Daftar Isi
Bab 1: Bisikan Takdir
Hujan turun dengan derasnya sore itu, membasahi jalanan kota yang mulai dipenuhi genangan air. Langit tampak kelabu, seakan ikut merasakan perasaan Nayla yang sedang tak menentu. Ia berlari kecil menuju halte bus terdekat, berusaha menghindari tetesan hujan yang semakin deras. Namun, takdir sepertinya memiliki rencana lain untuknya.
Di bawah atap halte yang sempit, seorang pemuda berdiri diam, menatap lurus ke depan. Rambutnya yang sedikit basah membuat beberapa helai jatuh ke dahinya. Nayla melirik sekilas, lalu buru-buru merapikan rambutnya yang berantakan akibat angin. Ia tidak ingin terlihat berantakan di depan orang asing.
“Ujan deras banget, ya,” ucap Nayla pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Pemuda itu menoleh, sekilas menatapnya sebelum kembali menatap hujan. Nayla tak menyangka bahwa dari sekian banyak orang di dunia ini, ia harus berbagi tempat berteduh dengan seseorang yang tampaknya tak banyak bicara.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Nayla merapatkan jaketnya, merasa kedinginan. Ia menyesali keputusannya yang tidak membawa payung hari ini.
Tiba-tiba, suara petir menggema di langit, membuatnya sedikit terlonjak kaget. Pemuda itu menoleh lagi, kali ini dengan ekspresi sedikit tertarik. “Kamu takut petir?” tanyanya, suaranya tenang namun cukup jelas untuk terdengar di tengah suara hujan.
Nayla menghela napas dan mengangguk kecil. “Dulu waktu kecil pernah kejebak di luar pas ada badai. Sejak itu jadi nggak suka sama suara petir,” ujarnya, sedikit malu mengakui ketakutannya.
Pemuda itu mengangguk paham, lalu mengalihkan pandangannya ke jalanan yang mulai sepi. “Namaku Arga,” katanya singkat.
Nayla terkejut sejenak, tak menyangka pemuda itu akhirnya berbicara lebih dari satu kalimat. “Aku Nayla,” balasnya cepat.
Mereka kembali diam, tapi kali ini tidak terasa canggung. Ada sesuatu dalam keheningan itu yang membuat Nayla merasa nyaman, seolah ia dan Arga sudah saling mengenal lebih lama dari yang sebenarnya.
Tepat ketika hujan mulai mereda, sebuah bus berhenti di depan mereka. Arga melangkah maju, namun sebelum naik, ia menoleh ke arah Nayla.
“Kamu nunggu bus yang sama?” tanyanya.
Nayla menggeleng. “Aku nunggu yang ke arah selatan.”
Arga mengangguk, lalu menaiki busnya. Namun, sebelum pintu bus tertutup, ia sempat berkata pelan, “Sampai ketemu lagi, Nayla.”
Nayla terpaku. Sampai ketemu lagi?
Ia bahkan tidak tahu apakah mereka akan bertemu lagi atau tidak. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam kata-kata Arga yang terasa berbeda. Seperti bisikan takdir yang mengisyaratkan bahwa pertemuan ini bukan kebetulan belaka.
Dan di sanalah, di bawah langit yang masih menyisakan rintik hujan, hati Nayla berbisik pelan. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang belum ia pahami, tetapi hatinya sudah mulai merasakan.*
Bab 2: Senyum yang Tertinggal
Sejak pertemuan di halte bus sore itu, ada sesuatu yang berbeda dalam diri Nayla. Ia masih bisa mengingat dengan jelas suara tenang Arga, cara pemuda itu menatap hujan, dan kata-kata terakhirnya sebelum bus membawanya pergi. “Sampai ketemu lagi, Nayla.”
Kata-kata itu terus terngiang di benaknya. Mungkinkah mereka akan benar-benar bertemu lagi? Ataukah itu hanya ucapan basa-basi belaka?
Nayla menggeleng pelan, mencoba mengusir pikirannya yang terasa konyol. “Baru ketemu sekali, sudah berpikir sejauh ini,” gumamnya sambil menatap ke luar jendela kelas.
Langit cerah hari ini, jauh berbeda dari sore hujan yang mempertemukannya dengan Arga. Namun, perasaan aneh yang muncul saat itu masih tersisa. Ada sesuatu dari Arga yang membuatnya penasaran.
“Nay, kamu kenapa sih? Dari tadi kayak orang melamun,” suara Dita, sahabatnya, membuyarkan lamunannya.
Nayla menoleh dengan sedikit terkejut. “Nggak, nggak kenapa-kenapa,” jawabnya cepat.
Dita mengerutkan kening. “Serius? Biasanya kamu yang paling aktif di kelas, sekarang malah melamun terus.”
Nayla hanya tersenyum kecil, tidak tahu bagaimana harus menjelaskan. Haruskah ia menceritakan tentang Arga? Tapi itu terasa aneh. Mereka hanya bertemu sekali, dan Nayla bahkan tidak tahu apakah pertemuan itu berarti sesuatu bagi Arga atau hanya kebetulan biasa.
Bel masuk berbunyi, menandakan kelas akan dimulai. Namun, saat Nayla hendak berbalik, matanya tiba-tiba menangkap sosok yang tak asing memasuki kelas di seberang lorong.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Itu… Arga.
Ia mengenakan seragam sekolah yang sama dengan Nayla, dengan ransel hitam di punggungnya. Rambutnya yang sedikit acak-acakan tetap membuatnya terlihat menarik. Nayla tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Dia sekolah di sini?” bisiknya pelan.
Dita mengikuti arah pandangan Nayla, lalu tersenyum iseng. “Oh, kamu lihat Arga? Dia anak baru di kelas sebelah. Katanya baru pindah dari luar kota.”
Nayla menoleh cepat. “Kamu kenal dia?”
Dita mengangguk. “Aku nggak terlalu kenal sih, cuma dengar dari anak-anak lain. Kenapa? Kamu tertarik?” godanya sambil menyikut lengan Nayla.
“Enggak!” Nayla buru-buru mengelak, meski pipinya sedikit memanas.
Namun, sepanjang pelajaran berlangsung, pikirannya terus melayang ke arah satu hal: ini bukan kebetulan.
Saat jam istirahat tiba, Nayla berjalan ke kantin bersama Dita. Namun, pikirannya masih tertuju pada Arga. Ia bertanya-tanya apakah pemuda itu masih mengingat pertemuan mereka di halte bus.
Seakan menjawab pertanyaannya, tepat ketika ia berbelok di lorong menuju kantin, ia melihat Arga berjalan dari arah berlawanan.
Nayla menahan napas tanpa sadar.
Ketika mereka berpapasan, Arga menoleh. Sejenak, tatapan mereka bertemu. Waktu terasa melambat.
Lalu, sesuatu yang membuat jantung Nayla berdetak lebih cepat terjadi—Arga tersenyum.
Itu bukan senyum biasa. Ada sesuatu dalam cara dia melakukannya, seolah mengingat sesuatu, seolah senyumnya itu adalah kelanjutan dari percakapan yang sempat terputus di halte bus.
Nayla hanya bisa membeku di tempatnya.
Dita yang berjalan di sampingnya langsung menyadari sesuatu. “Oh… aku ngerti sekarang,” gumamnya pelan, menyeringai.
“Apa?” Nayla berpura-pura tidak mengerti.
“Terserah kamu deh,” kata Dita sambil menarik Nayla menuju kantin.
