Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

TUNGGU AKU DISANA

TUNGGU AKU DISANA

SAME KADE by SAME KADE
January 29, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 17 mins read
TUNGGU AKU DISANA

Daftar Isi

  • Bab 1 Menghadapi Jarak
  • Bab 2  Menghadapi Tantangan
  • Bab 3  Pesan Tertunda
  • Bab 4  Keputusan Besar
  • Bab 5  Menunggu dengan Penuh Harapan

Bab 1 Menghadapi Jarak

Alya memandang layar ponselnya yang kini gelap, setelah beberapa detik video call dengan Haris berakhir. Sisa suara rindu yang tertinggal di telinganya perlahan menguap, namun kesedihan yang sama perasaan kosong, sepi, dan rindu menyapanya kembali. Hari itu adalah salah satu dari sekian banyak hari yang harus ia lewati tanpa kehadiran orang yang sangat berarti baginya.

Alya menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya pada kursi di ruang tamu apartemennya yang sederhana. Sudah hampir setahun sejak mereka berpisah, sejak Haris harus kembali ke luar negeri untuk melanjutkan karirnya. Satu tahun yang penuh dengan perasaan campur aduk—rindu yang menggunung, kebosanan yang tak kunjung hilang, dan harapan yang kadang terasa seperti mimpi.

Beberapa hari terakhir ini, Haris sibuk dengan urusan pekerjaan yang menuntutnya lebih banyak waktu di luar rumah, dan komunikasi mereka menjadi semakin terbatas. Mereka hanya bisa saling bertukar pesan singkat, dan beberapa video call sesekali, yang rasanya tidak cukup untuk meredakan kerinduan di hati Alya. Setiap kali Haris mengucapkan kata-kata manis di ujung percakapan mereka, Alya merasa hatinya penuh. Tapi begitu panggilan itu berakhir, ia kembali terperangkap dalam kesendirian yang begitu nyata.

“Haris… kamu benar-benar akan kembali, kan?” Alya bergumam pada dirinya sendiri. Ia tahu ini adalah pertanyaan yang sering diajukan, bahkan ketika Haris sudah memberikan jaminan berulang kali. Tapi, tetap saja rasa takut itu tidak bisa hilang begitu saja. Takut cinta mereka akan memudar. Takut, jika nanti dia kembali, semuanya sudah berubah.

Ponselnya kembali bergetar, membawa Alya keluar dari lamunan. Tersenyum kecil, ia membuka pesan dari Haris.

“Aku tahu kamu pasti merasa kesepian. Aku rindu kamu lebih dari apapun. Aku janji, tidak ada satu hari pun yang aku lewatkan tanpa memikirkanmu. Sabar ya, sedikit lagi kita akan bertemu. Aku akan kembali untukmu.”

Membaca pesan itu, hati Alya terasa lebih ringan. Tapi tetap, ada secercah keraguan yang menari-nari di benaknya. Meskipun Haris berjanji akan kembali, meskipun mereka terus berusaha menjaga komunikasi, jarak ini terus menghantui. Setiap malam ia merasa kesepian, setiap hari ia merasa kehilangan sedikit demi sedikit. Semua kenangan indah yang mereka bagi bersama, seolah seperti bayangan samar yang hilang bersama waktu.

Pagi itu, Alya bangun dengan perasaan yang lebih berat dari biasanya. Pekerjaan yang menanti tak membuatnya merasa lebih baik. Ia mencoba untuk mengalihkan perhatian dengan menyelesaikan beberapa tugas di kantor. Namun, pikirannya kembali melayang pada Haris. Meskipun mereka berdua berusaha untuk tetap saling mendukung, jarak ini seringkali terasa begitu besar dan tak teratasi.

Di tengah-tengah kesibukannya, Alya merasa seolah dunia berhenti berputar sejenak. Ia menerima sebuah email dari Haris. Namun kali ini, isinya berbeda. Bukan pesan cinta seperti biasanya, tetapi lebih kepada detail pekerjaan yang membuatnya terkejut.

“Alya, aku harus memberitahumu sesuatu. Ada kemungkinan aku harus tinggal lebih lama di sini. Aku berharap kamu bisa mengerti. Aku berjanji, aku akan melakukan yang terbaik agar kita bisa tetap terhubung. Aku tahu ini sulit, tapi aku akan menepati janji untuk kembali. Tunggu aku.”

Membaca pesan itu, Alya merasa tubuhnya lemas. Perasaan yang semula telah dia coba tepis, kini kembali muncul begitu saja. Ini bukan pertama kalinya Haris harus mengubah rencana karena pekerjaan. Tapi kali ini, rasanya lebih berat. Jarak ini terasa semakin memisahkan mereka, semakin menguji ketahanan hati mereka.

“Tunggu aku…” Kalimat itu terngiang lagi di telinganya. Haris selalu mengucapkannya dengan penuh keyakinan, seolah jarak ini tidak akan pernah bisa menghalangi cinta mereka. Namun, dalam hatinya, Alya mulai meragukan kata-kata itu. Apakah cinta ini akan tetap kuat meskipun jarak semakin jauh? Apakah ia akan bisa terus bertahan dalam kesendirian ini?

