Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

RINDU PADA DETIK PERTAMA BERTEMU

RINDU PADA DETIK PERTAMA BERTEMU

SAME KADE by SAME KADE
February 24, 2025
in Cinta Pertama
Reading Time: 18 mins read
RINDU PADA DETIK PERTAMA BERTEMU

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan yang Menggetarkan Hati
  • Bab 2: Rasa yang Mulai Tumbuh
  • Bab 3: Mengukir Kenangan Bersama
  • Bab 4: Ujian Cinta Pertama
  • Bab 5: Jarak dan Waktu yang Memisahkan
  • Bab 6: Menemukan Kembali yang Hilang
  • Bab 7: Rindu yang Menemukan Jawabannya (Tamat)

Bab 1: Pertemuan yang Menggetarkan Hati

Matahari sore mulai meredup di ufuk barat, meninggalkan semburat jingga yang menghiasi langit kota. Udara hangat bercampur dengan semilir angin yang sesekali berhembus pelan, membawa aroma khas dedaunan yang mulai berguguran. Di salah satu sudut kota, sebuah kafe kecil berdiri dengan nuansa klasik yang menenangkan. Suara musik akustik mengalun pelan dari dalam, berpadu dengan aroma kopi yang menguar memenuhi udara.

Di salah satu sudut kafe itu, seorang gadis duduk sendirian di dekat jendela. Ia mengenakan kemeja putih dengan rok panjang berwarna pastel, tampak begitu anggun dalam kesederhanaannya. Namanya Keira. Sejak tadi, ia sibuk menulis di buku catatannya, terkadang menghela napas panjang, lalu kembali mencoret sesuatu dengan pena hitam kesayangannya.

Keira bukan tipe gadis yang sering menghabiskan waktu di kafe sendirian, tetapi hari ini berbeda. Ia baru saja menyelesaikan ujian akhir di kampusnya dan ingin menenangkan diri sejenak sebelum pulang. Selain itu, ada sesuatu yang selalu membuatnya nyaman berada di tempat ini—suasana tenang yang membantunya berpikir.

Sambil menyeruput cappuccino yang mulai mendingin, Keira melayangkan pandangannya ke luar jendela. Deretan pepohonan yang berbaris rapi di sepanjang trotoar tampak bergoyang lembut tertiup angin. Orang-orang lalu-lalang dengan kesibukan masing-masing. Beberapa pasangan terlihat berjalan bergandengan tangan, membuat Keira sedikit tersenyum tanpa sadar.

Namun, senyum itu seketika menghilang ketika pandangannya menangkap sosok seseorang di luar jendela. Seorang pria berdiri di seberang jalan, tampak kebingungan sambil melihat sekeliling. Mata mereka tanpa sengaja bertemu.

Detik itu, waktu seakan berhenti.

Ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuat jantung Keira berdegup lebih cepat. Mata cokelatnya tajam, namun ada kehangatan di dalamnya. Wajahnya yang tegas, dengan rahang yang kokoh dan alis yang sedikit berkerut, menunjukkan ekspresi penuh tanda tanya. Seolah ia tengah mencari sesuatu—atau mungkin seseorang.

Keira berusaha mengalihkan pandangannya, tetapi entah mengapa matanya tetap terpaku pada pria itu. Sekilas, pria itu terlihat familiar. Namun, sebelum Keira sempat berpikir lebih jauh, pria itu mulai melangkah, menyeberangi jalan dengan gerakan mantap.

Tak butuh waktu lama sebelum ia masuk ke dalam kafe, membuat lonceng di atas pintu berdering pelan. Keira yang masih berusaha mengendalikan detak jantungnya, tiba-tiba dikejutkan ketika pria itu berjalan mendekat—dan berhenti tepat di hadapannya.

“Maaf, boleh aku duduk di sini?” tanya pria itu dengan suara yang dalam dan lembut.

Keira mendongak, menatapnya dengan bingung. “Um… tentu saja,” jawabnya ragu, meskipun ia tidak mengenal pria ini.

Pria itu tersenyum tipis lalu menarik kursi di hadapannya. Setelah duduk, ia menatap Keira dengan penuh perhatian, seolah ingin memastikan sesuatu.

“Kau… Keira, kan?” tanyanya tiba-tiba.

Keira terkejut. “Iya… tapi bagaimana kau tahu namaku?”

Pria itu tersenyum kecil, lalu menghela napas sebelum berkata, “Aku Adrian. Kita pernah bertemu dulu… di sekolah.”

Keira mengernyitkan dahi, mencoba mengingat kembali. Nama itu memang terdengar familiar, tetapi ia tidak bisa langsung menghubungkannya dengan wajah pria di depannya. Namun, ketika ia menatapnya lebih lama, memori lama perlahan mulai muncul.

Sekilas bayangan seorang anak laki-laki berambut pendek, berkacamata, dan selalu membawa buku ke mana pun ia pergi muncul dalam pikirannya. Keira terkejut. “Adrian? Adrian yang dulu duduk di belakangku saat kelas sepuluh?”

Adrian tertawa kecil. “Ya, benar. Aku tidak menyangka kau masih mengingatnya.”

Keira terdiam, masih berusaha mencerna fakta bahwa pria tampan di hadapannya adalah anak laki-laki pendiam yang dulu jarang berbicara dengannya. Ia ingat betul bahwa Adrian dulu lebih suka menyendiri, selalu membaca buku di pojok kelas saat jam istirahat. Mereka tidak terlalu dekat, tetapi beberapa kali sempat berbicara ketika Keira meminjam catatan darinya.

“Tapi… kamu berubah banyak,” ujar Keira akhirnya. “Aku hampir tidak mengenalimu.”

