Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

JARAK YANG MEMBAWA RINDU

SAME KADE by SAME KADE
January 29, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 26 mins read
JARAK YANG MEMBAWA RINDU

Daftar Isi

  • Bab 1  Perkenalan yang Tertunda
  • Bab 2  Cinta Tanpa Bertemu
  • Bab 3  Rindu yang Tumbuh
  • Bab 4  Ujian Kepercayaan
  • Bab 5  Keputusan untuk Bertemu
  • Bab 6  Cinta yang Tak Pernah Pudar
  • Bab 7  Menyusun Rencana yang Sama
  • Bab 8  Cinta yang Menemukan Jalan

Bab 1  Perkenalan yang Tertunda

Rina menatap layar laptop dengan mata yang mulai terasa lelah. Pekerjaan yang menumpuk dan tugas yang tidak ada habisnya sering kali membuatnya terjebak dalam rutinitas yang monoton. Namun, hari itu ada sesuatu yang berbeda. Di sebuah forum diskusi online yang biasa ia kunjungi, ia menemukan sebuah komentar yang cukup menarik. Seorang pengguna dengan nama Dika menulis jawaban panjang tentang topik yang sedang ia teliti. Jawabannya tidak hanya informatif, tetapi juga sangat jelas dan penuh pemahaman.

Rina merasa penasaran. Tidak banyak orang yang mampu menjelaskan dengan detail sebaik itu. Lalu, tanpa ragu, ia membalas komentar tersebut, mengucapkan terima kasih dan menanyakan beberapa hal terkait penjelasannya. Ia tidak mengharapkan lebih dari sekadar diskusi biasa, tapi tidak lama setelah itu, pesan dari Dika datang lagi.

“Terima kasih atas balasannya. Senang bisa membantu. Kalau ada hal lain yang ingin kamu tanyakan, jangan ragu. Kita kan sama-sama di sini untuk saling belajar.”

Rina tersenyum membaca pesan tersebut. Meskipun itu hanya sebuah ucapan singkat, ia merasakan kehangatan dari cara Dika berbicara. Tanpa sadar, mereka mulai saling bertukar pesan lebih sering. Ternyata, Dika bukan hanya seorang yang tahu banyak soal hal-hal teknis, tetapi juga memiliki selera humor yang baik, yang membuat percakapan mereka semakin menarik.

Hari demi hari, percakapan antara Rina dan Dika semakin intens. Mereka mulai membahas lebih banyak topik, tidak hanya tentang pekerjaan dan hobi, tetapi juga tentang kehidupan pribadi mereka. Rina mulai mengetahui bahwa Dika adalah seorang pria yang tinggal di Yogyakarta, jauh dari tempat tinggalnya di Jakarta. Mereka berdua terkadang mengirim pesan di malam hari, bertukar cerita hingga larut, berbicara tentang hal-hal kecil dalam hidup mereka yang sering kali terlupakan.

Rina menemukan kenyamanan dalam percakapan dengan Dika. Ada sesuatu yang membuatnya merasa tenang setiap kali berbicara dengannya. Dika, di sisi lain, merasa ada kedekatan yang tumbuh meskipun mereka hanya berinteraksi melalui layar ponsel atau komputer. Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, seperti mereka telah mengenal satu sama lain sejak lama. Namun, kedekatan itu, meski menyenangkan, tetap diselimuti oleh satu hal: jarak.

Sampai suatu hari, Rina akhirnya merasa terdorong untuk mengajukan pertanyaan yang sudah lama terngiang di benaknya.

“Dika, aku merasa kita sudah cukup dekat meski baru berkenalan beberapa minggu ini. Tapi jujur, aku agak ragu. Apa sebenarnya yang kita bangun di sini? Aku tahu ini sedikit aneh, karena kita belum pernah bertemu langsung, tapi aku ingin tahu lebih.”

Beberapa detik setelah pesan itu terkirim, Rina merasa sedikit cemas. Apakah ia terlalu cepat bertanya? Namun, tak lama, Dika membalas dengan cepat, seolah-olah sudah memikirkan jawabannya.

“Rina, aku juga merasakan hal yang sama. Rasanya seperti kita sudah mengenal satu sama lain lebih lama dari sekadar obrolan online. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi entah mengapa, setiap kali aku berbicara denganmu, aku merasa nyaman, seperti aku sedang berbicara dengan seseorang yang sudah lama ada dalam hidupku. Jadi, kalau kamu merasa hal yang sama, aku pikir kita bisa terus saling mengenal, meskipun kita belum pernah bertemu.”

Rina membaca pesan itu dengan hati yang berdebar. Tidak ada jawaban yang lebih baik dari itu. Semua keraguannya seolah terhapus dalam sekejap. Mereka sepakat untuk terus berhubungan dan saling mengenal lebih dalam, meskipun ada jarak yang memisahkan.

Namun, meskipun percakapan mereka semakin dekat, Rina tidak bisa menghilangkan rasa ragu tentang bagaimana hubungan mereka akan berkembang. Apakah hubungan ini akan tetap berlanjut? Bagaimana jika perasaan yang tumbuh hanya terjadi karena komunikasi yang terus berlangsung tanpa henti? Rina tak bisa berhenti bertanya-tanya tentang hal itu.

Beberapa minggu berlalu. Komunikasi antara Rina dan Dika semakin erat. Mereka berbicara lebih banyak tentang mimpi, harapan, dan hal-hal kecil yang mereka impikan dalam hidup. Dika bercerita tentang bagaimana ia ingin mengembangkan kariernya di bidang desain grafis, sementara Rina mengungkapkan keinginannya untuk membuka usaha kecil-kecilan suatu hari nanti. Walaupun percakapan mereka kadang lebih serius, mereka tetap mampu saling tertawa dengan lelucon ringan yang kadang-kadang keluar tanpa sengaja.

Meskipun semuanya terasa indah, ada satu hal yang selalu menghantui pikiran Rina: kenapa mereka belum pernah bertemu?

Ia mulai merasa, mungkin mereka telah terlalu lama berada dalam zona nyaman, berkomunikasi tanpa melibatkan dunia nyata yang lebih konkret. Rina ingin sekali bertemu dengan Dika, tetapi jarak yang memisahkan mereka membuatnya ragu. Sebagai seorang yang terbiasa berada di Jakarta, ia merasa dunia di luar Jakarta terkadang sangat berbeda dalam hal kebiasaan, budaya, bahkan gaya hidup. Yogyakarta adalah kota yang sangat berbeda, dan Rina tidak tahu bagaimana perasaan Dika jika mereka benar-benar bertemu.

Satu hari, setelah beberapa hari tidak saling mengirim pesan karena kesibukan masing-masing, Dika menghubunginya. Pesan itu singkat, tapi penuh dengan kehangatan.

“Aku tahu kita jarang berbicara akhir-akhir ini, tapi aku cuma mau bilang, aku berharap kita bisa bertemu suatu saat nanti. Aku ingin melihatmu langsung, Rina. Tidak hanya dalam obrolan ini.”

Rina membalas dengan jantung yang berdegup kencang. “Aku juga ingin bertemu. Tapi bagaimana kita bisa memastikan kalau itu adalah keputusan yang tepat?”

“Kita tidak akan pernah tahu kalau kita tidak mencobanya, kan?” balas Dika.

Pesan itu membuat Rina terdiam beberapa saat. Rasa cemas dan ragu yang semula menguasai dirinya perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh keyakinan kecil yang mulai tumbuh. Mungkin ini memang waktunya. Mungkin, dengan segala keraguan dan ketidakpastian yang ada, inilah saatnya mereka untuk melangkah maju. Mereka belum tahu apa yang akan terjadi, tetapi mereka siap untuk mencoba.

Di luar jendela, malam semakin larut. Rina memandangi layar laptopnya lagi, tapi kali ini ia tidak merasa lelah. Perasaan yang sudah lama ia pendam kini mulai terlihat lebih jelas, seperti sebuah harapan yang baru saja tumbuh. Dengan senyum kecil di wajahnya, ia menulis balasan untuk Dika.

