Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

TERAS CINTA DI PESISIR

TERAS CINTA DI PESISIR

SAME KADE by SAME KADE
January 30, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 29 mins read
TERAS CINTA DI PESISIR

Daftar Isi

  • Bab 1  Perkenalan yang Tertunda
  • Bab 2  Kenangan yang Tersisa
  • Bab 3  Pesan-Pesan yang Mengisi Kekosongan
  • Bab 4  Keraguan yang Menghantui
  • Bab 5  Harapan yang Menguat
  • Bab 6  Menanti di Teras Cinta
  • Bab 7  Pertemuan yang Mengubah Segalanya
  • Bab 8  Cinta yang Menemukan Jalan
  • Bab 9  Menjaga Cinta di Pesisir

Bab 1  Perkenalan yang Tertunda

Pagi itu, angin laut menghembuskan hawa sejuk ke wajah Alya saat ia duduk di kafe pinggir pantai, menatap langit yang masih tampak pucat. Udara yang membawa aroma asin itu terasa begitu menenangkan, seperti undangan untuk melupakan sejenak segala kepenatan yang menumpuk dalam hidupnya. Alya baru saja pindah ke kota pesisir ini, mencari tempat baru untuk melanjutkan hidup setelah berbulan-bulan bekerja di ruang sepi di rumahnya yang lama. Ia butuh perubahan, dan pesisir ini menawarkan ketenangan yang sulit ia temui di kota besar.

Ia membuka laptopnya dan mulai mengetikkan kalimat demi kalimat untuk artikel yang sedang ia kerjakan. Sesekali, matanya melirik ke sekeliling, memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di tepi pantai. Suasana di kafe itu begitu santai, seolah dunia di luar sana tidak terburu-buru, begitu berbeda dengan kehidupannya yang penuh deadline dan tugas yang tak pernah habis.

Tiba-tiba, langkah kaki seorang pria menarik perhatian Alya. Pria itu tampak tidak begitu berbeda dengan kebanyakan orang yang biasa ia lihat di kota ini berpakaian kasual, dengan tas selempang yang menjuntai di pundaknya. Namun, ada sesuatu dalam cara pria itu berjalan yang membuat Alya sedikit tertarik. Mungkin hanya perasaan sesaat, pikirnya.

Ia melanjutkan menulis, mencoba mengabaikan perasaan itu, hingga tiba-tiba pria tersebut duduk di meja yang ada tepat di sebelahnya. Ia menatap Alya sejenak, dan Alya merasa matanya tertumbuk pada pria itu. Sesaat rasa canggung menguasai dirinya, namun pria itu hanya tersenyum ramah.

“Maaf,” kata pria itu dengan suara yang tenang, “apakah tempat duduk ini kosong?”

Alya mengangguk cepat, tersenyum kikuk. “Iya, silakan.”

Pria itu mengangguk dan duduk. Tentu saja Alya merasa sedikit canggung karena situasi yang tidak biasa. Ia biasanya duduk sendiri, menikmati ketenangan tanpa gangguan. Namun, seiring berjalannya waktu, keduanya saling membiarkan suasana hening mengalir. Alya mencoba fokus kembali pada pekerjaan di depannya, meskipun hatinya sepertinya berdebar lebih cepat dari biasanya.

Setelah beberapa saat, pria itu mulai membuka tas selempangnya dan mengeluarkan kamera. Ia terlihat sibuk memeriksa lensa kamera, kemudian menatap ke arah laut. Alya mengamati pergerakannya tanpa sengaja, perasaan penasaran tiba-tiba muncul begitu saja. Pria itu sepertinya bukan orang sembarangan dengan caranya membawa kamera yang tampak mahal dan penuh perhatian terhadap setiap detail di sekitar.

“Senja pasti indah di sini,” kata pria itu, tiba-tiba.

Alya terkejut dengan percakapan yang tiba-tiba muncul begitu saja. Ia menatap pria itu dan tersenyum, merasa sedikit lebih lega karena ia tidak harus memulai percakapan sendiri. “Ya, memang. Pemandangannya luar biasa.”

“Nama saya Raka,” lanjut pria itu sambil menatap ke arah laut, “saya kebetulan fotografer. Saya sering datang ke sini untuk mengambil gambar. Saya rasa ada banyak cerita yang bisa ditangkap di sini.”

Alya mengangguk. “Alya,” jawabnya singkat. “Saya baru pindah ke sini. Memang, ada sesuatu yang berbeda tentang tempat ini. Rasanya begitu tenang.”

“Apakah kamu tinggal di sini sekarang?” tanya Raka, sambil kembali memeriksa kameranya.

“Ya, saya baru pindah bulan lalu. Cukup menyenangkan, meski sedikit sepi untuk orang yang terbiasa dengan keramaian kota,” jawab Alya dengan sedikit tawa.

Raka tersenyum mendengar jawaban Alya. “Saya mengerti. Saya tinggal di sini sebagian waktu, tapi saya lebih sering bepergian, pekerjaan saya mengharuskan itu. Di sini, saya merasa seperti bisa lebih… tenang.”

Percakapan itu berlanjut dengan santai, meskipun kadang mereka terhenti dalam hening. Raka dengan mudah membuka percakapan tentang apa yang ia lakukan, sementara Alya lebih banyak mendengarkan. Tentu, ia tidak terlalu mengharapkan untuk berbicara begitu banyak dengan orang asing, apalagi tentang hal-hal pribadi. Tapi, ada sesuatu yang mengikat mereka sebuah perasaan tidak terucap bahwa keduanya berada di tempat yang sama untuk alasan yang mirip. Mungkin, mereka berdua sedang mencari sesuatu. Sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas harian.

Setelah beberapa jam, Raka mengemas kameranya. “Saya rasa saya harus pergi. Tapi, saya senang bisa berbicara denganmu, Alya. Suasana di sini, di kafe ini, rasanya berbeda dari tempat lain. Seperti di dunia yang lain.”

Alya tersenyum. “Iya, saya merasa sama. Mungkin saya akan sering ke sini. Terima kasih atas percakapannya.”

Raka berdiri dan memandang ke luar jendela, kemudian melirik kembali pada Alya. “Mungkin kita bisa berbicara lagi lain kali. Saya akan sering ke sini, jadi jika kamu berada di kafe ini, mungkin kita bisa bertemu lagi.”

Alya hanya mengangguk. “Tentu, jika saya ada waktu.”

Setelah Raka pergi, Alya kembali ke mejanya, namun pikirannya mulai berkelana. Ada perasaan aneh yang muncul dalam dirinya bukan hanya ketertarikan fisik, melainkan sebuah koneksi yang belum jelas. Sesuatu dalam percakapan itu terasa berbeda. Tapi, ia mencoba untuk tidak terlalu banyak berpikir. Mungkin ini hanya perasaan sesaat, pertemuan biasa antara dua orang asing. Alya tahu dirinya tidak ingin mengharapkan lebih dari itu.

Namun, tanpa sadar, ia terus menatap pintu kafe yang baru saja dilewati Raka. Keinginan untuk berbicara lebih lama dengannya, untuk mengenalnya lebih dalam, perlahan mengisi benaknya.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Alya kembali ke rutinitasnya menulis, bekerja, dan menikmati ketenangan pesisir. Namun, meskipun begitu, ada hal yang berbeda. Kadang, saat ia duduk di kafe yang sama, matanya melirik ke pintu, berharap Raka akan muncul kembali. Mungkin itu terlalu berharap, pikirnya. Tapi kenyataannya, ada sesuatu yang menggantung, sesuatu yang tidak tuntas dari pertemuan pertama mereka.

Suatu sore, saat cuaca mulai berubah, Alya kembali ke kafe itu, memesan kopi panas sambil memandang laut. Ia berharap bisa menemukan ketenangan seperti biasanya, tapi kali ini perasaan itu datang lagi rindu yang tidak jelas, rasa ingin tahu yang mulai tumbuh. Jika saja ia bisa bertemu lagi dengan Raka.*

Bab 2  Kenangan yang Tersisa

Waktu berlalu begitu cepat. Alya sudah hampir dua bulan tinggal di kota pesisir ini, menikmati kehidupan yang lebih tenang, lebih sunyi. Namun, meski banyak yang sudah ia tinggalkan di belakang, ada satu hal yang masih terus mengikutinya: kenangan akan pertemuan singkat dengan Raka.

Setiap kali ia duduk di kafe yang sama, ia berharap bisa bertemu lagi dengannya. Tapi harapan itu hanya berakhir dengan hampa. Raka seolah menghilang begitu saja, seperti deburan ombak yang datang dan pergi. Tidak ada kabar, tidak ada pesan, hanya sepi yang menemaninya dalam rutinitas barunya. Alya tidak tahu apakah ia terlalu berharap atau hanya terlalu khawatir, namun rasa rindu itu terus tumbuh, meskipun ia mencoba menepisnya.

