Daftar Isi
Bab 1 Pertemuan yang Tak Terduga
Maya mengernyitkan dahi, menatap layar ponselnya yang menampilkan undangan seminar dari sebuah perusahaan konsultan besar di Jakarta. Sebagai seorang analis pasar yang baru saja mendapat pekerjaan di Bandung, ia merasa bahwa ini adalah kesempatan yang baik untuk memperluas jaringan. Meskipun ia lebih suka tetap di kota kelahirannya, kenyataan bahwa pekerjaannya di Bandung terkadang terasa agak terbatas membuatnya berpikir dua kali.
“Jangan menunggu kesempatan datang, Maya. Ambil saja,” kata sahabatnya, Dina, sambil tersenyum lebar. Dina adalah orang yang selalu memberinya dorongan untuk keluar dari zona nyaman.
Maya menatap sahabatnya dan mengangguk. “Ya, kamu benar. Siapa tahu, aku bisa mendapat insight baru tentang perkembangan industri, atau mungkin… bisa bertemu dengan orang-orang yang bisa mengubah karierku.”
Dengan tekad yang sudah bulat, Maya mendaftar untuk seminar tersebut. Tak lama setelahnya, ia membeli tiket kereta api menuju Jakarta. Seharusnya, ini hanya perjalanan singkat, tanpa ekspektasi berlebih. Namun, takdir ternyata punya rencana lain untuknya.
Seminar itu berlangsung di sebuah gedung perkantoran modern di Jakarta, dengan desain interior yang mengesankan. Maya tiba sedikit terlambat, dan begitu melangkah masuk ke ruang seminar, ruangan itu sudah dipenuhi oleh para profesional yang tampaknya datang dari berbagai bidang. Aroma kopi dan suasana penuh antusiasme membuat Maya sedikit canggung, karena ia merasa seperti ikan kecil di tengah lautan profesional yang lebih berpengalaman.
Saat berjalan menuju meja registrasi, pandangannya secara tidak sengaja bertemu dengan seorang pria yang sedang berdiri di dekat meja informasi. Pria itu tampak asyik berbicara dengan seseorang, tetapi seiring dengan Maya yang melewati mereka, pria itu mengalihkan pandangannya. Mata mereka bertemu, dan untuk detik yang singkat, Maya merasa jantungnya berdebar aneh.
Pria itu tersenyum tipis, seolah mengakui kebetulan kecil yang baru saja terjadi. Maya merasa sedikit terkejut, tetapi ia segera menundukkan kepala dan melanjutkan langkahnya menuju meja registrasi. “Aneh,” pikir Maya, berusaha untuk tidak terlalu memperhatikan momen itu. Tak ada yang istimewa, kan?
Acara seminar berlangsung cukup lancar, dengan berbagai pembicara yang mengisi sesi mengenai tren pasar dan peluang bisnis. Maya duduk di deretan belakang, memusatkan perhatian pada setiap slide presentasi yang dipaparkan. Meski seminar ini menarik, pikirannya tidak sepenuhnya berada di situ. Sejak kejadian tadi, saat matanya bertemu dengan pria yang baru saja ia lihat, pikirannya seperti terjebak dalam perasaan aneh yang sulit dijelaskan.
Tiba-tiba, suara yang akrab kembali menyapa telinganya. “Maya, kan?”
Maya menoleh, dan kembali bertemu dengan pria itu pria yang tadi ia lihat di dekat meja registrasi. Ia mengenakan jas hitam dengan dasi biru, tampak rapi dan profesional. Senyumannya semakin lebar saat melihatnya, dan Maya merasa seperti dipanggil keluar dari lamunannya.
“Iya, saya Maya,” jawabnya dengan sedikit ragu. “Kamu… siapa ya?”
“Oh, maaf, aku Rian,” jawab pria itu sambil tertawa kecil. “Tadi kita sempat bertemu sebentar. Aku pikir, pasti kamu juga ikut seminar ini, kan?”
“Oh, iya! Tadi kita bertemu,” kata Maya, merasa sedikit malu karena tak bisa langsung mengingat namanya. “Kamu juga salah satu peserta?”
Rian mengangguk. “Iya, aku juga baru beberapa bulan ini bergabung di perusahaan konsultan besar di Jakarta. Kebetulan, kita punya banyak kolega yang sama, jadi aku kira kita pasti saling kenal.”
Maya tersenyum, merasa lebih nyaman. Rian ternyata orang yang ramah dan mudah bergaul. Mereka mulai berbicara lebih banyak tentang seminar tersebut, membahas beberapa ide yang muncul selama sesi-sesi sebelumnya. Tanpa disadari, waktu berlalu begitu cepat, dan mereka berbicara seolah-olah sudah saling kenal lama.
Sesi seminar usai, dan semua peserta mulai beranjak keluar dari ruang seminar. Rian berjalan bersamanya, sepertinya mereka berdua sudah nyaman berbicara. Maya tak bisa menahan tawa ketika Rian mengungkapkan pendapatnya yang sedikit kontroversial tentang salah satu topik yang dibahas di seminar.
“Maya, kamu tinggal di Bandung kan?” tanya Rian saat mereka berjalan menuju pintu keluar.
“Iya,” jawab Maya. “Aku baru saja pindah ke sini untuk kerja. Kamu sendiri?”
“Aku di Jakarta, bekerja di sini. Tapi kadang-kadang aku harus pergi ke Bandung untuk pekerjaan. Kamu suka di Bandung?”
