Daftar Isi
Bab 1 Awal yang Tak Terduga
Suasana di ballroom konferensi internasional itu begitu ramai. Ribuan orang yang datang dari berbagai penjuru dunia berdiri di sekitar meja pameran, berbincang dengan antusias tentang berbagai inovasi terbaru. Alika berjalan perlahan di antara para peserta konferensi, matanya tak lepas dari layar ponselnya yang menunjukkan hasil presentasi yang baru saja ia buat untuk perusahaan desain grafis tempat ia bekerja.
Hari pertama konferensi yang diselenggarakan di kota Milan ini terasa seperti percakapan panjang yang tak ada habisnya ceramah tentang tren desain, diskusi mendalam tentang teknologi terbaru, serta bertemu dengan orang-orang baru yang penuh semangat. Alika yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di Indonesia, merasa sedikit canggung di tengah keramaian seperti ini. Meski ia seorang profesional di bidang desain, ia masih merasa ada jarak dengan kebanyakan orang di sini, yang sebagian besar sudah berpengalaman di industri.
Namun, segala kecanggungan itu mendadak hilang ketika sebuah suara di sampingnya mengalihkan perhatian.
“Desainmu sangat menarik,” suara itu mengatakan dengan aksen Inggris yang kental. “Aku sudah melihat beberapa karyamu di pameran tadi, dan aku harus bilang, kamu punya perspektif yang unik.”
Alika menoleh dengan cepat, terkejut dengan pujian yang datang begitu tiba-tiba. Di hadapannya berdiri seorang pria dengan wajah tampan, mengenakan jas hitam rapi dan dasi yang sedikit lebih longgar daripada yang biasanya dipakai orang pada acara seperti ini. Tatapan mata pria itu begitu tajam namun hangat, seakan dia sudah lama mengenal dunia desain, dan sudah banyak melihat karya-karya besar. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya—sesuatu yang membuat Alika merasa nyaman meskipun baru bertemu.
“Oh, terima kasih,” Alika berkata, agak kikuk, meski senyum di wajahnya sudah mulai merekah. “Saya tidak tahu kalau ada yang memperhatikan. Ini baru pertama kalinya saya presentasi di acara sebesar ini.”
Pria itu tersenyum, seolah paham betul dengan rasa gugup yang sedang dirasakan Alika. “Aku bisa melihatnya,” katanya. “Tapi, justru itu yang membuat desainmu menonjol. Karya yang datang dari hati lebih mudah dilihat oleh orang yang memahami.”
Alika tertawa kecil. “Terima kasih. Saya masih belajar banyak, masih banyak yang harus saya pelajari.”
“Belajar itu adalah perjalanan yang tidak ada habisnya,” jawab pria itu dengan bijak. “Aku sendiri juga masih banyak belajar, walaupun sudah lama bekerja di industri ini.”
Alika merasa ada kehangatan dalam setiap kata yang diucapkan pria itu. Mereka mulai berbicara lebih banyak, dari topik desain hingga pengalaman masing-masing dalam dunia kerja. Alika merasa semakin nyaman, seakan perbincangan ini sudah dimulai sejak lama, meskipun sebenarnya baru saja terjadi.
“Aku Damar,” pria itu memperkenalkan diri setelah beberapa saat berbicara. “Aku bekerja di sebuah perusahaan teknologi di Jakarta. Tapi, sering berpergian ke luar negeri untuk bisnis.”
“Alika,” jawab Alika sambil tersenyum, “Saya baru saja pindah ke sini, bekerja di sebuah perusahaan desain grafis. Masih baru di dunia profesional.”
Damar mengangguk, matanya seakan menilai, tapi dengan cara yang tidak membuat Alika merasa cemas. “Jakarta, ya? Itu jauh sekali dari sini.”
Alika tertawa pelan, merasa aneh mendengar kata ‘jauh’ diucapkan oleh Damar, karena dia merasa dirinya sendiri juga terpisah cukup jauh dari dunia ini—dunia yang baru ia masuki dengan penuh harapan dan kegelisahan.
“Iya, cukup jauh,” jawabnya. “Tapi rasanya lebih dekat daripada yang saya kira.”
Mereka berdua tertawa bersama, menyadari bahwa meskipun berada di tempat yang sangat berbeda, mereka bisa berbicara dengan nyaman seolah sudah saling mengenal lama. Percakapan itu berlanjut ke banyak hal tentang budaya, tentang kehidupan di luar negeri, dan tentu saja tentang tantangan yang mereka hadapi dalam pekerjaan mereka masing-masing.
Saat acara konferensi akhirnya berakhir dan mereka berdua berjalan menuju pintu keluar, Damar memberikan nomor teleponnya kepada Alika, menyarankan agar mereka tetap terhubung untuk berbicara lebih banyak tentang desain dan teknologi.
“Mungkin kita bisa bertukar ide lebih lanjut. Aku suka sekali dengan cara kamu melihat dunia desain,” kata Damar dengan senyum yang sedikit misterius, seakan ada banyak hal yang ingin dia bagikan namun memilih untuk menunggu waktu yang tepat.
Alika sedikit terkejut, tapi merasa senang. Tidak banyak orang yang mau menawarkan kesempatan berbagi ide setelah pertemuan singkat seperti ini. “Tentu,” jawab Alika, “Saya akan menghubungi kamu. Terima kasih atas obrolannya, Damar.”
Beberapa hari setelah konferensi itu, mereka mulai saling mengirim pesan singkat, berbagi ide tentang desain, teknologi, dan kehidupan. Seiring waktu, percakapan mereka semakin dalam dan penuh makna. Dari pembicaraan ringan tentang pekerjaan hingga cerita pribadi yang lebih dalam tentang kehidupan, mereka mulai saling mengenal satu sama lain.
