Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

SAAT HUJAN MENGINGATKAN MU

SAAT HUJAN MENGINGAT KAN MU

SAME KADE by SAME KADE
February 3, 2025
in Cinta Pertama
Reading Time: 19 mins read
SAAT HUJAN MENGINGATKAN MU

Daftar Isi

  • Bab 1 Pertemuan Pertama
  • Bab 2 Hujan dan Kenangan
  • Bab 3 Keberanian yang Terkumpul
  • Bab 4 Hati yang Terbuka
  • Bab 5 Dalam Pelukan Hujan
  • Bab 6 Cinta yang Bertahan
  • Bab 7  Janji dalam Hujan

Bab 1 Pertemuan Pertama

Hujan turun dengan derasnya, menutupi jalanan yang basah dengan lapisan kabut tipis. Maya berlari kecil, mencoba mencari perlindungan di bawah atap minimarket yang terletak di pinggir jalan. Sejak pagi, awan mendung sudah menggelayuti langit, tetapi Maya tetap pergi ke kafe tempat ia biasa bekerja paruh waktu. Ia tidak menduga bahwa hari ini akan berakhir seperti ini—dengan hujan yang begitu lebat, menyisakan kenangan yang tak terduga.

Ia melirik jam tangannya, memutuskan untuk menunggu beberapa menit lagi sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Udara yang dingin menyusup melalui jaket tipisnya, membuatnya menggigil sedikit. Maya hanya bisa berdoa agar hujan segera reda, atau setidaknya sedikit lebih tenang.

Saat matanya berpindah dari hujan yang terus mengguyur, ia melihat seorang pria yang tengah berdiri di ujung jalan, tampak kebingungan. Sepertinya dia baru saja keluar dari sebuah mobil dan terjebak dalam hujan deras. Pria itu mengenakan jas hujan berwarna gelap, tetapi hujan yang begitu lebat seakan tidak memberi ampun, membuat jas hujan itu hampir tidak berarti.

Maya hanya menatapnya sejenak, sebelum kembali menunduk, memfokuskan perhatiannya pada ujung sepatu yang mulai basah. Namun, tidak lama kemudian, pria itu mendekat, mengarahkan pandangannya ke Maya.

“Boleh saya berteduh sebentar di sini?” suara pria itu membuat Maya sedikit terkejut. Ia menatap pria itu dan mengangguk cepat, meskipun sedikit ragu. Tak ada salahnya berbagi tempat berlindung, bukan?

Pria itu tersenyum padanya, dan Maya merasa ada sesuatu yang familiar dari senyum itu, meskipun ia tidak mengenalnya sama sekali. Wajahnya tampak tidak asing, tetapi juga tidak jelas diingat oleh Maya. Dengan langkah santai, pria itu mendekat dan berdiri di sampingnya, menatap hujan yang belum juga reda.

“Sepertinya hujan ini tidak akan berhenti dalam waktu dekat,” kata pria itu, nada suaranya santai, hampir seperti obrolan biasa. Maya hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Namun, ia tidak merasa canggung. Suara pria itu memberikan kesan nyaman yang sulit dijelaskan. Mungkin karena cuaca yang dingin, atau mungkin hanya karena percakapan singkat ini.

“Nama saya Raka,” pria itu melanjutkan, mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. “Maya,” jawabnya pelan, sedikit canggung, sambil menjabat tangan Raka. Namun, setelah itu, Maya merasa aneh. Sepertinya sudah lama sekali sejak terakhir kali ia bertemu dengan seseorang yang membuatnya merasa seperti ini—nyaman, namun ada semacam kehangatan yang terbangun dalam diam.

Maya menatap wajah Raka yang tampak serius, tetapi juga lembut. Rambutnya yang sedikit basah karena hujan membuatnya terlihat lebih muda, dan sorot matanya terlihat penuh ketenangan. Ada sesuatu yang menarik di dalamnya, meskipun Maya berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Ia tidak tahu kenapa, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik hatinya.

Maya merasa sedikit risih dengan suasana hening yang tercipta di antara mereka. Ia mencari-cari topik untuk dibicarakan, meskipun ia tahu, ini hanya pertemuan singkat yang akan berlalu begitu saja.

“Apakah kamu sering ke sini?” tanya Raka, melanjutkan percakapan.

Maya tersenyum pelan. “Hanya ketika hujan deras. Saya tinggal tidak jauh dari sini, jadi kadang kalau hujan, saya bersembunyi dulu sebentar di sini.”

“Ah, begitu ya,” jawab Raka, tampak mengangguk memahami. “Saya baru saja datang dari luar kota. Hujan ini benar-benar membuat saya tidak bisa ke mana-mana.”

Maya merasa sedikit canggung mendengar penjelasan Raka yang terasa begitu biasa. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Rasa canggung itu datang bukan karena perasaan tidak nyaman, tetapi lebih karena ada daya tarik yang sulit dipahami. Maya mencoba menepis perasaan itu, tetapi semakin lama ia semakin menyadari bahwa ada sesuatu yang menarik di dalam diri Raka, meskipun hanya dalam pertemuan singkat ini.

Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya Raka berbicara lagi. “Saya rasa hujan ini tidak akan berhenti dalam waktu dekat,” katanya sambil melihat ke luar, menatap langit yang semakin gelap.

Maya mengangguk. “Ya, sepertinya kita akan terjebak di sini cukup lama.”

Raka tersenyum dan menoleh kepadanya. “Tidak masalah. Kadang-kadang, hujan malah memberikan momen untuk merenung. Mungkin kita tidak akan kembali ke sana, atau mungkin kita hanya perlu berhenti sejenak dan menikmati saat-saat ini.”

