Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

BINTANG YANG SAMA , JARAK YANG BERBEDA

BINTANG YANG SAMA , JARAK YANG BERBEDA

SAME KADE by SAME KADE
February 18, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 24 mins read
BINTANG YANG SAMA , JARAK YANG BERBEDA

Daftar Isi

  • Bab 1  Pertemuan Tak Terduga
  • Bab 2  Menjalin Percakapan, Menghubungkan Hati
  • Bab 3  Rindu yang Menguatkan
  • Bab 4  Waktu untuk Merenung
  • Bab 5  Menunggu di Bawah Langit yang Sama
  • Bab 6  Pertemuan yang Mengubah Segalanya
  • Bab 7  Memilih untuk Bertahan
  • Bab 8  Cinta yang Tak Terpisahkan

Bab 1  Pertemuan Tak Terduga

Rina tak pernah menyangka bahwa perjalanan singkat ke Bali untuk liburan dengan teman-temannya akan mengubah hidupnya selamanya. Dia memang datang dengan harapan untuk melupakan sejenak rutinitas kuliah yang padat dan menikmati waktu di pantai, tetapi hidup kadang memberi kejutan yang tidak pernah kita duga.

Hari itu, Rina dan teman-temannya tengah menikmati sore yang cerah di sebuah kafe yang terletak di tepi pantai. Suasana santai, dengan angin laut yang sepoi-sepoi, membuat Rina merasa lebih rileks daripada yang dia kira. Mereka bercanda, tertawa, dan menikmati suasana Bali yang khas. Namun, meskipun dia dikelilingi teman-teman yang menyenangkan, hatinya terasa kosong, seolah ada bagian dari dirinya yang tidak ada di sana.

“Rina, kamu kayaknya lagi melamun, deh. Ada apa?” tanya Sarah, teman baiknya, yang duduk di sebelahnya.

Rina tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kegelisahan dalam dirinya. “Enggak, kok. Cuma mikirin tugas yang belum selesai.”

Sarah mengangkat alis, jelas tidak percaya. “Jangan bilang kamu masih mikirin kuliah di tempat kayak gini! Ayo, coba nikmati waktu luang kamu, Rina!”

Rina menghela napas, lalu melihat ke luar jendela kafe. Pantai yang luas, langit biru, dan suara ombak yang menghantam pantai seakan menyadarkan dirinya bahwa ada banyak hal di luar sana yang lebih penting dari sekadar tugas kuliah. Namun, entah mengapa, pikirannya kembali terfokus pada hal lain. Jarak, waktu, dan kehidupan yang terus berjalan di Jakarta seakan menjadi beban yang semakin terasa berat.

Pukul empat sore, Rina memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian di sepanjang pantai. Teman-temannya memilih untuk tetap di kafe dan menikmati waktu lebih lama. Sambil menikmati angin laut yang segar, Rina menyadari bahwa dia terlalu sering menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak terlalu penting. Dia merasa seolah-olah hidupnya hanya berputar di sekitar kegiatan kuliah dan pekerjaan paruh waktu. Namun, rasa bosan itu perlahan hilang ketika matanya menangkap sesosok pria yang sedang duduk sendirian di sebuah bangku dekat tepi pantai.

Pria itu terlihat berbeda, seperti seseorang yang tidak cocok berada di tempat itu. Tidak ada yang salah, hanya saja, ada sesuatu yang menarik perhatian Rina. Dia duduk dengan punggung tegak, menatap laut dengan fokus penuh, seolah sedang memikirkan sesuatu yang sangat dalam. Rambutnya yang hitam legam sedikit berantakan oleh angin laut, dan kacamata hitam yang ia kenakan menambah kesan misterius. Dari kejauhan, Rina bisa melihat dia sedang memegang sebuah buku, yang tampaknya novel tebal.

Karena rasa ingin tahu, Rina melangkah mendekat, mencoba melihat lebih jelas apa yang pria itu baca. Namun, pada saat itulah, seolah tak sengaja, ia menginjak batu kecil yang tergelincir dan hampir jatuh. Rina cepat-cepat menahan tubuhnya, namun, tak bisa menghindari tatapan pria itu yang kini mengarah padanya.

“Maaf!” kata Rina cepat, masih merasa canggung karena kejadian itu.

Pria itu tersenyum, matanya yang tajam dan cerdas memandang Rina dengan penuh perhatian. “Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja?” tanya pria itu dengan suara dalam yang cukup menenangkan.

Rina mengangguk malu-malu, masih merasa sedikit kikuk. “Iya, aku baik. Hanya saja kaget.”

Pria itu tertawa pelan, dan Rina bisa merasakan kehangatan dari tawa itu meskipun hanya sebentar. “Sepertinya kamu sedang mencari ketenangan, bukan? Laut ini memang bisa membuat kita lupa dengan masalah dunia.”

Rina menatap pria itu, merasa ada kesamaan dalam perkataannya. “Iya, saya rasa begitu. Kadang rasanya seperti dunia ini terlalu ramai, dan kita butuh sejenak untuk berhenti, kan?”

Pria itu memandang Rina sejenak, lalu mengangguk. “Benar. Nama saya Arka,” ujarnya, sambil menawarkan tangannya.

“Rina,” jawab Rina sambil berjabat tangan.

Mereka berbicara sebentar, tentang Bali, tentang tempat-tempat yang mereka kunjungi, tentang hidup dan harapan-harapan mereka. Arka adalah seorang pekerja yang sering bepergian, sementara Rina adalah seorang mahasiswi yang lebih banyak menghabiskan waktu di Jakarta. Meskipun hanya bertemu secara kebetulan, percakapan mereka mengalir dengan sangat alami. Seperti dua orang yang sudah saling mengenal sejak lama.

Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat, dan matahari mulai terbenam. Rina sadar bahwa dia sudah lama berada di tepi pantai bersama Arka, menikmati obrolan ringan yang penuh makna. Sesekali, Arka menunjukkan gambar-gambar dari kameranya yang menampilkan keindahan Bali, dan Rina merasa seakan dunia di sekeliling mereka mulai menghilang.

“Terima kasih sudah menemani, Rina. Ini salah satu obrolan terbaik yang pernah saya punya di sini,” kata Arka dengan senyum tipis, sebelum akhirnya berdiri.

Rina tersenyum, merasa hangat di dalam hati. “Sama-sama, Arka. Saya senang bisa berbicara dengan seseorang yang bisa mengerti.”

Mereka saling bertukar nomor telepon, berjanji untuk tetap berhubungan, meskipun mereka tahu bahwa jarak akan menjadi tantangan besar bagi keduanya. Arka yang memiliki pekerjaan yang membuatnya sering berpindah tempat, dan Rina yang harus kembali ke rutinitas kuliah di Jakarta.

Saat mereka berpisah, Rina merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Mungkin karena pertemuan ini terasa begitu alami, dan entah mengapa, hatinya merasa lebih ringan. Sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa pertemuan ini bukanlah kebetulan belaka. Mereka mungkin berasal dari dunia yang berbeda, namun untuk alasan tertentu, malam itu, mereka berada di bawah bintang yang sama.

Arka mengangkat tangan, melambai dengan senyum sebelum berbalik berjalan pergi. Rina berdiri mematung, memandangi punggungnya yang semakin menjauh. Meskipun dia tahu pertemuan ini hanya sementara, ada sebuah perasaan dalam dirinya yang tidak bisa dijelaskan—sebuah perasaan bahwa ini bukanlah akhir, melainkan hanya awal dari sesuatu yang baru.

