Daftar Isi
Bab 1: Dunia yang Berpusat pada Arya
Aisyah adalah seorang gadis sederhana yang hidupnya penuh warna. Sejak ia bertemu Arya di sebuah acara seni kampus, segalanya berubah. Sosok Arya yang ramah, perhatian, dan cerdas berhasil membuat Aisyah jatuh cinta pada pandangan pertama. Bagi Aisyah, Arya adalah cerminan dari segalanya yang ia inginkan dalam hidup: pendengar yang baik, pembicara yang menenangkan, sekaligus teman yang selalu bisa diandalkan.
Hari-hari Aisyah dipenuhi dengan keberadaan Arya, baik secara fisik maupun melalui pikirannya. Setiap kali ia memulai aktivitas, hal pertama yang terlintas dalam benaknya adalah, “Apakah Arya akan menyukai ini?” atau, “Apa Arya akan setuju dengan ini?” Bahkan untuk memilih pakaian pun, ia sering membayangkan bagaimana reaksi Arya jika melihatnya. Hidupnya seakan-akan menjadi orbit yang terus mengitari Arya, tanpa pernah mencoba menjelajah ke arah lain.
Sahabat-sahabat Aisyah sering mengingatkannya agar tidak terlalu bergantung pada Arya. “Kamu tuh kayak nggak punya hidup sendiri, Syah,” ujar Rina suatu hari. “Segala apa-apa Arya. Kamu nggak takut kehilangan diri kamu sendiri?” Namun, Aisyah hanya tersenyum kecil dan menjawab dengan santai, “Aku cuma ingin dia tahu kalau aku sayang banget sama dia. Lagipula, aku bahagia kok.”
Namun, kebahagiaan itu bukan tanpa pengorbanan. Aisyah mulai meninggalkan beberapa kebiasaannya demi menyesuaikan diri dengan Arya. Ia berhenti mengikuti kelas seni lukis yang dulu sangat ia sukai karena jadwalnya sering bentrok dengan waktu Arya. Ia juga mengurangi waktu berkumpul dengan teman-temannya agar lebih sering menemani Arya. Bagi Aisyah, semua itu bukan masalah besar. Ia berpikir bahwa cinta sejati memang membutuhkan kompromi, dan ia rela melakukan apa pun demi mempertahankan hubungannya.
Arya sendiri awalnya tidak terlalu memedulikan sikap Aisyah yang selalu ingin bersamanya. Ia menganggap itu adalah bentuk cinta yang tulus. Ia merasa istimewa karena Aisyah begitu perhatian dan selalu ada di sisinya. Namun, seiring waktu, Arya mulai merasa ada sesuatu yang salah.
“Aisyah, kamu nggak kangen sama teman-temanmu?” tanya Arya suatu malam saat mereka sedang makan malam bersama.
“Kangen, sih,” jawab Aisyah sambil tersenyum kecil, “tapi aku lebih pilih waktu sama kamu. Teman-teman kan bisa kapan aja.”
Arya hanya mengangguk, meski dalam hati ia merasa ada yang mengganjal. Ia tidak ingin Aisyah kehilangan dunianya sendiri, tetapi ia juga tidak tahu bagaimana menyampaikannya tanpa menyakiti hati gadis itu.
Hari-hari mereka terus berjalan dengan pola yang sama. Setiap pagi, Aisyah selalu memastikan Arya sudah sarapan sebelum pergi ke kantor. Ia akan mengirim pesan panjang berisi motivasi untuk Arya agar semangat menjalani hari. Ketika Arya sibuk, Aisyah akan tetap menunggu pesan balasan, bahkan jika itu hanya satu kata, seperti “Oke” atau “Nanti.” Aisyah tidak pernah mengeluh. Baginya, semua itu adalah wujud cinta yang ia berikan sepenuh hati.
Namun, di balik itu semua, Aisyah tidak menyadari bahwa ia mulai kehilangan dirinya sendiri. Ia tidak lagi melukis, menulis, atau melakukan hal-hal yang dulu memberinya kebahagiaan. Semua energinya tercurah untuk Arya. Jika Arya terlihat bahagia, maka Aisyah pun merasa bahagia. Tetapi jika Arya sedang lelah atau tidak ingin diganggu, Aisyah akan merasa resah dan bertanya-tanya apakah ia telah melakukan sesuatu yang salah.
“Syah, kamu nggak merasa capek kayak gini terus?” tanya Rina lagi pada suatu malam saat mereka nongkrong di kafe.
“Capek? Enggak, kok. Aku malah senang bisa bikin Arya bahagia,” jawab Aisyah dengan senyum lebar.
“Tapi, Syah, kamu kapan terakhir kali mikirin kebahagiaan kamu sendiri?”
Pertanyaan itu membuat Aisyah terdiam sejenak. Namun, seperti biasa, ia mengalihkan pembicaraan dan memilih untuk tidak memikirkannya.
Bagi Aisyah, Arya adalah prioritas utama. Ia tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang lain. Ia yakin bahwa mencintai seseorang berarti memberikan seluruh hati, bahkan jika itu berarti mengorbankan diri sendiri. Namun, Aisyah tidak menyadari bahwa cintanya pada Arya perlahan berubah menjadi ketergantungan yang berlebihan.
Di sisi lain, Arya mulai merasa semakin jengah. Ia mencintai Aisyah, tetapi ia merindukan Aisyah yang dulu. Ia merindukan gadis yang mandiri, yang memiliki mimpi-mimpi besar dan selalu penuh semangat untuk mengejarnya. Kini, Aisyah seperti bayang-bayang yang selalu mengikuti langkahnya ke mana pun ia pergi. Arya mulai berpikir, apakah cinta yang berlebihan ini benar-benar sehat untuk mereka berdua?