Maya mengangguk. “Sebenarnya aku suka, tapi kadang terasa sepi. Banyak peluang yang nggak ada di sana.”
Rian mengangguk, seolah memahami. “Iya, Bandung memang agak terbatas kalau bicara soal pekerjaan. Tapi mungkin itu juga yang bikin hidup di sana lebih… tenang.”
Maya tersenyum, merasa terhubung dengan apa yang Rian katakan. “Bisa jadi, ya. Kadang aku merasa kayaknya aku di tempat yang kurang menantang. Tapi ya, semua orang punya pilihan, kan?”
“Benar,” jawab Rian dengan nada lebih serius. “Tapi, mungkin kamu juga butuh tantangan. Siapa tahu, suatu saat kita bisa bekerja bareng di tempat yang lebih besar. Di Jakarta, misalnya.”
Maya tertawa ringan. “Mungkin. Tapi itu masih jauh, kan?”
Rian mengangkat bahu, tersenyum lebar. “Siapa yang tahu? Hidup penuh kejutan.”
Maya tak bisa menahan tawa. Ada sesuatu dalam cara Rian berbicara yang membuatnya merasa nyaman, meski baru pertama kali bertemu. Obrolan mereka berlanjut tanpa terburu-buru, dan Maya mulai merasa bahwa pertemuan ini bukanlah kebetulan belaka.
Setelah berpisah di pintu keluar, mereka bertukar kartu nama dan sepakat untuk tetap berhubungan. Maya merasa sedikit terkejut dengan betapa cepatnya ia merasa dekat dengan Rian, meskipun baru saja bertemu. Dalam hati, ia menyadari bahwa meskipun hanya sebuah percakapan singkat, ada perasaan yang tumbuh dalam dirinya perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan mudah.
Di perjalanan pulang ke Bandung, Maya memikirkan kembali obrolan mereka, dan sebuah pertanyaan muncul di benaknya. Apakah ini sebuah pertemuan yang tak terduga, atau justru awal dari sesuatu yang lebih besar?
Hari itu berakhir dengan Maya merenung dalam diam. Di tengah kesibukannya yang selalu fokus pada karier, apakah mungkin pertemuan dengan Rian menjadi titik balik dalam hidupnya? Ataukah ini hanya sebuah kenangan singkat yang akan terlupakan seiring berjalannya waktu? Meskipun ia merasa penasaran, ia juga tahu satu hal: hidupnya baru saja dimulai dengan cara yang tak terduga.*
Bab 2: Perjalanan Cinta di Antara Pesan dan Telepon
Setelah seminar di Jakarta yang mempertemukannya dengan Rian, Maya kembali ke Bandung dengan perasaan campur aduk. Meski fisik mereka terpisah, pikiran Maya tetap melayang kepada pria itu. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan dengan mudah. Sebuah koneksi yang tak hanya muncul dari percakapan mereka, tetapi juga dari cara mereka saling memahami satu sama lain meskipun hanya sebentar bersama. Setelah berpisah di Jakarta, Rian mengirimkan pesan singkat yang membuat hati Maya berdebar, penuh rasa ingin tahu.
Rian: “Hai, Maya. Senang bisa ngobrol sama kamu. Semoga bisa ketemu lagi suatu hari.”
Maya tersenyum membaca pesan itu. Meski ada sedikit kebingungan di hatinya—karena mereka baru saja bertemu—ada perasaan lain yang muncul, seolah-olah mereka sudah mengenal satu sama lain lebih lama dari sekadar beberapa jam obrolan. Tanpa berpikir panjang, Maya membalas pesan itu dengan penuh harapan.
Maya: “Iya, senang banget bisa kenalan sama kamu juga, Rian. Semoga bisa ketemu lagi kapan-kapan.”
Itu adalah awal dari banyak pesan yang datang dan pergi, dan Maya tak pernah membayangkan bahwa kata-kata sederhana itu akan membuka jalan bagi sebuah hubungan yang penuh dengan tanya, rindu, dan harapan. Mereka mulai saling berbagi cerita tentang pekerjaan, hobi, dan bahkan kejadian-kejadian kecil dalam kehidupan sehari-hari mereka. Meskipun terpisah oleh jarak yang jauh, komunikasi yang terjalin begitu intens, seperti benang halus yang menghubungkan hati mereka. Maya merasa bahwa semakin lama ia semakin mengenal Rian, meskipun hanya lewat pesan teks dan telepon.
Hari demi hari berlalu, dan semakin sering Rian menghubungi Maya. Terkadang lewat pesan singkat, terkadang melalui telepon. Tidak peduli betapa sibuknya Rian dengan pekerjaan di Jakarta, ia selalu meluangkan waktu untuk berbicara dengan Maya. Begitu pula sebaliknya, Maya yang meskipun disibukkan oleh tugas di kantornya, selalu menemukan waktu untuk menulis pesan atau berbicara dengan Rian. Setiap pesan dan telepon membawa mereka lebih dekat, meskipun mereka tahu bahwa ada sesuatu yang terhalang—jarak.
Rian: “Hari ini ada rapat besar, tapi aku nggak sabar untuk bisa ngobrol sama kamu malam ini.”
Maya: “Wow, kedengarannya sibuk sekali. Semoga rapatnya lancar! Aku juga kangen nih ngobrol sama kamu.”