Bintang di langit malam itu, seperti menyaksikan sebuah kisah yang baru saja dimulai.*

Bab 2  Menjalin Percakapan, Menghubungkan Hati

Setelah pertemuan yang singkat di pantai itu, Rina tidak bisa menghapus ingatan tentang Arka. Setiap kali dia menutup matanya, wajah pria itu muncul, seolah-olah ia sedang duduk di sampingnya, membicarakan hal-hal kecil yang tidak ada hubungannya dengan dunia luar. Rina merasa ada sesuatu yang kuat di antara mereka, meskipun hanya pertemuan singkat. Itu seperti sebuah benang tak kasat mata yang menghubungkan dua jiwa yang saling mencari.

Malam itu, Rina tiba di kamar hotelnya dengan hati yang penuh perasaan campur aduk. Sarah, teman baiknya yang menginap di kamar sebelah, melihat Rina yang tampak melamun.

“Ada apa? Sepertinya kamu jauh di alam pikiran lain,” tanya Sarah sambil menyisir rambutnya di depan kaca.

Rina menghela napas panjang. “Enggak tahu, Sarah. Hari ini aku bertemu seseorang. Dia… dia berbeda.”

Sarah menoleh dan melihat ekspresi Rina yang penuh tanda tanya. “Seseorang? Maksud kamu… Arka itu?”

Rina mengangguk pelan. “Iya, Arka. Rasanya aku belum pernah bertemu dengan orang yang bisa bikin aku ngobrol begitu lama tanpa merasa bosan. Padahal, kita baru saja ketemu.”

Sarah tersenyum, mencoba menggoda. “Jadi, kalian langsung nyambung gitu ya? Wah, ini menarik, Rina. Tapi ingat, kamu masih di Bali, jangan kebawa perasaan terlalu dalam.”

Rina tertawa kecil. “Aku juga enggak tahu kenapa, tapi ada yang beda, Sarah. Aku merasa seperti dia paham aku tanpa aku perlu menjelaskan banyak hal.”

Sarah mengangkat bahu, lalu melanjutkan menyisir rambutnya. “Ya sudah, nikmati aja. Kita kan di sini buat liburan, jangan terlalu mikirin itu. Tapi kalau dia orang yang tepat, enggak ada salahnya, kan?”

Rina hanya mengangguk, meski pikirannya tetap kembali kepada Arka.

Keesokan harinya, Rina bangun pagi dan, tanpa pikir panjang, membuka aplikasi pesan di ponselnya. Jari-jarinya mengetikkan pesan kepada Arka, yang ia simpan dalam daftar kontaknya dengan nama yang cukup sederhana, “Arka Bali.”

“Hai, Arka. Selamat pagi. Semoga hari ini cuacanya cerah, ya. :)”

Beberapa detik kemudian, pesan itu sudah terkirim. Rina menatap layar ponselnya, menunggu balasan dengan jantung yang berdebar-debar. Tidak menunggu lama, balasan dari Arka muncul.

“Hai, Rina. Selamat pagi juga! Iya, cuaca di sini masih oke. Gimana liburannya? Masih betah?”

Rina tersenyum membaca balasan Arka, dan seketika itu juga, hatinya merasa lebih tenang. Setiap kata dari Arka, meskipun sederhana, seolah membawa kehangatan yang tidak bisa ia dapatkan dari orang lain. Mereka mulai berbicara lebih banyak tentang Bali, tentang tempat-tempat yang mereka kunjungi, dan tentang kehidupan masing-masing. Ternyata, Arka juga seorang yang suka mendalami seni fotografi. Dia bahkan menunjukkan beberapa foto yang diambilnya di berbagai tempat di Bali—pemandangan matahari terbenam di Uluwatu, tumpukan batu di pantai Sanur, hingga lanskap pegunungan yang jarang terlihat oleh wisatawan.

Rina merasa tertarik dengan cara Arka melihat dunia. Setiap fotonya bukan hanya sekadar gambar, tetapi sebuah cerita yang menggambarkan keindahan alam dan keheningan hati. Mereka berbicara selama berjam-jam melalui pesan, seakan-akan jarak ribuan kilometer tidak menghalangi kedekatan mereka.

Hari-hari berikutnya, percakapan mereka terus berlanjut. Rina yang biasanya hanya tertarik pada kuliah dan kegiatan sehari-hari, kini merasa bahwa ada ruang kosong dalam hidupnya yang diisi dengan percakapan bersama Arka. Begitu pula dengan Arka, yang mengaku merasa nyaman berbicara dengan Rina, meskipun mereka belum pernah saling mengenal lebih jauh.

Malam hari, setelah Rina kembali ke Jakarta, percakapan mereka tidak berhenti. Bahkan, Rina merasa lebih sering terjaga hingga larut malam hanya untuk menunggu pesan dari Arka. Meskipun mereka terpisah waktu, dengan Rina yang berada di zona waktu berbeda, mereka mulai menyesuaikan diri. Arka yang terbiasa bangun lebih pagi, mengirimkan pesan terlebih dahulu, dan Rina yang selalu membalasnya dengan cepat meskipun terkadang harus terbangun dari tidurnya.

Di balik semua percakapan itu, ada hal yang lebih dalam yang mulai tumbuh di antara mereka—perasaan saling memahami yang tak terbatas oleh jarak. Mereka tidak hanya berbicara tentang hal-hal ringan, tetapi juga tentang hal-hal yang lebih pribadi. Rina mulai membuka diri tentang masa lalunya, tentang keluarga, tentang cita-cita, dan juga ketakutannya. Arka pun melakukan hal yang sama, menceritakan kehidupannya yang penuh dengan perjalanan, pekerjaan, dan rasa kesepian yang sering ia rasakan. Meskipun percakapan mereka sederhana, tetapi setiap kata yang terucap terasa sangat berarti.

Satu malam, setelah Rina mengirimkan pesan tentang keinginannya untuk pergi ke suatu tempat di Jakarta, Arka membalas dengan pesan yang agak berbeda.

“Rina, aku tahu kita mungkin terlalu jauh untuk bisa bertemu lagi. Tapi aku merasa kita punya banyak kesamaan, lebih dari yang kita kira. Aku ingin tahu lebih banyak tentang kamu. Lebih banyak tentang hidupmu, tentang apa yang kamu impikan. Karena aku rasa ini bukan hanya pertemuan biasa.”

Rina terdiam beberapa saat sebelum membalas pesan itu. Hatinya berdebar, perasaan yang sudah lama ia coba tutupi mulai muncul kembali. Dia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan pertama mereka di Bali. Apakah ini cinta? Ataukah hanya sebuah ketertarikan sementara? Rina tidak tahu pasti, tetapi satu hal yang pasti—perasaan itu semakin menguat, meskipun mereka hanya berbicara melalui pesan.

“Aku juga merasa begitu, Arka. Aku enggak tahu kenapa, tapi setiap kali kita ngobrol, aku merasa seperti kita sudah saling kenal lama. Mungkin kita memang benar-benar punya banyak kesamaan.”

Pesan itu terkirim, dan setelah beberapa menit, Arka membalas dengan kalimat yang membuat hati Rina semakin berdebar.

