Daftar Isi
BAB 1: Perkenalan yang Tak Terduga
Arina berjalan menyusuri koridor panjang gedung perkantoran yang sibuk, langkah kakinya terasa berat, namun ia tetap melanjutkan rutinitas harian seperti biasa. Seperti biasa, ia tiba di kantornya lebih awal untuk memulai pekerjaan desain grafis yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama beberapa tahun terakhir. Hidupnya terasa seperti roda yang berputar di jalur yang sama setiap hari—membuka laptop, menyelesaikan proyek, berinteraksi dengan kolega, dan akhirnya pulang ke rumah untuk beristirahat, hanya untuk mengulangnya kembali esok hari.
Namun, hari itu berbeda. Hari itu, ada sesuatu yang tak terduga menanti di balik pintu ruang kerjanya. Seperti kebiasaan yang sudah terbentuk selama bertahun-tahun, Arina memulai harinya dengan memeriksa email dan menyiapkan desain untuk klien yang sudah menunggu. Suasana kantor terasa lebih riuh dari biasanya, mungkin karena adanya acara gathering perusahaan yang akan berlangsung sore itu. Semua karyawan terlihat sibuk mempersiapkan segalanya. Arina yang lebih memilih untuk menyendiri, menghabiskan waktu di meja kerjanya.
Tiba-tiba, seseorang masuk ke ruang kerjanya. Arina menoleh, dan matanya bertemu dengan mata seorang pria yang baru pertama kali ia lihat. Sosok itu mengenakan jas hitam rapi dengan dasi yang sempurna, rambutnya yang tertata rapi menambah kesan profesional di dirinya. Pria itu tersenyum sambil membawa map berisi dokumen.
“Selamat pagi, Arina,” sapa pria itu dengan suara yang terdengar hangat dan ramah.
Arina terkejut mendengar namanya disebut, namun ia segera tersadar bahwa pria itu adalah Reza, seorang pria yang bekerja di divisi keuangan—sebuah divisi yang jarang berinteraksi langsung dengan divisi desain grafis tempat Arina bekerja. Reza baru saja bergabung dengan perusahaan ini beberapa bulan yang lalu, dan meskipun sudah ada banyak pertemuan antar divisi, Arina merasa tidak pernah benar-benar berkenalan dengannya.
“Selamat pagi, Reza,” jawab Arina, sedikit kikuk, karena ia tidak tahu harus berbicara apa. “Ada yang bisa saya bantu?”
Reza tertawa kecil, membuat Arina merasa lebih nyaman. “Sebenarnya saya hanya ingin menyerahkan beberapa dokumen untuk keperluan laporan keuangan. Bos meminta saya untuk segera memeriksanya dengan tim desain, apakah bisa mencetak beberapa dokumen dengan desain terbaru,” katanya sambil meletakkan map di meja Arina.
Arina mengangguk, mengambil map tersebut, dan membuka beberapa halaman yang berisi materi yang perlu ia kerjakan. Di tengah keheningan yang agak canggung, Arina bisa merasakan aura positif yang dipancarkan Reza. Ada sesuatu yang berbeda tentang pria ini, sesuatu yang menarik perhatian Arina meskipun ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya. Ia selalu berusaha menjaga jarak dengan orang-orang di kantor, terutama pria, karena tidak ingin terjebak dalam drama yang tak perlu.
Namun, meskipun berusaha menenangkan diri, Arina tak bisa mengabaikan bagaimana Reza terus tersenyum ramah padanya. Ada rasa yang tak bisa ia jelaskan, seperti magnet yang menariknya untuk berbicara lebih banyak, untuk lebih mengenal sosok pria yang tampaknya sangat sopan dan cerdas ini. Namun, karena ia sangat berhati-hati, Arina hanya bisa mengangguk dan berkata, “Terima kasih, saya akan segera mengurusnya.”
“Senang bisa bertemu denganmu, Arina,” kata Reza sebelum berbalik dan berjalan menuju pintu. “Saya tunggu kabar dari kamu ya.”
Arina hanya mengangguk, meski hatinya sedikit berdebar. Entah mengapa, setelah pertemuan singkat itu, ia merasa sedikit lebih bersemangat. Pekerjaannya yang seharusnya membosankan kini terasa berbeda. Ada perasaan baru yang mulai tumbuh dalam dirinya—perasaan yang sulit untuk dipahami, tetapi ia tahu bahwa itu adalah sesuatu yang lebih dari sekadar rasa penasaran.
Setelah Reza pergi, Arina melanjutkan pekerjaannya dengan cepat, meskipun pikirannya tak bisa sepenuhnya fokus. Ia berusaha untuk kembali pada rutinitas sehari-hari, namun bayangan senyum Reza terus menghantuinya. Ia tahu itu hanya pertemuan singkat, tetapi ada sesuatu yang membuat perasaan itu tak bisa begitu saja hilang.
Hari itu, waktu berjalan lambat. Meski sibuk, Arina merasa ada semacam ketegangan yang tak bisa ia jelaskan. Pukul lima sore, tiba saatnya bagi seluruh karyawan untuk berkumpul di ruang acara perusahaan. Arina berjalan menuju ruang tersebut, sedikit enggan, karena ia lebih suka bekerja daripada bergaul dalam acara seperti ini. Namun, kali ini ia merasa sedikit lebih tertarik, terutama karena pertemuan dengan Reza yang membuatnya merasa tidak biasa.
Saat ia tiba di ruang acara, ia melihat Reza sedang berbicara dengan beberapa rekan kerja. Tak sengaja, mata mereka bertemu, dan Arina merasa wajahnya sedikit memerah. Reza tersenyum dan melambaikan tangan padanya. Tanpa disadari, Arina membalas lambaian tangan itu dan merasa sedikit canggung. Namun, Reza mendekatinya, kali ini tanpa rasa malu, dan menawarkan minuman.
“Apa kabar? Semoga hari ini tidak terlalu sibuk,” kata Reza dengan santai, seolah-olah mereka sudah lama mengenal satu sama lain.
Arina tersenyum, merasa nyaman dengan sikapnya yang begitu terbuka. “Semuanya berjalan lancar. Terima kasih sudah membantu dengan dokumennya.”