Bukan hanya pesan yang datang, tetapi Rian juga sering menelpon. Beberapa kali, percakapan mereka berlangsung hingga larut malam, dengan suara tawa mereka yang saling mengisi kekosongan malam yang sepi. Maya merasa seolah-olah ada sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya, meskipun ia tahu bahwa hubungan mereka masih baru dan terpisah oleh jarak yang begitu jauh. Namun, perasaan yang kuat dan tulus itu semakin tidak bisa dibendung.
Maya tahu, meskipun mereka berbicara hampir setiap hari, rasa rindu tetap menggerogoti hatinya. Ada malam-malam ketika ia merasa sangat ingin mendengar suara Rian, ingin merasa dekat dengannya, namun layar ponsel tidak bisa menggantikan kehadiran fisik seseorang. Suatu malam, setelah beberapa hari tidak ada percakapan panjang dengan Rian karena ia terlalu sibuk, Maya merasa sedikit kecewa dan cemas. Ia merindukan kehangatan yang hanya bisa diberikan oleh telepon atau tatapan mata langsung. Ketika itu, pesan masuk dari Rian.
Rian: “Hai, Maya. Maaf banget aku nggak sempat kabarin. Pekerjaan lagi padat banget. Gimana hari-harimu?”
Maya menghela napas dan merespon dengan perasaan yang campur aduk.
Maya: “Gak apa-apa, Rian. Aku paham kok. Hari-hariku biasa aja, sibuk di kantor. Cuma… aku kangen ngobrol sama kamu.”
Beberapa detik setelah pesan terkirim, ponselnya berdering. Itu adalah panggilan dari Rian. Maya mengangkat telepon, dan suara Rian terdengar lelah namun tetap hangat.
“Maafkan aku kalau aku terlalu sibuk beberapa hari terakhir,” kata Rian begitu Maya mengangkat telepon. “Aku tahu kamu pasti merasa kesepian tanpa banyak komunikasi. Tapi aku janji, aku nggak akan jauh-jauh dari kamu.”
Maya tersenyum mendengar kata-kata Rian. “Aku cuma nggak mau kamu merasa aku mengganggu pekerjaanmu, Rian. Aku tahu kamu sibuk banget, dan aku nggak mau jadi beban.”
“Aku tahu kamu nggak ingin seperti itu,” jawab Rian lembut. “Tapi, kamu nggak perlu khawatir. Aku justru merasa lebih baik setelah bisa berbicara sama kamu. Kamu itu salah satu orang yang bisa bikin aku lupa sama rasa lelah, Maya.”
Maya tersentuh mendengar kata-kata itu. Ada perasaan hangat yang tiba-tiba menyebar di dadanya. Rasanya meskipun mereka hanya terhubung lewat layar ponsel, perasaan mereka semakin kuat, semakin mendalam. Setiap kata yang diucapkan Rian seperti sebuah janji yang tak tampak, namun terasa nyata di hati Maya.
Namun, kehidupan tetap berjalan, dan meskipun mereka merasa lebih dekat, tantangan tetap ada. Jarak antara Bandung dan Jakarta terasa begitu nyata. Tidak jarang, Maya merasa cemas. Ia tahu bahwa hubungan jarak jauh bukanlah perkara mudah. Ada banyak hal yang tidak bisa mereka bagikan, banyak momen yang terlewat hanya karena jarak yang memisahkan mereka. Seperti ketika Rian merayakan ulang tahun di Jakarta bersama teman-temannya, sementara Maya merayakan ulang tahunnya dengan teman-temannya di Bandung, tanpa kehadiran Rian di sisinya. Kehidupan mereka berbeda, dan itu semakin terasa setiap kali mereka tak bisa berbagi kebahagiaan secara langsung.
Rian merasa cemas dengan perasaan yang sama. Suatu malam, setelah berbicara dengan Maya melalui telepon, Rian memutuskan untuk mengungkapkan kekhawatirannya.
“Maya, kamu nggak merasa takut tentang kita nggak, sih?” tanya Rian, suaranya terdengar cemas.
Maya terdiam sejenak. “Maksud kamu takut bagaimana?”
“Takut kalau suatu saat nanti kita kehabisan kata-kata, atau salah paham karena nggak bisa bertemu langsung,” kata Rian pelan. “Aku takut kita hanya terjebak di dunia pesan dan telepon ini tanpa bisa benar-benar melihat satu sama lain.”
Maya menelan ludah. “Aku juga takut, Rian. Aku takut kalau ini cuma… sementara, atau cuma ilusi karena kita jarang ketemu. Tapi aku nggak ingin menyerah, Rian. Aku nggak ingin merasa ragu tentang perasaan kita, meskipun kita terpisah jauh.”
Ada keheningan sejenak di antara mereka. Kedua hati mereka terasa berdebar lebih cepat, menyadari bahwa hubungan ini—meski belum lama—sudah menjadi bagian penting dalam hidup mereka. Rasa takut itu bukan hanya tentang ketidakpastian, tetapi juga tentang kehilangan apa yang telah mereka bangun bersama, meski hanya melalui layar ponsel dan suara di telepon.
“Aku juga nggak mau menyerah, Maya,” kata Rian dengan penuh keyakinan. “Aku akan terus berusaha untuk menjaga hubungan ini, meskipun kita terpisah jarak. Aku tahu, kita pasti bisa.”
