih membahagiakan selain bisa menjalani hari-hari sederhana ini bersamamu.”
Mereka melanjutkan berjalan, dengan tawa yang ringan dan percakapan yang mengalir begitu saja. Tidak ada yang perlu dipaksakan atau dikhawatirkan. Mereka sudah merasa cukup dengan satu sama lain, dan itu lebih dari cukup untuk membuat mereka merasa lengkap.
Malam itu, setelah berjalan-jalan di taman, mereka duduk di bangku yang ada di dekat danau buatan, tempat favorit mereka. Danau itu tidak besar, namun selalu memberikan kedamaian bagi siapa saja yang duduk di sana. Randy memandang Alya dengan penuh perhatian.
“Alya,” kata Randy pelan, “aku pernah berpikir, apakah kita bisa terus bersama seperti ini? Tanpa hal-hal besar yang mengganggu, hanya kita dan kebahagiaan yang sederhana?”
Alya menoleh, dan dalam pandangan matanya, ada kedalaman yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. “Aku rasa kita sudah menemukan jawabannya. Kita nggak perlu mengejar sesuatu yang jauh lebih besar. Kita sudah punya apa yang kita butuhkan, yaitu satu sama lain.”
Randy menggenggam tangan Alya dengan erat. “Aku janji, aku akan selalu ada di sini, untuk melanjutkan kebahagiaan sederhana ini bersama kamu.”
Alya tersenyum, merasakan kehangatan dalam hatinya. “Aku juga janji. Cinta pertama kita mungkin sederhana, tapi aku yakin itu akan menjadi cinta yang abadi.”
Malam itu, mereka duduk berdua di bangku itu, membiarkan angin malam mengusap lembut wajah mereka. Dalam kesederhanaan itu, mereka merasakan kebahagiaan yang begitu besar, lebih besar dari apapun yang bisa diukur dengan materi. Cinta pertama mereka adalah perjalanan yang penuh dengan kebersamaan, dan mereka tahu, itulah yang paling penting.*
Bab 7 Ujian Cinta Pertama
Hari-hari bersama Randy berjalan penuh dengan kebahagiaan yang tak terduga. Alya merasa seperti hidupnya telah berubah, penuh warna dan harapan. Namun, di balik kebahagiaan itu, sebuah ujian tak terduga mulai menguji keteguhan hati mereka berdua.
Alya duduk di balkon kamarnya, memandang keluar jendela. Angin sejuk bertiup, namun hatinya terasa berat. Sejak beberapa hari terakhir, ada ketegangan yang tidak bisa dihindari antara dirinya dan Randy. Meskipun mereka sering bertemu dan berbicara, ada sesuatu yang tak biasa, sebuah jarak yang mulai terasa. Alya tahu, itu bukan sekadar perasaan, tapi ada sesuatu yang mengganjal dalam hubungan mereka.
“Ada apa, Lya?” suara Randy yang lembut mengusik lamunannya. Alya menoleh, melihat Randy berdiri di pintu balkon dengan ekspresi penuh perhatian.
“Aku merasa ada yang berubah, Randy. Seperti ada sesuatu yang menghalangi kita untuk saling memahami,” jawab Alya, mencoba berbicara tanpa menahan perasaannya.
Randy terdiam, menatap wajah Alya dengan tatapan yang penuh pertanyaan. “Apa maksudmu? Aku merasa kita baik-baik saja.”
Alya menghela napas panjang. “Aku tahu kita selalu bicara tentang segala hal, tapi akhir-akhir ini, aku merasa kita semakin jauh. Seperti ada yang mengganggu pikiranmu, dan aku tidak tahu apa itu.”
Randy diam sejenak, matanya menunduk. “Aku… Aku sedang merasa bingung, Lya. Ada banyak hal yang harus aku pikirkan. Tentang masa depan kita, tentang karierku, dan tentang hal-hal lain yang aku rasa belum siap untuk dibicarakan.”
Alya merasakan hatinya bergetar. “Kau merasa kita bukan prioritasmu lagi?”
Randy mengangkat kepala dan memandang matanya dengan serius. “Bukan begitu. Aku hanya butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Aku tidak ingin membuat keputusan yang terburu-buru, terutama ketika itu melibatkanmu.”