Namun, meskipun mereka merasa ada keterikatan yang kuat, Alika tidak pernah menyangka bahwa hubungan ini akan berkembang lebih jauh. Damar sering mengirim pesan singkat tentang kehidupannya di Jakarta, sementara Alika bercerita tentang kehidupan barunya di Milan. Mereka berbicara tentang banyak hal, tetapi selalu ada batas yang tidak pernah mereka lewati yaitu batas yang memisahkan mereka oleh jarak dan waktu.
“Kita hanya saling mengenal sebentar,” pikir Alika, “Ini mungkin hanya sebuah pertemuan kebetulan, dan tak lebih dari itu.”
Namun, semakin lama mereka berkomunikasi, semakin sulit untuk mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka. Damar selalu tahu bagaimana membuat Alika merasa nyaman, bahkan dalam jarak yang jauh. Setiap kata yang dia kirim terasa penuh perhatian, setiap percakapan terasa seperti sebuah pelukan hangat yang menghapus rasa kesepian.
Suatu malam, ketika Alika sedang terjaga menunggu email penting, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Damar masuk ke layar teleponnya:
“Aku tahu ini mungkin kedengarannya gila, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku merasa kita bisa lebih dari sekadar teman. Mungkin ini hanya aku yang terlalu berharap, tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam antara kita. Apa menurutmu ini juga hanya kebetulan?”
Alika merasa jantungnya berdegup kencang membaca pesan itu. Hatinya bergejolak. “Ini bukan kebetulan,” jawabnya dalam hati. “Aku juga merasakannya.”
Namun, di luar sana, antara Milan dan Jakarta, ada jarak yang besar. Jarak yang belum tentu bisa dijembatani hanya dengan kata-kata. Tapi satu hal yang pasti ini adalah awal dari sesuatu yang tak terduga.*
Bab 2 Jarak yang Menguji Cinta
Setelah beberapa minggu saling mengirim pesan, berbagi cerita, dan membicarakan impian, hubungan antara Alika dan Damar semakin terasa akrab. Mereka berdua mulai merasakan ada sesuatu yang lebih dalam, meskipun belum pernah bertemu lagi setelah konferensi itu. Koneksi yang terbentuk melalui percakapan singkat dan kadang-kadang telepon malam menjadi pengikat mereka. Meskipun terpisah oleh ribuan kilometer, mereka merasa seolah-olah dunia mereka tidak pernah terpisah.
Namun, kenyataan hidup mulai menuntut mereka untuk menghadapi jarak yang tak terhindarkan. Alika, yang sudah semakin nyaman dengan rutinitas barunya di Milan, mulai sibuk dengan proyek desain yang menuntut lebih banyak perhatian. Kadang-kadang, dia merasa terjebak dalam kesibukannya, berusaha menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Ditambah lagi, dirinya yang masih berada dalam tahap penyesuaian di negara asing membuatnya merasa terisolasi. Kadang, ia merasa rindu dengan kehidupan yang dulu, dengan teman-teman di Indonesia, dengan keluarga yang selalu bisa ia temui kapan saja.
Damar, di sisi lain, semakin sibuk dengan proyek-proyek besar yang membutuhkan perhatiannya secara total. Sebagai seorang pengusaha muda di Jakarta, ia selalu terjebak dalam pertemuan bisnis, perjalanan dinas, dan tanggung jawab yang tak pernah berhenti. Ia merasa bahwa kehidupan profesionalnya mulai menggerogoti waktu pribadinya, bahkan untuk seseorang yang begitu berarti baginya seperti Alika. Meskipun ia berusaha untuk tetap berkomunikasi dengan Alika, kadang-kadang ia merasa tertekan dengan tuntutan hidup yang begitu besar.
Pada awalnya, mereka berdua berusaha menjaga komunikasi seperti biasa—mengirim pesan setiap pagi, saling memberi kabar setiap malam. Tapi seiring berjalannya waktu, hal itu mulai terasa semakin sulit. Alika sering kali terjebak dalam deadline ketat dan rapat yang panjang, sementara Damar, meskipun sering mencoba untuk menghubunginya, tidak selalu mendapatkan respons yang cepat. Setiap kali pesan atau panggilan telepon mereka tertunda, perasaan cemas mulai merayap dalam diri Alika. Apakah Damar masih memikirkan dirinya? Apakah dia terlalu sibuk untuk menyempatkan waktu?
Pada suatu malam, setelah beberapa hari tidak mendengar kabar dari Damar, Alika merasa gelisah. Dia mengirim pesan singkat, berharap bisa mendapat balasan.
Alika: “Hey, Damar, lagi sibuk ya? Aku sudah coba telepon beberapa kali, nggak bisa dihubungi. Aku cuma ingin tahu kabarmu.”
Beberapa jam kemudian, pesan itu baru dibalas. Damar meminta maaf karena sedang sibuk dengan rapat yang tak terduga.
Damar: “Maaf, Alika, aku benar-benar sibuk akhir-akhir ini. Banyak hal yang harus diselesaikan, tapi aku baik-baik saja. Aku janji, nanti kita bisa ngobrol lebih banyak. Aku rindu kamu.”
Mendapatkan balasan itu membuat hati Alika sedikit lega, tetapi dia tidak bisa menahan perasaan kecewa yang mendalam. Mereka sudah jarang sekali berbicara, dan dia merasa semakin terabaikan. Perasaan itu memuncak saat mereka kembali berbicara lewat telepon pada malam hari.
