Daftar Isi
Bab 1 Pelukan Rindu di Kereta Senja
Langit sore berwarna jingga keemasan. Di stasiun kecil itu, deretan penumpang sibuk menunggu kedatangan kereta. Angin dingin yang bertiup pelan membawa aroma rel berkarat dan debu perjalanan panjang. Di tengah kerumunan itu, seorang perempuan muda berdiri dengan koper kecil di tangannya. Namanya adalah Kirana.
Kirana memandang ke arah rel yang seolah membentang tak berujung. Suara pengumuman stasiun yang menginformasikan jadwal kedatangan kereta membuat hatinya semakin berdebar. Setelah sekian lama, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya, tempat yang selama ini hanya menjadi bagian dari ingatannya. Tempat di mana ia meninggalkan seseorang yang pernah menjadi pusat dunianya.
“Kereta Senja Utama akan tiba di peron dua,” suara pengumuman itu menggema. Kirana menghela napas panjang. Tangannya yang menggenggam pegangan koper sedikit berkeringat, mencerminkan kegelisahan yang membayangi hatinya.
Kereta perlahan memasuki stasiun dengan suara roda yang berdecit. Angin yang dihasilkan dari gerakannya menyapu wajah Kirana, membawa serta kenangan-kenangan lama yang mendesak masuk ke benaknya. Ia menaiki gerbong dengan langkah ragu. Kursi nomor 14A menjadi tempatnya untuk perjalanan malam itu.
Saat ia duduk, matanya tertuju pada kaca jendela. Lanskap kota mulai bergeser menjadi bayang-bayang pepohonan dan sawah yang terbentang. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan: harapan, kerinduan, dan ketakutan. Ketakutan akan apa yang menantinya di ujung perjalanan ini.
Tak lama kemudian, seorang pria masuk ke dalam gerbong yang sama. Pria itu tampak akrab, meskipun Kirana tidak bisa langsung mengingat siapa dia. Rambutnya sedikit berantakan, membawa kesan kasual yang tidak dibuat-buat. Tatapan matanya yang tajam namun lembut menyapu ke seluruh ruangan hingga berhenti di wajah Kirana. Saat itu juga, waktu seolah berhenti.
“Kirana?” tanyanya dengan suara serak yang terdengar akrab.
Kirana menoleh dengan cepat. Matanya membesar, napasnya tertahan. “Raka?” gumamnya hampir tanpa suara.
Raka, pria yang pernah menjadi bagian besar hidupnya, kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. Perasaan yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam seketika bangkit, seperti gelombang pasang yang menghantam karang.
“Ini benar-benar kamu,” kata Raka sambil tersenyum tipis. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung duduk di kursi kosong di sebelah Kirana. “Aku tidak menyangka bisa bertemu kamu di sini.”
Kirana hanya tersenyum kaku. Lidahnya kelu, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Bagaimana mungkin, di kereta ini, di perjalanan ini, mereka bertemu lagi? Apakah ini takdir atau sekadar kebetulan semata?
“Apa kabar?” Raka membuka percakapan, suaranya penuh kehati-hatian.
Kirana akhirnya berhasil mengumpulkan keberanian untuk menjawab. “Baik… aku baik. Kamu sendiri?”
“Sama. Masih mencoba menjalani hidup,” jawabnya sambil tertawa kecil. Tawa itu, tawa yang dulu begitu akrab di telinganya, kini terasa seperti melodi yang menghangatkan hatinya.
Percakapan mereka dimulai dengan canggung, membahas hal-hal ringan seperti pekerjaan dan rencana perjalanan. Namun, di balik itu semua, ada rindu yang tak terucapkan, ada cerita yang tak pernah selesai. Malam semakin larut, dan suasana di dalam kereta menjadi lebih tenang. Penumpang lain mulai tertidur, hanya menyisakan mereka berdua yang masih terjaga.
“Kenapa kamu pergi begitu saja waktu itu?” Raka akhirnya bertanya, suaranya rendah tapi sarat emosi.
Kirana terdiam. Pertanyaan itu seperti duri yang menusuk hatinya. “Aku tidak punya pilihan,” jawabnya pelan. “Ada terlalu banyak hal yang harus aku tinggalkan, termasuk kamu.”
Raka menatapnya dalam-dalam. “Aku menunggumu, Kirana. Bertahun-tahun. Tapi kamu tidak pernah kembali.”
Air mata mulai menggenang di sudut mata Kirana. “Aku takut, Raka. Takut jika aku kembali, segalanya sudah berubah. Takut kalau aku tidak lagi punya tempat di hidupmu.”
“Kamu selalu punya tempat di hidupku,” kata Raka tegas. “Selalu.”
Kirana tidak bisa menahan air matanya lagi. Raka mendekat dan tanpa ragu menariknya ke dalam pelukan. Pelukan yang penuh dengan rasa rindu, kehangatan, dan penyesalan. Di tengah gemuruh kereta yang melaju, waktu seolah berhenti untuk mereka berdua.
“Aku tidak akan pergi lagi,” bisik Kirana di pelukan Raka. “Aku janji.”
Raka mengusap lembut punggung Kirana. “Dan aku akan memastikan kamu tidak perlu pergi lagi,” jawabnya dengan suara yang penuh keyakinan.
