Daftar Isi
Bab 1: Cinta di Sudut Perpustakaan
Suasana perpustakaan selalu memiliki pesona tersendiri. Keheningan yang menenangkan, aroma buku yang sudah lama tersimpan, serta suara desah pelan dari halaman yang dibalik, semuanya menyatu menjadi satu harmoni yang menyentuh jiwa. Di tengah tumpukan buku yang mengelilingiku, aku merasa seperti seorang asing yang mencoba menemukan tempatnya di dunia yang luas ini. Buku-buku itu bagaikan dunia baru yang selalu menawarkan petualangan dan pengetahuan, namun aku selalu merasa ada sesuatu yang kurang—sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata dalam lembaran itu.
Aku duduk di salah satu sudut perpustakaan, tempat yang jarang dijamah oleh pengunjung lain. Duduk di sana sambil memegang buku, aku sering kali terlarut dalam pikiran, membiarkan diriku tenggelam dalam dunia yang diciptakan oleh kata-kata. Di sudut ini, aku merasa aman, terlindungi dari hiruk-pikuk dunia luar, dan bebas dari segala keharusan yang sering kali membebani pikiranku. Tak ada yang mengganggu konsentrasiku; hanya ada diriku dan dunia dalam halaman buku yang terbuka.
Namun, hari itu, ada sesuatu yang berbeda. Ada suara langkah kaki yang teredam di atas karpet tebal, suara langkah yang terlalu ringan untuk tidak menarik perhatianku. Aku mengangkat kepala dari buku yang sedang aku baca, dan di hadapanku, berdiri seorang pemuda dengan rambut gelap, mata yang tajam, dan senyum yang sedikit canggung.
“Maaf, apakah tempat ini kosong?” tanyanya dengan suara yang tenang namun penuh rasa ingin tahu. Aku tidak bisa menahan tatapan mataku yang tertuju padanya. Ada sesuatu yang menarik, sesuatu yang membuatku merasa bahwa dia bukan orang sembarangan.
“Ya, tentu,” jawabku dengan suara pelan, sedikit terkejut. Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya, dan dalam suasana sunyi seperti ini, seorang pengunjung baru terasa seperti perubahan yang besar. Dia tersenyum, dan duduk di kursi yang ada di seberang meja kecil kami. Tangannya yang memegang buku terlihat ragu-ragu, seolah mencari tempat yang nyaman di antara tumpukan buku-buku yang seakan tak ada habisnya.
Aku kembali menunduk, mencoba untuk fokus pada buku di tanganku, namun pikiranku mulai melayang. Siapa dia? Mengapa aku merasa ada sesuatu yang berbeda tentang dirinya? Rasanya aku sudah mengenalnya, meskipun kami belum pernah berbicara sebelumnya. Aku merasa seperti ada energi tertentu yang memancar dari dirinya, yang menarik perhatian tanpa dia berusaha keras untuk itu.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan, hanya suara halaman yang dibalik dan langkah kaki pengunjung yang sesekali terdengar. Namun, tidak ada yang bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang menggantung di udara—sesuatu yang tak terungkapkan, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Akhirnya, dia membuka mulut, memecah keheningan yang terasa semakin berat. “Apakah kamu sering datang ke sini?” tanyanya, suaranya terdengar lebih akrab sekarang. Aku mendongak lagi, melihat matanya yang tidak bisa disembunyikan. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku merasa seperti dia sudah mengenal bagian dari diriku yang belum pernah aku ungkapkan kepada siapapun.
“Cukup sering,” jawabku sambil sedikit tersenyum. “Ini tempat yang tenang, jauh dari keramaian.” Aku merasa sedikit canggung, karena obrolan ini terasa lebih personal dari yang aku duga. Di dunia yang terbiasa dengan interaksi cepat dan singkat, berbicara perlahan dan dalam seperti ini adalah sesuatu yang baru. Sesuatu yang terasa menenangkan, meski aku tidak tahu mengapa.
Dia mengangguk pelan, dan sepertinya dia setuju. “Aku juga sering datang ke sini. Rasanya seperti dunia ini milik kita berdua, hanya kita yang ada di sini.”
Aku menatapnya, mencoba membaca ekspresinya, namun ada sesuatu yang sulit dijelaskan. Dia bukan tipe orang yang mudah didekati, tapi ada semacam magnet yang menarikku untuk berbicara lebih banyak dengannya. Beberapa kali, aku melihat dia melirik buku yang sedang aku baca, mungkin karena penasaran atau sekadar ingin berbicara.
“Apa yang kamu baca?” tanyanya lagi, kali ini lebih tertarik.
“Novel klasik,” jawabku singkat, menutup buku yang sudah setengah terbuka. “Kamu sendiri?”
Dia sedikit tertawa, mungkin merasa sedikit canggung karena pertanyaan yang terlalu biasa. “Aku lebih suka buku sejarah, atau mungkin puisi. Tapi, sejujurnya, aku suka sekali membaca tentang kehidupan orang lain, bagaimana mereka bertahan dengan semua yang mereka hadapi.”
Kami terdiam sejenak, saling memandang, sebelum dia melanjutkan, “Sepertinya aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Apakah kamu mahasiswa di sini?”