Maya menatap Raka, merasa sedikit tersentuh oleh kata-katanya. Dia tidak tahu kenapa, tetapi ada sesuatu dalam cara Raka berbicara yang membuatnya merasa lebih tenang. Tidak ada keharusan untuk pergi atau melangkah cepat. Ada kedamaian yang aneh dalam percakapan mereka.

Hujan semakin deras, tetapi Maya merasa seperti waktu berhenti sejenak. Di antara detak hujan yang turun, di antara percakapan mereka yang tidak terlalu berat, Maya mulai menyadari satu hal: ada sesuatu dalam diri Raka yang mengingatkannya pada perasaan yang dulu pernah ia rasakan. Perasaan pertama yang selalu datang dengan keraguan, tetapi juga dengan janji bahwa dunia ini terkadang bisa memberi kejutan yang tak terduga.

Dan saat itu, Maya tidak bisa menghindari perasaan itu—perasaan yang membuatnya tahu bahwa mungkin, hanya mungkin, pertemuan ini bukanlah kebetulan semata.*

Bab 2 Hujan dan Kenangan

Maya duduk di dekat jendela, menatap hujan yang turun dengan deras. Setiap tetes air yang membasahi kaca jendela seperti membawa ingatan yang tak terelakkan, mengembalikan dia pada kenangan-kenangan lama yang disimpan rapat di dalam hati. Hujan selalu memiliki cara untuk membuka pintu masa lalu, dan kali ini, kenangan itu datang begitu mendalam.

Sejak kecil, hujan adalah bagian dari hidup Maya. Setiap kali langit mulai mendung dan awan menggelap, hatinya selalu berdebar. Hujan bukan hanya sekadar fenomena alam yang menyegarkan udara. Baginya, hujan adalah simbol dari segala perasaan yang pernah ada—rindu, kehilangan, dan cinta pertama yang begitu murni. Hujan mengingatkan Maya pada seseorang yang pernah sangat berarti dalam hidupnya.

**Kenangan itu bermula ketika ia masih kecil**, tinggal di sebuah rumah tua dengan halaman luas di pinggiran kota. Ayahnya selalu suka mengajaknya bermain di luar rumah saat hujan. Mereka akan berlari-lari di halaman yang dipenuhi genangan air, membiarkan hujan membasahi pakaian mereka tanpa peduli. Tertawa riang, berlarian seperti anak kecil tanpa beban, mereka merasa seolah dunia di sekitar mereka berhenti bergerak.

Namun, ada satu kenangan yang paling terpatri jelas dalam ingatannya—kenangan bersama Raka. Mereka berdua, meskipun masih anak-anak pada saat itu, sudah memiliki kedekatan yang berbeda dari teman-temannya yang lain. Raka, teman masa kecil yang selalu ada saat hujan turun, selalu tahu cara membuat Maya merasa aman, bahkan di tengah derasnya hujan.

Waktu itu, hujan datang begitu tiba-tiba. Awan hitam menggulung di langit, dan angin dingin mulai berhembus. Maya dan Raka sedang berada di taman kecil di dekat rumah Maya, bermain bola bekel. Tiba-tiba, hujan turun dengan derasnya, memaksa mereka untuk mencari perlindungan. Raka menarik tangan Maya, membawanya ke bawah pohon besar yang cukup lebat untuk meneduhkan mereka dari hujan. Mereka berdua duduk di sana, mendengarkan suara hujan yang meninabobokan, merasa nyaman dalam keheningan.

“Aku suka hujan,” kata Raka waktu itu, menatap ke langit yang gelap. “Hujan membuatku merasa dekat dengan sesuatu yang jauh. Entahlah, rasanya seperti ada yang menghubungkan kita.”

Maya hanya tersenyum mendengar kata-kata Raka. Dalam hati, dia tidak mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud Raka, tapi entah mengapa, ada perasaan hangat yang mengalir di dalam dirinya. Saat itu, di bawah pohon yang besar itu, Maya merasa seolah dunia hanya berputar di sekitar mereka berdua. Setiap tetes hujan yang jatuh seolah membawa mereka lebih dekat satu sama lain.

**Kenangan itu bertahan, bahkan saat mereka beranjak dewasa.** Raka dan Maya tidak lagi sering bertemu seperti dulu, tetapi kenangan tentang hujan itu selalu ada di dalam pikirannya. Setiap kali hujan turun, dia akan teringat pada Raka, pada tawa mereka yang riang, dan pada momen ketika dunia hanya milik mereka berdua. Hujan menjadi pengingat akan masa kecil yang penuh kebahagiaan, dan juga pengingat akan perasaan pertama yang tak pernah benar-benar hilang.

Namun, ada juga kenangan pahit yang ikut datang bersama hujan. **Beberapa tahun yang lalu**, ketika hubungan mereka berakhir begitu mendalam, hujan juga menjadi saksi dari perpisahan itu. Raka meninggalkan kota untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, dan Maya merasa hatinya hancur. Perasaan pertama yang dia miliki untuk Raka, yang dulu begitu tulus dan murni, berubah menjadi luka yang dalam. Perpisahan mereka terjadi begitu mendalam, dan hujan yang turun pada saat itu terasa seperti sebuah simbol dari segala yang terlewatkan.

Maya masih ingat dengan jelas, malam itu hujan turun begitu deras. Mereka berdua berdiri di depan gerbang rumah Maya, mata saling bertemu untuk yang terakhir kalinya. Raka, yang biasanya selalu ceria dan penuh semangat, kali itu tampak begitu serius dan penuh keraguan. Maya bisa melihat kelelahan di matanya, seolah-olah dia juga merasa berat untuk berpisah.