Adrian tersenyum. “Aku memang banyak berubah. Dulu aku pemalu dan tidak percaya diri. Tapi setelah lulus, aku mulai belajar untuk lebih terbuka pada dunia.”

Keira mengangguk pelan, masih sedikit tak percaya bahwa ia bertemu dengan teman lama yang dulu hampir terlupakan. Tetapi anehnya, pertemuan ini tidak terasa canggung. Justru ada kehangatan yang perlahan muncul di antara mereka, seolah mereka adalah teman lama yang akhirnya dipertemukan kembali oleh takdir.

Mereka mulai berbincang, mengenang masa-masa sekolah, tertawa saat mengingat guru yang galak, dan berbagi cerita tentang apa yang mereka lakukan setelah lulus. Keira bercerita tentang kuliahnya di bidang sastra, sementara Adrian menceritakan pekerjaannya sebagai seorang arsitek.

Waktu berjalan begitu cepat tanpa mereka sadari. Kopi di cangkir mereka sudah habis, tetapi percakapan terus mengalir tanpa henti. Ada sesuatu dalam cara Adrian berbicara yang membuat Keira merasa nyaman. Dan ada sesuatu dalam cara Adrian menatapnya yang membuat jantungnya berdebar sedikit lebih cepat.

Ketika langit mulai gelap dan lampu-lampu kota mulai menyala, Keira melirik jam tangannya dan tersadar sudah hampir tiga jam berlalu sejak Adrian duduk di hadapannya.

“Aku tidak menyangka kita bisa ngobrol sepanjang ini,” kata Keira sambil tertawa kecil.

Adrian mengangguk. “Aku juga. Rasanya seperti… aku sudah mengenalmu sejak lama, tapi baru sekarang kita benar-benar mengobrol.”

Keira tersenyum. Ia juga merasakan hal yang sama.

Saat mereka akhirnya memutuskan untuk pergi, Adrian berdiri lebih dulu dan menatap Keira dengan sedikit ragu. “Keira, sebelum kita berpisah… bolehkah aku meminta satu hal?”

Keira mengangkat alisnya. “Apa itu?”

Adrian mengeluarkan ponselnya dan menawarkannya kepada Keira. “Bolehkah aku menyimpan nomormu? Aku ingin kita tetap berhubungan.”

Keira menatap ponsel itu sejenak, lalu tersenyum sebelum mengetikkan nomornya di layar. Ia tidak tahu ke mana pertemuan ini akan membawanya, tetapi satu hal yang pasti—detik pertama bertemu kembali dengan Adrian adalah sesuatu yang tak akan pernah ia lupakan.

Saat mereka melangkah keluar dari kafe, angin malam berhembus lembut, membawa serta perasaan asing yang perlahan mulai tumbuh di hati Keira. Mungkin, ini bukan sekadar pertemuan biasa. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Dan mungkin, untuk pertama kalinya, Keira mulai memahami arti dari rindu pada detik pertama bertemu.*

Bab 2: Rasa yang Mulai Tumbuh

Hari-hari berlalu sejak pertemuan tak terduga itu, tetapi bayangan Arfan terus melekat di benak Nayla. Tatapan matanya yang teduh, senyum tipisnya yang seolah menyimpan rahasia, bahkan caranya meminta maaf dengan nada rendah dan tulus—semua itu masih tergambar jelas dalam ingatannya.

Nayla tidak mengerti mengapa pertemuan singkat itu begitu membekas. Ia bukan tipe gadis yang mudah terpengaruh oleh perasaan sesaat, tetapi kali ini berbeda. Ada sesuatu dalam diri Arfan yang membuatnya terus memikirkan lelaki itu, sesuatu yang sulit ia jelaskan dengan kata-kata.

“Aku kenapa sih?” gumamnya sendiri, sambil menopang dagu di meja kantin.

Dinda, sahabatnya yang duduk di seberang meja, langsung menatapnya dengan ekspresi penuh selidik. “Kenapa apanya?”

Nayla menggeleng cepat, berusaha mengalihkan perhatian. “Nggak, kok. Aku cuma lagi kepikiran tugas.”

Dinda terkekeh sambil menyilangkan tangan di dada. “Jangan bohong. Aku tahu banget ekspresi itu. Kamu masih kepikiran Arfan, kan?”

Nayla terbatuk kecil, berusaha menyangkal. “Nggak, Din! Jangan mulai lagi.”

“Tapi kamu nggak bisa bohong sama aku,” ujar Dinda santai sambil menyeruput es tehnya. “Kamu kelihatan beda sejak ketemu dia.”

Nayla hanya menghela napas panjang. Mungkin Dinda benar. Ada sesuatu dalam dirinya yang berubah sejak pertemuan itu. Tapi ia tidak ingin terlalu berharap atau menganggapnya sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan.

Namun, takdir sepertinya punya rencana lain.

Saat Nayla dan Dinda sedang asyik mengobrol di kantin, tiba-tiba suara seseorang yang familiar terdengar dari belakang.

“Nayla?”

Nayla menoleh, dan jantungnya seketika berdebar lebih cepat saat mendapati Arfan berdiri di dekat meja mereka. Ia mengenakan kaus putih polos dengan jaket denim yang terlihat sedikit kusut, tetapi tetap terlihat menarik dengan caranya sendiri.

“Oh, Arfan… hai,” ujar Nayla dengan nada sedikit gugup.

Arfan tersenyum ramah. “Boleh gabung?”

Dinda langsung mengangguk penuh semangat. “Tentu! Duduk sini, Fan.”

Tanpa ragu, Arfan menarik kursi dan duduk di sebelah Nayla. Gadis itu berusaha menenangkan dirinya agar tidak terlalu canggung, tetapi kehadiran Arfan begitu nyata dan mendominasi pikirannya.