Aku mengangguk. “Iya, aku sedang mengambil jurusan sastra. Kamu?”
“Sejarah,” jawabnya, “tapi aku merasa lebih nyaman berada di antara buku-buku, meskipun aku lebih sering memilih buku yang tidak berhubungan dengan kuliah.”
Aku tersenyum. Tiba-tiba, aku merasa ada ikatan yang tidak terucapkan di antara kami. Kami berdua adalah orang yang terlarut dalam dunia buku, mencari makna dalam tiap halaman yang kami baca, dan meskipun jalannya berbeda, ada kesamaan dalam cara kami menghargai dunia ini.
Obrolan kami berlanjut dengan mudah, seperti dua orang yang sudah lama saling mengenal meskipun baru bertemu. Kami berbicara tentang buku-buku yang kami sukai, tentang penulis yang menginspirasi kami, bahkan tentang kehidupan yang sering kali terasa penuh kebingungan. Ternyata, kami memiliki banyak kesamaan dalam cara kami melihat dunia, dan semakin lama, aku merasa semakin nyaman berada di sampingnya.
Aku mulai belajar lebih banyak tentang dirinya. Namanya adalah Rafi. Dia berasal dari kota kecil di luar kota ini dan memilih untuk melanjutkan kuliah di sini, jauh dari keluarganya. Seperti aku, Rafi juga merasa bahwa dunia kampus sering kali penuh dengan keramaian yang mengganggu fokus. Oleh karena itu, dia lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan, di tempat yang sepi dan penuh ketenangan, tempat di mana dia bisa merenung dan menemukan ketenangan dalam buku-buku yang membawanya melintasi waktu dan ruang.
Saat matahari mulai terbenam, dan cahaya lembut dari jendela perpustakaan mulai memudar, kami masih duduk di sana, berbicara dengan ringan tentang segala hal yang kami sukai. Aku tidak tahu mengapa, tapi di hadapanku, dia terasa begitu akrab, meskipun ini baru pertemuan pertama kami. Ada perasaan yang mulai tumbuh, suatu ikatan yang lebih dari sekadar kebetulan.
“Aku tidak tahu mengapa, tapi berbicara denganmu membuatku merasa seperti aku sudah lama mengenalmu,” kataku, merasakan kejujuran dalam kata-kataku.
Dia tersenyum lembut, dan sepertinya dia merasa hal yang sama. “Aku juga merasa begitu. Mungkin kita memang sudah ditakdirkan untuk bertemu di sini, di tempat ini.”
Kata-katanya menggetarkan hatiku, dan untuk sesaat, aku merasa bahwa dunia ini lebih kecil daripada yang aku bayangkan. Kami berdua terdiam sejenak, dan aku merasakan sesuatu yang baru tumbuh dalam hatiku—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.
Malam itu, aku meninggalkan perpustakaan dengan perasaan yang berbeda. Ada sesuatu yang berubah dalam diriku, sesuatu yang membuat hatiku berdebar setiap kali aku mengingat senyumannya, dan setiap kali aku memikirkan obrolan kami yang begitu ringan dan mengalir. Rasanya seperti ada sesuatu yang baru dimulai, meskipun aku belum bisa menggambarkannya dengan jelas. Seperti buku yang baru dibuka, aku merasa bahwa ini adalah awal dari cerita yang belum terungkapkan.
Aku tidak tahu apakah ini hanya perasaan sesaat, atau jika ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Namun, satu hal yang aku tahu pasti: hari ini, di sudut perpustakaan yang tenang, aku menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar buku—aku menemukan hubungan yang tak terduga, dan perasaan yang mungkin akan mengubah segalanya.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa setiap pertemuan dengan Rafi bukanlah sekadar kebetulan. Setiap kali kami bertemu, kami semakin dekat, semakin berbicara tentang segala hal yang membingungkan, tentang dunia yang penuh dengan tantangan, dan tentang mimpi yang kami pegang erat-erat. Perpustakaan yang sebelumnya hanya tempat yang penuh dengan kesunyian, kini menjadi tempat yang penuh dengan kenangan yang tak ternilai.
Aku belajar banyak dari Rafi—tentang cara melihat dunia dengan lebih dalam, tentang bagaimana hidup bukan hanya tentang mencari jawaban, tetapi juga tentang mempertanyakan dan menggali lebih jauh. Seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa perasaan yang tumbuh di hatiku bukan hanya sekadar ketertarikan biasa. Ini adalah sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata, seperti buku-buku yang kami baca.
Cinta yang tumbuh di sudut perpustakaan ini bukan hanya tentang dua orang yang saling tertarik, tetapi tentang perjalanan bersama untuk menemukan makna dalam hidup, untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak terucapkan, dan untuk menemukan satu sama lain di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali membingungkan.
Aku dan Rafi tahu bahwa perjalanan kami baru saja dimulai, dan meskipun tak ada yang bisa memprediksi apa yang akan datang, kami siap menjalani setiap halaman dari cerita ini bersama.*
Bab 2 Benih Cinta yang Tumbuh
Hari-hari setelah pertemuan itu berlalu dengan cara yang berbeda. Meskipun kami hanya bertemu beberapa kali di perpustakaan, ada sebuah rasa yang mulai tumbuh dalam diriku, sesuatu yang sulit untuk aku pahami. Setiap kali aku memasuki ruang itu, seakan ada kekuatan yang menarikku untuk kembali ke sudut tempat kami pertama kali berbincang. Aku berharap, meskipun tak terucapkan, bahwa dia juga merasakan hal yang sama.