Aisyah tidak menyadari bahwa perlahan-lahan, dunianya yang berpusat pada Arya justru mulai merenggangkan hubungan mereka. Sebuah titik balik sedang menanti di depan mereka, dan Aisyah tidak tahu bahwa dunianya yang selama ini terasa sempurna akan segera berubah.*
Bab 2: Ketergantungan yang Mulai Terlihat
Seiring waktu, Arya mulai menyadari bahwa sikap Aisyah terhadapnya semakin tidak biasa. Perhatian yang dulu terasa manis kini mulai terasa seperti beban. Aisyah seolah tidak bisa melewati hari tanpa berbicara dengannya, bahkan untuk hal-hal kecil yang sebenarnya tidak penting.
Setiap pagi, Aisyah selalu mengirimkan pesan panjang untuk Arya. Pesan itu berisi doa, motivasi, dan bahkan jadwal makan Arya. Awalnya, Arya menganggapnya sebagai bentuk kasih sayang yang unik, tetapi lama-kelamaan ia merasa bahwa Aisyah terlalu mengatur hidupnya. Pernah suatu kali, Arya terlambat membalas pesan Aisyah karena sedang rapat di kantor. Ketika ia akhirnya membalas, ia menemukan Aisyah sudah mengirimkan lima pesan berturut-turut dengan nada khawatir.
“Arya, kamu ke mana?”
“Kamu nggak apa-apa, kan?”
“Kok nggak balas, sih? Aku salah ngomong, ya?”
“Kamu marah sama aku, ya?”
“Kalau kamu nggak suka aku ganggu, bilang aja…”
Arya hanya bisa menghela napas. Ia tahu Aisyah tidak bermaksud buruk, tetapi sikap seperti itu membuatnya merasa tidak nyaman. Ketika mereka bertemu malam itu, Arya mencoba membahasnya dengan hati-hati.
“Aisyah, kamu nggak perlu terlalu khawatir kalau aku nggak langsung balas pesan,” kata Arya sambil memegang tangan Aisyah.
“Tapi aku takut kalau terjadi sesuatu sama kamu, Arya. Aku cuma mau memastikan kamu baik-baik saja,” jawab Aisyah dengan nada lembut, tetapi ada rasa khawatir yang jelas terlihat di matanya.
“Aku ngerti, tapi kadang aku butuh fokus sama pekerjaan. Kalau aku belum balas, itu bukan berarti aku marah atau apa-apa,” jelas Arya.
Aisyah mengangguk, tetapi dalam hatinya ia tetap merasa takut kehilangan Arya. Ia merasa bahwa jika ia tidak memperhatikan Arya dengan sungguh-sungguh, Arya bisa saja berpaling.
Ketakutan itu semakin terlihat dalam sikap Aisyah sehari-hari. Ia mulai menelepon Arya di tengah hari hanya untuk memastikan Arya sudah makan siang. Ia juga sering datang tiba-tiba ke kantor Arya dengan alasan membawa makanan, meskipun Arya pernah memintanya untuk tidak terlalu sering melakukannya.
“Kamu nggak perlu repot-repot datang ke sini, Syah. Aku bisa beli makan sendiri,” kata Arya suatu kali.
“Aku cuma mau bikin kamu senang, Arya. Aku nggak repot kok,” jawab Aisyah dengan senyum lebar.
Namun, Arya tahu bahwa di balik senyum itu, ada rasa takut yang berusaha disembunyikan Aisyah.
Ketergantungan Aisyah tidak hanya terlihat dalam hubungan mereka sehari-hari, tetapi juga dalam keputusan besar yang ia ambil. Misalnya, ketika Aisyah ditawari promosi di tempat kerjanya yang mengharuskan ia pindah ke luar kota, ia langsung menolak tanpa berpikir panjang. Alasannya sederhana: ia tidak ingin berjauhan dengan Arya.
“Aku nggak bisa tinggal jauh dari kamu, Arya,” katanya ketika Arya menanyakan alasan penolakannya.
“Tapi itu kan kesempatan besar buat karier kamu, Syah. Kenapa kamu nggak ambil aja?”
“Apa gunanya karier kalau aku harus jauh dari kamu? Aku cuma mau tetap ada di dekat kamu.”
Arya terdiam. Di satu sisi, ia merasa tersanjung karena Aisyah begitu mencintainya. Namun di sisi lain, ia merasa Aisyah mulai mengorbankan terlalu banyak hal demi hubungan mereka.
Teman-teman Aisyah juga mulai khawatir dengan sikapnya. Rina, sahabat terdekatnya, tidak segan-segan menyampaikan kekhawatirannya secara langsung.
“Aku ngerti kamu cinta sama Arya, tapi kamu nggak bisa terus-terusan kayak gini, Syah. Kamu punya hidup sendiri yang harus kamu jalani,” kata Rina dengan nada serius.
“Aku bahagia kok, Rin. Ini pilihan aku,” jawab Aisyah ringan.
“Tapi kamu lupa kalau kebahagiaan kamu nggak boleh cuma bergantung sama satu orang. Gimana kalau suatu hari dia nggak ada?”
Ucapan Rina menusuk hati Aisyah, tetapi ia berusaha menepis kekhawatiran itu. Baginya, Arya adalah satu-satunya yang penting.
Sementara itu, Arya mulai merasa hubungan mereka tidak seimbang. Ia mencintai Aisyah, tetapi ia juga merasa kehilangan dirinya sendiri dalam hubungan itu. Ia ingin memiliki ruang untuk menjalani kehidupannya tanpa merasa terikat oleh ekspektasi Aisyah yang berlebihan.
Suatu malam, setelah menghabiskan waktu bersama, Arya memutuskan untuk berbicara serius dengan Aisyah.
“Aisyah, aku mau ngomong sesuatu,” kata Arya dengan nada hati-hati.
“Apa, Arya?” tanya Aisyah sambil tersenyum.