Maya mengangguk meskipun Rian tak bisa melihatnya. “Aku percaya padamu, Rian. Kita akan terus berusaha.”
Begitulah hari-hari mereka berlalu, dibalut dengan komunikasi yang hampir tanpa henti. Kadang-kadang, Maya merasa lelah, merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya yang tidak bisa diisi hanya dengan kata-kata. Setiap kali ia merasa rindu, setiap kali ia ingin memeluk Rian atau melihat matanya langsung, kenyataan itu datang kembali—mereka terpisah jarak. Tetapi di lain waktu, ada kebahagiaan yang datang dengan setiap pesan dan telepon yang mereka terima. Jarak itu memang menyakitkan, tetapi setiap percakapan, setiap tawa yang mereka bagikan, membuat Maya merasa bahwa meskipun mereka terpisah dua kota, hatinya tetap dekat dengan Rian.
Perjalanan cinta mereka memang terhalang oleh jarak, tapi justru melalui pesan dan telepon itulah mereka mulai belajar bahwa cinta bisa bertumbuh meski terpisah oleh waktu dan ruang. Apa yang mereka butuhkan sekarang adalah waktu dan keberanian untuk melangkah lebih jauh, untuk mencoba mengatasi setiap ketakutan yang muncul, dan menemukan cara untuk tetap bersama meski dunia mereka terpisah oleh jarak yang jauh.*
Bab 3 Ujian Cinta di Tengah Kesibukan
Maya terbangun dengan suara alarm yang menggema di pagi hari. Seperti biasa, ia sudah terlambat untuk menuju kantor. Pekerjaan yang tak pernah ada habisnya membuatnya terbiasa begadang dan merasa lelah sepanjang hari. Namun, ada satu hal yang membuat hari-harinya lebih berwarna—pesan-pesan dari Rian yang selalu mengingatkannya untuk tetap semangat.
Hari itu, meskipun lelah, Maya merasa ada sesuatu yang berbeda. Ponselnya berbunyi, dan dengan cepat ia meraih untuk melihat notifikasi yang masuk. Sebuah pesan dari Rian muncul.
Rian: “Selamat pagi, Maya! Semoga hari ini kamu bisa melewati semuanya dengan baik. Aku selalu mendukungmu, ingat itu.”
Maya tersenyum membaca pesan itu. Kehangatan kata-kata Rian selalu bisa membuatnya merasa lebih baik, meskipun kadang ia merasa cemas tentang hubungan jarak jauh mereka. Setelah membalas pesan itu dengan cepat, ia melanjutkan rutinitasnya, bergegas menuju kantor.
Di kantor, Maya benar-benar tenggelam dalam pekerjaan. Laporan pasar yang harus diselesaikan, pertemuan dengan klien, dan banyak tugas lainnya menyita seluruh perhatian dan energinya. Sejak pagi, ia hanya sempat mencuri waktu sejenak untuk makan siang, dan bahkan itu terasa terburu-buru. Wajahnya terlihat lelah, tetapi ia terus berusaha untuk menunjukkan bahwa semua berjalan baik-baik saja.
Namun, di saat-saat seperti inilah, ketegangan mulai muncul dalam hubungan jarak jauh mereka. Rian juga sedang sibuk dengan proyek besar di Jakarta, dan komunikasi mereka semakin berkurang. Ada kalanya mereka hanya mengirimkan pesan singkat di pagi atau malam hari, tanpa ada percakapan panjang seperti dulu. Maya merasa ada jarak yang lebih besar antara mereka meski fisik mereka tidak jauh.
Maya: “Rian, gimana proyekmu? Semoga lancar.”
Rian: “Capek banget, Maya. Seharian rapat dan revisi laporan. Tapi, aku akan coba nyempetin telepon malam ini.”
Itu adalah pesan terakhir yang mereka tukar siang itu. Sejak itu, Maya menunggu dengan sabar, berharap Rian akan menghubunginya seperti biasanya. Tapi waktu terus berjalan, dan telepon yang dijanjikan tak kunjung datang. Beberapa kali Maya memeriksa ponselnya, berharap ada pesan atau panggilan masuk, namun yang ia terima hanyalah kesunyian.
Malam tiba, dan Maya merasa lelah sekali. Rian tidak menelepon, dan ia mulai merasa kecewa. Mungkin Rian benar-benar sibuk. Tapi, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai merasa takut. Apakah hubungan mereka akan bertahan seperti ini?
Di Jakarta, Rian juga merasa kelelahan yang luar biasa. Proyek besar yang ia kerjakan memerlukan perhatian penuh, dan ia merasa terjebak dalam rutinitas yang tak ada habisnya. Meskipun ia berusaha untuk menjaga komunikasi dengan Maya, ada kalanya ia merasa tidak punya cukup waktu. Ia merasa bersalah karena tidak bisa memberi perhatian lebih pada hubungan mereka, tetapi di sisi lain, ia tahu pekerjaan adalah tanggung jawab besar yang tak bisa ditinggalkan begitu saja.
Setelah beberapa hari tanpa komunikasi yang berarti, Rian akhirnya mengirimkan pesan kepada Maya, meski ia tahu ini akan membuatnya merasa canggung.
Rian: “Maya, maaf banget kalau aku nggak sempat kabarin. Aku benar-benar sibuk banget. Aku nggak mau kamu merasa diabaikan.”