Aku mulai memperhatikan bahwa setiap kali aku berada di perpustakaan, dia selalu ada, di sana, dengan buku-buku di tangannya, seperti kami sudah memiliki rutinitas yang tak terucapkan. Kadang, kami hanya bertukar senyum, atau saling mengangguk kecil saat bertemu di antara rak-rak buku. Tak pernah ada kata-kata yang lebih, namun tatapan kami sudah cukup untuk membuat segalanya terasa berbeda.
Hari itu, aku datang lebih awal dari biasanya, dengan harapan bisa menemukan waktu untuk duduk dan membaca dengan tenang. Ketika aku berjalan melewati lorong buku, mataku secara tidak sengaja bertemu dengan matanya yang sedang asyik memandang sebuah buku sejarah. Senyumnya, yang biasa tersenyum canggung, kali ini tampak lebih lebar, dan hatiku berdebar tanpa aku bisa mengendalikan diri.
“Datang lebih awal hari ini?” tanyanya, suara lembutnya membuat aku merasa seolah-olah hanya kami berdua yang ada di dunia ini.
Aku mengangguk, merasa canggung namun tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa bahagia. “Ya, aku kira aku butuh waktu lebih lama untuk membaca,” jawabku sambil sedikit tersenyum.
“Aku juga,” katanya, meletakkan buku sejarah di atas meja. “Terkadang, aku merasa buku-buku ini adalah teman yang lebih baik daripada manusia.”
Aku tertawa kecil. “Aku rasa aku mengerti apa yang kamu maksud. Buku memang memiliki cara sendiri untuk membuat kita merasa dipahami.”
Kami berdua terdiam sejenak, saling menatap, dan entah mengapa, aku merasa bahwa percakapan ini lebih dari sekadar obrolan biasa. Ada kedekatan yang semakin terasa di antara kami, sesuatu yang melampaui kata-kata dan hanya bisa dipahami oleh hati.
“Aku rasa kita perlu mengubah suasana sedikit,” katanya tiba-tiba. “Bagaimana kalau kita pergi ke kafe dekat sini setelah selesai? Aku tahu tempat yang tenang, mungkin bisa jadi tempat yang pas untuk melanjutkan percakapan kita.”
Aku terkejut dengan tawarannya. Tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk bertemu di luar perpustakaan. Kami berdua, yang biasanya hanya bertemu di dunia buku, sekarang akan berhadapan langsung dengan kenyataan di luar sana.
“Boleh juga,” jawabku, sedikit ragu, tapi ada rasa senang yang sulit untuk disembunyikan.
Saat kami selesai dengan buku-buku kami, kami berdua keluar dari perpustakaan dan berjalan ke kafe yang terletak tidak jauh dari kampus. Jalan yang biasanya terasa sunyi tiba-tiba terasa lebih hidup, lebih berwarna dengan langkah kami berdua. Ketika kami tiba di kafe kecil itu, suasana yang hangat dan penuh dengan cahaya lembut langsung menyambut kami. Kami duduk di pojok dekat jendela, menikmati secangkir kopi sambil melanjutkan percakapan yang sempat terhenti.
Kami berbicara lebih banyak tentang banyak hal—tentang buku-buku yang kami sukai, tentang hidup, dan bahkan tentang mimpi-mimpi yang pernah kami miliki. Percakapan kami tidak terasa terpaksa, seperti dua orang yang sudah lama saling mengenal dan hanya membutuhkan kesempatan untuk saling berbagi.
“Kalau kamu bisa melakukan apapun tanpa ada batasan, apa yang akan kamu lakukan?” tanyanya, suara lembutnya terdengar lebih serius kali ini.
Aku terdiam sejenak, berpikir. Itu adalah pertanyaan yang sering aku ajukan pada diriku sendiri, namun tidak pernah aku jawab dengan pasti. Aku melihat matanya yang menunggu jawaban, penuh harap, dan entah mengapa aku merasa terinspirasi untuk mengungkapkan sesuatu yang jarang aku ungkapkan.
“Aku rasa, aku akan menulis,” jawabku akhirnya. “Menulis tentang segala hal yang tak terungkapkan, tentang hidup dan cinta. Aku ingin menyampaikan perasaan yang terkadang sulit diungkapkan dengan kata-kata biasa.”
Dia tersenyum mendengar jawabanku. “Aku bisa membayangkan kamu melakukan itu. Ada sesuatu dalam cara kamu berbicara yang menunjukkan bahwa kamu memiliki banyak hal yang ingin kamu bagikan. Aku rasa dunia ini akan lebih baik dengan tulisanmu.”
Aku merasa hangat mendengar kata-katanya. Mungkin dia hanya mengatakan itu untuk menyemangati, tetapi entah mengapa aku merasa begitu terdorong untuk mulai menulis lebih serius. Mungkin, kata-kata yang terpendam dalam diriku bisa menemukan jalan keluarnya jika aku berani untuk mengungkapkannya.