“Aku setuju. Mungkin, suatu hari nanti, kita akan bertemu. Tunggu aku, Dika.”

Pada akhirnya, meskipun perkenalan mereka tertunda oleh jarak, perasaan yang tumbuh antara mereka tidak dapat dipandang remeh. Rina dan Dika tahu, cinta bisa tumbuh meski terhalang oleh ribuan mil, dan meski pertemuan pertama mereka masih jauh di depan, mereka berdua merasa bahwa hubungan ini meskipun baru dimulai akan membawa mereka ke tempat yang lebih baik.*

Bab 2  Cinta Tanpa Bertemu

Hari-hari berlalu, dan semakin banyak waktu yang Rina habiskan untuk berbicara dengan Dika. Meski mereka terpisah jarak yang sangat jauh Rina di Jakarta, Dika di Yogyakarta setiap percakapan terasa begitu dekat. Mereka mulai saling berbagi lebih banyak hal pribadi. Rina bercerita tentang hari-harinya yang penuh kesibukan, tentang tekanan pekerjaan, dan keinginannya untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas sehari-hari. Dika, di sisi lain, berbicara tentang hidupnya yang penuh dengan tantangan. Ia menyampaikan ambisi untuk mengembangkan karirnya di bidang desain grafis, dan bagaimana ia ingin suatu hari bisa bekerja dengan klien internasional.

Setiap malam, mereka menyapa satu sama lain dengan kata-kata manis, meskipun hanya melalui pesan teks atau panggilan video singkat. Tapi, meski sudah lama berkomunikasi, ada satu hal yang tetap mengganjal di benak Rina: mereka belum pernah bertemu secara langsung. Selama ini, semuanya hanya terjadi di dunia maya. Mereka tahu banyak tentang satu sama lain, tetapi apakah itu cukup untuk membangun sesuatu yang lebih serius?

Pernah suatu malam, setelah berjam-jam saling mengobrol, Dika mengirimkan pesan yang sedikit berbeda dari biasanya.

“Rina, aku penasaran. Kita sudah sering bicara, berbagi cerita tentang kehidupan kita. Tapi, kalau suatu hari kita benar-benar bertemu, apa yang akan kita rasakan?”

Rina duduk terdiam setelah membaca pesan itu. Dika memang sudah banyak bercerita tentang dirinya, tetapi Rina masih merasa ada jurang yang besar antara dunia maya dan dunia nyata. Apakah mereka akan merasa canggung jika akhirnya bertemu? Apakah perasaan mereka akan tetap sama saat mereka tidak lagi hanya berbicara lewat layar?

Ia membalas dengan hati-hati, “Aku juga sering memikirkan itu, Dika. Rasanya seperti kita sudah mengenal satu sama lain sejak lama, meskipun kita hanya berbicara lewat teks. Tapi, bagaimana kalau saat bertemu nanti, semuanya terasa berbeda?”

Setelah beberapa detik, pesan dari Dika kembali masuk.

“Aku rasa, perasaan kita akan tetap sama. Hanya saja, mungkin kita akan sedikit canggung, kan? Tapi itu normal. Aku percaya kalau kita sudah merasa nyaman dengan percakapan ini, kita akan merasa nyaman juga saat bertemu.”

Rina memandang layar ponselnya, senyum kecil muncul di wajahnya. Mungkin Dika benar. Mungkin perasaan mereka sudah cukup kuat meski mereka belum pernah saling tatap muka secara langsung. Tapi, tetap saja, ada keraguan yang terus mengusik pikirannya. Bagaimana jika perasaan yang tumbuh selama ini hanya ilusi semata?

Hari-hari berikutnya, komunikasi mereka semakin intens. Rina mulai merasa ketergantungan pada Dika bukan karena ia merasa kesepian, tetapi karena Dika benar-benar membuatnya merasa dihargai. Setiap percakapan mereka terasa seperti pelipur lara di tengah rutinitasnya yang padat. Bahkan, Rina mulai menantikan setiap pesan atau panggilan dari Dika, seperti sebuah kebiasaan yang tak terpisahkan. Dika juga sama, mengaku bahwa ia merasa lebih hidup ketika berbicara dengan Rina. Ia merasakan kenyamanan yang tidak ia dapatkan dari percakapan dengan orang lain.

Namun, ada satu hal yang tidak bisa diabaikan. Rina merasa rindu rindu akan seseorang yang hanya bisa ia rasakan melalui layar. Rindu akan suara Dika yang selalu menenangkan, rindu akan tatapan mata yang selalu ada dalam setiap panggilan video mereka, meskipun itu hanya sementara. Ada ketegangan dalam dirinya yang semakin tumbuh. Apa yang harus dilakukan dengan rasa rindu ini? Bukankah itu aneh? Mereka tidak pernah bertemu di dunia nyata, tetapi rindu itu nyata.

Suatu hari, ketika mereka sedang mengobrol lewat aplikasi pesan instan, Dika mengirimkan sebuah foto dari pemandangan matahari terbenam di tepi pantai yang ia kunjungi pada akhir pekan. Rina membalas dengan kagum, memuji keindahan pemandangan tersebut.

“Indah sekali, Dika. Aku ingin sekali bisa berada di sana, menikmati sunset itu bersama kamu.”

Dika membalas dengan kalimat yang cukup sederhana, “Suatu hari nanti, Rina. Aku yakin kita akan berada di sana, menikmati pemandangan itu bersama.”

Tapi, Rina merasa ada sesuatu yang tertinggal. Kata-kata itu terdengar indah, namun tetap ada sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya. Apa benar cinta ini akan tetap utuh meski hanya dibangun melalui pesan dan panggilan video?

Seiring berjalannya waktu, keraguan itu mulai meresap lebih dalam. Rina merasa bingung dengan perasaannya sendiri. Ia ingin percaya bahwa hubungan ini bisa berjalan dengan baik meski hanya melalui komunikasi jarak jauh, namun bagaimana jika semua yang ia rasakan hanya sebuah rasa nyaman yang tercipta karena tidak ada interaksi fisik?

Suatu malam, saat mereka berbicara seperti biasa, Rina tidak bisa menahan diri untuk bertanya lebih dalam.

“Dika, apakah kamu merasa takut kalau semuanya akan berubah kalau kita bertemu nanti? Aku tahu kita sudah saling mengenal cukup lama, tapi rasa takut itu tetap ada.”

Dika terdiam beberapa saat sebelum akhirnya membalas dengan penuh pengertian.

“Aku juga merasa hal yang sama, Rina. Ada rasa takut, tentu saja. Takut kalau apa yang kita rasakan saat ini hanya ilusi, takut kalau kenyataan tidak akan seindah percakapan kita. Tapi aku juga merasa, kita tidak akan pernah tahu kalau kita tidak mencobanya. Aku percaya, jika kita sudah saling terbuka dan merasa nyaman, pertemuan pertama itu hanya akan mempererat hubungan kita.”

Rina mendalamkan napas, merasakan ketenangan setelah membaca pesan Dika. Mungkin, selama ini ia terlalu banyak meragukan diri sendiri. Dika benar, kadang kita harus menerima ketakutan itu, dan mencoba menghadapinya. Cinta tidak hanya dibangun melalui pertemuan fisik, tetapi juga melalui hati yang saling menerima meski jarak memisahkan.

Setelah percakapan malam itu, Rina merasa lebih tenang. Ia menyadari bahwa cinta mereka, meskipun tanpa pertemuan fisik, tetap ada. Kepercayaan yang mereka bangun dalam komunikasi jarak jauh ini bukanlah sebuah kebetulan. Mereka sudah cukup mengenal satu sama lain, dan meskipun tidak ada jaminan bahwa semuanya akan berjalan lancar ketika mereka akhirnya bertemu, Rina merasa yakin bahwa mereka akan terus berusaha.

Dika mengirimkan pesan satu jam sebelum tidur malam itu.