Suatu sore yang mendung, Alya memutuskan untuk berjalan menyusuri pesisir, melewati jalanan yang penuh dengan batu-batu besar yang biasanya tertutup oleh air laut ketika pasang. Langkah kakinya yang santai terhenti di satu titik, tepat di tempat yang sama ketika pertama kali ia bertemu Raka. Pemandangan laut yang luas tampak berbeda sore itu, awan mendung memayungi langit, membuat pantai terlihat lebih sunyi dari biasanya.

Alya menarik napas panjang, mencoba menikmati udara laut yang segar, meskipun hatinya tiba-tiba terasa berat. Kenangan tentang pertemuan pertama itu kembali hadir di pikirannya. Senyuman Raka yang ramah, percakapan ringan yang mereka lakukan, dan kesan mendalam yang ia rasakan setelah itu. Meski singkat, pertemuan itu seolah meninggalkan jejak yang dalam dalam hatinya.

“Kenapa rasanya seperti ada yang hilang?” gumamnya pelan, menyandarkan tubuhnya ke batu besar yang ada di tepi pantai. Laut yang bergulung-gulung itu seperti membawa perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan. Ada sesuatu yang hilang, meskipun ia tidak tahu apa.

Seiring berjalannya waktu, ia mulai menerima kenyataan bahwa pertemuan itu mungkin hanya sebuah kebetulan sesuatu yang tak lebih dari sekadar kenangan singkat yang tidak akan pernah terulang lagi. Alya mencoba membiasakan diri dengan kehidupan barunya tanpa memikirkan apa yang mungkin terjadi dengan Raka.

Namun, di malam hari, ketika ia duduk sendirian di meja kerjanya, menatap layar laptop yang menyala dengan artikel-artikel yang harus diselesaikan, bayangan Raka tetap saja muncul. Pesan singkat yang sempat mereka kirimkan satu sama lain masih tersimpan dalam ponselnya. Beberapa kalimat mereka terdengar begitu ringan, namun bagi Alya, itu adalah kenangan yang berharga. Di tengah kesibukannya, ada secercah harapan yang seakan terpendam dalam kata-kata itu.

Alya mengambil ponselnya dan membuka kembali pesan-pesan yang mereka kirimkan. Ada satu pesan dari Raka yang selalu membuat hatinya tersenyum setiap kali membacanya. Pesan itu dikirimkan beberapa hari setelah pertemuan pertama mereka.

“Alya, saya senang bisa bertemu denganmu di kafe itu. Suasana di sini selalu penuh dengan cerita, dan saya rasa kamu punya cerita yang menarik. Semoga kita bisa bertemu lagi di lain waktu. Jangan ragu untuk datang ke kafe itu lagi, saya pasti ada di sana. Semoga hari-harimu menyenangkan.”

Alya memegang ponselnya lebih erat, senyum kecil terbentuk di bibirnya. Meski tidak ada janji yang konkret, kata-kata Raka terasa hangat di hatinya. Pesan itu membawanya kembali pada perasaan yang ia coba lupakan. Seakan-akan Raka masih ada di sini, berbicara dengannya, mengisi ruang kosong dalam hidupnya. Meskipun tidak ada yang pasti, Alya tahu bahwa ia belum sepenuhnya bisa melepaskan kenangan itu.

Sore hari, Alya kembali ke kafe yang sama. Hari itu, langit sedikit lebih cerah, dan pesisir yang biasanya sepi tampak sedikit lebih ramai. Alya memesan kopi dan memilih duduk di meja yang sama, tempat mereka pertama kali berbicara. Ia tidak tahu mengapa, tapi seolah ada kekuatan tak terlihat yang menariknya untuk kembali ke sini, ke tempat itu, di mana kenangan tentang Raka masih tersisa.

Sambil menunggu pesanan datang, matanya melirik ke arah laut yang tampak tenang. Pikirannya mulai mengembara. Apa kabar Raka sekarang? Apakah ia masih sering datang ke sini? Apakah ia pernah memikirkan dirinya seperti ia memikirkannya? Setiap pertanyaan itu datang dan pergi, meninggalkan rasa rindu yang semakin kuat.

Tanpa sadar, waktu berlalu begitu cepat. Kafe semakin ramai, dan Alya hampir saja melupakan alasan ia duduk di sini, di meja yang penuh kenangan itu. Namun, saat ia hendak bangkit untuk pergi, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Alya cepat-cepat membuka layar ponselnya, berharap bisa melihat kabar dari seseorang.

Ternyata, itu adalah pesan dari Raka.

“Alya, maaf kalau saya mengganggu. Saya baru saja kembali ke kota ini, dan saya ingat tempat ini. Rasanya tidak lengkap kalau saya tidak datang ke sini dan berbicara denganmu lagi. Mungkin kita bisa bertemu di kafe itu?”

Jantung Alya berdegup kencang. Pesan itu begitu sederhana, namun bagi Alya, itu adalah jawaban dari keraguannya selama ini. Raka ingat padanya. Meskipun mereka tidak pernah menjanjikan apapun satu sama lain, hubungan ini ternyata belum selesai. Ada sesuatu yang masih tergantung, sesuatu yang menghubungkan mereka meskipun jarak memisahkan.

Alya menatap pesan itu dengan rasa campur aduk. Ada kebahagiaan, ada keraguan, namun yang lebih dominan adalah harapan. Harapan untuk bertemu lagi, untuk merasakan perasaan yang mungkin belum sepenuhnya terungkap. Ia membalas pesan itu dengan cepat.

“Raka, saya senang mendengar kabar darimu. Saya juga ingin bertemu lagi. Mungkin kali ini kita bisa bicara lebih lama.”

Setelah mengirimkan pesan itu, Alya merasa seolah-olah sebuah beban berat terangkat dari pundaknya. Kenangan yang selama ini terpendam, yang terasa seperti bayangan yang tidak bisa dilepaskan, akhirnya mendapatkan jawabannya. Mungkin pertemuan itu bukan sekadar kebetulan. Mungkin ada lebih banyak cerita yang bisa mereka bagi, lebih banyak hal yang belum mereka ungkapkan.

Malam itu, saat Alya berbaring di tempat tidurnya, ia memandang langit yang cerah dari jendela kamar. Bintang-bintang terlihat jelas, seolah-olah menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya yang baru dimulai. Kenangan tentang Raka tidak lagi terasa hanya sebagai kenangan. Itu adalah sebuah awal—awal dari sesuatu yang lebih besar, yang tidak lagi akan tertunda.

Terkadang, jarak dan waktu memang mampu membawa rindu yang tak terucapkan. Tapi, seperti bintang-bintang yang selalu ada di langit malam, rindu itu akan selalu ada menunggu untuk dipenuhi.*

Bab 3  Pesan-Pesan yang Mengisi Kekosongan

Setelah pesan dari Raka yang mengejutkan datang beberapa hari lalu, Alya merasa ada angin segar yang masuk ke dalam kehidupannya yang sunyi. Setiap kali ia membuka ponselnya, hati kecilnya berdebar-debar, berharap ada pesan baru dari pria itu. Meskipun mereka belum bertemu lagi sejak percakapan singkat mereka di kafe, pesan-pesan yang mereka kirimkan mulai mengisi ruang kosong dalam hidup Alya yang dulu terasa begitu hampa.

Malam itu, setelah pulang dari kafe, Alya duduk di meja kerjanya, menatap layar ponsel yang masih tergeletak di samping laptopnya. Ia meraih ponsel itu dengan hati yang berdebar, membuka aplikasi pesan dan mencari nama Raka di daftar obrolan. Ada perasaan aneh saat matanya tertumbuk pada nama itu, seakan-akan ada bagian dari dirinya yang berharap untuk terus mendengar kabar darinya.

Pesan pertama yang masuk setelah mereka saling bertukar nomor beberapa hari yang lalu adalah sebuah kalimat sederhana dari Raka.

“Alya, apa kabar? Aku harap hari-harimu baik-baik saja.”

Alya tersenyum kecil membaca pesan itu, membiarkan kalimat sederhana itu menyentuh hatinya. Setiap kata yang ditulis Raka terasa penuh perhatian, seperti ia benar-benar peduli. Alya membalasnya segera.

“Kabar baik. Sedang mencoba beradaptasi dengan rutinitas baru di sini. Bagaimana denganmu?”

Pesan itu masuk dengan cepat, dan Alya bisa merasakan perasaan yang sama seperti sebelumnya—perasaan nyaman dan hangat ketika berbicara dengan Raka. Pesan demi pesan mengalir begitu mudah, seolah-olah mereka sudah lama saling mengenal.