Tapi meski Dita terus berbicara, perhatian Nayla masih tertinggal di lorong itu. Senyum itu…
Sebuah senyum yang tertinggal di hatinya.*
Bab 3: Dekat yang Tak Terucap
Hari-hari setelah pertemuan singkat itu, hidup Nayla seolah dipenuhi oleh bayang-bayang Arga. Setiap kali dia bertemu dengan pemuda itu di sekolah, rasanya ada sesuatu yang mengalir di antara mereka, meskipun tak pernah diungkapkan dengan kata-kata. Senyum Arga yang sering mengarah padanya, pandangannya yang penuh arti, seolah menyampaikan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebetulan. Namun, Nayla bingung—apakah itu hanya perasaannya saja?
Pagi ini, Nayla berjalan menuju kelas dengan langkah ringan, meski hatinya sedikit cemas. Ia merasa ada yang berbeda. Arga duduk di bangku yang sama, di sisi kelas yang berseberangan dengan Nayla, namun dalam beberapa hari terakhir, mereka kerap bertemu di koridor atau bahkan di lapangan olahraga. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya tatapan singkat yang seolah berbicara banyak hal.
Hari ini, seperti biasa, mereka bertemu di kantin. Nayla sedang duduk bersama Dita, menikmati makan siang. Tapi, seperti yang sudah terjadi beberapa kali sebelumnya, matanya tidak bisa lepas dari sosok Arga yang sedang berdiri di ujung kantin, berbicara dengan teman-temannya. Arga tertawa, tampaknya sedang menikmati suasana, namun Nayla merasakan ada sesuatu yang lain dalam senyum itu. Sesuatu yang seolah hanya untuknya.
“Yakin kamu nggak mau ngambil kesempatan?” goda Dita dengan nada menggoda.
Nayla menoleh dan tersenyum malu. “Maksud kamu?”
Dita menunjuk ke arah Arga. “Ya, dia tuh sering banget lihat kamu, Nay. Kamu nggak penasaran?”
Nayla hanya mengangkat bahu, meski hatinya berdebar. “Kami cuma teman, kok,” jawabnya dengan nada yang lebih seperti pertanyaan, seolah dirinya sendiri ragu dengan apa yang baru saja diucapkannya.
Namun, tak lama setelah itu, Arga mendekat ke meja mereka. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia duduk di kursi kosong yang ada di samping Nayla. Kejadian ini bukan pertama kalinya, namun tetap saja hati Nayla berdegup kencang setiap kali Arga berada dekat dengannya.
“Boleh duduk?” tanya Arga sambil tersenyum.
Nayla hanya mengangguk, sedikit gugup. “Tentu.”
Arga duduk dengan santai, memandang sekeliling kantin, sementara Nayla hanya bisa menatap piring makannya, merasa canggung. Suasana di sekitar mereka tampaknya menjadi lebih hening, meskipun Dita sudah berusaha mencairkan suasana dengan bercerita tentang tugas kelompok mereka.
Namun, Arga sepertinya lebih tertarik pada Nayla. “Kamu nggak makan siang? Kenapa cuma makan ini?” tanyanya sambil menunjuk sepiring nasi goreng di depan Nayla.
Nayla tersenyum kecil. “Aku nggak terlalu lapar. Lagi pengen makan ini aja.”
Arga mengangguk, seolah mengerti, tapi ada tatapan penuh makna yang membuat Nayla merasa semakin tak nyaman. Ada jarak yang dekat di antara mereka, namun masih ada sesuatu yang belum terucap. Mereka berdua tahu itu, namun entah mengapa, tak ada kata-kata yang keluar dari bibir mereka.
“Tapi… kenapa aku merasa kamu nggak asing?” tanya Arga dengan nada pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Nayla menatapnya dengan tajam, merasa matanya berbicara lebih dari sekadar kata-kata. “Aku juga merasa begitu,” jawab Nayla akhirnya, meskipun suara hatinya berbisik bahwa mungkin perasaan mereka memang sudah ada sejak lama, bahkan sebelum mereka bertemu di halte bus.
Saat itu, keduanya hanya saling menatap, mengerti bahwa ada sesuatu yang belum terungkapkan. Ada perasaan yang mengalir di antara mereka, perasaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, namun tetap ada.
Dita yang duduk di depan mereka, menatap Nayla dengan senyuman penuh arti. “Kalian berdua ini, kenapa nggak ngobrol lebih banyak? Kayaknya ada yang nggak diungkapkan, deh,” ujarnya dengan canda.
Arga tertawa pelan, sementara Nayla hanya bisa tersenyum canggung. “Kami… cuma ngobrol sedikit,” jawab Nayla, meski hatinya merasa semakin berat dengan setiap kata yang tak terucap.
Suasana kembali menjadi tenang, namun Nayla bisa merasakan kedekatan itu semakin kuat. Mereka tidak perlu banyak kata untuk tahu bahwa ada perasaan di antara mereka, perasaan yang tumbuh tanpa perlu pengakuan, hanya melalui senyuman dan tatapan yang penuh arti.
Saat Arga akhirnya berdiri dan melangkah pergi, ia menoleh sejenak ke arah Nayla. “Nanti kita ngobrol lagi, ya,” katanya dengan nada lembut.
Nayla hanya bisa mengangguk, meski dalam hatinya, ia tahu bahwa kedekatan ini lebih dari sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak perlu diungkapkan dengan kata-kata. Hanya perasaan yang terjaga, tumbuh dengan perlahan, di antara keduanya.
Dan meskipun mereka belum pernah berbicara tentang perasaan mereka, Nayla merasa bahwa tak perlu ada kata-kata untuk menyatakan apa yang sudah ada di antara mereka. Cukup dengan senyuman, dan dengan kedekatan yang tak terucap.*
Bab 4: Saat Hati Berbisik
Hari-hari berlalu dengan lambat, namun bagi Nayla, setiap detik yang dilewatinya bersama Arga terasa begitu cepat. Keberadaan Arga di sekitar Nayla kini seolah menjadi bagian dari rutinitas yang tak terpisahkan. Meski jarang ada percakapan mendalam, senyum dan tatapan Arga sudah cukup menjadi bahasa yang mereka pahami. Nayla semakin menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertemanan biasa antara mereka. Ada rasa yang tumbuh, hal yang tak pernah bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Pagi itu, seperti biasa, Nayla duduk di bangkunya di kelas, menatap kosong ke luar jendela. Namun, pikirannya tak pernah lepas dari Arga. Ada perasaan yang terus berbisik di dalam hatinya, mengingatkan tentang betapa dekatnya mereka, meski keduanya belum pernah secara terang-terangan mengakui hal itu. Nayla merasa cemas, namun juga senang, karena akhirnya ada seseorang yang bisa membuat hatinya berdegup lebih kencang.
“Tadi, Arga lihat kamu, loh,” ujar Dita dengan ceria saat mereka berjalan menuju kantin di jam istirahat.
Nayla hanya tersenyum kecil, berusaha menutupi perasaan yang mulai menguasai dirinya. “Mungkin cuma kebetulan,” jawab Nayla, meskipun hatinya tahu bahwa perasaan yang ada antara dia dan Arga lebih dari sekadar kebetulan.
Dita memandang Nayla dengan pandangan yang penuh arti. “Kamu nggak usah malu, Nay. Kalau dia sudah sering banget ngelirik kamu, itu artinya ada yang lebih, deh. Apalagi, kalian berdua kayak nggak bisa lepas dari satu sama lain.”
Nayla hanya mengangguk pelan, meskipun hatinya bertanya-tanya, apakah Dita benar? Apakah Arga juga merasakan hal yang sama? Atau apakah Nayla hanya berimajinasi terlalu jauh tentang semua ini?
