Daftar Isi
Bab 1 Pertemuan yang Tak Terlupakan
Hari itu langit Jakarta cerah, dengan awan putih yang menggantung ringan di atas gedung-gedung tinggi. Suasana di kampus Universitas Bumi Raya selalu ramai di hari Senin seperti ini, dengan mahasiswa berlalu-lalang menuju kelas mereka, berlarian mengejar waktu. Namun, bagi Dinda, suasana itu terasa sedikit berbeda. Ia baru saja selesai ujian akhir dan memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman kampus, menikmati kebebasan sesaat setelah minggu-minggu penuh tekanan.
Dinda bukanlah tipe yang suka berlama-lama menghabiskan waktu di tempat ramai. Ia lebih senang di tempat yang tenang, di mana ia bisa merenung dan menikmati waktu sendiri. Namun, di hari itu, takdir seolah mempertemukannya dengan seseorang yang benar-benar mengubah arah hidupnya.
Saat berjalan di dekat kolam ikan di taman kampus, langkahnya tiba-tiba terhenti. Seorang pria dengan jaket jeans dan celana panjang hitam tampak berdiri di tepi kolam, memandang ikan-ikan yang berenang dengan tatapan yang jauh, seolah terhanyut dalam pikirannya. Dinda tidak sengaja menabrak salah satu kursi di dekat kolam yang hampir menghalangi jalan, menyebabkan suara berisik. Pria itu menoleh cepat, matanya bertemu dengan mata Dinda.
Semuanya seperti terhenti sejenak. Dinda tidak tahu harus berkata apa. Sejujurnya, ia merasa agak canggung karena telah mengganggu ketenangan pria itu. Namun, pria tersebut tersenyum ramah, membuat Dinda merasa sedikit lebih tenang.
“Maaf, aku tidak sengaja,” kata Dinda, sedikit gugup. “Aku cuma…”
“Tidak apa-apa, kok. Aku yang terlalu tenggelam dalam pikiran,” jawab pria itu, suaranya dalam dan lembut. “Aku Alif.”
“Dinda,” jawab Dinda, sambil tersenyum. Alif mengangguk, seolah menyetujui nama Dinda, dan kemudian mereka berdua berdiri dalam keheningan beberapa saat. Ada sesuatu yang berbeda dalam udara pagi itu, sesuatu yang aneh namun nyaman. Dinda tidak bisa menjelaskan perasaannya, tetapi ia merasa seperti baru saja berjumpa dengan seseorang yang akan berperan besar dalam hidupnya.
“Kamu mahasiswa di sini?” tanya Alif akhirnya, mengalihkan pembicaraan.
“Iya, semester lima. Kamu?” Dinda bertanya balik.
“Semester tujuh,” jawab Alif. “Aku baru saja pindah dari Bandung. Jadi, masih banyak yang harus aku pelajari tentang Jakarta dan kampus ini.”
Mendengar itu, Dinda merasa tertarik. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dari Alif. Meski baru pertama kali bertemu, ada perasaan saling mengerti yang muncul begitu saja. Mungkin karena mereka berdua adalah orang baru di kota ini, merasa sedikit asing dengan segala hal, meskipun dengan cara yang berbeda.
“Bandung? Wah, pasti banyak cerita seru tentang kota itu,” kata Dinda, mencoba melanjutkan obrolan dengan santai.
Alif tersenyum, dan itu membuat Dinda merasa lebih nyaman. Mereka mulai berbicara lebih banyak tentang kehidupan di kampus, tentang Jakarta yang penuh hiruk-pikuk, dan tentang masa lalu mereka. Tanpa mereka sadari, obrolan itu berlanjut hampir setengah jam, dan Dinda merasa seolah waktu berjalan begitu cepat.
Ketika akhirnya Dinda sadar akan waktu, ia merasa agak canggung. “Aku harus pergi. Ada kelas lagi, sebenarnya.” Ia menatap jam tangannya dan mendapati bahwa ia sudah terlambat lima belas menit.
Alif mengangguk, sedikit kecewa karena perbincangan mereka harus berakhir begitu cepat. “Iya, aku juga harus pergi. Tapi senang bisa ngobrol sama kamu, Dinda.”
Dinda tersenyum. “Aku juga. Semoga kita bisa ngobrol lagi nanti.”
Seiring Dinda melangkah pergi, ia merasa ada sesuatu yang bergetar dalam hatinya. Kenapa pertemuan yang sepertinya biasa saja itu terasa begitu berbeda? Ia tidak bisa menahan perasaan itu. Mungkin ini hanya perasaan sementara, atau mungkin ini awal dari sesuatu yang lebih besar, yang tak bisa ia duga.
Namun, meskipun perasaan itu muncul begitu saja, Dinda tahu satu hal pasti: pertemuan ini tidak akan terlupakan.
Di hari-hari berikutnya, Dinda tidak bisa berhenti memikirkan Alif. Mereka memang tidak bertemu lagi setelah hari itu, tetapi setiap kali ia melewati taman kampus, hatinya selalu merindukan suara lembut Alif dan senyum hangat yang ia berikan. Tanpa ia sadari, Dinda mulai menunggu kesempatan untuk bertemu dengannya lagi, meskipun ia tahu itu mungkin hanya kebetulan.
Namun, hidup kadang memberi kejutan yang tak terduga. Beberapa hari kemudian, saat Dinda sedang duduk di kantin kampus, matanya menangkap sosok Alif lagi, kali ini sedang duduk bersama beberapa teman baru. Melihatnya dari jauh, Dinda merasa sedikit gugup, tapi di sisi lain, hatinya merasa hangat, seperti ada dorongan untuk mendekat dan berbicara dengannya lagi.
Ia mengumpulkan keberanian dan berjalan menuju meja tempat Alif duduk. Ketika Alif melihatnya, ia tersenyum, dan Dinda merasa seolah semua kekhawatiran hilang begitu saja.
“Dinda!” Alif menyapa dengan ceria. “Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya?”
Dinda mengangguk, merasa sedikit lebih santai. “Tentu, aku senang bisa ngobrol lagi.”
Begitu mereka berbicara lagi, rasa canggung itu perlahan menghilang. Percakapan itu tidak hanya mengalir lancar, tapi terasa begitu nyaman, seolah mereka sudah saling mengenal cukup lama. Dari sana, pertemuan mereka mulai lebih sering terjadi, dan rasa ketertarikan itu semakin berkembang. Namun, mereka berdua belum menyadari bahwa pertemuan pertama itu adalah awal dari kisah cinta yang akan mengubah hidup mereka selamanya.*
Bab 2 Menghadapi Jarak yang Memisahkan
Setelah pertemuan yang tak terlupakan itu, Dinda dan Alif mulai semakin dekat. Mereka bertukar nomor telepon, sering mengirim pesan singkat di waktu senggang, dan tak jarang berbicara lewat telepon saat malam menjelang. Obrolan mereka mengalir dengan mudah, penuh tawa, dan sering kali membicarakan hal-hal sederhana yang justru terasa sangat berarti.