“Damar,” suara Alika terdengar lebih berat dari biasanya, “Kenapa rasanya kita semakin jauh? Aku merasa kita tidak lagi saling terhubung seperti dulu. Apakah kamu masih peduli?”
Damar terdiam sesaat, mencoba mencerna perasaan yang sedang melanda Alika. “Aku tahu kamu merasa seperti itu, Alika. Maaf kalau aku membuatmu merasa terabaikan. Aku sedang berusaha keras untuk memenuhi tanggung jawabku di sini. Tapi aku juga merasa kesulitan untuk menyeimbangkan semua ini.”
Alika bisa merasakan ketegangan dalam suara Damar. “Aku paham, Damar. Aku juga sedang berjuang dengan pekerjaan dan kehidupan baru di sini. Tapi aku tidak bisa menutup mata bahwa hubungan ini mulai terasa seperti hanya sebuah rutinitas. Apakah kita bisa terus seperti ini?”
Damar menarik napas panjang, merasa berat dengan pembicaraan yang semakin serius ini. “Aku tidak ingin hubungan kita hanya jadi rutinitas. Aku ingin kita bisa saling mendukung dan bertumbuh bersama. Tapi aku juga butuh waktu untuk bisa menyeimbangkan semuanya. Aku harap kamu bisa sedikit lebih sabar.”
Alika menahan tangis. Sungguh, dia ingin sekali Damar ada di sini, untuk menyemangatinya, untuk membuatnya merasa dicintai meskipun jarak memisahkan mereka. Tapi, dia juga tahu bahwa ini adalah ujian ujian yang harus mereka lalui jika hubungan ini ingin bertahan.
“Aku tahu kita harus bersabar,” jawab Alika pelan, “Aku cuma takut kalau kita semakin jauh, Damar. Aku ingin hubungan ini lebih dari sekadar kata-kata dan janji. Aku ingin kita saling merasakan kehadiran satu sama lain.”
Setelah percakapan itu, mereka berdua memutuskan untuk memberi sedikit ruang satu sama lain. Tidak ada keputusan besar yang diambil, namun Alika merasa ada ketegangan yang belum terselesaikan. Perasaan cemas, takut, dan ragu datang silih berganti, dan ia mulai bertanya-tanya apakah hubungan mereka bisa bertahan dengan semua jarak dan perbedaan yang ada.
Damar pun merasa hal yang sama. Meskipun ia sangat ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama Alika, tetapi kenyataan hidupnya yang penuh dengan tekanan bisnis, rapat, dan perjalanan jauh membuatnya merasa terjepit. Kadang, ia merasa ingin menyerah dan mengakhiri hubungan ini agar tidak terus-terusan menambah rasa kecewa satu sama lain. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa begitu saja melepaskan perasaan yang sudah mulai tumbuh semakin dalam untuk Alika.
Malam demi malam, mereka berdua terjebak dalam perasaan rindu yang semakin memuncak, namun juga perasaan frustasi karena tidak bisa memberikan perhatian penuh. Meskipun begitu, mereka tidak ingin menyerah begitu saja. Mereka sepakat untuk terus berjuang, untuk mencari cara agar cinta mereka tetap hidup meskipun terpisah oleh jarak yang semakin lebar.
Namun, meskipun keputusan mereka untuk bertahan adalah pilihan yang tepat, keduanya tahu bahwa ujian terbesar dalam hubungan ini baru saja dimulai. Jarak, kesibukan, dan perasaan rindu yang tak tertahankan akan terus menguji kekuatan cinta mereka. Dan, pada akhirnya, mereka harus memutuskan apakah mereka cukup kuat untuk menghadapi semua itu, atau apakah cinta ini akan terhenti begitu saja di tengah perjalanan.*
Bab 3 Cinta Tanpa Kata
Minggu demi minggu berlalu dengan begitu cepat, dan meskipun Alika dan Damar berusaha untuk terus menjaga hubungan mereka, jarak tetap menciptakan dinding tak terlihat yang memisahkan mereka. Meskipun komunikasi melalui pesan teks dan panggilan video masih rutin, Alika mulai merasakan kehadiran Damar semakin kabur di kehidupannya. Mereka berbicara lebih sedikit tentang perasaan mereka dan lebih banyak tentang hal-hal praktis tentang pekerjaan, proyek, dan rutinitas sehari-hari. Hal-hal yang tidak melibatkan perasaan, yang tidak menuntut kerentanan atau komitmen lebih dalam.
Alika merasa ada yang hilang. Meskipun kata-kata manis masih ada, kehangatan yang ia rasakan dalam suara Damar mulai memudar, digantikan oleh keheningan yang semakin sering datang tanpa pemberitahuan. Suatu malam, setelah beberapa hari tidak ada percakapan mendalam, Alika duduk di balkon apartemennya, memandang langit malam Milan yang dihiasi dengan bintang-bintang. Ia merindukan perasaan dekat yang dulu sering mereka rasakan. Dulu, setiap panggilan telepon terasa seperti mereka benar-benar berada di satu tempat yang sama, berbagi dunia meskipun terpisah oleh ribuan kilometer. Tapi sekarang, percakapan mereka terasa semakin datar.
“Apa yang sebenarnya terjadi dengan kita?” pikir Alika, matanya menatap layar ponselnya yang menunjukkan daftar pesan yang belum dibaca, kebanyakan dari Damar yang masih belum sempat ia balas. Tidak ada yang benar-benar salah dengan hubungan mereka, tidak ada pertengkaran atau perbedaan besar. Tetapi, semakin lama mereka saling menjauh tanpa disadari. Mungkin, jarak ini bukan hanya tentang fisik, tetapi juga tentang perasaan yang mulai merenggang.