“Aku baik-baik saja. Baru saja menyelesaikan beberapa proyek. Terkadang aku merasa hidup di sini seperti berada di dua dunia yang berbeda. Di satu sisi, aku harus terus bergerak, sementara di sisi lain, aku ingin menikmati ketenangan tempat ini.” Raka menulis dengan jujur, memberi tahu Alya tentang perasaan yang mungkin sulit diungkapkan dalam percakapan tatap muka.

Alya membalas, merasa terhubung dengan apa yang Raka katakan. “Aku mengerti. Aku juga merasa begitu. Di sini, semuanya terasa lebih lambat, lebih tenang. Tapi entah kenapa, terkadang aku merasa ada sesuatu yang hilang.”

Pesan-pesan itu mulai mengalir lebih banyak setelah itu, dan setiap malam, Alya tidak sabar untuk menunggu pesan dari Raka. Mereka berbicara tentang berbagai hal—tentang hidup, tentang mimpi-mimpi yang terkadang terasa jauh, dan tentang kenangan yang sulit dihapuskan. Setiap kata yang tertulis seakan mengisi kekosongan yang ada dalam diri mereka berdua.

Terkadang, percakapan mereka dipenuhi dengan canda tawa. Kadang pula, mereka berbagi keheningan yang nyaman, dengan hanya satu kalimat dari Raka yang cukup untuk membuat Alya tersenyum. “Aku penasaran, apakah kamu sering melamun di tepi pantai seperti yang aku bayangkan?” tulis Raka suatu malam, dan Alya tertawa kecil, membayangkan dirinya yang memang sering duduk termenung di tepi pantai, memandangi laut yang luas dan tak terhingga.

“Kadang-kadang,” jawab Alya, “Laut itu seolah punya kekuatan untuk membuatku melupakan segalanya. Rasanya seperti dunia berhenti sejenak.”

Lama-kelamaan, Alya merasa semakin nyaman dengan pesan-pesan itu. Mereka tidak lagi sekadar berbicara tentang hal-hal kecil, tetapi mulai membuka diri, berbagi perasaan yang selama ini terpendam. Alya mengungkapkan kerinduannya terhadap kota asalnya, tentang bagaimana ia merindukan hiruk-pikuk kota yang selalu sibuk, sementara Raka bercerita tentang perjalanannya, bagaimana ia sering merasa terasing meskipun dikelilingi orang banyak.

Suatu malam, saat hujan deras mengguyur pesisir, Alya duduk di ruang tamunya, ditemani secangkir teh hangat. Ponselnya bergetar. Raka mengirim pesan lagi. Kali ini, pesan itu terasa lebih pribadi.

“Alya,” tulis Raka, “Ada sesuatu yang ingin aku katakan. Aku tahu kita belum lama mengenal satu sama lain, tapi entah mengapa aku merasa nyaman berbicara denganmu. Mungkin ini terdengar aneh, tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih antara kita.”

Alya membaca pesan itu berulang kali, merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Hatinya terasa berdebar, tapi juga cemas. Ia membalasnya dengan hati-hati.

“Aku juga merasa hal yang sama, Raka. Mungkin ini memang terdengar cepat, tapi ada sesuatu yang membuatku merasa dekat denganmu, meskipun kita belum bertemu lagi.”

Pesan dari Raka masuk lagi dalam hitungan detik.

“Aku merasa kita sudah saling mengenal lama, walaupun baru pertama kali bertemu. Ada perasaan yang sulit aku jelaskan. Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu, tentang apa yang membuatmu tersenyum, tentang apa yang membuatmu sedih.”

Alya menggigit bibirnya, merenung sejenak. Ia merasa ada sesuatu yang kuat mengikat dirinya dengan Raka, sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan kebetulan. Mungkin ini memang perasaan yang tumbuh perlahan, seperti halnya tanaman yang berakar di dalam tanah. Tidak terlihat, tetapi tumbuh kuat seiring waktu.

“Raka, aku rasa aku sudah mulai tahu sedikit tentang kamu. Tentang bagaimana kamu melihat dunia, tentang bagaimana kamu memilih untuk hidup dengan caramu sendiri. Aku menghargai itu.” Alya membalas, hati dan pikirannya merasa ringan. Ia tidak pernah merasa begitu terbuka kepada orang lain, tetapi dengan Raka, semuanya terasa lebih mudah.

Pesan-pesan itu semakin mengisi ruang dalam hidup Alya. Ia merasa lebih hidup, lebih terhubung, meskipun jarak memisahkan mereka. Rindu yang tumbuh di hati mereka berdua, meskipun tidak diungkapkan secara langsung, semakin terasa nyata dalam setiap kalimat yang tertulis.

Kehidupan Alya yang semula sunyi dan penuh dengan kesendirian kini dipenuhi dengan tawa, pertanyaan, dan harapan yang datang dari pesan-pesan yang ia terima setiap malam. Ada semacam janji tak terucapkan, bahwa meskipun mereka terpisah oleh jarak, mereka tidak pernah benar-benar sendirian. Ada seseorang di sisi lain dunia ini yang selalu siap untuk berbicara, mendengarkan, dan mengisi kekosongan.

Namun, meskipun begitu, Alya tahu bahwa pesan-pesan itu hanyalah sebagian dari apa yang mereka inginkan. Percakapan melalui layar ponsel bisa menyentuh hati, namun tetap ada kerinduan yang belum terjawab. Kerinduan untuk bertemu, untuk merasakan kehadiran langsung, untuk tahu lebih banyak tentang satu sama lain selain hanya kata-kata di layar.

Alya tahu bahwa suatu hari, mereka akan bertemu lagi. Dan saat itu datang, pesan-pesan yang mengisi kekosongan ini akan berubah menjadi kenyataan yang lebih indah. Tapi untuk saat ini, ia merasa cukup dengan pesan-pesan itu. Mereka memberi warna pada hari-harinya yang monoton, memberi kehangatan pada malam-malam yang sepi, dan memberi harapan bahwa suatu saat, semuanya akan menjadi nyata.*

Bab 4  Keraguan yang Menghantui

Malam itu, Alya duduk sendiri di ruang tamunya, memandangi layar ponselnya yang menyala. Matahari sudah lama tenggelam di balik cakrawala, menggantikan sinar hangat dengan kegelapan yang mencekam. Meski hujan deras tak henti-hentinya mengguyur kota pesisir ini, hatinya terasa gersang. Ketika matanya tertumbuk pada pesan terbaru dari Raka, sebuah perasaan aneh tiba-tiba merayap. Keraguan.

Sebelumnya, setiap pesan dari Raka selalu membawa kehangatan, membangkitkan semangat, dan menjadikan dunia ini terasa lebih ringan. Namun malam ini, sesuatu terasa berbeda. Pesan Raka kali ini tampak lebih mendalam, lebih serius. Isinya adalah pertanyaan yang tak pernah Alya duga akan muncul begitu cepat.

“Alya, apakah kamu percaya kalau hubungan jarak jauh bisa berhasil?”

Tanyaannya begitu sederhana, namun membuat perasaan Alya mendalam. Ada secercah keraguan yang mulai merasuki pikiran Alya, seperti benang halus yang mulai menyusup tanpa terdeteksi. Apakah hubungan ini hanya sebuah ilusi? Apakah ini hanya permainan harapan tanpa ujung yang jelas?

Alya membalas pesan itu dengan sedikit ragu, mencoba menutupi kegelisahannya.

“Aku ingin percaya, Raka. Tapi kadang, aku merasa kita hanya menunggu sesuatu yang belum tentu terjadi.”

Setelah mengirimkan pesan itu, Alya menatap ponselnya sejenak, menunggu balasan yang entah kapan akan datang. Hujan masih turun dengan deras, seakan memberi kesan pada perasaan hati Alya yang tidak menentu. Setiap tetes hujan yang jatuh di jendela terasa seperti detak yang tidak bisa ia hindari—irama ragu yang terus mengisi ruang hatinya.

Selama ini, pesan-pesan yang datang dari Raka seperti angin yang membawa kebahagiaan, namun kini, ada keraguan yang tak terhindarkan. Mereka telah berbicara tentang banyak hal—tentang impian mereka, tentang kenangan yang mereka simpan, tentang perasaan yang tak terungkapkan. Namun, satu pertanyaan sederhana ini membuat segalanya terasa lebih rumit.

“Apakah hubungan ini benar-benar mungkin?” Alya bertanya pada dirinya sendiri, matanya menatap kosong ke luar jendela. Jarak, waktu, dan ketidakpastian—semua itu menguji kekuatan hubungan mereka. Bahkan ketika mereka sudah berusaha membangun komunikasi yang intens, keraguan selalu datang mengintai. Bagaimana mereka bisa memastikan perasaan yang tumbuh di hati mereka tetap utuh jika mereka tidak pernah benar-benar berada di tempat yang sama?