Namun, segalanya berubah ketika Alif memberi kabar yang mengejutkan. Dia mendapatkan tawaran pekerjaan yang sangat menggiurkan di luar kota, jauh dari Jakarta. Tawaran itu datang begitu cepat dan tanpa peringatan, dan meskipun Alif sangat ingin tetap berada di dekat Dinda, kesempatan ini adalah sesuatu yang tak bisa ia abaikan.
“Dinda, aku ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” kata Alif suatu sore, suara di teleponnya terdengar sedikit cemas.
“Apa itu, Alif? Ada apa?” tanya Dinda, merasa khawatir dengan nada suara Alif yang tidak biasa.
“Aku… aku mendapat tawaran pekerjaan di Surabaya. Mereka ingin aku mulai secepatnya. Aku belum tahu harus bagaimana.”
Dinda terdiam sesaat, berusaha mencerna apa yang baru saja didengar. Perasaannya campur aduk—senang untuk Alif yang mendapatkan kesempatan besar, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bingung dan khawatir. Jarak itu, yang selama ini hanya sebuah kata, kini menjadi kenyataan yang sangat mungkin akan memisahkan mereka.
“Kamu… kamu akan pergi?” suara Dinda terdengar lebih rendah dari biasanya.
“Aku harus pergi, Dinda. Ini kesempatan yang besar. Tapi aku juga bingung. Aku nggak tahu bagaimana kita bisa menghadapi ini, jarak yang jauh.”
Alif terdengar begitu bimbang, dan Dinda merasakan kegelisahan yang sama. Meskipun mereka hanya beberapa bulan mengenal satu sama lain, kedekatan yang mereka rasakan sudah cukup mendalam. Ia tidak pernah membayangkan bahwa jarak yang tadinya tampak seperti sebuah tantangan kecil, kini akan menjadi kenyataan yang harus mereka hadapi.
“Aku mengerti, Alif. Ini kesempatan yang nggak bisa kamu tolak. Tapi… kita gimana, ya?” tanya Dinda, merasa cemas.
Ada kesunyian sejenak di antara mereka. Meski Dinda ingin mengungkapkan betapa berat perasaan ini, ia tahu bahwa keputusannya adalah keputusan besar, bukan hanya untuk Alif, tapi untuk mereka berdua.
“Aku nggak tahu, Dinda. Aku ingin tetap ada di sini, dekat dengan kamu. Tapi… apa kita bisa bertahan dengan jarak yang memisahkan?” Alif bertanya, suaranya penuh keraguan.
“Kita nggak tahu, Alif. Tapi satu hal yang aku tahu pasti, aku nggak mau kehilangan kamu. Aku nggak tahu bagaimana nanti, tapi aku yakin kita bisa saling mendukung.” Dinda mencoba menguatkan dirinya sendiri.
Alif terdiam beberapa saat, dan kemudian terdengar sebuah tawa kecil dari seberang telepon. “Aku nggak tahu kenapa, Dinda, tapi mendengar kamu bilang itu membuatku merasa lebih tenang.”
Mereka melanjutkan percakapan itu hingga malam tiba, berbicara tentang segala hal—tentang pekerjaan Alif, tentang kehidupan mereka, dan tentang masa depan yang masih penuh ketidakpastian. Mereka sepakat untuk mencoba, untuk tidak membiarkan jarak menghalangi perasaan mereka. Meski ketakutan akan kehilangan satu sama lain selalu ada, mereka berdua berjanji untuk tidak mudah menyerah.
Beberapa hari setelah percakapan itu, Alif benar-benar pergi ke Surabaya. Hari keberangkatannya datang begitu cepat, dan meskipun mereka berusaha untuk tetap tenang, ada perasaan hampa yang menghangat di dada masing-masing. Di bandara, mereka saling berpandangan, tidak perlu banyak kata untuk mengungkapkan perasaan mereka.
“Jaga dirimu baik-baik, ya?” Dinda berkata dengan suara yang agak tercekat. Alif mengangguk, menyentuh lembut pipi Dinda, seolah ingin mengukir kenangan itu dalam ingatannya.
“Aku akan selalu jaga diri, Dinda. Jangan khawatir. Aku akan sering telepon, dan kamu selalu bisa menghubungiku kapan saja.” Alif berusaha tersenyum, tetapi Dinda bisa melihat kelelahan di matanya. Mereka tahu ini bukanlah perpisahan yang mudah.
Setelah beberapa detik yang terasa lama, Alif melangkah pergi menuju ruang tunggu keberangkatan. Dinda berdiri di sana, menatap sosoknya yang perlahan menghilang di balik kerumunan orang. Ada rasa berat di dadanya, tetapi ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah pilihan terbaik untuk Alif dan mungkin juga untuk mereka berdua.
Hari-hari setelah keberangkatan Alif terasa sangat berbeda. Dinda kembali ke rutinitasnya sebagai mahasiswa, tetapi setiap kali ada notifikasi pesan masuk, hatinya berdegup kencang, berharap itu adalah pesan dari Alif. Meski mereka masih berkomunikasi setiap hari, Dinda tidak bisa menahan rasa rindu yang semakin mendalam. Pesan-pesan singkat, panggilan video yang hanya bisa mengurangi rasa rindu sejenak, tidak bisa menggantikan kehadiran fisik Alif di sisinya.
Alif juga merasakan hal yang sama. Meskipun pekerjaan dan rutinitas barunya di Surabaya menyita banyak waktu, ia selalu merindukan Dinda. Setiap malam, setelah semua aktivitas selesai, ia akan menatap langit yang sama seperti yang dilihat Dinda, seolah mencari kenyamanan dalam ingatannya tentang mereka berdua.
“Dinda… bagaimana hari-harimu?” pesan Alif masuk suatu malam, dan Dinda tersenyum membaca pesan itu. Begitu sederhana, namun terasa sangat berarti. Mereka berdua tahu bahwa mereka masih terhubung, meskipun jarak memisahkan.
Namun, meskipun mereka berusaha keras untuk menjaga komunikasi, setiap pertemuan melalui layar ponsel terasa begitu jauh. Ada kalanya Dinda merasa cemas, takut hubungan ini tidak akan bertahan. Di sisi lain, Alif juga mulai merasakan tekanan. Meski ia berjanji untuk tetap kuat, ada rasa keraguan yang perlahan merayap dalam hatinya.
