Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

SELALU ADA DIHATI ,MESKI TERPISAH JARAK

SELALU ADA DI HATI ,MESKI TERPISAH JARAK

SAME KADE by SAME KADE
February 13, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 18 mins read
SELALU ADA DIHATI ,MESKI TERPISAH JARAK

Daftar Isi

  • Bab 1  Awal yang Manis
  • Bab 2  Jarak yang Memisahkan
  • Bab 3  Ujian Cinta
  • Bab 4  Pertemuan yang Terlambat
  • Bab 5: Melangkah ke Masa Depan

Bab 1  Awal yang Manis

Alya tidak pernah percaya pada konsep cinta pada pandangan pertama. Baginya, cinta adalah perjalanan panjang yang tumbuh dari pengertian, kepercayaan, dan komitmen. Namun, hari itu hari yang tidak pernah ia duga memaksanya untuk mempertanyakan segalanya.

Pagi itu, Jakarta masih diselimuti kabut tipis yang datang dari udara lembap hujan semalam. Alya berjalan terburu-buru melewati lobi gedung tempat ia bekerja, berusaha mengejar kereta yang sudah hampir meninggalkan stasiun. Ia baru saja selesai dengan rapat yang memakan waktu lebih dari yang ia inginkan, dan seharusnya sudah kembali ke rumah untuk menyiapkan presentasi untuk klien besar besok. Tetapi ada satu hal yang tak bisa ia lewatkan: kopi.

Di kedai kopi langganan, ia masuk dan langsung mengantri. Ada aroma kopi yang hangat dan nyaman memenuhi ruangan, menyelimuti tubuhnya yang sudah lelah. Saat antrian semakin pendek, Alya mendongak, memandang seorang pria yang sedang berdiri di depan meja kasir.

Pria itu terlihat tidak terburu-buru. Ia memilih dengan hati-hati, membaca menu seakan itu adalah sesuatu yang penting, lalu dengan tenang memesan secangkir kopi hitam, sambil tersenyum tipis kepada barista. Wajahnya tidak asing. Alya pernah melihatnya beberapa kali di kantor—Randy, seorang manajer proyek yang bekerja di salah satu klien besar perusahaan mereka. Mereka tidak pernah berbicara langsung, hanya saling memberi senyuman singkat ketika bertemu di lorong atau saat rapat dengan tim.

Namun hari itu, ada sesuatu yang berbeda. Alya merasakan semacam getaran, semacam ikatan aneh yang membuatnya tidak bisa berpaling begitu saja. Entah kenapa, dia merasa ingin mengenal lebih jauh pria itu, yang di matanya tampak penuh dengan ketenangan dan misteri.

Alya tidak tahu apakah itu karena kantuk yang belum hilang atau karena kebetulan yang lucu, tapi ia merasa ada sesuatu yang menarik di balik senyuman Randy yang santai. Ketika giliran Alya tiba, ia memesan kopi favoritnya, latte dengan sedikit vanila. Setelah membayar, ia berbalik dan—untungnya—bertemu dengan mata Randy yang sedang menatapnya.

Alya tersenyum gugup. “Hai, aku pikir kita sering bertemu di kantor, tapi belum sempat ngobrol,” katanya dengan suara yang sedikit lebih pelan dari biasanya. Mungkin karena ia tidak tahu harus berkata apa.

Randy tertawa kecil, sedikit terkejut, lalu mengangguk. “Betul, kita sering ketemu di rapat. Aku Randy, senang bisa ngobrol di luar konteks pekerjaan,” jawabnya. Ada kehangatan dalam suaranya yang membuat Alya merasa lebih nyaman. Mungkin itu juga alasan kenapa dia merasa bisa membuka percakapan dengan mudah.

“Alya,” jawabnya singkat, masih sedikit ragu.

Lalu, mereka berbicara tentang cuaca, pekerjaan, dan beberapa topik ringan. Obrolan itu mengalir dengan lancar, seperti dua orang yang sudah lama saling mengenal meskipun baru saja bertemu. Alya tidak menyadari betapa waktu berlalu begitu cepat, sampai akhirnya ia sadar bahwa kopi yang dipesan sudah siap.

“Wah, aku harus pergi, ada rapat di kantor,” kata Alya tergesa-gesa. “Senang bisa ngobrol, Randy.”

Randy tersenyum lebar. “Aku juga. Kalau ada waktu, kita bisa ngobrol lagi. Siapa tahu kita bisa berbagi cerita lebih banyak,” jawabnya sambil sedikit menggoda.

Alya hanya mengangguk dan melambaikan tangan sebelum bergegas keluar dari kedai kopi itu. Meski ia tidak tahu mengapa, ada rasa hangat yang aneh mengalir di dalam dadanya. Sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, seperti sebuah petunjuk bahwa ini bukanlah pertemuan biasa.

Hari-hari berlalu. Pertemuan itu tetap terpatri jelas dalam ingatannya, dan ia merasa aneh mengingat betapa sederhana, namun istimewanya pertemuan pertama mereka. Ternyata, hal-hal kecil seperti itu bisa memberi dampak besar pada hidup seseorang.

Seminggu setelah pertemuan di kedai kopi, Randy mengiriminya pesan singkat lewat aplikasi perpesanan kantor.

“Hai Alya, bagaimana kabarmu? Aku harap semuanya baik-baik saja di sana. Kalau ada waktu luang, bagaimana kalau kita minum kopi bersama lagi? Aku penasaran ingin mendengar lebih banyak tentang pekerjaanmu di proyek X.”