“Selamat malam, Rina. Aku harap kamu tidur dengan nyenyak dan mimpi indah. Aku ingin selalu ada untuk kamu, meskipun kita terpisah oleh jarak yang jauh.”

Rina membalas dengan hati yang penuh haru.

“Selamat malam, Dika. Aku juga ingin selalu ada untuk kamu. Semoga kita segera bertemu. Jarak ini takkan menghalangi rindu kita.”

Dan malam itu, saat Rina menutup matanya, ia merasa untuk pertama kalinya bahwa meskipun mereka belum bertemu, cinta mereka sudah mulai nyata. *

Bab 3  Rindu yang Tumbuh

Rina duduk di depan jendela kamar, menatap hujan yang turun dengan derasnya. Angin yang berhembus menggerakkan dedaunan di luar, membuat pemandangan di luar terlihat sejuk dan tenang. Namun, dalam hatinya, ada perasaan yang sulit untuk dijelaskan sebuah rasa rindu yang semakin tumbuh seiring berjalannya waktu. Rindu itu datang dengan perlahan, seperti hujan yang tak terasa begitu deras, namun lama kelamaan, ia menyadari betapa besar perasaan itu mengisi ruang di hatinya.

Semua ini dimulai sejak pertama kali ia berkenalan dengan Dika di forum diskusi online. Mereka berdua tidak pernah bertemu langsung, hanya berkomunikasi melalui pesan teks dan panggilan video yang jarang dilakukan. Meski begitu, rasa nyaman itu tumbuh begitu cepat, hampir tanpa disadari. Percakapan mereka semakin intens, sering kali berlanjut hingga larut malam. Rina merasa terhubung dengan Dika tidak hanya karena obrolan mereka yang menarik, tetapi juga karena cara Dika membuatnya merasa dihargai dan diterima.

Namun, meskipun segalanya terasa begitu dekat, ada satu hal yang selalu mengganggu pikiran Rina: jarak yang memisahkan mereka. Jakarta dengan segala hiruk-pikuknya, dan Yogyakarta yang lebih tenang dan penuh dengan budaya. Mereka tidak hanya terpisah oleh ruang, tetapi juga oleh waktu, oleh dunia yang berbeda meski hanya sedikit.

Rina masih ingat saat pertama kali merasakan rindu itu. Ketika Dika mengirimkan sebuah foto pemandangan matahari terbenam dari tempatnya, Rina merasa seolah-olah ia ingin berada di sana, berdiri di samping Dika, melihat pemandangan yang sama. Namun, saat itu, ia hanya bisa menatap layar ponselnya, membayangkan bagaimana rasanya berada di sana. Apa rasanya berada di dekat Dika, mendengar suara tawa khasnya, atau melihat matanya yang penuh dengan kebaikan? Semua itu terasa seperti sebuah angan-angan yang sangat jauh dari jangkauannya.

Hari-hari berlalu, dan meskipun ia merasa semakin dekat dengan Dika, rasa rindu itu semakin menguat. Setiap kali mereka berbicara, Rina merasa seolah-olah ia ingin lebih lebih banyak waktu, lebih banyak cerita, lebih banyak kenangan. Rindu itu tumbuh seperti tanaman yang perlahan merambat ke setiap sudut hati Rina. Tak ada yang bisa menghentikannya. Ia merasa ingin berada dekat dengan Dika, ingin mendengar langsung suaranya tanpa perantara layar.

Suatu sore, ketika Dika mengirimkan pesan singkat yang lebih panjang dari biasanya, Rina merasa hati itu berdebar. Dika menceritakan tentang hari-hari yang ia jalani kerja di kantor, berkeliling kota untuk mencari inspirasi, dan hal-hal sederhana yang membuatnya merasa hidup. Tapi ada satu kalimat yang membuat Rina merasa tersentuh:

“Aku cuma ingin bilang, kalau aku kangen, Rina. Kangen ngobrol denganmu, kangen mendengar suaramu.”

Pesan itu terasa seperti petir yang menyambar. Ada perasaan hangat yang memenuhi dadanya, dan untuk pertama kalinya, Rina merasa rindu itu bukan hanya datang dari dirinya sendiri, tetapi juga dari Dika. Rasanya aneh, karena meskipun mereka tidak pernah bertemu langsung, perasaan ini begitu nyata, begitu kuat.

Rina membalas dengan hati-hati, “Aku juga kangen, Dika. Rasanya aneh, ya? Kita belum pernah bertemu, tapi aku merasa dekat denganmu. Rindu ini tumbuh begitu cepat, dan aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.”

Dika membalas beberapa detik setelahnya, “Aku juga nggak tahu, Rina. Rasanya seperti sudah kenal lama. Kalau aku pikir-pikir, sepertinya kita sudah cukup banyak berbagi, meskipun hanya lewat pesan.”

Rina tersenyum membaca balasan itu. Ada sesuatu dalam kalimat Dika yang membuatnya merasa yakin bahwa mereka berdua sedang berada dalam perjalanan yang sama. Meskipun tidak ada jaminan tentang masa depan, setidaknya mereka sudah saling merasakan. Rindu itu, meskipun datang tanpa diduga, sudah merasuk dalam hati mereka berdua.

Namun, seiring berjalannya waktu, rasa rindu itu semakin menekan Rina. Ia merasa semakin ketergantungan pada komunikasi dengan Dika. Setiap pagi, ia menantikan pesan dari Dika, setiap malam, ia berharap bisa mendengar suara Dika melalui panggilan video. Tapi, kadang-kadang, rasa rindu itu juga membuatnya cemas. Apa yang akan terjadi jika mereka bertemu? Apakah semuanya akan tetap sama?

Rina mencoba untuk mengalihkan pikirannya dengan bekerja lebih keras. Namun, setiap kali ia merasa lelah, ia justru merindukan percakapan dengan Dika lebih dari sebelumnya. Di tengah kesibukan kota Jakarta yang sibuk, ada satu hal yang selalu menenangkan pikirannya: Dika.

Pernah suatu malam, saat Rina merasa begitu capek dan lelah, Dika menghubunginya melalui panggilan video. Wajahnya yang tampak lelah namun tetap tersenyum memberi Rina semangat. Mereka berbicara tentang hal-hal ringan, seolah-olah dunia ini milik mereka berdua. Rina merasa bahagia, meskipun jarak memisahkan mereka, meskipun mereka tidak bisa benar-benar saling berdekatan. Saat itu, rindu yang semula terasa seperti beban, malah menjadi kekuatan.

“Aku ingin cepat bertemu, Rina,” kata Dika dengan tatapan yang begitu serius meski jarak memisahkan mereka. “Aku ingin melihatmu, bukan hanya melalui layar.”

Rina merasakan sebuah kehangatan yang datang dari kata-kata Dika. “Aku juga ingin bertemu, Dika. Rasanya semakin sulit menahan rindu ini.”

Kata-kata itu menjadi janji yang tak terucapkan, sebuah harapan yang tumbuh perlahan. Mereka tahu, meskipun rindu itu tidak mudah, mereka akan melewatinya bersama. Rindu ini mungkin akan terus tumbuh, mungkin juga akan menjadi lebih kuat seiring berjalannya waktu, tetapi Rina tahu satu hal: rindu ini adalah bukti cinta mereka. Cinta yang terbangun dari jarak yang jauh, dari komunikasi yang sederhana, namun begitu kuat.

Rina memejamkan mata, meresapi perasaan yang kini penuh dengan harapan. Rindu itu tidak akan pernah berhenti. Mungkin jarak akan terus ada, tetapi mereka berdua tahu bahwa setiap rindu yang tumbuh akan membawa mereka lebih dekat. Hanya waktu yang akan menjawab kapan mereka bisa benar-benar bertemu, tetapi Rina tahu, selama rindu ini ada, mereka akan tetap saling menunggu saling menjaga perasaan yang tumbuh meski tak pernah bertemu.*

Bab 4  Ujian Kepercayaan

Rina menatap layar ponselnya, perasaan campur aduk menggerogoti hatinya. Di balik setiap pesan dari Dika yang ia terima, ada perasaan yang selalu menggugah hatinya rindu, harapan, dan kadang juga, kecemasan. Kecemasan yang tak terucapkan, tetapi selalu ada di sana, bersembunyi di sudut-sudut pikirannya. Meski Dika selalu mengirimkan pesan yang penuh perhatian, kadang-kadang ada momen ketika Rina merasa seperti ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan.