“Aku senang mendengarnya, Rina. Kita mungkin berada di dua tempat yang berbeda, tapi hatiku merasa dekat denganmu.”

Rina tersenyum, menatap layar ponselnya yang kini terang dengan pesan dari Arka. Ternyata, meskipun jarak memisahkan mereka, hati mereka bisa tetap terhubung. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi satu hal yang pasti—mereka mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan biasa. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.*

Bab 3  Rindu yang Menguatkan

Minggu berlalu sejak Rina dan Arka terakhir kali bertemu di Bali. Setiap detik dalam kehidupannya terasa berjalan begitu lambat. Meskipun rutinitas kuliah di Jakarta menyibukkannya, hatinya terasa kosong. Percakapan mereka melalui pesan dan telepon seakan menjadi pelarian dari kepenatan hidupnya yang semakin terasa berat.

Rina menatap layar ponselnya, membaca kembali pesan terakhir dari Arka yang ia terima beberapa hari yang lalu. “Aku rindu obrolan kita, Rina. Semoga kita bisa segera bertemu lagi, meskipun hanya sebentar. Aku merasa ada yang kurang setiap harinya tanpa ada kamu di sekitarku.”

Pesan itu masih terngiang di benaknya, dan setiap kali membaca kalimat itu, ada perasaan hangat yang mengalir ke dalam dadanya. Rindu. Rasa yang selama ini dia hindari karena takut terluka. Namun, kini dia tidak bisa mengelak dari perasaan itu. Rindu yang tidak hanya datang dalam bentuk kerinduan fisik, tetapi juga kerinduan akan percakapan, tawa, dan kenyamanan yang ia rasakan saat bersama Arka.

Pagi itu, Rina merasa tubuhnya lelah, meskipun tidak ada alasan fisik yang jelas. Hanya rindu yang menggerogoti pikirannya. Dia bangun lebih awal dari biasanya, mencoba menenangkan diri sebelum memulai aktivitas hari itu. Sarah, teman sekamarnya, sedang sibuk menyiapkan kopi di meja.

“Rina, kamu kenapa? Kelihatan murung banget pagi ini,” tanya Sarah, menyadari bahwa Rina lebih diam dari biasanya.

Rina hanya tersenyum tipis. “Aku cuma… kangen,” jawabnya, dengan nada yang sulit disembunyikan.

“Kangen sama siapa?” tanya Sarah dengan nada bercanda, meskipun matanya menatap penuh perhatian.

Rina memutar kursinya dan menatap ke luar jendela. Pemandangan Jakarta yang sibuk tidak mampu menghapus bayangan Arka yang terus terngiang dalam pikirannya. “Kangen sama Arka. Percakapan kita, semuanya. Rasanya, meskipun dia jauh, kehadirannya tetap ada, entah di mana.”

Sarah mengangguk, mencoba memahami. “Aku tahu kamu agak ragu dengan perasaan ini, kan? Tapi kamu juga gak bisa bohong, Rina. Kamu merasa ada yang berbeda, kan?”

Rina terdiam, merasakan benang-benang ragu yang sudah mulai menguat. “Iya, tapi… gimana ya, Sarah? Dia di Bali, aku di Jakarta. Jarak ini… rasanya makin sulit. Makin lama aku semakin sadar kalau aku makin sering mikirin dia. Bahkan, kadang aku merasa kalau aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”

Sarah menepuk pundaknya dengan lembut. “Jangan terburu-buru, Rina. Cinta itu bukan tentang seberapa dekat kalian berada, tapi bagaimana kalian bisa membuat jarak itu terasa lebih dekat.”

Rina tersenyum, merasa sedikit lebih tenang mendengar kata-kata Sarah. Namun, perasaan rindu itu tidak bisa ditutup begitu saja. Setiap kali ia membuka mata di pagi hari, atau ketika langit malam tiba, pikirannya selalu berkelana pada sosok Arka. Rasa rindu itu semakin menguat, seperti angin yang membawa kenangan-kenangan indah dari Bali ke Jakarta.

Siang itu, ketika kuliah berakhir lebih cepat dari biasanya, Rina membuka ponselnya. Tanpa berpikir panjang, ia menulis pesan kepada Arka.

“Aku kangen kamu. Rasanya gak ada yang sama di sini tanpa kamu.”

Beberapa menit kemudian, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Arka masuk.

“Aku juga, Rina. Setiap hari, aku merasa ada yang kurang. Tapi, kita akan bisa melewati ini. Rindu ini, meskipun membuat kita merasa jauh, malah membuat hati kita semakin dekat.”

Rina tersenyum saat membaca pesan itu. Sesuatu tentang kata-kata Arka selalu mampu membuat hatinya merasa lebih tenang. Dia merasa, seiring dengan berjalannya waktu, meskipun mereka terpisah oleh ribuan kilometer, rindu itu justru semakin menguatkan hubungan mereka.

Sejak saat itu, mereka semakin intens berbicara. Setiap percakapan menjadi sebuah penghiburan bagi Rina. Arka berbagi cerita tentang pekerjaannya yang padat, tentang bagaimana ia merindukan kebersamaan mereka. Sementara itu, Rina menceritakan segala hal tentang kehidupan di Jakarta—tentang temannya, kuliah yang semakin menumpuk, dan bagaimana ia merasa terkadang terjebak dalam rutinitas yang tidak ada habisnya.

Namun, meskipun pembicaraan mereka terdengar biasa, di balik kata-kata itu ada banyak perasaan yang tidak terucapkan. Setiap percakapan, setiap tawa yang mereka bagi melalui telepon, semakin memperkuat rasa rindu yang ada di hati mereka. Rina mulai menyadari bahwa rindu bukanlah beban. Rindu itu menjadi tanda bahwa mereka peduli, bahwa mereka ingin lebih banyak berbagi satu sama lain.

Di setiap akhir percakapan, mereka selalu berjanji untuk tetap bertahan. Meskipun tidak tahu kapan mereka bisa bertemu lagi, mereka saling meyakinkan bahwa ini adalah ujian yang harus mereka lewati bersama. Jarak, meskipun sulit, adalah bagian dari perjalanan mereka.

Rina menatap langit malam itu, merasakan kerinduan yang kian mendalam. Ada rasa kosong yang perlahan diisi dengan kenangan-kenangan kecil bersama Arka—pertemuan mereka di Bali, percakapan-percakapan malam yang panjang, bahkan suara tawa Arka yang masih terngiang di telinganya.

“Rindu ini… menguatkan, bukan malah melemahkan,” bisiknya pada dirinya sendiri.

Dia tahu, di bawah langit yang sama, di bawah bintang yang tak tampak, Arka juga merasakan hal yang sama. Jarak ini mungkin memisahkan mereka, namun rindu ini justru membuat mereka semakin dekat. Seiring berjalannya waktu, Rina menyadari bahwa meskipun mereka terpisah, setiap detik yang berlalu semakin mempererat ikatan antara mereka. Mereka akan terus berjuang untuk satu sama lain, tidak peduli seberapa jauh jarak itu menghalangi.

Karena pada akhirnya, rindu yang mereka rasakan bukanlah sebuah beban. Itu adalah kekuatan yang menghubungkan dua hati yang sedang saling mencari, meskipun terpisah oleh ribuan kilometer. Rindu ini, meskipun kadang membuat mereka merasakan kekosongan, ternyata telah mengajarkan mereka untuk lebih menghargai waktu, lebih menghargai keberadaan satu sama lain.