“Kebetulan banget ketemu kalian di sini,” kata Arfan sambil menatap Nayla. “Ternyata kita sering satu tempat, ya?”

Dinda tertawa kecil. “Iya, dunia itu sempit.”

Arfan mengangguk setuju, lalu menoleh ke arah Nayla. “Kamu sering ke perpustakaan, ya?”

Nayla mengangguk pelan. “Iya, aku suka baca dan belajar di sana. Tempatnya tenang.”

“Pantesan,” kata Arfan. “Aku jarang ke sana, makanya kita nggak pernah ketemu sebelumnya.”

Dinda menyenggol lengan Nayla dengan tatapan menggoda. “Mungkin sekarang Arfan bakal sering ke perpustakaan.”

Arfan tertawa kecil, sementara Nayla hanya tersenyum malu-malu. Entah kenapa, obrolan santai seperti ini terasa begitu menyenangkan.

Percakapan mereka berlanjut dengan berbagai topik, mulai dari tugas kuliah hingga hobi. Nayla terkejut saat mengetahui bahwa Arfan ternyata juga suka membaca novel, sesuatu yang tidak ia duga dari seorang mahasiswa teknik.

“Kamu suka novel juga?” tanya Nayla heran.

Arfan mengangguk. “Iya. Aku suka cerita-cerita yang bisa bikin aku mikir. Kayak novel misteri atau thriller psikologis.”

Nayla tersenyum semakin lebar. “Aku juga suka! Tapi lebih suka novel yang punya unsur emosional, yang bikin perasaan campur aduk.”

Arfan menatapnya sejenak, lalu tersenyum. “Berarti selera kita beda, tapi tetap nyambung.”

Obrolan mereka terus mengalir tanpa terasa. Semakin lama, Nayla mulai merasa nyaman di dekat Arfan. Ada sesuatu dalam cara lelaki itu berbicara yang membuatnya merasa dihargai, diperhatikan, bahkan dipahami.

Setelah pertemuan di kantin itu, Nayla dan Arfan mulai sering bertemu. Kadang mereka tidak sengaja bertemu di kampus, kadang juga Arfan memang sengaja menemuinya.

Suatu sore, saat Nayla sedang membaca di taman kampus, seseorang duduk di sampingnya.

“Serius banget baca bukunya?”

Nayla menoleh dan menemukan Arfan di sana, tersenyum kecil seperti biasa.

“Kamu lagi apa di sini?” tanya Nayla.

“Lagi nunggu dosen. Tadi lihat kamu di sini, jadi mampir sebentar,” jawab Arfan santai.

Nayla menutup bukunya. “Oh… gitu.”

Arfan melirik buku di tangan Nayla. “Novel apa kali ini?”

Nayla menunjukkan sampulnya. “Romansa klasik.”

Arfan tersenyum. “Kamu benar-benar romantis, ya?”

Nayla terkesiap sesaat. “Hah? Enggak, kok.”

Arfan hanya terkekeh. “Aku bercanda.”

Percakapan mereka berlanjut, membahas berbagai hal—tentang buku, film, bahkan sedikit tentang masa kecil mereka.

“Kamu pernah kepikiran nggak,” tanya Arfan tiba-tiba, “kalau seseorang yang awalnya hanya kebetulan ada dalam hidup kita, ternyata jadi orang yang paling sering kita pikirkan?”

Nayla menatapnya, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Maksudnya?”

Arfan menatap lurus ke depan, seolah sedang memikirkan sesuatu. “Kadang kita nggak sadar kalau seseorang bisa memberi pengaruh besar dalam hidup kita, bahkan sebelum kita benar-benar mengenalnya.”

Nayla terdiam, merenungkan kata-kata itu. Ada sesuatu dalam nada suara Arfan yang membuat hatinya bergetar.

Setelah itu, mereka berdua hanya duduk dalam keheningan, menikmati suasana sore yang perlahan berubah menjadi senja.

🌸🌸🌸

Hari demi hari berlalu, dan Nayla semakin menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya.

Ia mulai menunggu pesan dari Arfan. Ia mulai mencari-cari sosoknya di antara keramaian kampus. Dan setiap kali mereka bertemu, ada perasaan hangat yang perlahan tumbuh di hatinya.

Namun, Nayla takut mengakui perasaan itu.

“Din, menurutmu… kapan seseorang bisa dikatakan jatuh cinta?” tanyanya suatu hari saat sedang berjalan bersama Dinda.

Dinda berpikir sejenak sebelum menjawab, “Mungkin… saat kita mulai peduli tanpa alasan. Saat kita bahagia hanya karena melihat dia tersenyum. Saat kita mulai berharap bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengannya.”

Nayla terdiam. Kata-kata Dinda begitu sederhana, tetapi menghujam tepat di hatinya.

Ia menghela napas panjang.

Mungkin Dinda benar. Mungkin yang ia rasakan bukan sekadar ketertarikan biasa.

Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih dalam.

Dan saat Arfan menatapnya dengan senyum hangatnya, Nayla tahu…

Rasa itu mulai tumbuh.*

Bab 3: Mengukir Kenangan Bersama

Sejak pertemuan di kantin dan obrolan mereka di taman kampus, hubungan Nayla dan Arfan semakin dekat. Nayla mulai terbiasa dengan kehadiran Arfan di sekitarnya. Awalnya, ia menganggap kedekatan mereka sebagai pertemanan biasa, tetapi semakin hari, ia sadar bahwa ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali mereka bersama, waktu terasa berjalan lebih cepat.

Hari itu, kampus mengadakan acara festival tahunan, dan Nayla serta Arfan memutuskan untuk datang bersama. Suasana kampus dipenuhi lampu-lampu hias dan tenda-tenda berisi berbagai macam jajanan serta permainan. Dinda yang biasanya menemani Nayla, kali ini sengaja memberi ruang agar Nayla dan Arfan bisa lebih banyak menghabiskan waktu berdua.

