Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

KISAH CINTA DI ATAS PERAHU KECIL

KISAH CINTA DIATAS PRAHU KECIL

SAME KADE by SAME KADE
February 22, 2025
in Cinta Pertama
Reading Time: 17 mins read
KISAH CINTA DI ATAS PERAHU KECIL

Daftar Isi

  • Bab 1  Kisah Cinta di Atas Prahu Kecil
  • Bab 2  Di Bawah Langit yang Sama
  • Bab 3 Jejak yang Tertinggal
  • Bab 4 Mencari Jalan Pulang
  • Bab 5: Menghadap Ke Depan

Bab 1  Kisah Cinta di Atas Prahu Kecil

Mentari pagi baru saja muncul, memancarkan cahaya keemasan yang menyelimuti seluruh permukaan danau. Sejuknya angin pagi membelai wajah, membawa aroma tanah basah yang segar. Di atas perahu kecil yang berayun pelan, aku duduk di sampingnya, menatap wajahnya yang tampak begitu tenang. Matanya yang teduh memantulkan warna biru langit yang cerah, sementara senyum tipis di bibirnya menyimpan banyak cerita yang belum terungkapkan.

Perahu ini adalah saksi bisu dari kisah kita—kisah yang terjalin dengan lembut seperti riak air yang tak henti-hentinya berdesir. Sejak pertama kali kita bertemu di tepi danau ini, aku tahu ada sesuatu yang berbeda di dalam diri kita. Sesuatu yang mengikat, sesuatu yang membuatku merasa bahwa aku telah lama mengenalnya, meski baru beberapa kali kami bertemu.

“Kenapa diam saja?” suara lembutnya mengalihkan perhatianku dari lamunanku. Ia melihatku dengan tatapan yang penuh kehangatan, membuat jantungku berdebar tak terkendali.

Aku tersenyum kecil. “Hanya menikmati suasana,” jawabku pelan.

Dia tertawa ringan. “Jika terus seperti ini, kita akan kehabisan waktu hanya untuk menikmati suasana.”

Aku menoleh padanya, matanya kini sedikit berkilau, penuh semangat. “Aku suka saat kita seperti ini. Di atas perahu kecil ini, jauh dari hiruk pikuk dunia.”

Dia mengangguk setuju, dan kembali menatap horizon danau yang tak berbatas. “Aku juga. Rasanya dunia ini hanya milik kita berdua.”

Waktu berjalan lambat, seolah dunia memang benar-benar berhenti sejenak di atas perahu kecil ini. Di antara riak air yang tenang, ada bisikan angin yang meresap ke dalam hati, membawa perasaan yang tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Rasanya, aku ingin waktu ini berhenti, agar kami bisa selalu berada di sini, berdua, dalam kebersamaan yang sederhana.

Namun, kenyataan tak pernah sesederhana itu. Ada jarak yang tak bisa dihindari, ada masa lalu yang tak mudah dilupakan. Kami berada di dua dunia yang berbeda, dan meskipun perasaan kami terjalin erat, ada hal-hal yang tidak bisa kami lupakan.

Aku meraih tangan kirinya yang terletak di atas kursi perahu, dan menggenggamnya dengan lembut. Tangan kami bertautan, dan untuk sesaat, aku merasa bahwa tidak ada yang bisa mengganggu kedamaian ini. Tidak ada keraguan, tidak ada beban. Hanya ada kami berdua, saling berbagi rasa yang tak terucapkan, saling merasakan kehangatan yang tumbuh perlahan-lahan.

“Pernahkah kamu berpikir, kenapa kita bisa sampai di sini?” tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya, seperti ada keraguan di balik kalimat itu.

Aku menatapnya, berusaha membaca matanya. “Aku tidak tahu. Mungkin karena takdir,” jawabku, meskipun hatiku tahu bahwa kata-kata itu hanyalah pelipur lara. Takdir memang membawa kami bertemu, tetapi perjalanan ini tak semudah itu.

Dia menundukkan kepala, seolah merenung sejenak. “Terkadang aku merasa, meskipun kita selalu berada dekat, ada sesuatu yang menghalangi kita. Sesuatu yang membuat kita tak bisa benar-benar bersama.”

Pernyataan itu menambah berat beban di hati. Aku tahu betul apa yang dia maksud. Ada perbedaan yang besar antara kami, sesuatu yang tak mudah untuk diterima oleh dunia luar. Tapi di atas perahu kecil ini, dunia itu seolah tak ada artinya. Yang ada hanya perasaan ini—perasaan yang semakin kuat seiring berjalannya waktu.

“Apakah kamu akan meninggalkanku?” tanyanya dengan suara gemetar. Sebuah pertanyaan yang seolah datang dari ujung jurang, membuatku terdiam sesaat.

Aku tidak bisa menjawabnya langsung. Pertanyaan itu begitu berat, dan aku tahu jawabannya tak akan mudah diterima. Tetapi, saat aku menatap wajahnya yang penuh harap, aku merasakan sesuatu yang mendalam. Aku ingin berkata bahwa kami akan selalu bersama, bahwa tak ada yang bisa memisahkan kami. Namun, ada kenyataan yang harus dihadapi, kenyataan yang tak bisa dihindari.