“Aku merasa kita perlu sedikit memberi ruang buat diri kita masing-masing. Aku pengen kamu juga fokus sama hidup kamu, sama impian kamu.”
Aisyah terkejut. “Maksud kamu apa? Kamu nggak suka aku ada di dekat kamu?”
“Bukan begitu, Syah. Aku cuma mau hubungan kita lebih sehat. Aku nggak pengen kamu kehilangan jati diri kamu cuma karena hubungan kita,” jelas Arya.
Percakapan itu membuat Aisyah gelisah sepanjang malam. Ia mulai mempertanyakan apakah ia benar-benar telah kehilangan dirinya sendiri. Namun, ia tetap sulit menerima bahwa memberikan perhatian penuh kepada Arya dianggap sebagai kesalahan. Baginya, cinta adalah tentang memberikan segalanya, tanpa ada yang tersisa untuk diri sendiri.
Ketergantungan Aisyah semakin terlihat jelas, dan itu perlahan mulai memengaruhi hubungan mereka. Meski Arya berusaha memberi pengertian, Aisyah tetap merasa bahwa tanpa Arya, hidupnya tidak akan pernah sama. Di sinilah awal mula konflik besar yang akan menguji cinta mereka.*
Bab 3: Kata-Kata yang Menyakitkan
Hari itu, suasana di antara Aisyah dan Arya terasa berbeda. Arya baru saja pulang dari kantor, tampak lelah dan enggan bicara. Aisyah, seperti biasa, menyambutnya dengan penuh perhatian. Ia bahkan sudah menyiapkan makan malam favorit Arya, lengkap dengan kue cokelat buatan sendiri. Namun, reaksi Arya tidak seperti yang ia harapkan.
“Masih sibuk dengan pekerjaan tadi, Arya? Kamu pasti capek banget, ya. Aku udah siapkan makanan enak buat kamu,” kata Aisyah dengan senyum lembut.
Arya hanya mengangguk, lalu duduk di sofa tanpa banyak bicara.
“Kamu kenapa? Ada yang salah di kantor?” tanya Aisyah lagi, kali ini dengan nada khawatir.
“Enggak, aku cuma pengen sendiri sebentar, Syah,” jawab Arya singkat.
Kata-kata itu menghentikan langkah Aisyah. Ia merasa bingung dan terluka. Selama ini, ia selalu berusaha ada untuk Arya, tapi kenapa Arya malah menjauh darinya? Bukannya mendesak, Aisyah memilih untuk mundur sejenak, meskipun hatinya dipenuhi kegelisahan.
Namun, malam itu menjadi awal dari pecahnya konflik di antara mereka. Setelah makan malam yang hening, Aisyah akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.
“Arya, kamu kelihatan beda akhir-akhir ini. Kamu nggak seperti biasanya,” kata Aisyah sambil menatap wajah Arya.
“Aku cuma capek, Syah. Itu aja,” jawab Arya tanpa menoleh.
“Tapi kamu kelihatan seperti sedang menjauh dariku. Aku udah berusaha ngertiin kamu, tapi aku nggak ngerti kenapa kamu jadi kayak gini,” lanjut Aisyah dengan nada mulai gemetar.
Arya akhirnya menatap Aisyah. Ada kelelahan yang terlihat di matanya, bukan hanya karena pekerjaan, tapi juga karena beban yang ia rasakan dalam hubungan mereka. Ia tahu percakapan ini tak bisa dihindari lagi.
“Aisyah, aku capek. Aku capek karena aku merasa nggak punya ruang buat diriku sendiri,” kata Arya pelan, tetapi tegas.
Aisyah membeku. Kata-kata itu seperti tamparan keras baginya. “Maksud kamu apa, Arya? Aku cuma mau selalu ada buat kamu. Aku nggak ngerti apa yang salah dengan itu.”
Arya menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku tahu kamu tulus, Syah. Aku tahu kamu sayang sama aku, dan aku juga sayang sama kamu. Tapi, aku butuh ruang buat diriku sendiri. Aku nggak bisa terus-terusan merasa diawasi setiap waktu. Aku pengen hubungan ini nggak bikin kita kehilangan diri sendiri.”
“Jadi kamu merasa kehilangan diri kamu karena aku?” tanya Aisyah dengan mata mulai berkaca-kaca.
“Aku nggak bilang gitu. Tapi aku ngerasa kamu terlalu menggantungkan segalanya sama aku. Aku pengen kamu juga punya hidup kamu sendiri, Syah. Aku pengen kamu bahagia tanpa harus selalu ngelihat aku,” jawab Arya dengan nada serius.
Aisyah merasa dadanya sesak. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa menunjukkan cinta dengan sepenuh hati adalah hal yang benar. Tapi ternyata, apa yang ia anggap sebagai bentuk kasih sayang justru membuat Arya merasa tertekan.
“Jadi menurut kamu, aku salah karena terlalu sayang sama kamu?” tanya Aisyah, suaranya mulai bergetar.
“Bukan soal salah atau nggak, Syah. Ini soal keseimbangan. Aku cuma mau kita punya ruang buat berkembang, buat jadi diri kita sendiri tanpa harus terus bergantung satu sama lain,” jawab Arya.
Percakapan itu membuat Aisyah semakin hancur. Bagaimana bisa Arya meminta ruang, sementara bagi Aisyah, cinta berarti memberikan segalanya? Ia merasa seperti semua usahanya selama ini tidak dihargai. Ia merasa gagal menjadi pasangan yang baik untuk Arya.
Malam itu, Aisyah menangis sendirian di kamar. Kata-kata Arya terus terngiang di kepalanya: “Aku butuh ruang buat diriku sendiri.” Ia mencoba memahami maksud Arya, tetapi hatinya tetap terasa berat. Bagaimana mungkin ia bisa memberikan ruang jika seluruh dunianya sudah berpusat pada Arya?