“Bagaimana dengan kamu?” tanyaku, ingin mengetahui lebih jauh tentangnya.
Dia menghirup kopinya, kemudian menatap ke luar jendela, seperti sedang memikirkan jawabannya. “Aku ingin pergi ke tempat-tempat yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku ingin memahami dunia lebih dalam, tentang sejarah, tentang manusia, tentang segala hal yang telah mengubah dunia ini.”
Aku mengangguk, mengerti. “Kamu memiliki rasa ingin tahu yang besar.”
Dia tersenyum, matanya berbinar. “Ya, mungkin itu yang membuat aku terus mencari. Ada begitu banyak hal yang belum aku temukan, dan aku ingin terus belajar.”
Percakapan kami semakin mengalir, dan aku merasa semakin nyaman berada di dekatnya. Tidak ada tekanan, hanya ada dua orang yang berbicara tentang hal-hal yang mereka sukai, tentang impian-impian mereka yang mungkin akan terwujud, atau mungkin tidak. Namun, saat itu, aku merasa seperti aku dan dia sudah berada di tempat yang sama—di dunia yang penuh dengan kemungkinan, di tempat yang tidak ada batasan untuk apa yang bisa terjadi.
Malam semakin larut, dan kafe mulai sepi. Kami berdua berdiri, siap untuk kembali ke kehidupan masing-masing, namun entah mengapa, aku merasa bahwa pertemuan ini bukanlah yang terakhir. Ada sesuatu yang lebih, yang lebih dari sekadar percakapan biasa. Ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh, meskipun kami tidak pernah mengatakannya dengan jelas.
“Aku senang kita bisa berbicara lebih lama,” katanya sambil tersenyum.
Aku mengangguk, merasakan perasaan yang sama. “Aku juga. Mungkin kita bisa bertemu lagi suatu waktu.”
Dia mengangguk, dan tanpa berkata banyak, kami berpisah di depan kafe, berjalan menuju arah yang berbeda. Namun, dalam hati, aku tahu bahwa hari itu adalah awal dari sesuatu yang baru—sesuatu yang tak terduga, namun indah. Cinta mungkin belum terucap, tetapi benih-benihnya sudah mulai tumbuh, perlahan, dengan setiap pertemuan, dengan setiap kata yang terucap di antara kami.
Bab 3 Perasaan yang Tumbuh Perlahan
Beberapa hari setelah pertemuan di kafe itu, hidupku terasa sedikit berbeda. Aku tidak bisa menahan diri untuk memikirkan setiap detil obrolan kami—tatapan matanya yang penuh perhatian, cara dia tersenyum dengan senyum lembut yang terasa seperti menghangatkan hati, dan nada suara yang seakan-akan ingin mengatakan lebih banyak, meskipun kata-kata yang keluar hanya sedikit. Setiap kali aku melangkah ke perpustakaan, perasaan itu muncul lagi—perasaan aneh yang sulit untuk dijelaskan. Aku ingin bertemu dengannya lagi, namun pada saat yang sama, aku merasa ragu. Bagaimana jika aku terlalu berharap? Apa yang sebenarnya aku rasakan? Dan apakah dia merasakan hal yang sama?
Aku mencoba untuk fokus pada buku-buku yang kubaca, tetapi sering kali, pikiranku melayang, kembali pada percakapan yang tak terlupakan itu. Tidak ada yang pernah membuatku merasa seperti ini sebelumnya. Dia membuatku merasa seperti ada ruang kosong dalam hatiku yang kini terisi, meskipun kami baru saja mulai saling mengenal. Rasanya seperti aku baru saja menemukan seseorang yang selama ini aku cari, meskipun aku belum benar-benar tahu apa yang akan terjadi antara kami.
Hari itu, aku datang ke perpustakaan seperti biasa, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, aku merasa sedikit gugup. Aku berjalan menuju sudut yang biasa, dan tanpa aku duga, dia sudah duduk di sana, seperti menunggu aku datang. Matanya bertemu dengan mataku, dan senyumannya yang hangat langsung membuat hati kami berdua terasa lebih ringan.
“Pagi,” katanya, suaranya penuh keceriaan, seperti tidak ada beban di antara kami.
“Pagi,” jawabku dengan senyum yang hampir tak bisa aku sembunyikan. Kami tidak perlu banyak kata untuk saling mengerti. Hanya satu tatapan sudah cukup untuk membuat kami merasa nyaman.
Aku duduk di seberangnya, dan kami melanjutkan percakapan ringan seperti biasa. Namun, kali ini, ada sedikit perubahan. Meskipun kami berbicara tentang buku dan hal-hal biasa, ada ketegangan yang tidak bisa disembunyikan, semacam ketertarikan yang mulai tumbuh di antara kami, meskipun belum terucap.
“Aku penasaran,” katanya, setelah beberapa saat terdiam, “apa yang membuatmu memilih sastra sebagai jurusan? Sepertinya itu pilihan yang agak… berisiko, ya?”
Aku tertawa kecil. “Mungkin. Tapi menurutku, sastra adalah cara terbaik untuk memahami dunia. Kata-kata bisa menyampaikan perasaan yang tak bisa diungkapkan dengan cara lain. Sastra memberi aku kesempatan untuk melihat kehidupan dari sudut pandang yang berbeda.”