Dan untuk pertama kalinya, Rina merasa yakin bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, rindu ini akan selalu menjadi pengikat yang menguatkan mereka.*

Bab 4  Waktu untuk Merenung

Rina duduk di balkon apartemennya, menatap kota Jakarta yang sibuk di bawah sana. Mobil-mobil melintas, orang-orang berjalan cepat dengan langkah tergesa, dan suara klakson memecah kebisingan malam. Namun, di tengah keramaian itu, hatinya terasa sepi. Seperti ada ruang kosong yang belum bisa ia isi, meskipun dunia di luar tampak penuh.

Hari itu, percakapan dengan Arka terasa berbeda. Meski mereka masih saling mengirim pesan, ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka. Rina merasa, mungkin karena jarak yang semakin jauh, mereka mulai kesulitan untuk menjaga kedekatan yang dulu mereka rasakan. Percakapan mereka yang dulu selalu mengalir lancar kini mulai terasa terputus-putus. Kadang, Arka tidak membalas pesannya secepat dulu. Dan ketika ia membalas, ada kesan seperti hanya untuk mengisi kekosongan, bukan dengan sepenuh hati.

Rina merasa bingung. Bukankah ini yang mereka inginkan? Bukankah mereka sudah tahu bahwa jarak ini akan menguji mereka? Namun kenapa, meskipun ia tahu itu, perasaan tidak tenang tetap menggerogoti hatinya? Apakah ini tandanya hubungan mereka sudah mulai retak?

“Rina, kamu baik-baik saja?” Sarah tiba-tiba muncul di pintu balkon, menatapnya dengan penuh perhatian.

Rina tersenyum pahit. “Aku cuma… lagi mikirin banyak hal.”

Sarah duduk di sampingnya, mengambil segelas teh yang terletak di meja. “Tentang Arka?” tanyanya hati-hati.

Rina mengangguk perlahan. “Iya, aku merasa ada sesuatu yang mulai berubah. Dia tidak sesering dulu menghubungiku, dan aku juga merasa seperti… seperti dia mulai menjaga jarak.”

Sarah menatapnya dengan penuh perhatian. “Rina, kamu sudah tahu dari awal kan, hubungan jarak jauh itu tidak mudah? Kamu harus lebih sabar. Coba pikirkan, apakah kamu sudah cukup memberi ruang bagi diri sendiri untuk merasakan apa yang kamu butuhkan, selain terus-menerus berpikir tentang dia?”

Rina menghela napas panjang. “Aku nggak tahu. Kadang aku merasa, meskipun kita saling rindu, ada banyak hal yang tidak bisa kita atasi dengan hanya kata-kata. Aku merasa seperti… aku sedang kehilangan sesuatu, entah apa.”

Sarah memandang Rina dengan serius. “Kamu harus memberi waktu untuk merenung, Rina. Jangan hanya terjebak dalam perasaan yang datang begitu cepat. Coba pikirkan baik-baik, apakah ini hanya perasaan sementara, atau memang ada masalah yang lebih besar?”

Rina menatap bintang-bintang yang mulai muncul di langit malam. Mungkin Sarah benar. Mungkin ia terlalu terfokus pada perasaan rindu dan kehilangan, tanpa benar-benar memberi ruang untuk dirinya sendiri. Terkadang, saat seseorang terlalu banyak memberi, mereka lupa untuk memberi perhatian pada diri sendiri.

Setelah beberapa lama, Rina memutuskan untuk tidak mengirim pesan kepada Arka malam itu. Ia merasa perlu waktu untuk merenung, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya ia rasakan dan apa yang ia butuhkan dari hubungan ini. Tidak ada gunanya terus memaksakan sesuatu yang tidak jelas.

Malam itu, ia menulis di jurnalnya, sebuah kebiasaan yang ia lakukan ketika merasa bingung dan cemas. Menulis selalu menjadi cara bagi Rina untuk menenangkan pikiran dan merangkai perasaannya.

“Apa yang sebenarnya aku inginkan, Arka? Kenapa rasa rindu ini selalu terasa begitu berat? Mungkin aku terlalu takut, takut kehilangan apa yang kita punya. Tapi apakah ini benar-benar cinta, ataukah hanya keinginan untuk tidak sendirian? Aku tidak tahu.”

Rina menutup jurnalnya dan menatap layar ponselnya. Ada pesan dari Arka yang masuk beberapa menit lalu.

“Rina, maaf aku baru balas. Hari ini banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan. Aku nggak bermaksud membuatmu merasa jauh. Aku cuma butuh waktu untuk diri sendiri. Tapi aku ingin kamu tahu, kamu masih sangat penting buatku.”

Rina membaca pesan itu beberapa kali. Sebuah perasaan campur aduk muncul—ada rasa lega, namun juga rasa takut yang tidak bisa ia hindari. Arka mengatakan bahwa ia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Mungkin itu yang sebenarnya Rina butuhkan juga. Waktu untuk dirinya sendiri, waktu untuk memahami apa yang ia inginkan, tanpa terpengaruh oleh perasaan yang datang begitu saja.

Setelah beberapa menit, Rina memutuskan untuk membalas pesan itu dengan hati-hati.

“Aku mengerti, Arka. Aku juga butuh waktu untuk merenung. Mungkin kita perlu sedikit ruang untuk diri kita sendiri, agar bisa lebih menghargai apa yang kita punya.”

Rina menekan tombol kirim dan meletakkan ponselnya di samping tempat tidurnya. Perasaan yang campur aduk mulai mereda, meskipun masih ada keraguan di dalam hati. Namun, ia tahu bahwa tidak ada yang bisa diperbaiki dengan terburu-buru. Terkadang, jarak dan waktu adalah hal yang perlu dihargai dalam sebuah hubungan.

Esoknya, Rina memutuskan untuk lebih fokus pada dirinya sendiri. Ia menghabiskan waktu dengan belajar, berkumpul dengan teman-temannya, dan bahkan pergi ke tempat-tempat baru di Jakarta yang belum pernah ia kunjungi. Ia mulai kembali menikmati waktu untuk dirinya sendiri, tanpa terbebani oleh kerinduan yang tidak terjawab. Waktu untuk merenung ini, meskipun sulit, membantunya untuk menemukan kembali keseimbangan dalam hidupnya.

Terkadang, waktu adalah jawaban untuk kebingungan yang kita rasakan. Terkadang, kita hanya perlu memberi diri kita ruang untuk bernafas dan meresapi perasaan yang ada. Rina mulai belajar bahwa hubungan tidak hanya tentang saling memberi, tetapi juga tentang memberi waktu untuk diri sendiri agar bisa memberi yang terbaik bagi orang lain.

Selama beberapa hari berikutnya, percakapan dengan Arka mulai terasa lebih ringan. Mereka mulai berbicara dengan lebih terbuka, mengungkapkan perasaan mereka tanpa terburu-buru. Rina mulai merasa bahwa mereka bisa melalui ujian ini, meskipun jalan yang mereka pilih tidak selalu mudah.