Di sisi lain, Arya merasa bersalah atas kata-kata yang ia ucapkan. Ia tidak ingin menyakiti Aisyah, tetapi ia juga tidak bisa terus memendam perasaan itu. Hubungan mereka yang awalnya penuh kebahagiaan kini mulai terasa seperti penjara. Arya mencintai Aisyah, tetapi ia juga tahu bahwa hubungan mereka tidak sehat jika terus seperti ini.
Hari-hari berikutnya menjadi penuh ketegangan. Aisyah mulai merasa cemas setiap kali Arya tidak membalas pesannya. Ia takut Arya benar-benar menjauh. Ia takut kehilangan satu-satunya orang yang membuat hidupnya berarti. Di sisi lain, Arya semakin sulit untuk bersikap santai karena ia merasa Aisyah terus menuntut perhatiannya.
Suatu malam, saat mereka bertemu lagi, Arya mencoba untuk menyampaikan pendapatnya dengan lebih jelas. “Syah, aku nggak bilang aku nggak cinta sama kamu. Aku cinta. Tapi aku juga pengen kita sama-sama bahagia, nggak cuma aku atau kamu. Dan aku nggak yakin kita bisa bahagia kalau terus kayak gini.”
Kata-kata itu membuat Aisyah semakin merasa hancur. Bagi Arya, mungkin itu adalah bentuk kejujuran. Tapi bagi Aisyah, itu terdengar seperti ancaman. Ia merasa bahwa cinta yang selama ini ia bangun dengan sepenuh hati perlahan-lahan retak.
Malam itu, Aisyah sadar bahwa hubungannya dengan Arya sedang berada di ujung tanduk. Ia merasa bingung, terluka, dan tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki semuanya. Namun, di balik rasa sakit itu, ada perasaan takut yang jauh lebih besar: takut kehilangan Arya selamanya.*
Bab 4: Kehilangan dan Kesadaran
Hari-hari setelah percakapan menyakitkan itu terasa berat bagi Aisyah. Ia sering terbangun tengah malam, memikirkan kata-kata Arya yang terus terngiang di benaknya: “Aku butuh ruang buat diriku sendiri.” Kata-kata itu menghantui pikirannya, membuatnya merasa bersalah, tetapi juga bingung. Ia bertanya-tanya, di mana ia salah? Bukankah cinta adalah tentang selalu ada untuk orang yang kita cintai?
Di sisi lain, Arya mencoba menciptakan jarak. Bukan karena ia ingin mengakhiri hubungan mereka, tetapi ia butuh waktu untuk merenung. Ia mencintai Aisyah, namun ia juga tahu bahwa hubungan yang mereka jalani tidak bisa terus seperti ini. Setiap harinya, ia merasa semakin tertekan oleh ketergantungan Aisyah yang berlebihan. Arya ingin Aisyah menemukan kebahagiaannya sendiri, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara mengatakannya tanpa menyakiti hati gadis itu.
Ketegangan di antara mereka akhirnya mencapai puncaknya ketika Arya memutuskan untuk tidak menjawab pesan Aisyah selama beberapa hari. Arya ingin memberi Aisyah ruang untuk merenung dan mungkin menyadari apa yang salah dalam hubungan mereka. Namun, sikap itu justru membuat Aisyah semakin gelisah.
“Arya, kamu di mana?” pesan Aisyah suatu malam.
“Arya, aku cuma mau tahu kabar kamu. Aku khawatir,” tambahnya di pesan lain.
Namun, tak satu pun pesan itu dibalas oleh Arya.
Ketidakpastian itu membuat Aisyah semakin merasa kehilangan kendali. Ia mulai menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang terjadi. “Mungkin aku memang terlalu berlebihan,” pikirnya. Namun, ia juga merasa takut kehilangan Arya. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Arya.
Setelah beberapa hari, Arya akhirnya menghubungi Aisyah. Namun, bukan untuk membicarakan masalah mereka, melainkan untuk memberi kabar bahwa ia ingin mengambil waktu sendiri. “Syah, aku nggak tahu ini keputusan yang tepat atau nggak, tapi aku butuh waktu buat sendiri. Bukan berarti aku nggak cinta sama kamu, tapi aku nggak bisa terus kayak gini,” kata Arya lewat telepon.
Ucapan itu seperti petir di siang bolong bagi Aisyah. Ia mencoba menahan air matanya, tetapi suaranya tetap terdengar gemetar. “Jadi kamu mau ninggalin aku, Arya? Aku nggak ngerti… Aku udah berusaha ngertiin kamu, tapi kenapa kamu tetap merasa aku salah?”
“Ini bukan soal salah atau benar, Syah. Aku cuma butuh waktu. Aku pengen kita berdua bisa merenung dan melihat hubungan ini dari sudut pandang yang berbeda,” jawab Arya dengan nada tenang.
Malam itu, Aisyah merasa dunianya runtuh. Ia menangis hingga larut malam, memeluk ponselnya seakan-akan itu adalah satu-satunya cara untuk tetap terhubung dengan Arya. Namun, perlahan-lahan, rasa sakit itu mulai memunculkan kesadaran dalam dirinya.
Aisyah mulai mengingat semua momen dalam hubungan mereka, dari awal yang manis hingga saat-saat ketika ia mulai kehilangan dirinya sendiri. Ia ingat bagaimana ia meninggalkan kelas seni lukis favoritnya demi menghabiskan lebih banyak waktu dengan Arya. Ia juga ingat bagaimana ia menolak promosi di tempat kerja hanya karena tidak ingin berjauhan dengan Arya. Semua keputusan itu, yang dulu ia anggap sebagai bukti cinta, kini terasa seperti bentuk pengabaian terhadap dirinya sendiri.