Dia mengangguk pelan, tampak berpikir. “Aku bisa mengerti itu. Aku juga merasa hal yang sama tentang sejarah. Setiap fakta, setiap kejadian, ada cerita di baliknya. Hanya saja, terkadang orang tidak tahu cara mendengarkannya.”
Aku mengangguk, merasa bahwa kami mulai saling mengerti satu sama lain. Kami berdua adalah pencari—mencari makna dalam kata-kata, dalam cerita yang terpendam, dalam kehidupan yang tak selalu tampak jelas.
Percakapan kami berlanjut, dan aku merasa semakin dekat dengannya. Setiap kata yang dia ucapkan seakan menambah lapisan baru dalam pemahamanku tentang dirinya. Dia bukan hanya seorang mahasiswa sejarah yang serius. Di balik itu, ada seseorang yang juga penuh dengan rasa ingin tahu, seseorang yang mencari kedalaman dalam setiap hal yang ada di sekitarnya, sama seperti aku.
Namun, meskipun percakapan kami semakin intens dan penuh makna, aku mulai merasa cemas. Cemas akan apa yang aku rasakan. Apakah ini hanya perasaan sementara, ataukah ini sesuatu yang lebih? Apa yang harus aku lakukan jika ternyata aku mulai jatuh cinta padanya? Apakah dia merasakan hal yang sama?
Aku menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu, dan dia tersenyum, seolah mengetahui apa yang ada dalam pikiranku. “Kamu tahu, kadang aku merasa bahwa pertemuan ini adalah kebetulan yang terlalu indah untuk dipercaya,” katanya, suaranya serak, hampir seperti berbisik.
Aku merasa jantungku berdegup lebih kencang. “Aku juga merasa begitu,” jawabku, suara aku hampir terdengar ragu.
Dia memandangku lebih lama, matanya seolah menilai. “Mungkin kita memang ditakdirkan untuk bertemu, siapa yang tahu. Mungkin saja ada alasan mengapa kita berada di sini, di perpustakaan ini, di saat yang tepat.”
Aku ingin sekali mengatakan sesuatu yang lebih, sesuatu yang lebih jujur tentang perasaanku, tapi aku merasa terjebak dalam ketidakpastian. Bagaimana jika perasaanku hanya ilusi? Bagaimana jika aku hanya membayangkan sesuatu yang tidak ada? Aku takut untuk berharap terlalu banyak.
Dia tersenyum lagi, seolah mengerti kegelisahanku. “Jangan khawatir, kita bisa berjalan pelan-pelan. Tak perlu terburu-buru.”
Aku menghela napas lega. Mungkin dia memang benar. Kami memang harus berjalan pelan-pelan, mengenal satu sama lain lebih dalam, tanpa terburu-buru, tanpa terlalu mengharapkan sesuatu yang belum pasti.
Hari demi hari berlalu dengan cara yang sama. Kami bertemu di perpustakaan hampir setiap hari, berbicara tentang buku-buku yang kami baca, berbagi pandangan tentang kehidupan, dan secara perlahan, kami mulai membuka diri satu sama lain. Aku mulai belajar tentang masa lalunya, tentang keluarganya, tentang impian-impian yang ia simpan rapat-rapat. Dan dia pun mulai mengetahui lebih banyak tentang diriku—tentang ketakutanku, tentang harapan-harapan yang selama ini aku pendam.
Tapi meskipun kami semakin dekat, aku masih merasa ada dinding tipis yang menghalangi kami untuk lebih dekat lagi. Dinding itu adalah ketakutanku, ketakutan akan perasaan yang mungkin tidak terbalas, ketakutan akan kehilangan sesuatu yang sangat berarti bagiku.
Namun, suatu hari, saat kami sedang duduk di sudut yang sama, di tempat yang sama, dia tiba-tiba menatapku dengan tatapan yang lebih serius. “Aku ingin kita berbicara tentang sesuatu yang lebih pribadi,” katanya, suaranya lebih rendah dari biasanya.
Aku menatapnya, merasa sedikit gugup. “Apa itu?” tanyaku, mencoba untuk tidak terdengar terlalu cemas.
Dia terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku merasa kita sudah cukup mengenal satu sama lain. Aku ingin tahu apa yang kamu rasakan. Sebenarnya, aku mulai merasa ada sesuatu yang lebih antara kita.”
Hatiku berdebar lebih cepat. Ini adalah momen yang aku takuti, namun juga aku dambakan. Aku tidak tahu harus berkata apa. Yang aku tahu hanya satu hal—perasaan ini sudah terlalu kuat untuk disembunyikan lagi.
“Sepertinya aku juga merasakannya,” jawabku akhirnya, dengan suara yang hampir berbisik. “Aku mulai merasa bahwa… kita lebih dari sekadar teman.”
Dia tersenyum, dan aku tahu bahwa kami akhirnya mengungkapkan perasaan yang selama ini kami simpan dalam hati. Perasaan itu bukanlah sebuah kebetulan. Kami berdua mulai jatuh cinta, perlahan, namun pasti. Dan meskipun kami belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, aku merasa bahwa hari itu adalah awal dari sesuatu yang lebih indah—sesuatu yang tak terduga, namun begitu nyata.