Lalu, pesan dari Damar muncul di layar ponselnya, menanggapi salah satu pesan singkat yang Alika kirimkan dua hari lalu.
Damar: “Maaf, aku nggak bisa balas lebih cepat. Aku benar-benar sibuk belakangan ini. Aku harap kamu baik-baik saja di sana. Aku kangen.”
Alika menatap pesan itu, perasaan campur aduk di hatinya. Di satu sisi, ia merasa lega karena Damar masih mengingatnya dan masih mencoba untuk berbicara. Tapi di sisi lain, ia merasa ada sesuatu yang hilang dalam pesan itu tidak ada kehangatan, tidak ada kedalaman yang ia harapkan. Itu hanya kata-kata kosong yang terasa hampa.
Dia membalas pesan itu dengan cepat, berusaha menyembunyikan rasa kecewanya.
Alika: “Aku baik-baik saja, hanya sedikit sibuk dengan pekerjaan. Aku juga kangen, Damar.”
Setelah beberapa menit, Damar membalas lagi, kali ini lebih panjang.
Damar: “Aku tahu kita jarang ngobrol belakangan ini. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu memikirkan kamu. Hanya saja, aku benar-benar terjebak dengan banyak hal di sini. Aku… nggak tahu bagaimana harus berkata-kata.”
Alika membacanya berulang kali, merasakan kerinduan yang begitu dalam, tetapi juga kesedihan yang tumbuh dalam dirinya. “Aku juga tidak tahu bagaimana berkata-kata,” jawabnya dalam hati. “Kita mulai terjebak dalam rutinitas ini, dalam dunia kita masing-masing.”
Keheningan panjang kembali menghantui mereka. Pada malam itu, Alika memutuskan untuk menutup ponselnya dan berjalan ke luar untuk beberapa waktu. Langkahnya terasa berat, pikirannya dipenuhi dengan keraguan. Sementara itu, Damar, di Jakarta, juga merasakan hal yang sama. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Setiap kali ia mencoba untuk membuka percakapan lebih dalam dengan Alika, ia merasa ada tembok yang menghalangi. Mereka mulai terjebak dalam kata-kata kosong yang tidak lagi mampu mengungkapkan perasaan mereka yang sesungguhnya.
Beberapa hari setelah itu, mereka berbicara lagi, namun kali ini percakapan mereka terasa lebih seperti rutinitas. Seperti dua orang yang terjebak dalam jarak yang terlalu panjang dan tidak tahu bagaimana cara mengatasi kesenjangan yang mulai terasa begitu lebar. Mereka berbicara tentang proyek masing-masing, tentang kota yang mereka tinggali, tentang apa yang mereka makan atau apa yang mereka lakukan hari itu. Semua hal yang tidak ada hubungannya dengan perasaan mereka satu sama lain.
“Damar,” suara Alika terdengar pelan pada malam itu saat mereka berbicara lewat video call, “Apa yang sebenarnya kita lakukan?”
Damar terdiam. Ia menatap wajah Alika melalui layar ponselnya, matanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. “Aku nggak tahu, Alika. Aku merasa kita berdua mulai kehilangan arah. Kita saling rindu, tapi entah kenapa, kata-kata kita nggak bisa lagi menyampaikan perasaan itu.”
Alika menelan ludah, merasakan perasaan yang sulit dijelaskan. “Kita mulai kehilangan cara untuk berbicara satu sama lain, ya?” gumamnya. “Dulu, meskipun kita hanya berkomunikasi lewat pesan dan telepon, aku selalu merasa dekat denganmu. Sekarang, sepertinya semua itu hanya… kebiasaan.”
Damar menundukkan kepalanya, merasa begitu tertekan. “Aku tahu, Alika. Aku merasa begitu juga. Tapi aku nggak tahu harus bagaimana. Aku masih sangat ingin bersama kamu, tapi aku juga merasa terjebak dalam kesibukanku sendiri.”
Mereka terdiam sejenak. Tidak ada kata-kata yang keluar, hanya suara napas mereka yang terdengar lewat layar. Seiring berjalannya waktu, mereka menyadari bahwa meskipun mereka masih saling merindukan, ada bagian dari hubungan mereka yang tidak bisa lagi diungkapkan dengan kata-kata. Ada jarak yang tidak hanya terlihat secara fisik, tetapi juga secara emosional. Mereka terjebak dalam sebuah ruang yang tidak bisa mereka keluar dari begitu saja—sebuah ruang yang dihuni oleh kerinduan yang tak terucapkan, oleh perasaan yang terpendam, oleh cinta yang tidak lagi dapat diterjemahkan dalam kata-kata.
Namun, di tengah kebingungan itu, ada sebuah perasaan yang lebih kuat dari semuanya keinginan untuk terus bertahan. Mereka tidak ingin melepaskan satu sama lain, meskipun kata-kata tidak lagi mampu menjembatani mereka. Mereka tahu, di dalam hati mereka, bahwa cinta ini tidak pernah benar-benar hilang. Cinta ini lebih dari sekadar kata-kata, lebih dari sekadar percakapan sehari-hari. Ini adalah cinta yang berbicara dalam keheningan, dalam tatapan yang penuh makna, dalam setiap tindakan kecil yang menunjukkan perhatian tanpa perlu diucapkan.
“Meskipun kita tidak bisa berbicara dengan cara yang kita inginkan,” kata Damar dengan lembut, “aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu ada untuk kamu. Bahkan jika aku tidak bisa selalu mengungkapkannya.”