Alya merasa sedikit kaget. Tidak ada yang menyangka bahwa pesan itu akan datang begitu cepat. Tetapi ada rasa senang yang menggelitik, sebuah antusiasme yang bahkan ia tidak tahu darimana datangnya. Dia tidak membuang waktu untuk membalasnya.

“Tentu, Randy. Aku senang sekali mendengarnya. Kapan kamu ada waktu?”

Sejak saat itu, mereka mulai menghabiskan waktu bersama lebih sering. Tidak hanya berbicara tentang pekerjaan, tetapi juga tentang kehidupan pribadi mereka. Mereka berbagi cerita tentang keluarga, teman-teman, impian, bahkan kekhawatiran dan kecemasan mereka tentang masa depan.

Randy bukan hanya sekadar pria tampan yang selalu tenang, tetapi dia juga memiliki selera humor yang luar biasa. Meskipun terkadang, mereka merasa canggung, tapi semakin lama, mereka semakin merasa nyaman satu sama lain. Setiap percakapan terasa seperti sebuah janji bahwa mereka bisa mengatasi segalanya bersama, tanpa harus takut atau merasa sendirian.

Lambat laun, Alya mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan biasa. Ada perasaan yang tumbuh dalam dirinya, sesuatu yang membuatnya ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama Randy, bahkan jika itu hanya untuk mendengar suaranya di ujung telepon.

Mungkin, memang benar kata orang cinta bisa datang tanpa diduga. Seperti yang Alya rasakan sekarang, bahwa perasaan ini, perasaan yang tumbuh dalam hati tanpa ia sadari, adalah sesuatu yang tak bisa ditunda lagi.

Namun, di sisi lain, Alya tahu satu hal: jarak yang memisahkan mereka akan menjadi ujian terbesar dalam hubungan ini. Tetapi untuk saat ini, dia hanya ingin menikmati perasaan manis ini, merasakan kehadiran Randy meski hanya melalui pesan singkat atau telepon, berharap cinta mereka bisa tumbuh lebih dalam meski dunia tak selalu berpihak pada mereka.

Bab 2  Jarak yang Memisahkan

Kehidupan Alya berubah setelah pertemuan yang tak terduga dengan Randy di kedai kopi itu. Perasaan yang awalnya hanya sebatas rasa penasaran kini berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang membuatnya merasa seperti menemukan bagian yang hilang dalam hidupnya. Setiap kali mereka berbicara, baik itu melalui pesan atau telepon, ia merasa lebih hidup. Tertawa lebih keras, berbicara lebih bebas, dan merasakan kehangatan yang jarang ia temui sebelumnya.

Namun, ada satu hal yang tak bisa dihindari. Kehidupan profesional Alya memaksanya untuk menerima tawaran pekerjaan di luar kota. Perusahaan tempat ia bekerja baru saja mendapatkan proyek besar di Surabaya, dan Alya diminta untuk memimpin tim di sana. Tawaran itu datang tiba-tiba, dan meskipun ia ragu, Alya tahu bahwa kesempatan ini adalah bagian dari karier yang telah ia bangun bertahun-tahun. Jarak antara Jakarta dan Surabaya bukanlah jarak yang terlalu jauh, tetapi cukup untuk menguji hubungan yang baru saja tumbuh dengan Randy.

Hari terakhir Alya di Jakarta terasa seperti kilasan waktu yang cepat berlalu. Pagi itu, ia menyelesaikan rapat terakhir di kantor, lalu kembali ke apartemennya untuk mengemas barang-barangnya. Sambil sibuk memikirkan apa yang akan ia bawa dan bagaimana ia harus mengatur hidupnya di kota baru, pikirannya tak bisa berhenti tentang Randy. Mereka sudah beberapa kali berbicara tentang jarak, dan meskipun keduanya sepakat bahwa mereka akan tetap berusaha, ada sedikit keraguan di hati Alya. Apakah mereka bisa bertahan? Apakah perasaan mereka cukup kuat untuk melawan jarak?

Pagi itu, saat ia mengemas koper terakhirnya, ponselnya berdering. Nama Randy muncul di layar.

“Hai, Alya. Gimana hari terakhirmu di Jakarta?” Suara Randy terdengar ceria, meskipun Alya bisa merasakan sedikit kecemasan yang terselip.

Alya tersenyum kecil. “Hari terakhir ini agak hektik, but I’m hanging in there. Kamu sendiri gimana? Sudah siap dengan kerjaan baru di sini?”

“Hmm, masih agak cemas, tapi aku yakin bisa menghadapinya. Aku hanya khawatir tentang… kita,” Randy menjawab dengan hati-hati.

Alya terdiam sejenak, meresapi kata-kata itu. Terkadang, meskipun mereka berbicara seolah-olah semuanya akan baik-baik saja, ada kecemasan yang tak bisa dihindari. “Kita bisa kok. Kita sudah bicara tentang ini sebelumnya, Randy. Jarak ini memang bukan hal yang mudah, tapi aku yakin kita bisa melewatinya. Aku percaya dengan kita.”

Randy menghela napas. “Aku juga, Alya. Tapi aku hanya ingin… tidak kehilanganmu. Itu saja.”

Mendengar suara Randy yang penuh harap, Alya merasa sesak di dadanya. “Aku juga nggak mau kehilangan kamu, Randy,” jawab Alya pelan. “Jadi, kita harus tetap berjuang, kan? Jarak bukan akhir dari segalanya.”