Di balik kerinduan itu, mereka mulai menemukan kembali alasan mengapa mereka harus bertahan—bukan hanya karena cinta, tetapi karena mereka bisa saling memberi ruang untuk tumbuh dan menjadi versi terbaik dari diri mereka masing-masing. Rina tahu, jika mereka mampu melalui waktu untuk merenung ini, mereka akan lebih kuat menghadapi segala hal di depan mereka.*

Bab 5  Menunggu di Bawah Langit yang Sama

Malam itu, Rina duduk di balkon apartemennya, menatap langit Jakarta yang dipenuhi bintang. Suasana kota yang ramai di bawah sana seolah tak sebanding dengan kesunyian yang ia rasakan dalam hatinya. Sebelum menutup matanya, ia menyadari betapa banyak waktu yang telah berlalu sejak terakhir kali ia bertemu dengan Arka. Waktu yang seolah berjalan begitu cepat, namun pada saat yang sama terasa begitu lambat.

Dua bulan telah berlalu sejak mereka terakhir bertemu di Bali. Setiap hari terasa seperti menunggu sesuatu yang tak pasti, sebuah pertemuan yang selalu tertunda. Rina tahu, pertemuan itu pasti akan terjadi, tapi entah kapan. Jarang sekali mereka berbicara tentang waktu pasti. Mereka hanya saling berbagi cerita tentang apa yang sedang mereka alami, dan itu sudah cukup untuk membuat mereka merasa dekat meski terpisah oleh jarak yang begitu jauh.

Rina menarik napas dalam-dalam, merasakan angin malam yang lembut menyentuh kulitnya. Ia teringat kata-kata Arka beberapa waktu lalu, “Kita berada di bawah langit yang sama, meski tak bisa berbagi waktu yang sama.” Kata-kata itu terngiang kembali di pikirannya. Meskipun mereka terpisah oleh ribuan kilometer, mereka masih bisa saling berbagi hal-hal kecil yang membuat hubungan ini tetap hidup. Ada perasaan yang tak bisa dijelaskan, bahwa meskipun mereka jauh, mereka tetap berada di bawah bintang yang sama. Itu sudah cukup untuk membuat mereka merasa dekat.

Tak lama setelah itu, Rina membuka ponselnya. Ada pesan dari Arka yang baru saja masuk.

“Rina, aku baru saja selesai dengan pekerjaan yang menumpuk. Rasanya ingin sekali bisa segera bertemu, tapi sepertinya kita masih harus menunggu sedikit lebih lama. Tapi aku ingin kamu tahu, meskipun jarak memisahkan kita, aku selalu merasakan ada kamu di sini.”

Rina tersenyum membaca pesan itu. Kata-kata Arka selalu bisa membuat hatinya tenang. Meskipun mereka terpisah, Arka selalu mampu membuatnya merasa dekat. Ia membalas pesan itu dengan cepat.

“Aku juga merasakannya, Arka. Aku tahu kita sedang menunggu, tapi kita berada di bawah langit yang sama, dan itu cukup untuk membuatku merasa ada kamu di sini. Aku akan menunggu, sampai kita bisa bertemu lagi.”

Setelah mengirim pesan itu, Rina menatap layar ponselnya, menunggu balasan. Namun, sebelum balasan itu datang, pikirannya kembali melayang ke masa-masa ketika mereka pertama kali bertemu. Di Bali. Mereka masih muda, masih penuh harapan, dan tidak tahu bahwa jarak akan menjadi penghalang terbesar dalam hubungan mereka. Namun, pada saat yang sama, mereka juga tidak tahu bahwa jarak itu akan mengajarkan mereka untuk lebih menghargai setiap momen yang mereka bagi bersama.

Pikirannya terus mengembara ke masa lalu, ke kenangan-kenangan indah yang mereka buat bersama. Percakapan panjang yang tak ada habisnya, tawa yang terus bergema, dan kehangatan yang mereka rasakan ketika saling berada di dekat. Rina merasa, meskipun itu sudah lama berlalu, kenangan itu masih segar dalam ingatannya.

Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Rina kembali menunggu. Menunggu balasan pesan Arka, menunggu kapan pertemuan itu akan terjadi. Tapi lebih dari itu, ia juga menunggu dirinya sendiri untuk bisa lebih memahami apa yang ia rasakan. Apakah ia siap untuk menerima kenyataan bahwa hubungan jarak jauh ini membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata dan janji-janji manis?

Rina tahu, tidak ada yang bisa memaksa waktu untuk berjalan lebih cepat. Mereka harus sabar. Mereka harus bisa menikmati setiap detik yang ada, meskipun terkadang rindu itu terasa sangat menyakitkan. Menunggu, meskipun penuh kerinduan, adalah cara mereka untuk membuktikan bahwa hubungan ini memang layak diperjuangkan.

Beberapa saat setelah itu, balasan pesan Arka datang.

“Aku juga merasa demikian, Rina. Aku tahu ini sulit, tapi aku ingin kita bertahan. Tidak ada yang lebih membuatku bahagia selain mengetahui bahwa kita masih saling merindukan meskipun jarak memisahkan kita. Kita akan bertemu lagi, aku janji.”

Membaca pesan itu, hati Rina terasa hangat. Walaupun hanya sebuah pesan singkat, kata-kata itu memberi kekuatan. Ia tahu bahwa Arka juga merasakan hal yang sama. Mereka berdua sedang menunggu, menunggu waktu yang tepat untuk bertemu, menunggu saat di mana mereka bisa saling merasakan kehadiran satu sama lain tanpa batasan jarak.

Dengan perlahan, Rina menutup mata, membiarkan angin malam membawa segala pikirannya yang berkecamuk. Ia tidak tahu kapan mereka akan bertemu lagi. Tetapi yang pasti, ia tahu bahwa menunggu itu bukanlah hal yang sia-sia. Karena di bawah langit yang sama, di bawah bintang yang sama, mereka masih saling merindukan. Rindu itu adalah pengingat bahwa mereka masih saling peduli, masih saling mencintai meskipun tidak bisa bersama setiap saat.

Saat Rina terlelap, dalam mimpinya, ia bertemu dengan Arka. Mereka berjalan bersama di pantai Bali, di tempat di mana semuanya dimulai. Tawa mereka bergema di udara, dan untuk sejenak, dunia seakan berhenti berputar. Tidak ada jarak, tidak ada perbedaan waktu. Hanya ada mereka, berjalan beriringan, menikmati kebersamaan yang tak terhenti.

Rina terbangun dengan senyum di bibirnya. Meskipun itu hanya mimpi, perasaan itu nyata. Ia tahu, meskipun mereka belum bisa bertemu sekarang, waktu itu pasti akan datang. Dan saat itu tiba, mereka akan menemukan kebahagiaan yang selama ini mereka tunggu-tunggu.

Di bawah langit yang sama, mereka akan menunggu bersama. Waktu untuk bertemu mungkin masih jauh, tetapi jarak ini tidak akan menghalangi mereka. Karena setiap bintang yang bersinar di langit malam adalah saksi dari rindu yang tak terhentikan.*

Bab 6  Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Rina memandang layar ponselnya dengan perasaan yang campur aduk. Di layar itu tertulis pesan singkat dari Arka yang sudah ia tunggu-tunggu selama berbulan-bulan. Waktu yang terasa begitu lama, penuh dengan kerinduan, harapan, dan kegelisahan. Kini, pesan itu seperti jawaban atas semua kegelisahan yang menggerogoti hati mereka selama ini.

“Rina, aku sudah membeli tiket pesawat. Aku akan terbang ke Jakarta dalam dua hari. Aku ingin kita bertemu lagi. Aku janji, kali ini kita akan lebih banyak waktu untuk bersama.”