Malam itu, di kereta senja yang membawa mereka pulang, dua hati yang lama terpisah akhirnya menemukan jalan untuk kembali bersama. Di luar jendela, bulan purnama menyinari perjalanan mereka, seolah menjadi saksi bagi awal yang baru.*
Bab 2 Jejak Kenangan
Pagi datang dengan perlahan. Sinar matahari menembus jendela kereta, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di wajah para penumpang yang masih terlelap. Kirana membuka matanya, menyadari kepalanya bersandar pada bahu Raka. Sesaat ia ingin menjauh, tetapi kehangatan yang ia rasakan membuatnya tetap bertahan. Ada rasa nyaman yang tak bisa dijelaskan.
“Sudah bangun?” tanya Raka pelan, suaranya serak karena baru bangun tidur.
Kirana hanya mengangguk kecil. Ia merasa malu, tetapi juga enggan mengakhiri momen itu. Kereta terus melaju, membawa mereka lebih dekat ke tujuan, ke kampung halaman yang penuh dengan jejak kenangan.
“Sudah lama ya,” gumam Raka, memecah keheningan di antara mereka. “Aku bahkan hampir lupa bagaimana rasanya pulang.”
Kirana menoleh, menatap wajah Raka yang kini dihiasi oleh sinar matahari pagi. Ada garis-garis halus di sekitar matanya, tanda-tanda waktu yang terus berjalan. Namun, senyum itu masih sama—senyum yang dulu selalu membuat hatinya tenang.
“Aku juga,” jawab Kirana lirih. “Rasanya seperti mimpi bisa kembali ke sana.”
Raka tersenyum kecil. “Apa yang kamu rindukan dari kampung kita?”
Pertanyaan itu membuat Kirana terdiam. Ia memikirkan segala hal yang pernah ia tinggalkan: aroma tanah basah setelah hujan, suara riuh pasar pagi, dan tentu saja, kenangan bersama Raka. Namun, ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan semuanya tanpa membuat hatinya terasa lebih berat.
“Semuanya,” jawabnya akhirnya. “Tapi aku juga takut, Rak. Takut kalau semuanya tidak lagi sama.”
Raka mengangguk pelan, seolah mengerti apa yang dirasakan Kirana. “Waktu memang mengubah banyak hal, Kirana. Tapi aku percaya, ada hal-hal yang tetap bertahan, tidak peduli berapa lama waktu berlalu.”
Kirana ingin percaya pada kata-kata Raka, tetapi bayangan masa lalu yang menghantuinya terlalu kuat. Kereta mulai melambat, menandakan bahwa mereka akan segera tiba di stasiun berikutnya. Raka menghela napas panjang, lalu berkata, “Nanti kalau kita sampai, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.”
Kirana mengerutkan kening. “Apa?”
Raka hanya tersenyum misterius. “Kamu akan lihat sendiri.”
Langkah pertama Kirana di peron stasiun kampung halaman mereka terasa berat. Bau khas stasiun dengan campuran asap kereta dan aroma makanan ringan dari pedagang kaki lima langsung membangkitkan nostalgia. Di sudut, ada seorang penjual teh hangat yang dulu sering ia datangi bersama Raka. Bahkan setelah bertahun-tahun, semuanya terasa begitu akrab.
Raka menarik kopernya, berjalan di sebelah Kirana. “Bagaimana rasanya kembali ke sini?”
Kirana tersenyum tipis. “Aneh. Seperti aku kembali menjadi diriku yang dulu.”
“Dirimu yang dulu itu seperti apa?” tanya Raka sambil menoleh, mencoba membaca ekspresi Kirana.
Kirana berpikir sejenak. “Lebih berani. Lebih percaya diri. Waktu itu aku merasa tidak ada yang mustahil. Tapi sekarang… semuanya terasa berbeda.”
“Mungkin kamu hanya butuh waktu untuk mengingat,” ujar Raka dengan nada yang lembut. “Ayo, aku ingin menunjukkan sesuatu.”
Mereka meninggalkan stasiun dan berjalan menyusuri jalanan kampung yang mulai sibuk dengan aktivitas pagi. Rumah-rumah tua dengan dinding berlumut dan pagar bambu masih berdiri kokoh di sepanjang jalan. Anak-anak kecil berlarian dengan tawa ceria, mengingatkan Kirana pada masa kecilnya yang penuh kebahagiaan.
Raka membawa Kirana ke sebuah lapangan kecil di tepi desa. Di tengah lapangan itu, ada sebuah pohon besar dengan dahan yang rindang. Kirana tertegun. Pohon itu masih ada, berdiri kokoh seperti dulu.
“Kamu ingat tempat ini?” tanya Raka sambil menatap pohon itu.
Kirana mengangguk pelan. Bagaimana mungkin ia lupa? Di bawah pohon itu, mereka pernah berbagi banyak cerita, tawa, bahkan tangis. Pohon itu adalah saksi bisu dari segala kebahagiaan dan kesedihan mereka.
“Aku pikir pohon ini sudah tidak ada,” kata Kirana sambil mendekati pohon tersebut. Ia meraba batangnya yang kasar, merasakan nostalgia yang membanjiri hatinya.
Raka tersenyum. “Aku juga sempat berpikir begitu. Tapi ternyata, beberapa hal memang tetap bertahan, seperti yang aku bilang tadi.”
Kirana menoleh, menatap Raka dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Kenapa kamu membawaku ke sini?”
Raka mendekat, berdiri di samping Kirana. “Karena aku ingin kamu tahu, meskipun waktu mengubah banyak hal, ada sesuatu yang selalu menunggu kamu kembali.”