“Aku tidak tahu,” jawabku pelan, suara hampir tenggelam oleh desiran angin.

Dia menoleh padaku, dan untuk sesaat, kami saling diam. Tidak ada yang perlu diucapkan lagi. Dalam keheningan itu, kami hanya merasakan kehadiran masing-masing, dan itu sudah cukup. Keputusan tak selalu bisa diambil begitu saja, tetapi hati kami sudah saling terikat.

“Apapun yang terjadi, aku akan selalu mengenang setiap detik yang kita habiskan di sini,” kataku akhirnya, berusaha menenangkan hati kami berdua.

Dia mengangguk, senyum tipis kembali mengembang di bibirnya. “Aku juga. Di atas perahu kecil ini, kita selalu memiliki kenangan yang tak terlupakan.”

Prahu kecil itu terus melaju, perlahan-lahan meninggalkan jejaknya di atas air yang tenang, seperti jejak-jejak kenangan yang akan selalu kita bawa, meski waktu berlalu dan dunia berubah.

Bab 2  Di Bawah Langit yang Sama

Hari-hari berlalu dengan kecepatan yang tidak pernah bisa aku rasakan. Seiring dengan perubahan musim yang datang dan pergi, begitu juga perasaan kami yang terus berkembang. Namun, semakin lama kami bersama, semakin terasa pula jarak yang tak kasat mata. Kami mulai menyadari bahwa meskipun banyak hal yang tak terucapkan di antara kami, dunia luar tetap berputar, mengubah segalanya dengan cara yang tak bisa kami kendalikan.

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana angin sore itu bertiup begitu dingin, saat kami duduk berdampingan di sebuah bangku kayu di tepi danau, sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku menggenggam tanganmu dengan erat, berusaha menyalurkan rasa tenang yang datang dari pertemuan sederhana ini.

“Apakah kamu pernah merasa, ada yang hilang?” kata-katamu menghentikan lamunanku. Suaramu terasa lebih dalam dari sebelumnya, seolah menanggung beban yang berat.

Aku menoleh padamu, menemukan tatapanmu yang penuh arti. Ada keraguan, ada kebingungan, dan aku bisa merasakannya meskipun hanya dari sorot matamu. Tak ada kata-kata yang mudah untuk menjelaskan semuanya, tetapi aku tahu betul apa yang kamu maksud.

“Hilang?” tanyaku pelan. “Apa yang kamu maksud?”

“Rasa… Rasa seperti sesuatu yang dulu pernah kita miliki, tapi kini entah di mana,” jawabmu dengan suara serak. “Aku merasa ada sesuatu yang berubah, dan aku tidak tahu harus bagaimana.”

Aku menatapmu dalam-dalam, mencoba menangkap setiap kata yang keluar dari bibirmu. Rasanya, aku juga merasakan hal yang sama. Seperti ada sesuatu yang terlepas dari genggaman kita, seperti ada angin yang membawa pergi segalanya tanpa kita sadari. Waktu yang berlalu seolah membawa perubahan yang tak terhindarkan, dan kami hanya bisa berusaha untuk tetap bertahan di tengah perubahan itu.

“Aku merasa hal yang sama,” aku akhirnya mengungkapkan isi hatiku. “Terkadang aku merasa kita berada di persimpangan jalan, dan kita harus memilih arah yang tepat.”

Kamu menunduk, sejenak kehilangan pandangan. Aku tahu bahwa kamu pun merasakan beratnya pilihan yang harus diambil. Meskipun kami begitu dekat, dunia kami sangat berbeda. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, banyak hal yang harus dilepaskan.

“Tapi aku tidak tahu apakah aku siap untuk melepaskan apa yang kita punya,” katamu lirih, hampir tidak terdengar. “Aku takut jika kita terus maju, kita akan saling menyakiti.”

Kata-katamu mengiris hatiku. Aku tahu betul apa yang kamu maksud. Kami sudah terlalu jauh terjerat dalam perasaan ini, dan semakin dalam kami tenggelam, semakin sulit untuk keluar. Tetapi, aku juga tahu bahwa dunia kami tidak semudah itu. Ada keluarga, ada harapan, ada kehidupan yang harus dijalani.

“Kenapa kita tidak bisa bersama?” tanyamu kemudian, dengan suara yang hampir tak terdengar. “Kenapa kita selalu berada di dua dunia yang berbeda?”

Aku menggenggam tanganmu lebih erat, berusaha memberikan ketenangan meskipun hatiku sendiri terasa kacau. “Karena kadang-kadang, meskipun kita ingin berada di satu tempat, ada hal-hal yang lebih besar yang menghalangi kita,” jawabku pelan.

Kamu menatapku, dan untuk sesaat, kami berdua terdiam. Tidak ada kata-kata yang bisa menjelaskan apa yang kami rasakan. Hanya ada keheningan, dan di dalamnya, aku bisa merasakan betapa beratnya perasaan ini. Kami terjebak dalam sebuah hubungan yang tidak bisa disebut sebagai hubungan, karena ada terlalu banyak batasan yang tidak bisa dilanggar. Kami terjebak dalam sebuah ruang antara yang tidak pernah benar-benar menjadi milik kami.