Saat mereka tiba di kantin, tak lama kemudian Arga datang. Dengan langkah santainya, Arga melangkah menuju meja tempat Nayla dan Dita duduk. Begitu sampai, ia tersenyum dan berkata, “Hai, Nayla. Boleh duduk?”
Nayla merasa jantungnya berdebar begitu mendengar suara Arga. Sungguh, ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang sulit dijelaskan, ketika Arga berada di dekatnya. “Tentu, Arga,” jawab Nayla, berusaha terdengar santai meskipun hatinya sedang bergejolak.
Saat Arga duduk di sampingnya, ada keheningan yang terasa begitu nyaman, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Dita yang melihat suasana itu hanya tersenyum simpul, lalu dengan cepat melanjutkan makannya, memberi ruang bagi keduanya.
“Jadi, kamu lagi sibuk apa, Nay?” tanya Arga, mengalihkan perhatian Nayla dari kegelisahan yang menghantuinya.
“Ah, cuma belajar sedikit buat ujian minggu depan,” jawab Nayla, meskipun pikirannya lebih banyak terfokus pada Arga.
Arga tersenyum, tampak puas dengan jawaban itu. “Kamu nggak pernah kelihatan stres atau terburu-buru, Nay. Padahal ujian itu penting, kan?”
Nayla mengangkat bahu. “Aku cuma mencoba menikmatinya, nggak mau terlalu stres.”
Arga mengangguk. “Itu sikap yang bagus. Jangan terlalu dipikirkan, yang penting tetap tenang.”
Kedekatan itu terasa semakin nyata. Tidak ada kata-kata besar atau pengakuan yang keluar, tetapi hati mereka berbicara dalam diam. Ada perasaan yang begitu dalam, yang tak perlu diungkapkan dengan ucapan. Arga tidak pernah berbicara tentang perasaannya secara eksplisit, tetapi ada cara tertentu dia memperlakukan Nayla yang membuatnya merasa istimewa.
“Eh, aku ada sesuatu buat kamu,” ujar Arga tiba-tiba, mengeluarkan selembar kertas dari tasnya. “Ini catatan yang aku buat kemarin, buat bantu kamu belajar. Mungkin bisa membantu.”
Nayla terkejut. “Oh, terima kasih banyak, Arga. Kamu nggak perlu repot-repot, kok.”
Arga tersenyum dengan cara yang membuat Nayla semakin sulit menahan perasaannya. “Nggak masalah, Nayla. Aku senang kalau bisa bantu kamu.”
Tiba-tiba, suasana berubah menjadi lebih serius. Nayla bisa merasakan adanya sesuatu yang berbeda dari sikap Arga. Tatapannya lebih dalam, seolah mengandung makna yang lebih. Hati Nayla berdebar kencang.
“Sebenarnya,” kata Arga dengan suara yang lebih rendah, “aku ingin ngomong sesuatu, tapi… rasanya aneh kalau aku langsung bilang.”
Nayla menatap Arga dengan penuh perhatian, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Apa itu?” tanyanya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang, meskipun di dalam hatinya, ia sudah tahu jawabannya.
Arga terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku cuma merasa… ada sesuatu di antara kita. Aku nggak tahu harus ngomong apa, tapi aku nggak bisa pura-pura nggak tahu kalau setiap kali aku deket sama kamu, rasanya berbeda.”
Hati Nayla berdebar kencang. Dia tak bisa menghindari perasaan itu lagi. Arga pun merasakannya, dan dia tidak sendirian dalam kebingungannya. “Aku juga merasa begitu, Arga,” jawab Nayla, dengan suara bergetar. “Tapi aku nggak tahu harus bagaimana.”
Arga tersenyum, senyum yang kali ini bukan hanya untuk sekadar sopan, tetapi juga penuh makna. “Kita nggak perlu terburu-buru, Nayla. Yang penting, kita bisa tetap dekat, dan biarkan perasaan ini berkembang dengan sendirinya.”
Saat itu, Nayla merasa seolah dunia berhenti berputar. Mereka tidak perlu banyak kata untuk mengungkapkan apa yang ada di hati mereka. Hati mereka berbicara, saling berbisik dengan penuh harapan, dan kedekatan mereka semakin menguat, tak terucapkan dengan kata-kata, tetapi begitu nyata.
Malam itu, saat Nayla terbaring di tempat tidurnya, perasaan yang ada di dalam hatinya semakin jelas. Ia tak bisa menahan perasaan ini lagi. Ketika hati berbicara, tak ada yang bisa menghentikannya. Mungkin inilah awal dari kisah mereka yang tak terucapkan, namun penuh dengan arti.*
Bab 5: Rahasia di Balik Tatapan
Setelah percakapan yang membuat Nayla semakin bingung dan senang pada saat yang bersamaan, segala sesuatu berubah menjadi lebih intens. Arga, yang selalu tampil dengan senyum tenangnya, kini seolah menyimpan rahasia besar yang menggelayuti hatinya. Nayla bisa merasakannya, meskipun ia tak tahu apa yang sebenarnya ada di balik tatapan penuh makna yang sering Arga arahkan kepadanya.
Hari itu, setelah kelas selesai, Nayla berjalan keluar menuju halte bus. Langit sore begitu cerah, namun hatinya penuh dengan pertanyaan yang terus berputar. Arga, yang biasa duduk di sampingnya di setiap kesempatan, tidak muncul seperti biasanya. Nayla merasakannya. Ada kekosongan. Bahkan meskipun hanya beberapa jam, Arga telah menjadi bagian dari kehidupannya yang tak terpisahkan.
Ketika Nayla hampir sampai di halte, ia mendengar langkah kaki mendekat. Dengan cepat, ia menoleh dan melihat Arga berjalan menghampirinya. Matanya yang biasa tajam kini terlihat sedikit lebih lembut, dan senyum di wajahnya tak sebesar biasanya. “Nayla, tunggu,” suara Arga mengalun tenang, namun penuh beban.
Nayla tersenyum, meskipun hatinya merasakan keanehan. “Ada apa, Arga? Kenapa lama?”
Arga berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan yang berbeda dari biasanya. Ada kekhawatiran yang terpancar di matanya, namun juga rasa yang sulit diungkapkan. “Aku… aku nggak bisa pura-pura nggak tahu lagi, Nayla.”
Nayla mengernyitkan dahi, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Pura-pura apa?”
Arga menarik napas panjang. “Tentang perasaan aku. Tentang kamu,” katanya, suaranya serak, seolah berat untuk mengatakannya.
Mata Nayla melebar, tetapi dia berusaha tetap tenang. “Apa maksud kamu?” tanyanya, walaupun hatinya sudah tahu apa yang ingin Arga katakan.
“Perasaan aku terhadapmu, Nayla. Aku nggak bisa lagi menahan semuanya. Setiap kali aku dekat dengan kamu, rasanya aku ingin lebih dari sekadar teman. Tapi aku nggak tahu apakah kamu merasakannya juga,” jawab Arga, suaranya agak terguncang.
Sekilas, Nayla merasa dunia seakan berhenti berputar. Dia memandang Arga dalam diam, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya. Rasa itu—rasa yang selalu ia simpan dalam hati, yang selalu ditutupinya dengan senyuman dan sikap biasa—ternyata juga dirasakan oleh Arga.
“Tapi…” Nayla menarik napas, sedikit ragu untuk mengucapkan kata-kata berikutnya. “Tapi aku takut kalau kita berubah setelah mengatakannya. Apa yang akan terjadi kalau perasaan ini tidak bisa terbalaskan?”