Pernyataan itu membuat jantung Rina berdetak lebih cepat. Sejak beberapa bulan terakhir, mereka hanya berkomunikasi melalui pesan singkat, telepon, dan video call. Jarang sekali mereka bisa saling bertemu, bahkan saat ada waktu luang sekalipun. Arka di Bali, dia di Jakarta. Jarak itu terus menguji ketahanan hubungan mereka. Tetapi pesan ini mengubah segalanya.

Rina merasa ada campuran antara kegembiraan dan kecemasan yang tiba-tiba memenuhi dirinya. Ia sudah begitu merindukan Arka. Rindu itu selalu datang begitu dalam, seperti arus yang tak bisa dibendung. Tapi kini, setelah lama menunggu, akhirnya kesempatan itu datang juga. Pertemuan yang akan mengubah segala hal dalam hidupnya. Namun, apakah semuanya akan berjalan seperti yang diharapkan?

Dua hari berlalu dengan cepat, dan pagi itu, Rina bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa cemas, tapi juga penuh harapan. Di dalam hatinya, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Bagaimana jika pertemuan ini tidak seindah yang ia bayangkan? Apa yang akan terjadi setelah mereka bertemu lagi? Apakah mereka masih bisa merasa seperti dulu, ataukah ada jarak baru yang harus mereka atasi?

Dengan tergesa-gesa, Rina mempersiapkan dirinya. Mengenakan gaun biru yang dia sukai, dia merapikan rambutnya dan menatap dirinya di cermin. Hatinya berdebar-debar. Ini bukan hanya tentang bertemu kembali dengan seseorang yang telah lama ia rindukan, tetapi juga tentang mencari tahu apakah hubungan ini bisa bertahan lebih lama. Setelah sekian lama hidup dengan rindu, bisakah mereka kembali menyatukan diri mereka, mengatasi segala hal yang telah terjadi, dan memulai lagi?

Pukul sepuluh pagi, Rina tiba di bandara Soekarno-Hatta. Dia melihat-lihat sekitar dengan cemas, mencari sosok Arka di tengah keramaian orang-orang yang berlalu lalang. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, matanya akhirnya menangkap sosok yang sudah sangat dikenalnya. Arka, dengan ransel hitam di punggungnya, sedang berjalan ke arah pintu kedatangan. Begitu ia melihat Rina, senyum lebar langsung menghiasi wajahnya.

Tanpa berkata apa-apa, mereka saling berpelukan erat. Rina merasakan kehangatan tubuh Arka, yang seolah menghapus segala keraguan yang ada dalam dirinya. Sejenak, dunia seperti berhenti. Hanya ada mereka berdua, dalam pelukan yang lama dan penuh arti. Tidak ada jarak, tidak ada waktu, hanya kebersamaan yang terasa begitu berarti.

Arka melepas pelukannya dan menatap Rina dengan mata yang penuh perasaan. “Aku rindu kamu,” katanya pelan.

Rina hanya bisa tersenyum. “Aku juga,” jawabnya dengan suara serak, hampir tak mampu menahan tangis. Sudah terlalu lama mereka tidak bertemu, dan perasaan itu begitu sulit dijelaskan dengan kata-kata. Rasanya seperti segala kekhawatiran, rindu, dan penantian hilang begitu saja saat mereka akhirnya berada di satu tempat yang sama.

Mereka menghabiskan waktu sepanjang hari itu bersama. Arka mengajak Rina berjalan-jalan di sekitar Jakarta, menikmati suasana kota yang penuh kenangan. Mereka berbicara banyak hal tentang apa yang terjadi selama mereka terpisah, tentang pekerjaan, kuliah, dan tentu saja, tentang perasaan mereka yang tak pernah berubah meskipun jarak telah lama memisahkan.

Namun, ada satu hal yang terus mengganggu pikiran Rina: Apakah hubungan ini bisa kembali seperti dulu? Ketika mereka pertama kali bertemu di Bali, semuanya terasa begitu mudah, begitu menyenangkan. Tidak ada keraguan, tidak ada kecemasan. Kini, setelah berbulan-bulan berpisah, apakah perasaan itu masih sama? Ataukah ada sesuatu yang telah berubah?

Malam tiba lebih cepat dari yang mereka duga. Mereka duduk di sebuah kafe kecil di pinggir kota, menikmati makan malam yang sederhana. Suasana di sekeliling mereka begitu tenang, dan hanya suara percakapan yang terdengar samar. Rina memandang Arka, dan hatinya kembali dihantui dengan pertanyaan yang sama.

“Arka,” katanya pelan, memecah keheningan, “apakah kita masih sama seperti dulu? Apa perasaanmu masih seperti yang pertama kali kita temui?”

Arka menatapnya dalam-dalam, seolah mencari jawaban yang tepat. Setelah beberapa saat, ia tersenyum dan menggenggam tangan Rina. “Mungkin kita sudah berubah, Rina. Waktu memang memberi kita banyak pelajaran, dan jarak menguji kita lebih dari yang kita kira. Tapi yang pasti, perasaan ini… tidak pernah berubah. Mungkin kita butuh waktu untuk menyesuaikan diri lagi, tapi aku yakin kita bisa melaluinya. Kita sudah melewati banyak hal, dan aku percaya kita akan lebih kuat setelah ini.”

Rina menunduk, terdiam beberapa saat, mencoba mencerna kata-kata Arka. Ia merasakan bahwa memang ada banyak hal yang telah berubah dalam hubungan mereka. Dulu, semuanya terasa lebih mudah, lebih ringan. Namun, kehidupan telah mengajarkan mereka untuk lebih sabar, lebih menghargai waktu bersama, dan lebih dewasa dalam menghadapi segala rintangan. Mungkin perasaan mereka tak lagi seberat dulu, tapi bukan berarti perasaan itu hilang. Justru, kedewasaan mereka dalam menghadapi jarak dan waktu menjadikan hubungan ini lebih berharga.

Setelah beberapa saat, Rina akhirnya mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Kita akan mencoba, ya? Mencoba untuk lebih baik, lebih sabar, dan lebih dewasa. Aku percaya kita bisa, Arka.”

Arka tersenyum lebar, lalu meraih tangan Rina, menggenggamnya erat. “Kita sudah sampai sejauh ini, Rina. Aku tidak akan menyerah.”

Malam itu, saat mereka berjalan di bawah langit Jakarta yang cerah, Rina merasa bahwa pertemuan ini telah mengubah segalanya. Tidak hanya tentang bagaimana mereka bisa bertemu kembali setelah waktu yang panjang, tetapi juga tentang bagaimana mereka siap untuk menghadapi masa depan bersama. Meski perjalanan ini tidak mudah, mereka akan terus berjuang untuk satu sama lain, mengatasi segala rintangan, dan menjaga cinta yang telah mereka bangun.

Mereka berjalan di bawah bintang yang sama, di bawah langit yang sama, dan untuk pertama kalinya, Rina merasa yakin bahwa cinta ini akan bertahan, bahkan melewati segala jarak yang pernah ada.*

Bab 7  Memilih untuk Bertahan

Rina terjaga lebih awal pada pagi itu. Senyap menyelimuti kamar tidurnya, dan sinar matahari yang mulai menyusup melalui celah tirai memberi kesan bahwa hari itu adalah hari baru yang penuh dengan kemungkinan. Namun, meskipun dunia di luar tampak damai, perasaan Rina masih terombang-ambing. Arka sudah berada di Jakarta selama tiga hari, dan hari itu adalah hari terakhirnya di kota ini. Kepergian Arka kembali akan membawanya ke Bali, tempat ia bekerja, dan untuk beberapa waktu lagi mereka akan kembali terpisah.