Keraguan itu datang dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Bagaimana jika Raka mulai merasa jenuh dengan jarak yang memisahkan? Bagaimana jika, seiring berjalannya waktu, mereka mulai berubah tanpa bisa saling mengenali? Bagaimana jika rasa cinta itu memudar tanpa mereka sadari? Mungkin perasaan ini hanya sebuah perasaan sementara yang terjaga karena jarak, dan setelah bertemu, semuanya akan berbeda.

Alya menatap ponselnya lagi, berharap ada pesan yang masuk, berharap Raka akan memberi jawaban yang bisa menenangkan hatinya. Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar, dan sebuah pesan dari Raka muncul di layar.

“Aku paham kalau ini bukan hal yang mudah, Alya. Aku juga merasakannya. Tapi aku ingin kita coba. Aku ingin percaya bahwa meskipun jarak memisahkan kita, kita masih bisa saling menjaga perasaan ini. Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan berusaha, sekuat yang aku bisa.”

Alya menatap pesan itu lama. Kalimat itu seolah memberi harapan, namun di dalam hatinya, keraguan tetap mengganggu. Apakah itu cukup? Apakah usaha Raka dan dirinya bisa mengatasi segala tantangan yang ada? Dalam hati, Alya merasakan ketakutan akan kehilangan, ketakutan bahwa apa yang mereka bangun selama ini mungkin tidak akan bertahan lama.

Pada akhirnya, siapa yang bisa menjamin bahwa hubungan jarak jauh akan berhasil? Setiap hubungan, baik dekat atau jauh, selalu penuh dengan ujian dan cobaan. Tapi dengan jarak yang jauh, dengan hanya komunikasi melalui pesan dan panggilan suara, apakah mereka akan mampu bertahan dari segala rintangan? Alya mengusap wajahnya, berusaha menenangkan pikirannya, tapi keraguan itu tetap ada, menggantung di udara.

Seperti setiap malam, Alya kembali ke rutinitasnya—menulis, membaca, mencoba mengisi waktu dengan pekerjaan. Namun, meski sibuk, pikirannya tetap melayang pada Raka, pada pesan-pesan yang tertunda, dan pada pertanyaan yang belum terjawab. Rindu itu semakin tajam, namun ada rasa takut yang datang bersamaan. Rasa takut kehilangan perasaan yang telah mereka bangun.

Keesokan harinya, Alya memutuskan untuk pergi ke tepi pantai. Laut yang luas selalu menjadi tempatnya merenung, tempat di mana ia bisa menenangkan pikiran yang kerap berkecamuk. Deburan ombak yang tak pernah berhenti mengingatkan Alya pada perasaan yang sama—terus datang, terus pergi. Cinta dan keraguan, harapan dan ketakutan, semuanya saling berganti seperti gelombang yang tak pernah berhenti.

Alya duduk di atas batu besar, menatap horizon yang jauh, memikirkan Raka dan hubungan yang mereka coba bangun. Mungkinkah hubungan ini akan berlanjut sampai mereka bertemu? Atau, pada akhirnya, mereka akan menjadi seperti laut dan pantai yang terpisah, bertemu hanya dalam sesaat, kemudian pergi dalam keheningan?

Di saat itulah, ponselnya bergetar lagi. Pesan dari Raka. Alya mengambil ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar.

“Alya, aku tahu mungkin ini sulit. Tapi aku percaya kita bisa melaluinya. Aku ingin kita bertemu, suatu saat nanti. Aku ingin membuatmu merasa bahwa jarak ini tidak akan memisahkan kita selamanya. Apakah kamu siap untuk itu?”

Membaca pesan itu, Alya merasa ada sesuatu yang menenangkan. Kata-kata Raka menyentuh hati kecilnya, memberi sedikit keyakinan di tengah keraguannya. Tapi perasaan itu tidak bisa dihilangkan begitu saja. Dalam diam, dalam kesunyian, keraguan itu masih menghantui.

Alya menarik napas dalam-dalam dan menulis balasan.

“Aku ingin percaya, Raka. Aku ingin melangkah bersama. Tapi aku takut, takut jika kita terpisah lagi. Aku takut jika ini hanya ilusi.”

Kembali, pesan itu masuk begitu cepat.

“Aku juga takut, Alya. Tapi aku lebih takut jika kita tidak mencoba sama sekali.”

Alya memejamkan mata. Sebuah keputusan besar sedang menantinya antara melanjutkan hubungan ini dengan harapan atau menyerah pada ketakutan yang tak terucapkan. Tetapi satu hal yang ia tahu pasti, bagaimanapun juga, keraguan itu hanya bisa teratasi dengan keberanian untuk terus berjalan, meskipun ketakutan terus mengintai.

Alya menatap langit yang mulai cerah, dan dalam hatinya, ia berbisik, “Aku akan mencoba, Raka. Aku akan mencoba.”*

Bab 5  Harapan yang Menguat

Pagi itu, angin laut berhembus pelan, membawa aroma garam yang menenangkan. Alya duduk di balkon apartemennya, menatap ke arah horizon yang luas. Laut yang tenang seolah mencerminkan keadaan hatinya yang mulai merasa lebih lapang setelah berbulan-bulan diliputi keraguan. Pesan-pesan dari Raka beberapa hari lalu, bersama dengan pemikiran yang menggelayuti dirinya, telah membuka cakrawala baru dalam hatinya. Rasa takut yang menguasainya perlahan mulai berkurang, digantikan oleh secercah harapan yang semakin menguat.

Sudah hampir dua bulan sejak pertemuan mereka yang pertama, dan komunikasi mereka semakin intens. Pesan-pesan Raka yang sering datang, disertai dengan panggilan suara yang membuatnya merasa lebih dekat, semakin membuat hati Alya yakin bahwa perasaan ini bukan hanya sekadar ilusi. Ada sesuatu yang nyata, sesuatu yang tulus, meskipun jarak memisahkan mereka.

Namun, Alya tahu bahwa harapan itu harus terus diperjuangkan. Tidak mudah untuk membangun sesuatu yang tidak bisa dirasakan sepenuhnya. Perasaan ini lebih sulit dijelaskan daripada pertemuan langsung, lebih rumit daripada sekadar bertatap muka dan berpelukan. Ini adalah sebuah perjalanan, dan perjalanan tidak selalu mudah. Tetapi, apa yang mereka miliki—rasa saling pengertian, keinginan untuk mencoba, dan komunikasi yang terbuka—adalah sesuatu yang tidak bisa dianggap sepele.

“Alya, kamu masih di balkon?” suara Raka terdengar melalui panggilan suara yang datang tiba-tiba. Alya tersenyum mendengar suara yang selalu bisa membuat hatinya tenang.

“Iya, lagi menikmati pagi. Udara di sini enak banget,” jawab Alya, menatap langit biru yang terbentang luas di depan mata.

“Coba kamu bayangin, kita bisa duduk berdua di sana sambil ngobrol-ngobrol. Entah kapan itu akan terjadi, tapi aku ingin itu menjadi kenyataan.”

Kalimat Raka itu menggugah perasaan Alya. Ketika ia merenung, ia tahu bahwa meskipun mereka terpisah ribuan kilometer, kata-kata Raka selalu membawa harapan baru. Perasaan itu tidak lagi terasa seperti mimpi. Mereka tidak hanya berbicara tentang harapan, tetapi tentang masa depan yang mungkin mereka ciptakan bersama.

Alya terdiam sejenak, merenungkan setiap kata yang diucapkan Raka. Betapa ia ingin berada di tempat itu, duduk bersama Raka di tepi laut, mendengarkan ombak sambil berbicara tentang segala hal yang mereka rindukan. Semua itu terasa seperti gambaran indah di kepala Alya, tetapi ia juga tahu bahwa perjalanan menuju pertemuan itu tidak mudah. Mereka harus berjuang lebih keras, tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk hubungan yang sedang mereka bangun.

“Aku tahu,” kata Alya akhirnya, “Aku ingin itu terjadi, Raka. Aku ingin kita bisa bertemu, bahkan jika itu harus menunggu beberapa waktu lagi.”

“Mungkin menunggu itu bukan hal yang mudah,” balas Raka, suaranya terdengar lebih serius. “Tapi aku percaya, menunggu itu akan terasa lebih ringan jika kita tahu apa yang kita inginkan bersama. Aku ingin terus berusaha, Alya.”

Mendengar kata-kata itu, Alya merasa hatinya semakin lapang. Raka tidak hanya berbicara tentang janji-janji kosong atau harapan yang tidak realistis. Dia berbicara tentang perjuangan, tentang bagaimana mereka berdua berusaha saling mendukung meski jarak tak pernah memudahkan mereka. Perasaan itu, yang selama ini Alya rasa seperti sekadar angan-angan, kini mulai terasa lebih nyata. Harapan yang dulu terasa rapuh kini menguat.