Malam itu, perbincangan mereka semakin mengalir, seolah keduanya sudah lama berteman. Ternyata, Reza adalah pribadi yang sangat menarik, dengan banyak cerita tentang perjalanan hidupnya. Ia adalah seorang pria yang tampaknya sangat mandiri dan berpengetahuan luas, tetapi juga punya sisi lembut yang sangat jarang ditunjukkan. Tanpa sadar, Arina merasa semakin tertarik padanya, dan perasaan itu semakin sulit untuk disangkal.
Malam itu berakhir dengan senyuman di wajah keduanya. Meskipun keduanya tahu bahwa pertemuan mereka masih terbilang baru dan penuh ketidakpastian, mereka tak bisa menahan kenyataan bahwa ada ikatan yang tak terucapkan di antara mereka. Sebuah perkenalan yang tak terduga, yang mungkin saja akan membawa mereka pada cerita yang lebih besar dari yang mereka bayangkan.*
BAB 2: Cinta yang Tumbuh Diam-Diam
Hari-hari berlalu dengan cepat setelah pertemuan pertama antara Arina dan Reza. Seiring berjalannya waktu, perasaan yang semula hanya sekadar ketertarikan yang ringan mulai tumbuh menjadi sesuatu yang lebih mendalam. Arina, yang biasanya begitu tertutup dengan perasaan, merasa cemas dan bingung. Ia selalu mencoba untuk menjaga jarak, menghindari keterlibatan emosional yang bisa mengganggu ketenangannya. Namun, kehadiran Reza dalam hidupnya seperti sebuah badai yang perlahan-lahan mengubah segalanya.
Setiap kali mereka bertemu di kantor, Arina merasakan gelombang perasaan yang sulit dijelaskan. Senyum Reza yang hangat, tatapan matanya yang penuh perhatian, dan cara dia berbicara dengan lembut membuat hatinya berdegup lebih cepat. Bahkan ketika mereka hanya berbincang-bincang santai tentang pekerjaan atau hal-hal remeh, Arina merasa seolah dunia berhenti berputar dan hanya ada mereka berdua. Meski begitu, Arina berusaha untuk tidak terlalu menunjukkan ketertarikannya. Ia takut jika perasaan ini diketahui oleh orang lain, terutama Reza, karena ia takut perasaan itu hanya akan menjadi sebuah ilusi belaka.
Namun, meskipun berusaha untuk menjaga jarak, Arina tak bisa menepis kenyataan bahwa setiap kali mereka berbicara, hatinya selalu merasa hangat. Sementara itu, Reza pun tampaknya mulai menunjukkan perhatian lebih. Setiap kali mereka bertemu di ruang kantor, dia selalu mencari kesempatan untuk berbicara dengan Arina, bahkan jika hanya untuk sekadar menanyakan bagaimana hari Arina berjalan. Kadang-kadang, mereka berbincang tentang proyek-proyek yang sedang dikerjakan, atau tentang hal-hal kecil di luar pekerjaan yang membuat Arina merasa lebih dekat dengannya.
Salah satu sore, setelah pertemuan tim yang melelahkan, Arina duduk sendiri di meja kerjanya, mengerjakan beberapa tugas desain yang menumpuk. Tiba-tiba, ia merasa ada seseorang yang berdiri di sampingnya. Saat menoleh, Arina melihat Reza yang tersenyum padanya.
“Pusing setelah rapat panjang?” tanya Reza, suaranya ringan dan hangat.
Arina mengangguk pelan, merasa sedikit terkejut oleh perhatian Reza. “Sedikit. Banyak hal yang harus diselesaikan.”
Reza tersenyum lebar. “Kalau begitu, kenapa tidak istirahat sejenak? Aku akan menemanimu makan siang nanti.”
Arina terdiam sejenak, bingung. Biasanya, ia lebih suka makan sendirian, menikmati waktu istirahatnya sendiri. Namun, ada sesuatu yang membuatnya ragu untuk menolak tawaran Reza. Ada kenyamanan dalam cara Reza berbicara, dan entah mengapa, Arina merasa tidak ingin menolak. Setelah beberapa detik berpikir, akhirnya ia mengangguk.
“Baiklah, tapi hanya sebentar.”
Mereka berdua pergi ke kafe terdekat, duduk di meja pojok yang cukup tenang. Reza memesan kopi, sementara Arina memilih teh hijau kesukaannya. Selama makan, mereka mulai berbicara lebih banyak tentang kehidupan masing-masing. Reza menceritakan bagaimana ia memutuskan untuk bekerja di perusahaan itu setelah beberapa tahun bekerja di luar negeri. Ia berbicara tentang tantangan yang dihadapinya dan betapa ia menikmati pekerjaan yang penuh tantangan ini. Arina, di sisi lain, berbicara tentang pekerjaannya di divisi desain grafis, bagaimana ia menyukai seni dan desain, serta impiannya untuk suatu hari bisa memiliki studio desain sendiri.
Ada percakapan yang lebih dalam antara mereka, yang membuat Arina merasa semakin dekat dengan Reza. Tanpa disadari, ia mulai melupakan keraguannya. Ia merasa nyaman berada di dekatnya, merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan biasa. Reza tidak hanya mendengarkan, tetapi juga memberi perhatian pada setiap kata yang Arina ucapkan. Keberadaannya seolah memberikan rasa tenang yang jarang ia temui.
Semakin sering mereka bertemu, semakin dalam perasaan yang tumbuh dalam diri Arina. Reza tidak pernah memaksanya untuk lebih terbuka, tetapi sikapnya yang penuh perhatian membuat Arina merasa seolah-olah ia bisa menjadi dirinya sendiri. Namun, meskipun hatinya semakin merasa tertarik, Arina tetap mencoba untuk tidak terlalu membiarkan perasaan itu berkembang. Ia tidak ingin terjebak dalam hubungan yang mungkin hanya berujung pada kekecewaan.
Suatu hari, setelah beberapa minggu berjalan, Arina merasa semakin bingung dengan perasaannya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus menghindari perasaan ini, tetapi ia juga tidak ingin jatuh cinta pada seseorang yang mungkin tidak merasakan hal yang sama. Tiba-tiba, ketika mereka berdua sedang duduk bersama di ruang makan kantor, Reza membuka pembicaraan yang tak terduga.