Kirana tidak tahu harus berkata apa. Hatinya terasa hangat, tetapi juga sakit. Ia merasa bersalah telah pergi begitu lama, meninggalkan segalanya, termasuk Raka. Namun, di saat yang sama, ia merasa bersyukur karena Raka masih ada di sana, menunggunya dengan kesabaran yang luar biasa.
“Raka,” kata Kirana pelan, suaranya bergetar. “Aku tidak tahu apa aku pantas untuk kembali.”
Raka menatapnya dalam-dalam. “Kirana, pulang bukan soal pantas atau tidak. Pulang adalah soal menemukan kembali tempatmu. Dan tempatmu selalu ada di sini.”
Air mata mulai mengalir di pipi Kirana. Ia tidak bisa menahan lagi semua emosi yang selama ini ia pendam. Raka, yang selama ini menjadi sumber kekuatannya, kini menjadi tempat ia bersandar lagi.
“Terima kasih,” bisik Kirana. “Terima kasih karena tidak pernah menyerah.”
Raka tersenyum, lalu mengusap lembut air mata di wajah Kirana. “Kita punya banyak waktu untuk mengejar semua yang tertinggal. Yang penting, kamu sudah kembali.”
Di bawah pohon itu, mereka berbagi keheningan yang penuh makna. Angin sepoi-sepoi meniupkan daun-daun kering, seolah menyampaikan pesan bahwa musim yang baru telah tiba. Kirana merasa seperti menemukan kembali dirinya yang hilang, dan semua itu berkat Raka.
Matahari semakin tinggi di langit, menerangi kampung halaman mereka yang kini terasa seperti rumah. Bagi Kirana, perjalanan ini bukan hanya tentang pulang, tetapi juga tentang menemukan kembali arti cinta dan keluarga. Dan ia tahu, langkah pertamanya ke arah itu adalah dengan menerima masa lalu dan merangkul masa depan yang penuh harapan.*
Bab 3 Bayang Masa Lalu
Malam mulai merambat pelan di kampung halaman Kirana. Lampu-lampu jalan yang redup dan suara jangkrik menjadi latar suasana yang mengingatkan pada hari-hari lamanya. Ia berdiri di depan rumah kayu tua milik keluarganya, rumah yang kini tampak lebih kecil dari yang ia ingat. Catnya yang dulu berwarna krem kini mengelupas, memperlihatkan lapisan kayu di bawahnya.
Pintu rumah itu berderit pelan saat ia membukanya. Aroma khas kayu tua langsung menyambut, membawa Kirana kembali ke masa kecilnya. Ia melangkah masuk, pandangannya menyapu ruangan yang penuh kenangan. Meja makan di sudut ruangan, rak buku kecil di dekat jendela, semuanya masih ada, meskipun tertutup debu dan waktu.
“Rumah ini tidak banyak berubah,” gumamnya sambil meletakkan kopernya di lantai.
Raka yang mengikutinya dari belakang tersenyum. “Sepertinya rumah ini menunggu kamu pulang, sama seperti aku.”
Kirana hanya tersenyum tipis, mencoba mengabaikan debaran aneh di dadanya. Ia tahu kedatangannya kali ini bukan hanya untuk bernostalgia, tetapi juga untuk menghadapi bayang-bayang masa lalu yang selama ini ia hindari.
Setelah mereka membersihkan sedikit bagian rumah, malam itu Kirana duduk di ruang tamu, memegang bingkai foto lama. Foto itu menunjukkan dirinya saat masih kecil, duduk di pangkuan ayahnya, dengan ibunya berdiri di belakang mereka. Senyum mereka terlihat begitu bahagia, seperti tidak ada hal yang bisa merusaknya.
“Kirana,” suara Raka memecah lamunannya. Ia berdiri di ambang pintu dengan dua cangkir teh di tangannya. “Aku pikir kamu butuh ini.”
Kirana menerima salah satu cangkir itu dan tersenyum kecil. “Terima kasih.”
Mereka duduk berdampingan di sofa tua yang agak berderit. Untuk beberapa saat, tidak ada yang berbicara. Hanya suara cangkir yang diletakkan di atas meja kecil dan nyanyian jangkrik di luar.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Raka akhirnya, memecah keheningan.
Kirana menatap foto di tangannya lagi. “Aku hanya memikirkan mereka. Ayah dan Ibu. Mereka pasti kecewa karena aku pergi begitu saja.”
Raka menatap Kirana dengan lembut. “Aku rasa mereka akan lebih bahagia melihat kamu kembali sekarang. Semua orang membuat keputusan yang sulit, Kirana. Tapi yang terpenting adalah kamu punya keberanian untuk pulang.”
Kirana menghela napas panjang. “Kadang aku merasa semuanya terlalu terlambat. Aku pergi terlalu lama, meninggalkan terlalu banyak luka.”
Raka menggeleng pelan. “Tidak ada yang terlambat selama kita masih punya waktu untuk memperbaiki semuanya.”
Kirana terdiam, merenungkan kata-kata Raka. Ia tahu, di balik kesederhanaan kata-kata itu, ada kebenaran yang sulit ia sangkal. Namun, menghadapi masa lalu tetap saja bukan hal yang mudah baginya.
Keesokan harinya, Kirana memutuskan untuk mengunjungi makam orang tuanya. Dengan membawa setangkai bunga lili putih, ia berjalan menuju pemakaman kecil di tepi desa. Tempat itu dikelilingi pohon-pohon rindang, memberikan suasana yang tenang dan damai.