Alika tersenyum kecil, matanya berbinar meski ada kerinduan yang begitu dalam. “Aku tahu, Damar. Aku juga selalu ada untukmu. Mungkin kita nggak perlu kata-kata untuk itu.”
Dan di sana, dalam keheningan yang penuh dengan perasaan tak terucapkan, mereka berdua merasa lebih dekat daripada sebelumnya.*
Bab 4 Cinta yang Tertunda
Beberapa bulan berlalu sejak percakapan mendalam antara Alika dan Damar yang menyadarkan mereka tentang jarak emosional yang telah tumbuh di antara mereka. Meskipun mereka tetap berusaha menjaga komunikasi, perasaan cemas dan keraguan terus menggerogoti hati Alika. Ia tahu Damar sangat sibuk dengan pekerjaannya di Jakarta, begitu juga dirinya yang semakin terjerat dalam dunia desain yang terus berkembang. Namun, semakin lama, Alika merasa ada sesuatu yang tertunda sesuatu yang selalu mereka tunda, dibicarakan atau diekspresikan dengan sepenuh hati.
Hari-hari berlalu tanpa pertemuan fisik, dan perasaan mereka semakin terjerat dalam ketidakpastian. Alika mulai bertanya-tanya apakah hubungan mereka benar-benar akan berlanjut, atau hanya sekadar menjadi kenangan indah yang akhirnya harus terhapus oleh waktu. Setiap kali mereka berbicara, selalu ada kebingungan yang sulit dijelaskan, sebuah ketidaksepakatan yang tidak jelas—bukan tentang apa yang mereka inginkan, tapi tentang bagaimana mereka bisa mewujudkannya.
Pada suatu malam, saat Alika sedang duduk di ruang tamu apartemennya, matanya terpaku pada layar ponsel yang menunjukkan notifikasi pesan masuk dari Damar. Hatinya berdebar, namun ada rasa ragu yang menggelayuti setiap langkah tangannya untuk membuka pesan tersebut. Setelah beberapa detik ragu, akhirnya dia membuka pesan itu.
Damar: “Alika, aku ingin bicara tentang sesuatu yang penting. Bisa nggak kita video call malam ini? Aku merasa banyak yang perlu dijelaskan.”
Kata-kata itu begitu berat. Sesuatu dalam diri Alika merasakan adanya ketegangan di antara mereka, dan dia tahu, ini bukan sekadar percakapan biasa. Mungkin inilah saat yang sudah lama mereka hindari saat dimana mereka harus menghadapi kenyataan tentang hubungan mereka yang terhambat oleh jarak, waktu, dan kesibukan.
Alika mengambil napas panjang, lalu membalas pesan itu dengan tangan yang sedikit gemetar.
Alika: “Tentu, Damar. Aku tunggu, ya.”
Beberapa saat kemudian, layar ponselnya menyala, menampilkan wajah Damar yang terlihat lelah, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang berbeda malam itu sesuatu yang membuat Alika merasakan kegelisahan di dalam dadanya.
“Hey,” Damar menyapa dengan senyum tipis, meskipun matanya terlihat penuh dengan pertanyaan yang tak terucapkan. “Kamu baik-baik saja?”
Alika mengangguk pelan, meskipun ada perasaan tidak nyaman yang menyelubungi hatinya. “Aku baik-baik saja. Cuma sedikit lelah akhir-akhir ini. Bagaimana denganmu? Sepertinya kamu juga terlihat capek.”
Damar tersenyum pahit, mengusap wajahnya sebelum akhirnya menjawab. “Aku merasa lelah, Alika. Tapi itu bukan cuma karena pekerjaan. Ada hal lain yang membuatku tertekan.” Dia berhenti sejenak, seakan ragu untuk melanjutkan.
Alika menunggu dengan sabar, menatap mata Damar yang tidak bisa lagi menyembunyikan kerisauan yang ada di sana. “Apa itu, Damar?” tanyanya perlahan.
Damar menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan kata-kata yang sulit ia ungkapkan. “Aku rasa aku sudah mulai sadar, Alika. Kita sudah lama saling berhubungan, tapi aku merasa aku mulai kehilangan arah. Aku ingin hubungan ini berkembang, aku ingin kita lebih dari sekadar berhubungan lewat pesan atau telepon. Aku ingin kita bisa saling bertemu, saling berbagi kehidupan lebih banyak. Tapi… aku takut aku tidak bisa memenuhi harapan itu.”
Alika mendengarkan dengan hati yang berat. Ada perasaan yang mengganjal di dalam dirinya, perasaan yang seolah menunggu untuk dibicarakan, namun terlalu sulit untuk diterjemahkan dalam kata-kata.
“Damar…” suara Alika terdengar lebih lemah dari biasanya. “Aku juga merasakannya. Aku rindu kamu. Tapi…” Alika berhenti, matanya sedikit basah, dan dia menundukkan kepala, berusaha menahan emosi yang mulai meluap.
“Tapi, aku merasa seperti kita terjebak. Terjebak dalam situasi yang tidak bisa kita kontrol. Aku takut kita hanya akan menjadi kenangan, Damar. Aku takut kita tidak pernah punya kesempatan untuk saling berjuang, untuk menghadapi jarak ini. Kita sudah lama tertunda. Kita sudah lama menunda perasaan ini, menunda untuk benar-benar memperjuangkan apa yang kita inginkan.”