Malam itu, setelah menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk, Alya duduk di balkon apartemennya, memandangi kota Jakarta yang gemerlap. Lampu-lampu yang berkelip tak mampu mengusir rasa sepi yang menyelubungi hatinya. Ia merindukan Haris lebih dari apapun. Ia merindukan tawa mereka, canda mereka, bahkan keheningan yang mereka bagi bersama.

Tiba-tiba ponselnya bergetar lagi. Kali ini, bukan pesan dari Haris, melainkan sebuah panggilan masuk. Alya ragu sejenak sebelum mengangkatnya. Suara di ujung sana mengingatkan kembali pada dirinya tentang betapa ia mencintai pria itu, tentang betapa mereka berdua sudah begitu terbiasa menjalani cinta jarak jauh ini.

“Halo?” suara Haris terdengar familiar, meskipun terdistorsi oleh jarak.

“Halo, Haris…,” jawab Alya pelan.

“Alya, aku tahu ini sulit. Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah melupakanmu. Cinta kita ini lebih dari sekadar pertemuan. Aku akan kembali, aku janji. Meskipun kita terpisah ribuan mil, kamu selalu ada di hati aku.”

Mendengar kata-kata itu, Alya merasa terharu. Tidak ada yang bisa menggantikan perasaan mendalam yang mereka miliki, meskipun jarak seolah menguji batas kesabaran dan ketahanan mereka. Ia ingin percaya, ia ingin mempertahankan keyakinannya bahwa Haris benar-benar akan kembali. Namun, rasa takut itu datang lagi takut bahwa waktu akan mengubah segalanya.

“Rindu kamu…” Alya membalas dengan suara serak. “Aku juga ingin kita bertemu, Haris. Aku ingin kamu kembali. Aku ingin kita berjalan bersama lagi.”

“Alya, aku akan kembali. Jangan pernah ragu tentang itu. Aku akan kembali untuk kita.” Haris mengucapkan itu dengan suara yang tegas dan penuh keyakinan.

Alya menutup telepon, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, dia merasa sedikit lebih tenang. Meskipun jarak masih memisahkan mereka, Alya sadar bahwa yang paling penting adalah keyakinan yang mereka pegang bersama. Jarak memang terasa berat, namun dalam hatinya, dia tahu bahwa cinta mereka tidak pernah padam. Cinta itu tak terbatas oleh ruang dan waktu.

Dengan penuh harapan, Alya menatap langit malam, berpikir tentang hari-hari yang akan datang tentang pertemuan yang akan mereka sambut, tentang janji yang akan mereka tepati. “Tunggu aku di sana, Haris. Aku akan menunggu.”

Dan di dalam hatinya, ia tahu bahwa jarak ini, meskipun berat, akan menguatkan cinta mereka.*

Bab 2  Menghadapi Tantangan

Alya duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang penuh dengan angka-angka dan laporan yang harus segera diselesaikan. Namun, pikirannya tidak benar-benar terfokus pada pekerjaan. Sejak pagi tadi, hatinya terasa begitu berat, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam dadanya. Kerinduan pada Haris semakin memuncak, dan hari ini, perasaan itu terasa lebih intens daripada sebelumnya.

Semenjak mereka berpisah, Alya mencoba untuk tetap tegar, melanjutkan rutinitasnya seperti biasa. Pekerjaan di kantor, bertemu teman-teman, dan menjaga hubungan melalui pesan singkat serta panggilan video, menjadi cara agar jarak antara mereka tak terlalu terasa. Namun, semakin lama, semakin banyak tantangan yang datang, yang membuatnya merasa semakin jauh dari Haris. Tantangan-tantangan ini tak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam dirinya sendiri.

Hari itu, setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan, Alya menerima pesan dari Haris. Senyum tipis muncul di wajahnya, meskipun perasaan di hatinya kembali menjadi penuh dengan pertanyaan.

“Alya, aku akan sedikit lebih sibuk beberapa minggu ke depan. Ada beberapa proyek besar yang harus aku tangani, jadi mungkin aku nggak bisa sering menghubungimu. Aku minta maaf, dan aku harap kamu mengerti.”

Membaca pesan itu, Alya merasa hatinya sedikit terhantam. Setiap kali Haris mengatakan bahwa dia akan sibuk, seolah ada celah yang terbuka di antara mereka, tempat rindu dan keraguan mulai tumbuh. Bukan karena Alya tidak mengerti betapa pentingnya pekerjaan Haris, tetapi semakin banyak waktu yang terbuang tanpa komunikasi yang memadai, semakin dalam perasaan kesepian itu mencengkeramnya.

Malam itu, setelah makan malam sendirian di apartemennya, Alya merenung. Ia duduk di balkon, memandang ke langit yang penuh bintang. “Kenapa semuanya terasa semakin sulit?” pikirnya. Perpisahan mereka sudah berlangsung lama, dan setiap hari dia harus melawan perasaan cemas yang datang begitu saja. Ia tahu bahwa Haris selalu berusaha menghubunginya meskipun jarak dan kesibukannya, tapi kenyataan bahwa mereka tidak bisa saling bertatap muka setiap hari membuat segala sesuatunya terasa semakin berat.