Raka menemaninya, meskipun ia tetap menjaga jarak, memberi ruang bagi Kirana untuk menghadapi momen ini sendirian. Kirana berlutut di depan nisan yang bertuliskan nama kedua orang tuanya. Air mata perlahan mengalir di pipinya saat ia menyentuh permukaan nisan itu.
“Maafkan aku,” bisiknya dengan suara bergetar. “Aku terlalu pengecut untuk kembali lebih awal. Aku terlalu takut untuk menghadapi rasa sakit ini.”
Angin bertiup pelan, seolah memberikan jawaban yang lembut dari alam. Kirana menundukkan kepala, membiarkan perasaannya mengalir bersama air matanya. Ia tidak tahu berapa lama ia berada di sana, tetapi ketika ia berdiri, hatinya terasa lebih ringan.
Raka mendekat, memberinya saputangan. “Kamu sudah melakukan hal yang benar,” katanya dengan senyum yang menenangkan.
Kirana mengambil saputangan itu dan mengusap wajahnya. “Terima kasih sudah ada di sini, Raka. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melalui ini tanpa kamu.”
Raka hanya mengangguk. “Aku akan selalu ada di sini, Kirana. Apa pun yang terjadi.”
Hari-hari berikutnya di kampung halaman terasa seperti perjalanan menyusuri lorong waktu. Kirana mengunjungi tempat-tempat yang dulu ia cintai—pasar pagi, sungai kecil di belakang sekolah, bahkan jalan setapak yang sering ia lewati saat pulang sekolah. Semua tempat itu membawa kenangan yang manis sekaligus pahit.
Namun, di antara semua tempat itu, ada satu tempat yang selalu membuat hatinya bergetar: rumah kecil di ujung desa. Rumah itu pernah menjadi saksi dari kisah cintanya dengan Raka, tempat mereka berbagi tawa, harapan, dan impian. Kini rumah itu tampak kosong dan terlantar, tetapi aura hangatnya masih terasa.
“Kamu masih ingat rumah ini?” tanya Raka saat mereka berdiri di depan pintu yang sudah mulai lapuk.
Kirana mengangguk pelan. “Bagaimana mungkin aku lupa? Tempat ini seperti mimpi bagi kita dulu.”
Raka tersenyum kecil. “Dulu aku berpikir, jika kita tetap di sini, mungkin segalanya akan berbeda.”
“Tapi kita tidak bisa melawan waktu,” balas Kirana. “Dan aku rasa, waktu mengajarkan kita banyak hal.”
Mereka masuk ke dalam rumah itu. Meskipun penuh debu dan sarang laba-laba, mereka bisa merasakan kehangatan yang tersimpan di dalamnya. Kirana berjalan ke sudut ruangan, tempat sebuah meja kecil masih berdiri. Ia menyentuhnya, mengingat malam-malam panjang di mana mereka berbicara tentang masa depan.
“Kirana,” suara Raka memanggilnya lembut. Ia menoleh, melihat Raka berdiri dengan sesuatu di tangannya—sebuah kotak kecil yang terlihat usang.
“Apa itu?” tanya Kirana, penasaran.
Raka membuka kotak itu, memperlihatkan isinya. Di dalamnya, ada beberapa surat yang terlihat sudah tua, sebuah foto mereka berdua, dan sebuah kalung dengan liontin kecil berbentuk hati.
“Aku menyimpan ini,” kata Raka pelan. “Semua ini adalah pengingat bahwa meskipun kamu pergi, aku tetap percaya suatu hari kamu akan kembali.”
Kirana menatap isi kotak itu dengan mata berkaca-kaca. Ia mengambil kalung itu, merasakan dinginnya logam di tangannya. “Kenapa kamu masih menyimpannya, Raka?”
Raka tersenyum, tatapannya penuh kehangatan. “Karena aku tahu, cerita kita belum selesai. Dan aku tidak akan pernah menyerah pada sesuatu yang begitu berarti bagiku.”
Air mata kembali mengalir di pipi Kirana. Ia merasa seperti menemukan kembali bagian dari dirinya yang hilang. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa yakin bahwa ia bisa menghadapi apa pun, selama Raka ada di sisinya.
“Terima kasih, Raka,” bisiknya sambil memegang tangan pria itu. “Untuk segalanya.”
Malam itu, di rumah kecil yang penuh kenangan, dua hati yang sempat terpisah kembali menyatu. Mereka tahu, perjalanan mereka masih panjang, tetapi dengan cinta dan kepercayaan, mereka yakin bisa menghadapi semuanya bersama.*
Bab 3 Bayang Masa Lalu
Malam mulai merambat pelan di kampung halaman Kirana. Lampu-lampu jalan yang redup dan suara jangkrik menjadi latar suasana yang mengingatkan pada hari-hari lamanya. Ia berdiri di depan rumah kayu tua milik keluarganya, rumah yang kini tampak lebih kecil dari yang ia ingat. Catnya yang dulu berwarna krem kini mengelupas, memperlihatkan lapisan kayu di bawahnya.
Pintu rumah itu berderit pelan saat ia membukanya. Aroma khas kayu tua langsung menyambut, membawa Kirana kembali ke masa kecilnya. Ia melangkah masuk, pandangannya menyapu ruangan yang penuh kenangan. Meja makan di sudut ruangan, rak buku kecil di dekat jendela, semuanya masih ada, meskipun tertutup debu dan waktu.