Maya memandang pesan itu, perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia memahami bahwa Rian sedang sibuk, tetapi di sisi lain, ia merasa bahwa hubungan mereka mulai kehilangan momentum. Tak ada lagi percakapan hangat di malam hari atau saling mengirimkan pesan lucu seperti dulu. Semua terasa begitu formal, seperti dua orang yang terjebak dalam rutinitas masing-masing.
Maya: “Aku paham, Rian. Aku cuma nggak bisa nggak merasa kesepian. Kadang aku merasa hubungan kita semakin jauh.”
Setelah beberapa detik, ponsel Maya berdering. Itu adalah panggilan dari Rian.
“Maya, aku tahu kamu pasti merasa kesepian, dan aku nggak mau kamu merasa seperti itu,” kata Rian dengan suara rendah. “Aku juga rindu ngobrol sama kamu. Tapi ini proyek yang penting banget, dan aku merasa tertekan dengan semua ini. Maaf kalau aku nggak bisa ada di samping kamu.”
Maya menatap layar ponselnya, menghela napas panjang. “Aku juga merasa tertekan, Rian. Aku nggak tahu apakah kita bisa terus seperti ini. Rasanya aku mulai kehilangan bagian dari diriku yang dulu selalu ada saat kamu ada.”
Rian diam sejenak. Ia tahu ini adalah ujian yang harus mereka hadapi. “Maya, aku juga nggak ingin kehilangan kamu. Tapi aku perlu kamu untuk memahami bahwa pekerjaan ini juga penting buat aku. Aku ingin kita berdua bisa punya masa depan yang stabil. Aku ingin berjuang untuk kita, untuk masa depan kita, tapi aku butuh waktu.”
“Dan aku butuh kamu di sini, Rian,” kata Maya dengan suara bergetar. “Aku nggak tahu harus bagaimana lagi kalau kamu nggak bisa meluangkan waktu untuk kita.”
Rian menghela napas, merasakan betapa sulitnya keadaan ini. “Aku tahu, Maya. Aku janji aku akan berusaha lebih baik. Kita berdua sedang berada di titik yang sulit, tapi aku percaya kita bisa melewati ini. Aku nggak mau hubungan kita cuma jadi cerita yang terabaikan karena kesibukan.”
Setelah percakapan itu, ada keheningan yang panjang di antara mereka. Mereka berdua merasa lelah, tetapi juga sadar bahwa hubungan mereka membutuhkan lebih dari sekadar pesan singkat dan janji-janji kosong. Mereka harus berkompromi, dan lebih dari itu, mereka harus berjuang bersama untuk mengatasi ujian cinta ini.
Beberapa hari setelahnya, Rian kembali menghubungi Maya. Kali ini, ia menyarankan agar mereka membuat jadwal rutin untuk berbicara, setidaknya beberapa menit setiap hari, agar tidak merasa terpisah terlalu jauh.
Rian: “Gimana kalau kita coba buat jadwal untuk telepon malam? Aku nggak mau kamu merasa diabaikan. Kita bisa ngobrol setiap malam, meskipun cuma beberapa menit.”
Maya: “Aku setuju, Rian. Aku nggak mau hubungan kita cuma berjalan karena kebetulan. Kita harus berusaha untuk tetap dekat, meskipun jarak memisahkan kita.”
Keputusan ini memberi keduanya harapan baru. Mereka tidak menyerah pada hubungan ini, meskipun ada banyak rintangan yang harus mereka lewati. Rian tahu bahwa meskipun karier dan kesibukannya penting, ia harus meluangkan waktu untuk orang yang ia cintai. Maya pun belajar untuk memberi ruang bagi Rian, sambil tetap menjaga dirinya untuk tidak kehilangan arah dalam hidupnya.
Namun, ujian cinta mereka belum berakhir. Setiap hari adalah tantangan, dan meskipun komunikasi mereka mulai lebih teratur, ada banyak hal yang masih harus dihadapi. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi satu hal yang pasti: mereka tidak akan menyerah.*
Bab 4 Waktu untuk Merenung
Pagi itu, seperti biasa, Maya terbangun dengan suara alarm yang sudah mulai ia kenal. Sejak beberapa minggu terakhir, ia merasa lelah bukan hanya karena pekerjaan, tetapi juga karena perasaan yang semakin membebani hatinya. Hubungan jarak jauh dengan Rian terasa semakin sulit. Meskipun mereka sudah mencoba berbicara setiap malam, ada banyak hal yang tak bisa diungkapkan melalui layar ponsel atau suara telepon.
Di ruang tamu apartemennya yang sederhana, Maya duduk dengan secangkir kopi di tangan, menatap keluar jendela. Bandung pagi ini tampak cerah, tetapi hatinya terasa jauh lebih gelap dari cuaca yang ada. Ada keraguan yang terus menggerogoti pikirannya, dan itu semakin membesar setiap hari.
Ponselnya berdering, dan Maya terkejut melihat nama Rian muncul di layar. Sudah beberapa hari mereka tidak berbicara panjang lebar, hanya pesan singkat di antara kesibukan masing-masing. Maya merasa ragu untuk mengangkat telepon itu. Apakah ia ingin mendengar suara Rian lagi, atau justru ingin menghindari kenyataan bahwa mereka semakin jauh? Perasaan itu begitu membingungkan.
Maya akhirnya menekan tombol untuk menjawab. “Halo?”