“Arina, aku ingin memberitahumu sesuatu,” kata Reza dengan suara yang sedikit lebih serius dari biasanya. Arina menoleh, merasa hatinya berdegup lebih cepat. Ia merasa gugup, tak tahu apa yang akan dikatakan Reza.
“Apa itu?” tanya Arina dengan lembut.
Reza menarik napas panjang. “Aku tahu kita sudah cukup dekat selama ini, dan aku ingin memastikan kalau aku tidak salah paham tentang perasaanmu. Aku… aku merasa ada sesuatu di antara kita, sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan atau rekan kerja. Tapi aku ingin tahu bagaimana perasaanmu.”
Mendengar kata-kata Reza, Arina merasa seperti terdiam sejenak. Hatinya mulai berdebar dengan kencang. Ia tahu bahwa perasaan yang ia rasakan bukan hanya sekadar rasa kagum atau kekaguman terhadap sosok Reza. Ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persahabatan.
Namun, Arina juga merasa takut. Takut untuk membuka hatinya, takut jika itu hanya akan menjadi sebuah pengkhianatan terhadap dirinya sendiri, atau bahkan kepada orang lain yang mungkin sudah memiliki tempat dalam hidupnya.
“Aku… aku juga merasa ada sesuatu yang berbeda,” jawab Arina dengan suara yang pelan, mencoba untuk mengungkapkan perasaannya yang semula terpendam. “Tapi aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan perasaan ini.”
Reza tersenyum lembut, dan Arina bisa merasakan ketulusan dalam senyumnya. “Aku hanya ingin kamu tahu, Arina. Aku siap menunggu sampai kamu siap.”
Kalimat itu membuat Arina terdiam. Mungkin, untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian dalam perasaan ini. Cinta yang tumbuh diam-diam, tanpa direncanakan, tanpa dipaksa. Ia hanya tahu satu hal: perasaan ini, entah bagaimana, mulai mengikat hatinya pada Reza.*
BAB 3: Konflik Batin dan Pilihan Sulit
Hari-hari setelah pengakuan Reza membuat Arina terombang-ambing dalam perasaannya. Ia merasa seolah berada di tengah badai yang tak bisa ia hindari. Di satu sisi, ia ingin sekali membuka hatinya untuk Reza, tetapi di sisi lain, hatinya dipenuhi dengan keraguan dan ketakutan akan konsekuensi yang mungkin datang. Konflik batin yang tak kunjung reda membuat setiap langkahnya terasa lebih berat dari biasanya.
Arina selalu berusaha untuk terlihat tenang di depan Reza, namun di dalam dirinya, perasaan itu terus berperang. Ia teringat saat pertama kali bertemu dengan Reza—senyumannya yang ramah, tatapannya yang penuh perhatian, dan cara dia berbicara yang selalu membuatnya merasa dihargai. Sejak saat itu, ia tahu ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan biasa antara dua rekan kerja. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa hubungan mereka adalah sebuah pelanggaran terhadap prinsip hidupnya. Arina selalu percaya pada batasan-batasan yang jelas, terutama dalam hubungan dengan rekan kerja. Ia tidak ingin perasaan ini merusak semuanya.
Namun, semakin Arina berusaha menahan perasaannya, semakin ia merasa sulit untuk menjaga jarak. Setiap pertemuan dengan Reza membuatnya semakin terikat, semakin merasa ada sesuatu yang tak bisa diabaikan. Dan setiap kali mereka berbicara, perasaan itu semakin kuat. Reza tak hanya perhatian, tetapi ia juga menunjukkan sisi-sisi lembutnya yang membuat Arina merasa nyaman. Di luar pekerjaan, Reza sering mengajaknya berbicara tentang banyak hal—tentang impian, tentang masa depan, bahkan tentang hal-hal pribadi yang jarang ia bagikan kepada orang lain. Arina merasa dihargai, dan itu membuatnya terjebak dalam perasaan yang semakin dalam.
Namun, ketakutan tetap menguasainya. Ia tahu bahwa dalam dunia kerja, hubungan seperti ini bisa menjadi bumerang. Tidak hanya bisa merusak profesionalisme, tetapi juga berisiko menimbulkan gosip dan masalah yang lebih besar. Arina tahu betul bahwa jika hubungan ini diketahui orang lain, bisa jadi akan merusak reputasi dan karier yang telah ia bangun dengan susah payah. Ia merasa terjepit dalam sebuah dilema yang sulit untuk diselesaikan.
Malam itu, setelah seharian bekerja keras, Arina duduk di kamarnya sambil menatap layar ponselnya. Reza baru saja mengirimkan pesan singkat, mengajaknya makan malam di luar untuk berbicara lebih lanjut. Arina menatap pesan itu lama, ragu-ragu. Di satu sisi, ia ingin sekali menerima ajakan itu, ingin mendengar lebih banyak tentang perasaan Reza, dan mungkin bahkan mengungkapkan perasaannya yang sudah sejak lama terpendam. Namun, di sisi lain, ia merasa bahwa ini adalah langkah yang sangat berisiko.
Arina memejamkan matanya, mencoba meredakan gejolak perasaan yang menghampirinya. Sejak kecil, ia selalu diajarkan untuk membuat keputusan yang rasional, keputusan yang tidak akan menjerumuskannya ke dalam kesalahan besar. Menjalin hubungan dengan seseorang yang memiliki posisi yang sama di tempat kerja bukanlah keputusan yang bijak, pikirnya. Bahkan jika perasaan itu saling timbal balik, apakah itu cukup untuk mengabaikan segala potensi masalah yang mungkin timbul?
Tak lama setelah itu, ponselnya berdering lagi. Kali ini, pesan dari Reza lebih pribadi. “Arina, aku benar-benar ingin berbicara denganmu. Aku tahu kita berdua sama-sama merasa ada sesuatu di antara kita, tapi aku ingin kita jujur satu sama lain. Aku menghargai apapun keputusanmu, tapi aku berharap kita bisa menghadapinya bersama.”