“Kamu pernah main lempar gelang ini?” tanya Arfan sambil menunjuk salah satu stan permainan.

Nayla menggeleng. “Belum pernah. Aku nggak terlalu jago main kayak gitu.”

Arfan tersenyum. “Coba aja, siapa tahu beruntung.”

Dengan sedikit ragu, Nayla mengambil beberapa gelang dan mencoba melemparkannya ke botol-botol yang tersusun rapi di atas meja. Tiga kali lemparan, dan semuanya meleset. Nayla tertawa kecil, sementara Arfan hanya menggeleng sambil menahan tawa.

“Kamu nggak boleh nyerah gitu aja,” ujarnya sambil mengambil gelang. “Coba aku yang main.”

Dengan percaya diri, Arfan melempar gelang pertamanya. Masuk! Begitu juga lemparan kedua dan ketiga. Nayla terkejut sekaligus kagum.

“Wah, kamu hebat juga!” serunya.

Arfan hanya tersenyum kecil. “Nggak sehebat itu kok, cuma kebetulan beruntung.”

Hadiah yang didapat dari permainan itu adalah boneka kecil berbentuk kelinci. Tanpa ragu, Arfan menyerahkannya kepada Nayla.

“Ini buat kamu,” katanya.

Nayla terdiam sejenak sebelum akhirnya menerimanya dengan senyum malu-malu. “Makasih, Fan.”

Mereka melanjutkan perjalanan keliling festival. Sesekali mereka berhenti untuk mencoba berbagai makanan, mulai dari takoyaki hingga es krim gulung. Nayla merasa nyaman. Ia tidak menyangka bahwa kebersamaannya dengan Arfan bisa terasa sehangat ini.

Di tengah keramaian, mereka menemukan stan ramalan. Seorang wanita tua dengan pakaian khas peramal tersenyum ke arah mereka.

“Mau mencoba peruntungan dalam cinta?” tanyanya dengan suara lembut.

Nayla dan Arfan saling bertukar pandang. Awalnya, Nayla ragu, tetapi melihat tatapan penuh antusias dari Arfan, akhirnya ia mengangguk.

Wanita tua itu mengambil selembar kartu dari tumpukan dan menatap mereka dengan mata penuh makna. “Kalian berdua ditakdirkan untuk bertemu. Namun, perjalanan cinta tidak selalu mudah. Akan ada rintangan yang menguji hati. Kuncinya ada pada keberanian untuk mengungkapkan perasaan sebelum semuanya terlambat.”

Nayla terdiam. Kata-kata itu entah kenapa terasa begitu menusuk. Apakah ini hanya ramalan biasa? Atau benar-benar petunjuk tentang perasaannya yang selama ini ia pendam?

Arfan tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Ramalan selalu menarik, ya? Kita lihat saja nanti apakah benar atau tidak.”

Nayla mengangguk, meskipun pikirannya masih sibuk memikirkan makna dari ramalan itu.

Malam semakin larut, dan mereka memutuskan untuk duduk di salah satu bangku taman yang sedikit lebih sepi. Angin malam berhembus lembut, membuat suasana semakin nyaman.

“Kamu menikmati acara ini?” tanya Arfan.

Nayla tersenyum. “Banget. Aku senang bisa menghabiskan waktu seperti ini.”

Arfan menatapnya, lalu berkata dengan nada serius. “Aku juga.”

Tatapan mereka bertemu. Untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Nayla merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu seperti tertahan di tenggorokan.

Sebelum salah satu dari mereka sempat berbicara, suara kembang api tiba-tiba menggema di langit. Warna-warni cahaya memenuhi malam, menciptakan pemandangan yang indah.

Arfan tersenyum kecil. “Sepertinya ini cara semesta mengingatkan kita untuk menikmati momen.”

Nayla ikut tersenyum, meskipun di dalam hatinya, ia tahu bahwa perasaan yang ia miliki semakin kuat.

Malam itu, kenangan yang mereka ukir bersama menjadi salah satu yang paling berharga. Namun, Nayla tahu bahwa suatu saat, ia harus menghadapi kenyataan—bahwa rasa ini tidak bisa terus ia simpan sendiri.*

Bab 4: Ujian Cinta Pertama

Hari-hari setelah festival kampus terasa berbeda bagi Nayla. Kedekatannya dengan Arfan semakin nyata, tetapi bersamaan dengan itu, muncul perasaan takut. Takut jika perasaannya terlalu dalam, takut jika apa yang ia rasakan tak berbalas, dan yang paling ia khawatirkan—takut kehilangan Arfan jika sesuatu tidak berjalan seperti yang ia harapkan.

Namun, ketakutan itu harus segera ia hadapi. Ujian cinta pertama mereka datang lebih cepat dari yang ia duga.

Sore itu, Nayla duduk di taman kampus, menunggu Arfan yang berjanji akan menemuinya setelah kelas selesai. Matanya sibuk memperhatikan layar ponsel, melihat chat terakhir dari Arfan yang mengatakan, “Aku ada sesuatu yang mau kubicarakan nanti.”

Pesan itu terus terngiang di kepalanya. Apakah ini sesuatu yang baik atau buruk?

Suasana taman mulai ramai dengan mahasiswa yang baru selesai kelas. Namun, yang menarik perhatian Nayla adalah seorang gadis berambut panjang yang berjalan di arah berlawanan—menuju ke tempat Arfan biasa duduk.

Nayla mengenali gadis itu. Namanya adalah Rina. Dia terkenal sebagai salah satu mahasiswi cantik dan cerdas di jurusannya. Namun yang lebih membuat Nayla terkejut adalah saat melihat Arfan berjalan di belakang Rina dengan ekspresi canggung.