Itu dimulai sekitar dua minggu yang lalu. Dika mendadak mulai lebih sibuk, seringkali tidak dapat dihubungi, dan ketika mereka berbicara, ada jarak yang tidak biasa dalam percakapan mereka. Dika yang biasanya penuh semangat kini terdengar lebih cemas dan terkesan terburu-buru.

Rina mencoba untuk tidak terlalu khawatir. Mungkin dia hanya sedang sibuk dengan pekerjaannya, pikirnya. Namun, semakin lama, semakin banyak pesan yang tidak terbalas. Dika bahkan sempat terlambat menjawab pesan Rina yang sudah terkirim selama berjam-jam, sesuatu yang jarang terjadi sebelumnya.

Pada suatu malam, setelah beberapa hari tanpa komunikasi yang berarti, Rina merasa cukup gelisah. Ia memutuskan untuk menghubungi Dika lewat panggilan video, berharap bisa berbicara langsung dengan dia, mencari jawaban dari perasaan yang mengganjal. Dika akhirnya menerima panggilan tersebut setelah beberapa detik, dan terlihat jelas di wajahnya bahwa ia tampak kelelahan.

“Maaf, Rina,” ujar Dika sambil tersenyum lelah. “Aku benar-benar sibuk akhir-akhir ini. Banyak hal yang harus diselesaikan.”

Rina mencoba untuk tidak menunjukkan kekhawatirannya. “Tidak apa-apa, aku mengerti kok,” jawabnya sambil tersenyum, meskipun hatinya mulai merasakan kecemasan yang tak terelakkan.

Namun, saat mereka mulai mengobrol, ada yang terasa berbeda. Dika sering terlihat melirik ke arah lain, dan kadang-kadang dia tampak ragu-ragu menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana yang biasanya dia jawab dengan lancar. Rina merasakan ketegangan di antara mereka, sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya. Dia bisa merasakan perubahan dalam nada suara Dika, ada sesuatu yang mengganjal dalam dirinya. Apakah ini perasaan yang hanya muncul dalam pikirannya, ataukah memang ada sesuatu yang sedang terjadi dengan Dika?

“Rina, maafkan aku, aku harus segera tidur. Aku harus bangun pagi untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan,” ujar Dika dengan suara yang agak terburu-buru.

Rina merasa seolah-olah ia sedang berbicara dengan seseorang yang asing, meskipun itu adalah Dika, orang yang sudah lama dikenalnya. “Iya, nggak masalah, Dika. Tidur yang cukup, ya,” jawabnya, berusaha tetap terlihat tenang meskipun hatinya terasa berat.

Setelah panggilan video itu selesai, Rina duduk termenung. Ada sesuatu yang tidak beres, tetapi ia tak bisa memastikannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Dika tampak begitu jauh? Rina merasa cemas, namun ia berusaha untuk tidak terlalu menaruh prasangka. Mungkin Dika benar-benar sibuk. Mungkin dia sedang menghadapi hal-hal yang sulit dan tidak ingin membebani Rina dengan masalahnya.

Namun, hari demi hari, ketegangan itu semakin meningkat. Dika semakin sering menghindar, dan komunikasi mereka semakin jarang. Bahkan, saat Rina mencoba menghubunginya melalui pesan teks, jawabannya selalu terlambat dan terkesan terburu-buru. Apa yang sebenarnya terjadi?

Puncaknya datang ketika Rina mendapat pesan dari seorang teman lama yang kebetulan mengetahui beberapa hal tentang Dika. Teman itu memberi tahu Rina bahwa ia mendengar Dika sedang dekat dengan seorang wanita lain, seseorang yang dikenal Rina. Rina merasa seperti disambar petir. Selama ini, ia tidak pernah merasa ragu dengan Dika, tetapi saat itu, sebuah benih keraguan mulai tumbuh dalam hatinya. Apakah Dika benar-benar setia padanya?

Rina merasa bingung. Ia ingin percaya pada Dika, namun kenyataan yang ia dengar membuatnya kesulitan untuk tetap berpikir jernih. Tanpa berpikir panjang, ia langsung memutuskan untuk menghubungi Dika dan meminta penjelasan.

“Rina,” suara Dika terdengar tergesa-gesa ketika ia menjawab panggilan telepon. “Ada apa? Kenapa kamu menelepon aku tengah malam?”

“Apakah benar kamu dekat dengan wanita lain?” suara Rina bergetar, meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang. “Aku dengar dari teman kita bahwa kamu…”

Dika terdiam beberapa detik, lalu suara itu terdengar berat. “Rina, aku bisa jelaskan semuanya. Tapi, kamu harus percaya padaku.”

Namun, Rina sudah tidak bisa lagi menahan emosi yang meledak di dadanya. Kepercayaan yang selama ini ia bangun dengan Dika terasa mulai retak. Mengapa Dika tidak memberi penjelasan lebih cepat? Mengapa ia memilih diam, membiarkan dirinya terperosok dalam kecurigaan?

“Aku tidak tahu lagi, Dika. Kamu bilang kamu sibuk, tapi kenapa sekarang aku dengar kamu malah dekat dengan orang lain?” Rina hampir menangis, berusaha menahan amarah dan kekecewaan yang menghantam hatinya.

Dika mencoba untuk menjelaskan, “Rina, ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku memang dekat dengan orang itu, tapi itu hanya karena urusan pekerjaan. Aku tidak ingin kamu cemas. Aku janji, itu tidak ada hubungannya dengan perasaan.”

Namun, Rina merasa sulit untuk percaya. Dia ingin sekali mempercayai Dika, tetapi hatinya terluka, dan rasa cemas itu terus menghantui setiap detiknya. Apakah Dika benar-benar setia? Atau apakah dia hanya berbicara dengan kata-kata manis untuk menenangkan hatinya?

Dika merasakan keraguan yang mulai tumbuh di antara mereka, dan ia tahu bahwa dia harus berbuat sesuatu untuk membuktikan bahwa ia benar-benar menginginkan hubungan ini. “Rina, aku tahu aku salah karena tidak memberi penjelasan lebih awal. Tapi aku janji, aku akan membuktikan semuanya. Aku tidak akan biarkan hubungan kita hancur karena keraguan ini.”

Rina duduk kembali, menatap layar ponselnya yang seakan-akan menjadi satu-satunya jendela antara dirinya dan Dika. Perasaan rindu yang semula begitu indah kini tercemar oleh keraguan dan ketakutan. Ia tahu, untuk hubungan ini bisa bertahan, mereka harus melewati ujian besar ini—ujian kepercayaan. Tapi apakah mereka bisa?*

Bab 5  Keputusan untuk Bertemu

Hari itu, langit Jakarta mendung, seperti mencerminkan perasaan Rina yang masih penuh dengan kegelisahan. Ia menatap layar ponselnya, memikirkan kembali semua percakapan dengan Dika. Beberapa minggu terakhir, hubungan mereka terasa seperti berada di ujung jurang berjalan di antara kepercayaan dan keraguan. Setiap kali Dika menjelaskan, setiap kali ia mencoba meyakinkan Rina bahwa semuanya baik-baik saja, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benak Rina. Meskipun mereka saling mengungkapkan perasaan lewat pesan dan panggilan, ada ketidakpastian yang semakin sulit diabaikan.

Akhirnya, setelah berhari-hari berpikir, Rina merasa seperti ada satu hal yang harus mereka lakukan untuk mengatasi semua keraguan ini. Mereka harus bertemu. Hanya dengan bertemu secara langsung, hanya dengan berbagi waktu bersama, barangkali semua kebingungannya akan terjawab. Rina merasa, kalau mereka tidak melakukan itu, hubungan ini mungkin akan berakhir begitu saja. Jarak dan ketidakpastian semakin menggerogoti perasaan mereka, membuat cinta yang seharusnya tumbuh menjadi rapuh.