Mendapatkan pesan itu membuat Arina semakin bingung. Reza jelas-jelas menginginkan keterbukaan, namun di sisi lain, Arina merasakan beban yang sangat besar. Ia sadar bahwa jika ia mengabaikan perasaan ini, ia mungkin akan menyesal selamanya. Namun, jika ia menerimanya, ia harus siap menghadapi segala konsekuensinya.
Pikirannya kembali melayang kepada orang tuanya, yang selalu menekankan pentingnya menjaga citra dan reputasi. Mereka selalu mengingatkannya agar berhati-hati dalam segala hal, terutama dalam hal percintaan. “Jangan pernah biarkan perasaan menguasai logika,” nasihat ibunya suatu waktu. Arina tahu bahwa kata-kata itu mengandung kebenaran. Namun, apakah itu berarti ia harus menutup pintu kebahagiaan di hatinya hanya karena sebuah prinsip yang belum tentu benar untuk dirinya?
Arina pun memutuskan untuk pergi keluar malam itu. Ia merasa butuh waktu untuk berpikir lebih jernih, untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus mengganggunya. Saat ia tiba di kafe yang telah mereka tentukan, Reza sudah menunggu di meja yang sama seperti sebelumnya. Wajahnya terlihat lebih serius, tetapi ada sedikit senyum yang menghiasi bibirnya ketika melihat Arina datang. Arina merasa hati ini mulai melembut, meskipun otaknya masih berperang.
“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” kata Arina, sambil duduk di hadapan Reza. Ia memandang pria itu, mencoba mencari keberanian untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam.
Reza menatapnya dengan penuh perhatian, menunggu Arina melanjutkan kata-katanya.
“Aku merasa… kita terlalu dekat akhir-akhir ini,” Arina memulai, suaranya sedikit bergetar. “Aku merasa ada sesuatu yang lebih antara kita, tetapi aku juga tahu bahwa ini sangat rumit. Kita bekerja bersama, dan aku takut jika perasaan ini bisa merusak semuanya.”
Reza mengangguk, seolah memahami kekhawatiran Arina. “Aku mengerti,” jawabnya dengan lembut. “Tapi aku tidak ingin kita menyia-nyiakan kesempatan hanya karena takut akan masalah yang mungkin datang. Jika kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu.”
Arina menatapnya dalam-dalam. Ada keteguhan dalam mata Reza, sesuatu yang membuatnya merasa lebih tenang, tetapi sekaligus semakin ragu. “Tapi apa yang terjadi jika kita salah? Apa yang terjadi jika ini benar-benar merusak segalanya?”
Reza terdiam sejenak, lalu berkata, “Kadang-kadang, kita harus mengambil risiko untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku ingin mencobanya bersama kamu.”
Pernyataan itu menggugah perasaan Arina lebih dalam. Kini, ia berada di persimpangan jalan. Sebuah pilihan besar yang tidak hanya melibatkan hatinya, tetapi juga masa depannya. Dalam kebingungannya, Arina tahu satu hal: ia harus memilih antara mengikuti suara hatinya atau tetap bertahan dengan logika yang selama ini membimbing hidupnya.*
BAB 4: Cinta Terlarang yang Tak Bisa Ditekan
Hari-hari setelah percakapan malam itu berjalan dengan penuh ketegangan yang tak terucapkan. Arina merasa seperti terjebak dalam perangkap waktu yang mengancam untuk menghancurkan segalanya. Ia tahu bahwa apa yang ia rasakan untuk Reza bukan sekadar perasaan biasa. Itu adalah sesuatu yang lebih besar, yang lebih dalam, dan yang paling mengerikan dari semuanya: cinta terlarang.
Meski begitu, Arina tetap berusaha untuk melanjutkan hidupnya seperti biasa. Di tempat kerja, ia berusaha menjaga jarak dengan Reza, tetapi setiap kali tatapan mereka bertemu, detak jantungnya selalu berdebar lebih cepat. Ia merasa seolah-olah ada sebuah magnet yang menariknya kembali ke dekat Reza, sebuah kekuatan yang lebih kuat dari segalanya, yang tak bisa ia lawan.
Namun, semakin ia mencoba menekan perasaannya, semakin sulit rasanya untuk menjaga jarak. Pagi itu, ketika Arina sedang menatap layar komputernya di kantor, sebuah pesan singkat masuk dari Reza. Pesan yang sangat singkat, tetapi cukup untuk membuat hatinya berdebar.
“Sudah lama aku ingin bicara lebih banyak denganmu, Arina. Apa kau bisa luangkan waktu untuk kita berbicara? Aku merasa kita harus membicarakan sesuatu yang penting.”
Pesan itu membuat perasaan Arina campur aduk. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa terus menghindari perasaan ini, tetapi juga sangat takut akan konsekuensinya. Mereka bekerja di perusahaan yang sama, dan meskipun tidak ada aturan eksplisit yang melarang hubungan antar rekan kerja, Arina merasa bahwa hubungan mereka akan mengubah segala hal. Apa yang akan terjadi jika orang lain tahu? Apa yang akan terjadi jika hubungan ini merusak reputasi mereka, karier mereka, bahkan persahabatan mereka?
Namun, hati Arina tetap berbicara. Ia tidak bisa menutup mata terhadap perasaan yang semakin besar setiap hari. Meskipun ia tahu cinta ini terlarang, ia tidak bisa menahan perasaan itu. Ia merasa seperti api yang terus membakar, meski ia berusaha memadamkannya dengan segala cara. Cinta itu terus tumbuh, tak terhentikan.
Setelah beberapa lama, Arina memutuskan untuk bertemu dengan Reza. Ia merasa harus menghadapi kenyataan ini, harus berbicara langsung dengannya dan mencari tahu apakah perasaan ini bisa diubah atau justru akan semakin kuat.
Malam itu, mereka bertemu di sebuah kafe yang jarang mereka kunjungi. Reza sudah menunggu di meja yang terletak di sudut ruangan, dan ketika Arina datang, ia memberi senyuman tipis, seolah tahu betul apa yang ada dalam pikiran Arina.
“Aku tahu kamu pasti merasa canggung,” kata Reza dengan suara lembut. “Tapi aku ingin kita berbicara, Arina. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini, dengan perasaan yang terus terpendam. Aku ingin kamu tahu bahwa aku merasa sangat serius tentang ini.”