Ada jeda beberapa detik sebelum Randy kembali berbicara, kali ini dengan suara yang lebih ringan. “Jadi, kamu siap untuk menjalani petualangan baru di Surabaya?”

Alya tersenyum. “Aku siap. Ini kesempatan yang besar buatku, Randy. Dan aku tahu kamu akan mendukungku, kan?”

“Aku akan selalu mendukungmu, Alya. Di mana pun kamu berada.”

Setelah percakapan itu, Alya merasa lebih tenang. Mungkin jarak akan menjadi hal yang sulit, tetapi setidaknya mereka berdua sudah sepakat untuk tetap menjaga hubungan ini. Mereka akan bertahan.

Namun, kenyataan tidak selalu seindah harapan. Beberapa hari setelah Alya pindah ke Surabaya, kesibukan di tempat kerja mulai mengambil alih hidupnya. Waktu untuk menghubungi Randy pun semakin terbatas. Pekerjaan yang menumpuk, pertemuan klien, serta adaptasi dengan lingkungan baru membuatnya merasa sedikit kewalahan. Meski begitu, ia berusaha menyisihkan waktu untuk menghubungi Randy—sebuah pesan singkat atau telepon singkat di malam hari sebelum tidur.

Namun, terkadang jarak itu benar-benar terasa. Percakapan mereka menjadi lebih jarang, dan meskipun mereka berdua berusaha untuk tetap terhubung, ada kekosongan yang mulai terbentuk di antara mereka. Ketika Randy mengiriminya pesan atau menelepon, Alya merasa cemas apakah percakapan itu akan cukup lama, atau apakah mereka hanya akan saling mendengar suara kosong di ujung telepon.

“Randy, aku rindu,” kata Alya suatu malam setelah beberapa hari tidak berbicara banyak.

“Aku juga rindu, Alya. Tapi… apakah kita akan selalu seperti ini?” balas Randy, dengan nada yang agak cemas.

Alya terdiam. Meskipun ia mencoba menutupi perasaannya, kenyataan bahwa jarak ini mempengaruhi mereka begitu dalam mulai terasa. Mereka sering berbicara tentang rencana pertemuan berikutnya, tetapi waktu dan jarak terus menghalangi. Terkadang, Alya merasa cemas bahwa mereka hanya berbicara tentang masa depan yang semakin kabur, tanpa benar-benar bisa merasakannya.

“Jarak ini…” Alya menghela napas. “Jarak ini membuatku merasa sendirian, Randy.”

“Alya, aku tahu. Aku juga merasakannya. Tapi aku… aku tidak ingin menyerah. Aku hanya tidak tahu apakah kita cukup kuat untuk bertahan,” jawab Randy, suaranya agak pecah.

Percakapan itu berakhir dengan keheningan yang berat. Meskipun mereka saling mencintai, kenyataan bahwa mereka hidup dalam dua dunia yang sangat berbeda mulai terasa menekan. Pekerjaan, teman-teman baru, dan kehidupan yang terus berjalan membuat mereka merasa terpisah, meskipun mereka berusaha untuk tetap saling terhubung.

Keesokan harinya, Alya berdiri di jendela apartemennya, menatap kota Surabaya yang sibuk. Hatinya terasa hampa. Ia merindukan Randy, merindukan kehadirannya yang dulu selalu bisa membuatnya merasa tenang. Namun sekarang, meskipun mereka berbicara hampir setiap hari, perasaan itu semakin sulit untuk dijaga.

“Apa aku cukup kuat untuk ini?” pikirnya dalam hati, merasakan kesepian yang mulai menggerogoti dirinya.

Saat itu, ponselnya berdering. Nama Randy muncul di layar. Dengan sedikit ragu, Alya mengangkatnya.

“Hai, Alya. Aku hanya ingin bilang satu hal,” kata Randy, suaranya terdengar serius.

“Apa itu?” tanya Alya, sedikit khawatir.

“Aku masih ingin berjuang, meskipun ini sulit. Aku masih ingin kamu di hidupku, dan aku tahu kita bisa menghadapinya bersama. Kita bisa melewati jarak ini. Aku percaya pada kita.”

Mendengar kata-kata itu, hati Alya terasa lebih ringan. Jarak mungkin sedang menguji mereka, tetapi satu hal yang tidak bisa diragukan mereka saling mencintai dan ingin berjuang bersama. Selama mereka bisa terus berkomunikasi, saling mendukung, dan tidak menyerah, tidak ada yang bisa menghalangi mereka.

“Terima kasih, Randy. Aku juga ingin berjuang. Kita bisa melewati ini. Aku janji,” jawab Alya, sambil tersenyum kecil, meskipun hatinya penuh dengan keraguan.

Bab 3  Ujian Cinta

Hari-hari berlalu begitu cepat, dan meskipun jarak terus menjadi penghalang, Alya dan Randy berusaha semampu mereka untuk mempertahankan hubungan ini. Mereka terus berbicara, mengirim pesan, dan melakukan panggilan video setiap kali ada kesempatan. Setiap obrolan terasa manis, tetapi semakin sering mereka terpisah, semakin terasa adanya kerinduan yang tak terucapkan. Namun, meskipun banyak hal yang terasa sempurna, mereka mulai menyadari bahwa cinta mereka diuji oleh kenyataan.