Jantung Nayla berdetak lebih cepat. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tetapi hatinya mulai dipenuhi kecemasan.

“Maaf, Nay, aku telat,” kata Arfan begitu tiba di hadapannya.

Nayla berusaha tersenyum meskipun pikirannya masih kacau. “Gak apa-apa. Kamu tadi sama Rina?” tanyanya, berusaha terdengar biasa saja.

Arfan tampak terkejut sesaat, sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Iya. Dia… ada sesuatu yang ingin dia bicarakan denganku.”

Nayla menunggu kelanjutan kata-kata Arfan, tetapi laki-laki itu justru terdiam, seakan ragu untuk mengatakannya.

“Arfan, sebenarnya ada apa?” tanya Nayla akhirnya.

Arfan menghela napas sebelum berkata, “Rina menyukaiku, Nay.”

Detik itu juga, dunia Nayla seolah berhenti berputar. Jantungnya mencelos. Ia sudah menduga, tetapi mendengar langsung dari mulut Arfan tetap terasa seperti pukulan keras di dadanya.

Nayla berusaha mempertahankan ekspresi netral. “Terus… kamu gimana?” tanyanya pelan.

Arfan menatapnya, seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tetapi akhirnya ia hanya menjawab dengan suara datar, “Aku nggak tahu.”

Jawaban itu membuat Nayla semakin bingung. Kenapa Arfan tidak langsung menolak jika memang tidak menyukainya? Kenapa ia terlihat ragu?

“Jadi… kamu juga suka sama dia?” Suara Nayla terdengar lebih lirih dari yang ia kira.

Arfan terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menggeleng. “Aku nggak tahu, Nay. Aku butuh waktu buat mikirin semuanya.”

Jawaban itu semakin menghancurkan hati Nayla.

Ia berpikir bahwa mungkin selama ini ia terlalu berharap. Bahwa mungkin perhatian yang Arfan berikan hanyalah bentuk persahabatan biasa.

Nayla menarik napas dalam, mencoba menahan perasaannya agar tidak pecah di depan Arfan. “Kalau gitu, aku nggak akan ganggu kamu. Ambil waktu yang kamu butuhkan.”

Setelah mengatakan itu, Nayla bangkit dari bangku taman dan berjalan pergi, meninggalkan Arfan yang masih terdiam di tempatnya.

Malam itu, Nayla menangis dalam diam di kamarnya. Ia tak pernah menyangka bahwa perasaan yang baru saja tumbuh harus diuji secepat ini.

Dinda, yang baru saja masuk ke kamar, langsung khawatir melihat wajah sahabatnya yang memerah. “Nay, kamu kenapa?”

Nayla menggeleng pelan. “Aku nggak apa-apa, Din.”

Dinda duduk di sampingnya. “Jangan bohong. Aku tahu ada yang kamu pendam. Ini tentang Arfan, kan?”

Nayla menghela napas. “Dia bilang Rina suka sama dia. Dan… dia butuh waktu buat mikirin perasaannya.”

Dinda terdiam sesaat sebelum berkata, “Kamu sedih karena dia nggak langsung menolak?”

Nayla mengangguk pelan. “Aku pikir… mungkin aku punya kesempatan. Tapi ternyata aku salah. Kalau dia aja masih ragu, itu artinya aku nggak cukup berarti untuknya, kan?”

Dinda menggenggam tangan Nayla. “Jangan langsung nyimpulin sesuatu yang belum jelas, Nay. Aku tahu kamu suka banget sama dia, tapi jangan sampai perasaan itu bikin kamu jadi nyakitin diri sendiri.”

Nayla menunduk. Ia tahu Dinda benar. Namun, perasaannya terlalu sakit untuk diabaikan begitu saja.

Hari-hari setelah itu terasa dingin. Nayla mencoba menjauh, tetapi semakin ia menghindar, semakin ia sadar bahwa perasaannya kepada Arfan tak semudah itu hilang.

Di sisi lain, Arfan juga tampak lebih diam. Ia beberapa kali mencoba mengajak Nayla bicara, tetapi Nayla selalu mencari alasan untuk menghindar.

Sampai akhirnya, seminggu kemudian, Arfan kembali mendatangi Nayla di perpustakaan.

“Nay, aku harus bicara denganmu,” katanya dengan suara lembut.

Nayla mendongak dari bukunya, mencoba bersikap setenang mungkin. “Apa?”

Arfan menarik napas dalam sebelum berkata, “Aku sudah mengambil keputusan.”

Detik itu juga, Nayla merasa dunianya berhenti. Keputusan apa yang diambil Arfan? Dan apakah hatinya siap mendengarnya?*

Bab 5: Jarak dan Waktu yang Memisahkan

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Nayla mendengar jawaban dari Arfan. Namun, jawaban itu bukanlah sesuatu yang ingin ia dengar.

“Aku akan pergi ke luar kota, Nay.”

Kalimat sederhana itu membuat hati Nayla seolah diremas begitu kuat.

Hari itu, Arfan mengajaknya bertemu di kafe favorit mereka. Sebuah tempat kecil di sudut kota yang selalu mereka kunjungi untuk sekadar mengobrol atau mengerjakan tugas kuliah. Tetapi kali ini, suasananya terasa berbeda. Tidak ada canda atau tawa seperti biasanya. Yang ada hanya keheningan yang menyesakkan.

“Aku dapat tawaran kerja di Bandung. Minggu depan aku harus berangkat,” lanjut Arfan dengan suara pelan, seakan tak ingin mengatakan itu dengan keras.

Nayla berusaha tersenyum meskipun hatinya terasa sakit. “Bagus dong. Itu kesempatan yang bagus buat kamu.”