“Aku harus pergi, Maya,” kata Raka dengan suara serak. “Tapi aku tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat.”

Maya hanya mengangguk, meskipun hatinya merasa hancur. Mereka berdua tahu bahwa perpisahan ini tidak akan mudah, tetapi seiring waktu, mereka mulai menerima kenyataan bahwa jalan hidup masing-masing sudah berbeda. Perasaan itu, yang dulu begitu kuat, perlahan-lahan memudar, digantikan oleh kenangan yang tidak bisa diubah lagi. Hujan malam itu seperti menyapu perasaan mereka, meninggalkan luka yang tak terungkapkan.

**Kembali ke masa sekarang**, Maya menatap hujan yang turun di luar jendela, dengan perasaan yang campur aduk. Hujan itu seakan mengingatkannya pada segala hal—pada kenangan yang penuh kebahagiaan dan juga pada luka yang pernah dia rasakan. Sekarang, setelah bertahun-tahun, dia merasa ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Mungkin, hanya mungkin, hujan kali ini tidak akan lagi menjadi pengingat akan perasaan yang telah hilang. Mungkin kali ini, hujan bisa menjadi awal dari sesuatu yang baru.

Namun, dia tidak bisa menghindari rasa takut yang menggerogoti hatinya. Apakah dia siap untuk membuka hatinya lagi? Apakah hujan yang turun ini akan membawa kenangan lama, ataukah justru mengundang perasaan yang baru—perasaan yang mungkin lebih indah daripada yang pernah dia rasakan sebelumnya?

Di tengah hujan yang turun, Maya tahu bahwa jawabannya tidak bisa dia temukan sekarang. Mungkin, seperti hujan itu sendiri, perasaan itu akan datang dengan sendirinya, membawa segala sesuatu yang tak terduga. Yang jelas, hujan kali ini bukan hanya sekadar air yang jatuh dari langit. Hujan kali ini adalah pengingat akan perjalanan hatinya yang belum selesai.*

Bab 3 Keberanian yang Terkumpul

Maya duduk di jendela kamarnya, menatap tetesan hujan yang jatuh perlahan di kaca. Angin malam menggoyangkan daun-daun pohon di luar, dan suara hujan yang deras itu seolah menyatu dengan alunan pikirannya yang bergejolak. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Raka, hatinya terasa begitu tidak menentu. Setiap kali hujan turun, kenangan akan pria itu muncul begitu saja, mengingatkannya pada perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Hari itu, Maya memutuskan untuk berjalan pulang lebih awal dari kafe tempatnya bekerja, karena hujan mulai turun dengan lebat. Ketika ia melewati sebuah taman kecil di dekat rumah, ia melihat sosok yang tidak asing—Raka, sedang berdiri di bawah pohon besar, menunggu hujan reda. Tanpa sadar, Maya mempercepat langkahnya, berusaha untuk menghindari pertemuan tak terduga itu.

Namun, langkahnya terhenti ketika Raka memanggilnya dengan suara yang lembut, namun penuh harapan. “Maya!”

Maya merasa hati dan pikirannya saling bertabrakan. Ada perasaan aneh yang muncul di dadanya—rasa cemas, tapi juga rasa senang. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Setelah ragu sejenak, ia akhirnya berbalik dan mendekat.

Raka tersenyum tipis, dan Maya bisa melihat betapa penuh perhatian tatapannya. “Hujan cukup deras, kan?” ujarnya, sambil menatap langit yang semakin gelap.

“Ya,” jawab Maya, sedikit kikuk. “Aku baru saja hendak pulang.”

Ada keheningan di antara mereka, tetapi keheningan yang nyaman. Raka melangkah lebih dekat, dan mereka mulai berjalan bersama, sejauh ini tanpa kata-kata yang mengganggu. Hujan yang turun seakan menjadi penghubung di antara mereka, menciptakan sebuah ruang di mana hanya ada keduanya dan suasana yang tenang. Maya merasa seolah-olah waktu melambat, memberi kesempatan baginya untuk benar-benar merasakan kehadiran Raka.

Beberapa langkah kemudian, Raka menghentikan langkahnya dan menatap Maya. “Maya, aku ingin berbicara.”

Perasaan Maya seketika berubah. Jantungnya berdetak lebih cepat, seakan merasakan ada sesuatu yang penting yang akan diungkapkan. “Ada apa?” tanyanya, suara sedikit bergetar.

Raka menarik napas dalam-dalam. “Aku… aku sudah lama ingin mengatakannya. Sejak pertama kali kita bertemu, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada perasaan yang sulit untuk aku jelaskan, tapi aku merasa… aku merasa kita memiliki hubungan yang lebih dari sekadar pertemuan biasa.”

Maya terdiam, mulutnya terasa kering. Kata-kata Raka mengusik ketenangannya. Perasaan yang selama ini ia coba hindari, perasaan yang selalu ia tutup-tutupi, tiba-tiba muncul begitu saja. Raka benar—perasaan itu ada, dan ia tak bisa menyangkalnya.

“Tapi… aku tidak tahu apakah aku siap untuk ini, Raka,” Maya akhirnya berbicara, meskipun suaranya sedikit terputus-putus. “Aku takut jika aku membuka hatiku lagi, aku akan terluka. Aku takut jatuh cinta, terutama setelah semua yang terjadi di masa lalu.”

Raka menatapnya dalam-dalam, seakan mencoba membaca setiap pikiran yang ada di benak Maya. “Aku mengerti rasa takutmu, Maya. Aku juga merasakannya. Tapi aku percaya, kita bisa melewati ini bersama. Aku ingin berusaha, jika kamu juga ingin berusaha.”