“Rumah ini tidak banyak berubah,” gumamnya sambil meletakkan kopernya di lantai.
Raka yang mengikutinya dari belakang tersenyum. “Sepertinya rumah ini menunggu kamu pulang, sama seperti aku.”
Kirana hanya tersenyum tipis, mencoba mengabaikan debaran aneh di dadanya. Ia tahu kedatangannya kali ini bukan hanya untuk bernostalgia, tetapi juga untuk menghadapi bayang-bayang masa lalu yang selama ini ia hindari.
—
Setelah mereka membersihkan sedikit bagian rumah, malam itu Kirana duduk di ruang tamu, memegang bingkai foto lama. Foto itu menunjukkan dirinya saat masih kecil, duduk di pangkuan ayahnya, dengan ibunya berdiri di belakang mereka. Senyum mereka terlihat begitu bahagia, seperti tidak ada hal yang bisa merusaknya.
“Kirana,” suara Raka memecah lamunannya. Ia berdiri di ambang pintu dengan dua cangkir teh di tangannya. “Aku pikir kamu butuh ini.”
Kirana menerima salah satu cangkir itu dan tersenyum kecil. “Terima kasih.”
Mereka duduk berdampingan di sofa tua yang agak berderit. Untuk beberapa saat, tidak ada yang berbicara. Hanya suara cangkir yang diletakkan di atas meja kecil dan nyanyian jangkrik di luar.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Raka akhirnya, memecah keheningan.
Kirana menatap foto di tangannya lagi. “Aku hanya memikirkan mereka. Ayah dan Ibu. Mereka pasti kecewa karena aku pergi begitu saja.”
Raka menatap Kirana dengan lembut. “Aku rasa mereka akan lebih bahagia melihat kamu kembali sekarang. Semua orang membuat keputusan yang sulit, Kirana. Tapi yang terpenting adalah kamu punya keberanian untuk pulang.”
Kirana menghela napas panjang. “Kadang aku merasa semuanya terlalu terlambat. Aku pergi terlalu lama, meninggalkan terlalu banyak luka.”
Raka menggeleng pelan. “Tidak ada yang terlambat selama kita masih punya waktu untuk memperbaiki semuanya.”
Kirana terdiam, merenungkan kata-kata Raka. Ia tahu, di balik kesederhanaan kata-kata itu, ada kebenaran yang sulit ia sangkal. Namun, menghadapi masa lalu tetap saja bukan hal yang mudah baginya.
Keesokan harinya, Kirana memutuskan untuk mengunjungi makam orang tuanya. Dengan membawa setangkai bunga lili putih, ia berjalan menuju pemakaman kecil di tepi desa. Tempat itu dikelilingi pohon-pohon rindang, memberikan suasana yang tenang dan damai.
Raka menemaninya, meskipun ia tetap menjaga jarak, memberi ruang bagi Kirana untuk menghadapi momen ini sendirian. Kirana berlutut di depan nisan yang bertuliskan nama kedua orang tuanya. Air mata perlahan mengalir di pipinya saat ia menyentuh permukaan nisan itu.
“Maafkan aku,” bisiknya dengan suara bergetar. “Aku terlalu pengecut untuk kembali lebih awal. Aku terlalu takut untuk menghadapi rasa sakit ini.”
Angin bertiup pelan, seolah memberikan jawaban yang lembut dari alam. Kirana menundukkan kepala, membiarkan perasaannya mengalir bersama air matanya. Ia tidak tahu berapa lama ia berada di sana, tetapi ketika ia berdiri, hatinya terasa lebih ringan.
Raka mendekat, memberinya saputangan. “Kamu sudah melakukan hal yang benar,” katanya dengan senyum yang menenangkan.
Kirana mengambil saputangan itu dan mengusap wajahnya. “Terima kasih sudah ada di sini, Raka. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melalui ini tanpa kamu.”
Raka hanya mengangguk. “Aku akan selalu ada di sini, Kirana. Apa pun yang terjadi.”Hari-hari berikutnya di kampung halaman terasa seperti perjalanan menyusuri lorong waktu. Kirana mengunjungi tempat-tempat yang dulu ia cintai—pasar pagi, sungai kecil di belakang sekolah, bahkan jalan setapak yang sering ia lewati saat pulang sekolah. Semua tempat itu membawa kenangan yang manis sekaligus pahit.
Namun, di antara semua tempat itu, ada satu tempat yang selalu membuat hatinya bergetar: rumah kecil di ujung desa. Rumah itu pernah menjadi saksi dari kisah cintanya dengan Raka, tempat mereka berbagi tawa, harapan, dan impian. Kini rumah itu tampak kosong dan terlantar, tetapi aura hangatnya masih terasa.
“Kamu masih ingat rumah ini?” tanya Raka saat mereka berdiri di depan pintu yang sudah mulai lapuk.
Kirana mengangguk pelan. “Bagaimana mungkin aku lupa? Tempat ini seperti mimpi bagi kita dulu.”
Raka tersenyum kecil. “Dulu aku berpikir, jika kita tetap di sini, mungkin segalanya akan berbeda.”
“Tapi kita tidak bisa melawan waktu,” balas Kirana. “Dan aku rasa, waktu mengajarkan kita banyak hal.”