Di saat seperti ini, kesepian menjadi teman yang tak diundang. Rasanya, tidak ada yang lebih sulit dari menunggu seseorang yang tidak bisa hadir dalam hidup kita setiap saat. Sesekali, Alya memikirkan kembali tentang harapan yang mereka bangun bersama tentang masa depan yang mereka impikan di mana mereka bisa bersama lagi tanpa batasan jarak. Namun, terkadang, seiring berjalannya waktu, harapan itu terasa semakin kabur, seperti kabut yang perlahan menyelimuti pandangan.

Satu bulan berlalu, dan tantangan semakin datang silih berganti. Setiap kali Alya merasa sedikit lega karena mendengar suara Haris di telepon, selalu ada hal yang membuatnya kembali merasa rindu dan cemas. Tugas-tugas Haris yang semakin menumpuk membuat komunikasi mereka semakin terputus. Video call yang dulu mereka lakukan setiap hari kini hanya bisa dilakukan seminggu sekali, kadang dua minggu sekali. Alya merasa hubungan mereka mulai tergerus oleh waktu.

Alya mencoba untuk tidak terlalu memikirkan semua itu. Ia menyalurkan perasaan dan pikirannya pada pekerjaan, berusaha sekuat tenaga agar tidak terlarut dalam kesedihan. Namun, di balik setiap senyuman yang ia tunjukkan, ada rasa kosong yang sulit diungkapkan. Dia merasa seperti bagian dari dirinya sedang hilang.

Satu sore, saat Alya sedang berjalan pulang dari kantor, ia menerima telepon dari temannya, Dina. “Alya, ada yang mau aku omongin, tapi kamu harus dengerin dulu, ya?” Dina terdengar agak cemas.

Alya merasa heran. “Ada apa, Din?”

“Well… aku cuma pengen bilang, jangan terlalu menunggu yang belum pasti. Aku tahu kamu sayang banget sama Haris, tapi… dia nggak bisa selalu ada buat kamu, kan? Kamu nggak bisa terus-terusan hidup dengan bayangan tentang dia.”

Alya terdiam sejenak. Kata-kata Dina itu menusuk hatinya. Ia tahu, Dina hanya mencoba untuk melindunginya, tetapi mendengar hal itu justru membuat hatinya semakin kacau. Bukankah ia berhak menunggu Haris? Bukankah mereka berdua sudah berjanji untuk saling menunggu? Tetapi di sisi lain, kata-kata Dina itu terasa seperti sebuah kenyataan yang sulit untuk ditolak.

“Kadang aku takut, Din,” Alya akhirnya membuka suara. “Aku takut kalau Haris sudah terlalu sibuk dengan kehidupannya di sana, dan aku… aku cuma jadi kenangan buat dia.”

Dina terdiam sejenak. “Alya, hidup itu nggak bisa cuma mengandalkan janji-janji kosong. Kadang kamu harus berani mengambil langkah baru untuk diri kamu sendiri, bukan untuk orang lain. Jangan sampai kamu menunggu tanpa kepastian.”

Ponsel di tangan Alya terasa semakin berat. Kata-kata Dina berputar-putar di pikirannya. Haris tentu saja mencintainya, itu tidak bisa ia ragukan. Tapi, apakah dia bisa terus menunggu jika semua terasa semakin tidak pasti? Apa yang akan terjadi jika waktu terus berjalan tanpa ada pertemuan yang nyata?

Malam itu, Alya duduk di tempat tidur, menatap foto Haris yang ia simpan di samping meja. Hati Alya dipenuhi dengan kebingungan. Di satu sisi, ia ingin tetap berjuang, menunggu Haris sampai mereka bisa bersama. Tetapi di sisi lain, semakin lama menunggu, semakin banyak keraguan yang tumbuh. Terkadang, hidup yang terlalu lama ditunda hanya akan membuat luka semakin dalam.

Namun, Alya tahu, untuk bisa melangkah lebih jauh, ia harus menghadapi tantangan ini. Menunggu adalah bagian dari perjuangannya, tetapi ia juga harus berani mengambil langkah untuk dirinya sendiri. Mungkin, dia harus belajar untuk lebih tegas dalam menentukan batas antara cinta dan kebebasan.

Esok harinya, Alya memutuskan untuk mengirim pesan panjang kepada Haris. “Aku tahu kita sudah berjanji akan menunggu, tapi kadang aku merasa semakin jauh darimu. Aku bukan ingin meragukan cintamu, tapi aku juga butuh kepastian. Kita harus berbicara lebih banyak tentang masa depan kita, bukan hanya tentang jarak yang terpisah.”

Alya memandangi pesan itu, sebelum akhirnya menekan tombol kirim. Ia tahu ini adalah langkah besar. Ini bukan hanya tentang mengungkapkan keraguannya, tapi juga tentang berani berbicara tentang apa yang ia rasakan. Bagaimanapun juga, meskipun jarak memisahkan mereka, komunikasi adalah kunci untuk menjaga cinta tetap hidup.