Tetapi satu hal yang mereka berdua tahu: perasaan yang mereka miliki tidak mudah pudar, dan meskipun jarak menjadi penghalang, mereka siap untuk terus berjuang. Cinta mereka bukan hanya tentang berada di dekat satu sama lain, tetapi juga tentang saling memberi ruang, menghargai keputusan masing-masing, dan membangun sebuah hubungan yang kuat, meskipun terpisah jarak.*
Bab 3 Ujian Kepercayaan dan Komunikasi
Waktu berjalan begitu cepat sejak Alif pindah ke Surabaya. Setiap hari Dinda mencoba menyesuaikan diri dengan rutinitas baru. Di pagi hari, ia sibuk dengan kuliah, sementara malamnya dihabiskan untuk berbicara dengan Alif, meskipun hanya melalui pesan atau panggilan video. Awalnya, komunikasi mereka lancar, bahkan lebih intens daripada sebelumnya. Namun, semakin lama, semakin banyak hal yang berubah.
Dinda merasakan adanya perubahan dalam sikap Alif, meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu banyak berpikir. Panggilan telepon yang dulu selalu berlangsung lama, kini mulai lebih singkat. Pesan-pesan yang dulu selalu penuh perhatian, sekarang terasa lebih formal. Alif semakin sibuk dengan pekerjaannya, dan Dinda pun mulai merasa cemas.
“Alif, kenapa kamu akhir-akhir ini lebih sibuk? Aku jarang dengar kabar dari kamu,” Dinda menulis di pesan singkat, jari-jarinya menari di atas layar ponsel dengan cemas.
Beberapa saat kemudian, balasan dari Alif masuk.
“Maaf, Dinda. Aku memang sedang banyak tugas di kantor. Semuanya berjalan cepat di sini. Aku janji akan lebih sering menghubungimu.”
Dinda menatap pesan itu, mencoba memahami situasi Alif. Ia tahu pekerjaan memang bisa menguras tenaga dan waktu, tetapi entah kenapa, hatinya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ketika percakapan itu berakhir, rasa tidak nyaman mulai menguasai pikirannya. Sejak kapan Alif berubah seperti ini? Mengapa ia merasa seperti ada jarak yang semakin lebar, meskipun mereka masih berbicara setiap hari?
Hari berikutnya, Dinda merasa lebih cemas. Keputusan untuk memberi ruang pada Alif, seperti yang mereka sepakati, ternyata tidak semudah yang ia kira. Ia mulai merasakan bahwa komunikasi mereka semakin terbatas. Setiap kali ia mencoba menghubungi Alif, responnya selalu lebih lambat dari biasanya. Ketika mereka berbicara, percakapan terasa datar, tanpa kehangatan seperti sebelumnya.
Tepat satu minggu setelah pesan yang membuatnya cemas, Dinda memutuskan untuk menelepon Alif, berharap bisa berbicara lebih terbuka. Saat telepon terhubung, suara Alif terdengar lebih lelah daripada biasanya.
“Halo?” suara Alif terdengar serak, seperti baru saja bangun tidur.
“Alif, kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu sibuk banget belakangan ini? Aku khawatir, kamu nggak pernah cerita apa-apa lagi,” Dinda mulai dengan nada sedikit kesal, meskipun hatinya penuh kecemasan.
“Dinda, aku… aku memang sibuk. Banyak kerjaan yang harus diselesaikan di kantor. Maaf kalau aku membuatmu merasa diabaikan. Tapi itu bukan maksudku.” Suara Alif terdengar rendah, dan Dinda bisa mendengar kelelahan di sana.
“Tapi Alif, aku merasa kita makin jauh, semakin sedikit bicara, semakin sedikit waktu untuk saling berbagi. Aku rindu kamu, dan aku takut kalau hubungan kita akan seperti ini selamanya.”
Ada keheningan sejenak di ujung telepon, dan Dinda bisa merasakan ketegangan itu. Ia tidak tahu apakah itu karena kesibukan Alif atau ada sesuatu yang lebih dalam yang membuatnya tidak bisa mengungkapkan perasaannya.
“Aku nggak tahu harus gimana lagi, Dinda,” akhirnya Alif menjawab dengan suara yang terdengar frustasi. “Aku nggak mau kamu merasa aku menjauh. Tapi di sini, semuanya terasa berbeda. Aku merasa terjebak dalam rutinitas, dan kadang-kadang aku merasa seperti kehilangan arah.”
Dinda menahan napas, perasaan cemasnya semakin dalam. “Aku mengerti, Alif. Tapi aku juga merasa cemas. Aku takut kamu mulai berubah, dan kita mulai kehilangan komunikasi yang dulu ada. Aku butuh kepastian.”
Alif terdiam sejenak, kemudian berkata dengan suara yang lebih lembut, “Dinda, aku nggak mau kehilangan kamu. Aku janji aku akan berusaha untuk lebih baik, untuk menjaga komunikasi kita. Aku akan coba lebih sering memberi kabar. Aku tahu aku nggak bisa terus seperti ini.”
Dinda merasa sedikit lega mendengar kata-kata Alif, namun ketakutannya belum sepenuhnya hilang. Ia tahu, untuk mereka bisa bertahan, ada banyak hal yang perlu diubah. “Aku juga nggak mau kehilangan kamu, Alif. Tapi kita harus bisa saling percaya. Kalau nggak, hubungan ini nggak akan bisa bertahan.”
Setelah percakapan itu, Dinda merasa sedikit lebih tenang, namun ada hal yang menggantung di benaknya. Bagaimana mereka bisa saling percaya jika komunikasi saja sudah mulai terputus? Dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah ujian yang besar untuk hubungan mereka.
Beberapa minggu setelah percakapan itu, Dinda merasa ada sedikit perubahan. Alif mulai lebih sering menghubunginya, dan meskipun jadwalnya tetap padat, ia berusaha lebih banyak berbicara tentang apa yang terjadi di hidupnya. Mereka mulai lebih terbuka, berbicara tentang perasaan mereka, tentang kekhawatiran mereka, dan tentang bagaimana cara mereka bisa lebih dekat meskipun jarak memisahkan.
Namun, ujian itu belum selesai. Suatu hari, Dinda mendapat pesan dari teman dekatnya, Tara, yang memberitahunya bahwa ia melihat Alif sedang makan malam bersama seorang wanita di sebuah restoran. Dinda terdiam, jantungnya berdebar kencang. Apakah itu berarti Alif sudah mulai melupakan dirinya? Atau mungkin hanya kebetulan belaka?
“Dinda, aku nggak mau kamu cemas, tapi aku lihat Alif di restoran tadi malam, dan dia duduk dengan seorang perempuan. Aku nggak tahu, tapi aku pikir kamu perlu tahu,” pesan Tara yang membuat hati Dinda terasa berat.