Arfan menatapnya lama, seakan mencoba membaca pikirannya. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut.

Pertanyaan itu hampir membuat pertahanan Nayla runtuh. Namun, ia tetap mencoba terlihat kuat. “Kenapa aku harus nggak apa-apa? Ini tentang masa depan kamu, Fan. Aku ikut senang.”

Arfan menghela napas, lalu menggenggam tangan Nayla di atas meja. “Tapi aku nggak tahu bisa ninggalin kamu atau nggak.”

Hati Nayla bergetar mendengar kata-kata itu, tetapi ia tidak ingin berharap. Sudah cukup ia menggantungkan perasaannya pada ketidakpastian.

“Kita cuma teman, kan? Jadi nggak ada yang perlu ditinggalkan.” Kalimat itu terasa menyakitkan saat keluar dari bibir Nayla, tetapi ia harus mengatakannya.

Arfan terdiam. Matanya menatap Nayla dengan tatapan yang sulit diartikan. “Apa kamu benar-benar berpikir begitu?”

Nayla ingin menjawab tidak. Ia ingin mengatakan bahwa ia tidak ingin Arfan pergi. Bahwa ia menyukai laki-laki itu lebih dari sekadar teman. Namun, apa gunanya? Jika Arfan benar-benar merasa hal yang sama, ia tidak akan ragu sejak awal.

“Ya,” jawab Nayla akhirnya, meskipun suaranya hampir bergetar.

Arfan menarik tangannya perlahan, lalu mengangguk kecil. “Kalau itu keputusanmu, aku nggak akan maksa.”

Minggu itu berlalu dengan cepat. Nayla berusaha menyibukkan diri dengan tugas kuliah dan aktivitas lainnya, tetapi bayang-bayang Arfan tetap menghantuinya.

Dinda, sahabatnya, tentu menyadari perubahan itu.

“Kenapa kamu nggak jujur sama dia?” tanya Dinda suatu malam saat mereka berada di kamar kos.

Nayla menghela napas. “Untuk apa? Aku nggak mau membuat dia terbebani. Lagipula, kalau dia benar-benar peduli, dia pasti nggak akan ragu.”

“Tapi kamu menyukainya, kan?”

Nayla menunduk. “Iya. Tapi kalau aku satu-satunya yang berjuang, rasanya percuma.”

Dinda menatapnya prihatin. “Kamu masih punya kesempatan buat bicara sama dia sebelum dia pergi.”

Nayla hanya tersenyum kecil. “Aku nggak mau mempersulit kepergiannya.”

Dinda menggeleng, tetapi ia tahu tidak ada gunanya membantah.

Hari keberangkatan Arfan pun tiba.

Nayla tidak datang ke bandara. Ia tahu itu akan terlalu menyakitkan.

Namun, saat ia berjalan sendirian di taman kampus sore itu, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Arfan.

“Aku sudah di bandara. Aku harap kita bisa bertemu lagi suatu hari nanti. Jaga dirimu, Nay.”

Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh juga.

Jarak dan waktu kini memisahkan mereka. Dan Nayla hanya bisa berharap bahwa suatu hari, jika takdir mengizinkan, mereka bisa bertemu kembali.*

Bab 6: Menemukan Kembali yang Hilang

Tiga tahun berlalu sejak Arfan pergi meninggalkan kota ini. Tiga tahun sejak Nayla berusaha menata hatinya dan meyakinkan diri bahwa perasaannya pada Arfan hanyalah bagian dari masa lalu.

Namun, waktu ternyata tidak bisa menghapus semuanya. Ada rasa yang masih tersimpan di sudut hatinya, meskipun ia berusaha mengabaikannya.

Hidup Nayla kini telah berubah. Ia sudah lulus kuliah dan bekerja di sebuah penerbitan kecil di Jakarta. Kesibukan kerja sedikit banyak membantunya melupakan kenangan yang masih melekat.

Namun, semuanya berubah ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya pada suatu sore.

“Nayla, aku pulang.”

Hanya tiga kata, tapi cukup untuk membuat hatinya berdegup lebih cepat. Nama pengirimnya: Arfan.

Nayla menatap layar ponselnya lama, seakan memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi.

Arfan pulang? Setelah tiga tahun tanpa kabar?

Tangannya gemetar saat hendak mengetik balasan, tetapi ia ragu. Apa yang harus ia katakan? Haruskah ia bertanya mengapa Arfan baru menghubunginya sekarang? Atau berpura-pura biasa saja?

Sebelum ia sempat memutuskan, ponselnya kembali berbunyi. Kali ini sebuah panggilan masuk. Dari Arfan.

Hatinya semakin berdebar.

Akhirnya, dengan ragu, ia mengangkatnya.

“Halo?”

Suara di seberang terdengar begitu familiar, meskipun sudah lama tidak ia dengar. “Hai, Nay.”

Hening sesaat. Nayla tidak tahu harus berkata apa.

“Kamu sibuk?” tanya Arfan pelan.

Nayla menggeleng meskipun tahu Arfan tidak bisa melihatnya. “Enggak… Maksudku, ya, aku lagi di kantor. Tapi aku bisa bicara.”

Arfan tertawa kecil. “Sama seperti dulu. Selalu bingung kalau gugup.”

Nayla mendesah. “Aku nggak gugup.”

“Kita bisa ketemu?”

Pertanyaan itu membuat Nayla semakin bingung.

“Kapan?”

“Hari Sabtu. Aku pulang ke kota, dan aku ingin bertemu.”

Hati Nayla berdebat. Haruskah ia pergi? Ataukah lebih baik membiarkan masa lalu tetap menjadi kenangan?

Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, ia sudah menjawab, “Baiklah.”