Suara Rian terdengar lembut, penuh perhatian. “Maya, kamu baik-baik saja?”
Maya menghela napas, memejamkan mata sejenak. “Aku… hanya merasa sedikit lelah, Rian. Dengan semuanya. Pekerjaan, hidup, dan hubungan kita.”
“Apa maksudmu?” tanya Rian, nada suaranya sedikit cemas.
“Aku tidak tahu, Rian. Aku merasa kita mulai terjebak dalam rutinitas yang tidak pernah selesai. Kamu sibuk, aku sibuk, dan kita tidak lagi bisa berbicara seperti dulu. Rasanya, aku mulai meragukan segalanya. Apakah ini benar-benar bisa bertahan? Apakah kita hanya terjebak dalam hubungan yang semakin kehilangan arah?” Maya mendengar suaranya sendiri yang terasa lemah, seakan-akan suara itu mencerminkan perasaannya yang terluka.
Di ujung telepon, Rian terdiam sejenak. Maya bisa merasakan ketegangan dalam suara Rian yang berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Maya, aku tahu ini sulit. Aku juga merasakannya. Tapi aku benar-benar berusaha. Aku ingin hubungan ini berjalan, meskipun kita terpisah oleh jarak dan pekerjaan yang terus mengisi waktu kita. Aku nggak ingin kamu merasa seperti ini.”
“Aku tidak tahu apakah aku bisa terus seperti ini, Rian,” kata Maya, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku rasa aku mulai kehilangan diriku sendiri dalam hubungan ini. Semua yang kita miliki terasa seperti hanya ilusi, sesuatu yang indah di awal, tapi semakin lama semakin kabur dan sulit diraih.”
Rian menarik napas panjang. “Aku nggak mau kamu merasa seperti itu, Maya. Aku ingin kita tetap berjalan bersama. Tapi aku juga harus jujur, aku merasa kita berdua terlalu banyak berkorban untuk sesuatu yang tidak jelas arahnya. Aku rasa kita butuh waktu untuk merenung, untuk melihat apa yang benar-benar kita inginkan.”
Maya mendengar kata-kata itu, dan hatinya terasa nyeri. Perasaan itu semakin sulit dihindari. Apa yang mereka miliki—apakah itu masih cinta? Atau hanya kebiasaan? Ada begitu banyak perasaan yang bertabrakan, dan untuk pertama kalinya, Maya merasa sangat bingung. Apakah mereka hanya terjebak dalam rutinitas hubungan jarak jauh, atau memang cinta mereka sejati?
“Mungkin kita memang butuh waktu untuk merenung,” jawab Maya dengan suara yang rendah. “Aku nggak tahu kalau aku bisa terus seperti ini. Aku perlu memikirkan semuanya, Rian.”
“Aku mengerti,” jawab Rian pelan. “Aku nggak ingin memaksakan apa pun. Kalau kamu butuh waktu untuk sendiri, aku akan memberi ruang. Tapi, tolong ingat, aku tetap di sini, menunggumu.”
Setelah beberapa detik keheningan, Maya hanya bisa mengangguk meskipun Rian tak melihatnya. Mereka berdua tahu, hubungan ini sedang berada di persimpangan jalan, dan meskipun mereka saling mencintai, mereka juga tahu bahwa cinta itu membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata dan janji-janji. Cinta membutuhkan komitmen, usaha, dan, yang paling penting, waktu yang berkualitas bersama.
Maya memutuskan untuk mengambil beberapa hari untuk dirinya sendiri. Dia merasa perlu menyendiri, jauh dari segala kebisingan dan keramaian, untuk bisa merenung tentang hidupnya, tentang hubungannya dengan Rian, dan tentang apa yang sebenarnya ia inginkan dari hubungan itu. Ia pergi ke sebuah kafe kecil di pinggir kota, tempat yang sering ia kunjungi untuk menenangkan diri. Sambil menikmati kopi hangat, Maya menulis dalam jurnalnya, mencoba menggali perasaannya yang selama ini terpendam.
Apakah ini semua hanya kebiasaan?
Apakah aku sedang mengejar sesuatu yang tak pasti?
Atau apakah ini benar-benar cinta, yang teruji oleh waktu dan jarak?
Maya merenung lama, mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Setiap jawaban yang ia tulis dalam jurnalnya terasa seperti langkah kecil menuju pemahaman tentang dirinya sendiri. Ia tahu bahwa hubungan ini membutuhkan lebih dari sekadar komunikasi lewat telepon atau pesan singkat. Mereka berdua harus berjuang untuk tetap saling mengerti, meskipun jarak memisahkan mereka.
Namun, semakin lama ia menulis, semakin Maya menyadari satu hal: ia tidak ingin menyerah pada Rian. Cinta mereka memang sedang diuji, tetapi ia percaya bahwa jika mereka bisa bertahan melewati masa-masa sulit ini, hubungan mereka akan menjadi lebih kuat.
Hari berikutnya, Maya merasa lebih tenang. Meskipun masih ada keraguan yang tersisa, ia tahu apa yang harus dilakukannya. Ia menghubungi Rian dan mengajak untuk berbicara.
“Aku sudah merenung, Rian,” kata Maya setelah beberapa detik keheningan. “Aku nggak ingin kita menyerah begitu saja. Aku ingin berjuang untuk hubungan ini, meskipun itu tidak mudah. Tapi kita harus jujur satu sama lain, dan kita harus lebih terbuka tentang perasaan kita.”