Arga menatapnya dengan penuh pengertian, dan untuk sesaat, Nayla merasa seolah-olah Arga benar-benar memahami ketakutannya. “Aku juga takut, Nayla. Tapi, aku nggak bisa hidup dengan perasaan ini tanpa mengungkapkannya. Aku ingin kamu tahu bahwa aku peduli lebih dari yang kamu kira.”
Tatapan mereka bertemu, dan untuk beberapa detik, Nayla merasa seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua. Semua kebingungannya, semua keraguan yang selama ini mengisi pikirannya, terasa meleleh begitu saja. Namun, rasa takut itu tetap ada, mengintai dari balik setiap pikiran yang datang.
“Nayla…” suara Arga mengalun pelan, mengalihkan perhatian Nayla dari kekosongan yang mulai menyelimuti hatinya. “Kamu tahu, aku nggak pernah berniat menyakiti kamu. Aku hanya ingin kamu tahu, perasaan ini nyata.”
Nayla memejamkan mata sejenak, merasakan deru napasnya yang sedikit tercekat. “Aku… aku juga merasakannya, Arga. Aku nggak tahu sejak kapan, tapi setiap kali aku dekat denganmu, ada sesuatu yang berbeda.”
Arga tersenyum, senyum yang lebih tulus dari sebelumnya. “Jadi, kamu nggak takut?”
Nayla menggelengkan kepala, meskipun rasa ragu itu masih ada. “Aku takut, tapi aku juga merasa bahwa kita harus mencoba. Mungkin ini yang terbaik.”
Mereka berdiri di sana, saling memandang tanpa kata-kata. Hanya ada tatapan yang berbicara, tatapan yang penuh dengan harapan, namun juga ketakutan. Nayla bisa merasakan bahwa perasaan mereka kini berada di titik yang sangat penting—mereka telah mengungkapkan apa yang selama ini tersembunyi, namun jalan yang harus mereka tempuh masih penuh ketidakpastian.
“Aku nggak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, Nayla,” kata Arga, memecah keheningan yang semakin dalam. “Tapi aku ingin kita coba bersama-sama.”
Nayla mengangguk perlahan. “Aku juga ingin itu, Arga. Tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai apa yang kita rasakan merusak semuanya.”
Arga mengulurkan tangannya, dan tanpa berpikir panjang, Nayla meraihnya. Tangan mereka bersentuhan, memberikan rasa hangat yang menenangkan hati mereka berdua. Meskipun mereka tahu bahwa mereka belum siap sepenuhnya, namun langkah pertama telah diambil.
“Apapun yang terjadi, aku janji aku nggak akan menjauhkan diri dari kamu, Nayla,” kata Arga, tatapannya kini lebih lembut dan penuh keyakinan.
Nayla mengangguk, mencoba menenangkan perasaan yang kini berkecamuk di dalam dirinya. “Aku juga janji, Arga.”
Tatapan mereka kembali bertemu, dan untuk sesaat, semuanya terasa lebih sederhana. Tak ada yang perlu ditakutkan, tak ada yang perlu dijelaskan lebih lanjut. Hanya ada kedekatan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya ada perasaan yang begitu dalam, yang kini telah terungkap.
Namun, di balik tatapan itu, ada rahasia yang belum sepenuhnya terungkap. Ada hal-hal yang masih tersembunyi, dan Nayla tahu bahwa jalan mereka belum berakhir. Tetapi satu hal yang pasti—mereka telah memasuki babak baru dalam kisah ini, sebuah kisah yang penuh dengan harapan, ketakutan, dan kemungkinan yang tak terhitung.*
Bab 6: Hujan dan Air Mata
Langit mendung menggantung berat, seperti menggambarkan perasaan Nayla yang semakin hari semakin berat pula. Rintik hujan yang mulai turun perlahan menyentuh tanah, membawa suasana yang seolah menjadi simbol dari ketegangan yang ada dalam dirinya. Beberapa minggu terakhir, hubungan dengan Arga tidak pernah secerah hari-hari sebelumnya. Meskipun keduanya telah mengungkapkan perasaan masing-masing, ada jarak yang semakin terasa. Sesuatu yang tak pernah mereka duga.
Hari itu, Nayla berjalan pulang dari kampus dengan langkah yang lebih lambat dari biasanya. Hujan mulai turun dengan deras, membuatnya terpaksa menepi ke bawah pohon besar di dekat jalan. Kakinya terasa lelah, dan hatinya dipenuhi perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Dia mengeluarkan ponsel dari tasnya, melihat pesan singkat dari Arga yang masuk tadi pagi, namun belum dibalasnya. Arga mengatakan ingin bertemu, tapi Nayla ragu. Ia merasa ada yang mengganjal, meskipun hatinya ingin sekali mendengar suara Arga.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar lagi. Pesan dari Arga kembali masuk, kali ini lebih singkat, tapi cukup membuatnya terdiam: “Nayla, kita harus bicara.”
Nayla menatap layar ponsel itu untuk beberapa saat, lalu melangkah pergi dari tempat berteduh, berusaha menyusuri trotoar yang basah. Hujan semakin deras, seolah alam pun merasakan kegundahannya. Dia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan mudah. Hujan yang turun begitu cepat seolah menjadi pertanda bahwa hati mereka akan melalui badai yang lebih besar.
Saat sampai di café kecil yang mereka pilih untuk bertemu, Nayla menemukan Arga sudah duduk menunggu di sudut ruangan, tampak gelisah. Pria itu memandangnya dengan mata yang sedikit menyiratkan rasa khawatir, berbeda dari sikapnya yang biasanya tenang. Ia tersenyum tipis saat melihat Nayla, namun senyum itu tidak mampu menyembunyikan kegundahaan di wajahnya.
“Arga,” Nayla menyapa lembut, melangkah mendekat dan duduk di seberangnya.
“Hujannya deras banget ya,” Arga mencoba memulai percakapan, mencoba mencairkan suasana. Namun, Nayla bisa merasakan bahwa ini lebih dari sekadar obrolan ringan tentang cuaca.
“Iya,” Nayla menjawab singkat, tidak tahu harus berkata apa. Rasa cemas mulai menguasai dirinya.
Beberapa detik berlalu, keduanya hanya diam, saling menatap tanpa tahu apa yang harus diungkapkan terlebih dahulu. Nayla merasakan ada sesuatu yang berubah di antara mereka. Sebelumnya, saat mereka pertama kali mengungkapkan perasaan mereka, dunia terasa penuh warna. Namun kali ini, ada keraguan yang menyelimuti hati Nayla.
Akhirnya, Arga membuka mulutnya, suaranya terdengar berat, seperti ada sesuatu yang sulit untuk diungkapkan. “Nayla, aku merasa ada yang salah dengan kita. Aku… aku nggak bisa pura-pura nggak merasa, tapi aku juga nggak ingin menghancurkan semuanya.”
Hati Nayla terasa mencelos. Apa maksudnya? Bukankah mereka baru saja menyatakan perasaan satu sama lain? Bukankah mereka telah sepakat untuk mencoba bersama-sama? “Apa maksudmu, Arga?” tanyanya pelan, suaranya serak.
Arga menarik napas panjang, matanya menghindari tatapan Nayla. “Aku rasa kita nggak siap. Aku terlalu fokus dengan diriku sendiri, dan aku nggak ingin melibatkanmu dalam ketidakpastian ini.” Ia menatap Nayla, mencoba membaca ekspresi wajah gadis itu. “Aku takut, Nayla. Aku takut kalau aku menyakitimu.”
Kata-kata Arga mengiris hatinya. Nayla bisa merasakan ada sesuatu yang sangat berat di dada Arga. Ia tahu bahwa Arga tidak pernah berniat untuk menyakitinya, tetapi perasaan itu tetap ada, menancap dalam-dalam di hatinya. “Jadi, kamu ingin berhenti?” tanya Nayla, bibirnya bergetar meski ia berusaha menahannya.