Alya mulai merasakan kesulitan yang tak terduga. Surabaya bukan hanya tentang pekerjaan baru, tetapi juga tentang menghadapi dunia yang sama sekali berbeda. Teman-teman baru, lingkungan baru, dan rutinitas yang mulai membuatnya sibuk membuatnya terkadang lupa untuk memberi perhatian penuh pada Randy. Ia tidak tahu mengapa, tetapi perasaan kosong itu mulai muncul lagi. Meski begitu, ia berusaha menekan perasaan itu, berpikir bahwa semua ini hanya masalah waktu dan penyesuaian diri.

Pada suatu sore yang hujan, ketika Alya sedang menatap layar ponselnya, sebuah pesan dari Randy masuk.

“Aku baru saja bertemu dengan seseorang di kantor. Seorang rekan kerja baru. Namanya Jessica, dia cukup ramah dan kami berbicara cukup lama tadi. Rasanya aneh, aku tidak bisa berhenti berpikir tentang percakapan tadi.”

Alya membaca pesan itu beberapa kali, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja ia baca. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Ia berusaha untuk tetap tenang, meskipun ada rasa tidak nyaman yang mulai muncul di perutnya.

“Oh, ya? Apa dia cantik?” balas Alya dengan nada yang terkesan santai, meskipun hatinya mulai gelisah.

Tak lama setelah itu, ponselnya berdering. Randy menelepon.

“Randy?” Alya menjawab dengan suara yang sedikit cemas. “Ada apa?”

Randy terdengar sedikit bingung, mungkin tidak menyadari bahwa pesan yang ia kirimkan telah memicu perasaan cemburu di hati Alya. “Aku cuma ingin cerita saja. Kami bicara soal banyak hal, dan aku merasa nyaman bisa berbicara dengan dia. Itu saja.”

Alya merasakan sensasi aneh di dadanya, seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal. Dia memaksakan diri untuk tetap tenang, tetapi pertanyaan itu terus mengganggu pikirannya. Apakah dia mulai tertarik pada perempuan lain?

“Apa kamu merasa… ada sesuatu di antara kalian?” tanya Alya dengan hati-hati, berusaha mendengar jawaban yang jujur dari Randy.

“Tidak,” jawab Randy cepat. “Tidak sama sekali. Aku cuma merasa nyaman, Alya. Tidak ada yang lebih.”

Alya terdiam. Dia ingin percaya padanya, tapi cemburu itu datang begitu saja—perasaan yang tak bisa dia kontrol. Lalu, dia mendengar suara Randy yang terdengar lebih serius. “Alya, kenapa kamu tiba-tiba terlihat… cemas? Kamu merasa tidak nyaman dengan ini?”

Alya menghela napas, berusaha menenangkan diri. “Tidak, aku hanya… merasa agak aneh. Mungkin karena aku jauh dari kamu dan aku mulai khawatir.”

“Alya, kamu tidak perlu khawatir. Aku di sini, dan aku hanya punya kamu. Jangan biarkan pikiran-pikiran seperti ini merusak apa yang kita punya,” ujar Randy, berusaha menenangkan hati Alya.

Alya mengangguk meskipun Randy tidak bisa melihatnya. “Maaf, aku hanya merasa… cemburu. Mungkin aku harus lebih percaya pada kita.”

Percakapan itu berakhir dengan sedikit keheningan. Alya merasa cemas, tetapi dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini hanyalah masalah kepercayaan. Jarak memang bisa menciptakan keraguan, tetapi ia tahu bahwa selama mereka terus berkomunikasi dan jujur satu sama lain, mereka bisa menghadapinya.

Namun, itu bukanlah satu-satunya ujian dalam hubungan mereka.

Beberapa hari kemudian, Alya menerima telepon dari seorang teman lamanya, Dika, yang saat itu sedang berada di Surabaya untuk sebuah urusan bisnis. Dika adalah teman baik Alya semasa kuliah, dan meskipun mereka tidak pernah memiliki hubungan spesial, Alya merasa nyaman berbicara dengannya.

“Dika, apa kabar? Kenapa bisa datang ke Surabaya?” tanya Alya saat mereka berbicara di telepon.

“Aku cuma mau tanya, bisa nggak kita ketemu? Ada banyak yang pengen aku obrolin sama kamu. Aku tahu kamu sibuk, tapi…”

Alya terdiam sejenak. Dia merasa tidak enak menolak tawaran Dika, tetapi hatinya merasa cemas. Apakah ini akan membuat Randy cemburu lagi? Meskipun ia tahu hubungan mereka hanya sebatas pertemanan, perasaan cemburu yang tak terkontrol itu sepertinya akan datang lagi jika Randy tahu ia bertemu dengan Dika.

Dia memutuskan untuk bertemu, berharap bisa mengatasi keraguan itu.

Saat bertemu Dika di sebuah kafe, mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari pekerjaan hingga kenangan masa lalu. Namun, suasana hati Alya tetap gelisah. Ketika Dika berusaha menggoda dengan sedikit candaan, Alya merasa tidak nyaman.

“Gimana, Alya? Sepertinya kamu berubah, ya. Aku lihat kamu lebih santai sekarang, bukan seperti dulu yang selalu serius,” ujar Dika, sambil tersenyum nakal.

Alya tertawa kecil, tetapi hatinya berdebar. “Aku cuma… mencoba menyesuaikan diri. Hidup baru, kota baru, ya kan?”

Dika menatapnya dengan tatapan serius. “Kamu tahu, kadang aku merasa kamu jauh lebih bahagia sekarang dibandingkan dulu. Sepertinya kamu sudah menemukan seseorang yang spesial.”