Pikirannya kembali melayang ke malam itu, ketika mereka berbicara dengan hati-hati tentang kemungkinan bertemu. Dika sempat mengatakan bahwa ia ingin suatu hari nanti, jika waktu memungkinkan, mereka bisa bertemu di dunia nyata, bukan hanya lewat layar. Namun, meskipun Dika mengungkapkan niatnya, Rina masih meragukan niat itu. Ia merasa bahwa pertemuan itu penting, tidak hanya untuk mengkonfirmasi perasaan mereka, tetapi juga untuk melihat apakah hubungan ini benar-benar memiliki fondasi yang kuat untuk tumbuh lebih dalam.

Keputusan itu datang begitu saja, hampir seperti sebuah dorongan yang tidak bisa ditolak. Rina memandang ponselnya dan tanpa berpikir panjang, ia mulai mengetik pesan untuk Dika.

“Dika, aku ingin bertemu denganmu. Aku rasa kita sudah cukup lama berkomunikasi, tapi kita belum pernah bertemu secara langsung. Aku ingin melangkah lebih jauh, dan aku rasa ini adalah saat yang tepat. Apa kamu siap?”

Pesan itu cukup sederhana, namun begitu penting. Rina tahu bahwa ini adalah langkah besar. Ini bukan sekadar ajakan bertemu, ini adalah sebuah keputusan untuk melangkah ke tahap berikutnya, untuk menghadapi kenyataan yang selama ini hanya mereka bayangkan dalam percakapan di layar.

Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya pesan itu dibalas oleh Dika. “Aku juga berpikir hal yang sama, Rina. Aku rasa kita sudah cukup lama mengenal satu sama lain melalui percakapan ini, dan aku ingin bertemu denganmu. Kapan kamu bisa?”

Rina merasa sebuah beban berat tiba-tiba menghilang, seolah langit yang mendung itu membuka sedikit celah, memberi ruang bagi secercah cahaya. Ia merasa lega, seolah semua keraguan yang mengganggu hatinya selama ini mulai memudar. Mereka berdua sepakat untuk bertemu di Jakarta akhir pekan depan, tepatnya di sebuah kafe yang mereka pilih bersama. Tempat yang tenang, dengan pemandangan kota yang bisa memberikan kesempatan bagi mereka untuk berbicara lebih leluasa tanpa gangguan.

Malam sebelum pertemuan, Rina tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya terus berputar, membayangkan bagaimana pertemuan itu akan berlangsung. Apakah semuanya akan terasa canggung? Akankah ia merasa nyaman bersama Dika seperti saat mereka berbicara lewat pesan? Rina merasa sedikit khawatir, tapi di sisi lain, ada rasa semangat yang tak tertahankan. Ia merindukan Dika, lebih dari yang ia sadari. Ia ingin tahu apakah perasaan yang selama ini tumbuh antara mereka bisa bertahan ketika akhirnya mereka bertemu langsung.

Keesokan harinya, Rina bangun dengan perasaan yang campur aduk. Ia memutuskan untuk mengenakan pakaian yang nyaman namun tetap membuatnya merasa percaya diri. Ia memilih gaun sederhana yang membuatnya terlihat santai namun tetap menarik. Setelah berdandan seadanya, ia melihat jam di ponselnya dan menyadari bahwa ia sudah hampir terlambat. Dika pasti sudah menunggu.

Rina bergegas keluar rumah, berharap perjalanan menuju kafe tidak terhalang kemacetan. Sambil dalam perjalanan, ia terus memikirkan berbagai kemungkinan tentang bagaimana pertemuan ini akan berjalan. Apakah ia akan merasa canggung saat melihat Dika untuk pertama kalinya? Apakah Dika akan tampak seperti yang ia bayangkan? Atau malah, ia akan merasa kecewa?

Setibanya di kafe, Rina langsung melangkah masuk dan mencari-cari sosok Dika. Namun, tak ada yang tampak seperti yang ia bayangkan. Setelah beberapa detik, matanya tertuju pada seorang pria yang duduk di sudut, dengan wajah yang familiar. Dika.

Hatinya berdebar-debar saat langkahnya semakin mendekat. Dika tampak seperti dalam pesan-pesan mereka, tetapi lebih nyata. Wajahnya yang biasanya hanya dilihatnya lewat layar kini tampak begitu dekat, begitu nyata. Ia masih mengenakan kemeja putih yang terlihat simpel, tapi ada aura kehangatan di wajahnya yang membuat Rina merasa seolah-olah waktu berhenti sejenak.

Dika tersenyum saat melihatnya, senyum yang Rina kenal, namun kali ini terasa lebih hangat. “Rina,” sapanya dengan suara yang dalam dan penuh kehangatan. “Kamu datang juga.”

Rina mengangguk, agak canggung. Ia merasa jantungnya berdebar cepat, seperti pertama kali bertemu dengan seseorang yang baru dikenalnya. “Iya, akhirnya. Aku senang kita bisa bertemu.”

Mereka duduk di meja yang telah dipesan, dan setelah beberapa detik hening, percakapan mereka mulai mengalir dengan sendirinya. Semua kecemasan yang sebelumnya ada perlahan menghilang. Tidak ada canggung yang lama, tidak ada perasaan aneh yang mengganggu. Justru, mereka merasa seperti sudah mengenal satu sama lain jauh lebih lama daripada yang sebenarnya.

Dika mulai bercerita tentang kehidupannya di Yogyakarta, tentang pekerjaan, tentang hal-hal sederhana yang membuatnya tertawa. Rina, meskipun sedikit kikuk, merespon dengan antusias. Percakapan itu terasa begitu mudah, seperti mereka sudah bertemu ribuan kali sebelumnya.

Ketika makanan datang, mereka mulai berbicara lebih dalam. Dika membahas perasaan yang selama ini ia rasakan tentang hubungan jarak jauh ini, tentang bagaimana sulitnya mempertahankan komunikasi dan kepercayaan. Rina mengangguk, menyadari bahwa selama ini mereka berdua memang telah menghadapi banyak tantangan.

“Aku senang kita bisa bertemu,” kata Dika, menatap Rina dengan mata yang penuh makna. “Ini adalah keputusan besar, dan aku rasa kita sudah melakukan hal yang benar.”

Rina tersenyum, merasa sebuah beban besar terangkat dari hatinya. “Aku juga merasa begitu, Dika. Ini langkah besar, dan aku bahagia kita bisa melakukannya.”

Malam itu, Rina merasa seperti akhirnya menemukan bagian dari dirinya yang hilang. Pertemuan ini bukan hanya tentang mengatasi keraguan, tetapi juga tentang memperkuat ikatan yang selama ini mereka jaga meskipun terpisah jarak. Keputusan untuk bertemu ternyata bukan hanya soal bertatap muka, tetapi juga tentang membangun kembali kepercayaan yang lebih kuat dari sebelumnya.*

Bab 6  Cinta yang Tak Pernah Pudar

Hari-hari setelah pertemuan mereka berjalan dengan cara yang tak terduga. Rina merasa seperti ada sesuatu yang baru tumbuh di dalam hatinya sesuatu yang lebih kuat dari sekadar kata-kata atau harapan. Setelah bertemu langsung dengan Dika, semua keraguan yang sebelumnya menghalangi dirinya kini mulai lenyap. Mereka benar-benar merasakan koneksi yang lebih mendalam, jauh melampaui jarak yang selama ini memisahkan mereka.

Di tengah kesibukan masing-masing, Rina merasa ada perasaan yang semakin tumbuh dalam dirinya. Cinta bukan cinta yang datang dari kilasan perasaan sementara, tetapi cinta yang kuat, yang bertahan meskipun waktu dan jarak terus menguji mereka. Cinta yang tak tergoyahkan oleh apapun.