“Apakah aku salah selama ini?” tanya Aisyah pada dirinya sendiri. Ia mulai menyadari bahwa mungkin ia memang telah menaruh terlalu banyak harapan pada Arya. Ia lupa bahwa dirinya juga penting, bahwa kebahagiaan tidak harus selalu bergantung pada satu orang.
Hari-hari berikutnya, Aisyah mencoba fokus pada dirinya sendiri. Ia kembali menghubungi teman-temannya yang dulu jarang ia temui karena terlalu sibuk dengan Arya. Salah satunya adalah Rina, sahabat yang selalu mengingatkannya untuk tidak kehilangan jati diri.
“Rin, aku merasa kosong tanpa Arya,” kata Aisyah ketika mereka bertemu di sebuah kafe.
“Aku ngerti, Syah. Tapi mungkin ini waktu yang tepat buat kamu cari tahu apa yang benar-benar bikin kamu bahagia, selain Arya,” jawab Rina sambil memegang tangan Aisyah.
Nasihat itu membuat Aisyah mulai berpikir. Ia memutuskan untuk mencoba hal-hal yang dulu ia sukai, seperti melukis dan menulis puisi. Awalnya, semua itu terasa sulit karena pikirannya masih dipenuhi oleh Arya. Namun, seiring waktu, ia mulai menikmati kembali kebebasannya.
Di sisi lain, Arya juga menggunakan waktu sendirinya untuk merenung. Ia merasa bersalah telah menyakiti Aisyah, tetapi ia juga tahu bahwa keputusan itu perlu diambil demi kebaikan mereka berdua. Arya berharap bahwa Aisyah bisa menemukan kebahagiaan tanpa harus selalu bergantung padanya.
Setelah beberapa minggu, Arya akhirnya menghubungi Aisyah lagi. “Syah, apa kabar?” tanyanya.
Aisyah terkejut mendengar suara Arya, tetapi kali ini ia tidak merasa terlalu gelisah. “Aku baik, Arya. Aku mulai sibuk lagi dengan hobi-hobiku. Aku juga mulai menikmati waktu sama teman-teman,” jawabnya dengan nada tenang.
Percakapan itu terasa berbeda. Arya bisa merasakan perubahan dalam diri Aisyah. Ia merasa senang, tetapi juga terharu melihat bagaimana Aisyah mulai menemukan dirinya sendiri.
“Aku bangga sama kamu, Syah. Aku tahu ini nggak mudah buat kamu,” kata Arya.
“Terima kasih, Arya. Aku juga sadar, aku terlalu bergantung sama kamu selama ini. Tapi sekarang, aku mau belajar mencintai diri aku sendiri,” jawab Aisyah dengan senyuman.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Aisyah merasa lega. Ia tahu bahwa perjalanannya belum selesai, tetapi ia juga tahu bahwa ia berada di jalan yang benar. Kehilangan Arya sementara waktu justru menjadi awal dari kesadarannya untuk mencintai dirinya sendiri.*
Bab 5: Langkah-Langkah Kecil untuk Mandiri
Aisyah memulai hari dengan rutinitas yang berbeda. Jika sebelumnya ia selalu memeriksa ponselnya setiap pagi untuk melihat pesan dari Arya, kini ia mencoba menahan diri. Ia menyadari bahwa hidupnya tak boleh lagi berpusat pada seseorang. Dengan secangkir kopi di tangan, ia membuka buku harian yang sudah lama tak tersentuh.
“Apa yang benar-benar membuatku bahagia?” tulisnya di halaman pertama. Pertanyaan itu sederhana, tetapi jawabannya tidak mudah. Aisyah terdiam sejenak, merenungkan apa yang dulu membuatnya tersenyum sebelum Arya menjadi pusat dunianya.
Setelah menulis beberapa hal kecil yang ia ingat—seperti melukis, menulis puisi, dan berjalan-jalan di taman—Aisyah merasa sedikit lebih ringan. Ia sadar bahwa langkah menuju kemandirian tidak harus besar atau sempurna. Bahkan, langkah kecil pun cukup asalkan dilakukan dengan konsisten.
Hari itu, Aisyah memutuskan untuk mengunjungi studio seni tempat ia dulu sering melukis. Sudah hampir setahun ia meninggalkan hobi yang dulu begitu dicintainya. Saat masuk ke studio, ia merasa seperti bertemu kembali dengan bagian dirinya yang hilang. Aroma cat minyak yang khas, suara kuas yang menggesek kanvas, dan tawa kecil para peserta membuatnya merasa nyaman.
“Syah! Kamu balik lagi?” seru Bu Ratna, instruktur melukis yang selalu menyemangati Aisyah di masa lalu.
“Iya, Bu. Saya pikir, mungkin sudah waktunya saya mulai lagi,” jawab Aisyah sambil tersenyum.
“Bagus sekali! Seni itu seperti teman lama. Dia selalu menunggu kamu kembali,” kata Bu Ratna dengan bijak.
Di studio itu, Aisyah menghabiskan beberapa jam melukis. Awalnya, tangannya terasa kaku, tetapi lama-kelamaan ia mulai menikmati prosesnya. Ia melukis bunga matahari yang cerah, simbol harapan yang baru tumbuh dalam dirinya. Ketika akhirnya selesai, ia merasa puas meskipun lukisannya jauh dari sempurna.
Langkah-Langkah Kecil di Tempat Kerja
Selain kembali ke dunia seni, Aisyah juga mulai memberikan perhatian lebih pada pekerjaannya. Selama ini, ia merasa tidak maksimal karena pikirannya selalu dipenuhi oleh Arya. Namun, setelah mengambil waktu untuk refleksi, ia sadar bahwa karier adalah bagian penting dari hidupnya.
Salah satu tantangan besar yang ia hadapi adalah menghadiri rapat tim. Biasanya, Aisyah selalu merasa gugup untuk menyampaikan ide-idenya, tetapi kali ini ia memberanikan diri. Dalam sebuah rapat, ia mengusulkan ide kampanye baru untuk perusahaan mereka, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan.