Bab 4: Langkah Menuju Cinta
Hari-hari yang berlalu sejak pengakuan kecil kami di sudut perpustakaan terasa penuh dengan harapan baru. Meskipun belum ada kata-kata yang secara tegas mengikat hubungan kami, ada sesuatu yang mulai tumbuh—sebuah perasaan yang tidak bisa lagi diabaikan. Kami semakin sering menghabiskan waktu bersama, bukan hanya di perpustakaan atau kafe kecil tempat pertama kali berbicara, tetapi juga di tempat-tempat sederhana seperti taman kampus, bangku panjang di tepi jalan, atau bahkan sekadar berjalan kaki tanpa tujuan yang pasti.
Setiap momen yang kami lalui terasa berharga. Percakapan-percakapan kami semakin mendalam, seolah-olah ada banyak hal yang ingin kami bagikan satu sama lain. Aku mulai menemukan sisi lain dari dirinya—bukan hanya sebagai sosok yang selama ini kupandang dari kejauhan, tetapi seseorang yang benar-benar mulai mengisi hari-hariku dengan cara yang tak terduga.
Sore yang Tenang di Taman Kampus
Suatu sore setelah kuliah, Arfan mengajakku berjalan-jalan di taman kampus. Langit senja mulai berubah warna, memancarkan cahaya keemasan yang lembut di sela-sela dedaunan. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa kesejukan yang membuat suasana semakin nyaman.
“Kamu tahu,” katanya tiba-tiba, suaranya terdengar lembut di antara gemerisik dedaunan, “aku selalu merasa ada sesuatu yang berbeda di taman ini. Tempat ini seperti menyimpan banyak cerita.”
Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum kecil. “Aku juga merasakannya. Terkadang, ada tempat-tempat yang seolah memiliki energi sendiri, membuat kita merasa tenang tanpa alasan yang jelas.”
Kami melangkah pelan, menikmati kebersamaan tanpa perlu banyak kata. Ada sesuatu yang begitu natural dalam interaksi kami. Tidak ada kepura-puraan, tidak ada ketegangan. Hanya dua orang yang saling berbagi momen sederhana namun bermakna.
Beberapa saat kemudian, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan sesuatu yang sudah lama ingin kusampaikan. “Aku merasa nyaman bersamamu,” ucapku pelan.
Arfan menghentikan langkahnya, menatapku dengan tatapan yang lebih dalam dari biasanya. “Aku juga,” katanya, senyumnya yang hangat membuat jantungku berdegup lebih cepat. “Sepertinya kita memang sudah saling mengenal jauh lebih lama dari yang kita kira.”
Aku mengangguk, merasakan kehangatan menyelimuti hatiku. Mungkin benar, waktu bukanlah satu-satunya ukuran untuk menentukan seberapa dalam seseorang mengenal orang lain. Ada ikatan yang tak bisa dijelaskan dengan logika, sesuatu yang hanya bisa dirasakan.
Kami melanjutkan langkah kami menyusuri jalan setapak yang dipenuhi bunga-bunga kecil yang mulai mekar. Sesekali, dia menoleh ke arahku dan tersenyum. Aku menyadari bahwa sejak pertemuan pertama kami, banyak hal telah berubah. Aku tak lagi merasa canggung di dekatnya, justru semakin nyaman.
Namun, di balik semua kebahagiaan ini, ada sedikit rasa takut yang menyelinap dalam pikiranku. Bagaimana jika ini hanya perasaan sesaat? Bagaimana jika kami terlalu cepat berharap?
Menghadapi Keraguan
Kami akhirnya tiba di sebuah bangku panjang di ujung taman. Kami duduk berdampingan, menikmati pemandangan matahari yang perlahan tenggelam di balik pepohonan. Langit yang tadinya biru kini mulai bergradasi ke warna jingga dan merah muda.
“Aku pernah berpikir,” kata Arfan tiba-tiba, suaranya terdengar lebih serius, “bahwa aku akan menjalani hidup seperti biasa, tanpa terlalu mengharapkan banyak hal. Tapi, sejak pertemuan kita, aku merasa ada sesuatu yang berubah.”
Aku menoleh padanya, mencoba membaca ekspresi wajahnya. “Berubah seperti apa?” tanyaku, penasaran.
Dia menghela napas, seolah mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Aku tidak tahu pasti,” katanya akhirnya. “Tapi aku merasa lebih hidup. Aku mulai menantikan hari esok, mulai merasa ada sesuatu yang bisa membuatku tersenyum tanpa alasan. Dan… aku rasa, itu karena kamu.”
Jantungku berdebar mendengar kata-katanya. Aku menunduk sebentar, mencoba menyembunyikan rona merah yang mulai muncul di pipiku.
“Kamu pikir kita bisa mencoba sesuatu yang lebih dari ini?” tanyaku akhirnya, suaraku terdengar hampir berbisik.
Dia menatapku dalam-dalam, seolah ingin memastikan bahwa aku benar-benar serius. “Aku tidak tahu ke mana ini akan membawa kita,” katanya pelan, “tapi aku ingin mencoba.”
Aku terdiam sejenak, mencerna kata-katanya. Ada ketakutan dalam hatiku, tapi juga ada harapan.