Alya terdiam sejenak. Ia tidak tahu apa yang harus dijawab. Apakah Dika tahu aku sedang bersama Randy? Meskipun ia tidak ingin menyakiti Dika, perasaan tidak nyaman itu terus menghantuinya. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengakhiri pertemuan itu lebih cepat dari yang direncanakan.

Ketika kembali ke apartemennya, Alya merasa berat hati. Apa yang aku lakukan? Apakah aku salah?

Randy mencoba menghubunginya beberapa kali, dan setiap kali Alya melihat namanya di layar ponsel, hatinya semakin berat. Ia ingin menceritakan segalanya, tetapi ia takut jika itu malah membuat Randy berpikir bahwa hubungan mereka mulai goyah. Apa yang harus aku katakan padanya?

Alya memutuskan untuk menelepon Randy malam itu. “Randy, aku… aku ingin jujur sama kamu,” kata Alya, suaranya terdengar lelah. “Tadi siang, aku bertemu dengan Dika. Teman lama aku. Aku tahu kamu mungkin khawatir tentang hal ini, tapi aku ingin kamu tahu bahwa tidak ada apa-apa di antara kami.”

Randy terdiam, dan Alya bisa merasakan ketegangan dari ujung telepon. “Aku mengerti,” kata Randy akhirnya, “Tapi kamu harus tahu, Alya, aku mulai merasa cemas. Cemburu itu wajar, tapi kita harus saling percaya. Kalau kita tidak bisa saling percaya, hubungan ini tidak akan bertahan.”

Alya menunduk, merasa bersalah. “Aku tahu, Randy. Aku tidak ingin membuatmu merasa seperti ini. Aku hanya takut kehilanganmu.”

“Jangan takut, Alya,” jawab Randy dengan suara lembut. “Kita akan berjuang bersama, kan? Aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu di sini untuk kamu.”

Alya mengangguk meskipun Randy tidak bisa melihatnya. Ini ujian yang berat. Tapi aku akan berjuang.

Malam itu, mereka berbicara lebih lama dari biasanya. Cinta mereka diuji oleh jarak, rasa cemburu, dan keraguan, tetapi mereka berdua tahu satu hal: mereka tidak ingin menyerah begitu saja.

Bab 4  Pertemuan yang Terlambat

Alya menatap layar ponselnya. Sudah tiga minggu sejak terakhir kali dia berbicara dengan Randy tentang rencana mereka untuk bertemu. Tiga minggu yang terasa seperti tiga bulan. Jarak antara Surabaya dan Jakarta sepertinya semakin jauh, meskipun secara fisik hanya terpisah oleh perjalanan udara selama satu jam. Namun, perasaan Alya seolah-olah lebih jauh, terkadang merasa begitu dekat dan kadang begitu jauh.

Randy sudah beberapa kali memberi tahu bahwa ia akan datang ke Surabaya untuk sebuah pertemuan bisnis, dan mereka akan memanfaatkan kesempatan ini untuk bertemu. Namun, setelah beberapa kali penundaan karena alasan pekerjaan, tanggal pertemuan mereka terus bergeser. Sepertinya takdir selalu punya cara untuk menghalangi mereka.

Alya tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Di setiap percakapan mereka, meskipun ada perasaan cinta yang kuat, ada juga ketegangan yang muncul. Ada rasa kesepian yang menggerogoti dirinya. Ia merindukan Randy, merindukan tawa, dan kehangatan yang hanya bisa datang dari kehadiran fisik seseorang yang sangat ia cintai.

Namun, hari itu, setelah berbulan-bulan menunggu, pesan dari Randy akhirnya datang.

“Alya, aku baru dapat konfirmasi tiket pesawat. Aku akan tiba di Surabaya besok sore, sekitar pukul 4. Aku benar-benar tidak sabar untuk bertemu.”

Alya membaca pesan itu berulang kali, hampir tidak bisa mempercayainya. Setelah sekian lama, akhirnya pertemuan itu benar-benar akan terjadi. Terkadang, ketika cinta terhalang oleh jarak yang begitu jauh, kamu mulai meragukan apakah perasaan itu masih ada, atau apakah hubungan itu hanya sebatas kenangan. Tetapi sekarang, meskipun ragu dan cemas, Alya merasa sedikit lega. Setidaknya, mereka akan bertemu—akhirnya.

Keesokan harinya, Alya sudah berada di bandara jauh lebih awal, menunggu kedatangan Randy. Ia mengenakan pakaian kasual yang nyaman, sedikit lebih cerah dari biasanya. Ada kecemasan di hatinya, tetapi juga harapan. Apa yang akan terjadi setelah mereka bertemu? Apa yang akan mereka bicarakan? Dan, apakah perasaan yang selama ini tumbuh hanya lewat pesan dan suara akan tetap ada ketika mereka saling bertatap muka?

Alya menatap arlojinya yang menunjukkan pukul 3:45 sore. Pesawat Randy dijadwalkan tiba sekitar satu jam lagi. Ia menarik napas panjang dan mencoba menenangkan diri. Ada perasaan hangat yang datang dari dalam dirinya, perasaan yang seakan sudah lama tidak ia rasakan. Mungkin ini adalah hal yang paling ia butuhkan untuk bertemu langsung dengan orang yang ia cintai setelah berbulan-bulan hanya bisa berbicara lewat telepon dan pesan singkat.