Maya menundukkan kepala, merasa bingung. Kata-kata Raka terasa begitu tulus, namun ketakutannya masih menguasai dirinya. Apakah dia bisa benar-benar membuka hatinya lagi? Apakah ia berani mengambil risiko itu, mengingat luka yang masih ada dalam dirinya?

Raka mengulurkan tangannya, pelan namun penuh harapan. “Aku tidak akan memaksamu, Maya. Aku hanya ingin memberi tahu bahwa aku di sini. Jika kamu merasa siap, aku akan menunggumu.”

Saat itu, hujan turun semakin deras, namun Maya merasa hangat. Ia bisa merasakan ketulusan dalam sikap Raka. Rasa cemasnya perlahan-lahan berkurang. Ia menatap tangan Raka yang terulur, dan meskipun ragu, dia merasakan dorongan untuk mengambil langkah maju. Perasaan pertama itu, yang selama ini ia hindari, sekarang terasa begitu kuat di dalam dirinya. Apakah ini saatnya untuk percaya lagi pada cinta?

Dengan keberanian yang terkumpul perlahan, Maya akhirnya meraih tangan Raka. “Aku… aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku ingin mencoba.”

Raka tersenyum, dan dalam senyum itu, ada harapan yang terukir jelas. “Itu sudah cukup, Maya. Aku hanya ingin kita berusaha bersama.”

Hujan yang turun begitu deras seakan menjadi saksi dari keputusan mereka. Meskipun belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Maya merasa sedikit lega. Keberanian yang terkumpul di dalam hatinya akhirnya membuatnya siap untuk mencoba membuka hati. Ia tahu, perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi setidaknya, ia tidak lagi takut untuk jatuh cinta.*

Bab 4 Hati yang Terbuka

Malam itu, hujan turun dengan derasnya, seolah ingin menyiram segala kecemasan yang terpendam dalam hati Maya. Langit gelap menggantung rendah, sementara suara hujan yang bertiup di atas genteng menjadi irama yang mengisi kesunyian di sekitarnya. Maya duduk di jendela kamar, menatap ke luar, menyaksikan tetesan air yang jatuh bergulir, mengingatkannya pada sesuatu yang sudah lama ia coba lupakan: perasaan pertama yang sulit untuk diungkapkan.

Seminggu terakhir, perasaan itu semakin menguat, entah bagaimana caranya. Sejak pertama kali bertemu dengan Raka di tengah hujan, semuanya seolah mengalir begitu saja. Raka tidak hanya menjadi teman biasa dalam hidupnya, tetapi juga seseorang yang semakin menggema di setiap sudut pikirannya. Maya tak bisa lagi menyangkal perasaan itu, meski ia tak pernah mengatakannya secara langsung.

Di luar, suara hujan semakin keras, seakan turut merasakan kegelisahan Maya. Ia meraih telepon genggamnya yang tergeletak di meja dekat tempat tidur, lalu mengklik aplikasi pesan singkat. Sebuah pesan dari Raka muncul di layar. Maya memandang pesan itu dalam diam, perasaannya campur aduk. Ini adalah pesan yang sudah lama ia tunggu, namun tak pernah ia berani membalas dengan sungguh-sungguh.

*“Maya, apakah kita bisa berbicara malam ini? Aku rasa ada sesuatu yang perlu kutanyakan.”*

Tangan Maya sedikit gemetar ketika ia membaca pesan itu. Hatinya berdebar-debar. Raka memang sering mengirim pesan, tapi kali ini ada yang berbeda. Pesan ini terdengar lebih serius, seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan—sesuatu yang mungkin akan mengubah semuanya.

Maya menarik napas dalam-dalam dan akhirnya mengetik balasan, meskipun pikirannya masih bimbang.

*“Tentu, ada apa?”*

Beberapa detik kemudian, pesan itu muncul di layar. Kali ini, Raka tidak langsung menulis panjang lebar seperti biasanya. Hanya ada satu kalimat singkat.

*“Aku ingin bertemu. Di tempat yang biasa.”*

Maya tahu betul tempat yang dimaksud oleh Raka. Itu adalah sebuah taman kecil yang mereka kunjungi saat pertama kali bertemu—sebuah taman yang selalu sepi, namun penuh kenangan indah. Setiap kali hujan turun, mereka akan duduk di bangku taman itu, berbicara tentang segala hal. Saat itu, Maya merasa seperti ada sesuatu yang berbeda, meskipun ia tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.

Setelah memandangi layar ponselnya sejenak, Maya akhirnya memutuskan untuk membalas pesan itu. Meskipun ragu, ia tahu ia harus bertemu dengan Raka malam ini. Hatinya yang selama ini penuh dengan keraguan dan ketakutan mulai merasa ada sebuah dorongan yang tak bisa ia bendung lagi.

Maya mengganti pakaiannya dengan cepat dan keluar menuju taman itu. Hujan masih turun dengan lebat, namun kali ini, rasanya hujan itu seperti sahabat lama yang menyambutnya dengan pelukan yang hangat. Saat sampai di taman, Maya melihat Raka sudah duduk di bangku yang biasa mereka tempati. Hujan membuat rambutnya sedikit basah, dan ia tampak lebih serius daripada biasanya.

Raka menoleh saat mendengar langkah kaki Maya mendekat, dan sebuah senyuman muncul di wajahnya. Senyuman itu membuat Maya sedikit lega, meskipun hatinya masih dipenuhi tanda tanya.

“Maaf aku membuatmu basah,” kata Raka dengan suara lembut, sambil mengangkat sebuah payung besar yang ada di sampingnya.