Dan di saat itu, Alya tahu, ia harus lebih berani menghadapi tantangan-tantangan yang datang, baik dari dalam dirinya maupun dari hubungan mereka. Ia harus bisa mencari jalan yang tepat untuk dirinya, tetapi juga tetap menjaga cinta yang ada di hati.*

Bab 3  Pesan Tertunda

Alya duduk di meja kerjanya, menatap layar ponsel yang mati suri. Sudah hampir dua hari sejak ia terakhir menghubungi Haris. Dua hari yang terasa sangat lama. Rasa sepi menghantui ruang kosong di dalam dirinya, yang semakin besar setiap kali ia menunggu tanpa kabar. Rasanya waktu berjalan sangat lambat, lebih lambat dari biasanya, seakan dunia di sekelilingnya bergerak dengan cepat, sementara dirinya tetap terhenti di titik yang sama.

Pekerjaan menumpuk, dan Alya berusaha keras untuk mengalihkan perhatian. Tetapi setiap detik yang berlalu, ada rasa cemas yang menyelinap di dalam hatinya. Dulu, komunikasi dengan Haris adalah pengobat rasa rindu yang paling manjur. Setiap panggilan video, setiap pesan yang masuk, seakan memberi kehidupan baru di hari-harinya. Namun kini, jarak ini mulai terasa semakin nyata, lebih nyata dari sebelumnya. Dan yang lebih membuatnya resah adalah ketidaktahuan—apakah Haris juga merasakannya? Apakah perasaan mereka masih sama meskipun jarak semakin jauh?

Alya memutuskan untuk mengirimkan pesan, hanya untuk mendapatkan jawaban yang membuat hatinya sedikit lebih tenang. Ia mengetik beberapa kalimat, lalu berhenti sejenak, menatap layar ponselnya. Berapa banyak pesan yang sudah tertunda, berapa banyak percakapan yang belum terungkap?

“Haris, aku rindu kamu. Ada apa? Kenapa kita jarang berbicara akhir-akhir ini? Aku khawatir kalau kita mulai kehilangan arah…”

Tangan Alya terasa berat saat menekan tombol kirim. Begitu pesan itu terkirim, ia merasa sedikit lega. Tapi, ada perasaan cemas yang langsung menggelayuti hatinya. Apa yang akan Haris jawab? Apakah ia akan merasa terbebani? Ataukah ia justru akan merasa bahwa Alya terlalu banyak menuntut perhatian?

Beberapa jam berlalu, dan tidak ada balasan. Hati Alya terasa semakin kacau. Ia menatap layar ponsel berkali-kali, berharap ada balasan, meskipun itu hanya satu kata. Tapi ponsel tetap diam, dan perasaan cemas di hatinya semakin bertambah.

Hari berikutnya, Alya kembali merenung. Ia tahu Haris sangat sibuk dengan pekerjaan di luar negeri, dan kadang ia merasa tidak adil jika terus-menerus menuntut perhatian dari Haris. Namun, kenyataannya, ia tidak bisa menahan perasaan rindu yang semakin menggebu-gebu. Rindu itu menjadi lebih besar setiap hari, dan semakin lama ia menunggu, semakin berat rasanya.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Satu pesan masuk dari Haris.

“Alya, maaf aku baru bisa balas sekarang. Aku sedang banyak urusan pekerjaan di sini. Aku tahu aku jarang menghubungimu belakangan ini. Aku minta maaf, aku nggak bermaksud buat kamu merasa dilupakan. Aku sedang berusaha menyeimbangkan segalanya di sini. Aku rindu kamu juga, lebih dari yang bisa aku ungkapkan.”

Membaca pesan itu, Alya merasa terombang-ambing antara perasaan lega dan kecewa. Perasaan rindu yang tertunda begitu lama, akhirnya terbalaskan. Tapi di sisi lain, jawaban Haris terasa terlalu singkat, terlalu diplomatis. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, tidak ada kata-kata yang menunjukkan bahwa Haris benar-benar merasakan apa yang Alya rasakan. Ia tidak tahu apakah Haris hanya terlalu sibuk, atau apakah ada hal lain yang menghalangi mereka untuk berbicara dengan lebih terbuka.

Alya memandangi pesan itu beberapa saat, sebelum akhirnya mengetik balasan.

“Aku mengerti, Haris. Aku hanya khawatir. Aku merasa kita semakin jauh, semakin terpisah. Aku hanya ingin kita tetap saling menjaga, meskipun jarak kita semakin jauh.”

Pesan itu terkirim, dan Alya kembali menunggu. Tapi kali ini, ia tidak tahu berapa lama lagi ia harus menunggu. Waktu seperti berhenti di sekelilingnya, dan rasa rindu itu tidak bisa lagi dibendung.

Sore hari, ketika Alya sedang beristirahat setelah seharian bekerja, ponselnya kembali bergetar. Ia segera memeriksa pesan masuk, berharap itu adalah balasan dari Haris. Namun kali ini, pesan itu datang dari teman lama, Dina.