Setelah beberapa hari menghabiskan waktu bersama, kebersamaan mereka memang indah, tetapi juga menyadarkan Rina tentang banyak hal. Perasaan rindu yang telah dipupuk selama berbulan-bulan rasanya begitu nyata saat mereka bertemu lagi, tetapi juga ada ketegangan yang mengambang di udara. Waktu bersama mereka terasa begitu singkat, dan di sisi lain, Rina merasa takut jika perpisahan kali ini akan terasa lebih berat daripada sebelumnya.

Rina bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. Ia menatap langit Jakarta yang cerah, langit yang sama yang mereka lihat bersama beberapa hari lalu, saat Arka memeluknya untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan terpisah. Kenangan itu membuat jantungnya kembali berdebar, tetapi juga menghadirkan pertanyaan yang semakin mengganggu pikirannya: Apakah hubungan ini bisa bertahan?

Dia berpikir tentang Arka—tentang bagaimana mereka berdua telah berubah sejak pertama kali bertemu. Dulu, segala sesuatunya begitu sederhana, begitu murni. Tidak ada keraguan, tidak ada jarak yang menghalangi. Kini, mereka telah melewati banyak hal. Pekerjaan, kesibukan masing-masing, dan tentu saja, jarak yang kadang membuat mereka merasa begitu jauh meskipun ada teknologi yang memungkinkan mereka tetap terhubung. Tapi ada satu hal yang tak bisa dibantah: perasaan mereka. Cinta itu nyata. Meskipun terkadang ia diselimuti oleh keraguan dan kecemasan, cinta itu selalu ada.

Namun, Rina tahu, hubungan jarak jauh bukanlah hal yang mudah. Ada banyak cobaan, ada banyak waktu yang terbuang tanpa bisa bertemu. Ada momen-momen ketika komunikasi terasa seperti beban, bukan lagi kebahagiaan. Ada perasaan kesepian yang kadang datang begitu mendalam. Dan saat-saat seperti itu membuatnya bertanya, Apakah ini benar-benar layak diperjuangkan?

Rina menyandarkan tubuhnya pada bingkai jendela, menatap ke luar dengan pikiran yang kacau. Tidak ada jawaban pasti yang bisa memberinya ketenangan. Hanya ada satu pilihan yang harus ia buat: apakah ia akan memilih untuk terus bertahan, atau membiarkan semuanya berhenti di sini?

Malam itu, mereka duduk di kafe tempat pertama kali mereka mengobrol setelah lama terpisah. Suasana di sekitar mereka tidak terlalu ramai, namun percakapan yang mengalir terasa berat. Arka tampak lebih serius dari biasanya, dan Rina bisa merasakan beban yang ada di bahunya. Mereka sudah saling berbicara tentang banyak hal, tetapi belum ada yang cukup membuka hati masing-masing tentang apa yang sebenarnya mereka rasakan tentang masa depan.

“Rina,” Arka memulai, suaranya lembut namun penuh ketegasan. “Aku tahu ini tidak mudah untuk kita berdua. Aku juga merasa cemas, kadang merasa ragu. Tapi aku juga merasa, kita sudah sampai sejauh ini, kenapa harus berhenti sekarang?”

Rina menatapnya dengan penuh perhatian. Matanya sedikit berkaca-kaca, tetapi ia berusaha tetap tenang. “Aku tahu, Arka,” jawabnya pelan, “tapi kadang aku merasa kita hanya bertahan karena rindu. Apakah kita masih bisa seperti dulu? Apakah perasaan ini cukup kuat untuk bertahan lebih lama lagi?”

Arka menggenggam tangan Rina di atas meja, memberikan sentuhan lembut yang menyiratkan keteguhan. “Rina, aku tidak bisa menjanjikan semuanya akan mudah. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa kita hidup terpisah oleh jarak dan waktu. Tapi, aku percaya kita bisa melewati ini. Aku ingin kita mencoba. Aku ingin kita bertahan, meskipun itu sulit. Karena, bagiku, kamu lebih dari sekadar hubungan jarak jauh. Kamu adalah seseorang yang sudah membuat hidupku lebih berarti.”

Rina menundukkan kepala, mencoba mengendalikan perasaan yang mulai menguasainya. Kata-kata Arka begitu dalam, namun rasa takut masih ada. Ketakutan akan ketidakpastian, ketakutan akan keputusan yang keliru. Dalam hati, ia tahu bahwa ia juga mencintai Arka. Namun, apakah cinta itu cukup untuk menjaga hubungan ini tetap utuh?

“Jarak itu menguji kita, Rina,” lanjut Arka, “tapi kita juga punya kesempatan untuk membuatnya jadi lebih kuat. Cinta itu bukan tentang selalu bersama, tapi tentang saling mendukung meski terpisah. Aku yakin kita bisa bertahan jika kita saling percaya. Aku percaya kita bisa melewati ini.”

Rina menghela napas panjang. Perasaan yang campur aduk itu perlahan mulai mencair, dan dalam sekejap, hatinya menemukan jalan menuju keputusan yang harus ia buat. Dia menyadari bahwa ia tak bisa terus hidup dalam ketakutan dan keraguan. Cinta itu bukan hanya tentang perasaan yang datang dengan mudah, tetapi tentang keberanian untuk memilih, tentang keyakinan bahwa meskipun semuanya tidak selalu sempurna, ada sesuatu yang lebih besar yang perlu dipertahankan.

“Arka,” kata Rina, suaranya semakin mantap, “Aku memilih untuk bertahan. Aku memilih kita. Aku tahu ini tidak akan mudah, tetapi aku percaya kita bisa. Aku tidak ingin menyerah hanya karena takut. Kita sudah melewati begitu banyak, dan kita bisa melewati ini juga.”

Arka tersenyum dengan mata yang penuh haru. “Terima kasih, Rina. Aku janji, aku akan selalu ada untukmu, meskipun jarak memisahkan kita. Kita akan melakukannya bersama.”

Malam itu, saat mereka berdua duduk di kafe yang tenang, mereka membuat janji untuk bertahan. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi mereka tahu satu hal: mereka akan terus berjuang. Mungkin perjalanan ini tidak akan selalu mudah, tetapi mereka berdua siap untuk memilih satu sama lain, untuk memilih cinta mereka.

Rina menatap Arka, merasakan kedamaian yang mulai tumbuh dalam hatinya. Meskipun ada banyak ketidakpastian, satu hal yang pasti: mereka tidak akan menyerah. Mereka memilih untuk bertahan, memilih untuk tetap saling mendukung meskipun jarak selalu ada. Karena cinta ini, meskipun tertantang oleh waktu dan jarak, tetap bisa tumbuh dan berkembang, selama mereka memilih untuk memperjuangkannya.*

Bab 8  Cinta yang Tak Terpisahkan

Pagi itu, Rina duduk di balkon apartemennya yang menghadap ke jalanan kota Jakarta. Angin pagi yang sejuk membelai wajahnya, sementara di tangannya terpegang secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Suara riuh kendaraan dan percakapan orang-orang yang berlalu-lalang terdengar samar, namun hati Rina terasa sepi, seperti ada ruang kosong yang sulit untuk diisi. Perasaan itu datang lagi, perasaan yang selalu muncul setiap kali Arka meninggalkan Jakarta. Rindu yang tak kunjung reda, meski mereka baru saja bertemu.