Setiap kali mereka berbicara, Alya merasa semakin yakin bahwa mereka bisa melewati segala tantangan. Tentu saja, tidak semua orang bisa memahami apa yang mereka jalani. Banyak orang yang meragukan hubungan jarak jauh, berpikir bahwa itu hanya bertahan selama perasaan itu masih baru. Tapi Alya dan Raka tidak pernah melihatnya seperti itu. Mereka tahu bahwa perasaan mereka lebih dari sekadar kebetulan. Mereka tidak hanya membutuhkan kebersamaan fisik, tetapi juga kedekatan hati yang sudah mulai terbentuk di antara mereka.

Pagi itu, setelah mengakhiri percakapan dengan Raka, Alya memutuskan untuk berjalan-jalan ke pantai. Ia merasa ada energi baru yang mengalir dalam dirinya—energi yang penuh dengan harapan. Laut yang luas di hadapannya seperti menggambarkan perasaan yang sedang tumbuh dalam dirinya. Tidak tahu kapan mereka bisa bertemu, tapi Alya mulai merasakan bahwa harapan itu bukanlah sesuatu yang patut ditakuti. Harapan itu adalah kekuatan yang mendorongnya untuk tetap melangkah meskipun jalan yang mereka pilih penuh dengan ketidakpastian.

Saat ia berjalan menyusuri bibir pantai, angin laut kembali menyapu wajahnya, seolah memberinya semangat baru. Langkah demi langkah, perasaan ragu yang dulu menghantui kini mulai menghilang. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi Alya mulai memahami bahwa yang terpenting bukanlah hasil akhir, melainkan bagaimana mereka terus berusaha untuk mempertahankan apa yang sudah mereka bangun.

Pesan-pesan Raka kini terasa seperti penyemangat yang memberi kekuatan di setiap langkah hidupnya. Bahkan ketika mereka tidak bisa bertemu langsung, mereka tetap ada di hati masing-masing. Harapan itu terus tumbuh, memberi mereka keyakinan bahwa meskipun dunia ini luas dan penuh tantangan, mereka memiliki satu sama lain untuk saling mendukung.

Hari itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Alya merasa begitu ringan. Rasa takut yang selama ini membebani hatinya seolah menguap begitu saja, digantikan oleh perasaan percaya. Percakapan mereka yang begitu mendalam dan penuh harapan telah memberi Alya pandangan baru tentang hubungan ini. Ia tidak hanya menunggu, tetapi juga berjuang untuk menjaga perasaan ini tetap hidup, meskipun jarak tak memungkinkan mereka untuk berada di tempat yang sama.

Harapan yang menguat di hati Alya bukan hanya tentang pertemuan mereka di masa depan, tetapi tentang perjalanan mereka bersama menuju kebersamaan itu. Mungkin, perjalanan ini penuh dengan ketidakpastian, tetapi yang terpenting adalah mereka berdua tahu bahwa mereka tidak sendirian. Ada Raka di sana, dan ada Alya di sini dua hati yang saling berjuang untuk satu tujuan.

Alya menatap matahari yang perlahan tenggelam di balik cakrawala, dan dalam hati, ia berbisik, “Raka, aku akan menunggu. Kita akan sampai di sana. Bersama.”*

Bab 6  Menanti di Teras Cinta

Teras rumah Alya menghadap langsung ke lautan. Dari sana, ia bisa melihat ombak yang bergulung perlahan, seakan memberi tahu bahwa waktu tidak pernah benar-benar berhenti, meski dunia seakan hening. Setiap kali duduk di teras ini, Alya merasa dekat dengan Raka. Meski jarak memisahkan mereka ribuan kilometer, teras ini seolah menjadi tempat di mana perasaan mereka bisa bertemu tanpa harus dipisahkan oleh ruang dan waktu.

Sudah lebih dari enam bulan sejak mereka mulai menjalani hubungan ini, dan setiap hari yang berlalu, harapan Alya semakin kuat. Namun, tak jarang kerinduan itu datang menggelayuti hati, menuntutnya untuk lebih sabar lagi. Rindu akan Raka, dengan segala kehangatan yang bisa ia rasakan meski hanya melalui pesan-pesan singkat, semakin tumbuh seiring waktu. Meskipun mereka sering berkomunikasi, tidak ada yang bisa menggantikan perasaan itu—kehadiran Raka di sampingnya, mendengar tawa dan celotehnya langsung, merasakan pelukan yang memberikan rasa aman.

Hari ini, seperti biasa, Alya duduk di kursi kayu kesayangannya di teras. Ponselnya tergeletak di sampingnya, menunggu pesan dari Raka. Mereka sudah membuat rencana untuk berbicara lewat video call malam nanti, tetapi selalu ada rasa ingin tahu yang membuat Alya menatap layar ponselnya berkali-kali, berharap ada pesan darinya.

Namun hari ini terasa berbeda. Alya merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Meskipun ia mencoba bersikap tenang, pikirannya tidak bisa lepas dari satu pertanyaan: Akankah hubungan ini bertahan?

Tahun demi tahun, kisah cinta jarak jauh selalu berakhir dengan perpisahan. Ia tidak bisa tidak membandingkan hubungan ini dengan cerita-cerita yang pernah ia dengar—tentang pasangan yang menganggap jarak hanya sebuah ujian, tetapi akhirnya tidak mampu bertahan. Tidak ada yang tahu, kan, apa yang bisa terjadi setelah beberapa waktu? Seiring berjalannya waktu, apakah perasaan itu akan memudar, atau apakah mereka akan terus berusaha meski dunia tampak berbalik melawan mereka?

“Kenapa aku merasa seperti ini?” Alya bergumam pada dirinya sendiri. Tak ada jawaban pasti. Perasaan itu datang begitu saja, kadang muncul, kadang hilang, tetapi tetap ada di sana, menghantui.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Raka muncul di layar.

“Alya, aku tahu kita sudah cukup lama menjalani ini, dan aku ingin kau tahu kalau aku tidak akan menyerah. Aku ingin kita terus berjuang, meskipun kadang aku merasa berat. Aku tahu kamu merasakannya juga.”

Membaca pesan itu, Alya merasa ada kehangatan yang menyentuh hati. Ia tahu Raka benar-benar berjuang untuk hubungan ini. Dan perasaan itu, yang tadinya terasa seperti beban, kini berubah menjadi sebuah kekuatan yang memberi semangat baru. Rasa rindu, keraguan, dan ketakutan yang datang silih berganti kini seakan lenyap dalam sekejap.

Alya menghela napas panjang, menenangkan dirinya. Ada satu hal yang pasti—Raka selalu bisa membuatnya merasa tenang meskipun terpisah jauh. Mungkin mereka tidak bisa berada di tempat yang sama untuk saat ini, tapi perasaan mereka tetap kuat, tetap hidup.

Segera setelah itu, Alya membalas pesan Raka.

“Aku juga tidak ingin menyerah, Raka. Kita sudah berjanji untuk terus berjuang, bukan? Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku percaya kita bisa melewati semuanya.”

Pesan singkat itu adalah bentuk komitmen yang semakin menguatkan hati Alya. Tidak ada lagi perasaan ragu, tidak ada lagi pertanyaan tentang masa depan mereka. Mereka berdua sudah sepakat untuk terus berjalan bersama meskipun jalan yang mereka lalui terjal dan penuh ketidakpastian.

Beberapa menit kemudian, layar ponselnya menyala lagi. Pesan dari Raka.

“Aku sedang merencanakan sesuatu, Alya. Sebentar lagi, kita akan berada di tempat yang sama, dan aku akan menjemputmu. Aku sudah menyiapkan segala sesuatunya.”

Alya terkejut membaca pesan itu. Tidak pernah dalam benaknya ia membayangkan bahwa Raka akan membuat langkah seberani ini. Ia tahu Raka sedang bekerja keras untuk mewujudkan pertemuan itu, dan meskipun ia tidak tahu detailnya, hatinya berbunga-bunga. Rencananya untuk bertemu, untuk akhirnya berada dalam satu tempat yang sama, terasa begitu dekat. Perasaan harapannya yang selama ini tumbuh perlahan kini mulai mekar dengan penuh keyakinan.

“Apa ini yang kita tunggu-tunggu?” Alya berbisik pelan, meski tidak ada yang mendengarnya kecuali ombak yang terus berdesir di kejauhan. Tetapi dalam hatinya, jawaban itu sudah ada. Ya, ini adalah harapan yang kami bangun bersama.