“Tidak apa-apa,” jawab Maya pelan. “Aku malah senang hujan turun. Rasanya ada sesuatu yang berbeda malam ini.”

Raka mengangguk, lalu memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman. Ada keheningan beberapa detik sebelum Raka membuka mulutnya.

“Maya,” katanya dengan suara yang sedikit bergetar, “Ada hal yang perlu aku katakan. Aku tidak tahu bagaimana harus memulainya, tapi… aku rasa aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”

Maya menatap Raka, hatinya semakin tidak menentu. “Apa yang kamu maksud, Raka?”

Raka menarik napas panjang, matanya tidak bisa berpaling dari Maya. “Aku merasa ini bukan kebetulan. Pertemuan kita, perasaan yang mulai tumbuh di antara kita… Aku rasa aku tidak bisa lagi menyembunyikan apa yang aku rasakan. Aku ingin kau tahu, Maya… Aku… Aku jatuh cinta padamu.”

Kata-kata itu seakan menghentikan waktu bagi Maya. Rasa hangat menyebar ke seluruh tubuhnya, namun ada kepanikan yang menggelora di dalam hatinya. Cinta? Apakah ia siap untuk menerima perasaan itu? Apakah ia bisa membuka hatinya untuk seseorang setelah begitu lama menutup diri?

Maya menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan perasaan yang tiba-tiba membanjiri dirinya. Rasa takut dan bahagia saling bertarung di dalam dada. “Raka… aku… aku tidak tahu apa yang harus aku katakan,” ujarnya, suara seraknya hampir tenggelam dalam suara hujan yang terus mengguyur.

Raka mendekat sedikit, mengulurkan tangannya dengan lembut. “Kau tidak perlu mengatakan apa-apa sekarang. Aku hanya ingin kau tahu perasaanku. Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin… jika suatu saat kau siap, aku akan menunggumu.”

Maya merasa hatinya tergetar mendengar kalimat itu. Raka tidak memaksanya. Dia hanya ingin jujur dengan perasaannya, tanpa ada paksaan. Itu adalah sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang tidak pernah Maya harapkan.

Dengan perlahan, Maya menatap Raka, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sebuah kelegaan yang besar. Hatinya yang selama ini terkunci rapat mulai membuka, meski sangat hati-hati. “Aku juga… merasa sesuatu, Raka,” kata Maya dengan suara yang lebih pasti. “Aku hanya takut. Takut jika aku jatuh lagi, takut akan kenangan yang bisa menyakitkan.”

Raka tersenyum lembut, menatap Maya dengan penuh pengertian. “Aku mengerti, Maya. Aku tidak ingin membuatmu merasa terbebani. Aku hanya ingin kau tahu, perasaanku ini tulus.”

Maya menatap langit yang kini cerah setelah hujan, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, hatinya bisa terbuka lagi. Dengan langkah pelan, ia meraih tangan Raka. Hujan yang dulu membawa ketakutan kini terasa berbeda, seakan menjadi saksi pertama bagi kisah baru yang tengah dimulai.*

Bab 5 Dalam Pelukan Hujan

Hujan turun begitu deras malam itu, menurunkan rintik-rintik air yang membasahi jalanan, membuat dunia seolah-olah berwarna abu-abu. Maya berdiri di balkon apartemennya, menatap hujan yang begitu deras, seperti mencerminkan perasaan dalam dirinya—penuh dengan keraguan dan ketakutan yang belum terungkapkan. Setiap tetes air yang jatuh ke tanah seolah membawa kembali kenangan tentang perasaan pertama yang ia coba lupakan. Tetapi, setiap kali hujan datang, rasa itu kembali hadir—rindu yang tidak bisa ia sembunyikan.

Sejak hubungan mereka dimulai, Maya merasa seolah-olah ia berada di ambang kebahagiaan dan ketakutan yang tak terungkapkan. Perasaan terhadap Raka begitu kuat, namun di saat yang sama, ketakutan akan kehilangan membuat hatinya ragu untuk sepenuhnya memberi diri. Ia ingat dengan jelas bagaimana rasa sakit itu dulu menggores hatinya saat cinta pertama berakhir begitu tragis. Akankah sejarah itu berulang? Apakah hubungan ini benar-benar bisa bertahan, ataukah ia hanya akan menjadi kenangan yang sama pahitnya?

Malam itu, Raka menghubunginya, seperti biasa. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Suaranya terdengar lebih serius, lebih dalam. Seakan-akan ia tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu Maya, meskipun Maya berusaha menutupi perasaan itu.

*”Maya, aku tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Apa yang sebenarnya kamu rasakan?”* suara Raka terdengar begitu lembut, namun penuh kekuatan yang tak bisa diabaikan.

Maya menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tidak ingin membuat masalah menjadi lebih besar. Namun, hatinya tak bisa menipu. Ia ingin berbicara, tetapi kata-kata itu begitu sulit keluar. Ia merasa cemas, takut jika ia membuka hatinya, semuanya akan berantakan.

*”Aku… aku takut, Raka,”* akhirnya Maya berkata dengan suara yang sedikit bergetar. *”Aku takut kalau kita tidak bisa bertahan, kalau ini hanya akan berakhir seperti yang dulu.”*

Raka terdiam sejenak. Maya bisa merasakan betapa dalamnya perasaan yang ia coba sembunyikan. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Raka akhirnya berbicara lagi, suara lembutnya menenangkan.