Tak lama setelah itu, suara pengeras suara mengumumkan kedatangan pesawat dari Jakarta. Alya berdiri, dan matanya langsung tertuju pada kerumunan yang baru saja keluar dari pintu kedatangan. Ia menunggu, menahan napas, hingga akhirnya, di antara orang-orang yang keluar dari pintu itu, ia melihat sosok yang sangat dikenalnya Randy.

Jantung Alya berdegup kencang. Randy tampak sedikit lebih kurus daripada terakhir kali ia lihat, dengan rambut yang sedikit lebih panjang. Ia mengenakan jaket kulit hitam dan jeans, tampak santai namun tetap terlihat sangat menarik. Matanya bertemu dengan mata Alya, dan dalam sekejap, senyuman lebar muncul di wajahnya.

Alya merasa tubuhnya tiba-tiba kaku. Ada begitu banyak perasaan yang berputar di dalam dirinya—rindu, cemas, bahagia, dan sedikit takut. Mereka berdua sudah lama tidak bertemu, dan meskipun mereka sudah menghabiskan banyak waktu berbicara lewat telepon, pertemuan langsung ini tetap terasa asing.

Randy berjalan cepat ke arahnya, dan dalam beberapa langkah, mereka sudah berada dalam jarak yang cukup dekat. Wajah Randy terlihat lebih serius daripada biasanya, tetapi matanya bersinar penuh harapan.

“Alya,” Randy berkata, suaranya rendah dan penuh kehangatan. “Kamu terlihat berbeda… lebih cantik dari yang aku bayangkan.”

Alya hanya bisa tersenyum, sedikit malu. “Kamu juga, Randy. Aku nggak sabar banget akhirnya bisa melihatmu langsung.”

Tanpa banyak bicara lagi, Randy membuka kedua tangannya, dan Alya tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluknya. Pelukan pertama mereka setelah berbulan-bulan terpisah begitu hangat dan penuh emosi. Tangan Randy terasa begitu nyata di punggungnya, dan tubuh mereka seakan-akan saling mengingatkan bahwa cinta yang mereka rasakan masih hidup, meskipun terhalang oleh waktu dan jarak.

“Ini benar-benar terasa seperti mimpi, Alya,” bisik Randy di telinganya, suaranya sedikit bergetar. “Aku nggak sabar buat menghabiskan waktu bersama kamu. Semua ini terasa begitu lama.”

Alya hanya mengangguk, merasa terharu. Mereka berdua merasa seperti kembali ke rumah setelah lama berada di tempat yang asing. Namun, meskipun mereka sudah bertemu, ada perasaan canggung yang masih mengendap, seperti dua orang yang sudah sangat dekat, tetapi tetap merasa sedikit cemas dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Setelah pelukan panjang itu, mereka memutuskan untuk pergi ke sebuah restoran kecil yang cukup tenang. Mereka duduk di sudut yang cukup nyaman, dan setelah beberapa saat, percakapan mereka mulai mengalir.

“Kamu kangen apa sih selama kita terpisah?” tanya Randy, memulai percakapan dengan ringan.

Alya memandang ke luar jendela, lalu kembali menatap Randy. “Aku kangen tawa kita. Aku kangen bisa ngobrol tanpa harus terburu-buru atau khawatir waktu kita habis. Aku kangen kamu di sini, Randy.”

Randy tersenyum, menggenggam tangan Alya di atas meja. “Aku juga kangen semuanya. Semua yang ada di Jakarta, dan lebih lagi, kangen kamu. Tapi aku merasa… perasaan ini beda, Alya. Kita nggak bisa lagi menghindar dari kenyataan kalau… kita punya banyak hal yang perlu dibicarakan, kan?”

Alya menatapnya bingung. “Apa maksudmu?”

Randy menatapnya dengan serius. “Aku tahu kita sudah mencoba menjaga hubungan ini meskipun terpisah jarak, tetapi ada banyak hal yang tak bisa kita hindari, Alya. Ada kesepian yang kita rasakan, keraguan yang mulai muncul, dan aku… aku khawatir apakah kita bisa terus seperti ini, terus menjalani hubungan yang jauh tanpa ada solusi.”

Kata-kata Randy membuat Alya terdiam. Ia sudah merasakan kekhawatiran yang sama, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengatakannya. Mereka sudah lama saling percaya, tetapi kenyataan tentang jarak, pekerjaan, dan perbedaan kota mulai menghantui mereka. Setiap kali mereka berbicara tentang masa depan, perasaan itu seperti sebuah bayangan yang terus mengikuti mereka.

“Apa maksudmu, Randy?” tanya Alya pelan.

Randy menatapnya penuh arti, matanya berbicara lebih dari kata-kata. “Aku ingin kita membuat keputusan, Alya. Kita harus memutuskan apakah kita akan terus berjuang untuk ini, atau… kita harus mulai berpikir lebih realistis. Aku nggak ingin hubungan ini hanya menjadi kenangan.”

Alya merasakan hatinya berat. Apa yang mereka alami ini adalah ujian terbesar dalam hubungan mereka pertemuan yang terlambat, dan kini mereka harus menghadapi kenyataan bahwa meskipun cinta itu ada, ada banyak hal yang harus mereka perbaiki dan bicarakan.