Malam pun tiba, dan seperti yang dijanjikan, mereka melaksanakan video call. Raka muncul di layar ponselnya, tersenyum hangat. Meskipun jarak masih memisahkan mereka, senyum itu membawa kehangatan yang lebih dari cukup. Seperti biasa, mereka berbicara tentang segala hal—tentang pekerjaan, tentang kenangan manis yang mereka bagi, tentang impian-impian yang ingin mereka capai bersama.

Namun, malam ini terasa lebih istimewa. Ada sesuatu dalam cara Raka berbicara, sesuatu yang lebih dalam, yang membuat Alya merasa sangat dekat dengannya. Setiap kata yang diucapkan seolah membawa mereka semakin dekat, semakin menyatu.

“Alya, aku tahu kamu pasti bertanya-tanya bagaimana rencanaku,” kata Raka tiba-tiba, masih dengan senyum di wajahnya. “Tapi aku ingin kamu tahu, ini bukan hanya tentang kita bertemu, ini juga tentang kita terus berjuang bersama, meskipun jarak selalu ada.”

Alya merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Kata-kata Raka begitu sederhana, namun penuh makna. Tidak hanya tentang pertemuan, tetapi juga tentang perjalanan mereka. Tidak hanya tentang rencana untuk saling bertemu, tetapi juga tentang komitmen untuk terus melangkah bersama.

“Aku tidak akan pernah menyerah, Raka,” jawab Alya dengan tegas, matanya bersinar penuh keyakinan. “Tidak sekarang, tidak nanti. Kita akan selalu menemukan cara untuk saling mendekat.”

Malam itu, mereka berbicara lebih lama dari biasanya, tertawa bersama, merencanakan masa depan, dan menikmati kebersamaan yang tak terungkapkan dengan kata-kata. Meskipun terpisah ribuan kilometer, mereka merasa lebih dekat dari sebelumnya.

Alya tahu, tidak ada jalan yang mudah dalam hubungan jarak jauh ini. Tetapi ada satu hal yang pasti—harapan itu akan terus tumbuh, dan setiap pesan, setiap percakapan, setiap detik yang mereka lewati bersama adalah bukti bahwa mereka tidak akan pernah berhenti berjuang. Seperti teras ini, tempat yang penuh kenangan dan harapan, hubungan mereka juga terus berkembang, meskipun jarak tetap menjadi penghalang.

Menanti di teras cinta, Alya tahu bahwa harapan itu akan terus menguat, dan suatu saat nanti, mereka akan berada di tempat yang sama—berbagi tawa dan cerita, seperti yang selalu mereka impikan.*

Bab 7  Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Hari itu akhirnya tiba hari yang telah mereka tunggu-tunggu selama berbulan-bulan. Hari yang membawa perasaan campur aduk dalam hati Alya. Setelah sekian lama menjalani hubungan jarak jauh, akhirnya ia dan Raka akan bertemu secara langsung. Rasa takut, cemas, dan harapan bercampur menjadi satu, menguasai setiap detik yang ia jalani menjelang pertemuan itu. Ia bahkan hampir tidak percaya bahwa setelah semua pesan dan panggilan video yang telah mereka lakukan, akhirnya mereka akan berada di satu tempat yang sama.

Alya berdiri di bandara, matanya terfokus pada layar informasi penerbangan yang menunjukkan kedatangan pesawat dari kota tempat Raka tinggal. Jantungnya berdegup kencang. Tangan Alya meremas tas selempangnya, mencoba menenangkan diri, meskipun tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Seiring dengan detik-detik yang berlalu, ia merasakan seolah waktu berjalan sangat lambat, setiap detik terasa seperti menit, dan setiap menit terasa seperti jam.

Pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan—bagaimana jika pertemuan ini tidak seperti yang ia bayangkan? Bagaimana jika kenyataan tak seindah harapan? Tak ada lagi layar ponsel untuk melihat wajah Raka, tidak ada lagi pesan yang bisa ditunggu untuk memberi rasa dekat. Semua yang mereka rasakan selama ini akan diuji di sini, dalam pertemuan nyata.

Ketika pengumuman kedatangan pesawat terdengar, Alya menarik napas panjang dan melangkah ke area kedatangan. Semua orang terlihat sibuk dengan penjemputan masing-masing, tetapi Alya hanya fokus pada satu tujuan—menemukan sosok yang telah menghiasi pikirannya selama ini. Dalam keramaian itu, matanya mencari-cari wajah yang familiar, meski hanya dalam bentuk foto atau video.

Dan kemudian, matanya tertumbuk pada sosok yang sudah sangat ia kenal—Raka. Ia mengenali senyuman itu, meski sudah lama tidak melihatnya langsung. Raka berdiri di ujung kerumunan, matanya langsung mencari Alya. Begitu mata mereka bertemu, dunia seakan berhenti sejenak. Semua keraguan, semua kecemasan yang sempat mengganggu hati Alya seketika menghilang. Hanya ada perasaan yang begitu hangat dan tulus, yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Alya berjalan cepat, menyusuri lorong dengan hati berdebar-debar. Setiap langkahnya terasa lebih berat, tetapi setiap detiknya juga semakin mendekatkannya pada Raka. Ketika akhirnya mereka berdiri berhadapan, hanya ada sepi di antara mereka. Tidak ada kata yang keluar dari bibir mereka, hanya tatapan yang mengandung seribu makna.

“Akhirnya…” Raka membuka suara pertama, senyumnya lebar, namun matanya tampak berbinar seperti sedang menahan perasaan yang sangat dalam.

Alya hanya bisa tersenyum, meskipun hatinya berdebar tak karuan. Ia merasa seolah dunia berhenti berputar sejenak, memberi mereka ruang untuk meresapi semua yang telah terjadi. Setelah berbulan-bulan saling berbicara tanpa pernah bertatap muka, sekarang mereka akhirnya bisa berada di sini, bersama.

Raka mendekat dan tanpa mengatakan apa-apa, ia meraih tangan Alya. Tangan mereka bertemu, seolah sudah saling mengenal sejak lama. Tangan itu tidak asing, tidak kaku. Rasanya seperti sudah terbiasa. Ketika ia menggenggam tangan Raka, seluruh keraguan yang sempat ada dalam hati Alya seakan meleleh. Semua pesan, semua percakapan, semuanya terasa seperti persiapan menuju saat ini. Momen ini, pertemuan yang nyata, telah mengubah segalanya.

“Rindu,” kata Alya, suaranya hampir berbisik. “Aku rindu kamu, Raka. Tidak ada yang bisa menggantikan perasaan ini.”

Raka mengangguk, matanya tak pernah lepas dari wajah Alya. “Aku juga, Alya. Rasanya… aku seperti sudah mengenalmu sejak lama. Tapi ini… ini jauh lebih indah dari yang aku bayangkan.”

Mereka berdua tersenyum, dan tanpa berkata apa-apa lagi, mereka mulai berjalan keluar dari bandara. Waktu terasa lebih lambat, lebih tenang, saat mereka melangkah bersama di dunia nyata, bukan lagi di layar ponsel atau dalam kata-kata yang tidak pernah bisa menyampaikan semua yang ada di hati mereka. Mereka berjalan di antara keramaian orang-orang, tetapi seolah dunia itu hanya milik mereka berdua. Segala kebisingan hilang, digantikan oleh kenyataan yang jauh lebih indah dari harapan-harapan yang pernah mereka bangun.

Saat mereka duduk di sebuah kafe kecil di dekat pantai, suasana begitu hangat. Langit senja yang memerah, disertai dengan semilir angin laut, memberi mereka momen yang tak terlupakan. Makan malam yang sederhana, tetapi terasa begitu berarti. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka, setiap cerita yang mereka bagi, semuanya terasa sangat berarti, lebih dari sekadar percakapan biasa.

Alya mengamati Raka dengan seksama. Ia tidak hanya melihat sosok yang sama dengan yang ia kenal melalui layar ponsel, tetapi juga melihat sejuta perasaan yang tersembunyi di balik mata itu. Raka yang tampak lebih nyata, lebih hidup, lebih penuh dengan segala hal yang pernah mereka bicarakan. Selama berbulan-bulan mereka berjuang bersama, mereka tak pernah benar-benar tahu apa yang akan terjadi jika akhirnya mereka bertemu. Tapi kini, di hadapan Alya, Raka terlihat seperti bagian yang hilang dalam hidupnya—seperti sepotong puzzle yang akhirnya menemukan tempatnya.

“Alya, aku janji, aku akan berusaha membuat ini bekerja,” kata Raka, serius. “Jarak memang sulit, tapi aku percaya kita bisa menghadapinya. Kita sudah melewati banyak hal bersama, dan aku ingin terus melakukannya.”

Alya menatap Raka dengan mata penuh harapan. “Aku juga, Raka. Kita sudah sampai sejauh ini. Aku tidak akan pernah menyerah.”