Dinda tertegun. Rasa rindu dan cemasnya bercampur aduk. “Tara, kamu yakin?” Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri, tetapi perasaan curiga mulai menguasai dirinya.
Setelah beberapa menit, Dinda memutuskan untuk menelepon Alif. Ketika telepon terhubung, suara Alif terdengar biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi.
“Alif, tadi malam kamu di mana?” tanya Dinda dengan nada yang cukup hati-hati, berusaha tidak terdengar cemas.
“Aku makan malam dengan rekan kerja, Dinda. Ada proyek baru yang harus dibahas. Kenapa?” jawab Alif.
“Aku dengar dari Tara, kamu makan dengan seorang wanita,” Dinda menatap ponselnya, menunggu jawaban Alif.
“Dinda, itu cuma rekan kerja. Aku nggak tahu kenapa kamu bisa mendengarnya seperti itu. Aku janji, nggak ada apa-apa.”
Dinda merasakan ada sesuatu yang janggal, tetapi ia memilih untuk percaya pada kata-kata Alif. “Oke, aku percaya kamu.”
Namun, seiring berjalannya waktu, rasa curiga itu tidak hilang sepenuhnya. Dinda tahu bahwa kepercayaan adalah hal yang paling sulit untuk dipulihkan,*
Bab 4 Waktu untuk Rindu
Dinda duduk di balkon kamarnya, memandangi langit sore yang perlahan berubah oranye keemasan. Udara Jakarta yang panas sedikit berkurang, digantikan angin sejuk yang datang dari arah laut. Di tangan kirinya, secangkir teh hangat yang hampir habis, sementara di tangan kanannya, ponsel yang seolah menunggu untuk berbunyi. Sudah beberapa kali ia mengecek, memastikan bahwa ia tidak melewatkan pesan dari Alif. Namun, hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, ponselnya tetap sunyi.
Rindu itu menggelayuti hatinya, membekas seperti luka yang tak bisa disembuhkan hanya dengan waktu. Mereka berdua sudah berusaha keras menjaga komunikasi, namun rasanya semakin lama, semakin banyak hal yang tidak bisa mereka katakan. Ada terlalu banyak kata yang tertahan, terlalu banyak perasaan yang terkubur di antara pesan-pesan singkat dan panggilan video yang kadang terasa lebih seperti rutinitas daripada momen kebersamaan.
Dinda memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Keputusan untuk tetap bertahan dengan hubungan jarak jauh ini bukanlah keputusan yang mudah. Ada saat-saat ketika ia merasa sangat dekat dengan Alif, tetapi ada juga saat-saat ketika ia merasa terasingkan, seolah mereka berdua berada di dunia yang berbeda. Tidak ada lagi kebersamaan di bangku kuliah, tidak ada lagi percakapan panjang yang mengalir begitu alami, tidak ada lagi tawa yang riang di kafe kampus. Hanya ada pesan teks, panggilan video yang terbatas, dan banyak waktu untuk merindu.
“Aku kangen kamu, Alif,” bisik Dinda pada dirinya sendiri, merasakan beratnya kata-kata itu, yang lebih terasa seperti sebuah doa daripada ungkapan perasaan. Rindu itu datang begitu dalam, seperti samudra yang tidak ada ujungnya. Setiap kali ia berbicara dengan Alif, meskipun mereka tertawa dan saling berbagi cerita, ada bagian dari dirinya yang tetap merasa kosong.
Setelah beberapa menit terdiam, Dinda akhirnya membuka aplikasi pesan. Mencari nama Alif di daftar kontaknya, ia ragu sejenak. Apakah ia harus mengirim pesan lagi? Apakah Alif merasa hal yang sama? Ia tidak ingin menjadi terlalu terburu-buru, takut jika itu hanya menunjukkan betapa ia merindukan kehadirannya. Namun, kerinduan itu tak bisa lagi disembunyikan. Dengan cepat, Dinda mengetik pesan:
“Alif, aku rindu banget. Kayaknya sudah lama banget kita nggak ngobrol tanpa waktu yang terbatas.”
Tidak sampai semenit setelah pesan itu terkirim, ponselnya bergetar. Dinda menatap layar, hati berdebar kencang. Pesan dari Alif masuk.
“Aku juga rindu, Dinda. Aku tahu aku sering nggak bisa nyempetin waktu buat kamu, tapi percayalah, aku juga merasa kehilangan. Aku berharap kita bisa lebih sering ngobrol tanpa ada gangguan.”
Dinda tersenyum membaca pesan itu, meskipun ada rasa cemas yang tetap mengendap. Ia tahu bahwa perasaan Alif tidak berbeda jauh darinya. Namun, kadang-kadang, jarak ini benar-benar menguji seberapa besar mereka bisa saling mengerti dan sabar. Mereka tidak lagi bisa menikmati kebersamaan fisik, tidak bisa saling melihat ekspresi wajah secara langsung, tidak bisa merasakan kehangatan tubuh satu sama lain. Semua itu harus digantikan dengan kata-kata, pesan singkat, dan panggilan video yang kadang terasa tidak cukup untuk menutupi kekosongan.
“Aku ingin kita bisa lebih banyak waktu bersama. Aku rindu bisa dengar suaramu lebih lama, tanpa terburu-buru.” Dinda membalas pesan itu dengan hati-hati, mencoba mengungkapkan apa yang sebenarnya dirasakannya.
Beberapa detik kemudian, Alif membalas.
“Aku juga, Dinda. Aku rindu banget sama kamu. Tapi, kamu tahu kan, pekerjaan dan banyak hal lain kadang jadi penghalang. Tapi aku janji, aku akan berusaha lebih baik. Aku nggak mau kita kehilangan komunikasi seperti ini.”
Dinda membaca pesan itu dan merasakannya dalam-dalam. Meski Alif berusaha meyakinkan, hatinya tetap merasakan ada kekosongan. Perasaan tidak lengkap ini kadang-kadang sangat mengganggunya, terutama ketika ia melihat pasangan lain yang bisa bersama setiap saat, bisa berbicara tanpa terbatas oleh jarak. Tetapi ia juga tahu bahwa cinta mereka berbeda, bahwa mereka berdua memilih untuk bertahan meskipun keadaan tidak selalu ideal. Ada pengorbanan dalam setiap langkah yang mereka ambil, dan itu bukan hal yang mudah.
Tiba-tiba, ponsel Dinda bergetar lagi. Kali ini, panggilan video masuk dari Alif. Dinda hampir melompat kegirangan, cepat-cepat menekan tombol terima. Ketika wajah Alif muncul di layar, hati Dinda langsung terasa lebih tenang. Meskipun hanya melalui layar, melihat wajah Alif yang familiar itu memberi perasaan hangat yang selama ini ia rindukan.