Hari Sabtu tiba lebih cepat dari yang Nayla duga.

Ia berdiri di depan cermin, mengenakan dress berwarna pastel yang tidak terlalu mencolok. Ia ingin terlihat santai, tetapi tetap pantas untuk pertemuan ini.

Saat tiba di kafe tempat mereka janjian, ia melihat Arfan sudah menunggu di sana.

Laki-laki itu tampak tidak banyak berubah. Masih dengan senyumnya yang sama, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang terasa berbeda.

Saat mata mereka bertemu, Arfan tersenyum. “Hai.”

Nayla mengangguk kecil. “Hai.”

Mereka duduk berhadapan, dan untuk beberapa saat, hanya ada keheningan.

“Apa kabar?” tanya Arfan akhirnya.

“Baik,” jawab Nayla singkat. “Kamu sendiri?”

Arfan mengangkat bahu. “Lumayan. Banyak yang berubah setelah tiga tahun.”

Nayla mengangguk. “Ya, aku juga merasakannya.”

Arfan menatapnya dalam. “Aku kangen, Nay.”

Nayla terdiam. Ia tidak menyangka Arfan akan mengatakan itu begitu saja.

“Aku tahu aku pergi tanpa banyak kabar. Tapi bukan berarti aku melupakan kamu.”

Nayla menunduk, mencoba menenangkan hatinya yang mulai bergetar. “Kenapa baru sekarang menghubungi?”

Arfan menghela napas. “Karena aku takut. Takut kalau kamu sudah melupakan aku. Takut kalau kamu sudah menemukan seseorang yang lain.”

Nayla tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa sesak. “Dan kalau aku sudah?”

Arfan terdiam. “Sudahkah?”

Nayla tidak segera menjawab. Ia bisa saja berbohong dan mengatakan bahwa ia sudah melupakan perasaan itu. Tapi, apa gunanya?

“Aku pikir aku sudah. Tapi ternyata, tidak semudah itu.”

Senyum kecil muncul di wajah Arfan. “Aku senang mendengarnya.”

Mereka berbicara lebih lama, mengenang masa lalu dan berbagi cerita tentang hidup masing-masing selama tiga tahun terakhir. Nayla merasa nyaman, seperti dulu.

Namun, ada sesuatu dalam sikap Arfan yang terasa berbeda. Ia lebih tenang, tetapi juga terlihat seperti menyimpan sesuatu.

Dan akhirnya, ia mengatakannya.

“Aku harus kembali ke Bandung minggu depan.”

Sekali lagi, Nayla merasa dunianya berhenti sejenak.

“Jadi, kamu hanya datang untuk berkunjung?”

Arfan mengangguk. “Aku ada pekerjaan di sini selama seminggu. Dan aku ingin menggunakan kesempatan ini untuk bertemu denganmu.”

Nayla menghela napas. Ia tidak tahu harus kecewa atau lega.

“Lalu, apa yang kamu harapkan dari pertemuan ini, Fan?” tanyanya pelan.

Arfan menatapnya lama sebelum menjawab. “Aku ingin tahu apakah masih ada kesempatan untuk kita.”

Hati Nayla berdebar.

“Apakah kamu masih mencintaiku, Nay?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, menunggu jawaban yang tidak mudah.

Nayla menghabiskan malam itu dengan pikiran yang penuh.

Ia tidak menyangka bahwa setelah bertahun-tahun mencoba melupakan, Arfan datang kembali dengan pertanyaan yang selama ini ia takutkan.

Ia tahu perasaannya belum sepenuhnya hilang. Tapi apakah ia siap untuk membuka hatinya lagi?

Dinda, sahabatnya, tentu menyadari kegelisahannya.

“Aku nggak tahu harus bagaimana, Din.”

Dinda menatapnya penuh simpati. “Kamu masih mencintainya, kan?”

Nayla terdiam.

Dinda tersenyum kecil. “Kadang, kesempatan kedua itu tidak datang dua kali. Kalau kamu masih menginginkannya, jangan sia-siakan.”

Nayla menghela napas. “Tapi dia akan pergi lagi.”

Dinda mengangkat bahu. “Lalu? Kalau kalian sama-sama berjuang, jarak bukan masalah. Yang jadi masalah itu kalau kalian nggak mau mencoba.”

Kata-kata Dinda membuat Nayla berpikir keras.

Malam terakhir sebelum Arfan kembali ke Bandung, mereka kembali bertemu.

Mereka berjalan di taman kota, seperti dulu saat mereka masih kuliah.

“Aku ingin tahu jawabanmu, Nay.”

Nayla menatap langit, mencoba menenangkan diri.

“Aku masih mencintaimu, Fan.”

Arfan tersenyum, tetapi ada kesedihan di matanya. “Tapi kamu takut, kan?”

Nayla mengangguk. “Aku takut kalau kita mencoba, lalu gagal. Aku takut kalau aku harus kehilangan kamu lagi.”

Arfan menggenggam tangannya. “Aku juga takut. Tapi aku lebih takut kalau aku harus kehilangan kamu tanpa pernah mencoba.”

Nayla menatapnya lama. Ia tahu ini tidak akan mudah. Tapi ia juga tahu bahwa perasaan ini terlalu berharga untuk dibiarkan begitu saja.

Akhirnya, ia mengangguk.

“Ayo kita coba.”

Senyum di wajah Arfan semakin lebar. “Aku janji, aku nggak akan pergi lagi tanpa alasan yang jelas.”

Dan malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, mereka menemukan kembali yang pernah hilang.