Mereka berbicara tentang masa depan, tentang rencana-rencana yang akan mereka bangun bersama. Meskipun mereka tahu bahwa pertemuan ini hanyalah permulaan dari perjalanan yang lebih panjang, mereka merasa lebih kuat, lebih yakin. Ketika akhirnya mereka berjalan kembali ke tempat penginapan, langit sudah gelap, dipenuhi bintang-bintang yang berkelip.

Raka meraih tangan Alya lagi, menggenggamnya erat. “Ini adalah langkah pertama, Alya. Langkah pertama dari seribu langkah yang akan kita ambil bersama.”

Alya tersenyum dan mengangguk. “Langkah pertama, Raka. Dan aku siap untuk melangkah bersamamu.”

Malam itu, mereka tidur dengan perasaan yang tenang. Mereka tahu bahwa meskipun perjalanan mereka belum selesai, mereka telah melewati ujian terberat dari hubungan ini: pertemuan yang mengubah segalanya. Dan dengan itu, mereka tahu bahwa segala hal yang telah mereka lewati, segala rindu dan jarak yang pernah ada, telah membuat cinta mereka lebih kuat, lebih nyata, dan siap untuk menghadapi masa depan yang penuh harapan.*

Bab 8  Cinta yang Menemukan Jalan

Hari-hari setelah pertemuan itu terasa berbeda. Raka dan Alya telah memulai perjalanan baru, sebuah langkah baru dalam kisah cinta mereka yang penuh dengan harapan. Mereka kini tidak hanya saling berbicara lewat pesan atau video call, tetapi sudah saling melihat langsung, merasakan kehadiran masing-masing. Jarak yang dulu terasa sangat membatasi kini terasa lebih ringan, seakan setiap langkah mereka semakin mendekatkan hati mereka.

Namun, seperti halnya perjalanan lainnya, ada rintangan yang tak bisa dihindari. Setelah beberapa hari menghabiskan waktu bersama, Raka harus kembali ke kota tempat ia tinggal, dan Alya kembali ke rumahnya di pesisir. Mereka harus kembali menjalani kehidupan seperti dulu—terpisah oleh jarak yang tak terelakkan. Tapi kali ini, perasaan mereka berbeda. Ada keyakinan baru dalam hati mereka, dan cinta mereka telah menemukan jalan yang lebih nyata.

Alya duduk di teras rumahnya, menghadap ke laut yang luas, sambil memikirkan pertemuan mereka. Setiap detik yang mereka habiskan bersama semakin mengukuhkan rasa cinta yang sudah terjalin sejak lama. Meskipun mereka terpisah lagi oleh jarak, kali ini rasanya berbeda. Tidak ada lagi rasa takut kehilangan, tidak ada lagi keraguan yang menghantui. Mereka tahu apa yang mereka inginkan, dan mereka tahu betapa berartinya satu sama lain.

Ponselnya bergetar, menandakan sebuah pesan baru masuk. Dengan cepat, Alya membuka pesan dari Raka.

“Alya, aku sudah sampai di rumah. Rasanya masih belum percaya bisa berada di sana bersamamu. Tapi, meskipun jarak kembali memisahkan kita, aku merasa lebih dekat denganmu sekarang. Kita sudah menunjukkan bahwa kita bisa bertahan. Aku ingin kita terus berjuang bersama, tidak peduli apa yang terjadi.”

Membaca pesan itu, Alya merasakan kehangatan dalam hatinya. Senyumnya merekah tanpa sadar. Ada sebuah kebanggaan dalam dirinya—pria yang ia cintai begitu serius menjalani hubungan ini, berjuang untuk menjaga mereka tetap bersama meskipun kenyataan tidak selalu mendukung. Perasaan itu semakin meneguhkan keyakinannya bahwa mereka akan mampu menghadapi segala tantangan bersama.

Alya membalas pesan itu dengan penuh semangat.

“Aku juga merasa seperti itu, Raka. Kita sudah melewati banyak hal, dan aku tahu kita akan selalu menemukan cara untuk tetap bersama. Tidak ada yang bisa menghalangi kita.”

Setelah mengirim pesan, Alya meletakkan ponselnya dan kembali memandang laut. Ia tahu bahwa cinta mereka telah menemukan jalannya. Meskipun dunia tidak selalu memberikan kemudahan, mereka telah berhasil mencari cara untuk tetap menjaga hubungan ini. Mereka telah menunjukkan bahwa meskipun terpisah oleh ribuan kilometer, cinta itu tetap bisa tumbuh dan berkembang.

Pikiran Alya kemudian teralihkan pada masa depan—tentang apa yang akan terjadi setelah ini. Dia tidak lagi merasa takut atau khawatir. Bahkan, rasa rindu yang dulunya bisa membuatnya cemas kini justru menjadi bahan bakar yang membuatnya lebih kuat. Setiap kali mereka berjauhan, ia tahu ada satu hal yang tidak akan pernah berubah: cinta mereka. Jarak tidak akan pernah bisa menghalangi perasaan itu, justru semakin memperkuatnya.

Di sisi lain, Raka juga merasakan hal yang sama. Setelah kembali ke rumahnya, ia duduk di balkon sambil memandang langit malam yang penuh bintang. Setiap bintang yang berkelip mengingatkannya pada Alya—pada perasaan yang tumbuh di antara mereka, pada segala yang telah mereka lalui. Raka tersenyum sendiri, merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cinta mereka, yang dimulai dengan ragu-ragu, kini telah menjadi sesuatu yang sangat nyata dan tak tergoyahkan.

“Alya…” gumamnya pelan, seperti ingin memanggil nama itu ke udara, berharap bahwa perasaan yang ia rasakan akan sampai ke Alya, meskipun mereka tidak berada di tempat yang sama. Raka merasa bahwa pertemuan mereka di bandara itu bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sebuah takdir yang menuntun mereka pada jalan yang lebih jelas. Meskipun mereka harus kembali menjalani hubungan jarak jauh, kali ini ia merasa lebih yakin. Cinta mereka sudah kuat, dan mereka bisa melewati apa pun.

Ponselnya bergetar, sebuah pesan dari Alya. Membaca balasan itu, Raka merasakan semangatnya semakin menguat. Setiap kata yang ditulis Alya selalu memiliki kekuatan yang luar biasa. Ada sesuatu yang menenangkan dalam setiap kalimat yang keluar dari mulutnya, meskipun hanya melalui pesan.

“Aku percaya pada kita, Raka. Cinta kita akan selalu menemukan jalannya.”

Raka mengangguk pelan, seolah-olah ia bisa merasakan kehadiran Alya di sini, mendampinginya dalam setiap langkah. Mereka mungkin tidak bisa bersama setiap saat, tetapi rasa cinta mereka tidak akan pernah berubah. Meskipun terpisah oleh jarak, mereka masih berbagi semangat yang sama, berbagi harapan yang sama, dan berbagi cinta yang sama.

Malam itu, Raka menatap layar ponselnya, kemudian menulis pesan balasan.

“Aku juga percaya, Alya. Kita sudah melalui banyak hal, dan aku tahu kita akan terus berjalan bersama. Tidak ada jarak yang terlalu jauh untuk kita.”

Setelah mengirim pesan itu, Raka terdiam sejenak, menatap langit malam yang gelap, penuh bintang. Ia merasa bahwa, dalam kesendirian ini, ia tidak benar-benar sendirian. Di ujung sana, ada Alya yang selalu ada di hatinya, dan itu sudah cukup untuk memberi kekuatan.

Keesokan harinya, Alya merasa lebih tenang. Setelah bertahun-tahun menjalani hidupnya dengan segala rutinitas yang tak pernah berubah, ia kini merasa hidupnya memiliki arti yang lebih dalam. Cinta yang ia rasakan bukan lagi sekadar kebetulan atau perasaan sesaat. Cinta itu adalah sesuatu yang mereka pilih setiap hari, meski tak ada jaminan apa yang akan terjadi esok hari. Setiap hari mereka harus berjuang, menjaga komunikasi, dan saling mengingatkan bahwa meskipun dunia tidak selalu memberikan kemudahan, cinta selalu menemukan jalannya.

Raka dan Alya telah melewati ujian yang paling sulit dalam hubungan jarak jauh. Mereka telah membuktikan bahwa cinta tidak mengenal jarak, tidak mengenal waktu. Mereka telah menemukan cara untuk tetap bersama, meskipun terpisah ribuan kilometer.

Alya tahu bahwa cinta mereka akan terus tumbuh, seiring dengan perjalanan mereka yang masih panjang. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi ketakutan. Mereka telah menemukan jalan mereka, dan tidak ada yang bisa menghalanginya. Cinta ini, seperti ombak yang datang ke pantai, akan selalu kembali selalu menemukan jalannya.