“Hai, Dinda. Aku kangen banget sama kamu.” Alif menyapa dengan senyum yang tulus, meskipun matanya tampak lelah.
“Aku juga kangen kamu, Alif. Sudah lama banget rasanya kita nggak ngobrol berdua tanpa batasan waktu.” Dinda tersenyum, meskipun ia tahu, senyum itu tidak bisa sepenuhnya menghapus kerinduan yang ada.
Mereka berbicara tentang banyak hal malam itu. Tentang hari-hari mereka yang penuh dengan kesibukan masing-masing, tentang rencana masa depan yang mulai terasa semakin jauh, tentang hal-hal kecil yang mereka lewatkan. Tapi meskipun obrolan mereka ringan, Dinda bisa merasakan bahwa ada kedalaman di balik setiap kata yang diucapkan. Mereka berdua sama-sama merindukan kehadiran fisik satu sama lain, tetapi lebih dari itu, mereka merindukan kedekatan yang pernah mereka miliki.
“Kapan kita bisa ketemu lagi, Alif?” Dinda akhirnya bertanya dengan penuh harap. Ia tahu bahwa ini adalah pertanyaan yang sulit dijawab, tetapi ia ingin mendengar jawaban itu—jawaban yang memberikan harapan.
“Aku nggak tahu, Dinda. Aku ingin banget bisa secepatnya kembali ke Jakarta, tapi pekerjaan masih banyak yang harus diselesaikan.” Alif menjawab dengan ragu, matanya seakan mencari jawaban di langit kamar yang gelap.
“Aku paham, Alif. Aku cuma… aku cuma nggak bisa berhenti merindukanmu.” Dinda menghela napas, merasa jujur dengan perasaannya.
Alif menatapnya lebih lama, dan Dinda bisa melihat kehangatan dalam tatapannya. “Aku juga rindu kamu, Dinda. Lebih dari yang kamu bayangkan.”
Malam itu, meskipun perasaan rindu mereka masih menggantung, Dinda merasa sedikit lebih tenang. Ada kenyamanan dalam mendengar suara Alif, dalam melihat senyumnya, meskipun jarak mereka masih terjaga oleh ribuan kilometer. Mereka tahu bahwa rindu ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan hanya dengan kata-kata atau panggilan video. Rindu ini adalah perasaan yang harus diterima, dihargai, dan dijaga dengan sabar. Dan meskipun begitu banyak hal yang tidak pasti, satu hal yang pasti adalah bahwa mereka berdua masih saling mencintai, masih berusaha untuk bertahan.
“Aku akan menunggu, Alif,” Dinda berbisik, suaranya lembut namun penuh keyakinan.
“Aku juga akan menunggu, Dinda.” Alif menjawab, suaranya penuh janji.
Mereka mengakhiri panggilan malam itu dengan hati yang sedikit lebih ringan, meskipun kerinduan mereka tetap ada. Tapi malam itu, mereka tahu bahwa walau jarak memisahkan, cinta mereka tidak akan pernah pudar. Dan mereka akan terus berjuang untuk menjaga cinta itu, satu pesan, satu panggilan, satu rindu pada waktunya.*
Bab 5 Pertemuan yang Menyentuh
Pagi itu, Dinda bangun dengan perasaan campur aduk. Setelah berbulan-bulan hanya berkomunikasi lewat pesan dan panggilan video, akhirnya hari yang dinantikannya tiba. Hari ini, ia akan bertemu dengan Alif setelah sekian lama terpisah oleh jarak yang begitu jauh. Hatinya berdegup kencang setiap kali ia membayangkan momen itu, pertemuan yang sudah terlalu lama tertunda. Apakah rasanya akan sama seperti dulu? Ataukah semuanya sudah berubah?
Dinda duduk di tepi tempat tidurnya, memandang langit Jakarta yang cerah di luar jendela. Pagi itu terasa berbeda. Ada kebahagiaan yang meluap, tetapi juga kecemasan yang menggelayuti. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa segala yang ia rasakan selama ini adalah bagian dari perjalanan cinta mereka—sebuah perjalanan yang penuh dengan pengorbanan, rindu, dan harapan. Tetapi tetap saja, perasaan ini sulit untuk dijelaskan.
Setelah sarapan cepat dan berdandan dengan sederhana namun penuh perhatian, Dinda memutuskan untuk berangkat lebih awal. Ia tidak ingin terlambat, tidak ingin momen yang sangat berarti ini terganggu oleh hal-hal yang bisa dicegah. Ponselnya bergetar di dalam tas, dan Dinda melihat pesan dari Alif yang baru saja dikirim.
“Dinda, aku sudah sampai di bandara. Nggak sabar nungguin kamu.”
Dinda tersenyum lebar membaca pesan itu. Hatinya sedikit lebih tenang, meskipun masih terasa gugup. Bagaimana rasanya melihatnya lagi setelah begitu lama? Apakah Alif masih sama seperti dulu? Ataukah ada sesuatu yang berubah selama mereka berpisah? Semua pertanyaan itu terlintas di benaknya, tetapi ia berusaha menepisnya.
Setibanya di bandara, Dinda bisa merasakan atmosfer yang berbeda. Ia tahu, kali ini bukan perjalanan bisnis atau sekadar pertemuan singkat. Ini adalah pertemuan mereka yang sudah lama tertunda sebuah pertemuan yang penuh dengan kerinduan dan harapan. Ia melangkah cepat menuju area kedatangan, matanya terus mencari sosok yang sudah terlalu lama ia rindukan.
Tiba-tiba, Dinda melihat sosok yang sangat dikenalnya. Alif berdiri di sana, dengan ransel di pundaknya, mengenakan jaket biru tua yang biasa ia pakai, dan senyum lebar yang selalu berhasil membuat hati Dinda berdebar. Semua keraguan, kecemasan, dan kekhawatiran yang menguasai dirinya selama ini seolah lenyap begitu saja ketika ia melihat Alif berdiri di hadapannya. Wajahnya sedikit lebih kurus dari yang Dinda ingat, namun matanya masih memancarkan kehangatan yang sama.
Alif melihat Dinda dan langsung berjalan cepat ke arahnya. Setiap langkahnya terasa begitu dekat, dan seakan-akan waktu itu melambat. Semakin dekat, semakin terasa beban rindu yang begitu kuat. Dinda tidak bisa menahan senyumannya, dan begitu mereka berada dalam jarak yang cukup dekat, tanpa berpikir panjang, Dinda langsung memeluk Alif.
“Akhirnya, kamu datang juga,” Dinda berbisik, suara seraknya hampir tertutup oleh isak tangis yang tiba-tiba muncul. Ia tidak bisa menahan perasaan haru yang mengalir begitu saja. Rasanya seperti baru saja mengembalikan bagian dirinya yang telah hilang.