“Aisyah, itu ide yang bagus! Saya suka konsepnya. Mari kita coba kembangkan lebih lanjut,” kata manajernya dengan antusias.
Pujian itu memberi Aisyah dorongan kepercayaan diri yang besar. Ia mulai merasa bahwa dirinya mampu melakukan banyak hal tanpa harus bergantung pada orang lain.
Membuka Hati pada Dunia Baru
Sebagai bagian dari upayanya untuk mandiri, Aisyah juga mulai membuka diri pada aktivitas baru. Salah satu yang menarik perhatiannya adalah kelas yoga yang diadakan di dekat rumahnya. Ia merasa tertarik karena yoga menjanjikan ketenangan pikiran dan keseimbangan hidup, dua hal yang ia butuhkan saat ini.
Di kelas yoga pertamanya, Aisyah merasa canggung. Ia tidak terbiasa dengan gerakan-gerakan yang tampak rumit itu. Namun, instruktur yoga yang ramah terus memberinya semangat. “Yoga bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang perjalanan. Nikmati setiap prosesnya,” kata sang instruktur.
Kalimat itu begitu menyentuh hati Aisyah. Ia mulai mempraktikkan prinsip tersebut tidak hanya dalam yoga, tetapi juga dalam hidupnya. Bahwa setiap langkah kecil yang ia ambil adalah bagian dari perjalanan menuju kemandirian, dan tidak apa-apa jika langkah itu tidak selalu sempurna.
Hubungan dengan Arya
Meski telah mencoba fokus pada dirinya sendiri, Aisyah tidak bisa sepenuhnya melupakan Arya. Namun, kali ini ia memandang hubungan mereka dengan sudut pandang yang berbeda. Ia tidak lagi melihat Arya sebagai pusat kebahagiaannya, tetapi sebagai seseorang yang ia cintai tanpa harus kehilangan dirinya sendiri.
Suatu malam, Arya menghubunginya. Setelah berbicara tentang hal-hal ringan, Arya bertanya, “Syah, gimana kabar kamu sekarang?”
Aisyah tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Aku baik, Arya. Aku mulai menikmati hidupku lagi. Aku juga kembali melukis dan mencoba banyak hal baru.”
Arya terdengar lega. “Aku senang dengar itu. Aku tahu ini nggak mudah buat kamu, tapi aku bangga karena kamu berhasil melewati semua ini.”
Percakapan itu menjadi titik balik bagi hubungan mereka. Aisyah merasa bahwa cinta tidak harus selalu berarti bersama setiap saat. Kadang-kadang, cinta juga berarti memberi ruang untuk tumbuh.
Mencintai Diri Sendiri
Setelah melewati berbagai langkah kecil, Aisyah mulai merasa lebih nyaman dengan dirinya sendiri. Ia belajar untuk menikmati kesendirian tanpa merasa kesepian. Ia mulai melihat hidup sebagai perjalanan yang indah, penuh dengan peluang untuk berkembang.
Di akhir minggu, Aisyah duduk di depan kanvasnya, melukis pemandangan matahari terbit. Bagi Aisyah, matahari terbit adalah simbol harapan, bahwa setiap hari adalah kesempatan baru untuk menjadi versi terbaik dari dirinya.
Ia menyadari bahwa kemandirian bukan berarti tidak membutuhkan orang lain, melainkan mampu menemukan kebahagiaan dari dalam dirinya sendiri. Kini, ia tidak lagi merasa takut kehilangan Arya, karena ia tahu bahwa ia tidak akan pernah kehilangan dirinya sendiri.
Langkah-langkah kecil itu mungkin tampak sederhana, tetapi bagi Aisyah, itu adalah awal dari perjalanan besar menuju kehidupan yang lebih seimbang dan penuh makna.
Bab 6: Pertemuan yang Mengubah Segalanya
Hari itu, Aisyah berjalan santai di sebuah taman kota. Taman ini baru saja direnovasi dan dipenuhi bunga-bunga berwarna cerah. Aisyah menikmati waktu luangnya setelah menghadiri kelas melukis. Ia membawa sketsa kecil yang ia buat dan duduk di bangku taman untuk melihat hasil karyanya.
Di sekelilingnya, suara tawa anak-anak dan kicauan burung menambah suasana damai. Taman ini menjadi tempat yang sering ia kunjungi akhir-akhir ini, semacam ruang untuk merenung sekaligus menikmati kebebasan yang baru ia temukan. Ia tidak pernah menyangka bahwa di tempat ini, hidupnya akan berubah sekali lagi.
Saat sedang asyik memeriksa sketsanya, seseorang berdiri di depannya. “Aisyah?” sebuah suara yang sangat dikenalnya menyebut namanya. Aisyah mengangkat kepalanya, dan di sana berdiri Arya, mengenakan jaket kulit dan celana jeans kasual.
“Arya?” jawab Aisyah dengan nada setengah tak percaya.
Arya tersenyum kecil. “Aku nggak nyangka kita ketemu di sini. Kamu sering ke taman ini?”
Aisyah mengangguk pelan. “Iya, akhir-akhir ini aku sering datang ke sini. Tempat ini tenang, bagus untuk melukis atau sekadar merenung.”
Keduanya terdiam sejenak, merasa canggung setelah sekian lama tidak bertemu. Meski Aisyah sudah belajar untuk mencintai dirinya sendiri dan mulai merasa lebih mandiri, melihat Arya kembali tetap membawa perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa senang, tetapi di sisi lain, ia takut bahwa pertemuan ini akan membuka luka lama.
Arya akhirnya memecah keheningan. “Boleh aku duduk di sini? Kita bisa ngobrol sebentar.”
Aisyah mengangguk. “Tentu.”