“Kalau begitu, mari kita coba,” kataku akhirnya, suara yang keluar terdengar penuh keyakinan.
Senyumnya mengembang, dan dalam tatapan matanya, aku bisa melihat kehangatan yang membuat semua keraguanku menghilang.
Hari-Hari yang Berbeda
Sejak percakapan itu, segalanya terasa berbeda. Kami mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama, bukan lagi sebagai dua orang yang hanya kebetulan sering bertemu, tetapi sebagai seseorang yang mulai menumbuhkan perasaan di antara mereka.
Kami mengunjungi kafe favorit kami lebih sering, berbagi cerita tentang masa lalu dan impian masa depan. Aku mulai mengenal lebih dalam tentang kehidupannya—tentang keluarganya, tentang mimpinya yang ingin ia kejar, tentang ketakutan dan harapan yang selama ini jarang ia ceritakan kepada orang lain.
Suatu hari, saat kami duduk di tepi danau kecil di dekat kampus, aku menatapnya dan menyadari sesuatu.
“Apa?” tanyanya heran, menyadari tatapanku yang cukup lama tertuju padanya.
Aku tersenyum. “Aku hanya berpikir… bagaimana kita bisa sampai di titik ini.”
Dia ikut tersenyum, lalu menatap air yang berkilauan terkena pantulan cahaya matahari. “Aku juga sering bertanya-tanya. Tapi, mungkin memang ada alasan kenapa kita dipertemukan.”
Aku mengangguk, merasa bahwa kata-katanya memang benar. Terkadang, hidup mempertemukan kita dengan orang-orang yang tidak kita duga, di waktu yang tidak kita rencanakan.
Dan mungkin, ini adalah bagian dari perjalanan yang harus kami jalani.
Membuka Hati untuk Cinta
Malam itu, sebelum tidur, aku kembali merenung. Aku tahu bahwa hubungan ini masih sangat baru, dan masih banyak yang harus kami lalui. Tapi, satu hal yang aku yakini adalah bahwa kami telah melangkah lebih jauh dari sekadar pertemanan.
Kami telah memilih untuk mencoba.
Kami telah membuka hati kami untuk sesuatu yang lebih besar.
Aku menutup mataku dengan senyum kecil di wajahku, berharap bahwa langkah-langkah kami ke depan akan dipenuhi dengan lebih banyak kebahagiaan, lebih banyak momen yang tak terduga, dan lebih banyak cinta yang akan tumbuh di antara kami.*
Bab 5 Menghadapi Ketakutan yang Tersembunyi
Minggu-minggu setelah pengakuan yang kami buat di taman kampus terasa seperti sebuah perjalanan baru yang penuh dengan tantangan dan kebahagiaan. Kami mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama, namun kali ini, tidak hanya di tempat-tempat yang biasa kami kunjungi, tetapi juga mulai merencanakan waktu-waktu khusus yang hanya kami berdua. Kami pergi menonton film di bioskop, berbagi makanan di kafe yang sudah menjadi tempat favorit kami, dan bahkan kadang hanya duduk berlama-lama di taman kampus, berbicara tentang impian dan harapan masa depan. Setiap pertemuan semakin mengikat kami lebih erat, dan aku merasa semakin yakin bahwa kami berdua berada dalam perjalanan yang sama.
Namun, meskipun segalanya tampak begitu indah, aku mulai merasakan adanya bayangan yang menggelayuti pikiranku. Ketakutan yang semula aku coba abaikan mulai muncul kembali. Bagaimana jika aku terlalu terburu-buru? Bagaimana jika dia tidak merasa sama seperti yang aku rasakan? Ketakutan akan kehilangan, ketakutan bahwa perasaan ini mungkin hanya sementara, kembali menghantuiku. Aku tidak bisa menahan diri untuk memikirkannya, dan meskipun aku mencoba untuk tetap tenang, hatiku selalu dipenuhi dengan kegelisahan yang tidak bisa dijelaskan.
Suatu sore, kami duduk di sebuah bangku panjang di taman kampus, tempat yang sering kami datangi sejak pertama kali kami berbicara di sana. Langit mulai berubah warna, menyajikan pemandangan yang indah, namun ada sesuatu dalam diriku yang merasa gelisah. Aku bisa merasakan ketegangan yang ada di udara, meskipun dia tidak mengatakan apapun yang berbeda dari biasanya. Aku hanya bisa menatapnya, mencoba membaca ekspresinya, namun sepertinya dia sedang berusaha menjaga jarak, atau mungkin hanya aku yang merasa begitu.
“Ada apa?” tanyanya tiba-tiba, melihat aku yang termenung dan hanya memandang ke depan tanpa berkata-kata.
Aku terkejut, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Aku hanya mengangkat bahu dan mencoba tersenyum. “Aku hanya berpikir tentang beberapa hal.”
Dia menatapku dengan cermat, matanya penuh perhatian. “Tentang apa?”
Aku menghela napas pelan, mencoba untuk mengungkapkan apa yang sudah lama terpendam di dalam hatiku. “Tentang perasaan ini,” kataku, suara aku terdengar agak cemas. “Aku merasa seperti kita sudah begitu dekat, dan aku benar-benar merasa bahagia, tapi kadang aku takut kalau semua ini hanya sementara. Aku takut aku terlalu berharap, dan aku tidak ingin jika akhirnya aku kecewa.”