Arga terdiam. Wajahnya terlihat semakin cemas, dan Nayla bisa melihat matanya yang mulai berkaca-kaca. “Aku nggak tahu… Aku nggak tahu kalau aku cukup kuat untuk ini. Aku tidak ingin melukaimu, Nayla,” jawabnya dengan suara yang penuh keraguan.
Hati Nayla terasa hancur. Semua yang mereka bangun bersama terasa hancur seketika. Dia merasa seolah dunia di sekelilingnya mengabur, teredam oleh derasnya hujan di luar. “Tapi kita sudah berjanji, Arga. Kita sudah berjanji untuk mencoba,” kata Nayla dengan suara yang hampir tak terdengar, menahan air mata yang mulai menggenang.
Arga menggenggam tangan Nayla, namun tangan itu terasa dingin, seakan tidak cukup kuat untuk memberi kenyamanan. “Aku tahu, dan aku sangat menyesal karena merasa seperti ini. Tapi aku nggak bisa melanjutkan sesuatu yang aku rasa nggak bisa aku beri 100 persen. Aku takut aku akan mengecewakanmu.”
Nayla menundukkan kepala, merasakan air mata yang mulai menetes. Hujan di luar terasa seperti sebuah irama yang mengiringi perasaannya yang hancur. “Jadi, kamu memilih untuk mundur?” tanyanya, suaranya hampir tak terdengar, terhimpit oleh perasaan sakit yang begitu dalam.
Arga menatap Nayla dengan tatapan penuh penyesalan. “Aku nggak ingin kamu merasa terluka, Nayla. Itu yang aku khawatirkan.”
Tetesan air mata Nayla semakin deras. Dalam keheningan itu, hanya ada suara hujan yang mengguyur jendela. Dia merasakan betapa jauh jarak mereka, meskipun mereka duduk begitu dekat. Rasa sakit itu begitu mendalam, jauh lebih besar dari apapun yang pernah ia rasakan sebelumnya. “Aku nggak tahu kalau ini harus berakhir seperti ini,” gumam Nayla, suaranya pecah.
Arga mengelus rambut Nayla dengan lembut, namun Nayla bisa merasakan bahwa dia tidak lagi bisa menahan perasaan yang selama ini tersimpan. “Aku sayang kamu, Nayla, tapi aku nggak bisa terus seperti ini jika aku nggak siap.”
Nayla menatap Arga untuk terakhir kalinya, mencoba mencerna semua kata-kata itu. Hujan di luar semakin deras, seperti menggambarkan kesedihan yang sedang ia rasakan. Dalam hatinya, Nayla tahu bahwa cinta pertama memang sering kali penuh dengan kesakitan dan ketidakpastian. Namun, dia juga tahu bahwa suatu hari, hati mereka mungkin akan menemukan jalan kembali.
Hari itu, di bawah rintik hujan yang tak kunjung reda, Nayla dan Arga menatap dunia yang terasa berbeda dari sebelumnya. Ada yang hilang, namun juga ada yang tetap ada di dalam hati mereka—sebuah rasa yang tak pernah bisa dihapus, meskipun harus berpisah untuk sementara.*
Bab 7: Jarak yang Menyesakkan
Hari-hari berlalu, dan Nayla merasa seperti terjebak dalam kekosongan yang semakin mendalam. Seminggu setelah pertemuan itu, ia belum bisa benar-benar mengatasi perasaan yang terus menghantuinya. Meskipun Arga berkata bahwa dia membutuhkan waktu untuk memikirkan semuanya, kenyataannya, jarak di antara mereka semakin membentang jauh. Setiap pesan yang dikirimkan Arga terasa seperti peluru yang menghujam hatinya, karena di dalam setiap kata yang tidak terucap, ia merasakan betapa beratnya keputusan yang telah diambil.
Pagi itu, Nayla duduk di kamar kost-nya dengan ponsel di tangan, menatap layar yang seolah kosong. Meski ada banyak pesan yang belum dibalas, ia merasa tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu Arga sedang sibuk dengan kehidupannya, seperti yang selalu dia lakukan sebelumnya—tetapi entah mengapa, kali ini rasanya berbeda. Dia tidak bisa mengabaikan betapa besar jarak yang terbentuk di antara mereka.
Hujan kembali turun dengan deras, seolah alam pun merasa kegalauan hatinya. Nayla meraih jaketnya, memutuskan untuk berjalan-jalan keluar, berharap bisa menenangkan pikirannya yang sedang kacau. Ia berjalan tanpa tujuan, hanya mengikuti jalan setapak yang membawanya ke taman kota yang sepi. Hanya ada suara langkah kakinya yang menggema di sepanjang trotoar basah.
Setibanya di taman, ia duduk di bangku yang biasa mereka duduki bersama, tempat yang selalu menjadi saksi bisu dari perasaan yang tumbuh antara mereka. Dulu, saat mereka duduk di sini, dunia terasa begitu kecil. Arga selalu bisa membuatnya tertawa, memberikan kenyamanan meski dalam keadaan yang paling sulit sekalipun. Namun kini, tempat itu terasa sangat sepi, dan kenangan-kenangan indah itu mulai menguap seiring dengan berjalannya waktu.
Nayla menatap tangan kosong di pangkuannya, seolah menunggu sesuatu yang tak pernah datang. Semakin lama, ia merasa seperti terjebak dalam ruang kosong yang tak ada habisnya. Ia merindukan Arga, lebih dari yang bisa dia ungkapkan. Namun, dalam setiap detik kesendiriannya, Nayla merasa bahwa dirinya semakin jauh dari orang yang pernah begitu dekat dengannya.
Ketika memandang langit yang mendung, Nayla mulai berpikir. Seandainya waktu bisa diputar kembali, apakah mereka akan menemukan jalan keluar yang lebih baik? Apakah mereka akan bisa mengatasi perasaan yang semakin rumit ini? Arga, dengan segala ketidakpastiannya, telah membuatnya merasakan ketidakpastian yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Tidak ada kepastian tentang hubungan mereka, hanya ada rasa takut yang semakin dalam.
Tiba-tiba, ponsel Nayla berbunyi. Sebuah pesan masuk. Hatinya berdegup kencang, berharap itu dari Arga. Namun, saat melihat pengirimnya, ia merasa seolah ada beban yang semakin berat menekan dadanya. Pesan itu datang dari teman dekatnya, Rina.
“Nayla, aku lihat Arga di kafe tadi pagi. Bersama dengan gadis lain.”
Rasa sakit itu datang begitu cepat, seolah segala harapan yang sempat ada runtuh seketika. Nayla menatap layar ponsel itu untuk beberapa saat, berusaha mencerna apa yang baru saja dibacanya. Arga bersama dengan gadis lain? Pasti ada penjelasan untuk itu, kan? Mungkin hanya teman biasa, mungkin hanya kebetulan, pikir Nayla, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Tetapi, hatinya yang hancur semakin merasa sesak.
Ia kembali menatap langit, seolah mencari jawaban yang tak kunjung datang. Rasa cemburu itu datang begitu cepat, mengalir dalam darahnya yang terasa begitu panas. Tetapi di sisi lain, Nayla juga merasa bingung. Apa yang salah dengan dirinya? Mengapa jarak yang semakin jauh ini membuatnya merasa seperti terperangkap dalam sebuah kebingungannya yang tak terpecahkan?