Bab 5: Melangkah ke Masa Depan

Hari-hari setelah pertemuan mereka di Surabaya terasa berlalu begitu cepat. Meskipun rasa rindu yang menggebu-gebu antara Alya dan Randy sudah sedikit terobati, ada sebuah kenyataan yang tidak bisa mereka hindari: hubungan jarak jauh mereka bukanlah hal yang mudah. Meskipun mereka sudah saling mengungkapkan perasaan, banyak pertanyaan dan kekhawatiran yang masih menggantung di benak mereka. Meskipun mereka menginginkan masa depan bersama, pertanyaan tentang bagaimana mereka bisa mempertahankan hubungan ini di tengah kehidupan yang begitu sibuk dan terpisah jarak masih menghantui.

Setelah makan malam yang penuh tawa dan obrolan ringan, suasana menjadi lebih serius ketika percakapan mereka beralih ke arah masa depan. Randy menggenggam tangan Alya dengan lembut, matanya memandang dalam, seolah sedang memikirkan sesuatu yang sangat penting. Mereka duduk di sebuah kedai kopi yang sepi, hanya ada beberapa pelanggan lainnya yang tampak asyik dengan obrolan mereka sendiri. Namun bagi Alya dan Randy, dunia di sekitar mereka seolah menghilang sejenak. Hanya ada mereka berdua, dan seluruh dunia terasa melambat.

“Alya, aku tahu kita sudah berbicara banyak tentang hubungan ini, tentang perasaan kita, dan apa yang kita inginkan. Tapi setelah kita bertemu, ada satu hal yang semakin jelas buatku,” ujar Randy, suaranya lebih serius dari biasanya. “Kita harus mulai merencanakan masa depan. Ini bukan hanya soal perasaan kita sekarang, tetapi juga tentang bagaimana kita akan menghadapinya di masa depan.”

Alya menatapnya dengan bingung, hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya. “Maksud kamu, Randy?”

Randy menghela napas, lalu menatap Alya dengan penuh perhatian, seolah ingin memastikan bahwa setiap kata yang akan ia ucapkan bisa dipahami dengan baik. “Aku merasa hubungan kita bisa terus bertahan kalau kita punya tujuan bersama, Alya. Kita sudah saling mencintai, tapi aku nggak ingin kita terus hidup dalam ketidakpastian. Aku nggak mau kita hanya mengandalkan obrolan lewat telepon dan pesan untuk menjaga cinta kita. Aku ingin kita melangkah bersama, membangun sesuatu yang nyata.”

Alya merasakan jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Randy mengingatkannya pada sesuatu yang selama ini ia hindari. Perasaan ragu yang tak terucapkan, keraguan tentang masa depan yang tidak pasti, dan kehidupan mereka yang terpisah oleh jarak yang kadang terasa begitu lelah. Dia menyadari bahwa meskipun mereka berdua telah mencoba sekuat tenaga untuk mempertahankan hubungan ini, mereka tidak bisa terus berada di tempat yang sama—menggantung di antara harapan dan kenyataan. Keterpisahan ini mulai memberi tekanan pada mereka, seperti sebuah ketegangan yang mempengaruhi kualitas hubungan mereka.

“Aku tahu apa yang kamu maksud,” kata Alya, mencoba meresapi kata-kata Randy dengan seksama. “Aku juga ingin kita melangkah ke depan. Tapi, kita harus jujur, kan? Semua ini… nggak mudah.”

Randy mengangguk, wajahnya sedikit tegang. “Aku tahu. Aku juga merasa itu. Jarak ini, pekerjaan, hidup yang terus berubah… semua itu membuat kita semakin sulit untuk bertemu. Tapi, aku nggak ingin kita terjebak dalam kebiasaan itu. Kita harus punya rencana, Alya. Jika kita terus seperti ini, kita hanya akan terjebak dalam rutinitas yang sama—hubungan yang hanya ada di telepon, di pesan singkat. Aku ingin lebih dari itu.”

Alya menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai kacau. Beberapa minggu terakhir, ia memang merasakan kekosongan dalam dirinya. Kerinduan akan kehadiran Randy yang nyata, sentuhan fisik yang tidak bisa digantikan oleh kata-kata. Meskipun ia tahu mereka harus melangkah ke depan, pertanyaan itu selalu ada di pikirannya: apa yang harus mereka lakukan agar hubungan ini bisa bertahan? Apa yang bisa mereka lakukan untuk mengurangi jarak yang teramat jauh di antara mereka?

“Apa yang kamu pikirkan tentang kita, Randy?” tanya Alya, suaranya rendah, penuh ketulusan. “Aku merasa kita harus membuat keputusan besar, tapi aku takut jika kita salah mengambil langkah. Aku nggak ingin kehilangan kamu, tapi aku juga nggak bisa terus hidup dalam ketidakpastian.”

Randy menggenggam tangan Alya lebih erat, seolah ingin memberikan kekuatan kepada Alya. “Aku juga takut, Alya. Tapi aku lebih takut kehilangan kamu karena kita terlalu lama menunda keputusan. Kita sudah cukup lama terpisah. Aku ingin kita mencoba sesuatu yang lebih nyata. Entah itu aku yang pindah ke Surabaya, atau kamu yang kembali ke Jakarta. Tapi kita harus punya rencana untuk masa depan kita.”

Alya terdiam sejenak. Pikirannya mulai terombang-ambing antara dua pilihan yang sangat sulit: apakah ia akan tinggal di Surabaya, tempat ia membangun karier yang sedang berkembang, atau apakah ia akan kembali ke Jakarta, di mana keluarganya dan Randy menunggunya? Di satu sisi, ia tahu bahwa hidup di Surabaya memberinya banyak peluang, tetapi di sisi lain, Randy juga merupakan bagian besar dari hidupnya yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Di mana hatinya merasa nyaman, di mana ia bisa berkembang, dan di mana ia bisa menghabiskan waktu bersama orang yang ia cintai?