“Alya, aku ada di Jakarta minggu depan, kita bisa ketemu nggak? Aku rindu ngobrol sama kamu.”

Alya tersenyum membaca pesan Dina, meskipun hatinya masih penuh dengan perasaan campur aduk. Setelah beberapa bulan tidak bertemu, pertemuan dengan teman lama bisa jadi hal yang menyegarkan. Ia pun segera membalas pesan Dina.

“Tentu, Din! Aku juga rindu. Kita cari waktu, ya.”

Setelah itu, Alya kembali menatap layar ponselnya. Ia tidak bisa menahan perasaan hampa yang tiba-tiba muncul. Rindu pada Haris begitu mendalam, namun kenyataan bahwa mereka hanya bisa berhubungan lewat pesan teks dan telepon terasa semakin membebani. Setiap kata yang terucap terasa tertunda, tidak pernah benar-benar sampai pada intinya. Alya tahu, komunikasi adalah kunci dalam hubungan jarak jauh, tapi bagaimana jika komunikasi itu mulai terasa seperti sebuah kewajiban, bukan lagi sebuah keinginan yang tulus?

Malam itu, setelah menerima balasan dari Dina, Alya memutuskan untuk menulis surat. Ia tahu, menulis selalu menjadi cara terbaik baginya untuk menuangkan semua perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata biasa. Dia duduk di meja, membuka laptop, dan mulai mengetik.

“Haris,

Aku menulis ini bukan untuk menuntutmu, tapi untuk mencoba mengungkapkan perasaan yang selalu terpendam. Aku rindu kamu, lebih dari yang bisa aku ungkapkan. Aku tahu kita sudah mencoba untuk tetap menjaga komunikasi, namun rasanya semakin sulit. Setiap hari aku bertanya-tanya, apakah kita akan bisa melewati semua ini? Apa kita masih punya kekuatan untuk bertahan, meskipun waktu dan jarak terus menguji kita?

Aku tahu kamu sibuk, dan aku tidak ingin menjadi beban bagimu. Tapi aku juga merasa kita semakin terpisah. Setiap pesan, setiap panggilan video terasa tidak cukup. Ada sesuatu yang hilang. Aku hanya ingin kita bisa tetap saling menjaga, tetap merasakan kedekatan meski terpisah ribuan mil.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, Haris. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu menunggumu. Aku hanya berharap kita bisa menemukan cara agar kita tetap bisa bersama, meskipun kita jauh.”

Alya berhenti sejenak setelah menulis surat itu. Matanya terasa panas, dan hatinya penuh dengan campuran perasaan. Ia merasa seolah-olah telah mengungkapkan segala sesuatunya, meskipun tanpa kata-kata langsung kepada Haris. Namun, ia tahu bahwa ini adalah pesan tertunda yang harus ia tuliskan untuk dirinya sendiri, untuk mengingatkan dirinya bahwa meskipun perasaan itu tertunda, cinta mereka tetap ada, meski kadang terlupakan dalam perjalanan yang penuh dengan jarak dan waktu.

Dan di saat itu, Alya menyadari bahwa kadang, sebuah pesan tertunda adalah cara terbaik untuk menunggu sesuatu yang lebih besar sesuatu yang akan datang pada waktunya.*

Bab 4  Keputusan Besar

Hari itu, langit di luar jendela apartemen Alya terlihat mendung, seakan mencerminkan perasaan yang menguasai hatinya. Ia duduk di sofa, memandangi ponsel yang tergeletak di sampingnya. Sudah lebih dari dua minggu sejak pesan terakhir dari Haris, dan meskipun mereka masih saling mengirimkan pesan, komunikasi mereka semakin terasa dingin. Panggilan video yang dulu mereka lakukan hampir setiap malam kini hanya menjadi kenangan yang semakin sulit ia jangkau.

Alya meremas ponselnya, perasaan rindu dan cemas bercampur aduk. Di satu sisi, ia sangat mencintai Haris dan ingin bertahan, tetapi di sisi lain, ia merasa semakin terasing. Setiap kali ia mencoba untuk menghubungi Haris, selalu ada alasan sibuk dengan pekerjaan, atau tidak punya waktu luang. Semakin lama, perasaan itu berubah menjadi keraguan, dan keraguan itu semakin membesar hingga akhirnya Alya harus menghadapi kenyataan: ia tidak bisa terus berada di persimpangan tanpa arah yang jelas.

“Apa yang harus aku lakukan?” pikirnya dalam hati.

Hari itu, setelah menyelesaikan pekerjaan di kantor, Alya merasa kelelahan baik fisik maupun mental. Ia berjalan pulang dengan langkah yang berat. Di sepanjang perjalanan, pikirannya hanya tertuju pada satu hal: hubungan mereka. Rasanya tidak ada yang lebih mengganggu pikirannya selain perasaan tidak pasti yang terus menerus menghantuinya. Meskipun Haris selalu mengatakan ia rindu dan ingin kembali, kenyataan bahwa mereka semakin terpisah semakin menyakitkan. Alya merasa seperti menunggu sesuatu yang tidak jelas, dan itu membuatnya semakin terjepit.