Namun, meskipun mereka sudah bertemu, ada satu hal yang tetap menggantung di pikiran Rina. Bagaimana kelanjutan hubungan ini setelah semuanya? Kini, mereka kembali berjarak. Dika masih di Yogyakarta, dan Rina masih di Jakarta. Kehidupan masing-masing mereka terus berjalan dengan rutinitas yang tak bisa dihindari. Tetapi, kali ini, rasa takut akan kehilangan Dika mulai menghilang, berganti dengan rasa percaya yang lebih besar.

Satu bulan setelah pertemuan itu, Rina duduk di balkon apartemennya, menatap kota Jakarta yang ramai, namun hatinya terasa tenang. Ia membuka aplikasi pesan di ponselnya dan melihat pesan dari Dika yang baru saja masuk. Pesan yang sederhana, namun penuh makna.

“Rina, aku ingin kamu tahu bahwa meskipun kita terpisah oleh jarak, hatiku selalu ada bersamamu. Aku tidak pernah merasa sejauh ini denganmu.”

Rina tersenyum membaca pesan itu, matanya mulai berkaca-kaca. Kata-kata Dika selalu punya kekuatan untuk menghangatkan hatinya. Mereka sudah melalui banyak hal, dan meskipun waktu dan jarak tak pernah bisa diprediksi, cinta mereka tetap bertahan.

Setiap kali mendengar kabar dari Dika, hatinya seakan-akan dipenuhi dengan kebahagiaan. Ia merasa seperti setiap pesan, setiap telepon, dan setiap video call adalah satu langkah lebih dekat untuk membuat hubungan ini lebih nyata. Rina pun tahu, meskipun pertemuan langsung itu sudah terjadi, mereka tetap perlu terus berjuang untuk menjaga kepercayaan dan komunikasi.

Rina menatap layar ponselnya dan memutuskan untuk membalas pesan Dika.

“Aku juga merasakannya, Dika. Jarak ini tidak bisa memisahkan kita. Mungkin kita tidak bisa selalu bersama, tapi aku tahu, kamu ada di hatiku. Dan itu sudah cukup.”

Namun, meskipun semuanya tampak berjalan lancar, hidup memang selalu memiliki cara untuk menguji kesabaran dan keteguhan hati. Beberapa minggu setelah pesan itu, Rina mulai merasakan sebuah perubahan lagi dalam diri Dika. Apakah ini hanya perasaan yang ia ciptakan sendiri? Ataukah, seperti dulu, ada sesuatu yang mengganggu di balik sikap Dika yang mulai sedikit lebih jauh?

Dika mulai lebih jarang menghubungi Rina. Tidak ada pesan atau telepon yang datang seperti sebelumnya. Awalnya, Rina mencoba untuk mengerti. Mungkin Dika sedang sibuk. Namun, semakin lama, ketidakpastian itu semakin menggerogoti pikirannya.

Suatu malam, setelah beberapa hari tidak mendengar kabar, Rina memutuskan untuk mengirim pesan yang lebih langsung.

“Dika, ada apa? Aku merasa seperti ada sesuatu yang berubah. Apa kamu baik-baik saja?”

Pesan itu terasa seperti menekan tombol yang bisa memicu ledakan perasaan, namun Rina tahu ia perlu mendengarnya. Tidak ada lagi yang bisa ia simpan dalam keraguannya. Jika Dika merasa cemas atau bingung, Rina ingin tahu. Jika ada sesuatu yang mengganjal, ia ingin berbicara dan mencari solusi bersama.

Dika membalas pesan itu setelah beberapa menit, kali ini dengan kata-kata yang lebih panjang dari biasanya.

“Rina, aku minta maaf. Aku memang agak menghindar belakangan ini. Bukan karena aku tidak peduli padamu, tetapi karena aku merasa semakin terjepit antara perasaan dan kenyataan. Aku rindu kamu, tapi aku juga takut aku tidak cukup untukmu. Takut hubungan ini terlalu berat untuk dijalani.”

Rina merasa hatinya teriris membaca pesan itu. Dika merasa terjepit? Rina tidak pernah menyangka bahwa perasaan Dika akan sekompleks itu. Ia merasa seperti sebuah beban yang selama ini dia abaikan. Rina menatap layar ponselnya, kemudian menghembuskan napas panjang, berusaha menenangkan diri.

“Dika, aku mengerti perasaanmu. Kita memang terpisah jarak yang sangat jauh. Tapi itu bukan alasan untuk mundur. Aku mencintaimu, dan aku ingin berjuang bersama. Aku tahu kita bisa melakukannya, asalkan kita saling percaya. Apapun yang terjadi, aku tidak ingin menyerah.”

Pesan itu dikirimkan dengan penuh harapan, meskipun rasa takut dan kecemasan terus berkecamuk dalam hatinya. Tetapi kali ini, Rina merasa lebih kuat. Mereka sudah menghadapi banyak rintangan dari jarak yang tak terukur hingga ketidakpastian yang kadang datang tiba-tiba. Jika mereka bisa melewati itu semua, apa yang akan membuat mereka menyerah?

Beberapa menit kemudian, Dika membalas.

“Kamu benar, Rina. Aku tidak ingin menyerah juga. Aku hanya takut, takut jika kita berjuang terlalu keras dan akhirnya hancur. Tapi aku rasa kita harus lebih percaya pada diri kita sendiri, pada apa yang kita rasakan. Aku janji, aku akan lebih berusaha untuk tetap ada, untuk kita.”

Rina merasakan sebuah beban berat terangkat dari hatinya. Mereka berbicara dengan sangat terbuka, seperti yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya. Kepercayaan itulah yang membuat mereka mampu bertahan sejauh ini. Cinta mereka bukan hanya soal perasaan, tetapi juga tentang keberanian untuk menghadapi ketakutan bersama.

Sejak malam itu, komunikasi mereka kembali seperti semula. Bahkan lebih kuat. Rina merasa bahwa setiap kali mereka mengatasi ujian dalam hubungan ini, ikatan mereka semakin kokoh. Mungkin, memang ada saat-saat ketika keraguan datang menghampiri, namun yang pasti, cinta mereka tidak pernah pudar.

Dika mulai lebih sering mengirimkan pesan, bahkan kadang-kadang mengirimkan foto-foto suasana tempat kerjanya yang indah di Yogyakarta. Rina, yang kini mulai lebih sering bekerja dari rumah, merespon dengan antusias, berbagi tentang pekerjaannya dan hal-hal sederhana dalam hidupnya. Mereka berbagi momen kecil yang terasa besar bagi mereka.

Suatu malam, ketika Rina sedang duduk di balkon sambil memandangi bintang, ia merasakan kedamaian yang datang begitu saja. Mungkin jarak memang ada, tetapi mereka telah melewati begitu banyak hal bersama. Cinta mereka tidak akan pernah pudar, meskipun waktu terus berjalan.

Rina menatap langit, membayangkan Dika yang mungkin sedang melakukan hal yang sama di tempat yang berbeda, dengan perasaan yang sama. Cinta yang tumbuh melalui waktu dan jarak ini lebih kuat daripada apapun yang bisa menghalanginya.

Di bawah langit yang sama, di antara bintang yang bersinar, mereka berdua tahu mereka tidak akan pernah benar-benar terpisah.*

Bab 7  Menyusun Rencana yang Sama

Rina duduk di meja kerjanya, mata terpaku pada layar laptop. Sementara di luar jendela, hujan rintik-rintik mulai turun perlahan, memberi kesan tenang di dalam ruangan yang hangat. Suasana ini sangat kontras dengan pikiran Rina yang terus berputar, mengurai dan menyusun sesuatu yang lebih besar dari sekadar percakapan atau pesan singkat. Rencana. Ya, rencana yang harus mereka buat bersama.