Langit senja mulai berubah warna, dari biru terang menjadi oranye yang hangat. Danau di hadapan kami mulai berkilau, mencerminkan warna langit yang berubah seiring dengan berjalannya waktu. Di bawah langit yang sama, kami merasa seolah-olah berada dalam dunia yang berbeda. Namun, meskipun begitu, ada sesuatu yang mengikat kami di sini—di antara riak air dan bisikan angin, ada perasaan yang tak bisa disangkal.

“Apakah kita akan selalu seperti ini?” tanyamu tiba-tiba, memecah keheningan.

Aku menghela napas panjang, memikirkan kata-kata yang tepat. “Aku tidak tahu. Tapi aku tahu satu hal—aku akan selalu mengingat setiap detik yang kita habiskan bersama.”

Kamu tersenyum tipis, senyum yang tidak sepenuhnya bahagia, tetapi juga tidak sepenuhnya sedih. “Aku juga.”

Dan di bawah langit yang semakin gelap, kami duduk dalam kebersamaan yang penuh makna. Tak ada jawaban pasti, tak ada harapan yang jelas. Hanya ada perasaan yang tumbuh di antara kami, seperti benih yang tumbuh dalam tanah yang keras. Tak ada yang tahu apakah itu akan mekar menjadi bunga yang indah atau layu sebelum waktunya.

Sore itu, di bawah langit yang sama, kami merasakan betapa rumitnya perasaan ini. Cinta yang tak terucapkan, keraguan yang menyelimuti, dan kenyataan yang sulit diterima. Kami tahu bahwa perjalanan kami masih panjang, dan mungkin, kami tidak akan selalu bisa berjalan bersama. Namun, satu hal yang pasti: di setiap langkah yang kami ambil, kami akan selalu memiliki kenangan ini—kenangan tentang cinta yang tumbuh di bawah langit yang sama, meskipun terpisah oleh dunia yang berbeda.

Bab 3 Jejak yang Tertinggal

Pagi itu, hujan turun dengan deras. Titik-titik air yang jatuh dari langit seperti menggambar pola-pola tak beraturan di atas permukaan danau, yang kini tampak gelap dan muram. Aku duduk sendiri di tepi danau, menatap ombak yang tercipta oleh hembusan angin dan hujan yang tak henti-hentinya. Setiap tetes hujan yang jatuh terasa seperti beban di hatiku—berat, dan tak bisa ditahan.

Aku tidak tahu berapa lama aku telah berada di sini, tetapi waktu seakan berhenti begitu aku melihat bayanganmu mendekat. Langkah kakimu yang ringan menapaki jalan setapak yang basah, rambutmu yang basah kuyup tergerai di bawah hujan, dan matamu yang masih memancarkan tatapan yang sama—tatapan penuh keraguan.

Aku tahu kamu datang untuk berbicara. Kami selalu punya cara untuk berbicara, meskipun seringkali kata-kata itu terasa sulit untuk diucapkan.

“Kenapa kamu di sini?” tanyaku tanpa menoleh. Suaraku terdengar lebih berat dari biasanya.

“Aku ingin menemui kamu,” jawabmu singkat, berdiri di sampingku. Hujan yang semakin deras membuat tubuh kita saling bersentuhan, dan dalam keheningan itu, aku merasakan kedekatan yang tidak bisa lagi dipungkiri.

Aku menatap danau yang semakin suram. “Kenapa sekarang? Kenapa setelah semua waktu yang kita sia-siakan?”

Kamu terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Karena aku merasa, kalau kita tidak membicarakan ini, kita akan terus terjebak dalam kebingungan yang tidak pernah berujung. Aku tidak bisa terus begini, hidup dengan perasaan yang tak jelas. Aku takut kehilanganmu, tapi aku juga takut kita tidak akan pernah bisa benar-benar bersama.”

Perkataanmu membuat dadaku terasa sesak. Aku tahu benar perasaanmu, karena aku juga merasakannya. Namun, kenyataan selalu lebih sulit dari apa yang kita bayangkan. Kami hidup dalam dunia yang tidak bisa kami kendalikan, terikat oleh keadaan yang jauh lebih besar dari sekadar cinta.

“Aku juga takut,” aku mengakui dengan suara pelan. “Tapi kita tahu ada banyak hal yang menghalangi kita. Kita tahu kita tak bisa begitu saja melawan kenyataan.”

Kamu menghela napas panjang, dan akhirnya duduk di sampingku. “Aku tahu. Aku tahu ada perbedaan yang terlalu besar di antara kita. Tapi itu tidak mengubah apa yang aku rasakan.”

Aku menunduk, berusaha menenangkan diriku. Perasaan ini begitu kuat, begitu tulus, namun kenyataan selalu mematahkan setiap harapan. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, banyak keputusan yang harus dibuat, dan aku tahu bahwa kita harus siap untuk menghadapinya.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya kamu, seolah mencari jawaban yang bisa membuat semuanya lebih mudah.

Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata itu selalu terasa hilang saat aku mencoba mengungkapkan apa yang sebenarnya aku inginkan. Aku ingin berkata bahwa kita bisa bersama, bahwa tidak ada yang bisa memisahkan kita. Namun, aku tahu itu bukanlah kenyataan. Ada banyak hal yang tidak bisa kami ubah, banyak hal yang tak bisa kami lawan.