Arina duduk di hadapan Reza, mencoba mengatur pernapasannya. Bagaimana mungkin ia bisa berpikir jernih dengan perasaan yang begitu kacau? Setiap kata yang keluar dari bibir Reza terasa seperti senjata yang menembus langsung ke hatinya, membuka luka lama yang tak pernah sembuh sepenuhnya.
“Aku… aku tahu kita tidak bisa seperti ini, Reza,” jawab Arina dengan suara yang agak gemetar. “Kita bekerja bersama. Hubungan ini, jika sampai diketahui, bisa merusak segalanya. Aku takut kita akan kehilangan semuanya—karier kita, reputasi kita, bahkan hubungan profesional kita.”
Reza menatapnya dengan tatapan penuh pengertian. “Aku tahu betapa beratnya ini, Arina. Aku juga tidak ingin hubungan kita merusak segalanya, tapi aku tidak bisa menutup mata pada perasaan ini. Aku tidak ingin terus hidup dalam kebohongan, dan aku merasa kamu juga merasakannya.”
Arina mengalihkan pandangannya, menatap keluar jendela kafe. Malam itu, langit gelap, hanya diterangi oleh cahaya lampu kota yang temaram. Ia merasa dirinya seperti berada di tengah badai, bingung, terombang-ambing antara harapan dan ketakutan. Ia tahu cinta ini terlarang, tetapi ia juga tahu bahwa ia tak bisa mengabaikannya. Setiap detik yang berlalu, hatinya semakin terikat pada Reza, semakin sulit untuk menjauh.
“Aku tahu ini salah,” lanjut Reza, “Tapi aku merasa tidak ada yang salah dalam mencintaimu. Kita bisa menjaga semuanya tetap profesional, Arina. Tidak ada yang harus tahu tentang kita. Kita bisa mulai perlahan-lahan, tanpa mengganggu pekerjaan kita. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku ingin ini, aku ingin kamu.”
Arina terdiam lama. Kata-kata Reza membuatnya bingung, tetapi pada saat yang sama, hatinya juga merasa hangat, seperti menerima semua yang ditawarkan. Ia ingin sekali menyerah pada perasaan ini, tetapi takut jika itu hanya akan membawa kehancuran. Tangan Arina menggenggam gelas kopi di depannya, mencoba menenangkan dirinya. Ia berpikir tentang semua yang telah ia capai dalam hidupnya—pekerjaannya, hubungannya dengan keluarga, teman-temannya. Semua itu bisa hancur hanya karena keputusan yang salah.
Namun, pada saat itu, ia merasakan dorongan yang sangat kuat di dalam dirinya. Sebuah dorongan untuk melawan rasa takutnya, untuk memberi kesempatan pada cinta yang tak bisa ditekan lagi. Ia memandang Reza, dan untuk pertama kalinya, ia melihat keseriusan yang begitu tulus di mata pria itu.
“Aku tidak tahu harus berkata apa, Reza,” ujar Arina akhirnya, suara lembut namun penuh keyakinan. “Aku takut, aku sangat takut. Tapi aku juga merasa ini adalah yang aku inginkan. Mungkin aku tak bisa terus menahan perasaan ini. Mungkin kita bisa mencoba, perlahan-lahan, seperti yang kamu bilang.”
Reza tersenyum, senyuman yang penuh harapan. “Aku tidak akan pernah memaksamu, Arina. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku siap untuk berjuang bersama kamu, apapun yang terjadi.”
Malam itu, ketika mereka berpisah, Arina merasa hatinya masih penuh dengan kebingungan, tetapi juga dengan harapan yang baru. Cinta ini, meskipun terlarang, tidak bisa lagi ia tolak. Ia tahu jalan yang mereka pilih tidak akan mudah, penuh dengan tantangan dan resiko. Tetapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arina merasa siap untuk menghadapi apapun, demi cinta yang kini tak bisa lagi ia sembunyikan. Cinta terlarang yang tak bisa ditekan lagi.*
BAB 5: Penemuan Rahasia dan Pengkhianatan
Hari-hari yang berlalu semakin sulit bagi Arina. Cinta yang seharusnya indah justru membawa gelombang kekacauan yang tak terduga. Perasaan yang ia simpan dalam-dalam kini terasa semakin membebani setiap langkahnya. Reza, yang dulu tampak seperti pelipur lara, kini semakin sulit dijangkau. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dalam sikapnya, sesuatu yang mengganggu kedamaian yang dulu sempat mereka rasakan.
Suatu sore, setelah pulang dari kantor, Arina memutuskan untuk mengecek beberapa berkas yang sudah lama ia tinggalkan di meja kerjanya. Ketika ia membuka sebuah kotak yang penuh dengan dokumen-dokumen penting, matanya tertumbuk pada sebuah surat yang tidak dikenalnya. Surat itu tergeletak di bawah tumpukan file, seolah-olah sengaja disembunyikan.
Dengan rasa penasaran yang membara, Arina membuka amplop itu. Isinya sebuah dokumen yang mencantumkan nama Reza. Tanpa sengaja, ia membaca tulisan yang membuat darahnya berdesir, dan napasnya tersengal. Ternyata, dokumen itu berisi tentang kontrak yang ditandatangani Reza dengan perusahaan lain, yang mencakup sejumlah proyek yang berpotensi merugikan perusahaan tempat mereka bekerja.
Perasaan Arina hancur seketika. Ia sudah tahu bahwa dunia bisnis penuh dengan intrik, namun melihat sesuatu yang begitu pribadi dan rahasia tentang Reza membuatnya merasa seperti tertusuk. Selama ini, ia hanya mengenal Reza sebagai rekan kerja yang penuh perhatian dan seorang pria yang tampaknya serius dengan hubungan mereka. Namun, surat ini membuka mata Arina pada kenyataan yang sangat berbeda. Mengapa Reza tidak memberitahunya tentang kontrak ini? Mengapa ia menyembunyikan sesuatu yang begitu besar dari Arina?