Selama beberapa minggu terakhir, mereka berkomunikasi lebih intens. Video call hampir setiap malam, pesan singkat setiap pagi, dan percakapan yang tidak pernah terputus di sepanjang hari. Namun, meskipun begitu dekat, tetap saja ada jarak yang memisahkan mereka. Rina mulai merasakan bagaimana jarak itu semakin menantang ketahanan hati mereka, semakin menguji seberapa kuat mereka bertahan.

Kadang, ada rasa takut yang datang. Takut jika semua ini hanya akan menjadi kenangan. Takut jika Arka akhirnya lelah dengan jarak yang menghalangi mereka, atau jika ia bertemu seseorang yang lebih dekat dan lebih mudah untuk diajak berbagi waktu. Rina tahu betul bahwa rasa takut itu adalah bagian dari perjalanan cinta mereka. Tetapi, meskipun perasaan itu datang, ada satu hal yang selalu menguatkan dirinya: cintanya kepada Arka.

Dia menatap langit biru di atasnya, merasakan kehangatan sinar matahari yang mulai terik. Bintang di malam hari, yang selalu mereka pandang bersama meskipun mereka berada di kota yang berbeda, terasa lebih dekat dari sebelumnya. Mereka berada di bawah langit yang sama, meskipun ribuan kilometer memisahkan tubuh mereka. Dan dalam kenyataan itu, Rina menemukan kenyamanan yang tak terungkapkan dengan kata-kata. Cinta mereka tak akan tergoyahkan oleh jarak, seperti bintang yang tak pernah lelah bersinar, meskipun terhalang oleh awan.

Beberapa minggu sebelumnya, ketika Arka pulang ke Bali, mereka berdua sepakat untuk tetap berjuang, untuk menjaga komitmen mereka meski terpisah oleh waktu dan ruang. Arka selalu meyakinkannya bahwa meskipun mereka tidak bisa selalu bersama, mereka tetap bisa saling mendukung, saling menguatkan. “Cinta ini tidak akan pernah terpisahkan, Rina,” kata Arka suatu malam, saat mereka sedang berbicara melalui video call. “Jarak hanya sebuah tantangan. Yang terpenting adalah bagaimana kita memilih untuk bertahan.”

Rina mengingat kata-kata itu, dan kini ia merasa lebih yakin. Mereka mungkin tidak selalu bisa bersama, tidak selalu bisa berbagi momen-momen kecil dalam kehidupan sehari-hari, tetapi perasaan itu tetap ada—cinta yang membara meskipun terhalang oleh jarak yang tak bisa diprediksi.

Hari itu, Rina memutuskan untuk menghubungi Arka lebih awal dari biasanya. Ia ingin berbicara dengannya, bukan hanya untuk menghabiskan waktu, tetapi juga untuk memastikan bahwa mereka masih berada di jalur yang sama, bahwa mereka masih punya visi yang sama tentang masa depan mereka. Setelah beberapa detik, layar ponselnya menampilkan nama Arka. Sebuah senyuman kecil terukir di wajah Rina saat ia melihat foto profil Arka, wajahnya yang selalu memberikan rasa nyaman.

“Arka,” sapa Rina begitu panggilan terhubung.

“Rina,” suara Arka terdengar hangat, meskipun ada sedikit keletihan di sana. “Apa kabar? Lama nggak video call pagi-pagi seperti ini.”

Rina tertawa kecil, meski ada kerinduan yang hampir tak tertahankan di dadanya. “Kabar baik. Aku hanya ingin memastikan kita tetap sama, Arka. Aku ingin tahu kalau kita masih sama dalam hal ini, dalam hal kita.”

Arka menatapnya, matanya berbinar meskipun jarak memisahkan mereka. “Kita selalu sama, Rina. Cinta kita tidak terpisahkan, bukan hanya karena kita berkomunikasi tiap hari, tetapi juga karena kita saling percaya. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku yakin kita bisa melewati semuanya.”

Kata-kata Arka itu seperti obat yang menyembuhkan semua kekhawatiran dalam diri Rina. Dia tahu bahwa meskipun ada hari-hari di mana ia merasa kesepian dan rindu yang begitu mendalam, cinta mereka tetap tumbuh, tetap kuat, meskipun tak selalu dalam bentuk yang terlihat.

Setelah percakapan itu, Rina merasa lebih tenang. Arka mungkin jauh di Bali, tetapi mereka tetap saling terhubung, meski dunia mereka terpisah oleh jarak yang sangat jauh. Cinta itu bukan hanya tentang memiliki satu sama lain di dekat mata, tetapi tentang mengetahui bahwa hati mereka berada dalam satu irama yang sama. Dan Rina tahu, meskipun jarak selalu ada, cintanya kepada Arka tidak akan pernah pudar.

Hari-hari berlalu, dan meskipun mereka harus menunggu beberapa bulan lagi sebelum bisa bertemu, Rina merasa lebih siap untuk menghadapi kenyataan. Ia mulai melihat hubungan ini bukan sebagai beban, melainkan sebagai petualangan yang penuh dengan tantangan dan kesempatan. Mereka belajar banyak hal tentang diri mereka sendiri, tentang bagaimana bertahan, tentang bagaimana menjaga komunikasi yang sehat, dan yang paling penting, tentang bagaimana mereka memilih untuk tetap bersama meskipun terpisah oleh ribuan kilometer.

Suatu malam, saat mereka kembali berbicara melalui video call, Arka berkata dengan penuh keyakinan, “Kita akan selalu menemukan jalan, Rina. Apa pun yang terjadi, cinta kita tidak akan pernah terpisahkan. Kita ada di bawah bintang yang sama, meskipun jarak itu menghalangi.”

Rina tersenyum lebar, merasa hatinya hangat. “Aku tahu, Arka. Aku juga merasakannya. Cinta ini lebih besar dari apa pun. Dan meskipun kita terpisah, aku tahu, kita selalu dekat.”

Mereka saling tersenyum, masing-masing menyimpan harapan dan keyakinan dalam hati mereka bahwa meskipun terpisah oleh jarak, cinta mereka tidak akan pernah terhenti. Bintang yang sama yang mereka pandang bersama setiap malam mengingatkan mereka bahwa meskipun ada jarak, mereka tetap ada dalam satu ruang yang sama ruang yang diisi dengan cinta, dengan kesetiaan, dan dengan janji yang tak pernah terucapkan, tetapi selalu ada di dalam hati mereka.***

—————THE END————-

 

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintajarakjauh#CintaYangTakTerpisahkan#Komitmen#PercintaanSejati#rindu
Previous Post

JANJI CINTA DI TAMAN BUNGA

Next Post

CINTA YANG TUMBUH DI MUSIM HUJAN

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
CINTA YANG TUMBUH DI MUSIM HUJAN

CINTA YANG TUMBUH DI MUSIM HUJAN

DIANTARA LAUTAN,AKU MENUNGGUMU

DIANTARA LAUTAN,AKU MENUNGGUMU

BAYANGAN MU DI JALAN SETAPAK

BAYANGAN MU DI JALAN SETAPAK

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id