Jarak mungkin memisahkan mereka, tetapi kini mereka tahu bahwa cinta sejati akan selalu menemukan jalannya kembali.*

Bab 7: Rindu yang Menemukan Jawabannya (Tamat)

Hati Nayla masih berdebar setelah pertemuannya dengan Arfan di taman kampus beberapa hari lalu. Ia masih memproses setiap kata yang diucapkan Arfan—tentang penyesalan, tentang rasa yang masih tertinggal, dan tentang keinginannya untuk memperbaiki semuanya.

Sejujurnya, Nayla juga masih menyimpan perasaan itu. Meskipun ia mencoba untuk melanjutkan hidup, bayangan tentang Arfan tidak pernah benar-benar hilang. Namun, apakah ia siap untuk kembali membuka hatinya?

Sejak pertemuan itu, Arfan tidak mendesaknya untuk memberikan jawaban. Ia hanya mengirimkan pesan singkat sesekali, menanyakan kabarnya, atau sekadar berbagi cerita ringan. Tidak ada paksaan, tidak ada tuntutan. Hanya kehadiran yang perlahan mengisi ruang yang sempat kosong di hati Nayla.

Dan Nayla mulai menyadari sesuatu—bahwa mungkin selama ini ia tidak pernah benar-benar ingin melupakan.

Hari itu, hujan turun cukup deras.

Nayla baru saja keluar dari kafe tempatnya bekerja sambilan ketika mendapati hujan mengguyur kota tanpa ampun. Ia tidak membawa payung, dan langit mendung menandakan hujan tidak akan berhenti dalam waktu dekat.

Saat ia sedang mempertimbangkan untuk menunggu atau menerobos hujan, sebuah suara familiar memanggilnya.

“Nay!”

Nayla menoleh dan melihat Arfan berdiri di dekat mobilnya, membawa payung di tangan.

“Kamu mau pulang, kan? Aku antar,” katanya sambil tersenyum.

Nayla ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Oke.”

Arfan membukakan pintu mobil untuknya, dan dalam diam mereka melaju menerobos derasnya hujan.

Di dalam mobil, hanya ada suara hujan yang mengetuk kaca jendela. Tidak ada yang berbicara, tetapi keheningan itu tidak terasa canggung. Justru ada kenyamanan yang tidak bisa dijelaskan.

Beberapa menit kemudian, Arfan tiba-tiba berbicara.

“Kamu tahu nggak, aku selalu ingat pertama kali kita bertemu?”

Nayla menoleh, sedikit terkejut dengan pernyataan itu. “Serius?”

Arfan mengangguk, matanya tetap fokus pada jalan di depan. “Aku ingat persis. Hari itu juga hujan deras. Kamu berdiri di halte, kedinginan, dan aku menawarkan payung.”

Nayla tersenyum kecil. “Aku ingat. Waktu itu aku sempat ragu mau nerima atau nggak.”

Arfan tertawa pelan. “Tapi akhirnya kamu mau. Dan sejak hari itu, aku nggak pernah benar-benar bisa mengabaikan kamu.”

Jantung Nayla kembali berdebar. Ia menunduk, meremas jemarinya sendiri. “Kenapa kamu pergi, Fan?” tanyanya akhirnya.

Mobil melambat sedikit sebelum Arfan menjawab. “Karena aku pengecut,” katanya pelan. “Aku takut kalau aku tetap di sini, perasaanku ke kamu makin dalam, dan aku nggak tahu harus berbuat apa.”

Nayla menggigit bibirnya. “Lalu kenapa sekarang kamu kembali?”

Arfan menoleh ke arahnya, tatapan matanya penuh ketulusan. “Karena aku sadar, aku nggak bisa terus lari dari perasaanku sendiri.”

Hening kembali menyelimuti mereka.

Mobil akhirnya berhenti di depan rumah Nayla. Hujan masih turun dengan deras, menciptakan suasana yang begitu syahdu.

Nayla menatap Arfan, berusaha mencari keberanian untuk mengatakan sesuatu yang selama ini ia pendam.

“Aku nggak pernah berhenti berharap, Fan,” katanya lirih.

Arfan menatapnya, mata laki-laki itu tampak berbinar penuh harapan.

“Tapi aku juga takut,” lanjut Nayla. “Takut kalau kita hanya akan mengulang kesalahan yang sama.”

Arfan menghela napas. “Aku juga takut, Nay. Tapi kalau aku diberi kesempatan, aku mau belajar. Aku mau berjuang. Aku nggak mau kehilangan kamu lagi.”

Nayla terdiam. Hatinya berperang dengan pikirannya. Tetapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu jawabannya.

Ia tidak ingin kehilangan Arfan.

Bukan untuk kedua kalinya.

Dengan napas sedikit gemetar, Nayla tersenyum kecil. “Kita coba lagi, ya?”

Arfan menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Seolah-olah semua beban yang selama ini ia bawa perlahan menghilang.

Senyum lebar terukir di wajahnya. “Iya, kita coba lagi.”

Di luar, hujan masih turun deras. Tapi di dalam mobil itu, dua hati yang sempat terpisah kini kembali menemukan jalannya.

Dan rindu yang selama ini terpendam akhirnya menemukan jawabannya.***

—————THE END————–

 

Source: DELA SAYFA
Tags: #CintaDalamDiam #PerjalananCinta #HubunganTakTerucapkan #CemburuDalamCinta #KeheninganYangPenuhMakna
Previous Post

RINDU YANG TAK TERUCAP

Next Post

CINTA DIUJUNG WAKTU

Related Posts

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

April 30, 2025
DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

April 29, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 28, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 27, 2025
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

April 26, 2025
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

April 25, 2025
Next Post
CINTA DIUJUNG WAKTU

CINTA DIUJUNG WAKTU

PELUKAN RINDU DI KRETA SENJA

PELUKAN RINDU DI KRETA SENJA

SELALU ADA KAMU DISINI

SELALU ADA KAMU DISINI

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id