Damar terdiam. Kata-kata Alika menyentuhnya lebih dalam dari yang dia bayangkan. Dia tahu bahwa Alika benar. Mereka telah menunda begitu banyak hal—pertanyaan tentang masa depan, tentang bagaimana mereka akan mengatasi jarak, tentang apakah mereka akan bertemu kembali atau hanya melanjutkan hubungan ini sebagai kenangan. Mereka telah menunda untuk berbicara tentang perasaan mereka yang sebenarnya. Dan sekarang, waktunya sudah tiba.
“Aku tahu, Alika,” Damar akhirnya berkata dengan suara rendah. “Aku juga takut. Aku takut kita akan berakhir seperti hubungan-hubungan lain yang terhalang oleh jarak. Tapi, aku tidak ingin kehilangan kamu. Aku tidak ingin hubungan ini berhenti di sini, hanya karena kita tidak bisa memutuskan apa yang kita inginkan.”
Mendengar kata-kata itu, hati Alika terasa berat, namun juga ada rasa lega yang datang bersamaan. Damar juga merasakannya. Mereka tidak lagi ingin menunda-nunda perasaan ini. Mereka ingin memperjuangkan cinta mereka, bahkan jika itu berarti harus menghadapi kenyataan yang lebih sulit—bahwa jarak, waktu, dan kesibukan mungkin akan terus menjadi bagian dari hidup mereka. Tetapi, meskipun begitu, mereka tidak ingin membiarkan itu menghancurkan apa yang telah mereka bangun.
“Aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi, Damar,” kata Alika dengan suara penuh tekad. “Aku ingin kita membuat keputusan. Jika kita ingin melanjutkan ini, kita harus berkomitmen untuk bertemu, untuk saling berjuang. Kita tidak bisa terus menghindari kenyataan.”
Damar mengangguk, wajahnya menunjukkan bahwa ia sudah membuat keputusan yang sama. “Aku setuju, Alika. Aku tidak akan membiarkan jarak ini menjadi penghalang. Kita akan cari cara untuk bertemu. Kita akan mencari waktu untuk saling mendukung, meskipun itu sulit. Aku janji, kita tidak akan membiarkan cinta ini tertunda lagi.”
Mereka berdua saling menatap dengan penuh pengertian. Meskipun mereka masih terpisah oleh jarak, dan meskipun perjalanan ini tidak akan mudah, mereka tahu satu hal mereka tidak akan membiarkan cinta mereka berhenti hanya karena ketakutan akan jarak atau waktu yang tidak terduga.
Dengan keputusan itu, sebuah babak baru dalam hubungan mereka dimulai. Tidak ada lagi yang namanya cinta yang tertunda. Mereka akan memperjuangkannya, bahkan jika itu berarti harus melewati tantangan yang jauh lebih besar. Namun, mereka tahu bahwa jika mereka bisa bertahan dan berjuang bersama, cinta ini akan menjadi lebih kuat dari apapun yang menghalangi mereka.*
Bab 5 Menghitung Hari
Sejak keputusan besar yang mereka buat untuk tidak menunda-nunda lagi, Alika dan Damar mulai merencanakan langkah mereka selanjutnya. Mereka tidak ingin lagi terjebak dalam rutinitas tanpa akhir yang penuh ketidakpastian. Kini, mereka memiliki tujuan yang jelas—bertemu dan membuktikan bahwa cinta mereka tidak hanya bisa bertahan melalui pesan atau panggilan video, tetapi bisa hidup dan berkembang dalam kenyataan. Namun, perjalanan itu tentu tidak mudah. Jarak dan waktu tetap menjadi tantangan besar, dan mereka harus lebih sabar dan lebih bijaksana dalam menghadapi kenyataan ini.
Alika, yang dulu merasa cemas dan ragu, kini merasa ada harapan yang menyala kembali dalam hatinya. Setiap pagi, ketika ia membuka matanya, ia selalu merasa lebih dekat dengan Damar, meskipun mereka masih berjarak ribuan kilometer. Setiap pesan, setiap video call, terasa seperti pengingat bahwa mereka sedang menuju sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang lebih nyata.
Namun, meskipun ada keyakinan yang tumbuh, perasaan rindu yang tak tertahankan tidak bisa dihindari. Setiap kali ia memikirkan Damar, Alika merasa waktu bergerak begitu lambat. Hari-hari terasa lebih panjang, dan setiap detik terasa seperti hitungan mundur menuju pertemuan mereka yang dijanjikan.
Pagi itu, Alika duduk di meja kerjanya, menatap kalender di layar komputer. Ada sesuatu yang berbeda. Di setiap tanggal yang berdekatan dengan hari pertemuan yang mereka rencanakan, ada lingkaran merah besar yang Alika buat untuk menandai hari-hari penting. Semakin mendekati tanggal tersebut, ia merasa semakin tidak sabar. Sebuah tanggal yang sebelumnya hanya terlihat seperti angka biasa kini menjadi sesuatu yang penuh makna—hari itu adalah hari ketika ia dan Damar akan bertemu, akhirnya. Mereka berdua sepakat untuk mengatur waktu libur mereka agar bisa bertemu di Bali, tempat yang mereka pilih sebagai lokasi pertemuan pertama mereka setelah bertahun-tahun terpisah.
“Hanya beberapa minggu lagi, Alika,” pikirnya. “Hanya beberapa minggu…”
Namun, meskipun ia berusaha tidak terlalu terlarut dalam kegembiraan itu, perasaan cemas tetap ada. Terkadang, ia merasa takut jika pertemuan itu tidak sesuai dengan harapannya, atau jika kenyataan tidak seindah yang dibayangkan. Ketika perasaan itu datang, ia sering kali menatap foto Damar di ponselnya, yang selalu mengingatkannya pada janjinya untuk tidak pernah menyerah. Foto itu diambil beberapa bulan lalu, ketika mereka pertama kali berbicara tentang rencana pertemuan ini. Damar tersenyum lebar, matanya memancarkan kebahagiaan yang sulit dijelaskan. Pada saat itu, Alika merasa yakin bahwa pertemuan ini akan menjadi titik awal dari babak baru dalam hidup mereka. Tetapi, sekarang, rasa cemas itu muncul begitu saja.