Seminggu terakhir, hubungan mereka semakin kuat setelah mengatasi keraguan dan ujian yang datang tiba-tiba. Dika—meskipun masih berada di Yogyakarta—terus berkomunikasi dan membuat Rina merasa bahwa mereka sedang menapaki jalan yang benar. Namun, Rina tahu bahwa mereka tak bisa lagi berjalan begitu saja tanpa tujuan yang lebih jelas. Hubungan mereka sudah lebih dari sekadar kata-kata di layar, dan kini saatnya untuk menyusun langkah lebih besar.

Pernah suatu kali, Dika bercerita tentang keinginannya untuk pindah ke Jakarta. “Aku ingin mendekatimu, Rina. Tapi aku takut kalau keputusan itu terlalu terburu-buru,” kata Dika dalam sebuah percakapan panjang beberapa waktu lalu. Rina ingat benar, kata-kata itu bergaung di telinganya setiap malam, mengisi ruang yang kosong di hatinya. Apakah benar mereka siap untuk saling menempuh jarak yang lebih dekat, untuk menyusun masa depan bersama? Atau ini hanya sekadar impian yang indah, yang harus mereka tunda karena kenyataan yang lebih keras?

Rina meraih teleponnya. Dia ingin memulai percakapan ini, namun kali ini bukan hanya sekadar obrolan biasa. Ini adalah tentang masa depan mereka. Dengan perasaan campur aduk, ia mengetik pesan kepada Dika, mengungkapkan perasaannya secara langsung.

“Dika, aku berpikir tentang kita lagi. Kita sudah melalui banyak hal, dan aku merasa bahwa sekarang kita perlu membuat keputusan. Tentang masa depan kita, tentang bagaimana kita akan menjalani hidup ini bersama. Apakah kamu siap membicarakan rencana kita?”

Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, pesan itu dibalas.

“Tentu, Rina. Aku juga memikirkannya. Aku rasa kita memang perlu memutuskan, tapi aku takut kalau aku belum siap. Semua terasa cepat. Aku ingin kita melakukan ini dengan hati-hati.”

Rina tersenyum membaca balasan itu. Meskipun Dika merasakan keraguan yang sama, setidaknya ia tidak menolak untuk berbicara. Ini adalah awal yang baik. Mereka berdua tahu bahwa jika ingin hubungan ini bertahan, mereka harus menatap masa depan bersama, menyusun rencana yang sama, dan berbagi visi yang jelas. Tidak ada lagi keraguan yang tidak terucap, tidak ada lagi ketakutan yang dibiarkan memanjang tanpa diatasi.

Setelah mengatur waktu, mereka sepakat untuk melakukan video call pada malam hari. Ketika layar ponsel Rina menyala, sosok Dika muncul di depannya, dengan wajah yang familiar namun kini tampak lebih serius dari biasanya.

“Hai, Rina. Apa kabar?” Dika memulai percakapan dengan senyum yang sedikit canggung.

“Baik, Dika. Aku sudah menyiapkan beberapa hal yang ingin kita bicarakan.” Rina memulai dengan suara yang tenang, berusaha memberi ruang bagi percakapan ini agar berjalan lancar.

Dika mengangguk, seolah memahami bahwa percakapan ini bukan sekadar tentang hal-hal ringan. “Aku juga. Aku merasa, kita sudah terlalu lama terpisah tanpa tujuan yang jelas. Sekarang kita harus memikirkan masa depan, kan?”

Rina mengangguk, merasakan getaran perasaan yang mulai tumbuh di hatinya. Mereka sedang berada pada titik penting dalam hubungan ini, dan keduanya tahu bahwa ini bukanlah percakapan biasa. Ini adalah tentang membangun masa depan.

“Dika, aku tahu kita sudah membicarakan soal pindah ke Jakarta, dan aku merasa itu adalah langkah besar. Tapi aku juga sadar, ini bukan keputusan yang mudah. Kita harus punya rencana yang matang, mulai dari pekerjaan, tempat tinggal, hingga bagaimana kita mengatur waktu bersama.”

Dika mengangguk serius. “Aku setuju, Rina. Aku sudah mempertimbangkan banyak hal. Tapi seperti yang aku katakan, aku takut kalau ini terlalu cepat. Aku belum tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan. Aku takut kalau aku gagal.”

Mendengar kekhawatiran Dika, Rina merasa perlu untuk meyakinkannya. “Dika, aku tahu ini bukan langkah yang mudah, tapi aku percaya kita bisa melewatinya bersama. Jangan takut gagal. Kita bisa mencari solusi bersama. Kita bisa mencari tempat tinggal yang nyaman, aku bisa membantu mencari pekerjaan untukmu di Jakarta, dan kita bisa memulai dari sana.”

Dika terdiam sejenak, tampaknya berpikir keras. Setelah beberapa detik, ia berbicara dengan nada yang lebih tenang. “Rina, aku ingin melakukannya. Aku ingin mencoba. Tapi aku butuh waktu untuk menyiapkan semuanya. Aku tak bisa datang ke Jakarta hanya dengan membawa impian. Aku harus mempersiapkan diri. Kalau kita memutuskan untuk melangkah ke depan, aku ingin kita melakukannya dengan cara yang benar.”

Rina menatap layar, hatinya merasa semakin yakin. Meskipun Dika merasa cemas dan takut gagal, ia tidak menutup diri. Ini adalah bagian dari perjalanan mereka. Rencana besar ini memang memerlukan waktu dan persiapan, tetapi yang terpenting adalah mereka berdua sepakat untuk berusaha bersama.

“Aku akan mendukungmu, Dika. Tidak ada yang lebih penting bagiku selain kita bisa saling mendukung dalam setiap langkah. Jadi, mari kita mulai dengan membuat rencana yang jelas. Aku ingin kita benar-benar siap untuk masa depan ini.”

Setelah itu, mereka mulai menyusun rencana langkah demi langkah. Mereka berbicara tentang banyak hal—dari mencari tempat tinggal yang sesuai di Jakarta, mencari pekerjaan yang sesuai dengan keahlian Dika, hingga merencanakan bagaimana mereka akan mengatur waktu untuk bertemu, mengingat kesibukan masing-masing. Setiap percakapan terasa begitu penting, seperti mereka sedang menyusun potongan-potongan puzzle besar yang akan membentuk masa depan mereka.

“Aku rasa kita bisa memulainya dari mencari tempat tinggal yang tidak terlalu mahal. Kita bisa sewa apartemen kecil dulu, yang penting dekat dengan tempat kerja. Aku bisa mencari kerja di bidang marketing, seperti yang sudah aku rencanakan,” Dika menjelaskan, semakin percaya diri.

Rina mengangguk, merasa semakin optimis. “Itu ide yang bagus. Aku juga bisa mencari pekerjaan tambahan untuk membantu kita. Dan kita bisa mulai menabung untuk masa depan.”

Malam itu, setelah percakapan panjang yang penuh dengan impian dan rencana, Rina merasa lebih yakin dari sebelumnya. Mereka memang masih terpisah oleh jarak, tetapi mereka tidak lagi terpisah oleh tujuan. Kini, mereka punya rencana yang jelas, sesuatu yang nyata untuk diperjuangkan bersama. Tidak ada lagi ketakutan tentang kegagalan, karena mereka tahu bahwa apapun yang terjadi, mereka akan saling mendukung.

Dengan hati yang lebih ringan, Rina menatap bintang-bintang yang tampak bersinar di langit malam. Mereka mungkin masih terpisah oleh jarak, tetapi langkah demi langkah, mereka akan menyusuri jalan yang sama.

Cinta mereka bukan hanya tentang bertahan dalam jarak, tetapi tentang membangun masa depan bersama, dengan keyakinan dan harapan yang tak pernah padam.*

Bab 8  Cinta yang Menemukan Jalan

Hari-hari berlalu, dan Rina merasa setiap detik semakin berat. Tidak karena jarak, tetapi karena semakin mendalamnya perasaan yang ia rasakan untuk Dika. Setiap pagi, ia membuka mata dengan satu harapan bahwa suatu hari nanti, mereka tidak lagi terpisah. Bahwa satu-satunya jarak yang mereka hadapi adalah antara waktu dan rencana yang sedang mereka susun bersama. Tapi kenyataan hidup tidak pernah semudah itu. Ada banyak hal yang harus disiapkan, banyak keputusan yang harus diambil, dan yang terpenting, ada keteguhan hati yang harus dibangun.