Dengan perasaan bingung dan marah yang membuncah, Arina memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut. Ia tahu ini bukan hal yang sepele, dan ia tidak bisa begitu saja mengabaikan temuan ini. Namun, perasaan yang menguasai dirinya bukan hanya rasa ingin tahu, tetapi juga rasa kecewa dan dikhianati.
Keputusan untuk menemui Reza semakin dekat. Sore itu, Arina bergegas menuju apartemen Reza. Meskipun hatinya penuh dengan kecemasan, ia tahu bahwa ia harus berbicara langsung dengan Reza dan mendapatkan penjelasan dari bibirnya sendiri. Tidak ada lagi ruang untuk kebohongan, untuk bersembunyi di balik senyuman manis atau janji-janji yang tidak pernah dipenuhi.
Ketika Arina sampai di depan pintu apartemen Reza, ia merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ia tahu, percakapan ini akan mengubah segalanya. Namun, ia juga tidak bisa terus berlarut-larut dalam kebingungannya. Dengan tekad yang bulat, Arina mengetuk pintu.
Reza membuka pintu dengan senyuman khasnya, namun begitu melihat wajah Arina yang serius dan cemas, senyumnya perlahan memudar. “Arina? Ada apa?” tanyanya, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya.
“Aku menemukan sesuatu, Reza,” jawab Arina tegas, matanya langsung menatap Reza. “Tentang kontrak yang kamu tanda tangani dengan perusahaan lain. Kenapa kamu tidak memberitahuku?”
Reza terdiam sejenak, wajahnya berubah menjadi gelap. Suasana tiba-tiba menjadi berat. Ia tahu bahwa saat ini ia tidak bisa lagi bersembunyi. “Arina, aku… aku bisa menjelaskan semuanya,” kata Reza, suaranya penuh dengan penyesalan, tetapi juga kekhawatiran. “Ini bukan seperti yang kamu kira.”
Namun Arina tidak bisa menahan emosinya lebih lama. “Kamu tahu bahwa kita bekerja di perusahaan yang sama, Reza. Apa yang kamu lakukan bisa menghancurkan karier kita. Mengapa kamu tidak memberitahuku sejak awal?” serunya, tak bisa menahan amarahnya.
Reza tampak sangat bingung. “Aku tidak berniat untuk menyembunyikan apapun darimu, Arina. Kontrak itu memang benar adanya, tapi itu hanya langkah sementara untuk proyek yang sedang kami jalankan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua ini hanya untuk kepentingan kita bersama. Aku tidak ingin kamu berpikir yang buruk tentangku.”
Namun, kata-kata Reza semakin menambah kebingungannya. Arina merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia bisa merasakan ada lebih dari apa yang Reza katakan, dan ia tidak bisa begitu saja menerima penjelasan yang terkesan dipaksakan. “Kamu mengira aku bodoh?” tanyanya tajam. “Aku sudah tahu segalanya, Reza. Aku tahu apa yang kamu rencanakan, dan ini bukan hanya tentang proyek atau pekerjaan.”
Reza menundukkan kepala, mencoba mencari kata-kata yang tepat, namun tidak bisa. Sementara itu, Arina merasa hatinya semakin hancur. Cinta yang selama ini ia bangun bersama Reza, kini terasa seperti sekeping kenangan yang sudah pudar.
“Jadi, apa maksudmu semua ini?” tanya Arina dengan nada yang lebih rendah, seakan ingin mengetahui kebenaran dari segala hal yang terjadi. “Apakah semua ini hanya bagian dari rencanamu? Apakah hubungan kita juga bagian dari permainan ini?”
Reza menghela napas panjang. “Tidak, Arina. Kamu bukan bagian dari permainan apapun. Aku mencintaimu, dan aku ingin kita bersama. Tapi aku harus melakukannya ini untuk melindungi kita. Aku tahu itu terdengar egois, tetapi aku hanya ingin kita tetap aman dan tidak terpengaruh oleh masalah ini.”
Namun, kata-kata Reza tidak mampu meredakan amarah dan kekecewaan yang meluap di dalam diri Arina. Ia merasa seperti telah dibohongi selama ini. Kepercayaan yang ia berikan ternyata hanya digunakan untuk menutupi niat tersembunyi yang lebih besar. Cinta yang ia rasa ternyata hanya ilusi, dan sekarang, semuanya hancur dalam sekejap.
Dengan langkah yang tegas, Arina memutuskan untuk meninggalkan apartemen itu. Ia tahu bahwa hubungan ini sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Semua yang terjadi antara mereka kini terasa seperti pengkhianatan yang tak bisa dimaafkan. Namun, meskipun hatinya terluka, ia tahu bahwa ia harus melangkah pergi, mencari jalan yang lebih baik untuk dirinya sendiri.
Dalam perjalanan pulang, Arina merasakan kepedihan yang mendalam. Ia tahu, meskipun perasaan cinta itu belum sepenuhnya hilang, ia harus belajar untuk melepaskan semuanya. Karena di balik pengkhianatan yang ia alami, ada banyak pelajaran yang harus ia petik. Dan kini, saatnya untuk melangkah maju, dengan kekuatan yang baru ditemukan dalam dirinya.*
BAB 6: Pilihan yang Memisahkan
Arina duduk di tepian tempat tidur, matanya kosong menatap langit malam yang tampak gelap dan tak berbintang. Pikirannya berkecamuk, memikirkan semua yang telah terjadi, dan bagaimana jalan hidupnya kini berada di persimpangan yang membingungkan. Semua pilihan yang ada di hadapannya seolah seperti jalan yang penuh dengan duri, dan ia tidak tahu ke arah mana harus melangkah.
Keputusan yang harus diambilnya semakin sulit. Cinta yang dulu penuh dengan harapan kini terpaksa dihadapkan pada kenyataan pahit yang tak bisa dihindari. Reza, pria yang begitu dicintainya, kini tampak seperti sosok yang berbeda. Setiap kebohongan yang terungkap, setiap rahasia yang ia temui, membuat Arina merasa semakin jauh dari dirinya. Rasa cinta yang seharusnya memberi kebahagiaan, malah kini menjadi sumber dari segala keraguan dan kebingungannya.