Rian mendengar suara Maya yang tegas, dan ia bisa merasakan ada kekuatan baru di balik kata-kata itu. “Aku juga ingin itu, Maya. Aku nggak ingin kita terjebak dalam kebingungan ini. Kita berdua harus tahu apa yang kita inginkan dari hubungan ini.”
Maya tersenyum kecil, merasa sedikit lega. “Aku ingin kita berjalan bersama. Meskipun jarak memisahkan, aku ingin kita tetap berusaha. Kita akan menemukan cara untuk membuat ini berhasil.”
Rian mengangguk, meskipun mereka hanya berbicara melalui telepon. “Aku janji, Maya. Kita akan mencari cara untuk membuat ini berhasil.”
Waktu untuk merenung memberikan Maya perspektif baru. Ia sadar bahwa cinta memang tidak selalu mudah. Terkadang, cinta diuji oleh jarak, oleh kesibukan, dan oleh keraguan yang datang. Namun, cinta juga tentang keberanian untuk berjuang, untuk tetap bersama meski dunia terasa tidak berpihak. Dan untuk Maya, ia tahu bahwa ia siap untuk melangkah maju bersama Rian, meskipun perjalanan mereka masih panjang.*
Bab 5: Menghadapi Pilihan Besar
Maya duduk di balkon apartemennya, menatap panorama kota Bandung yang mulai gelap. Angin sore yang sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma tanah basah setelah hujan yang baru reda. Ia memegang ponselnya, menatap pesan yang baru saja ia terima dari Rian. Sebuah pesan singkat yang seharusnya membawa kelegaan, namun malah menambah kebingungannya.
Rian: “Maya, aku ingin kita bicara tentang hubungan kita. Aku akan ke Bandung minggu depan untuk beberapa hari, dan aku pikir kita perlu memutuskan apa yang akan kita lakukan selanjutnya.”
Maya menundukkan kepala, matanya menatap layar ponsel yang seolah memantulkan kebimbangan dalam dirinya. Perasaan yang sudah ia pendam selama berbulan-bulan kini muncul kembali ke permukaan. Di satu sisi, ia merasa bahwa hubungan mereka masih dipenuhi dengan cinta dan keinginan untuk terus bertahan, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa jarak yang memisahkan mereka semakin menjadi beban yang sulit untuk dipikul. Rian yang sibuk di Jakarta, dan ia sendiri yang terjebak dalam rutinitas pekerjaannya di Bandung, mulai merasakan ketegangan yang semakin nyata. Setiap percakapan, setiap pesan, terasa tidak pernah cukup untuk mengatasi jarak yang begitu besar di antara mereka.
Apakah ini waktunya untuk membuat keputusan besar? Apakah mereka bisa melanjutkan hubungan ini dengan cara seperti ini, atau apakah mereka harus memilih jalan masing-masing? Maya merasa bingung, cemas, dan terjebak dalam perasaan yang saling bertentangan. Bagaimana jika hubungan ini berakhir? Apakah ia siap untuk menghadapi kenyataan itu?
Beberapa hari kemudian, Rian tiba di Bandung. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil di pusat kota, tempat yang dulu menjadi saksi awal pertemuan mereka. Maya sudah tiba lebih dulu dan duduk di pojok kafe, menunggu dengan cemas. Hatinya berdebar, tahu bahwa percakapan ini akan menjadi titik balik dalam hubungan mereka. Suara derap langkah kaki di luar kafe membuatnya menoleh, dan ketika melihat Rian melangkah masuk, ia merasa seolah seluruh dunia berhenti sejenak. Wajah Rian tampak lelah, namun tetap menyiratkan harapan. Ia tersenyum tipis saat melihat Maya, tetapi Maya bisa melihat kekhawatiran yang terpendam di mata pria itu.
Mereka saling menyapa dengan pelukan singkat, kemudian duduk di meja yang sudah mereka pesan. Meski mereka berusaha tersenyum, kedua hati mereka terasa berat, seperti ada sesuatu yang menggantung di udara.
“Maya, aku tahu kita sudah berbicara banyak tentang hubungan ini,” kata Rian, membuka percakapan dengan suara pelan namun tegas. “Tapi aku rasa kita harus benar-benar jujur satu sama lain sekarang. Ini bukan hanya tentang pekerjaan atau jarak, tapi tentang apa yang kita inginkan dalam hidup. Kita nggak bisa terus-menerus berada dalam ketidakpastian.”
Maya menundukkan kepala, merasakan ketegangan yang begitu nyata di sekitar mereka. “Aku tahu, Rian. Aku juga merasa seperti itu. Aku sudah berpikir tentang semuanya selama beberapa minggu terakhir. Aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam hubungan ini, meskipun kita berusaha untuk tetap terhubung. Aku nggak ingin terus merasa terjebak antara pekerjaan, jarak, dan kita.”
Rian mengangguk, matanya penuh pengertian, tetapi tetap ada ketegasan dalam sorot matanya. “Aku juga merasakannya, Maya. Aku cinta kamu, tapi aku merasa kita sudah terlalu lama terjebak dalam rutinitas. Kadang aku bertanya-tanya, apakah kita masih bisa bertahan seperti ini. Aku tahu aku selalu bilang bahwa kita bisa menghadapinya, tapi semakin lama aku merasa kita hanya berputar-putar tanpa arah yang jelas.”