“Kita harus berhenti,” kataku akhirnya, dengan suara yang hampir tak terdengar. “Kita harus berhenti berharap, berhenti mencari alasan untuk tetap bersama.”

Kamu menatapku dengan wajah yang sulit untuk dibaca, seperti ada ribuan pertanyaan yang tersisa. “Kenapa?” suara kamu terdengar patah.

“Karena meskipun kita ingin bersama, ada banyak hal yang lebih penting daripada hanya sekadar perasaan kita. Ada tanggung jawab, ada kehidupan yang harus kita jalani, dan terkadang, kita harus melepaskan sesuatu yang kita cintai demi kebaikan yang lebih besar.”

Kata-kataku membuatmu terdiam. Aku bisa melihat kesedihan yang mendalam di matamu, kesedihan yang tak bisa aku ubah. Namun, di balik kesedihan itu, ada pemahaman. Kita tahu bahwa jalan kita tidak bisa terus bersinggungan. Kita sudah terlalu lama terjebak dalam perasaan yang tak bisa diungkapkan, dan mungkin ini adalah saatnya untuk melepaskannya.

“Aku akan selalu mengingatmu,” kata kamu dengan suara yang serak. “Aku akan selalu mengingat setiap detik yang kita habiskan bersama.”

Aku menatapmu, mencoba menahan air mata yang hampir keluar. “Aku juga akan selalu mengingatmu. Tapi kita harus belajar untuk melangkah maju. Kita harus belajar untuk melepaskan.”

Hujan semakin deras, dan aku merasa dunia ini semakin jauh dari jangkauanku. Semua yang pernah ada di antara kami, semua kenangan yang tercipta di atas perahu kecil itu, kini terasa seperti mimpi yang tak bisa digapai. Kami sudah berada di persimpangan jalan yang tak bisa lagi dihindari. Mungkin ini adalah akhir dari perjalanan kita, tetapi dalam hatiku, aku tahu bahwa kita akan selalu membawa kenangan ini, kenangan tentang cinta yang pernah ada.

Dengan perlahan, kamu bangkit dari tempat dudukmu, dan berjalan menjauh. Aku tetap diam, menatap punggungmu yang semakin jauh, menatap jejak langkahmu yang semakin memudar. Hujan masih turun dengan deras, tetapi kali ini, aku tidak merasa ada yang menghalangi. Tidak ada kata-kata yang harus diucapkan lagi. Kami sudah mencapai titik yang tak bisa lagi dihindari.

Dan meskipun kami berpisah, aku tahu bahwa jejak yang tertinggal antara kami akan tetap ada, selamanya. Jejak yang tak akan pernah bisa dihapus, jejak yang akan selalu mengingatkan kami pada setiap detik yang telah kita bagi bersama.

Aku tetap duduk di sana, di bawah hujan yang tak henti-hentinya jatuh, dengan hati yang penuh kenangan. Dan meskipun kami kini berada di dunia yang berbeda, aku tahu bahwa di mana pun kami berada, kita akan selalu memiliki kenangan itu—kenangan yang tak akan pernah terlupakan, kenangan yang tetap hidup di antara riak air dan hujan yang turun.

**Bab 3: Jejak yang Tertinggal**

Pagi itu, hujan turun dengan deras. Titik-titik air yang jatuh dari langit seperti menggambar pola-pola tak beraturan di atas permukaan danau, yang kini tampak gelap dan muram. Aku duduk sendiri di tepi danau, menatap ombak yang tercipta oleh hembusan angin dan hujan yang tak henti-hentinya. Setiap tetes hujan yang jatuh terasa seperti beban di hatiku—berat, dan tak bisa ditahan.

Aku tidak tahu berapa lama aku telah berada di sini, tetapi waktu seakan berhenti begitu aku melihat bayanganmu mendekat. Langkah kakimu yang ringan menapaki jalan setapak yang basah, rambutmu yang basah kuyup tergerai di bawah hujan, dan matamu yang masih memancarkan tatapan yang sama—tatapan penuh keraguan.

Aku tahu kamu datang untuk berbicara. Kami selalu punya cara untuk berbicara, meskipun seringkali kata-kata itu terasa sulit untuk diucapkan.

“Kenapa kamu di sini?” tanyaku tanpa menoleh. Suaraku terdengar lebih berat dari biasanya.

“Aku ingin menemui kamu,” jawabmu singkat, berdiri di sampingku. Hujan yang semakin deras membuat tubuh kita saling bersentuhan, dan dalam keheningan itu, aku merasakan kedekatan yang tidak bisa lagi dipungkiri.

Aku menatap danau yang semakin suram. “Kenapa sekarang? Kenapa setelah semua waktu yang kita sia-siakan?”

Kamu terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Karena aku merasa, kalau kita tidak membicarakan ini, kita akan terus terjebak dalam kebingungan yang tidak pernah berujung. Aku tidak bisa terus begini, hidup dengan perasaan yang tak jelas. Aku takut kehilanganmu, tapi aku juga takut kita tidak akan pernah bisa benar-benar bersama.”