Dia diam sejenak, lalu menghela napas pelan. “Aku mengerti perasaanmu,” katanya, suaranya penuh empati. “Aku juga merasakannya. Kita mungkin sudah mulai lebih dekat, tetapi aku tahu kita berdua masih belajar satu sama lain. Aku tidak ingin membuatmu merasa tidak aman, tapi aku ingin kita memberi waktu untuk ini, untuk melihat ke mana perasaan ini akan membawa kita.”
Aku terdiam, meresapi kata-katanya. Ternyata, dia juga merasakan ketakutan yang sama. Kami berdua terjebak dalam ketidakpastian yang sama, namun aku merasa sedikit lebih lega karena akhirnya kami bisa saling berbagi perasaan ini.
“Kita mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan,” lanjutnya, “tetapi aku ingin kita menikmati setiap saat yang kita punya sekarang. Kita tidak perlu memaksakan diri untuk mengetahui semuanya, kita hanya perlu belajar untuk berjalan bersama.”
Aku mengangguk pelan, merasa sedikit lebih tenang. Mungkin kami memang tidak perlu terburu-buru, dan mungkin, perasaan ini akan berkembang dengan cara yang alami, tanpa harus ada tekanan. Kami hanya perlu memberi kesempatan pada diri kami sendiri untuk menjalani semuanya dengan lebih santai, dan membiarkan waktu yang akan mengarahkan kami.
Hari-hari berikutnya, aku mencoba untuk lebih rileks dan menikmati setiap momen yang kami habiskan bersama. Kami mulai lebih sering berbicara tentang hal-hal yang lebih mendalam—tentang masa lalu kami, tentang keluarga, dan tentang apa yang sebenarnya kami harapkan dalam hidup. Percakapan kami menjadi lebih terbuka, lebih jujur, dan aku mulai merasa bahwa kami benar-benar saling memahami. Kami bukan hanya pasangan yang baru saja bertemu, tetapi dua individu yang sedang menjalin sebuah hubungan berdasarkan rasa saling percaya dan penghargaan.
Namun, meskipun semuanya terasa baik-baik saja, ada satu hal yang masih mengganggu pikiranku. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar siap untuk hubungan ini, atau apakah dia hanya berusaha memberikan harapan agar aku merasa lebih baik. Mungkin aku terlalu sensitif, tetapi ada kalanya aku merasakan adanya jarak yang tidak bisa dijelaskan, seperti dia sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Aku mencoba untuk mengabaikannya, tetapi perasaan itu tetap ada, mengganggu pikiranku.
Suatu malam, setelah kami menghabiskan waktu bersama di sebuah kafe, kami berjalan kembali ke kampus. Di jalan yang sepi, aku memutuskan untuk berbicara lebih terbuka tentang apa yang ada dalam pikiranku.
“Apakah kamu benar-benar siap dengan hubungan ini?” tanyaku, suara aku terdengar lebih cemas daripada yang aku inginkan.
Dia menoleh padaku, wajahnya sedikit terkejut dengan pertanyaanku yang tiba-tiba. “Maksudmu?”
“Aku hanya merasa, kadang-kadang, kamu agak menjaga jarak,” jawabku, mencoba untuk menjelaskan perasaan yang sulit aku ungkapkan. “Aku tidak tahu apakah aku terlalu sensitif, tetapi aku merasa ada sesuatu yang tak terungkapkan.”
Dia terdiam, dan aku bisa melihat kilasan keraguan di matanya. “Aku… aku hanya ingin memastikan bahwa kita benar-benar siap,” jawabnya, suara sedikit goyah. “Aku tidak ingin terburu-buru. Kita baru mulai bersama, dan aku merasa kita masih perlu waktu untuk saling mengenal lebih dalam.”
Aku mengangguk pelan, memahami kekhawatirannya. “Aku mengerti. Aku hanya takut jika kita tidak memberi cukup waktu untuk diri kita sendiri.”
Dia tersenyum, meletakkan tangannya di bahuku. “Jangan khawatir. Aku ingin kita berjalan pelan-pelan, bukan karena aku tidak siap, tetapi karena aku ingin kita memastikan kita tidak melewatkan apa-apa. Aku ingin menikmati setiap langkah, dan aku ingin kita saling memberikan ruang untuk tumbuh.”
Aku merasa lega mendengar kata-katanya. Mungkin, aku terlalu cemas dan terburu-buru. Kami memang harus lebih memberi ruang untuk diri kami sendiri, dan tidak terburu-buru dalam menjalin hubungan ini. Cinta, seperti yang dia katakan, bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Kami hanya perlu memberi waktu untuk diri kami sendiri dan untuk hubungan ini berkembang dengan cara yang alami.
Dengan langkah-langkah yang lebih tenang, kami kembali ke kampus, berbicara lebih sedikit malam itu, tetapi aku tahu bahwa kami sudah saling memahami lebih dalam. Kami tidak perlu mengungkapkan segala hal dengan kata-kata. Cukup dengan berbagi perasaan dan memberikan waktu bagi cinta kami untuk tumbuh, itu sudah cukup.