Di sisi lain, Damar juga merasakan hal yang sama. Setiap kali ia melihat foto Alika yang ia simpan di ponselnya, ia merasakan perasaan yang campur aduk—antara kebahagiaan karena sebentar lagi mereka akan bertemu, dan ketakutan karena ia tidak tahu bagaimana pertemuan itu akan terjadi. Mereka berdua sudah terjebak dalam dunia digital begitu lama, dan meskipun mereka merasa saling mengenal, pertemuan fisik selalu memiliki tantangan tersendiri. Bagaimana jika kehadiran mereka yang nyata berbeda dengan apa yang mereka bayangkan? Bagaimana jika perasaan itu tidak seperti yang mereka harapkan?
Namun, setiap kali ia teringat tentang Alika—senyum cerahnya, semangatnya, bahkan caranya berbicara ia merasa bahwa semua keraguan itu akan hilang begitu mereka akhirnya bertemu. “Kita bisa melaluinya, Alika. Kita sudah sampai sejauh ini. Tidak ada yang bisa menghentikan kita,” pikirnya penuh keyakinan.
Setiap hari, Damar juga menghitung hari. Ia menandai kalendernya dengan garis merah, mengingatkan dirinya sendiri tentang hari yang penuh harapan itu. Namun, pada suatu malam yang dingin di Jakarta, saat ia sedang duduk di kantor, perasaan cemas datang menghampiri lagi. Proyek-proyek besar yang ia kerjakan membuatnya semakin sibuk, dan kadang-kadang ia merasa seperti terjebak dalam rutinitas yang tak ada habisnya. Tugas yang satu datang setelah tugas yang lain, dan setiap kali ia mencoba untuk fokus pada rencananya dengan Alika, pekerjaan seakan terus menggerogoti waktunya. Ia merasa ada kecemasan yang datang apakah ia bisa membuat semuanya berjalan lancar? Apakah pertemuan ini akan terjadi seperti yang mereka impikan?
Ia menatap layar ponselnya yang menunjukkan pesan singkat dari Alika.
Alika: “Gimana, Damar? Semakin dekat, kan? Aku nggak sabar.”
Damar tersenyum kecil, merasa ada ketenangan dalam kata-kata itu. Meskipun perasaan cemasnya sering datang begitu saja, Alika selalu berhasil menenangkan hatinya dengan cara yang sederhana. Ia membalas pesan itu.
Damar: “Aku juga nggak sabar. Hanya beberapa hari lagi, Alika. Kita akan melaluinya bersama.”
Alika membalas dengan cepat, menuliskan kalimat yang sudah sering mereka ucapkan, tetapi entah mengapa tetap terasa menyentuh hati.
Alika: “Aku percaya kita bisa, Damar.”
Di tengah kesibukannya, Damar merasa ada secercah harapan. Setiap hari, semakin mendekati pertemuan mereka, hatinya terasa semakin penuh dengan semangat. Meskipun ada kekhawatiran yang datang, ia tahu bahwa pertemuan itu akan menjadi momen yang sangat berarti bagi mereka berdua. Momen di mana mereka akan mengakhiri jarak yang terlampau panjang dan akhirnya saling merasakan kehadiran secara langsung.
Hari-hari terus berjalan, dan meskipun perasaan cemas itu datang silih berganti, Alika dan Damar berusaha untuk tetap optimis. Mereka tahu bahwa cinta mereka tidak hanya bisa dihitung dengan detik atau jam. Cinta mereka lebih dari itu. Cinta ini sudah teruji oleh waktu, teruji oleh jarak, dan semakin dekat menuju kenyataan. Mereka hanya perlu sedikit lagi untuk melewati hari-hari penuh keraguan itu, dan akhirnya berada di tempat yang sama, di waktu yang sama, untuk memulai babak baru dalam kehidupan mereka bersama.*
Bab 6 Cinta Tanpa Batas Jarak
Akhirnya, hari yang mereka tunggu-tunggu datang juga. Setelah berbulan-bulan menahan rindu, menghitung hari, dan bertahan dengan segala kecemasan yang mereka rasakan, Alika dan Damar kini berdiri di titik yang sama di Bali. Tempat yang mereka pilih sebagai destinasi pertemuan pertama setelah sekian lama. Semua perasaan yang selama ini tertahan kini seakan meledak dalam bentuk kebahagiaan yang tak terbendung.
Alika memandangi pemandangan laut Bali yang biru, dengan angin laut yang menyapu lembut rambutnya. Ia merasa gugup, namun juga sangat bersemangat. Dalam hatinya, dia tidak bisa berhenti berpikir, “Ini nyata. Akhirnya, kita benar-benar akan bertemu.” Setelah berbulan-bulan hanya bisa merasakan kehadiran Damar melalui layar, hari ini, mereka akan merasakan kehadiran itu secara langsung. Semua pertanyaan dan ketakutan yang ia rasakan apakah mereka akan merasa canggung atau apakah perasaan itu tetap sama setelah bertemu semuanya akan terjawab malam ini.