Hujan semakin deras. Nayla berdiri dari bangku taman itu, merasa tak sanggup lagi untuk duduk dan merenung. Ia tahu bahwa perasaan ini tidak akan pernah bisa pergi begitu saja. Arga telah masuk terlalu dalam ke dalam hidupnya, bahkan meskipun mereka tidak bersama lagi, Nayla merasa seperti terikat oleh benang-benang tak terlihat yang menghubungkan hati mereka.
Dia berjalan pulang dengan langkah yang lebih berat. Setiap tetes hujan yang membasahi wajahnya seolah menambah beban yang ada dalam dadanya. Ketika kembali ke kost, Nayla merasa seolah dunia menutup rapat pintu untuknya. Ia merasa begitu sepi, begitu jauh dari segala yang pernah ia anggap pasti.
Saat malam tiba, Nayla duduk di depan jendela kamarnya, menatap hujan yang tak kunjung reda. Perasaan hampa itu semakin menguasai hatinya. Ia tahu bahwa perasaan cinta yang tak terbalas adalah rasa yang paling menyakitkan, tetapi yang lebih menyakitkan adalah mengetahui bahwa seseorang yang dulu begitu dekat denganmu kini semakin menjauh. Dan itu adalah rasa yang tidak bisa ia hindari.
Pesan dari Arga yang belum dibalas terus terngiang dalam pikirannya. Apakah Arga merasa hal yang sama? Apakah dia merindukannya seperti yang Nayla rasakan? Ataukah semua itu hanya kenangan yang seharusnya dibiarkan pergi? Nayla menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri, tetapi rasa sesak itu tetap ada, menyelubungi setiap jengkal tubuhnya.
Malam itu, Nayla tertidur dengan perasaan yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Jarak yang semakin menyesakkan dadanya, tak pernah terbayangkan sebelumnya, membuat hatinya terhimpit oleh ketidakpastian yang tak kunjung reda. Mungkin cinta pertama memang selalu begitu, datang begitu indah, tetapi meninggalkan luka yang begitu dalam, yang akan terus terasa seiring berjalannya waktu.
Namun, Nayla tahu satu hal pasti—meskipun jarak memisahkan mereka, perasaan ini akan selalu ada, bahkan dalam kesunyian malam yang penuh dengan air mata dan hujan yang tak berhenti.*
Bab 8: Kembali dalam Kenangan
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Nayla merasa seperti waktu bergerak tanpa memberi ruang untuk berhenti sejenak. Namun, meskipun hari-hari itu terus berjalan, pikirannya selalu kembali kepada Arga. Setiap sudut kota, setiap tempat yang pernah mereka kunjungi, selalu mengingatkannya pada kenangan indah mereka bersama. Meski jarak telah memisahkan mereka, kenangan itu tetap hidup dalam dirinya, tak tergantikan oleh apapun.
Suatu sore, Nayla berjalan ke kafe yang sering mereka datangi bersama. Kafe itu masih sama seperti dulu—dengan aroma kopi yang khas dan suara musik lembut yang menyambut setiap pengunjungnya. Namun, ada yang berbeda. Kafe ini terasa sepi. Tidak ada lagi tawa riang mereka yang menghiasi ruangan ini, tidak ada lagi obrolan ringan yang mengalir tanpa henti. Semuanya terasa hampa.
Nayla duduk di meja yang biasa mereka tempati, di pojok dekat jendela yang menghadap ke taman kecil. Ia mengeluarkan buku catatannya dan mulai menulis, mencoba mengalihkan pikirannya dari Arga. Tapi meski ia berusaha keras, ingatannya selalu kembali padanya. Setiap kali ia menulis, kata-kata itu terasa seperti membawanya kembali ke masa-masa itu—ke masa ketika semuanya masih penuh dengan harapan, ketika mereka saling mendukung satu sama lain.
Saat sedang menulis, mata Nayla tak sengaja tertuju pada meja yang ada di seberang ruangan. Sebuah meja yang pernah mereka duduki berdua, tempat mereka berbicara tentang masa depan, tentang impian-impian yang mereka ingin raih bersama. Kenangan itu datang dengan begitu kuat, seolah semuanya terjadi baru kemarin. Tertawa bersama, merencanakan liburan kecil, bahkan saling bercerita tentang hal-hal kecil yang membuat mereka bahagia.
Tanpa sadar, air mata mulai menggenang di matanya. Ia cepat-cepat mengusapnya, berusaha menahan perasaan itu agar tidak terlalu lepas. Namun, hati yang terluka selalu menemukan cara untuk mengekspresikan dirinya. Nayla merasakan bagaimana kenangan itu kembali menguasainya, bagaimana perasaan itu membanjiri hatinya dengan begitu banyak emosi yang sulit diungkapkan.
Kenangan tentang pertemuan pertama mereka selalu menjadi yang terindah dalam hidupnya. Saat itu, Arga tampak begitu berbeda dengan pria lain yang pernah ia temui. Mata Arga yang hangat dan senyumannya yang tulus membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang istimewa. Arga selalu tahu bagaimana cara membuatnya merasa nyaman, bahkan dalam situasi yang penuh dengan ketegangan.
Mereka mulai dekat dengan cara yang sederhana—berbicara tentang hal-hal kecil, berbagi cerita, dan saling mendengarkan. Namun, lama kelamaan, perasaan itu mulai tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak bisa mereka ungkapkan begitu saja. Nayla ingat bagaimana Arga selalu tampak gelisah setiap kali mereka berada dalam keramaian, seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Namun, dia tidak pernah mau berbicara tentang itu, dan Nayla pun tidak pernah bertanya terlalu dalam.
Malam-malam yang mereka habiskan bersama, berjalan berdua di bawah cahaya lampu jalan yang remang, berbicara tentang segala hal, menjadi kenangan yang tak terlupakan. Mereka berbicara tentang impian mereka, tentang harapan-harapan mereka yang saling terhubung, dan bagaimana dunia ini terasa lebih indah jika mereka bersama. Arga selalu menyemangatinya, memberi tahu Nayla bahwa apapun yang ia inginkan dalam hidup, ia bisa meraihnya, asalkan ia percaya pada dirinya sendiri.
Tetapi, kenyataan tak selalu seindah impian. Ketika perasaan mereka semakin dalam, jarak di antara mereka pun semakin terasa. Arga mulai menjauh, semakin sering menghindari Nayla dengan alasan yang semakin kabur. Nayla mencoba untuk mengerti, tapi hatinya semakin gelisah. Ia merasa seperti ada yang hilang, seperti ada sesuatu yang tak bisa ia raih meskipun ia sudah berusaha sekuat tenaga.
Kenangan-kenangan itu kini terasa semakin menyakitkan. Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini? Nayla bertanya-tanya dalam hati. Apakah ia telah melakukan sesuatu yang salah? Apakah Arga merasakannya juga, ataukah ia hanya terlalu berharap pada sesuatu yang tidak bisa terjadi? Hatinya terasa sesak memikirkan itu semua.
Saat kembali menatap buku catatannya, Nayla menyadari bahwa meskipun ia mencoba menulis tentang hal-hal lain, perasaan tentang Arga selalu kembali mengisi setiap halaman. Setiap kata yang ditulisnya terasa seperti sebuah upaya untuk mengungkapkan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia merindukan Arga, merindukan kedekatan mereka yang dulu begitu sederhana namun penuh makna.
Air mata itu kembali mengalir, kali ini tanpa ia bisa tahan. Nayla tahu bahwa ia harus menerima kenyataan, bahwa Arga mungkin tidak akan pernah kembali. Namun, di dalam hatinya yang paling dalam, ada sebersit harapan—harapan bahwa suatu saat nanti, entah bagaimana, mereka akan bisa menemukan jalan kembali satu sama lain. Meskipun jarak telah memisahkan mereka, meskipun waktu telah membawa mereka ke arah yang berbeda, Nayla merasa bahwa ada sesuatu yang tak akan pernah hilang dari dirinya. Cinta pertama itu akan selalu ada, meskipun dalam kenangan, meskipun dalam kesepian.