Perkataanmu membuat dadaku terasa sesak. Aku tahu benar perasaanmu, karena aku juga merasakannya. Namun, kenyataan selalu lebih sulit dari apa yang kita bayangkan. Kami hidup dalam dunia yang tidak bisa kami kendalikan, terikat oleh keadaan yang jauh lebih besar dari sekadar cinta.

“Aku juga takut,” aku mengakui dengan suara pelan. “Tapi kita tahu ada banyak hal yang menghalangi kita. Kita tahu kita tak bisa begitu saja melawan kenyataan.”

Kamu menghela napas panjang, dan akhirnya duduk di sampingku. “Aku tahu. Aku tahu ada perbedaan yang terlalu besar di antara kita. Tapi itu tidak mengubah apa yang aku rasakan.”

Aku menunduk, berusaha menenangkan diriku. Perasaan ini begitu kuat, begitu tulus, namun kenyataan selalu mematahkan setiap harapan. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, banyak keputusan yang harus dibuat, dan aku tahu bahwa kita harus siap untuk menghadapinya.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya kamu, seolah mencari jawaban yang bisa membuat semuanya lebih mudah.

Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata itu selalu terasa hilang saat aku mencoba mengungkapkan apa yang sebenarnya aku inginkan. Aku ingin berkata bahwa kita bisa bersama, bahwa tidak ada yang bisa memisahkan kita. Namun, aku tahu itu bukanlah kenyataan. Ada banyak hal yang tidak bisa kami ubah, banyak hal yang tak bisa kami lawan.

“Kita harus berhenti,” kataku akhirnya, dengan suara yang hampir tak terdengar. “Kita harus berhenti berharap, berhenti mencari alasan untuk tetap bersama.”

Kamu menatapku dengan wajah yang sulit untuk dibaca, seperti ada ribuan pertanyaan yang tersisa. “Kenapa?” suara kamu terdengar patah.

“Karena meskipun kita ingin bersama, ada banyak hal yang lebih penting daripada hanya sekadar perasaan kita. Ada tanggung jawab, ada kehidupan yang harus kita jalani, dan terkadang, kita harus melepaskan sesuatu yang kita cintai demi kebaikan yang lebih besar.”

Kata-kataku membuatmu terdiam. Aku bisa melihat kesedihan yang mendalam di matamu, kesedihan yang tak bisa aku ubah. Namun, di balik kesedihan itu, ada pemahaman. Kita tahu bahwa jalan kita tidak bisa terus bersinggungan. Kita sudah terlalu lama terjebak dalam perasaan yang tak bisa diungkapkan, dan mungkin ini adalah saatnya untuk melepaskannya.

“Aku akan selalu mengingatmu,” kata kamu dengan suara yang serak. “Aku akan selalu mengingat setiap detik yang kita habiskan bersama.”

Aku menatapmu, mencoba menahan air mata yang hampir keluar. “Aku juga akan selalu mengingatmu. Tapi kita harus belajar untuk melangkah maju. Kita harus belajar untuk melepaskan.”

Hujan semakin deras, dan aku merasa dunia ini semakin jauh dari jangkauanku. Semua yang pernah ada di antara kami, semua kenangan yang tercipta di atas perahu kecil itu, kini terasa seperti mimpi yang tak bisa digapai. Kami sudah berada di persimpangan jalan yang tak bisa lagi dihindari. Mungkin ini adalah akhir dari perjalanan kita, tetapi dalam hatiku, aku tahu bahwa kita akan selalu membawa kenangan ini, kenangan tentang cinta yang pernah ada.

Dengan perlahan, kamu bangkit dari tempat dudukmu, dan berjalan menjauh. Aku tetap diam, menatap punggungmu yang semakin jauh, menatap jejak langkahmu yang semakin memudar. Hujan masih turun dengan deras, tetapi kali ini, aku tidak merasa ada yang menghalangi. Tidak ada kata-kata yang harus diucapkan lagi. Kami sudah mencapai titik yang tak bisa lagi dihindari.

Dan meskipun kami berpisah, aku tahu bahwa jejak yang tertinggal antara kami akan tetap ada, selamanya. Jejak yang tak akan pernah bisa dihapus, jejak yang akan selalu mengingatkan kami pada setiap detik yang telah kita bagi bersama.

Aku tetap duduk di sana, di bawah hujan yang tak henti-hentinya jatuh, dengan hati yang penuh kenangan. Dan meskipun kami kini berada di dunia yang berbeda, aku tahu bahwa di mana pun kami berada, kita akan selalu memiliki kenangan itu—kenangan yang tak akan pernah terlupakan, kenangan yang tetap hidup di antara riak air dan hujan yang turun.

Bab 4 Mencari Jalan Pulang

Waktu berlalu begitu cepat, dan setiap detik yang kami lewati kini terasa seperti kenangan yang semakin memudar. Setahun setelah pertemuan terakhir kami di tepi danau, aku masih sering mengunjungi tempat itu—tempat di mana semua kenangan indah dan berat itu dimulai. Danau yang dulu menjadi saksi bisu perjalanan kami kini tampak lebih sepi, lebih sunyi. Tidak ada lagi perahu kecil yang berayun pelan, tidak ada lagi bisikan angin yang membawa tawa kami. Yang ada hanya aku dan ingatan yang masih membekas di hati.

Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang kini tampak lebih sunyi daripada sebelumnya, langkahku terasa berat. Hujan yang sering turun selama beberapa minggu terakhir membuat suasana semakin melankolis, seolah mengingatkan aku pada semua yang telah hilang. Aku berhenti sejenak di tepi danau, menatap permukaan air yang kini tampak lebih gelap, dipenuhi bayangan langit yang mendung. Semua tampak seperti mimpi yang tak pernah benar-benar terjadi.

Setiap kali aku datang ke sini, aku merasa seolah-olah aku sedang mencari sesuatu yang telah hilang. Aku ingin menemukan kembali perasaan itu, rasa yang dulu begitu kuat, begitu nyata. Tapi kenyataan mengatakan lain. Perasaan itu telah terlupakan, dan meskipun aku masih mencari, aku tahu bahwa itu tidak akan pernah kembali.

Tiba-tiba, langkah seseorang terdengar mendekat, dan aku menoleh. Aku melihat sosok yang sangat aku kenal, meskipun sudah lama tak bertemu. Dia berdiri beberapa langkah di depanku, matanya memancarkan ketegasan yang tak biasa, namun ada kehangatan yang masih tersisa di sana.

“Aku tahu kamu akan datang ke sini,” katanya dengan suara yang sudah lama tak ku dengar. Suaranya terasa asing, namun begitu akrab.

Aku terdiam sejenak, tidak tahu harus berkata apa. Ada perasaan yang menggelora di dalam hatiku, perasaan yang sulit dijelaskan. Semua kenangan itu datang kembali, seolah baru kemarin kami berada di sini, berdua, berbicara tentang masa depan yang penuh harapan.

“Kamu baik-baik saja?” tanyanya lagi, lebih lembut.

Aku mengangguk perlahan, meskipun hatiku terasa sesak. “Aku baik-baik saja. Hanya… sering mengingat hal-hal yang sudah berlalu.”

Dia tersenyum tipis, senyum yang dulu selalu bisa membuat hatiku tenang. “Aku tahu. Aku juga sering merasa begitu.”

Kami berdiri dalam keheningan, menatap danau yang tampak seperti cermin yang memantulkan segala perasaan yang terpendam. Waktu seolah berhenti, dan aku merasakan perasaan yang sama seperti dulu. Namun, kali ini, aku tahu bahwa kami tidak bisa kembali ke masa lalu. Apa yang telah terjadi, telah terjadi.

“Aku tidak bisa melupakanmu,” kataku akhirnya, suara serak. Kata-kata itu keluar begitu saja, tanpa bisa kutahan.

Dia menatapku dalam-dalam, seolah mencerna setiap kata yang keluar dari bibirku. “Aku tahu. Aku juga tidak bisa melupakanmu. Tapi kita tahu, kita sudah memilih jalan kita masing-masing.”

“Apa yang kita pilih? Apa yang benar-benar kita pilih?” tanyaku, suara hampir tidak terdengar. “Aku merasa seperti… seperti terjebak dalam sesuatu yang tidak bisa aku hindari.”

Dia menghela napas panjang, menatap ke arah horizon yang gelap. “Kita tidak bisa memaksakan sesuatu yang memang bukan untuk kita. Walaupun perasaan itu ada, walaupun kita saling mencintai, ada hal-hal yang lebih besar yang harus kita pertimbangkan.”

Aku tahu apa yang dia maksud. Kami pernah membicarakan hal ini berulang kali, namun kenyataan selalu menjadi penghalang terbesar. Ada perbedaan yang begitu besar di antara kami, perbedaan yang tak bisa diabaikan begitu saja. Kami datang dari dua dunia yang berbeda, dan meskipun perasaan itu begitu kuat, dunia kami tidak bisa bersatu begitu saja.

“Tapi, aku merasa ada sesuatu yang masih belum selesai,” kataku, memandang matanya dengan penuh keraguan. “Aku merasa kita belum benar-benar mengakhiri semuanya.”

Dia menggelengkan kepala pelan, wajahnya terlihat penuh penyesalan. “Kita tidak bisa terus menghidupkan sesuatu yang sudah tidak bisa bertahan. Kita harus belajar untuk melepaskan.”

Kata-katanya seperti pisau yang menembus hati. Aku tahu dia benar, tapi perasaan ini terlalu kuat untuk dibiarkan pergi begitu saja. Kami sudah terikat terlalu lama, dan meskipun kami berusaha untuk melepaskan, ada bagian dari diri kami yang tidak bisa menerima kenyataan itu.

“Tapi bagaimana jika kita salah? Bagaimana jika kita bisa menemukan cara untuk bersama?” tanyaku dengan suara bergetar. “Aku tidak tahu bagaimana caranya melepaskanmu.”

Dia menatapku dengan tatapan penuh pengertian. “Aku tahu, dan aku juga tidak tahu bagaimana cara melepaskanmu. Tapi terkadang, kita harus berani melepaskan orang yang kita cintai demi kebahagiaan yang lebih besar.”

Aku menunduk, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di mataku. “Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya. Aku tidak tahu bagaimana hidup tanpa kamu.”