Alif terdiam beberapa detik, kemudian membalas pelukan itu dengan erat. “Aku juga rindu banget, Dinda. Maaf kalau aku membuat kamu menunggu begitu lama.” Suaranya terdengar penuh penyesalan, namun juga kehangatan yang menghapus semua keraguan Dinda.
Mereka terpisah sejenak, tetapi Alif masih memegang kedua bahu Dinda, seolah memastikan bahwa ia benar-benar ada di sana, bahwa mereka benar-benar bertemu. “Kamu nggak berubah, Dinda,” katanya sambil tersenyum.
Dinda tersenyum lebar, namun ada sedikit air mata yang menggenang di matanya. “Aku rindu banget, Alif. Selama ini aku merasa kamu semakin jauh.”
Alif mengusap pelan air mata yang mulai mengalir di pipi Dinda. “Aku nggak akan pergi lagi, Dinda. Aku janji, kita akan menghadapi semuanya bersama.”
Setelah beberapa detik dalam diam, mereka memutuskan untuk berjalan keluar dari bandara. Suasana di luar sangat cerah, dan Dinda merasa dunia ini lebih indah hanya dengan keberadaan Alif di sisinya. Mereka berjalan berdampingan, beriringan seperti dulu, namun dengan beban rindu yang sudah terbayar.
Setelah beberapa menit berjalan, Alif memutuskan untuk berbicara lebih banyak. “Aku tahu ini tidak akan mudah, Dinda. Ada banyak hal yang harus kita lewati setelah sekian lama terpisah. Tapi yang penting, kita sudah bisa bertemu.”
Dinda mengangguk, menyadari betapa banyak waktu yang telah mereka sia-siakan hanya dengan merindukan satu sama lain. Mereka telah melewati banyak rintangan, dan pertemuan ini bukanlah akhir dari perjuangan mereka, melainkan sebuah permulaan baru. Sebuah babak baru dalam hubungan mereka yang telah teruji oleh waktu dan jarak.
“Aku ingin ini menjadi awal baru, Alif. Aku ingin kita lebih terbuka, lebih banyak berbicara, dan tidak lagi membiarkan jarak menjadi penghalang.” Dinda berkata dengan penuh keyakinan.
Alif menatapnya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana matanya bersinar. “Aku juga, Dinda. Aku sudah janji, kan? Aku nggak akan pergi lagi.”
Mereka berhenti di sebuah kafe kecil, tempat yang Dinda pilih untuk menghabiskan waktu bersama setelah sekian lama. Alif memesan kopi, sementara Dinda memilih teh hangat, keduanya memesan makanan ringan, dan mulai berbicara tentang hal-hal kecil yang sudah lama tidak mereka bahas.
Seiring berjalannya waktu, obrolan mereka semakin santai. Mereka tertawa bersama, saling mengingat kenangan-kenangan kecil yang mereka lalui dulu. Suasana yang akrab dan hangat itu membuat Dinda merasa seperti kembali ke masa-masa mereka dulu, di mana tidak ada lagi jarak yang memisahkan.
Namun, meskipun mereka berbicara banyak hal, Dinda tahu bahwa pertemuan ini lebih dari sekadar pertemuan fisik. Ini adalah momen penting dalam hubungan mereka. Setelah begitu lama, mereka akhirnya bisa bertemu, menghapus rasa rindu yang terpendam, dan membangun kembali kepercayaan yang mungkin sempat tergores oleh waktu dan jarak.
“Alif, aku percaya kita bisa melewati semuanya bersama. Ini mungkin bukan pertemuan terakhir kita, tapi yang pasti, ini adalah pertemuan yang paling berarti.” Dinda berkata dengan tulus.
Alif menatapnya penuh perhatian, dan kemudian mengangguk dengan senyum yang lebih lebar. “Aku juga percaya, Dinda. Dan aku akan selalu ada untuk kamu.”
Mereka menghabiskan waktu itu dengan hati yang penuh kebahagiaan, meskipun ada banyak hal yang masih harus mereka lalui. Tetapi satu hal yang pasti, pertemuan ini memberi mereka kekuatan untuk terus berjuang bersama, untuk melewati segala rintangan yang mungkin akan datang.
Pertemuan yang menyentuh ini bukanlah akhir dari perjalanan cinta mereka, melainkan awal dari babak baru yang lebih indah—di mana jarak tak lagi menjadi penghalang, dan cinta mereka semakin kuat, semakin dalam, seiring berjalannya waktu.*
Bab 6 Memilih untuk Bertahan
Dinda menatap keluar jendela kamarnya, melihat hujan yang turun perlahan di luar. Sejak pagi, hujan tak henti-hentinya mengguyur Jakarta, seolah-olah mencerminkan perasaan yang menguasai hatinya saat ini. Hujan selalu membuatnya merasa melankolis, membawa ingatan akan banyak hal—termasuk perasaan rindu yang masih mengikat dirinya dengan Alif. Sudah dua hari sejak pertemuan mereka di bandara, dan meskipun segala perasaan indah itu masih sangat terasa, Dinda tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir.
Mereka sudah bertemu, sudah saling menghapus kerinduan yang terpendam, tetapi ada sesuatu yang mengganjal di hati Dinda. Beberapa hari setelah pertemuan itu, komunikasi mereka kembali terbatas oleh jadwal masing-masing. Alif masih sibuk dengan pekerjaannya, sementara Dinda terjebak dalam rutinitas kuliah yang tidak pernah berhenti. Jarak yang dulu terasa tidak begitu membebani, kini menjadi semakin nyata, seiring dengan kenyataan bahwa pertemuan mereka tidak serta merta menghilangkan semua keraguan yang ada.
“Apakah ini akan terus seperti ini?” Dinda bertanya pada dirinya sendiri. Suara tawa mereka yang pernah mengisi hari-hari terasa seperti kenangan yang kini semakin memudar. Walaupun mereka berjanji untuk lebih banyak berbicara, dan meskipun perasaan mereka tidak pernah hilang, Dinda merasa seperti ada jarak lain yang mulai tercipta jarak emosional yang bahkan lebih sulit dijembatani daripada jarak fisik.
Ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari Alif. Dinda menghela napas sebelum membuka pesan itu, mencoba mengesampingkan perasaan cemas yang semakin menguasai dirinya. Ia tahu Alif pasti tidak berniat membuatnya khawatir, tetapi kadang-kadang, ada kalanya kata-kata yang tidak diucapkan lebih berisik daripada kata-kata yang terdengar.