Nayla menutup buku catatannya dan berdiri dari kursinya. Hujan masih turun di luar, namun ia merasa sedikit lebih ringan. Ia tahu bahwa meskipun perasaan itu tidak akan pernah hilang, ia harus belajar untuk melepaskan. Kenangan itu akan tetap ada, tetapi ia harus melanjutkan hidup, mencari kebahagiaan di luar kenangan yang menyakitkan itu.
Malam itu, Nayla berjalan pulang dengan langkah yang lebih tenang. Hujan yang turun tidak lagi terasa begitu menyesakkan. Setiap tetes yang jatuh seolah menghapus sedikit demi sedikit beban yang ada di hatinya. Mungkin, untuk saat ini, dia harus menerima kenyataan bahwa cinta pertama memang penuh dengan kenangan—kenangan yang akan selalu hidup dalam dirinya, meskipun mereka tak lagi bersama.*
Bab 9: Cinta yang Belum Usai
Pagi itu, Nayla duduk di bangku taman yang sering mereka kunjungi. Cuaca cerah, namun hatinya terasa berat. Taman itu tidak berubah, masih sama seperti dulu—tempat di mana mereka sering berjalan berdua, tertawa bersama, berbagi cerita tanpa rasa takut atau cemas. Namun, kenangan itu kini terasa jauh, seolah terpisah oleh dunia yang tak terlihat. Di hadapannya, bunga-bunga yang bermekaran seakan menyapa dengan warna cerah, namun jauh di dalam hatinya, ada kekosongan yang sulit dijelaskan.
Nayla mengingat kembali beberapa bulan yang lalu, saat ia pertama kali memutuskan untuk menutup hati dari Arga. Keputusan itu terasa pahit, namun ia tahu itu adalah yang terbaik. Arga telah memilih jalan hidupnya sendiri, dan Nayla harus belajar untuk merelakan. Mereka berdua memiliki kehidupan yang berbeda, dan meskipun perasaan itu tetap ada, dunia mereka tak bisa lagi dipertemukan dengan mudah.
Namun, meskipun ia berusaha keras untuk melupakan, perasaan itu tak pernah benar-benar pergi. Cinta pertama selalu meninggalkan bekas yang sulit dihapus. Setiap kali Nayla berpikir bahwa ia sudah bisa melepaskan Arga, setiap kali ia mencoba untuk melanjutkan hidup, kenangan itu kembali menghantui. Seperti bisikan lembut yang mengingatkannya pada Arga, pada semua yang mereka lalui bersama.
Tiba-tiba, ponsel Nayla bergetar, mengingatkannya akan sebuah pesan yang baru masuk. Ia membuka pesan itu dengan sedikit ragu. Ketika matanya terfokus pada layar, hatinya berdegup kencang. Pesan itu datang dari Arga. “Nayla, bisa kita bicara?”
Jantung Nayla berdegup kencang, dan ia menatap layar ponselnya beberapa detik, seakan ingin memastikan bahwa itu bukan sebuah mimpi. Arga. Nama yang selalu membuatnya merasa seolah dunia berhenti berputar. Sudah lama sekali mereka tidak berhubungan. Entah kenapa, dalam sekejap, segala perasaan yang ia coba pendam kembali muncul begitu saja. Ia merasa bingung, sekaligus rindu. Apakah ini saatnya untuk menuntaskan semua yang tertunda?
Setelah beberapa saat, Nayla akhirnya membalas pesan itu. “Kapan dan di mana?”
Pesan itu terasa singkat, namun penuh dengan arti. Ia tahu, ini bukan sekadar percakapan biasa. Mereka berdua sudah begitu lama terpisah, dan jika kini mereka bertemu lagi, maka itu akan menjadi momen yang penuh dengan makna. Nayla tidak tahu apa yang akan terjadi setelah pertemuan itu, tetapi satu hal yang ia tahu, hatinya tidak bisa lepas dari Arga.
Beberapa jam kemudian, mereka bertemu di kafe yang sama, tempat pertama kali mereka berbicara tentang banyak hal. Arga sudah menunggu di sebuah meja pojok, mengenakan jaket biru tua yang dulu sering ia pakai. Saat Nayla mendekat, Arga menoleh, dan mata mereka bertemu. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang sulit dijelaskan. Mungkin itu rindu, atau mungkin hanya kebingungan yang muncul setelah sekian lama tak berjumpa.
Arga tersenyum kecil, senyum yang Nayla kenal begitu baik. Namun, di balik senyuman itu, ada ketegangan yang jelas terlihat. Arga membuka percakapan dengan suara yang pelan, “Aku… aku tahu kita sudah lama tidak saling berbicara. Maafkan aku, Nayla. Aku tidak tahu harus mulai dari mana.”
Nayla hanya diam, membiarkan Arga melanjutkan. Suasana terasa hening, hanya ada suara musik lembut yang mengalun di latar belakang. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Arga, pria yang selalu bisa membuatnya merasa tenang, kini terasa seperti orang asing. Namun, dalam setiap detik keheningan itu, hatinya bergetar. Arga masih ada di sini, di hadapannya, dan perasaan itu tidak pernah benar-benar hilang.
“Aku ingin kamu tahu, Nayla,” lanjut Arga dengan nada serius, “bahwa selama ini aku selalu berpikir tentang kamu. Tentang kita. Tentang kenapa semuanya bisa berakhir begitu saja.”
Nayla menundukkan kepala, mencoba mengatur perasaannya. Ia merasa perasaan itu semakin membanjir. Rindu yang tak terucap, kenangan yang terpendam, semua datang dengan begitu kuat. Tapi ia harus kuat. Mereka tidak bisa kembali ke masa lalu. Semua yang telah terjadi, telah menjadi bagian dari sejarah yang harus diterima.
“Kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, Arga,” kata Nayla perlahan. “Kita sudah memilih jalan kita masing-masing. Aku sudah mencoba melupakan, mencoba move on. Tapi, kamu benar, aku juga tidak bisa berhenti memikirkanmu. Cinta pertama memang selalu meninggalkan bekas, dan itu bukan hal yang mudah untuk dihapuskan.”
Arga terdiam, wajahnya terlihat kesulitan untuk mengungkapkan perasaannya. Ia meraih cangkir kopi yang terletak di meja, lalu meneguknya perlahan, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku tahu, Nayla. Aku juga tidak mudah melupakanmu. Tapi aku… aku harus pergi. Aku harus mengejar impian-impianku, dan aku tidak ingin menjadi beban bagi kamu. Tapi saat aku kembali ke sini, aku merasa seperti ada yang hilang. Aku merasa seperti kita belum selesai.”
Nayla menatapnya dengan tajam, seolah ingin memastikan bahwa Arga benar-benar mengatakan ini dengan penuh kesungguhan. “Kembali? Arga, apa maksudmu? Apa yang ingin kamu katakan?”
Arga menghela napas panjang. “Aku tahu aku telah membuat keputusan yang salah dulu. Aku meninggalkan kamu begitu saja, tanpa penjelasan yang layak. Tapi sekarang, aku ingin kembali. Aku ingin kita berbicara tentang apa yang seharusnya terjadi, tentang kita. Aku ingin tahu apakah ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”
Nayla merasa kebingungan. Perasaan yang tertahan begitu lama kini mulai meledak. Cinta itu tidak pernah benar-benar hilang, tetapi apakah ia cukup berani untuk membuka hati lagi? Apakah ia siap menerima segala kemungkinan, bahkan jika itu berarti harus kembali bersama Arga?