Dia meraih tanganku, menggenggamnya dengan lembut. “Aku akan selalu ada untukmu, meskipun kita tidak bersama. Kenangan kita, perasaan kita, itu tidak akan hilang. Tapi kita harus belajar untuk mencari jalan kita sendiri.”

Perkataan itu seperti secercah cahaya di tengah kegelapan. Mungkin ini bukan akhir yang kita inginkan, tetapi mungkin ini adalah akhir yang kita butuhkan. Kami tidak bisa terus berlarut-larut dalam perasaan yang tak pasti. Kami harus belajar untuk melepaskan dan mencari jalan masing-masing, meskipun itu berarti kita harus berpisah.

“Aku akan mencoba,” kataku akhirnya, dengan suara yang lebih tegas. “Aku akan mencoba untuk melepaskan, meskipun itu sangat sulit.”

Dia tersenyum dengan penuh harapan, meskipun ada kesedihan yang masih membayang di matanya. “Aku percaya kamu bisa.”

Kami berdiri di sana, berdua, di bawah langit yang mulai mendung. Mungkin tidak ada jawaban pasti untuk semuanya, tapi aku tahu bahwa ini adalah langkah pertama untuk mencari kedamaian. Kami telah melewati begitu banyak hal bersama, dan meskipun kami harus berpisah, kenangan tentang cinta yang kami miliki akan tetap hidup, selamanya.

Bab 5: Menghadap Ke Depan

 

Waktu terus berjalan, meninggalkan jejak yang tak kasatmata di setiap sudut kehidupanku. Beberapa bulan telah berlalu sejak pertemuan terakhir itu, namun rasanya seperti hanya kemarin aku mendengar suaramu, melihat senyummu, dan merasakan kehadiranmu di sisiku.

Aku mencoba menjalani hari-hari seperti biasa, bangun pagi, bekerja, bertemu teman-teman, bahkan menyibukkan diri dengan berbagai hal yang dulu aku sukai. Tapi di balik rutinitas yang terlihat normal, ada sesuatu yang kosong, sesuatu yang tidak bisa sepenuhnya aku abaikan. Aku hidup, tetapi aku tidak benar-benar merasa hidup.

Ada saat-saat di mana aku merasa baik-baik saja. Aku tertawa bersama teman-teman, bercanda seperti dulu, dan menjalani hariku tanpa beban yang terlalu berat. Namun, ada pula saat-saat ketika kesunyian menyerang begitu saja—seperti malam-malam yang terasa lebih panjang dari seharusnya atau pagi-pagi ketika aku terbangun dengan perasaan hampa.

Aku mencoba menghindari kenangan tentangmu, tetapi semakin aku berusaha melupakannya, semakin sering bayanganmu muncul dalam pikiranku. Aku lelah melawan, lelah berpura-pura bahwa aku telah benar-benar melupakan segalanya.

Akhirnya, setelah sekian lama, aku memutuskan untuk kembali ke tempat itu—danau yang selalu mengingatkanku padamu.

Aku tidak tahu mengapa aku ingin kembali ke sana. Mungkin aku ingin menguji diriku sendiri, melihat apakah aku sudah benar-benar bisa melepaskan. Atau mungkin, jauh di dalam hatiku, aku masih mencari jawaban yang tidak pernah aku dapatkan.

Perjalanan menuju danau terasa berbeda. Dulu, perjalanan ini selalu terasa menyenangkan, penuh dengan canda dan tawa. Kini, rasanya seperti perjalanan menuju masa lalu yang tidak bisa kuubah. Setiap pohon yang kulewati, setiap jalan setapak yang kulewati, mengingatkanku pada saat-saat kita bersama.

Ketika akhirnya aku tiba, aku berdiri di tepi danau, menghirup udara dalam-dalam, membiarkan angin sepoi-sepoi menyentuh wajahku. Air danau berkilauan diterpa sinar matahari sore, tetapi tidak ada lagi suara tawa yang mengalun di udara, tidak ada lagi perahu kecil yang berlayar pelan. Yang tersisa hanyalah kesunyian dan aku yang berdiri di tengah-tengahnya.

Aku berjalan ke batu besar di tepi danau, tempat kita dulu sering duduk dan berbicara tentang banyak hal. Aku masih ingat betapa nyaman rasanya duduk di sini bersamamu, berbagi impian, bercanda tentang masa depan, dan mengukir kenangan yang dulu terasa abadi.

Aku duduk, membiarkan diriku tenggelam dalam ingatan. Rasanya seolah-olah aku bisa mendengar suaramu di antara desir angin, bisa melihat bayangan kita berdua di atas permukaan air. Aku tahu ini hanyalah kenangan, tapi kenangan itu terasa begitu nyata.

Aku menarik napas panjang. Aku harus menerima kenyataan bahwa segalanya telah berubah. Bahwa tidak peduli seberapa besar aku merindukan masa lalu, aku tidak bisa kembali ke sana.

Tepat saat aku mencoba menguatkan hati, aku melihat seseorang berdiri di seberang danau. Siluetnya terlihat samar dalam cahaya sore, tetapi ada sesuatu yang familiar dalam caranya berdiri, dalam bentuk tubuhnya, dalam cara dia menatap air danau dengan pandangan yang penuh perasaan.