Pagi itu, Reza mencoba untuk menghubunginya, berkali-kali mengirimkan pesan singkat dan menelepon, namun Arina tak kunjung membalas. Ia tahu, percakapan yang harus mereka lakukan bukan lagi percakapan ringan. Ini adalah pembicaraan yang bisa mengubah segalanya. Ia tak ingin menjawab telepon atau membalas pesan karena ia merasa takut. Takut jika jawabannya hanya akan mengungkapkan kebenaran yang tak ingin ia hadapi.
Akhirnya, setelah beberapa hari berlalu, Arina memutuskan untuk bertemu dengan Reza. Ia tahu bahwa ini adalah momen yang tidak bisa dihindari lagi. Mereka harus berbicara, dan keputusan besar harus diambil. Tetapi Arina merasa terjepit. Jika ia tetap bertahan, ia tahu hubungan mereka akan terus terperosok dalam kebohongan dan ketidakjujuran. Namun, jika ia memilih untuk pergi, apakah ia bisa benar-benar melepaskan cinta yang selama ini ia pelihara? Apa yang sebenarnya ia cari dalam hubungan ini? Apakah cinta yang sejati masih bisa ditemukan, atau apakah ia hanya terjebak dalam ilusi belaka?
Reza menunggu di sebuah kafe kecil yang cukup sepi, dengan ekspresi wajah yang tak terbaca. Saat Arina tiba, ia bisa melihat betapa cemasnya pria itu. Namun, Arina tetap diam, duduk di hadapannya tanpa sepatah kata pun. Suasana di sekitar mereka terasa begitu sunyi, seakan dunia hanya berputar di antara mereka berdua.
“Aku tahu kamu pasti kecewa padaku,” kata Reza akhirnya, suaranya terdengar rendah dan penuh penyesalan. “Aku tidak bermaksud membuatmu merasa seperti ini, Arina. Aku benar-benar mencintaimu.”
Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk meredakan amarah yang membara di dalam hati Arina. “Cinta,” ujarnya dingin. “Itu yang kamu katakan. Tapi cinta macam apa yang kamu tawarkan, Reza? Cinta yang dibangun di atas kebohongan dan rahasia?”
Reza terlihat semakin tertekan, wajahnya menunjukkan bahwa ia benar-benar merasa bersalah. “Aku tahu aku sudah berbuat salah. Tapi aku berjanji, semuanya akan berubah. Aku ingin memperbaiki semuanya, Arina. Tolong beri aku kesempatan.”
Arina menghela napas panjang. “Tapi apakah kamu benar-benar mengerti apa yang telah kamu lakukan, Reza?” tanyanya, matanya menatap tajam. “Setiap kali aku merasa kamu mulai jujur, ada lagi hal yang kamu sembunyikan dariku. Apa kamu benar-benar menghargai hubungan ini?”
Reza terdiam, matanya terbuka lebar, dan ia tampak kebingungan. “Aku… Aku hanya ingin kita baik-baik saja. Semua yang aku lakukan adalah untuk masa depan kita bersama.”
“Untuk masa depan kita?” ulang Arina, suaranya semakin tegas. “Atau untuk masa depanmu sendiri? Aku bukan hanya alat yang kamu gunakan untuk mencapai tujuanmu, Reza. Aku juga manusia yang punya perasaan, dan aku tidak ingin terus berada dalam hubungan yang penuh dengan kebohongan.”
Keheningan kembali menyelimuti keduanya. Reza menundukkan kepala, merasa tak mampu lagi untuk berbicara. Namun, Arina merasa sesuatu dalam dirinya yang mulai berubah. Selama ini ia berjuang untuk mempertahankan hubungan ini, meskipun semua tanda-tanda peringatan sudah ada di depannya. Namun, ia tidak bisa lagi menutup mata. Ia tidak bisa lagi hidup dalam ketidakpastian, dalam bayang-bayang kebohongan yang dipertahankan begitu lama.
Arina pun mengambil keputusan besar. Ia tahu ini akan menyakitkan, tetapi ini adalah pilihan yang harus diambil. “Aku… aku rasa kita sudah tidak bisa lagi melanjutkan ini, Reza,” ujarnya dengan suara yang sedikit bergetar, tetapi tegas. “Aku tidak bisa hidup dengan perasaan terkhianati dan tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Aku membutuhkan kejujuran, dan aku rasa kita tidak bisa lagi saling memberi itu.”
Reza terperangah, matanya terlihat sangat terluka. “Arina, tunggu… jangan pergi seperti ini. Aku akan berubah, aku janji! Aku akan memperbaiki semuanya. Jangan tinggalkan aku.”
Namun Arina sudah memutuskan. “Aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayangmu, Reza. Ini adalah pilihan yang harus aku ambil. Mungkin suatu saat kita bisa jadi teman, tetapi tidak lebih dari itu.”
Dengan perlahan, Arina berdiri dan melangkah pergi. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, namun hatinya tahu bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Meskipun rasanya sakit, ia merasa dirinya semakin kuat. Ia telah melepaskan sesuatu yang sudah lama menjadi beban. Mungkin tidak ada lagi cinta di antara mereka, tetapi ada harapan baru yang muncul untuk dirinya sendiri.
Reza masih duduk di sana, diam dan terpaku. Ia tahu bahwa ini adalah titik terendah dalam hidupnya. Ia telah kehilangan Arina, dan ia hanya bisa menyesali segala hal yang telah ia lakukan. Namun, penyesalan itu tidak cukup untuk membalikkan keadaan. Yang ada kini hanyalah pilihan yang telah memisahkan mereka, dan Arina, meskipun hancur, tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan baru dalam hidupnya.*
BAB 7: Akhir yang Pahit, Harapan Baru
Setelah perpisahan itu, Arina merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Meski ia sudah membuat keputusan yang dianggapnya benar, rasa sakit dan kehilangan tak kunjung surut. Tiap malam, ia terjaga dengan perasaan hampa, merenung tentang semua kenangan bersama Reza yang kini terasa seperti bayangan yang semakin memudar. Ia mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa perpisahan ini adalah jalan terbaik, tetapi tetap saja, luka di hatinya sulit untuk sembuh.