Sesampainya di apartemen, ia meletakkan tas kerja di meja dan langsung menuju balkon. Dari sana, ia dapat melihat kota Jakarta yang ramai, tetapi kesendirian yang ia rasakan seakan menelan seluruh dunia. Ia tahu, ia harus membuat keputusan besar. Entah itu untuk bertahan atau melepaskan, namun satu hal yang pasti: ia tidak bisa terus merasa seperti ini. Perasaan tidak jelas ini hanya membuatnya semakin tertekan.

Malam itu, setelah makan malam yang cepat, Alya duduk di meja makan dengan secangkir teh hangat di depannya. Ia memandang ponselnya yang tergeletak diam. Tak ada pesan dari Haris. Tidak ada kabar, tidak ada suara yang bisa menenangkan hatinya. “Harus bagaimana?” pikirnya lagi, suara hatinya semakin keras, mencoba menuntut jawaban.

Ia menatap foto-foto bersama Haris yang ia simpan di album ponselnya. Setiap foto itu menyimpan kenangan manis, tawa mereka bersama, perjalanan-perjalanan yang mereka lakukan. Rasanya seperti berhadapan dengan pilihan yang mustahil: antara bertahan dalam bayang-bayang harapan atau melepaskan dan mencari kebahagiaan yang nyata. Namun, Alya tahu, apapun yang dipilihnya, itu akan menjadi keputusan yang menentukan jalan hidupnya ke depan.

Alya pun memutuskan untuk menelepon sahabatnya, Dina. Dina adalah satu-satunya orang yang bisa memberikan perspektif yang berbeda tentang apa yang sedang ia rasakan. Setelah beberapa nada dering, telepon itu terangkat.

“Halo, Alya! Lama banget nggak dengar kabar kamu! Ada apa?” suara Dina terdengar ceria di ujung sana, namun Alya bisa mendengar sedikit kekhawatiran dalam nada suaranya.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Din…” suara Alya terdengar sedikit serak. “Aku merasa semakin jauh dari Haris. Setiap hari ada rasa rindu yang semakin besar, tapi komunikasi kita semakin jarang. Aku merasa nggak ada harapan lagi, tapi aku takut juga untuk melepaskan semuanya.”

Dina terdiam sejenak, memberi kesempatan bagi Alya untuk mengungkapkan perasaannya. “Kamu merasa tidak ada harapan, kan? Aku bisa denger itu dari nada suaramu. Tapi kadang, kamu juga harus belajar untuk melepaskan sesuatu yang nggak memberi kepastian, Alya.”

Alya terkejut dengan kata-kata Dina. Meskipun ia tahu Dina hanya ingin melindunginya, namun kalimat itu membuat hatinya semakin gelisah. Ia ingin percaya bahwa cinta mereka masih bisa bertahan, bahwa Haris akan kembali seperti yang dijanjikan. Tetapi, bagaimana jika ternyata mereka berdua hanya terjebak dalam rutinitas dan harapan kosong?

“Aku tahu kamu sayang Haris banget, tapi kamu juga harus mempertimbangkan dirimu sendiri, Alya. Kamu nggak bisa terus terjebak dalam perasaan rindu tanpa kejelasan. Tanyakan pada dirimu sendiri, apakah kamu masih merasa dihargai? Apakah dia masih memberi waktu dan perhatian yang kamu butuhkan?” tanya Dina, dan kata-katanya langsung menembus dinding pertahanan yang Alya bangun.

Alya terdiam. Ia tahu bahwa apa yang Dina katakan adalah kenyataan yang harus dihadapi. Seperti sebuah cermin yang memantulkan segala yang tersembunyi, Dina menunjukkan padanya bahwa ia sudah lama menunda untuk membuat keputusan besar. Perasaan rindu itu memang ada, tetapi apa yang sebenarnya ia cari dalam hubungan ini? Cinta yang semakin memudar atau harapan yang semakin jauh?

Setelah percakapan dengan Dina berakhir, Alya merasa lebih tenang. Walaupun hatinya masih berat, ia tahu bahwa ia harus membuat keputusan. Ia tidak bisa terus menunggu tanpa arah, tidak bisa terus berlarut-larut dalam ketidakpastian.

Malam itu, Alya memutuskan untuk menulis surat kepada Haris. Bukan surat untuk mengungkapkan rasa cinta atau kerinduan, tetapi surat untuk dirinya sendiri. Surat yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ia hindari.

“Haris,

Aku menulis surat ini bukan karena aku ingin menyalahkanmu, tetapi untuk menanyakan pada diriku sendiri, apa yang sebenarnya aku inginkan? Apa yang kita inginkan? Kita berdua sudah lama berusaha menjaga cinta ini meskipun jarak memisahkan kita. Namun semakin lama, aku merasa semakin sulit untuk bertahan. Aku tahu kamu sibuk, aku tahu kamu sedang mengejar impianmu di sana, tetapi di sisi lain, aku juga merasa kesepian, merasa terabaikan.

Aku bertanya-tanya, apakah kita masih berada di jalur yang sama? Aku tidak ingin terus terjebak dalam harapan yang tak kunjung pasti. Aku ingin tahu, apakah kamu merasa hal yang sama, apakah kamu juga merindukanku seperti aku merindukanmu?