Mereka duduk bersebelahan, tetapi tetap menjaga jarak. Arya tampak lebih tenang daripada terakhir kali mereka bertemu. Ia menatap Aisyah sejenak sebelum mulai berbicara.
“Aku dengar dari teman-teman kalau kamu sudah banyak berubah. Aku lihat kamu juga kelihatan lebih bahagia sekarang,” kata Arya sambil tersenyum.
Aisyah menunduk sejenak, merasa tersanjung. “Aku berusaha, Arya. Aku sadar, aku harus belajar mencintai diriku sendiri sebelum mencintai orang lain.”
Arya mengangguk. “Aku bangga sama kamu, Syah. Aku tahu itu nggak mudah.”
Aisyah menghela napas pelan, mencoba menenangkan hatinya. “Bagaimana denganmu, Arya? Apa yang membuatmu datang ke taman ini?”
Arya tersenyum kecil. “Aku sering ke sini akhir-akhir ini. Aku butuh tempat untuk berpikir, dan taman ini rasanya nyaman. Aku nggak menyangka akan bertemu kamu di sini.”
Obrolan mereka mulai mengalir lebih santai. Mereka membicarakan hal-hal ringan, seperti hobi baru yang mereka tekuni dan perubahan-perubahan kecil yang mereka alami. Aisyah menceritakan tentang kelas melukisnya, sementara Arya berbicara tentang proyek baru di kantornya.
Namun, di tengah obrolan itu, Arya tiba-tiba menatap Aisyah dengan serius. “Syah, aku mau minta maaf,” katanya.
Aisyah terkejut. “Minta maaf? Untuk apa, Arya?”
“Untuk semua yang terjadi antara kita. Aku tahu aku menyakiti kamu waktu itu. Aku merasa salah karena pergi tanpa banyak penjelasan,” kata Arya dengan nada tulus.
Aisyah terdiam, mencoba mencerna kata-kata Arya. Ia merasa bahwa ini adalah momen yang selama ini ia tunggu-tunggu. “Aku juga mau minta maaf, Arya. Aku sadar, aku terlalu bergantung sama kamu. Aku lupa bahwa aku harus punya hidup sendiri. Tapi waktu itu, aku benar-benar nggak tahu caranya.”
Arya tersenyum tipis. “Kita berdua sama-sama belajar dari kejadian itu, Syah. Aku juga belajar bahwa cinta bukan tentang menghindar, tapi tentang saling mendukung untuk tumbuh.”
Percakapan itu membawa keduanya pada pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan mereka. Aisyah merasa bahwa luka di hatinya perlahan sembuh, bukan karena Arya kembali, tetapi karena ia telah menerima dan memaafkan dirinya sendiri.
Saat matahari mulai terbenam, Arya menatap Aisyah dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Syah, aku nggak tahu apa kamu masih mau, tapi… aku ingin kita mulai lagi. Aku ingin kita membangun hubungan yang lebih sehat, yang nggak bikin kita kehilangan diri sendiri.”
Aisyah terdiam, hatinya berdebar. Ia telah belajar untuk mandiri dan mencintai dirinya sendiri, tetapi apakah ia siap untuk memberi Arya kesempatan kedua?
“Aku nggak tahu, Arya,” jawab Aisyah jujur. “Aku butuh waktu untuk memikirkan ini. Aku nggak mau kembali ke pola yang lama. Kalau kita mau mencoba lagi, kita harus benar-benar berbeda.”
Arya mengangguk dengan serius. “Aku paham. Aku juga nggak mau kita kembali ke cara yang lama. Aku ingin kita saling mendukung, tanpa saling menekan.”
Hari itu, mereka berpisah tanpa keputusan pasti. Namun, Aisyah merasa bahwa pertemuan itu telah membuka lembaran baru dalam hidupnya. Ia merasa lebih kuat, lebih mandiri, dan lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Aisyah pulang ke rumah dengan hati yang campur aduk. Ia tahu bahwa langkah berikutnya harus diambil dengan hati-hati, tetapi ia juga merasa bahwa hidupnya telah berubah, bukan karena Arya, melainkan karena ia telah menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri.
Malam itu, Aisyah menatap lukisan matahari terbit yang ia buat beberapa minggu lalu. Ia tersenyum dan berbisik pada dirinya sendiri, “Aku siap untuk apa pun yang akan terjadi. Kali ini, aku tahu aku bisa menghadapinya.”*
Bab 7: Awal Baru dengan Pelajaran Lama
Hari itu terasa seperti hari-hari biasa bagi Aisyah. Namun, ada perasaan yang berbeda dalam dirinya. Setelah pertemuannya dengan Arya di taman, Aisyah merasa bahwa hidupnya berada di persimpangan jalan. Ia telah melalui perjalanan panjang untuk mencintai dirinya sendiri, dan kini sebuah peluang baru untuk mencintai orang lain kembali hadir. Namun, kali ini ia ingin memastikan bahwa langkah yang diambil tidak mengulang kesalahan lama.
Aisyah duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang memuat daftar ide-ide untuk proyek kerja barunya. Ia sibuk dengan kehidupannya sendiri, dan itu membuatnya merasa lebih berarti. Ia telah belajar untuk tidak lagi menggantungkan kebahagiaannya pada orang lain. Tetapi, meski hari-harinya kini lebih mandiri, pikiran tentang Arya sesekali menyelinap.
“Apa aku benar-benar siap untuk memulai lagi?” tanyanya dalam hati.
Ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari Arya.
“Syah, apa kamu punya waktu akhir pekan ini? Aku ingin bicara lagi. Aku ingin menjelaskan semuanya lebih jelas,” bunyi pesan itu.
Aisyah membaca pesan itu beberapa kali sebelum akhirnya mengetik balasan.
“Aku bisa, Arya. Sabtu sore?”