Mereka masuk ke dalam rumah itu. Meskipun penuh debu dan sarang laba-laba, mereka bisa merasakan kehangatan yang tersimpan di dalamnya. Kirana berjalan ke sudut ruangan, tempat sebuah meja kecil masih berdiri. Ia menyentuhnya, mengingat malam-malam panjang di mana mereka berbicara tentang masa depan.
“Kirana,” suara Raka memanggilnya lembut. Ia menoleh, melihat Raka berdiri dengan sesuatu di tangannya—sebuah kotak kecil yang terlihat usang.
“Apa itu?” tanya Kirana, penasaran.
Raka membuka kotak itu, memperlihatkan isinya. Di dalamnya, ada beberapa surat yang terlihat sudah tua, sebuah foto mereka berdua, dan sebuah kalung dengan liontin kecil berbentuk hati.
“Aku menyimpan ini,” kata Raka pelan. “Semua ini adalah pengingat bahwa meskipun kamu pergi, aku tetap percaya suatu hari kamu akan kembali.”
Kirana menatap isi kotak itu dengan mata berkaca-kaca. Ia mengambil kalung itu, merasakan dinginnya logam di tangannya. “Kenapa kamu masih menyimpannya, Raka?”
Raka tersenyum, tatapannya penuh kehangatan. “Karena aku tahu, cerita kita belum selesai. Dan aku tidak akan pernah menyerah pada sesuatu yang begitu berarti bagiku.”
Air mata kembali mengalir di pipi Kirana. Ia merasa seperti menemukan kembali bagian dari dirinya yang hilang. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa yakin bahwa ia bisa menghadapi apa pun, selama Raka ada di sisinya.
“Terima kasih, Raka,” bisiknya sambil memegang tangan pria itu. “Untuk segalanya.”
Malam itu, di rumah kecil yang penuh kenangan, dua hati yang sempat terpisah kembali menyatu. Mereka tahu, perjalanan mereka masih panjang, tetapi dengan cinta dan kepercayaan, mereka yakin bisa menghadapi semuanya bersama.*
Bab 4 Pelangi Harapan
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui celah jendela rumah tua, menciptakan bayangan lembut di lantai kayu yang berderit setiap kali Kirana melangkah. Ia berdiri di depan cermin tua di kamarnya, memandangi bayangan dirinya yang seolah berbeda. Wajah itu tampak lelah tetapi penuh dengan harapan yang mulai tumbuh.
Raka sedang duduk di ruang tamu, membaca sebuah buku usang yang ia temukan di salah satu rak. Ketika Kirana turun dari tangga, ia mendongak dan tersenyum. “Pagi ini kamu terlihat lebih cerah,” katanya.
Kirana tersenyum kecil. “Mungkin karena aku mulai merasa lebih baik. Pulang ke sini memang membawa banyak kenangan, tapi juga memberi ruang untuk berdamai dengan masa lalu.”
Raka menutup bukunya dan berdiri. “Bagus. Karena hari ini aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Tempat yang mungkin bisa memberimu inspirasi baru.”
Kirana mengangkat alis, penasaran. “Tempat apa?”
Raka hanya tersenyum misterius. “Kamu akan lihat nanti.”
Setelah sarapan sederhana, mereka berdua berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah ke sebuah bukit di pinggiran desa. Udara pagi terasa segar, ditemani suara burung-burung yang bernyanyi di antara pepohonan. Sepanjang perjalanan, Raka bercerita tentang perubahan kecil yang terjadi di kampung selama Kirana pergi.
“Dulu di sini ada ladang tebu,” kata Raka sambil menunjuk ke sebuah lahan kosong. “Tapi sekarang, banyak penduduk yang beralih menanam kopi. Ternyata hasilnya cukup bagus.”
Kirana mengangguk, menikmati setiap cerita yang keluar dari mulut Raka. Baginya, mendengar suara Raka seperti mendengar melodi lama yang pernah ia lupakan, tetapi kini kembali akrab.
Ketika mereka sampai di puncak bukit, pemandangan yang terbentang di depan mereka membuat Kirana tertegun. Hamparan hijau pepohonan, ladang kopi, dan sungai kecil yang berkelok-kelok di kejauhan menciptakan panorama yang memukau. Langit biru cerah dengan awan-awan putih yang menggantung seperti kapas melengkapi keindahan itu.
“Ini tempat yang luar biasa,” kata Kirana, suaranya penuh kekaguman.
Raka tersenyum puas. “Aku tahu kamu akan menyukainya. Dulu aku sering datang ke sini saat butuh waktu untuk berpikir. Tempat ini selalu memberiku ketenangan.”
Mereka duduk di sebuah batu besar, memandang ke arah cakrawala. Angin sepoi-sepoi meniup rambut Kirana, membuatnya merasa bebas untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama.
“Raka,” kata Kirana pelan, “apa yang kamu pikirkan tentang masa depan?”
Raka menoleh, menatap Kirana dengan tatapan serius. “Aku ingin masa depan yang sederhana, tapi penuh makna. Aku ingin membangun sesuatu di kampung ini, sesuatu yang bisa membawa perubahan baik untuk semua orang.”
Kirana tersenyum, merasa terinspirasi oleh semangat Raka. “Kamu selalu punya impian yang besar.”
“Dan kamu juga,” balas Raka. “Aku ingat bagaimana kamu selalu berbicara tentang keinginanmu menjadi penulis besar. Apa kamu masih punya mimpi itu?”