“Dinda, aku tahu belakangan ini kita sulit untuk ngobrol. Aku sibuk dengan kerjaan, dan aku tahu kamu juga sibuk dengan kuliah. Tapi aku nggak mau kita saling menjauh. Aku cuma butuh waktu untuk menata semuanya.”
Dinda memejamkan mata, merasakan beban kata-kata itu. Ia tahu Alif tidak bermaksud membuatnya merasa ditinggalkan, tetapi rasa kesepian itu datang begitu saja. Sudah cukup lama mereka harus menahan diri, dan sekarang, setelah mereka akhirnya bertemu, kenapa jarak itu seolah semakin besar?
Ia mengetik balasan dengan perlahan, mempertimbangkan setiap kata yang akan diungkapkan.
“Aku tahu, Alif. Aku juga merasa seperti kita semakin sulit untuk berbicara. Aku rindu obrolan panjang kita, yang nggak terburu-buru. Aku rindu kamu, bukan hanya fisikmu, tapi semua yang kamu berikan dalam hubungan ini.”
Setelah beberapa saat, pesan itu terkirim. Dinda menunggu dengan cemas, berharap Alif mengerti apa yang sedang ia rasakan, berharap ia bisa merespons dengan sesuatu yang memberi kejelasan.
Ponselnya bergetar lagi, kali ini lebih cepat. Alif membalas dengan pesan suara.
“Dinda, aku nggak ingin kamu merasa seperti itu. Aku juga kangen banget sama kamu. Dan aku nggak akan berhenti berusaha. Aku tahu kita sama-sama lelah, tapi aku percaya kita bisa bertahan. Aku memilih untuk bertahan, kalau kamu juga.”
Dinda mendengarkan pesan itu beberapa kali. Suara Alif terdengar penuh kejujuran dan usaha. Namun, apakah itu cukup? Apakah hanya kata-kata saja yang bisa menghapus keraguan di hati Dinda?
Ia tahu jawabannya, meskipun hatinya masih diliputi kebingungan. Mereka berdua sudah melalui begitu banyak hal—jarak, waktu, kesibukan—dan mereka masih di sini, berusaha untuk menjaga cinta itu tetap hidup. Tetapi apakah itu cukup? Apakah hanya bertahan saja yang bisa membawa mereka ke masa depan?
Dengan hati yang berat, Dinda memutuskan untuk berbicara langsung dengan Alif, untuk mengungkapkan semua yang ada di pikirannya. Ia ingin tahu apakah mereka bisa benar-benar bertahan, ataukah ini hanya ilusi sementara yang akan pecah pada akhirnya.
Keesokan harinya, setelah berjam-jam berpikir, Dinda akhirnya menghubungi Alif melalui video call. Ketika layar ponsel menyala, wajah Alif muncul, tampak sedikit lebih lelah dari yang terakhir kali ia lihat. Tetapi mata Alif masih penuh dengan kehangatan.
“Hai, Dinda.” Alif tersenyum tipis, meskipun ada sesuatu yang berbeda dalam senyumnya. Dinda bisa melihat kekhawatiran yang terpendam di sana.
“Hai, Alif. Kita perlu bicara.” Suara Dinda sedikit serak, menunjukkan betapa besar perasaan yang kini menyelimuti hatinya.
Alif mengangguk, menatapnya lebih serius. “Aku tahu. Ada yang mengganggu pikiranmu, ya?”
Dinda menghela napas, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. “Alif, aku tahu kita sudah berusaha untuk bertahan. Tapi kadang aku merasa kita seperti hanya berjalan di tempat. Aku merasa rindu yang kita rasakan belum cukup untuk mengatasi semua kesulitan ini. Aku nggak tahu kalau hanya bertahan itu cukup.”
Alif terdiam sejenak, seperti sedang mencerna kata-kata Dinda. Dinda bisa melihat ekspresi di wajahnya berubah, dari kekhawatiran menjadi ketegasan.
“Dinda, aku mengerti apa yang kamu rasakan. Aku juga merasa seperti itu. Tapi, aku nggak mau menyerah. Aku memilih untuk bertahan karena aku yakin kita bisa melewati semua ini, asal kita terus berjuang bersama. Aku tahu itu nggak akan mudah, dan mungkin kita akan merasa lelah, tapi aku nggak bisa bayangkan hidupku tanpa kamu. Aku memilih kita, Dinda.”
Mata Dinda terasa panas, air mata tiba-tiba muncul tanpa bisa ia bendung. Alif, meskipun jarak memisahkan mereka, tetap bisa membuatnya merasa bahwa ia adalah bagian penting dalam hidupnya. Ada begitu banyak ketidakpastian, tetapi kata-kata Alif seakan memberikan kepastian bahwa mereka akan terus berjuang, bersama-sama.
“Aku juga memilih untuk bertahan, Alif. Aku nggak mau menyerah. Kita mungkin lelah, tapi aku percaya kita bisa lebih kuat jika kita berjuang bersama.”
Setelah beberapa detik dalam diam, Alif tersenyum, dan senyum itu terasa seperti jawaban atas semua keraguan yang ada di hati Dinda. Mereka berdua tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Ada banyak hal yang harus mereka atasi, dan kadang-kadang, jarak dan waktu bisa membuat semuanya terasa sulit. Tetapi satu hal yang pasti: mereka memilih untuk bertahan.
“Aku janji, kita akan menghadapi semuanya bersama.” Alif berkata, suaranya penuh keyakinan.
Dinda menatap layar, merasakan kedamaian yang perlahan menggantikan kecemasan yang selama ini menguasai hatinya. Meskipun masa depan masih penuh dengan ketidakpastian, mereka berdua sudah memilih jalan yang sama jalan untuk bertahan dan terus berjuang, meskipun jarak dan waktu seringkali mencoba untuk menghalangi mereka.
“Aku akan menunggu, Alif. Aku akan menunggu kita, hingga akhirnya kita bisa bersama lagi.”
Mereka mengakhiri percakapan itu dengan hati yang lebih tenang, dengan keputusan yang lebih jelas. Mereka mungkin lelah, mungkin terhalang banyak hal, tetapi satu hal yang tidak bisa diubah adalah cinta yang mereka punya cinta yang lebih kuat dari jarak, waktu, dan segala hal yang mencoba untuk memisahkan mereka. Dan itulah yang membuat mereka tetap memilih untuk bertahan.*
Bab 7 Cinta yang Tak Terhentikan
Pagi itu, Dinda duduk di balkon kamarnya, memandang pemandangan kota Jakarta yang sibuk di bawah sana. Hujan yang turun semalam kini berhenti, meninggalkan udara segar dan sinar matahari yang menembus awan-awan tipis. Meskipun dunia di luar tampak bergerak cepat, hatinya terasa tenang. Mungkin karena dalam dirinya ada satu hal yang tak tergoyahkan: cinta yang tetap bertahan meskipun segala hal menghalangi.