Aku mengerjapkan mata, mencoba memastikan bahwa ini bukan sekadar ilusi yang diciptakan oleh pikiranku yang dipenuhi kenangan.

Dan kemudian, dia berbalik.

Jantungku berhenti sejenak.

Itu dia.

Aku tidak tahu harus merasa bagaimana. Seharusnya aku sudah siap menghadapi kemungkinan bertemu dengannya lagi, tetapi nyatanya, tidak ada persiapan yang cukup untuk menghadapi perasaan yang kembali muncul dengan begitu kuat.

Dia melihatku.

Tatapan kami bertemu.

Ada keheningan panjang di antara kami, seolah-olah waktu berhenti, membiarkan hanya ada kami berdua di dunia ini. Aku melihat keterkejutan di matanya, mungkin sama seperti yang tergambar di wajahku.

Dia tersenyum samar, langkahnya mulai mendekat, dan aku hanya bisa diam di tempat, menunggu.

“Tak disangka kita bertemu di sini,” katanya akhirnya, suaranya lembut, hampir seperti bisikan yang dibawa angin.

Aku menelan ludah, mencoba mengumpulkan kata-kata. “Iya, sudah lama.”

Dia mengangguk, seakan memahami beratnya kata-kata yang baru saja kuucapkan. “Aku tidak tahu kamu masih sering datang ke sini.”

Aku menggeleng. “Aku juga tidak tahu kenapa aku datang ke sini hari ini.”

Dia tersenyum kecil, tetapi ada kesedihan yang tersembunyi di balik senyumnya. “Mungkin, kita masih mencari sesuatu yang belum kita temukan.”

Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan.

Aku ingin mengatakan bahwa aku sudah melanjutkan hidupku, bahwa aku sudah baik-baik saja tanpa dia. Tetapi aku tahu itu tidak sepenuhnya benar.

“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku akhirnya, mencoba mengalihkan kegugupan yang merayapi tubuhku.

Dia terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang seharusnya sudah aku katakan sejak lama.”

Aku menatapnya dengan penuh keraguan. Aku tidak tahu apakah aku siap mendengar apa pun yang ingin dia katakan.

“Aku tidak pernah menyesali apa pun tentang kita,” katanya pelan. “Aku tahu kita telah membuat keputusan masing-masing, dan aku tidak ingin mengubahnya. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menghargai setiap momen yang kita lalui bersama.”

Aku merasa hatiku mencelos.

Aku ingin marah karena kata-kata itu datang terlambat. Aku ingin menangis karena aku tahu kata-kata itu tulus. Aku ingin berteriak bahwa aku juga merasakan hal yang sama, tetapi aku tidak bisa.

“Aku juga tidak menyesali apa pun,” kataku akhirnya, suaraku hampir bergetar. “Aku hanya… berharap semuanya bisa berjalan dengan cara yang berbeda.”

Dia tersenyum kecil. “Aku juga.”

Kami terdiam, membiarkan keheningan berbicara untuk kami.

Lalu, dia mengambil langkah mundur, seolah memberi jarak antara kami.

“Aku rasa, ini saatnya aku benar-benar pergi,” katanya dengan suara lembut. “Terima kasih… untuk semuanya.”

Aku mengangguk, tidak bisa berkata-kata.

Aku melihatnya berbalik, melangkah pergi dengan langkah yang tenang tetapi terasa begitu berat di mataku. Aku ingin menghentikannya, ingin mengatakan sesuatu yang lebih, tetapi aku tahu ini adalah bagian dari perjalanan kami yang harus diakhiri.

Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang dari pandanganku.

Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan angin menyapu wajahku, membiarkan perasaan yang tersisa mengalir pergi bersama angin.

Mungkin, ini memang saatnya aku melepaskan.

Mungkin, aku akhirnya bisa benar-benar melanjutkan hidupku.

Aku menatap langit yang mulai berubah warna, mencerminkan perubahan dalam hatiku. Aku tahu bahwa perjalanan ini belum selesai, bahwa aku masih harus menemukan jalanku sendiri. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa lebih ringan.

Aku berdiri, mengusap air mata yang tidak kusadari telah mengalir di pipiku.

Dengan langkah yang lebih pasti, aku berjalan pergi dari danau itu, menuju masa depan yang masih penuh dengan kemungkinan.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di depan sana, tetapi aku siap menghadapinya.

Karena aku tahu, ini adalah awal yang baru.

Dan aku siap untuk melangkah ke depan.***

—————–THE END————

Source: DELA SAYFA
Tags: #Cinta Tak Terungkapkan #Kenangan Cinta #PePerjaang# Palanan Emosionalmisahan yhit Cinta yang Hilang
Previous Post

SETIAP LANGKAH MENJAUH,HATIKU SEMAKIN DEKAT

Next Post

CINTA KITA TANPA BATAS JARAK

Related Posts

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

April 30, 2025
DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

April 29, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 28, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 27, 2025
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

April 26, 2025
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

April 25, 2025
Next Post
CINTA KITA TANPA BATAS JARAK

CINTA KITA TANPA BATAS JARAK

CINTA DI SUDUT PERPUSTAKAAN

CINTA DI SUDUT PERPUSTAKAAN

RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id