Rasa cemas menguasai hati Alya. Dia tahu betul betapa pentingnya bagi Randy untuk mencapai impiannya, tetapi saat itu, ia merasa seperti berada di tengah-tengah antara harapan dan kenyataan yang tidak pasti. “Aku mengerti, Randy, tapi kita tidak bisa mengabaikan hubungan kita begitu saja hanya karena kesibukanmu.”
Randy menghela napas dan melangkah mendekat. “Aku tidak berniat mengabaikanmu, Lya. Aku hanya merasa takut bahwa aku tidak bisa memberikan yang terbaik untukmu jika aku terlalu fokus pada satu hal.”
Alya merasa hatinya terluka, tapi ia mencoba untuk tetap tenang. “Aku hanya ingin kita bisa saling mendukung, tanpa harus merasa ada jarak. Aku ingin kita bisa melewati semuanya bersama-sama.”
Saat itu, tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponsel Randy. Ia melihatnya, kemudian wajahnya berubah tegang. Alya melihat perubahan ekspresi Randy yang tiba-tiba, dan meskipun ia berusaha untuk tidak curiga, ia merasakan sebuah keraguan menyelinap ke dalam dirinya.
“Ada apa?” tanya Alya, suaranya terdengar cemas.
Randy menghela napas panjang. “Itu… pesan dari teman lama aku. Dia ingin bertemu dengan aku hari ini.”
Alya merasa jantungnya berdegup lebih cepat. “Teman lama? Siapa dia?”
Randy terlihat ragu sejenak. “Dia… seorang teman dekat yang aku kenal sebelum kita bertemu. Kami sempat dekat, tapi kemudian aku pindah dan kami terputus hubungan.”
Meskipun Randy tidak mengatakan apa-apa yang mencurigakan, Alya merasakan ada yang tidak beres. Sejak awal, hubungan mereka selalu terjaga oleh komunikasi yang terbuka, namun saat ini, ada ketegangan yang tak terungkap. Alya merasa seperti ada sesuatu yang sedang disembunyikan.
“Apakah kamu merasa perlu bertemu dengan dia sekarang?” tanya Alya dengan suara yang sedikit gemetar.
Randy melihat Alya dengan pandangan yang serius. “Aku tidak ingin kamu salah paham, Lya. Tapi ini penting bagiku untuk menutup babak lama dalam hidupku. Aku berharap kamu bisa mengerti.”
Alya terdiam sejenak, menahan perasaan yang mulai bercampur aduk. “Aku mengerti, Randy, tapi aku hanya ingin kita bisa saling terbuka. Jangan ada rahasia antara kita.”
Randy terdiam, seolah berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun darimu, Lya. Aku hanya tidak ingin kamu merasa cemas.”
Namun, meskipun Randy mencoba meyakinkannya, Alya tetap merasa ada sesuatu yang belum terungkap. Dia mulai merasa bimbang, apakah rasa cemas ini datang karena ketakutan akan kehilangan, atau apakah memang ada sesuatu yang salah dengan hubungan mereka.
Alya memutuskan untuk memberi ruang, meskipun hatinya tidak tenang. “Aku rasa kita butuh waktu untuk berpikir. Aku tidak ingin terburu-buru membuat keputusan, tapi aku juga tidak ingin kita terus seperti ini.”
Randy mengangguk pelan. “Aku akan pergi bertemu dengan dia, Lya. Tapi aku janji, setelah ini, aku akan kembali dan kita akan membicarakan semuanya dengan baik-baik.”
Alya mengangguk, mencoba untuk menahan air mata yang hampir jatuh. Ia merasa tidak mudah untuk memutuskan, tetapi ia tahu bahwa kadang-kadang, memberi ruang adalah hal yang terbaik.
Saat Randy pergi, Alya duduk sendirian di balkon, memandang langit yang mulai gelap. Ujian ini datang begitu mendalam, dan ia merasa ketidakpastian menggantung di atas hubungan mereka. Namun, meskipun rasa cemas itu ada, Alya tahu bahwa cinta pertama mereka tidak bisa begitu saja hilang tanpa pertarungan. Mereka harus melewati ujian ini bersama-sama, atau mungkin cinta mereka akan teruji dengan lebih kuat daripada sebelumnya.***
————-THE END———-