Dinda menatap ponselnya yang tergeletak di meja. Di layar ponselnya, sebuah pesan baru masuk dari Alif. Sejak mereka memilih untuk bertahan, komunikasi mereka sedikit lebih lancar, meski terkadang waktu masih menjadi musuh terbesar mereka. Pekerjaan Alif yang menuntut waktu, dan Dinda yang harus menyelesaikan banyak tugas kuliah, kadang membuat mereka terpisah beberapa hari tanpa saling berbicara. Tetapi mereka berdua tahu, perasaan ini tak akan pernah terhenti.
“Dinda, aku sedang rindu banget sama kamu. Aku janji, kita akan segera bertemu lagi. Aku nggak akan berhenti berusaha untuk kita.”
Dinda membaca pesan itu dengan senyum tipis. Kata-kata Alif selalu membuatnya merasa ada sesuatu yang lebih kuat daripada sekadar jarak dan waktu. Rindu yang mereka rasakan seakan menjadi bahan bakar yang menjaga api cinta mereka tetap menyala, meski terkadang angin kehidupan berusaha memadamkannya.
Namun, meskipun Alif selalu berusaha memberi kepastian, Dinda tidak bisa menepis rasa cemas yang tiba-tiba datang. Mereka sudah berjanji untuk bertahan, tetapi kadang-kadang, rasa rindu yang mendalam itu mengubah segalanya. Dinda tidak ingin terjebak dalam perasaan rindu yang berlarut-larut, yang pada akhirnya bisa mengikis kepercayaan diri. Namun, di sisi lain, ia juga tahu bahwa cinta mereka telah teruji lebih dari sekadar kata-kata. Mereka sudah melalui banyak hal bersama, dan rasa cinta yang mereka miliki selalu kembali, bahkan ketika jarak memisahkan.
Dinda membuka aplikasi video call dan segera menelepon Alif. Tidak lama kemudian, wajah Alif muncul di layar, sedikit kelelahan namun tetap tersenyum hangat. Wajahnya seperti memberikan rasa aman yang selalu Dinda cari.
“Hai, Dinda.” Alif menyapa dengan suaranya yang selalu terdengar penuh ketulusan.
“Hai, Alif.” Dinda membalas dengan senyuman lembut. “Aku rindu kamu.”
Alif mengangguk pelan. “Aku juga, Dinda. Setiap hari, aku merasakan ada yang hilang. Dan aku tahu itu adalah kamu.”
Dinda memejamkan mata sejenak, merasakan kata-kata itu seperti pelukan yang hangat, menyelimuti hatinya yang rindu. Meski mereka terpisah jauh, namun cinta itu selalu kembali dengan cara yang tak terduga. Terkadang, ada hal-hal kecil yang bisa membuat perasaan itu tumbuh semakin besar. Seperti sekarang, saat mereka hanya duduk diam, berbicara dengan mata, meskipun tidak ada banyak kata yang terucap.
“Alif,” Dinda berkata dengan suara pelan, “kita sudah melewati banyak hal bersama, kan? Aku nggak ingin cinta kita berhenti hanya karena jarak.”
Alif tersenyum, mendengarkan setiap kata Dinda dengan penuh perhatian. “Aku tahu, Dinda. Aku janji, cinta ini nggak akan terhenti. Aku akan selalu berusaha, meski kadang-kadang kehidupan membawa kita ke arah yang tak terduga.”
Dinda mengangguk, merasakan kedalaman kata-kata itu. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Ada kalanya kehidupan memberi ujian yang menguji kepercayaan dan ketahanan cinta mereka. Namun, mereka juga tahu bahwa setiap cobaan yang datang justru akan membuat cinta mereka lebih kuat. Cinta yang tumbuh melalui rindu, ujian, dan keteguhan hati.
“Aku percaya kamu, Alif,” Dinda berkata dengan penuh keyakinan. “Aku tahu kita bisa menghadapinya. Meskipun jarak memisahkan kita, cinta ini nggak akan pernah terhenti.”
Alif menatapnya dengan tatapan yang penuh arti, seolah mengatakan bahwa ia juga merasa hal yang sama. Tidak ada yang perlu mereka bicarakan lagi—semua sudah terucap dengan jelas, dan mereka berdua tahu bahwa mereka berdua memilih untuk bertahan. Mereka memilih untuk percaya pada cinta yang tidak terhentikan ini.
Percakapan itu berlangsung dalam keheningan yang nyaman, dengan hati yang penuh rasa cinta yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mereka berdua tahu, meskipun dunia bergerak begitu cepat, perasaan mereka akan selalu tetap di tempat yang sama—di hati masing-masing.
Setelah beberapa menit, Dinda akhirnya membuka suara lagi. “Aku ingin kita merencanakan sesuatu, Alif. Aku ingin kita merencanakan masa depan, bukan hanya terjebak dalam rindu.”
Alif terlihat berpikir sejenak, kemudian senyum kecil muncul di wajahnya. “Aku juga. Aku ingin kita punya sesuatu yang lebih dari sekadar komunikasi lewat pesan dan panggilan video. Aku ingin kita bisa berjuang bersama, membangun sesuatu yang nyata.”
Dinda merasakan harapan itu tumbuh dalam hatinya. Keputusan mereka untuk bertahan bukan hanya tentang menunggu, tetapi juga tentang membangun masa depan bersama, meski tak mudah. Setiap langkah yang mereka ambil, setiap keputusan yang mereka buat, akan semakin mendekatkan mereka pada tujuan yang sama bersama, untuk selamanya.
“Kita bisa melakukannya, Alif,” Dinda berkata, matanya bersinar penuh semangat. “Kita sudah membuktikan bahwa cinta ini lebih kuat dari jarak, dan sekarang kita hanya perlu terus berjuang untuk masa depan kita.”
Alif mengangguk dengan penuh keyakinan. “Aku akan selalu ada untuk kamu, Dinda. Meskipun kita terpisah jauh, cinta kita akan terus tumbuh, dan tidak akan ada yang bisa menghentikannya.”
Mereka mengakhiri percakapan itu dengan senyum dan perasaan yang lebih ringan, seolah-olah mereka sudah menempatkan seluruh kepercayaan mereka pada satu hal yang tak terhentikan cinta yang mereka miliki satu sama lain.
Di luar sana, dunia terus berputar, dan jarak serta waktu akan selalu menjadi tantangan. Namun, bagi Dinda dan Alif, mereka sudah memutuskan satu hal yang pasti: cinta mereka tidak akan pernah berhenti. Cinta yang tumbuh, cinta yang kuat, dan cinta yang tak terhentikan.***
————-THE END—————