Aku mencintaimu, Haris, tetapi aku juga harus jujur pada diriku sendiri. Aku tidak bisa terus hidup dengan bayangan, aku butuh kejelasan. Aku butuh mengetahui, apakah cinta kita cukup kuat untuk menghadapi semua ini, ataukah sudah waktunya aku untuk melanjutkan hidupku tanpa dirimu.”

Alya berhenti menulis, kemudian menatap surat itu untuk beberapa saat. Ia merasa seolah telah membuka pintu untuk sebuah keputusan besar yang harus diambil. Dalam hatinya, ia tahu bahwa apapun hasil dari surat ini, ia harus siap dengan kenyataan yang akan datang.

Beberapa hari kemudian, Haris akhirnya membalas pesan dan surat yang Alya kirimkan. Setelah membaca balasannya, Alya menyadari bahwa meskipun mereka berdua masih saling mencintai, kenyataan hidup mereka telah berubah. Haris menjelaskan bahwa ia merasa terhimpit dengan pekerjaannya, dan meskipun ia ingin kembali, dia tidak tahu kapan itu bisa terjadi.

Alya menutup ponselnya dan menarik napas panjang. Keputusan besar yang ia takutkan akhirnya datang. Meskipun itu terasa sangat sulit, Alya tahu bahwa ia harus terus melangkah menatap masa depan dengan kepala tegak, tidak terjebak dalam bayang-bayang yang tidak pasti. Ini bukan akhir dari segala-galanya, tetapi sebuah awal untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.*

Bab 5  Menunggu dengan Penuh Harapan

Alya duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang mulai berubah jingga dengan sentuhan senja. Pemandangan kota Jakarta yang selalu ramai kini tampak sunyi, hampir sepi. Ratusan kendaraan yang biasanya berdesakan di jalan-jalan besar tampak melambat, seakan mengikuti ritme hatinya yang juga terasa lebih lambat dari biasanya. Di tangannya, ponsel yang sudah lama tergeletak di meja kini kembali ia genggam, menunggu, berharap.

Sudah hampir dua minggu sejak ia menerima pesan dari Haris, pesan yang memberinya harapan sekaligus kecemasan. Pesan itu berisi janji bahwa Haris akan segera kembali ke Jakarta setelah urusan pekerjaannya selesai. Namun, sampai saat itu, tidak ada kabar lebih lanjut. Tidak ada panggilan video seperti biasanya, tidak ada pesan-pesan hangat yang membuat hatinya merasa tenang. Semua terasa sunyi, seperti menunggu sesuatu yang tidak pasti.

“Kenapa aku merasa seperti ini?” pikir Alya, meremas ponselnya lebih kuat. Ia tahu, menunggu adalah bagian dari cinta jarak jauh yang harus ia jalani. Namun, semakin lama, menunggu itu terasa semakin berat. Harapan yang ia punya kadang seolah terabaikan oleh waktu yang berjalan tanpa henti. Setiap hari, ia menunggu, meskipun tanpa jaminan bahwa Haris akan kembali.

Alya ingat saat pertama kali mereka berpisah. Meskipun berat, mereka berjanji untuk tetap menjaga komunikasi. Mereka berdua bersepakat untuk tidak membiarkan jarak memisahkan rasa cinta mereka. Saat itu, segalanya terasa mudah. Setiap pesan yang dikirim dan setiap panggilan video yang dilakukan seperti menjadi penguat bagi hubungan mereka yang terpisah oleh ribuan mil. Tapi kini, seiring berjalannya waktu, rasa rindu itu semakin membebani. Ia merasa seperti terjebak dalam ruang hampa, menunggu seseorang yang kadang tidak memberikan kejelasan.

Pagi hari, Alya kembali terjaga dengan perasaan yang sama. Rindu, cemas, dan harapan yang terpendam. Ia membuka jendela kamar tidurnya, merasakan udara pagi yang masih segar, meskipun hatinya penuh dengan ketidakpastian. Sudah hampir tiga minggu sejak Haris memberi kabar terakhir, dan meskipun ia mencoba untuk sibuk dengan pekerjaan, hatinya tetap tak bisa lepas dari bayangan Haris.

Alya menatap kalender yang tergantung di dinding. Setiap hari yang berlalu terasa semakin panjang, seakan waktu menjadi musuh yang harus ia hadapi. Ia menyadari, menunggu itu tidak mudah. Menunggu adalah ujian, bukan hanya untuk rasa sabar, tetapi juga untuk keyakinan. Apakah ia bisa terus bertahan? Apakah Haris benar-benar akan kembali, ataukah ia hanya mengharapkan sesuatu yang tidak pernah datang?

Ia membuka aplikasi pesan di ponselnya dan melihat kembali percakapan terakhir dengan Haris. “Aku akan segera kembali, sayang. Tunggu aku, ya,” pesan itu masih terlihat jelas. Alya menyentuh layar ponselnya, berharap ada notifikasi baru, berharap Haris mengirimkan pesan atau setidaknya memberi kabar.