“Aku…” Alya berhenti sejenak, berpikir dengan hati-hati, “Aku nggak tahu, Randy. Aku cinta kamu, dan aku ingin kita melangkah bersama. Tapi hidup di Surabaya juga memberikan banyak kesempatan bagiku. Jika aku pindah ke Jakarta, aku akan kehilangan banyak hal yang sudah aku bangun di sini.”

Randy menatapnya dengan penuh pengertian. “Aku mengerti, Alya. Aku nggak ingin kamu merasa terpaksa melakukan sesuatu yang kamu nggak siap. Aku ingin kita berjalan bersama, tapi aku juga tahu betapa pentingnya karier dan cita-cita yang sudah kamu bangun. Aku bukan orang yang ingin menghalangi impianmu.”

Alya merasakan haru di dadanya. Meskipun dia tahu betapa beratnya keputusan ini, dia merasa sangat diberkati karena memiliki pasangan yang begitu pengertian. Randy benar-benar mendukungnya untuk mengejar mimpinya, tetapi ia juga menginginkan mereka untuk berada di jalur yang sama, membangun masa depan bersama. Randy tidak hanya melihat Alya sebagai pasangannya, tetapi juga sebagai individu yang memiliki impian dan ambisi. Hal ini membuat Alya merasa lebih dihargai, lebih dipahami, dan lebih bersemangat untuk menghadapi tantangan ini bersama Randy.

“Kita harus punya rencana,” lanjut Randy. “Aku nggak mau kita terjebak dalam hubungan yang tak jelas. Jadi, bagaimana kalau kita berkomitmen untuk mencari solusi bersama? Entah itu kamu yang pindah ke Jakarta, atau aku yang lebih sering datang ke Surabaya. Atau mungkin kita bisa mempertimbangkan untuk tinggal di tempat yang sama. Aku nggak tahu solusi pastinya, tapi kita harus berusaha mencari jalan keluar, Alya.”

Alya menatap Randy dalam-dalam. Hatinya penuh dengan perasaan yang campur aduk—cinta, keraguan, dan harapan. Ia tahu bahwa hubungan ini tidak bisa terus mengandalkan telepon dan pesan singkat saja. Mereka harus membuat langkah konkret menuju masa depan yang lebih nyata, sesuatu yang lebih solid dan berkelanjutan. Mereka berdua tahu bahwa setiap langkah besar memerlukan komitmen yang besar pula.

“Aku setuju,” jawab Alya akhirnya, suaranya tegas meskipun ada sedikit keraguan yang masih menyelubungi dirinya. “Kita harus berkomitmen untuk mencari jalan bersama. Aku ingin kita bisa lebih dekat, lebih sering bertemu, dan nggak hanya bergantung pada percakapan lewat telepon. Kita bisa mencari solusi yang terbaik.”

Randy tersenyum, wajahnya cerah. “Kita bisa melakukannya, Alya. Aku yakin kita bisa menghadapi apa pun yang datang jika kita berjalan bersama. Meskipun banyak rintangan yang akan kita hadapi, aku percaya kita bisa menghadapinya.”

Setelah percakapan panjang itu, mereka merasa sedikit lebih ringan, meskipun tantangan besar masih menanti mereka. Namun, satu hal yang pasti, mereka berdua siap melangkah ke masa depan bersama. Mereka tahu bahwa hubungan ini memerlukan usaha, komitmen, dan pengorbanan, tetapi cinta mereka lebih kuat dari itu. Cinta mereka layak untuk diperjuangkan, untuk dilalui bersama meskipun ada rintangan yang menghalangi.

Hari-hari setelah itu dipenuhi dengan diskusi tentang bagaimana cara mereka bisa memperbaiki hubungan jarak jauh mereka. Mereka mulai merencanakan lebih banyak kunjungan satu sama lain, mencari waktu di sela-sela jadwal sibuk mereka untuk bertemu. Mereka juga mulai berbicara lebih terbuka tentang masa depan, tentang kemungkinan untuk tinggal di kota yang sama. Randy bahkan mulai mempertimbangkan untuk mencari pekerjaan di Surabaya, sementara Alya mulai berpikir tentang peluang yang mungkin ia dapatkan di Jakarta.

Namun, perjalanan mereka menuju masa depan bersama tidaklah mudah. Setiap keputusan, setiap langkah yang mereka ambil, penuh dengan pertimbangan dan tantangan. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa ada banyak hal yang harus disesuaikan, dan mereka harus bersedia untuk berkorban demi masa depan bersama. Tetapi mereka percaya, jika mereka berjalan bersama, apapun yang terjadi, mereka akan mampu menghadapinya.***

————THE END————

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintajarakjauh#cintasejati#HubunganLDR#MasaDepanBersama#Percintaan
Previous Post

CINTA DI UJUNG JALAN DUNIA

Next Post

KENANGAN DI SEKOLAH

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
KENANGAN DI SEKOLAH

KENANGAN DI SEKOLAH

CINTA YANG TERTUNDA DIANTARA DUA KOTA

CINTA YANG TERTUNDA DIANTARA DUA KOTA

PULANG UNTUK MENEMUKANMU LAGI

PULANG UNTUK MENEMUKANMU LAGI

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id