Sementara itu, Damar sedang dalam perjalanan menuju tempat pertemuan mereka. Perasaan gugup juga menggerogotinya, meskipun ia sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Dia menatap jalanan Bali yang padat dengan kendaraan, namun pikirannya penuh dengan gambar-gambar tentang Alika tentang senyumnya, tentang cara dia berbicara, tentang setiap percakapan yang mereka punya selama ini. Damar tahu bahwa ini adalah momen yang sangat besar bagi mereka. Ini bukan hanya tentang bertemu setelah jarak yang begitu jauh, tetapi juga tentang mengonfirmasi bahwa cinta yang mereka rasakan bukan hanya ilusi. Ini adalah tentang mengubah mimpi menjadi kenyataan, tentang mengakhiri semua ketidakpastian yang mengiringi hubungan jarak jauh mereka.
Setibanya di tempat yang telah mereka tentukan, Damar melihat Alika sudah berdiri di depan pintu masuk restoran dengan ekspresi yang tidak bisa ia terjemahkan. Alika mengenakan gaun putih sederhana yang membuatnya tampak anggun, namun senyum di wajahnya adalah hal yang paling mencuri perhatian Damar. Wajahnya bersinar dengan kebahagiaan, tetapi juga ada keraguan yang samar terlihat di matanya. Damar merasakan hal yang sama.
“Alika…” Damar mendekat dengan langkah hati-hati, seolah takut melukai momen yang sudah lama ia tunggu-tunggu. Mata mereka bertemu, dan untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap, tidak berkata-kata. Dunia di sekitar mereka seperti berhenti, dan hanya ada mereka berdua.
Alika menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan emosi yang hampir tak tertahankan. “Damar…” kata-katanya tertahan, karena ia merasa cemas apakah semuanya akan seperti yang ia harapkan.
Namun, sebelum keraguan itu sempat menguasai mereka, Damar melangkah lebih dekat dan meraih tangannya dengan lembut. “Kita akhirnya di sini,” bisiknya, dan dalam suara itu, Alika merasakan kehangatan yang selama ini hanya ia rasakan lewat suara Damar di telepon. Kini, semuanya nyata. Tidak ada lagi jarak yang memisahkan mereka. Mereka berdua ada di sini, bersama, di satu tempat yang penuh kenangan dan harapan.
Alika menatap Damar dengan penuh perasaan. “Aku hampir tidak percaya ini nyata, Damar. Setelah semua waktu yang kita habiskan menunggu, menghitung hari-hari, akhirnya kita berdiri di sini bersama.”
Damar tersenyum, matanya penuh dengan perasaan yang dalam. “Aku juga tidak bisa percaya, Alika. Tapi aku tahu, ini adalah saat yang tepat. Kita berdua sudah melewati begitu banyak hal untuk sampai ke sini. Dan aku yakin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.”
Keduanya berjalan bersama menuju restoran yang telah mereka pilih, dengan hati yang penuh kebahagiaan dan semangat baru. Saat mereka duduk di meja yang sudah disiapkan dengan indah, mereka mulai berbicara tentang segala hal tentang perasaan mereka yang selama ini terpendam, tentang apa yang telah mereka pelajari dari hubungan jarak jauh, dan tentang bagaimana perasaan mereka tentang masa depan.
“Aku selalu merasa dekat denganmu, meskipun kita terpisah oleh jarak,” kata Alika, menatap Damar dengan penuh kehangatan. “Namun, ketika akhirnya kita bertemu, aku merasa ada yang berbeda. Rasanya seperti kita sudah saling mengenal sejak lama, bahkan lebih dari itu.”
Damar mengangguk pelan, tangannya meraih tangan Alika di meja. “Aku merasa hal yang sama. Cinta kita selalu ada, meskipun tidak bisa selalu kita ungkapkan dengan kata-kata. Tapi malam ini, aku merasa semuanya lebih nyata. Kita berada di sini, bersama, dan itu yang terpenting.”
Mereka berbicara lebih banyak, tertawa bersama, dan merasakan kedekatan yang tak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata. Semua kekhawatiran dan kecemasan yang mereka miliki sebelumnya kini terasa seperti hal kecil yang tidak terlalu berarti. Apa yang penting adalah bahwa mereka akhirnya berada di tempat yang sama, menjalani momen yang mereka impikan selama ini.
Saat malam semakin larut, mereka berjalan di sepanjang pantai, merasakan angin laut yang lembut menyentuh kulit mereka. Langit Bali yang penuh bintang menemani langkah mereka. Alika menggandeng tangan Damar, dan dalam keheningan itu, mereka merasa lebih dekat dari sebelumnya. Tidak ada lagi jarak yang memisahkan mereka, tidak ada lagi ketakutan tentang apakah cinta ini akan bertahan atau tidak. Semua keraguan yang sempat ada kini telah menghilang, digantikan oleh keyakinan bahwa cinta mereka kuat lebih kuat dari jarak, lebih kuat dari waktu.
“Damar,” Alika berkata perlahan, suaranya penuh dengan kehangatan, “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tapi aku yakin kita bisa menghadapi semuanya bersama. Tidak ada jarak yang bisa menghalangi kita.”
Damar menatap Alika dengan tatapan penuh kasih, kemudian menariknya lebih dekat. “Aku juga merasa begitu. Cinta kita tidak terbatas oleh jarak. Jarak hanya menguji kita, dan kita sudah melewatinya. Sekarang, kita akan menghadapinya bersama, tidak ada lagi batasan.”
Mereka berdiri di sana, saling memandang satu sama lain, dengan hati yang penuh rasa cinta dan harapan. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi rasa takut. Semua yang mereka butuhkan sekarang ada di sini di dalam hati mereka yang saling terhubung, tanpa batas jarak, tanpa batas waktu.***
————-THE END————