Di tempat kerja, Arina berusaha untuk fokus pada tugas-tugasnya, namun pikiran tentang Reza selalu mengganggu. Setiap kali ia melewati jalan yang biasa mereka lewati bersama, atau melihat tempat-tempat yang penuh kenangan, ia merasa seperti ada sesuatu yang tertinggal—sebuah kekosongan yang tak bisa ia isi dengan apa pun. Ia mencoba untuk tidak peduli, namun semakin ia mencoba melupakan, semakin ia merasa terikat dengan masa lalu yang pahit itu.
Namun, di tengah kegelapan hatinya, Arina mulai menemukan secercah cahaya. Awalnya, hanya sekadar iseng, ia membuka aplikasi pencarian pekerjaan dan melihat berbagai lowongan yang mungkin cocok dengan minat dan kemampuannya. Itu adalah langkah kecil, tetapi bagi Arina, itu adalah langkah pertama menuju kebebasan. Kebebasan untuk melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui setiap langkahnya.
Arina mulai melirik kemungkinan untuk pindah ke tempat kerja baru, mencari tantangan yang berbeda dari rutinitas yang sudah terlalu familiar. Dalam dirinya, ada keraguan yang datang, tapi ia berusaha menepisnya. Semua yang terjadi dengan Reza adalah pelajaran besar. Cinta mungkin telah pergi, tetapi hidupnya masih bisa dipenuhi dengan hal-hal lain yang lebih penting. Karir, kebahagiaan pribadi, dan kedamaian batin—semuanya kini menjadi prioritas utama.
Suatu hari, saat pulang kerja, Arina bertemu dengan teman lama, Dinda, yang sudah lama tidak ia temui. Dinda adalah teman sekelas di masa kuliah, dan meskipun jarang berkomunikasi, mereka selalu bisa berbicara dengan mudah jika bertemu. Dinda melihat Arina dengan tatapan khawatir, seakan bisa merasakan beban yang dibawa sahabatnya.
“Arina, kamu kelihatan berbeda. Apa kabar? Ada yang bisa aku bantu?” tanya Dinda, suara lembut namun penuh perhatian.
Arina tersenyum tipis, meskipun hatinya masih terasa sesak. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Namun, dalam keheningan beberapa detik, Arina akhirnya membuka sedikit cerita tentang apa yang terjadi. Ia bercerita tentang Reza, tentang perpisahan yang harus ia hadapi, dan bagaimana perasaan hatinya saat ini.
Dinda mendengarkan dengan seksama, tanpa menginterupsi. Setelah beberapa lama, Dinda mengangguk dengan bijaksana. “Kadang, kita harus kehilangan sesuatu yang besar untuk menemukan sesuatu yang lebih berarti, Arina. Aku tahu ini berat, dan aku bisa merasakannya. Tapi jangan biarkan ini mengendalikan hidupmu. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira.”
Kata-kata Dinda itu seperti dorongan yang Arina butuhkan. Untuk pertama kalinya sejak perpisahannya dengan Reza, ia merasa ada harapan. Harapan untuk bisa bangkit kembali, meskipun prosesnya pasti panjang dan penuh dengan tantangan. Ia menyadari bahwa ia tidak harus tetap terjebak dalam kenangan yang menyakitkan. Mungkin ini adalah saatnya untuk membangun hidup baru, hidup yang bukan lagi berpusat pada cinta yang telah hilang, tetapi berpusat pada dirinya sendiri.
Dengan semangat baru yang muncul, Arina memutuskan untuk fokus pada pekerjaan dan mengejar impian-impian yang sempat tertunda. Ia mengirimkan lamaran ke beberapa perusahaan, berharap mendapatkan kesempatan baru. Sementara itu, ia juga mulai kembali berhubungan dengan teman-temannya, menikmati kebersamaan yang selama ini jarang ia rasakan karena terlalu fokus pada hubungan dengan Reza.
Namun, meskipun ia berusaha kuat, masih ada rasa rindu yang datang silih berganti. Terkadang, saat ia melihat pasangan yang bahagia, atau mendengar lagu yang dulu sering mereka dengarkan bersama, perasaan itu datang begitu saja, merasuk dalam-dalam. Arina tahu, ia harus melewati ini, dan meskipun perasaan itu sulit untuk diatasi, ia tidak ingin larut dalam kesedihan yang tak berujung.
Hari demi hari, Arina mulai merasa sedikit lega. Ia mulai menyadari bahwa hidupnya tidak berakhir hanya karena cinta yang gagal. Bahkan, tanpa Reza, ia merasa bisa menjadi lebih baik, lebih kuat. Ia berlatih untuk berdamai dengan diri sendiri, menerima kenyataan, dan membuka ruang untuk sesuatu yang baru.
Suatu sore yang cerah, Arina menerima sebuah tawaran pekerjaan yang sangat ia impikan. Setelah wawancara yang panjang, ia akhirnya diterima di sebuah perusahaan yang sesuai dengan bidang yang ia minati. Ini bukan hanya soal pekerjaan baru, tetapi juga simbol dari kebangkitan dirinya. Arina merasa seperti sebuah babak baru dalam hidupnya telah dimulai, dan ini adalah langkah awal menuju kebahagiaan yang lebih sejati, tanpa ketergantungan pada siapapun.
Saat ia berdiri di depan cermin malam itu, memandangi refleksinya, ia tersenyum. Bukan lagi senyum penuh kepedihan, melainkan senyum penuh harapan. Meskipun perpisahan dengan Reza masih meninggalkan luka, ia tahu bahwa ia bisa sembuh, dan bahwa cinta yang sejati tidak hanya datang dari seseorang, tetapi juga dari diri sendiri.
Keberanian Arina untuk bangkit dan memilih jalan hidup yang baru adalah tanda bahwa ia tidak hanya ingin mengatasi masa lalunya, tetapi juga ingin meraih masa depan yang lebih baik. Tidak ada lagi yang menghalangi jalan hidupnya. Ia telah menapaki jalannya sendiri, dengan hati yang lebih kuat dan tekad yang lebih bulat.
Akhir yang pahit memang menyakitkan, tetapi bagi Arina, itu adalah awal dari perjalanan baru yang penuh harapan. Sebuah perjalanan yang akan membawanya ke tempat yang lebih baik, tempat di mana ia bisa menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari.***
—————-THE END————–