Kirana terdiam sejenak. Ia menunduk, memandangi tangannya yang terlipat di pangkuannya. “Aku tidak tahu, Raka. Setelah semua yang terjadi, aku merasa seperti kehilangan arah.”
Raka meraih tangan Kirana, menggenggamnya dengan lembut. “Mimpi itu tidak pernah benar-benar hilang, Kirana. Kamu hanya perlu menemukannya lagi.”
Air mata mengalir di pipi Kirana. Kata-kata Raka menggugah sesuatu di dalam dirinya, sesuatu yang sudah lama ia abaikan. Di tengah keheningan bukit itu, ia merasa seperti mendapatkan kembali sepotong dirinya yang hilang.
Saat mereka kembali ke rumah, Kirana merasa lebih ringan. Ia membuka jendela kamar, membiarkan angin masuk dan membawa serta aroma segar dari luar. Ia mengambil sebuah buku catatan lama yang sudah mulai menguning di sudut meja, lalu membuka halaman pertama.
Di halaman itu, ia menemukan tulisan tangan masa mudanya: *”Mimpi adalah pelangi. Tidak peduli seberapa jauh, aku akan terus mengejarnya.”*
Kirana tersenyum pahit. Ia pernah menulis kalimat itu dengan penuh keyakinan, tetapi kini ia merasa seperti orang yang berbeda. Namun, suara Raka terngiang di telinganya: *Mimpi itu tidak pernah benar-benar hilang.*
Ia mengambil pena dan mulai menulis. Kata-kata mengalir perlahan, seperti sungai kecil yang kembali menemukan jalannya. Ia menulis tentang kampung halaman, tentang pohon besar di tengah lapangan, tentang cinta yang tidak pernah benar-benar pudar. Setiap kalimat yang ia tulis terasa seperti terapi, membantunya menyembuhkan luka-luka lama.
Ketika malam tiba, Raka mengetuk pintu kamarnya. “Boleh aku masuk?”
Kirana mengangguk, membiarkan Raka masuk. Ia menunjukkan buku catatan itu kepadanya. “Aku mulai menulis lagi,” katanya dengan suara pelan.
Raka tersenyum lebar. “Itu kabar yang luar biasa, Kirana. Aku tahu kamu bisa melakukannya.”
Kirana merasa pipinya memerah. “Terima kasih, Raka. Untuk semuanya.”
“Kamu tidak perlu berterima kasih,” balas Raka. “Aku hanya melakukan apa yang seharusnya.”
Hari-hari berikutnya diisi dengan rutinitas sederhana tetapi bermakna. Kirana terus menulis, sementara Raka membantu penduduk desa mengurus ladang kopi. Mereka sering menghabiskan waktu bersama di bukit, berbicara tentang mimpi dan harapan mereka. Hubungan mereka semakin erat, seperti benang yang kembali terjalin setelah lama terputus.
Suatu malam, ketika mereka duduk di teras rumah, Raka berkata, “Aku punya ide.”
Kirana menoleh, penasaran. “Apa itu?”
“Bagaimana kalau kita membuat sesuatu di kampung ini? Sebuah perpustakaan kecil, mungkin. Tempat di mana anak-anak bisa membaca dan bermimpi seperti kita dulu.”
Mata Kirana berbinar. “Itu ide yang luar biasa, Raka. Aku ingin membantu.”
Raka tersenyum. “Aku tahu kamu akan setuju. Bersama-sama, aku yakin kita bisa melakukannya.”
Di bawah langit malam yang penuh bintang, mereka merancang mimpi baru. Pelangi harapan mulai muncul di cakrawala, membawa janji tentang masa depan yang lebih cerah. Bagi Kirana, ini bukan hanya tentang membangun perpustakaan, tetapi juga tentang membangun kembali hidupnya. Dan kali ini, ia tahu bahwa ia tidak sendirian.*
Bab 5 Langkah Menuju Impian
Hari-hari di kampung kini terasa lebih hidup bagi Kirana. Suasana sederhana yang dulu terasa membosankan kini menjadi sumber inspirasi yang tak ada habisnya. Semangat baru terus menyala dalam dirinya, terutama setelah ia dan Raka memutuskan untuk membangun perpustakaan kecil di desa. Setiap pagi, Kirana duduk di ruang tamu, menulis cerita-cerita baru sambil ditemani secangkir teh hangat.
“Apa yang kamu tulis hari ini?” tanya Raka suatu pagi, saat ia muncul di pintu dengan senyum hangatnya.
Kirana menoleh dari bukunya. “Sebuah cerita tentang keberanian. Tentang seseorang yang menemukan kembali dirinya setelah menghadapi masa lalu.”
Raka tersenyum kecil. “Terdengar seperti seseorang yang kukenal.”
Kirana tertawa kecil, meskipun pipinya memerah. “Mungkin saja. Tapi cerita ini belum selesai. Sama seperti perjalanan kita.”
Rencana pembangunan perpustakaan mulai dijalankan. Raka mengumpulkan beberapa penduduk desa yang tertarik membantu. Sebagian dari mereka adalah orang tua yang ingin anak-anak mereka memiliki akses lebih baik ke buku, sebagian lagi adalah pemuda yang bersemangat untuk membawa perubahan positif.
“Kita bisa memanfaatkan gudang kosong di belakang balai desa,” usul Pak Yanto, salah satu tetua desa. “Tempatnya cukup luas dan tidak terpakai selama bertahun-tahun.”