Setelah beberapa minggu penuh diskusi tentang masa depan mereka, Dika akhirnya memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Ia telah menerima tawaran pekerjaan di sebuah perusahaan marketing yang cukup terkenal. Ini adalah langkah besar yang diambil Dika, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk hubungan mereka. Setelah bertahun-tahun menjalani cinta jarak jauh, akhirnya ada harapan nyata untuk bisa bersama, bukan hanya di layar ponsel atau dalam bayangan saja. Mereka akhirnya akan memulai hidup bersama di satu kota yang sama.

Namun, meskipun langkah ini penuh kebahagiaan, tidak bisa dipungkiri bahwa ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Dika harus meninggalkan keluarganya di Yogyakarta, sementara Rina harus menyesuaikan diri dengan perubahan besar dalam hidupnya. Jakarta, dengan segala hiruk-pikuk dan kesibukannya, bukanlah tempat yang mudah untuk bertahan. Mereka berdua tahu itu.

“Rina, aku takut,” kata Dika, suatu malam saat mereka berbicara melalui telepon setelah ia tiba di Jakarta. “Aku tahu ini adalah keputusan yang besar, tapi aku merasa seperti berada di tengah lautan yang luas, tanpa arah.”

Rina menatap langit malam, mencoba memahami apa yang Dika rasakan. Perasaan takut dan cemas itu memang wajar. Pindah ke kota besar, meninggalkan zona nyaman, dan mencoba membangun kehidupan baru dari awal bukanlah hal yang mudah. Tapi ia tahu, kalau mereka bisa bersama menghadapi semua itu, maka tidak ada yang mustahil. Mereka sudah melewati banyak ujian sebelumnya. Kali ini, mereka hanya perlu bersama, lebih dekat, lebih nyata.

“Aku mengerti, Dika,” jawab Rina dengan suara yang lembut namun tegas. “Aku juga merasa begitu. Kita memang harus belajar banyak hal di sini. Tapi ingat, kita tidak sendiri. Kita punya satu sama lain. Kita sudah bertahan begitu lama. Kenapa tidak bertahan untuk satu langkah lebih dekat?”

Dika terdiam sejenak, kemudian terdengar suara napasnya yang berat. “Kamu benar. Mungkin aku terlalu banyak berpikir, terlalu takut gagal. Tapi aku berjanji, aku akan berusaha lebih keras lagi. Untuk kita.”

Rina tersenyum, meskipun Dika tidak bisa melihatnya. “Aku juga berjanji. Kita akan melewati semuanya bersama. Aku yakin kita bisa. Ini adalah langkah besar untuk kita berdua, dan aku percaya kita akan menemukan jalan, meskipun terkadang harus melalui jalan yang berliku.”

Hari-hari berikutnya penuh dengan perubahan. Dika mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya di Jakarta. Ia sering berbagi cerita dengan Rina tentang pengalaman barunya, tentang tempat-tempat yang ia kunjungi, tentang pekerjaan yang ia jalani. Sementara itu, Rina juga mulai merasakan bagaimana kehadiran Dika di dekatnya, meskipun mereka masih tinggal terpisah. Namun, yang paling penting adalah mereka mulai merencanakan masa depan mereka bersama. Rina akhirnya menyadari bahwa mereka berdua tidak hanya bertahan dalam jarak, tetapi juga berusaha keras untuk menemukan cara agar bisa berbagi hidup mereka, meskipun dalam langkah yang perlahan.

Suatu sore, saat Rina sedang berada di kedai kopi kesukaannya, ia mendapat pesan dari Dika yang membuat hatinya berdebar-debar. “Rina, aku ingin mengajakmu makan malam minggu depan. Aku tahu ini mungkin terlihat biasa saja, tapi aku ingin membuat hari itu istimewa. Aku ingin merayakan kita.”

Rina terkesiap. Meskipun mereka sudah sering berbicara dan merencanakan masa depan, ajakan Dika itu terasa berbeda. Mungkin, ini adalah langkah mereka menuju titik yang lebih jauh lagi. Makan malam. Di Jakarta. Dengan Dika.

Ia membalas pesan itu dengan cepat, menyetujui ajakan tersebut dan merencanakan segala sesuatu dengan antusias. “Aku akan sangat senang, Dika. Aku tidak sabar untuk merayakan kita.”

Minggu itu pun tiba. Rina mengenakan gaun sederhana yang ia pilih dengan hati-hati. Ia ingin tampil istimewa untuk Dika. Mereka bertemu di sebuah restoran mewah di pusat kota Jakarta, tempat yang sudah mereka pilih bersama. Ketika Rina melihat Dika di pintu masuk, ada sesuatu yang berbeda dalam cara mereka saling memandang. Ada kehangatan yang lebih dalam, sebuah pengakuan bahwa cinta mereka telah tumbuh begitu besar, melewati waktu, jarak, dan segala tantangan.

Makan malam itu menjadi momen yang sangat spesial. Mereka tidak hanya menikmati makanan yang lezat, tetapi juga saling berbicara tentang mimpi dan harapan mereka untuk masa depan. Rina menyadari bahwa saat ini mereka tidak hanya berbicara tentang rencana-rencana praktis—tempat tinggal, pekerjaan, atau aktivitas sehari-hari tetapi mereka juga membicarakan tujuan hidup mereka bersama. Cinta mereka tidak lagi sekadar perasaan, tetapi juga komitmen, keyakinan, dan keberanian untuk memulai hidup baru bersama.

“Aku senang kita bisa sampai di titik ini, Dika,” kata Rina sambil memegang tangan Dika yang terletak di meja. “Aku merasa seperti kita akhirnya menemukan jalan kita. Jalan yang kita ciptakan bersama.”

Dika tersenyum hangat, menggenggam tangan Rina dengan erat. “Aku juga, Rina. Aku tidak pernah membayangkan bisa sampai sejauh ini. Tapi di setiap langkah kita, aku merasa lebih yakin, lebih kuat. Kita tidak hanya melalui jarak, kita juga melalui waktu yang penuh ujian.”

Rina menatap mata Dika, yang kini tampak lebih tegas, lebih pasti. Ia tahu bahwa meskipun perjalanan ini penuh tantangan, mereka berdua memiliki satu hal yang tidak bisa dipisahkan: cinta. Cinta yang telah menguatkan mereka, yang membuat mereka mampu bertahan meskipun terpisah oleh jarak dan waktu.

Malam itu, mereka berbicara banyak hal tentang masa depan, tentang perjalanan yang masih panjang, tentang impian yang ingin dicapai. Mereka berjanji untuk terus berjuang bersama, untuk tidak pernah menyerah pada cinta yang telah mereka bangun dengan susah payah.

Ketika malam berakhir, mereka berjalan berdampingan di trotoar Jakarta yang sibuk, namun terasa begitu tenang. Cinta mereka akhirnya menemukan jalannya. Jalannya bukan hanya tentang berjuang menghadapi jarak atau waktu, tetapi tentang menemukan satu sama lain di setiap langkah yang mereka ambil bersama. Mereka tahu, meskipun jalan itu tidak selalu mulus, mereka akan selalu memiliki satu tujuan: saling mencintai dan menjalani hidup bersama, apapun yang terjadi.***

————THE END————-

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintajarakjauh#CintaTanpaBatas#HubunganDariJauh#MasaDepanBersama#RinduYangTumbuh
Previous Post

KISAH CINTA YANG TERTUNDA

Next Post

MENCINTAI TANPA PILIHAN

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
MENCINTAI TANPA PILIHAN

MENCINTAI TANPA PILIHAN

RASA YANG TUMBUH PERLAHAN

MELANGKAH BERSAMA WALAU BERBEDA DUNIA

KASIH YANG TERKADANG

KASIH YANG TERKADANG

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id