Pertemuan yang Menentukan
Sabtu sore itu, Aisyah memilih mengenakan pakaian sederhana—sebuah kemeja putih dan jeans biru. Ia tidak ingin berlebihan, tetapi ia juga ingin terlihat rapi. Ia tiba di sebuah kafe kecil yang menjadi tempat favorit mereka di masa lalu. Melihat tempat itu, kenangan lama bermunculan, tetapi Aisyah berusaha tetap tenang.
Arya sudah menunggu di salah satu meja, mengenakan kemeja biru tua yang membuatnya terlihat lebih dewasa. Ketika Aisyah datang, Arya berdiri dan tersenyum, tampak sedikit gugup.
“Terima kasih sudah mau bertemu, Syah,” kata Arya setelah mereka duduk.
“Tidak apa-apa, Arya. Aku juga ingin mendengar apa yang ingin kamu katakan,” jawab Aisyah dengan nada tenang.
Arya menghela napas panjang sebelum memulai. “Syah, aku nggak mau basa-basi. Aku tahu selama ini aku banyak salah. Aku pergi karena aku merasa hubungan kita nggak sehat, dan aku takut kalau terus seperti itu, kita akan saling menghancurkan.”
Aisyah mengangguk, mencoba mencerna kata-kata Arya. “Aku mengerti, Arya. Dulu, aku terlalu bergantung sama kamu. Aku juga sadar kalau itu bukan cinta yang sehat.”
Arya tersenyum tipis. “Aku lihat kamu sudah banyak berubah, Syah. Kamu kelihatan lebih bahagia sekarang. Aku senang banget melihat itu.”
“Aku belajar, Arya. Aku belajar untuk mencintai diriku sendiri, dan aku sadar bahwa kebahagiaan itu berasal dari dalam diri kita, bukan dari orang lain,” kata Aisyah sambil tersenyum.
Arya menatap Aisyah dengan ekspresi serius. “Aku ingin mencoba lagi, Syah. Tapi kali ini, aku ingin kita punya hubungan yang berbeda. Aku ingin kita saling mendukung, tanpa saling menuntut. Aku ingin kita jadi dua orang yang saling melengkapi, bukan saling menggantungkan.”
Aisyah terdiam, merenungkan kata-kata Arya. Ia tahu bahwa Arya tulus, tetapi ia juga tahu bahwa hubungan mereka hanya akan berhasil jika keduanya benar-benar berkomitmen untuk berubah.
“Arya, aku juga ingin mencoba lagi. Tapi aku nggak mau terburu-buru. Aku butuh waktu untuk memastikan bahwa kita memang sudah siap untuk hubungan yang baru ini,” jawab Aisyah dengan jujur.
Arya mengangguk. “Aku setuju. Aku juga nggak mau terburu-buru. Aku hanya ingin kita mulai lagi dari awal, dengan pelajaran yang sudah kita dapat.”
Awal Baru
Sejak pertemuan itu, Aisyah dan Arya mulai membangun kembali hubungan mereka perlahan-lahan. Mereka tidak langsung kembali menjadi pasangan, melainkan lebih seperti teman yang saling mendukung. Aisyah tetap fokus pada kehidupannya sendiri—kelas melukisnya, pekerjaannya, dan waktu bersama teman-temannya. Arya juga terus sibuk dengan kariernya, tetapi kali ini ia selalu menyempatkan waktu untuk mendengar cerita Aisyah tanpa merasa tertekan.
Mereka mulai melakukan hal-hal kecil bersama, seperti berjalan-jalan di taman atau menikmati secangkir kopi di kafe favorit mereka. Namun, kali ini, pertemuan-pertemuan itu tidak didasarkan pada keharusan atau ketergantungan, melainkan karena keduanya benar-benar ingin meluangkan waktu bersama.
Menghadapi Ujian Baru
Suatu hari, Arya mendapat tawaran untuk pindah ke luar kota karena pekerjaannya. Tawaran itu sangat menggiurkan, tetapi juga menantang bagi hubungan mereka yang baru mulai terbangun kembali. Arya merasa ragu untuk menerimanya, tetapi Aisyah justru memberikan dorongan.
“Arya, kamu harus ambil kesempatan itu. Aku tahu ini penting buat karier kamu, dan aku nggak mau jadi alasan kamu melewatkan peluang besar,” kata Aisyah dengan penuh keyakinan.
“Tapi, Syah… kalau aku pergi, apa kita masih bisa terus seperti ini?” Arya bertanya, tampak khawatir.
“Kita akan baik-baik saja, Arya. Aku percaya kita sudah belajar banyak. Hubungan kita sekarang lebih kuat, dan aku yakin kita bisa menghadapi ini,” jawab Aisyah sambil tersenyum.
Keputusan itu menjadi ujian besar bagi hubungan mereka, tetapi juga membuktikan bahwa mereka telah tumbuh. Dengan komunikasi yang baik dan kepercayaan yang telah dibangun, mereka berhasil melewati tantangan itu.
Pelajaran yang Selalu Diingat
Aisyah menyadari bahwa hubungan baru mereka adalah hasil dari perjalanan panjang yang penuh pelajaran. Ia belajar bahwa cinta yang sehat bukanlah tentang memiliki, tetapi tentang berbagi kebahagiaan dan mendukung satu sama lain untuk tumbuh.
Malam itu, Aisyah duduk di depan kanvasnya, melukis pemandangan senja yang indah. Ia merasa tenang dan damai, tahu bahwa ia telah menemukan keseimbangan dalam hidupnya. Arya mungkin adalah bagian penting dari hidupnya, tetapi ia juga tahu bahwa kebahagiaan sejati berasal dari dirinya sendiri.
Awal baru ini adalah awal yang penuh harapan, tetapi juga penuh pelajaran lama yang akan terus mereka ingat. Kini, Aisyah dan Arya tidak hanya menjadi pasangan, tetapi juga dua individu yang saling mendukung untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka masing-masing.***
———–THE END——–