Maya menelan ludah, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Perasaan bingung dan cemas semakin menguasai dirinya. “Jadi, apa yang kamu maksud?” tanyanya, suaranya bergetar. “Apakah kamu ingin kita berpisah?”
Rian menghela napas panjang, matanya menatap Maya dengan serius. “Aku nggak tahu, Maya. Aku hanya merasa kita perlu memutuskan sesuatu. Kita bisa terus berjuang untuk ini, tapi kalau kita melakukannya, kita harus benar-benar berkomitmen. Kita harus memilih apakah kita akan lebih dekat, pindah ke kota yang sama, atau… atau kita harus memberi ruang untuk diri kita masing-masing. Aku nggak ingin kita terus hidup dalam ketidakpastian seperti ini.”
Maya merasakan jantungnya serasa berhenti berdetak. Pindah ke kota yang sama? Itu adalah pilihan yang selalu ada di benaknya, tetapi ia merasa begitu takut untuk menghadapinya. Apa artinya pindah? Apa artinya mengubah hidupnya demi hubungan yang belum tentu berjalan dengan lancar? Tetapi di sisi lain, ia juga tak ingin kehilangan Rian. Semua pertanyaan itu berputar-putar di pikirannya, namun ia tak bisa menemukan jawabannya.
“Rian,” Maya akhirnya mulai berbicara, suaranya pelan namun penuh keyakinan. “Aku merasa kita harus memikirkan ini baik-baik. Aku nggak ingin kita hanya mengejar kebahagiaan sesaat. Kita harus berpikir tentang masa depan kita—apa yang kita inginkan, bukan hanya apa yang kita rasakan sekarang.”
Rian memandangnya dengan tatapan yang dalam, seolah mencoba membaca setiap kata yang keluar dari mulut Maya. “Aku tahu, Maya. Ini bukan keputusan yang mudah, dan aku nggak ingin terburu-buru membuat keputusan. Tapi aku merasa kita sudah sampai di titik di mana kita harus memilih. Aku ingin kita punya masa depan yang jelas. Aku nggak ingin hanya terus terjebak dalam hubungan jarak jauh ini.”
Maya terdiam. Apakah ia siap untuk membuat keputusan besar ini? Pertanyaan itu mengganggu pikirannya. Di satu sisi, ia merasa bahwa ia tidak bisa terus hidup seperti ini, terjebak antara cinta dan ketidakpastian. Di sisi lain, ia juga merasa takut kehilangan Rian, pria yang telah menjadi bagian besar dalam hidupnya selama ini.
“Apa kalau kita coba tinggal di kota yang sama?” Maya akhirnya mengajukan pertanyaan itu, meskipun hatinya berdebar-debar dan takut dengan apa yang akan terjadi. “Aku bisa pindah ke Jakarta, atau kamu bisa kembali ke Bandung. Tapi kita harus benar-benar yakin bahwa kita siap untuk perubahan besar ini.”
Rian terdiam beberapa saat, seperti memikirkan setiap kata yang baru saja diucapkan Maya. “Aku tidak tahu, Maya. Itu bukan keputusan yang mudah. Aku juga mencintaimu, dan aku ingin bersama kamu. Tapi aku juga merasa kalau kita terlalu terburu-buru, kita akan membuat kesalahan besar. Kita perlu waktu untuk berpikir.”
Maya tahu bahwa waktu adalah hal yang sangat berharga dalam hubungan mereka, dan jika mereka tidak mengambil langkah besar sekarang, mereka mungkin akan kehilangan kesempatan itu selamanya. Tetapi ia juga tahu bahwa mereka berdua perlu lebih dari sekadar keputusan impulsif—mereka perlu komitmen, keberanian, dan kejelasan. Ini bukan hanya soal apakah mereka bisa bersama atau tidak, tetapi tentang apakah mereka siap menghadapi tantangan yang akan datang, bersama-sama.
Akhirnya, setelah berbicara panjang lebar, mereka berdua memutuskan untuk memberi diri mereka waktu untuk berpikir lebih matang. “Mungkin kita harus memberi ruang sedikit, untuk memikirkan semuanya lebih jernih,” kata Rian. “Tapi aku ingin kamu tahu, Maya, apapun keputusan kita, aku akan mendukungmu.”
Maya mengangguk pelan, meskipun hatinya terasa berat. “Aku juga. Kita butuh waktu, Rian. Tapi kita harus berkomitmen pada keputusan apapun yang kita ambil.”
Hari-hari berikutnya terasa penuh dengan keraguan, tetapi juga harapan. Maya kembali ke rutinitas kerjanya di Bandung, sementara Rian kembali ke Jakarta. Meskipun mereka berusaha untuk tidak memikirkan terlalu dalam, masing-masing dari mereka merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri mereka. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tetapi terasa begitu kuat di dalam hati. Mereka tahu bahwa keputusan besar sudah dekat, dan mereka hanya perlu waktu untuk mencari jawaban yang tepat.
Maya berharap bahwa jawaban itu akan datang dengan jelas, tapi ia tahu bahwa hidup tidak selalu memberikan kepastian. Namun, satu hal yang ia yakini adalah bahwa apapun keputusan yang mereka ambil, mereka harus berkomitmen pada masa depan yang ingin mereka bangun bersama. Sebuah masa depan yang penuh dengan tantangan, tapi juga dengan harapan dan cinta.***
—————THE END————–