*”Maya, aku juga takut. Aku takut kalau aku kehilanganmu, karena aku merasa kamu adalah seseorang yang sangat berarti bagiku. Tapi aku tidak ingin kita hidup dalam ketakutan. Aku ingin kita jalani ini bersama-sama, dengan penuh kepercayaan.”*

Maya merasa hatinya berdebar, ada kehangatan yang muncul dalam kata-kata Raka. Namun, keraguan itu tetap ada, seperti bayangan yang mengikutinya ke mana pun ia pergi. Maya menutup matanya, merasakan hujan yang terus turun di luar, seolah-olah alam pun merasakannya. Air mata yang terpendam dalam dirinya mulai mengalir perlahan, namun kali ini, itu bukan hanya air mata ketakutan. Itu adalah air mata kebingungannya, air mata harapan yang ingin ia percayakan pada seseorang.

Setelah beberapa saat, Maya memutuskan untuk bertemu dengan Raka. Mereka sepakat untuk bertemu di taman dekat tempat tinggal Maya, tempat yang selalu membawa mereka pada kenangan-kenangan indah. Begitu sampai di sana, Raka sudah menunggunya di bawah payung, tampak sedikit cemas. Begitu melihat Maya datang, ia langsung berjalan menghampirinya dengan senyum lembut.

*”Maya, maaf jika aku membuatmu merasa cemas. Aku hanya ingin kita berbicara, tanpa ada kebohongan di antara kita,”* ujar Raka, mengulurkan tangan, mengajak Maya untuk bergabung di bawah payung.

Maya hanya mengangguk, melangkah mendekat. Mereka berdua berjalan di bawah hujan yang semakin deras, namun kali ini, hujan itu terasa berbeda. Maya merasa ada kedamaian yang menyelimuti dirinya, seolah-olah segala ketakutan yang ia rasakan selama ini perlahan menghilang.

Mereka berjalan sejauh beberapa langkah, sebelum akhirnya berhenti di sebuah bangku taman yang terletak di sisi jalan. Maya duduk, dan Raka mengikuti, duduk di sampingnya. Tanpa kata, mereka hanya saling memandang, dan dalam diam itu, Maya bisa merasakan perasaan yang begitu kuat di dalam dirinya. Hujan yang turun begitu lebat terasa seperti pelukan alam, membungkus mereka dalam kehangatan yang tak terungkapkan.

*”Aku takut, Raka,”* kata Maya lagi, kali ini suaranya lebih tegas, meskipun ada gemetar yang masih terasa di dalam hatinya. *”Aku takut kita tidak bisa menghadapi semua ini. Kita sudah terlalu banyak terluka di masa lalu.”*

Raka menatapnya dengan penuh perhatian, matanya penuh kasih. *”Maya, kita semua punya masa lalu, dan kita tak bisa melupakan itu. Tapi aku percaya bahwa kita bisa menciptakan masa depan bersama. Hujan ini… ini adalah simbol bahwa kita harus membersihkan semuanya, dan mulai dari awal. Aku tidak ingin mengulang masa lalu, aku ingin kita berjalan ke depan, bersama-sama.”*

Maya menatap Raka, dan untuk pertama kalinya, ia merasa perasaan takut itu sedikit mengendur. Ada rasa percaya yang mulai tumbuh di hatinya, meskipun masih ada banyak pertanyaan yang menggelayuti pikirannya. Namun, malam itu, di bawah hujan yang terus turun, Maya merasa bahwa untuk pertama kalinya, ia bisa benar-benar percaya—pada dirinya sendiri, pada Raka, dan pada perasaan yang mereka bagi.

*”Aku ingin mencoba, Raka,”* kata Maya akhirnya, suara itu lembut namun penuh keyakinan. *”Aku ingin kita mencoba, meskipun aku tahu jalan kita tidak akan selalu mudah.”*

Raka tersenyum, menggenggam tangan Maya dengan penuh keyakinan. *”Aku akan selalu ada untukmu, Maya. Apapun yang terjadi, kita akan menghadapi ini bersama.”*

Di bawah hujan yang semakin deras, mereka duduk berdampingan, saling berpegangan tangan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Maya merasa tenang. Mungkin cinta pertama memang penuh dengan ketakutan dan keraguan, tetapi juga penuh dengan harapan. Dalam pelukan hujan, mereka mulai melangkah maju, membiarkan hujan membersihkan segala keraguan, dan membuka jalan bagi masa depan yang lebih cerah.*

Bab 6 Cinta yang Bertahan

Hujan turun begitu deras malam itu, menambah kesan sendu yang sudah lama memenuhi hati Maya. Ia duduk di sudut kamar, menatap luar jendela yang basah, dengan suara gemericik air yang menyentuh tanah. Setiap tetes air yang jatuh seakan membawa kembali kenangan-kenangan itu, kenangan tentang Raka, kenangan tentang cinta pertama yang begitu membekas. Sejak pertemuan mereka yang tidak terduga, perasaan itu selalu hadir setiap kali hujan datang.

Maya menarik napas panjang. Hujan yang sama, angin yang sama, dan perasaan yang sama—meskipun semuanya sudah berubah, ada satu hal yang tetap bertahan: cinta mereka. Seperti hujan yang datang tanpa permisi, cinta itu datang begitu tiba-tiba dan menyentuhnya dengan cara yang tidak bisa ia hindari.

Beberapa bulan lalu, Maya tidak pernah membayangkan bahwa ia akan sampai pada titik ini—berada di sini, di tempat yang penuh dengan keraguan, tetapi juga penuh dengan harapan. Ia masih ingat betul bagaimana perasaan pertama kali mereka bertemu, bagaimana Raka mengungkapkan perasaan yang begitu tulus. Momen itu begitu sederhana, namun mengandung makna yang dalam. Perasaan yang sudah lama terkubur dalam dirinya, yang ia anggap takkan pernah muncul lagi, ternyata mampu bangkit kembali, membakar seluruh hatinya dengan api yang tak pernah padam.