Semua orang setuju dengan ide itu. Kirana dan Raka segera mengunjungi gudang tersebut untuk memeriksa kondisinya. Tempat itu penuh debu dan sarang laba-laba, dengan dinding kayu yang mulai lapuk di beberapa bagian. Namun, Kirana bisa melihat potensinya.
“Tempat ini sempurna,” katanya dengan antusias. “Dengan sedikit perbaikan, kita bisa mengubahnya menjadi ruang yang hangat dan nyaman.”
Raka mengangguk setuju. “Kita akan bekerja keras untuk mewujudkannya.”
Hari-hari berikutnya diisi dengan kerja keras. Penduduk desa bersama-sama membersihkan gudang, memperbaiki dinding yang rusak, dan mengecat ulang. Kirana merasa terharu melihat semangat gotong royong mereka. Bahkan anak-anak kecil ikut membantu dengan caranya sendiri, seperti mengumpulkan sampah atau membawa air.
Sementara itu, Raka menghubungi beberapa temannya di kota untuk meminta sumbangan buku. Kirana juga memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi tentang proyek mereka. Respons yang mereka terima sangat positif. Dalam waktu singkat, buku-buku mulai berdatangan, dari novel klasik hingga buku pelajaran.
“Lihat ini,” kata Raka suatu sore, sambil membuka sebuah kotak besar yang baru saja tiba. Di dalamnya terdapat berbagai buku anak-anak dengan ilustrasi berwarna-warni. “Anak-anak pasti akan menyukai ini.”
Kirana mengambil salah satu buku dan membukanya. Ia tersenyum melihat gambar-gambar ceria di dalamnya. “Aku bisa membayangkan mereka duduk di sini, membaca buku-buku ini dengan penuh antusias.”
Ketika perpustakaan mulai terbentuk, Kirana merasa semakin terhubung dengan kampung halamannya. Ia juga mulai mengenal lebih banyak penduduk, mendengar cerita-cerita mereka, dan merasakan kehangatan komunitas yang selama ini ia rindukan tanpa disadari.
Suatu malam, setelah semua orang pulang, Kirana dan Raka duduk di tangga depan perpustakaan. Lampu-lampu kecil yang dipasang di sekitar bangunan memancarkan cahaya hangat, menciptakan suasana yang damai.
“Aku tidak pernah membayangkan akan melakukan sesuatu seperti ini,” kata Kirana sambil memandang bintang-bintang di langit.
Raka menoleh padanya. “Tapi kamu melakukannya. Dan bukan hanya itu, kamu juga menginspirasi banyak orang.”
Kirana menggeleng pelan. “Kalau bukan karena kamu, aku mungkin tidak akan punya keberanian untuk kembali ke sini.”
Raka tersenyum. “Kamu selalu punya keberanian itu, Kirana. Kamu hanya perlu mengingatnya.”
Hari peresmian perpustakaan akhirnya tiba. Penduduk desa berkumpul di depan bangunan yang kini terlihat indah dan penuh warna. Pita merah melintang di pintu masuk, siap untuk dipotong sebagai simbol pembukaan resmi.
Kirana merasa gugup, tetapi juga bangga. Ia berdiri di samping Raka, memegang gunting yang akan digunakan untuk memotong pita. “Aku tidak percaya kita berhasil,” bisiknya.
“Kita berhasil,” jawab Raka dengan penuh keyakinan. “Ini adalah awal dari sesuatu yang besar.”
Setelah pidato singkat dari Pak Yanto, Kirana dan Raka bersama-sama memotong pita. Sorak-sorai dan tepuk tangan meriah langsung terdengar, mengisi udara dengan semangat dan kebahagiaan. Anak-anak segera berlari masuk, mata mereka berbinar-binar melihat rak-rak yang penuh dengan buku.
“Kak Kirana, lihat ini!” teriak seorang anak sambil memegang sebuah buku bergambar. “Aku mau baca ini dulu!”
Kirana tertawa, merasa hatinya dipenuhi rasa syukur. Ia berjalan mengelilingi ruangan, melihat senyuman di wajah semua orang. Perpustakaan kecil ini bukan hanya tentang buku, tetapi tentang harapan, tentang mimpi yang bisa diwujudkan bersama.
Malam itu, Kirana duduk sendirian di perpustakaan setelah semua orang pulang. Ia membuka buku catatan lamanya dan mulai menulis.
*”Hari ini, aku belajar bahwa mimpi tidak pernah benar-benar mati. Mereka hanya menunggu waktu yang tepat untuk bangkit kembali. Dan ketika kita berani melangkah, kita bisa menciptakan sesuatu yang lebih indah dari yang pernah kita bayangkan.”*
Ketika ia menutup buku itu, Raka muncul di pintu, membawa dua cangkir teh. “Kamu menulis lagi?” tanyanya sambil menyerahkan salah satu cangkir kepada Kirana.
Kirana mengangguk. “Aku merasa seperti menemukan kembali diriku. Dan aku tidak ingin berhenti sekarang.”
Raka tersenyum. “Bagus. Karena aku yakin, cerita-cerita yang kamu tulis akan menginspirasi lebih banyak orang.”
Mereka duduk bersama, memandangi rak-rak buku yang tersusun rapi. Dalam keheningan malam, mereka tahu bahwa ini bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan baru. Sebuah perjalanan menuju impian yang lebih besar, dengan pelangi harapan yang selalu menyertai langkah mereka.***
—————THE END—————