Namun, tidak ada apa-apa. Hanya keheningan yang terasa semakin dalam.

Sore hari, setelah menyelesaikan pekerjaan di kantor, Alya kembali ke apartemennya. Rasanya, rutinitas ini sudah menjadi seperti sebuah siklus yang tidak pernah berakhir. Setiap hari ia menunggu, setiap malam ia berharap. Namun, malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Alya merasa lebih tenang. Mungkin itu karena ia mulai menyadari bahwa menunggu bukan hanya tentang pasrah, tetapi tentang memberi ruang bagi diri sendiri untuk tumbuh, untuk belajar menerima ketidakpastian.

Alya memutuskan untuk melakukan hal yang sudah lama tidak ia lakukan: beristirahat tanpa memikirkan Haris. Ia memilih untuk berjalan-jalan di taman dekat apartemennya, menikmati udara segar dan kebebasan tanpa beban. Di tengah kesibukannya menunggu, ia hampir lupa bahwa ada hal-hal lain dalam hidupnya yang juga membutuhkan perhatian.

Saat berjalan di sepanjang jalur taman, Alya melihat sekelompok anak kecil bermain bola. Mereka tertawa dan berlari ke sana kemari, tanpa beban, tanpa memikirkan jarak atau waktu. Rasa bahagia itu, begitu sederhana, namun terasa begitu jauh dari dirinya. Alya berhenti sejenak, menatap mereka, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir, ia tersenyum. Ada sesuatu yang mengingatkannya bahwa kebahagiaan itu bisa ditemukan di mana saja, bahkan di tengah kesendirian dan penantian yang panjang.

Alya pun melanjutkan langkahnya, meninggalkan taman dan menuju kafe kecil favoritnya. Di sana, ia duduk di pojok, menikmati secangkir kopi hangat sambil merenung. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada satu hal: menunggu Haris kembali. Namun, dalam perjalanan itu, ia hampir melupakan diri sendiri. Ia hampir melupakan bahwa hidupnya tidak hanya tentang cinta, tetapi juga tentang kebahagiaan yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri.

Beberapa hari kemudian, Haris akhirnya menghubunginya. Kali ini, percakapan mereka terasa berbeda. Ada kehangatan dalam kata-kata yang ia tuliskan. Meskipun tidak bisa langsung bertemu, Haris berbicara tentang rencananya untuk segera kembali, dan ia menceritakan segala kesulitan yang ia hadapi di sana. Alya mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba memahami bahwa segala hal yang terjadi di luar kendali mereka bukanlah akhir dari segalanya.

“Aku tahu kita sudah lama tidak berbicara, dan aku minta maaf. Aku sadar, aku tidak seharusnya membiarkan waktu mengganggu kita seperti ini. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku akan segera kembali, dan kita akan bersama lagi. Aku hanya butuh sedikit waktu.”

Alya tersenyum membaca pesan itu, meskipun ada sedikit rasa cemas yang masih menyelimutinya. Namun, untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir, ia merasa ada harapan. Rasa rindu itu mungkin belum bisa terbalaskan sepenuhnya, tetapi ia mulai merasakan secercah harapan di tengah penantian yang panjang.

Ia menulis balasan dengan hati-hati.

“Aku tahu kamu sedang berjuang di sana, Haris. Aku akan terus menunggu. Aku percaya kita akan baik-baik saja. Aku hanya ingin kita tetap menjaga komunikasi, tetap ada untuk satu sama lain, meski jarak memisahkan kita.”

Setelah pesan itu terkirim, Alya merasa sedikit lebih ringan. Menunggu dengan penuh harapan bukan berarti ia harus terus-menerus merasa khawatir atau cemas. Menunggu adalah tentang melepaskan kontrol, menerima kenyataan bahwa tidak semua hal bisa dipaksakan. Dan pada akhirnya, ia percaya bahwa segala sesuatu akan terjadi pada waktunya.

Beberapa minggu berlalu, dan meskipun jarak masih memisahkan mereka, Alya merasa ada perubahan dalam dirinya. Menunggu bukan lagi menjadi beban yang menekan, melainkan sebuah kesempatan untuk menumbuhkan cinta yang lebih kuat cinta yang dibangun dengan kepercayaan dan kesabaran. Ia belajar bahwa menunggu dengan penuh harapan bukan hanya tentang mengandalkan janji, tetapi juga tentang mempercayai bahwa segala sesuatu akan datang pada waktunya.***

——————–THE END—————

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #CintaDalamKesendirian#cintajarakjauh#HarapanDanCinta#Penantian#RinduTakTerbalaskan
Previous Post

ANTARA CINTA DAN PENGHIANAT

Next Post

MENCINTAI DALAM DIAM

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
KENANGAN YANG BERMEKARAN

MENCINTAI DALAM DIAM

SATU HATI, SATU CINTA, MESTI TERPISAH JARAK

SATU HATI, SATU CINTA, MESTI TERPISAH JARAK

RAHASIA CINTA YANG TERLARANG

RAHASIA CINTA YANG TERLARANG

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id