“Ini baru permulaan,” gumam Alya pada dirinya sendiri, sambil tersenyum, menatap matahari yang mulai terbenam di ufuk barat. Cinta ini, meskipun tak selalu mudah, akan selalu menemukan jalan.*

Bab 9  Menjaga Cinta di Pesisir

Pagi itu, angin laut berhembus lembut, membawa aroma garam yang khas dari samudra. Alya duduk di tepi teras rumahnya, memandang ombak yang berdebur pelan, seolah-olah setiap detiknya menenangkan jiwa yang sedang dilanda kerinduan. Pesisir tempat ia tinggal selalu memberi kedamaian, namun kali ini ada satu hal yang selalu mengisi ruang kosong di hatinya rindu yang tak terungkapkan untuk Raka. Meski mereka sudah pernah bertemu, dan hubungan mereka kini terasa lebih kuat, jarak tetap menjadi tantangan yang tidak mudah. Namun, Alya tahu, ini adalah bagian dari perjalanan cinta mereka yang harus mereka hadapi bersama.

Meskipun waktu terasa berjalan cepat, setiap detik tanpa Raka adalah sebuah ujian. Terkadang, kerinduan itu datang begitu mendalam, menyelimuti hatinya, membuatnya merasa seperti ia ingin berlari ke arah Raka, dan merasakan kehangatannya secara langsung. Tetapi, di sisi lain, ia tahu bahwa jarak ini juga mengajarkan mereka banyak hal—terutama tentang bagaimana menjaga cinta dalam ketidakpastian, bagaimana mencintai tanpa harus selalu berada di sisi satu sama lain.

Alya menghela napas panjang. Ia membuka ponselnya dan mengecek pesan dari Raka yang baru saja masuk. Pesan yang sederhana, namun begitu berarti:

“Alya, aku sedang memikirkanmu. Bagaimana hari-harimu? Semoga segala sesuatunya berjalan baik di sana. Aku merindukanmu.”

Membaca pesan itu, Alya merasakan ketenangan dalam dirinya. Meski jarak memisahkan mereka, Raka selalu berhasil membuatnya merasa dekat. Terkadang, dalam kesendirian ini, pesan-pesan dari Raka adalah satu-satunya penghubung yang membuat hatinya tetap merasa penuh. Itu adalah bukti bahwa meski terpisah, cinta mereka tetap tumbuh.

Alya membalas pesan itu dengan cepat.

“Hari-hariku baik-baik saja, Raka. Tapi rasanya ada sesuatu yang hilang tanpa kehadiranmu di sini. Aku merindukanmu juga. Aku tahu kita harus sabar, tapi terkadang rindu ini datang begitu mendalam.”

Sesaat setelah mengirim pesan, Alya menatap laut lepas yang ada di hadapannya. Ia berusaha untuk menenangkan hati yang kadang terasa terlalu penuh dengan kerinduan. Tidak mudah untuk menjalani hubungan jarak jauh. Terkadang, ada saat-saat ketika ia merasa seolah-olah semua usaha yang dilakukan terasa sia-sia, saat keraguan datang tanpa diundang. Tetapi, Alya tahu bahwa cinta yang mereka miliki lebih kuat dari itu.

Selama ini, mereka berdua telah berjuang untuk menjaga komunikasi, untuk tetap saling terhubung, meskipun setiap kali terpisah jarak. Mereka berbicara lewat pesan, telepon, atau video call setiap hari, namun kadang-kadang itu tidak cukup. Perasaan itu tak bisa diungkapkan hanya lewat kata-kata atau layar ponsel. Ada kalanya Alya ingin merasakan pelukan Raka, merasakan kehangatannya yang selama ini hanya bisa ia bayangkan.

Namun, ia belajar untuk menerima kenyataan itu dengan hati yang lapang. Cinta mereka bukan hanya tentang berada di dekat satu sama lain setiap saat, tetapi juga tentang bagaimana mereka saling mendukung meskipun terpisah. Cinta ini bukan tentang memiliki fisik satu sama lain, tetapi lebih kepada bagaimana hati mereka tetap terhubung meskipun dunia tampak begitu luas.

Tiba-tiba, ponsel Alya bergetar lagi. Kali ini, pesan dari Raka berbunyi:

“Aku tahu kita sedang menghadapi banyak hal, Alya. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal—aku tidak akan pernah menyerah pada kita. Kita sudah terlalu jauh untuk berhenti di tengah jalan. Aku berjanji, suatu hari nanti, kita akan berada di tempat yang sama, berbagi hidup yang sama.”

Membaca pesan itu, Alya merasa ada kehangatan yang mengalir dalam dirinya. Raka selalu tahu cara untuk membuatnya merasa lebih kuat, lebih yakin bahwa apa yang mereka perjuangkan ini adalah sesuatu yang berharga. Tidak ada yang mudah dalam hubungan jarak jauh, tetapi mereka berdua sudah menunjukkan bahwa cinta bisa bertahan, bahkan ketika rintangan datang bertubi-tubi.

Alya balas pesan itu dengan hati yang penuh semangat.

“Aku juga berjanji, Raka. Kita sudah melewati banyak hal bersama, dan aku yakin kita akan terus melangkah bersama. Tidak ada yang bisa menghentikan kita. Aku menunggumu, dan aku tahu suatu hari nanti, kita akan berdiri bersama di satu tempat.”

Setelah mengirim pesan itu, Alya menatap kembali ke arah laut yang luas. Ia tahu, meskipun jarak memisahkan mereka, mereka masih bisa menjaga cinta itu dengan cara mereka sendiri. Mereka bisa menghadapinya dengan penuh kesabaran, dengan kepercayaan bahwa cinta itu adalah perjalanan yang panjang, tetapi layak untuk diperjuangkan.

Di sisi lain, Raka juga merasakan hal yang sama. Meski kini ia kembali ke kehidupannya yang sibuk, ia tahu bahwa ia harus tetap berjuang untuk cinta ini. Cinta mereka adalah sesuatu yang tak bisa diukur dengan jarak atau waktu. Ia tak peduli seberapa lama lagi mereka harus menunggu, karena baginya, Alya adalah rumah, tempat di mana ia merasa diterima, dihargai, dan dicintai tanpa syarat.

Raka pun berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berusaha. Ia tahu bahwa meskipun mereka terpisah, mereka bisa menjaga cinta ini dengan segala cara—dengan komunikasi yang baik, dengan saling memberi dukungan, dan yang paling penting, dengan saling percaya bahwa cinta mereka akan mengatasi segalanya.

Hari-hari berlalu, dan meskipun mereka masih terpisah oleh ribuan kilometer, hati mereka tetap terhubung. Mereka terus menjaga cinta itu dengan cara mereka masing-masing. Alya menemukan kedamaian dalam rutinitasnya, berusaha untuk menikmati hidupnya sementara menunggu Raka kembali. Ia tahu, meskipun hidup tidak selalu sempurna, cinta yang mereka punya adalah sesuatu yang patut dipertahankan.

Kadang, perasaan rindu datang begitu kuat. Kadang, keraguan muncul dan membuatnya merasa lelah. Tapi, di balik semua itu, ada keyakinan yang tidak pernah pudar—bahwa cinta mereka akan menemukan jalannya, bahwa mereka akan melewati semua tantangan yang datang, dan suatu hari nanti, mereka akan bersama. Karena mereka tahu, jarak hanya akan membuat cinta itu semakin kuat, semakin dalam, dan semakin berarti.

“Aku akan menunggumu, Raka,” bisik Alya pada angin laut yang berhembus lembut. “Aku akan menjaga cinta ini, dan aku tahu kita akan bertemu lagi di pesisir ini, di tempat yang penuh kenangan dan harapan.”

Dan di balik samudra yang luas itu, Raka pun memandang bintang-bintang malam dan berkata pada dirinya sendiri, “Aku akan kembali untukmu, Alya. Aku akan menjaga cinta ini sampai akhirnya kita bisa berdiri di pesisir yang sama.”

Cinta mereka tidak hanya ditemukan dalam pertemuan pertama, tetapi juga dalam setiap langkah yang mereka ambil untuk menjaga hubungan ini tetap hidup. Cinta itu tumbuh, meski terpisah jarak. Dan pada akhirnya, mereka tahu bahwa cinta yang sejati akan selalu menemukan jalan, meski harus menempuh perjalanan yang panjang.***

—————-THE END—————

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintaabadi#cintajarakjauh#MenjagaCinta#perjuangancinta#TungguDiPesisir
Previous Post

DENDAM TAK TERUCAP

Next Post

CINTA YANG MEMISAHKAN

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post

CINTA YANG MEMISAHKAN

CINTA YANG KEMBALI MENGHANTUI

CINTA YANG KEMBALI MENGHANTUI

CINTA DARI BENUA LAIN

CINTA DARI BENUA LAIN

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id