Namun, cinta pertama bukanlah sesuatu yang datang tanpa tantangan. Banyak hal yang harus mereka hadapi, banyak keraguan yang harus disingkirkan. Maya selalu merasa takut bahwa perasaan itu akan hilang begitu saja, seperti hujan yang datang dan pergi tanpa jejak. Raka, di sisi lain, tidak pernah menyerah untuk menunjukkan bahwa perasaan mereka lebih dari sekadar kenangan.

Hari itu, setelah sebuah percakapan yang penuh ketegangan dan keraguan, mereka akhirnya memutuskan untuk bertemu lagi, untuk menghadapi segala ketakutan dan kecemasan yang ada. Maya merasa cemas, tetapi juga bersemangat. Setelah berbulan-bulan berusaha menghindari kenyataan, ia menyadari bahwa cinta mereka tidak bisa lagi disembunyikan. Mereka harus membuat keputusan, apakah mereka siap untuk bertahan, atau apakah mereka akan membiarkan perasaan ini hilang begitu saja, seperti hujan yang telah berlalu.

Maya dan Raka duduk di taman, di bawah pohon yang besar, tempat pertama kali mereka berbicara tentang perasaan masing-masing. Hujan turun perlahan, menambah romantisme di sekitar mereka. Raka menatap Maya dengan penuh perhatian, matanya penuh dengan harapan, seakan-akan ia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Maya.

“Aku tahu ini tidak mudah,” kata Raka dengan suara lembut. “Tapi aku tidak ingin kita menyerah begitu saja. Aku ingin kita mencoba, Maya. Aku ingin kita bertahan.”

Maya menatapnya, merasa gelisah. “Tapi, Raka… kita sudah melalui begitu banyak hal. Apa yang membuatmu yakin bahwa kita bisa bertahan kali ini?” suaranya terdengar ragu, namun ada secercah keyakinan yang mulai tumbuh di dalam hati.

Raka tersenyum tipis, meraih tangan Maya dengan lembut. “Karena aku tahu bahwa cinta kita lebih dari sekadar perasaan sesaat. Kita sudah melewati banyak hal bersama, Maya. Kita sudah menghadapinya, dan aku yakin kita bisa melaluinya lagi. Cinta itu tidak hanya tentang kebahagiaan, tetapi tentang bagaimana kita saling mendukung di saat-saat sulit.”

Maya terdiam, merasa kalut dengan perasaan yang bergejolak di dalam dirinya. Ia tahu bahwa Raka benar. Cinta mereka bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi itu adalah sesuatu yang mereka pilih untuk jalani. Meskipun ada banyak ketakutan, ada banyak hal yang tidak pasti, satu hal yang Maya tahu pasti: ia tidak bisa hidup tanpa Raka di sisinya. Cinta pertama yang datang begitu cepat dan tanpa peringatan, kini menjadi cinta yang harus mereka pertahankan.

Hujan semakin deras, tetapi Maya merasa ada kedamaian yang mulai menyelimuti hatinya. Ia menyadari bahwa hidup tidak selalu berjalan mulus. Ada kalanya hujan turun begitu deras, membawa kesedihan dan keraguan. Namun, seperti hujan yang akhirnya akan berhenti, begitu pula dengan segala masalah yang mereka hadapi. Selama mereka bersama, selama mereka saling mendukung, cinta mereka akan bertahan.

“Jadi, apa yang akan kita lakukan?” tanya Maya dengan suara lembut, matanya menatap Raka dengan penuh keyakinan.

“Kita akan bertahan,” jawab Raka, menggenggam tangan Maya lebih erat. “Kita akan berjalan bersama, apapun yang terjadi.”

Maya tersenyum, merasakan sebuah kelegaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cinta yang mereka miliki bukanlah cinta yang sempurna, tetapi itu adalah cinta yang benar-benar mereka perjuangkan. Meskipun ada rintangan, meskipun ada ketakutan, mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian. Mereka memiliki satu sama lain, dan itu cukup untuk membuat mereka terus maju.

Hujan mulai berhenti, dan di langit yang mulai cerah, mereka berdiri bersama, berjalan berdampingan, siap menghadapi apapun yang datang di depan. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa selama cinta itu ada, mereka akan terus berjalan bersama, apapun yang terjadi.*

Bab 7  Janji dalam Hujan

Malam itu, hujan turun begitu deras, seakan dunia di sekitar Maya dan Raka menyatu dalam satu hembusan angin yang kencang. Suara gemuruhnya bergemuruh di atas atap rumah, membuat malam terasa lebih sendu dan penuh dengan perasaan yang tak bisa dibendung. Maya berdiri di dekat jendela, menatap luar, matanya mengabur oleh butiran air hujan yang jatuh dengan cepat.

Hujan selalu mengingatkannya pada perasaan pertama yang datang begitu perlahan namun kuat, seperti tetes air yang menetes satu per satu, membentuk sungai di hati. Hujan yang dulu membuatnya takut akan perasaan yang tak terkontrol, kini justru membawa kedamaian. Namun, malam ini, perasaan yang datang begitu kuat. Perasaan ragu dan takut kembali menghantuinya, meskipun ia tahu apa yang harus dilakukan.

Di luar, Raka berdiri di halaman rumah Maya, menunggu dengan sabar. Kakinya sedikit basah karena air hujan yang menggenang di tanah, namun ia tidak peduli. Ia hanya ingin berada di sana, menemui Maya, mendengarkan hatinya, dan yang terpenting, membuat janji yang selama ini ia simpan.