Ada perasaan yang begitu kuat dalam hatinya, sebuah rasa yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Cinta pertama memang tidak pernah usai, meskipun dunia membawa mereka ke jalan yang berbeda. Namun, kini Nayla harus memutuskan apakah ia siap untuk memberi kesempatan kedua pada Arga, atau jika ia akan terus berjalan tanpa dia.
Dengan suara pelan, Nayla akhirnya berkata, “Aku tidak tahu, Arga. Aku harus berpikir tentang ini.”
Pertemuan mereka kali ini bukanlah akhir dari segalanya, tetapi awal dari sebuah perjalanan yang tak pasti. Cinta pertama memang belum usai, tetapi apakah mereka berdua bisa menemukan jalan kembali satu sama lain? Itu adalah pertanyaan yang hanya waktu yang bisa menjawab.*
Bab 10: Saat Hati Menemukan Jawaban
Hari-hari berlalu setelah pertemuan itu. Nayla merasa hatinya seperti terombang-ambing, antara ingin melupakan dan ingin memberi kesempatan kedua. Arga datang begitu saja, menghancurkan tembok penghalang yang selama ini ia bangun untuk melindungi hatinya. Perasaan itu, cinta pertama yang sempat terkubur dalam waktu, kini kembali muncul dengan segala keraguan dan harapan. Namun, Nayla tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan perasaan ini menguasainya begitu saja. Ia harus berpikir jernih. Apa yang seharusnya ia lakukan?
Pagi itu, Nayla duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang terbuka dengan setumpuk pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan. Namun pikirannya terus melayang. Ia tidak bisa berhenti memikirkan pertemuan dengan Arga beberapa hari lalu. Apa yang salah dengan dirinya? Kenapa ia merasa begitu bingung? Semua kenangan indah bersama Arga datang begitu jelas, mengalir dalam benaknya. Tawa mereka saat berjalan di taman, percakapan panjang mereka tentang mimpi dan harapan, sentuhan lembut tangan Arga yang selalu memberi rasa aman. Semua itu seakan kembali hidup dalam sekejap.
Namun Nayla tahu bahwa mereka berdua telah menempuh perjalanan yang berbeda. Arga memiliki impian yang harus ia kejar, dan Nayla juga memiliki kehidupannya sendiri. Mereka berdua telah berubah, dan perasaan itu, meskipun masih ada, mungkin tidak cukup kuat untuk mengatasi segala perbedaan yang ada di antara mereka.
Tapi hati Nayla tidak bisa membohongi dirinya. Setiap kali Arga muncul dalam pikirannya, ia merasa rindu, sekaligus takut. Takut jika ia membuka hatinya lagi dan akhirnya terluka. Takut jika semuanya hanya akan berakhir dengan kekecewaan yang lebih dalam. Tetapi di sisi lain, ia juga merasa ada yang hilang. Tanpa Arga, dunia terasa lebih sepi, meskipun ia berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa.
Hari itu, Nayla memutuskan untuk berjalan kaki ke taman yang sering mereka kunjungi dulu. Taman itu terasa begitu tenang, seperti tempat untuk merenung dan mencari jawaban atas segala pertanyaan yang ada di hatinya. Saat langkahnya membawa dirinya menuju bangku yang sama, ia melihat ke sekeliling. Semua terasa begitu familiar. Ada angin sepoi-sepoi yang menyejukkan, ada suara burung yang berkicau riang, dan ada kedamaian yang ia rasakan dalam setiap helaan napasnya.
Tiba-tiba, seseorang muncul di hadapannya. Itu Arga. Matanya menatap Nayla dengan penuh harap, seolah sudah menunggu untuk bertemu. Ada rasa canggung yang mengisi udara antara mereka, namun Arga akhirnya berkata dengan suara lembut, “Nayla, aku tahu ini bukan hal yang mudah. Aku juga tahu bahwa kita sudah melalui banyak hal, dan aku tidak bisa memaksamu untuk memilih. Tapi aku hanya ingin memberitahumu, aku masih mencintaimu.”
Nayla terdiam. Kata-kata itu mengalir begitu lancar dari bibir Arga, dan seolah melepaskan segala beban yang ia tahan selama ini. Tapi hatinya masih berat. Perasaan itu kembali muncul, namun kali ini, ia berusaha untuk berpikir dengan hati-hati. Ia tidak ingin terjebak dalam perasaan semata, tanpa memikirkan akibatnya.
“Aku tahu, Arga,” jawab Nayla dengan suara pelan. “Aku juga tidak bisa melupakanmu. Tetapi kita sudah jauh berbeda, kan? Kita punya kehidupan yang berbeda. Kamu punya impian yang harus kamu kejar, dan aku juga punya hidup yang harus aku jalani. Aku takut jika kita kembali seperti dulu, kita hanya akan membuat semuanya semakin rumit.”
Arga menghela napas, lalu duduk di samping Nayla. “Aku mengerti, Nayla. Aku tidak ingin memaksamu. Aku hanya ingin kita berdua bisa jujur satu sama lain. Aku tidak ingin ada yang tertinggal, tidak ada penyesalan. Aku ingin kamu tahu, apapun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu. Kamu tidak sendirian.”
Kata-kata itu membuat Nayla terdiam sejenak. Sejak mereka berpisah, ia selalu merasa ada sesuatu yang hilang. Mungkin itu bukan hanya Arga yang hilang, tapi juga bagian dari dirinya yang ia tinggalkan di masa lalu. Bagian dari dirinya yang selalu merasa lengkap saat bersama Arga. Namun, apakah cinta itu cukup untuk mengatasi segala perbedaan yang ada?
Nayla memandang langit yang mulai meredup, dan sejenak ia merasa damai. Semua keraguan yang selama ini mengganggu pikirannya perlahan mulai memudar. Ia menyadari bahwa meskipun waktu telah berlalu, perasaan yang ia miliki untuk Arga tidak pernah hilang. Rindu itu selalu ada, dan mungkin, saat ini, itu adalah waktunya untuk menerima kenyataan bahwa cinta pertama tidak akan pernah benar-benar pergi.
“Arga,” suara Nayla pecah, dan ia menoleh padanya. “Aku sudah lama berpikir, dan aku rasa… aku rasa aku siap memberi kita kesempatan lagi. Tapi ini bukan untuk sekarang. Ini untuk masa depan kita, jika kita memang bisa melaluinya bersama-sama. Aku tidak ingin terburu-buru, aku ingin kita benar-benar memastikan ini.”
Arga tersenyum, senyum yang penuh harapan dan kebahagiaan. “Aku juga siap, Nayla. Aku akan menunggumu, apapun yang terjadi.”
Mereka duduk bersama dalam hening, tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan lagi. Hati mereka telah berbicara. Nayla akhirnya merasa tenang. Cinta itu tidak pernah hilang, ia hanya tertunda, menunggu waktu yang tepat untuk kembali.
Pada akhirnya, cinta pertama memang tidak akan pernah usai. Hanya perlu waktu untuk menemukan jalan kembali, dan kadang, hati sudah tahu jawaban yang selama ini dicari. Kini, Nayla tahu bahwa ia dan Arga memiliki kesempatan untuk membangun masa depan bersama, dengan hati yang lebih kuat dan lebih siap menghadapi apa pun yang datang.
Saat matahari mulai tenggelam, mereka berdua beranjak dari bangku taman itu. Langkah mereka serasi, seiring, seperti dulu. Namun kali ini, Nayla tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai.***
————THE END————