Maya menutup jendela, kemudian berjalan menuju pintu depan. Ketika ia membuka pintu, ia melihat Raka berdiri dengan tubuh basah kuyup. Meskipun hujan begitu deras, tidak ada sedikit pun rasa kesal di wajahnya. Justru, di mata Raka, ada rasa keteguhan yang sulit dijelaskan.

“Raka, kenapa kau tetap di luar?” Maya bertanya dengan nada lembut, meskipun hatinya bergetar.

Raka tersenyum, meskipun di balik senyum itu, ada ketegangan yang sangat terasa. “Aku hanya ingin bertemu denganmu, Maya,” jawabnya pelan, “Aku tidak peduli hujan atau apapun itu. Aku ingin memastikan kita bisa bicara.”

Maya memandangnya, hatinya sedikit terguncang oleh kesungguhan dalam kata-kata Raka. Namun, ada keraguan yang masih menghantuinya. Hujan yang turun begitu deras membuatnya merasa seperti dunia ini memberi mereka waktu untuk memikirkan segalanya, untuk menyelami perasaan yang sudah lama terpendam.

“Kau basah kuyup, masuklah dulu,” ujar Maya akhirnya, dengan nada lembut. Raka mengangguk dan memasuki rumah dengan hati yang penuh harapan.

Maya menuntun Raka ke ruang tamu, mempersilakan duduk, sementara ia bergegas mengambil handuk dan membawakan minuman hangat untuknya. Hujan yang terus turun di luar seakan menjadi latar belakang yang sempurna untuk percakapan mereka malam itu—percakapan yang penuh dengan perasaan yang belum terungkapkan.

Raka menerima gelas teh hangat dari Maya dan meminumnya perlahan, matanya tidak bisa lepas dari wajah Maya. Ada rasa rindu yang mendalam, namun juga keteguhan dalam dirinya. Ia tahu bahwa saat ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan segala yang telah ia simpan selama ini.

“Maya,” suara Raka bergetar pelan, “Aku tahu kita sudah melalui banyak hal bersama, dan aku tahu hubungan ini tidak pernah mudah. Namun, aku tidak bisa mengabaikan perasaan yang aku miliki untukmu.”

Maya terdiam, menatap mata Raka yang penuh dengan ketulusan. Setiap kata yang keluar dari mulut Raka seakan menggugah perasaan dalam dirinya. Ia tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya, meskipun rasa takut itu masih ada di dalam hatinya.

“Aku tahu, Raka,” jawab Maya pelan. “Aku tahu aku juga merasakannya. Tapi aku takut. Aku takut jika kita bersama lagi, perasaan ini akan terluka. Aku takut jika akhirnya kita harus berpisah lagi.”

Raka mendekat sedikit, matanya menatap dalam mata Maya. “Maya, aku mengerti ketakutanmu. Aku tahu kita berdua pernah terluka, tapi aku ingin membuat janji. Janji bahwa aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi. Aku tidak akan membiarkan hujan, atau apapun yang datang dalam hidup kita, menghalangi kita untuk bersama.”

Maya menatap Raka, hatinya berdebar kencang. Ada ketulusan dalam kata-kata Raka yang membuatnya merasa seperti terjebak dalam badai perasaan yang tak bisa dihindari. Hujan yang terus turun semakin deras, namun Maya merasa seperti dunia ini hanya berputar di sekitar mereka berdua.

“Apa kau yakin?” tanya Maya, suaranya hampir tak terdengar. “Apakah kau benar-benar yakin dengan janji itu?”

Raka memegang tangan Maya dengan lembut, menggenggamnya dengan penuh keyakinan. “Aku yakin. Aku tahu kita berdua tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa memilih untuk melangkah maju bersama. Aku berjanji, tidak peduli apa yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu. Kita akan menghadapi semuanya bersama.”

Maya menatap tangan Raka yang menggenggam tangannya, merasa ada sesuatu yang menghangatkan hatinya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun ia menahannya. Perasaan itu begitu tulus, begitu dalam, sehingga ia tidak bisa lagi menyangkalnya.

“Aku juga berjanji,” kata Maya dengan suara yang hampir tak terdengar, “Aku berjanji untuk tidak takut lagi. Aku akan mencoba untuk percaya lagi.”

Raka tersenyum dan menarik Maya ke dalam pelukannya. Mereka berdiri di sana, di bawah hujan yang tak kunjung reda, namun kali ini mereka tidak merasa terpisah. Hujan yang turun begitu deras, seakan mencuci semua keraguan dan ketakutan yang selama ini mereka pendam. Mereka saling berjanji untuk selalu bersama, untuk tidak pernah menyerah pada perasaan mereka.

Dalam pelukan itu, Maya merasa seluruh dunia menjadi tenang. Di tengah hujan yang terus mengguyur, mereka tahu bahwa ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru. Perjalanan cinta yang penuh dengan harapan, keberanian, dan janji yang akan mereka pegang selamanya.***

———–THE END———

 

Source: DELA SAYFA
Tags: #JanjiDalamHujan #CintaDalamHujan #CintaPertama #PerasaanTulus #KekuatanCinta
Previous Post

Ketika Cinta Pertama Menyapa

Next Post

LAUTAN DIANTARA KITA

Related Posts

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

April 30, 2025
DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

April 29, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 28, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 27, 2025
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

April 26, 2025
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

April 25, 2025
Next Post
LAUTAN DIANTARA KITA

LAUTAN DIANTARA KITA

CINTA YANG TERJUAL

CINTA YANG TERJUAL

Aku Masih Mencintaimu

Aku Masih Mencintaimu

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id